Anda di halaman 1dari 20

Mata Kuliah : Sanitasi Industri dan Keselamatan Kerja

Dosen : Mulyadi, SKM,M.Kes

MAKALAH

“Membudayakan K3 Dalam Menurunkan Kecelakaan Dan Penyakit


Akibat Kerja”

Oleh :
Muh. Asril S
(PO714221191071)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR
JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN
DIV SANITASI LINGKUNGAN
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga diberi kemudahan dalam menyusunan
makalah ini dan mampu menyelesaikan dengan tepat pada waktunya. Tidak lupa juga
shalawat serta salam atas junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw. serta kepada
keluarga, saudara, sahabat dan kerabatnya.
Dalam penyusunan makalah ini saya selaku mahasiswa banyak mendapatkan
bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan kali ini
saya mengucapkan terimakasih kepada semua yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.

Makassar, November 2022

Muh. Asril S

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Manfaat .............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Budaya K3........................................................................................... 3
B. Strategi Penerapan Budaya K3 ........................................................... 6
C. Upaya Penerapan Budaya K3 dalam Menurunkan Kecelakaan Kerja
Dan Penyakit Akibat Kerja................................................................. 12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 16
B. Saran .................................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap perusahaan atau organisasi tentu memiliki visi dan misi yang
menjadi landasan spiritual dan landasan moral untuk mencapai tujuan
perusahaan. Aspek kesehatan dan keselamatan kerja seharusnya menjadi bagian
dari nilainilai yang dianut oleh sesuatu perusahaan. Dalam hal ini aspek
keselamatan kerja mencakup semua pekerjaan yang berhubungan dengan
peralatan kerja, mesin, perlengkapan kerja, bahan-bahan, landasan kerja, dan
proses kerja serta lingkungannya. Sedangkan aspek kesehatan kerja mencakup
usaha-usaha promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif untuk mengendalikan
penyakit yang ditimbulkan akibat kerja. Keberhasilan penerapan kesehatan dan
keselamatan kerja dalam perusahaan ditentukan oleh 4 aspek (empat) faktor yang
disebut 4P, yaitu phylosophy, policy, procedures, dan practices (Ramli, 2013).
Sasaran utama dari kesehatan dan keselamatan kerja adalah sumber daya
manusia (pekerja atau karyawan). Sumber daya manusia merupakan sumber daya
yang paling penting untuk dapat memenangkan persaingan karena merupakan
tulang punggung dari seluruh sistem yang dirancang, metode yang diterapkan,
dan teknologi yang digunakan. Oleh karena itu, dalam jangka panjang perlu ada
pengembangan sumber daya manusia, sistem dan prosedur untuk perbaikan
kesehatan, keselamatan dan keamanan kerja. Selain itu dalam suatu sistem
organisasi suatu perusahan seorang manajer yang mengelola pengembangan
sumber daya manusia (SDM) dihadapkan dengan isu-isu penting tentang
kesehatan dan keselamatan kerja dimana pekerja juga memerlukan pemeliharaan
dan perawatan untuk memaksimalkan produktivitas mereka (Pike, 2000 dalam
Makori, 2012).
Salah satu indikasi keberhasilan dalam implementasi nilai-nilai kesehatan
dan keselamatan kerja adalah budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(selanjutnya disebut K3). Salah satu organisasi keselamatan dan kesehatan kerja

1
di Inggris (HSE) mendefinisikan budaya K3 sebagai suatu produk dari nilainilai,
sikap, persepsi, kompetensi dan perilaku individu dan kelompok yang tercermin
dalam suatu komitmen, gaya dan keahlian dalam sebuah wadah manajemen K3
(McKinnon, 2014). Budaya K3 fokus pada akar penyebab dari kecelakaan,
perilaku dan cara melakukan pekerjaan. Fakta menunjukkan bahwa kira-kira
90% dari semua kecelakaan di tempat kerja disebabkan oleh perilaku manusia,
bukan karena kerusakan peralatan atau prosedur yang tidak memadai (Somad,
2013). Maka perlu adanya Makalah yang membahas tentang “Membudayakan
K3 Dalam Menurunkan Kecelakaan Dan Penyakit Akibat Kerja”
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas makan rumusan masalah yang akan


dibahas sebagai berikut :

