KUMPULAN MAKALAH
SEMINAR NASIONAL
KRITIK SASTRA
“ Kritik Sastra yang Memotivasi dan Menginspirasi”
i
Bagian I Kritik Sastra
1
KRITIK SASTRA DISKURSIF: SEBUAH REPOSISI1
Yoseph Yapi Taum2
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Pengantar
Kritik sastra Indonesia merupakan sebuah disiplin yang belum berkembang secara maksimal.
Hampir semua pakar sastra mengungkapkan kekecewaannya terhadap perkembangan teori kritik
sastra di Indonesia. Endraswara (2013) melontarkan kritikan yang pedas terhadap rendahnya kadar
keilmiahan kritik sastra kita, yang cenderung mendewakan penelitian intrinsik. Kutha Ratna (2004)
dan Faruk (2012) mengeluhkan minimnya buku-buku kritik sastra dan tidak tersedianya buku-buku
metode penelitian sastra yang meraih pengakuan yang tinggi. Dalam Musyawarah Nasional Sastrawan
3
Indonesia (Munsi) II, terlontar pandangan bahwa hasil-hasil kritik sastra kita tidak memuaskan, baik
di perguruan tinggi maupun di luarnya. Kritik sastra sepertinya tidak banyak beranjak dari kajian teks
dan konteks, tema, alur, dan latar, padahal ilmu pengetahuan dan paradigmanya sudah berkembang
pesat.
Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan stagnasi atau bahkan mundurnya dunia kritik
sastra kita. Alasan itu dapat berkaitan dengan faktor-faktor sosiologis, budaya akademik, ataupun
faktor kelemahan ilmu sastra sendiri. Dari segi ilmu sastra, khususnya bidang teori dan kritik sastra,
terlihat fakta bahwa paradigma kritik sastra belum banyak berubah sejak puluhan tahun yang lalu.
Belum ada upaya serius dari kaum akademisi sastra untuk meninjau kembali dan memetakan ulang
paradigma kritik sastra yang telah dilakukan para pakar sebelumnya, padahal paradigma itu
berpengaruh langsung terhadap pendekatan dan metode kritik sastra. Akibatnya kritik sastra kita tidak
memiliki pedoman dan arah yang perkembangan yang jelas.
Makalah ini bertujuan mengungkapkan salah satu jenis kritik sastra yang belum masuk ke
dalam skema paradigma ilmu sastra sebelumnya, yaitu Kritik Sastra Diskursif. Tujuan pokok makalah
ini adalah memberikan ruang bagi hadirnya model kritik sastra baru ke dalam skema yang lama, yang
mudah-mudahan akan menggairahkan dunia kritik sastra Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan sebuah
reposisi terhadap paradigma dan pendekatan kritik sastra. Tulisan ini secara berturut-turut akan
membahas mengenai: (1) paradigma kritik sastra, (2) reposisi paradigma Abrams, (3) pendekatan
diskursif, (4) aspek ontologies kritik sastra diskursif, (5) aspek epistemologis kritik sastra diskursif,
dan (6) kesimpulan.
2
Paradigma Renne Wellek dan Austin Warren, Paradigma Ronald Tanaka, dan Paradigma M. H.
Abrams. Oleh karena cara pandang yang dipilih berimplikasi kuat pada corak pendekatan dalam
penelitian yang dilakukan, seperti jenis persoalan empiris dan rekonstruksi teori yang digunakan,
maka beberapa konsep dasar dari ketiga paradigma tersebut perlu diketahui.
Renne Wellek dan Austin Warren dikenal sebagai kaum strukturalis yang memetakan kritik
sastra atas dua pendekatan, yakni pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Jika dipetakan,
pendekatan kedua tokoh ini dapat digambarkan dalam Skema 1 berikut ini.
Skema 1:
Paradigma Wellek dan Warren
Paradigma ketiga dikemukakan oleh M. H. Abrams. Abrams membagi kritik sastra atas empat
jenis pendekatan, yaitu pendekatan objektif, pendekatan ekspresif, pendekatan mimetik, dan
pendekatan pragmatik. Paradigma M. H. Abrams digambarkan dalam Skema 3 berikut ini.
Dari skema tersebut, Abrams memperkenalkan empat model pendekatan sastra atau teori yang
bersifat aksiomatis. Keempat pendekatan itu adalah: (1) pendekatan ekspresif adalah
3
pendekatan yang menitikberatkan penulis; (2) pendekatan mimetik adalah pendekatan yang
menitikberatkan semesta; (3) pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang menitikberatkan
pembaca, dan (4) pendekatan objektif adalah pendekatan yang menitikberatkan karya itu sendiri.