1. Bagaimana Pengertian dan Komponen Budaya K3?


2. Bagaimana Strategi Penerapan Budaya K3?
3. Bagaimana Upaya Penerapan Budaya K3 dalam Menurunkan Kecelakaan
Kerja dan Penyakit Akibat Kerja?
C. Manfaat
1. Untuk Mengetahui Pengertian dan Komponen Budaya K3
2. Untuk Mengetahui Strategi Penerapan Budaya K3
3. Untuk Mengetahui Upaya Penerapan Budaya K3 dalam Menurunkan
Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Budaya K3
1. Pengertian Budaya K3
Dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 245/Men/1990
tertanggal 12 Mei 1990, tertulis bahwa 1.) Budaya K3 adalah perilaku
kinerja, pola asumsi yang mendasari persepsi, pikiran dan perasaan
seseorang yang berkaitan dengan K3; 2.) Memberdayakan adalah upaya
untuk mengembangkan kemandirian yang dilakukan dengan cara
menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan dalam bertindak dan
memahami suatu permasalahan, dan 3.) Pembudayaan adalah upaya/proses
memberdayakan pekerja sehingga mereka mengetahui, memahami,
bertindak sesuai norma dan aturan serta menjadi panutan atau acuan bagi
pekerja lainnya.
Budaya K3 (Safety Culture) pertama kali diangkat oleh IAEA (the
International Atomic Energy Agency), berdasarkan hasil analisis dari
bencana nuklir di Chernobyl. Selanjutnya bedasarkan analisis kecelakaan
kerja dan bencana di berbagai industri menunjukkan bahwa penyebab
utamanya bukanlah ketersediaan peralatan K3 (APD), atau peraturan dan
prosedur K3 dalam manajemen K3, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh
budaya dan iklim K3 dalam organisasi (Ferraro,2002; Gadd and
Collins,2002). Budaya K3 (Safety Culture) merupakan kombinasi dari sikap-
sikap, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma dan persepsi dari para
pekerja dalam sebuah organisasi, yang memiliki keterkaitan secara bersama
terhadap K3, perilaku selamat, dan penerapannya secara praktis dalam
proses produksi (Clarke, 2000).
Budaya K3 merupakan kombinasi dari sikap-sikap, nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, norma-norma dan persepsi dari para pekerja dalam
sebuah organisasi, yang memiliki keterkaitan secara bersama terhadap K3,

3
perilaku selamat, dan penerapannya secara praktis dalam proses produksi
(Clarke, 2000). Definisi yang senada dikeluarkan oleh The Advisory
Committee on the Safety of Nuclear Installations (ACSNI,1993) yang
kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa budaya K3 dalam suatu organisasi
adalah produk nilai-nilai, sikap, persepsi, kompetensi dan pola-pola perilaku
dari individu dan kelompok yang memiliki komitmen terhadap K3
Menurut Blair (2003), budaya K3 merupakan bagian dari budaya
organisasi. Budaya organisasi merupakan kombinasi dari perilaku, sikap,
persepsi, dan keluarannya berupa performansi, yang dapat menggerakan
roda organisasi. Sementara budaya K3 merupakan penjelmaan dari perilaku,
sikap, dan nilai secara bersama untuk mencapai derajat performansi sehat
dan selamat, yang dipahami dan dijadikan prioritas utama dalam suatu
organisasi. Sejalan dengan definisi budaya K3 yang dijelaskan oleh Clarke
(2000) yaitu merupakan kombinasi dari sikap-sikap, nilai-nilai, keyakinan-
keyakinan, norma-norma dan persepsi dari para siswa calon pekerja dalam
sebuah organisasi, yang memiliki keterkaitan secara bersama terhadap K3,
perilaku selamat, dan penerapannya secara praktis dalam proses produksi.
Konsep utama dari budaya K3 adalah pentingnya pemahaman
bersama, didukung oleh persepsi yang homogen tentang K3 dalam suatu
organisasi, walaupun pasti terdapat perbedaan persepsi dari seluruh level
hirarki dalam suatu organisasi (Blair, 2003)
Dasar utama dari budaya K3 adalah sikap dan persepsi terhadap K3
(Gadd and Collins,2002). Turner, (1994) mendefinisikan sama seperti
tersebut di atas, namun secara sosial dan teknis praktis budaya K3 ditujukan
untuk meminimalkan paparan potensi sumber resiko bahaya bagi manajer,
pekerja, pelanggan dan semua masyarakat sekitar. Konsep utama dari
budaya K3 adalah pentingnya pemahaman bersama, didukung oleh persepsi
yang homogen tentang K3 dalam suatu organisasi, walaupun pasti terdapat
perbedaan persepsi dari seluruh level hirarki dalam suatu organisasi. (Bailey

4
& Petersen, 1989; Blair,2003; Brown et al., 2000; Carder & Ragan, 2003;
DePasquale & Geller, 1999; Flin et al.,2000; Williamson, Feyer, Cairns, &
Biancotti, 1997).
Budaya K3 yang positif diadopsi menurut O'Toole (2002) nampak
dalam semua level hirarki organisasi, merupakan refleksi dari hubungan
antara persepsi pekerja dan komitmen pihak manajemen (pengurus
perusahaan) terhadap K3, karena tanggung jawab utama kepala perusahaan
adalah produktivitas yang didukung oleh K3 bagi kesemuanya. Karakeristik
organisasi yang berbudaya K3 positif antara lain adalah adanya komunikasi
yang penuh saling kepercayaan, memiliki persepsi bersama tentang
pentingnya K3 berdasarkan rasa keyakinan diri terhadap usaha pencegahan
kecelakaan kerja yang terukur. Hal tersebut berdampak nyata terhadap
bagaimana mensikapi stress kerja, rasa bersalah, kelelahan, kejenuhan, dan
kebosanan, dengan dukungan jajaran manajemen yang tetap mengutamakan
K3 (Wong 2003). Termasuk bagaimana sikap, keyakinan, dan persepsi
secara kelompok dalam menjabarkan norma-norma dan nilai-nilai agar dapat
bereaksi dan bertindak atau berperilaku untuk mengontrol adanya resiko dari
sumber bahaya (Hale, 2000; Lee and Harrison, 2000)
Budaya K3 (safety culture) yang meliputi persepsi, asumsi, nilai,
norma dan keyakinan para pekerja, dianggap lebih bersifat global dari pada
iklim K3 (safety climate). Diadopsi menurut Shadur dkk. (1999) budaya K3
bersifat melekat kepada kelompok dalam suatu organisasi, dan lebih sulit
diukur dari pada iklim K3, yang merupakan indikator permukaan dari kultur
yang lebih mudah dimengerti. Guldenmund (2000) yang kemudian
diadaptasi, menyatakan bahwa iklim K3 cenderung berdasarkan sikap
seseorang terhadap K3 dalam suatu organisasi, sedangkan budaya K3 lebih
menekankan kepada keyakinan dan kepastian terhadap sikap-sikap yang
berdasarkan nilai-nilai dalam kelompok sosial

5
2. Komponen Budaya K3
Cooper (2002) menjelaskan budaya K3 terdiri dari tiga komponen, yaitu
sebagai berikut:
a. Person adalah faktor pekerja yang mempengaruhi keselamatan ditempat
kerja termasuk sikap dan keyakinan yang berupa pengetahuan
(knowledge), keterampilan (skills), kemampuan (abilities), kecerdasan
(intelligence), dorongan (motives), kepribadian (personality).
b. Behavior adalah faktor perilaku yang mempengaruhi keselamatan yaitu
perilaku sehari-hari di tempat kerja, pelatihan (complying), bimbingan
keselamatan (coaching), pengenalan (recognizing), komunikasi inter
personal (communicating), demonstrating active caring (kepedulian
secara aktif).
c. Environment adalah faktor lingkungan kerja yaitu prosedur kerja,
perlengkapan (equipment), peralatan (tools), mesin (machines), tata
letak barang (housekeeping), suhu (heat/cold) dan Sistem Manajemen
K3 serta iklim K3.
B. Strategi Penerapan Budaya K3
Setiap dunia usaha sewajarnya memiliki strategi yang dapat memperkecil
bahkan menghilangkan kejadian kecelakaan dan penyakit akibat kerja sesuai
kondisi tempat kerjanya. Strategi yang perlu diterapkan meliputi : Manajemen
perlu menetapkan bentuk perlindungan bagi karyawan dalam menghadapi
kejadian kecelakaan kerja. Misalnya, dengan pertimbangan finansial, kesadaran
karyawan tentang K3, tanggung jawab perusahaan dan karyawan, maka bisa
ditentukan tingkat perlindungan K3 secara minimum atau maksimum.
Manajemen dapat menentukan apakah peraturan tentang K3 bersifat
formal ataukah informal. Secara formal dimaksudkan bahwa setiap aturan
dinyatakan secara tertulis, dilaksanakan dan dikontrol sesuai dengan aturan
sementara secara informal dinyatakan tidak tertulis atau konvensi serta dilakukan