Sampai saat ini, ketiga paradigma kritik sastra ini masih digunakan di dalam penelitian sastra.
Akan tetapi, perkembangan baru di dunia ilmu pengetahuan, khususnya menyangkut aspek ontologi
(hakikat objek), epistemologi (proses dan cara mengetahui), dan aksiologi (teori nilai atau manfaat)
sudah berubah pesat. Perubahan yang pesat ini belum dapat diakomodasi oleh ketiga paradigma kritik
sastra tersebut.
Perubahan pesat ilmu pengetahuan yang dimaksudkan di sini adalah menjamurnya teori-teori
postmodernisme dan cultural studies yang memiliki perspektif yang amat berbeda dalam memandang
hakikat objek, cara memahami objek, dan kegunaannya bagi kehidupan manusia. Kritik sastra, yang
secara hakiki merupakan cara memahami dan memaknai karya sastra, seharusnya mampu mengadopsi
perkembangan baru ini. Pertanyaannya adalah bagaimana menempatkan kritik baru ini ke dalam salah
satu paradigma lama tersebut? Apa letak kebaruannya? Bagaimana pendekatan dan metode yang
dapat diterapkan dalam kritik sastra yang baru itu?
Sebagaimana tampak di dalam Skema 4 di atas, ada dua pendekatan yang perlu ditambahkan
ke dalam skema Abrams, yaitu pendekatan eklektik dan pendekatan diskursif. Pendekatan
Eklektikadalah pendekatan yang menggabungkan secara selektif beberapa pendekatan untuk
4
memahami sebuah fenomena.Pendekatan Diskursif adalah pendekatan yang menitikberatkan pada
diskursus (wacana sastra) sebagai sebuah praktik diskursif.
Pendekatan Diskursif
Istilah ―diskursif‖ yang digunakan di sini mengacu pada pengertian ―wacana‖ (discourse)
seperti yang didefinisikan oleh Michel Foucault. Diskursus merupakan konsep terpenting dalam
pemikiran Foucault. Diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang
menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik
pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini. Foucault
mengatakan bahwa wacana dikonstruksi oleh bentuk diskursif atau episteme(Taum, 2015).
Untuk memahami pengertian diskursif, perlu dipahami terlebih dahulu pandangan mengenai
‗bahasa‘. Bahasa, menurut Foucault, bukanlah medium yang transparan, bukan pula pencerminan dari
kenyataan. Bahasa adalah alat yang dipergunakan episteme, guna mengatur dan menyusun kenyataan,
sesuai dengan tabiat episteme itu sendiri. Foucault melihat bahwa bahasa dan episteme tidak pasif
melainkan aktif. Keduanya berusaha untuk mengubah atau menguasai kenyataan. Inilah yang disebut
praktik diskursif (Taum, 2014). Contoh, praktik diskursif tentang tubuh perempuan ideal, kegilaan,
homoseksualitas, dll yang jika dicermati penuh dengan permainan kekuasaan yang teregulasi dan
ternormalisasi sebagai mekanisme untuk menstandarisasi sebuah pemaknaan agar menjadi kebiasaan
atau konvensi. Bagaimana permainan kekuasaan ‗ilmu kedokteran‘ yang teregulasi untuk memberi
label ‗gila‘ kepada seseorang dan pelabelan itu dianggap ‗benar‘.
Kritik Sastra Diskursif memiliki berbagai macam metode maupun acuan teori. Beberapa
metode dan acuan teori yang seringkali digunakan di dalam kritik sastra diskursif diambil dari teori-
teori yang umum dikenal sebagai teori Poststrukturalis. Teori-teori berikut ini sangat populer di dalam
kajian poststrukturalisme, yang dapat diterapkan di dalam kritik sastra diskursif (Haryatmoko, 2016).
Pierre Bourdieu mengemukakan teori mengenai strukturasi, habitus dan capital dalam strategi
kekuasaan. Jean Baudrilard mengarahkan perhatian kita pada fenomena masyarakat konsumeris,
manipulasi tanda, dan hiperrealitas. Gilles Deleuze memaparkan teori untuk membongkar hasrat
manusia yang berbeda dari pandangan psikoanalisis. Michel Foucault menerangkan mekanisme
kekuasaan dan perlawanannya. Jacques Derrida melakukan dekonstruksi teks untuk membongkar
rezim kepastian. Kajian sastra dapat menerapkan teori-teori mereka untuk meneliti berbagai fenomena
yang dipandang sebagai bagian dari praktik diskursif, yang juga terepresentasi di dalam teks-teks
sastra.