6
melalui pelatihan dan kesepakatan. Manajemen perlu proaktif dan reaktif dalam
pengembangan prosedur dan rencana tentang K3 karyawan. Proaktif berarti
pihak manajemen perlu memperbaiki terus menerus prosedur dan rencana sesuai
dengan kebutuhan perusahaan dan karyawan. Sementara arti reaktif, pihak
manajemen perlu segera mengatasi masalah K3 setelah suatu kejadian timbul.
Pihak manajemen dapat menggunakan tingkat penerapan K3 yang optimal
sebagai faktor promosi perusahaan kekhalayak luas. Artinya
perusahaan/organisasi sangat peduli dengan K3. Salah satu kebijakan K3
Nasional 2007-2010 adalah pemberdayaan pengusaha, tenaga kerja dan
pemerintah agar mampu menerapkan dan meningkatan budaya K3, diantara
programnya berupa pelaksanaan K3 di sektor pemerintahan dengan target 50 %
departemen melaksanakan K3 pada tahun 2010.
Berikut adalah 5 elemen untuk membentuk Budaya K3 yang kuat versi
International Association of Oil & Gas Producers:
1. Budaya untuk Mencari Informasi (Informed Culture)
Tetap mendapatkan informasi dapat membantu organisasi untuk
mencegah ketidakwaspadaan dalam ketiadaan kecelakaan kerja. Organisasi
dengan budaya K3 yang kuat selalu waspada dan percaya bahwa kondisi
yang aman dapat bermasalah.Jika orang-orang tidak melihat apapun yang
bermasalah, mereka akan berasumsi bahwa tidak akan muncul masalah
sehingga mereka tidak diharuskan untuk bertindak apapun. Ini adalah hal
yang tidak tepat sehingga perlu usaha-usaha untuk mengikis asumsi tersebut.
Oleh karena itu, dalam ketiadaan kejadian kecelakaan kerja dan dalam
usaha untuk mempromosikan perhatian keselamatan kerja yang terjadi,
sebuah organisasi harus membuat sebuah sistem informasi yang
mengumpulkan, menganalisa dan membagikan informasi tentang manusia,
technical, organisasi dan faktor lingkungan yang menunjukkan keseluruhan
sistem keselamatan kerja. Sayangnya, hal ini tidak semudah untuk
melaporkan kecelakaan kerja.