4
Perkembangan akademis di bidang disiplin ilmu sejarah yang paralel antara gerakan new historicism adalah gerakan new
cultural historian, yang mendobrak dikotomi antara fiksi dan fakta. Apa yang dianggap sebagai fakta di masa lampau
merupakan hasil ingatan, seleksi, dan interpretasi yang dibuat berdasarkan kepentingan atau ideologi tertentu (lihat Budianta,
2006: 4).
5
melihat interdiskursivitas berbagai produk budaya, seperti teks sastra dan pidato politik, buku harian,
praktek ilmu santet, ritual agama, buku etiket perilaku, dan resep masakan untuk melihat keterpautan
ataupun perbedaan posisi ideologisnya dalam suatu tatanan budaya yang ada(Brannigan, 1998: 2-3).
Sastra, menurut perspektif yang ditawarkan oleh kritik sastra diskursif, tak bisa dilepaskan
dari praksis-praksis sosial, ekonomi, dan politik pada sebuah periode yang sama karena sastra menjadi
bagian di dalamnya. Kritik sastra diskursif merupakan salah satu kritik dan teori sastra yang
beranggapan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipertimbangkan sebagai sebuah produk zaman,
tempat, dan lingkungan penciptaannya, dan bukan sebagai sebuah karya genius yang terisolasi.
Greenblatt(2005: 6-7) dalam ―The Touch of the Real‖ menegaskan bahwa dunia yang digambarkan
dalam karya sastra bukanlah sebuah dunia alternatif melainkan sebuah cara mengintensifkan dunia
5
tunggal (single realm) yang kita huni ini. Hal ini demikian karena sastra berkaitan erat dengan
jaringan praktik material. Perspektif baru yang ditawarkan kritik sastra diskursif adalah penekanan
pada keterkaitan antara teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang
melingkupinya. Dalam mengkaji jaringan-jaringan tersebut, kritik sastra diskursif menekankan
dimensi politis-ideologis produk-produk budaya.
5
Dalam kata-kata Stephen Greenblatt (2005: 6-7) sendiri, ―Such a statement appears to welcome the collapse of the working
distinction between the aesthetic and the real; the aesthetic is not an alternative realm but a way of intensifying the single
realm we all inhabit.
6
Dalam sebuah seminar di mana saya menjadi salah satu pembicara, seorang pakar linguistik tanpa ragu-ragu mengatakan
bahwa hasil penelitian sastra bersifat spekulatif karena tidak didasarkan pada metode yang dapat dirunut secara objektif.
Sekalipun penilaian itu dapat dibantah dengan contoh-contoh, adalah lebih produktif jika persoalan metode penelitian sastra
ditinjau kembali dan dibenahi.
6
(termasuk teks sastra) terkait erat dengan jaringan praksis budaya yang bersifat material.Oleh karena
itu, penelitian terhadap teks-teks sastra dan teks-teks nonsastra tidak terpisahkan.Di dalam pendekatan
kritik diskursif, ada anggapan bahwa tidak ada wacana apapun, baik fiksi maupun faktual, yang
memberi akses pada kebenaran mutlak dan tidak dapat berubah ataupun mengekspresikan hakikat
kemanusiaan tanpa alternatif lain.
Teks-teks sastra dan nonsastra memiliki keterkaitan erat yang dikenal dengan istilah
interdiskursivitas. Foucault sendiri tidak menggunakan istilah ‗interdiscursivity‘ melainkan istilah
‗interconnectivity‘ (Foucault, 1972: 72). Akan tetapi, istilah yang dikembangkan oleh kaum linguistik
7
ini seringkali dikatakan sebagai salah satu model kajian Foucauldian. Dalam semua kajian Foucault,
relasi dan hubungan antara berbagai diskursus dan relasi kekuasaan menjadi kata kunci terpenting.
Istilah interdiskursivitas berhubungan dengan istilah interconnectivitydalam formasi-formasi
diskursif, bukan untuk mendeskripsikan detail domain diskursif melainkan untuk menemukan
regularitas-regularitas praktik-praktik diskursif.