7
Menurut Hopkins, banyak studinya terkait dengan kecelakaan kerja
baik mayor ataupun minor, selalu menunjukkan bahwa sebelumnya sudah
ada informasi yang telah dilaporkan dan dianalisa, informasi inilah yang
menjadi sinyal lemah tentang munculnya kecelakaan kerja suatu saat nanti.
Sebuah organisasi yang berkomitmen untuk mencegah kecelakaan selalu
menyadari informasi tersebut dan berusaha untuk mencegahnya serta
mengumpulkan informasi lebih banyak. Pekerja dalam budaya tersebut juga
didorong untuk melaporkan kondisi tidak aman, bahaya, prosedur yang tidak
efektif, proses yang gagal, beberapa alarm, dan lain-lain untuk mencegah
potensi kecelakaan.
2. Budaya Melaporkan (Reporting Culture)
Organisasi dalam industri yang beresiko tinggi sedang meningkatkan
kepemahaman mereka tentang keselamatan kerja melalui laporan dan
investigasi kecelakaan. Keengganan untuk menyelidiki dan berdiskusi
tentang kecelakaan dapat mengakibatkan kehilangan peluang untuk
mencegah bencana di masa depan dan dapat diterjemahkan sebagai tanda
bahwa produksi dihargai lebih daripada keselamatan kerja.
Keengganan untuk melaporkan kecelakaan dapat terjadi ketika proses
pelaporan terlalu rumit atau terdapat ketidakpercayaan di antara berbagai
macam lapisan dalam organisasi. Ini bisa diatasi dengan memperkenalkan
sistem pelaporan di mana identitas dari pelapor hanya diketahui oleh badan
yang dipercayai biasanya adalah departemen HSE.
Lebih lanjut, nilai dari pelaporan haruslah terlihat dari aksi perbaikan,
penyebaran pelajaran yang dapat diambil dari pelaporan serta umpan balik
ke pelapor. Ini membutuhkan sumber daya yang cukup dan kompeten yang
siap sedia untuk investigasi kecelakaan secara efektif Kita tidak mungkin
bisa menginvestigasi semua laporan dengan kedalaman analisa yang sama,
kita harus bisa untuk memprioritaskan. Parameter berikut harus menjadi
kriteria untuk memprioritaskan laporan:

8
 Resiko: Menilai keparahan dan frekuensi potensi dari kejadia
 Peningkatan: Identifikasi potensi tinggi untuk ide peningkatan
 Tema: Apakah kejadian selalu berulang?
Peningkatan laporan bergantung oleh keterlibatan dari seluruh karyawan
untuk menjamin kontribusi dan pelajaran dari proses perbaikan dan
peningkatan (improvement). Untuk belajar dengan baik dari sistem
pelaporan dan mengembangkan aksi efektif terus berlanjut maka 2 aspek ini
harus disadari, aspek ini juga menjadi indikator dari kedewasaan dari
budaya K3:
 Menjamin independensi maksimum dari kecelakaan meskipun hasil
investigasi menunjukkan bahwa terdapat ketiadaan kendali dari
manajemen
 Secara aktif melibatkan manajemen lini untuk mengubah rekomendasi
menjadi aksi sehingga mereka menjadi terlibat di dalam rekomendasi
itu. Ini juga membuat mereka mennyadari peran mereka untuk
meningkatkan keselamatan kerja di masa depan
3. Budaya Belajar (Learning Culture)
Budaya belajar adalah sebuah perpanjangan alami dari budaya
pelaporan karena sebuah laporan tidak akan bisa efektif kecuali apabila
organisasi belajar dari pelaporan yang karyawan buat.
Sebuah organisasi dengan budaya belajar yang kuat akan
mengumpulkan informasi dari berbagai macam sumber, mengambil
pelajaran yang berguna, membagi pelajaran yang di dapat dan
menindaklanjuti proses pengembangan keselamatan kerja. Organisasi
pembelajar akan mencari pandangan yang berlawanan untuk mencari
kesempatan belajar dengan lebih efektif. Mereka terbuka akan berita yang
buruk sehingga informasi tidak “dikecilkan” begitu sampai ke manager.
Laporan yang ada merupakan laporan yang valid karena sistem pelaporan

9
berdasarkan kejujuran dan kepercayaan. Karena organisasi secara jelas
merespon laporan, karyawan merasa terdorong untuk terus melapor sehingga
menghasilkan budaya pelaporan yang efektif.
Organisasi pembelajar sangat sensitive dengan pelajaran dari berbagai
macam sumber. Mereka bisa mengambil pembelajaran dari sistem pelaporan
internal, analisa root cause yang sistematik hingga belajar dari kecelakaan
dari organisasi eksternal
Organisasi pembelajaran memiliki karyawan profesional yang memilki
pekerja untuk menganalisa informasi dan mengambil keuntungan dari
hasilnya. Karyawankaryawan ini memiliki ciri:
 Mengidentifikasi problem dan pelajaran
 Mengembangkan rencana dengan manager lokasi untuk mengatasi
masalah
 Mengimplementasikan pelajaran yang dapat diambil ke seluruh
organisasi
Organisasi pembelajar juga menghindari informasi penting yang
hilang bersamaan dengan karyawan mereka yang mundur dari pekerjaan. Hal
ini dikarenakan mereka sudah menganalisa, menyimpan, menyebarkan dan
membangun informasi-informasi penting ke dalam penerapan yang terus
berkelanjutan.

4. Budaya Fleksibel (Flexibility Culture)


Budaya fleksibel dalam sebuah organisasi akan memungkinkan
organisasi untuk mempertahankan koordinasi dalam level yang efektif dan
perhatian yang tepat mengingat terdapat perbedaan dalam proses
pengambilan keputusan karena perbedaan tingkat urgensi dan kehandalan
dalam orang-orang yang terlibat.

10
Budaya fleksibel ditandai dengan kemampuan untuk mengganti
struktur organisasional dari hierarki konvensional ke struktur operasional
yang lebih setara (flat) tanpa harus kehilangan kualitas dalam pengambilan
keputusan. Ciri budaya fleksibel adalah responsif, melibatkan dan
beradaptasi serta berfokus pada kemampuan seseorang sebagai sebuah
individu untuk terlibat dalam pemecahan masalah ketimbang kemampuan
orang tersebut sebagai bagian dari struktur organisasi.
Sangatlah penting bagi sebuah perusahaan untuk menyadari jangkauan
kemampuan dari karyawannya dan bagaimana menggunakan skil tersebut
ketika diperlukan. Banyak orang yang menghargai kesempatan untuk
mempertunjukkan kemampuan mereka dalam organisasi yang pada ujungnya
akan membuat budaya fleksibel di perusahaan akan lebih baik lagi.
Organisasi yang ingin mendapat budaya fleksibel harus melatih
kemampuan mereka dan mengkaji aksi yang diberikan untuk merespons
ancaman dari kejadian, memastikan fleksibilitas structural yang cocok dan
efektif. Pada akhirnya budaya fleksibel bercirikan sebagai berikut:
 Mampu untuk menyesuaikan diri sendiri dalam menghadapi operasi
kerja yang cepat dan beberapa bahaya yang muncuk
 Memiliki kemampuan untuk memodifikasi struktur yang konvensional
menjadi struktur yang lebih setara
 Memiliki tingkat keahlian yang sesuai untuk membuat penilaian dan
keputusan
5. Budaya Adil (Just Culture)
Budaya Adil merupakan sarana yang kuat untuk elemen-elemen lain
dalam budaya k3. Harapan yang jelas, implementasi yang konsisten terhadap
semua peraturan, proses investigasi yang adil serta respons yang adil
terhadap mereka yang melanggar peraturan akan menjadi pesan yang kuat
bagi seluruh karyawan tentang hak dan kewajiban mereka yang benar.

11
Penting untuk sebuah organisasi agar menetapkan batasan-batasan
yang tidak jelas. Misalnya pada masalah kekerasan dalam tempat kerja atau
kecanduan alcohol, batasan tersebut secara terus menerus bergerak dan
dinegosiasi kembali. Bahkan, kasus-kasus pelanggaran yang seharusnya jelas
seperti kecanduan narkoba, pengendalian yang dilakukan oleh organisasi
dapat bervariasi. Organisasi bisa saja menghukum pencandu narkoba atau
justru mengirimnya ke pusat rehabilitasi sebagai bentuk dukungan untuk
karyawan dalam keadaan sulit tersebut.
Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menetapkan batasan-batasan
dalam organisasi dan mengkomunikasikan ke seluruh karyawan serta
diterapkan secara konsisten.
C. Upaya Penerapan Budaya K3 dalam Menurunkan Kecelakaan Kerja dan
Penyakit Akibat Kerja
Secara keilmuan K3, didefinisikan sebagai ilmu dan penerapan teknologi
tentang pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Dari aspek
hukum K3 merupakan kumpulan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Melalui peraturan yang
jelas dan sanki yang tegas, perlindungan K3 dapat ditegakkan, untuk itu
diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang K3. Bahkan di
tingkat internasionalpun telah disepakati adanya konvensi-konvensi yang
mengatur tentang K3 secara universal sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, baik yang dikeluarkan oleh organisasi dunia seperti
ILO, WHO, maupun tingkat regional.
Dengan melaksanakan K3 akan terwujud perlindungan terhadap tenaga
kerja dari risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang dapat terjadi
pada waktu melakukan pekerjaan di tempat kerja. Dengan dilaksanakannya
perlindungan K3, diharapkan akan tercipta tempat kerja yang aman, nyaman,
sehat dan tenaga kerja yang produktif, sehingga akan meningkatkan produktivitas
kerja dan produktivitas perusahaan. Dengan demikian K3 sangat besar

12
peranannya dalam upaya meningkatkan produktivitas perusahaan, terutama dapat
mencegah korban manusia dan segala kerugian akibat kecelakaan.
Budaya K3 yang baik akan terbentuk setelah dilakukan usaha-usaha
penerapan program K3 dan pencegahan kecelakaan secara konsisten dan bersifat
jangka panjang. Pada dasarnya tindakan pencegahan kecelakaan dan penyakit
akibat kerja adalah menggunakan konsep “2E+I” yaitu:
a. E (Enjiniring), lingkup enjiniring adalah mencari substitusi material
berbahaya, pengurangan penyimpanan material berbahaya, memodifikasi
proses, menggunakan sistim peringatan.
b. E (Edukasi), lingkup edukasi adalah melatih pekerja terkait tentang prosedur
dan praktik kerja aman, mengajarkan cara pengerjaan suatu pekerjaan secara
benar dan penggunaan produk secara aman, serta aktivitas edukasi lainnya.
c. I (Implementasi), lingkup implementasi adalah upaya pencapaian
pemenuhan peraturan perundangan yang berlaku dalam bentuk undang-
undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan
Surat Edaran.
Ketiga aspek tersebut harus dijalankan secara paralel agar kinerja aspek
K3 di lapangan bisa berjalan. Dan bila dilakukan dengan cara yang benar maka
kinerja K3 akan meningkat (Somad, 2013).
Budaya K3 Unggul lebih berfokus kepada akar penyebab dari
kecelakaan, cara melakukan pekerjaan, dan juga perilaku manusia. Yang di
mana fakta menunjukkan, bahwa setidaknya 90% dari semua kecelakaan yang
terjadi ditempat kerja disebabkan oleh perilaku manusia. Bukan karena
kerusakan peralatan atau pun prosedur yang tidak memadai. Berikut adalah
beberapa ciri-ciri pentingnya sebuah budaya K3 yang unggul, yaitu:

1. Manajer dan juga pekerja lebih proaktif mengangkat standar K3. ide-ide
peningkatan K3 tersebut akan datang sendiri tanpa diminta. Para pemimpin
K3 juga memberlakukan K3 sebagai salah satu nilai dan pertimbangan

13
semua keputusan bisnis. Menciptakan sebuah lingkungan yang bisa
memotivasi untuk mematuhi aturan K3.
2. K3 menjadi nilai-nilai yang berhubungan dengan setiap aktivitas tugas yang
dikerjakan, jadi bukanlah hanya sekadar prioritas. Pekerja juga sudah merasa
bisa menghentikan sendiri suatu pekerjaan yang tidak aman tanpa harus
takut dipersalahkan.
3. Setiap pekerja haruslah secara rutin untuk lebih memperlihatkan kepedulian
secara aktif satu dengan lainnya.
4. Kepedulian secara aktif untuk mengamati yang lain dalam cara yang aktif,
yang di mana masing-masing akan memberikan sebuah keuntungan bagi
yang lainnya.
5. Setiap masing-masing individu ingin untuk dan bisa memberlakukan bahwa
K3 tersebut di atas segalanya bagi teman-teman satu kerjanya. Yang di mana
masing-masing pekerja merealisasikan tanggung jawab untuk
mendiskusikan, dan juga menyampaikan kepada rekan kerja atau pun
bawahannya apabila melihat adanya suatu risiko.
6. Seluruh produk K3 diukur dan dihubungkan dengan kinerja bisnis,
contohnya jumlah yang berlebihan dari klaim asuransi.
7. Berbagai upaya proaktif dan juga inovatif berkelanjutan dibuat untuk bisa
mencegah terjadinya suatu kecelakaan dan juga untuk peningkatan K3 setiap
harinya.
8. Memiliki KPI atau Key Performance Indicator, dengan program yang sudah
terukur dan sudah dievaluasi dengan konsisten. Kinerja K3 merupakan suatu
indikator good business performance. Mereka sudah mengatur standar yang
tinggi melebihi dari pemenuhan standar minimum.
9. Aspek K3 menjadi suatu kegiatan yang menyatu dan juga tanggung jawab
dari masing-masing pekerja pada setiap tingkat jabatan. Hal tersebut
tercermin pada setiap uraian kerja, program kerja seluruh fungsi dan juga
dilakukan penilaian tahunan secara individu.

14
10. Tenaga kerja lebih mengerti apa yang diinginkan oleh manajer, dan juga
sebaliknya manajer selalu membuat pesan K3
11. Budaya K3 Unggul yang telah kita bahas di atas bisa terwujud dengan sangat
baik apabila pada proses pengelolaan K3 dilakukan dengan cara yang efektif
dan juga ampuh, serta perlu dipahami dengan sangat baik oleh para
profesional dalam K3.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Budaya K3 adalah perilaku kinerja, pola asumsi yang mendasari persepsi,
pikiran dan perasaan seseorang yang berkaitan dengan K3. Budaya K3
merupakan kombinasi dari sikap-sikap, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-
norma dan persepsi dari para pekerja dalam sebuah organisasi, yang memiliki
keterkaitan secara bersama terhadap K3, perilaku selamat, dan penerapannya
secara praktis dalam proses produksi
Budaya K3 Unggul lebih berfokus kepada akar penyebab dari kecelakaan,
cara melakukan pekerjaan, dan juga perilaku manusia. Yang di mana fakta
menunjukkan, bahwa setidaknya 90% dari semua kecelakaan yang terjadi
ditempat kerja disebabkan oleh perilaku manusia. Bukan karena kerusakan
peralatan atau pun prosedur yang tidak memadai.
B. Saran
Diharapkan kepada Pembaca dan Pemimpin Perushaan dapat menerapkan
Budaya K3 dalam menurunkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja untuk
produktivitas perusahaan dan keselamatan pekerja dapat terjaga. Menerapkan 5
elemen untuk membentuk Budaya K3 yang kuat versi International Association
of Oil & Gas Producers

16
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Penerapan Budaya Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di PT Adi Satria


Abadi. http://e-journal.uajy.ac.id/11023/2/1TI06487.pdf . Di Akses 20
November 2022

Anonim. Penerapan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (Standar Laboratorium


Diploma III Kesehatan Gigi) dengan Kepuasan Kerja Mahasiswa (Faktor
Kepuasan Kerja). http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/750/5/Chapter%202.
doc.pdf Di Akses 20 November 2022

Anonim. BAB II Landasan Teori (Safety Culture)


Https://Eprints.Umm.Ac.Id/56748/52/ Bab%20ii.Pdf. Di Akses 20
November 2022

Anonim. Modul Online 6: Budaya Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3).


https://lms-paralel.esaunggul.ac.id/pluginfile.php?file =%2F78231%2Fmod
_resource%2Fcontent%2F1%2FBudaya%20keselamatan.pdf. Di Akses 20
November 2022

Nivanda, Selsanov. 2018. Penerapan Program Kesehatan dan Keselamatan Kerjapada


PT. Albisindo Timber. https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/
123456789/6558/SKRIPSI%20Selsanov%20Nivanda%2013311142.pdf?
sequence=1 . Di Akses 20 November 2022

Waliyah Azri, Fadiyanti. Pengaruh Budaya K3 terhadap Kinerja Karyawan yang


Dimediasi oleh Motivasi Kerja Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Sumbawa. http://repository.ub.ac.id/id/eprint/10746/3/BAB%20II.pdf . Di
Akses 20 November 2022

Wnputrio.com. 2019. Konsep 2E+I K3 Untuk Pencegahan Kecelakaan dan Budaya


K3 Unggul. https://www.wnputrio.com/2019/08/konsep-2ei-dan-budaya-
k3-unggul.html. Di Akses 20 November 2022

Anda mungkin juga menyukai