Mengingat adanya kaitan interdiskursitas itu, kajian new historicism –yang merupakan salah
satu pendekatan utama kritik diskursif-- mengembangkan metode pembacaan paralel (parallel
reading) antara teks-teks sastra dan teks-teks nonsastra, biasanya dalam sebuah periode historis yang
sama. New historicism menolak otonomi (privilege) teks sastra (Barry, 2002: 171). Baik teks sastra
maupun teks-teks nonsastra senantiasa saling memberi informasi dan diberi bobot yang sama (equal
weighting) karena sama-sama dianggap sebagai komponen yang fungsional dalam konstruksi
bangunan sosial dan politik (Brannigan, 1998: 3).
Pembacaan paralel ini didasarkan pula pada pemikiran Louis A. Montrose (dalam Vesser,
1989: 20) tentang kombinasi perhatian yang ditujukan paralel terhadap ‗tekstualitas sejarah‖ (the
textuality of history) dan ―kesejarahan teks‘ (the historicity of texts). Menurut Montrose (Vesser, 1989:
20) setiap teks memiliki sejarahnya sendiri yang disebutnya sebagai the historicity of texts.Semua cara
penulisan (modes of writing) selalu memiliki spesifikasi kultural dan keterkaitan dengan aspek-aspek
sosialnya. Sementara itu, teks-teks sejarah sesungguhnya dibangun melalui jejak-jejak tekstual yang
disebutnya the textuality of history. Yang dia maksud dengan ‗tekstualitas sejarah‘ adalah: (a) bahwa
kita tidak memiliki akses yang penuh pada masa lampau yang otentik, sebuah keberadaan material
yang hidup tanpa dimediasi oleh jejak-jejak tekstual yang masih hidup dari masyarakat yang
bersangkutan ---jejak-jejak tekstual yang masih hidup dipandang sebagai konsekuensi parsial dari
proses sosial yang kompleks dan subtil; dan (b) bahwa jejak-jejak tekstual itu adalah subjek bagi
mediasi selanjutnya ketika ―diterjemahkan‖ atau dimaknai sebagai ―dokumen‖ yang oleh para
sejarawan dianggap sebagai ―sejarah‖. Karena itulah, kaitan antara sastra dan sejarah bukanlah studi
teks (sastra) dan konteks (sejarah), bukan pula studi sastra dan sejarahnya, melainkan studi sastra di
dalam sejarah (literature in history) (Brannigan, 1998: 3).
Kesimpulan
Sebenarnya rekonstrusksi atas aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi dalam karya sastra
sudah lama dikenal dalam pendekatan sosiologi sastra. Perbedaannya dengan kritik sastra diskursif
adalah sosiologi sastra, yang menerapkan konsep-konsep sosiologis atas karya sastra, masih dilandasi
pada perbedaan atas apa yang dianggap ada di luar karya sastra (seperti pengarang, penerbit, pembaca
dalam konteks sosiologisnya) dan apa yang dianggap ada di dalam karya (membahas aspek sosiologis
dalam karya sastra) (Budianta, 2006, Taum, 2015). Selain itu, ada pula pembedaan hirarkis yang
membedakan teks-teks sastra –yang dianggap sebagai mutiara yang lebih bernilai dan—dan teks-teks
nonsastra yang dianggap sekadar ‗latar belakang‘ historis yang berperan hanya sebagai setting dan
dengan demikian memiliki nilai yang lebih rendah (Barry, 2002: 174). Kritik sastra diskursif justru
memberikan perhatian pada keterkaitan unsur-unsur dalam teks dengan kekuatan sosial yang
7
Wu (2011: 97) secara jelas membedakan istilah interdiskursivitas dengan intertekstualitas. Intertekstualitas, menurut Julia
Kristeva (Wu, 2011: 99), dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu intertekstualitas yang manifest (yakni interteks yang secara
eksplisit menghadirkan teks-teks lain melalui teknik-teknik representasi wacana, presuposisi, negosiasi, metawacana, dan
ironi) dan intertekstualitas yang konstitutif (yakni interteks yang menggabungkan konfigurasi konvensi wacana seperti
genre, jenis-jenis aktivitas, dan gaya yang dikaitkan dengan jenis-jenis wacana yang lain. Fairclough menciptakan istilah
interdiskursivitas untuk menggantikan jenis intertekstualitas konstitutif.
7
membentuknya, dan kaitan interdiskursivitas dengan teks-teks nonsastra yang diproduksi pada masa
yang sama.
Paparan di atas menunjukkan secara jelas bahwa salah satu kelemahan pokok ilmu sastra,
khususnya yang berkaitan dengan penelitian (kritik sastra) adalah belum adanya reposisi paradigma
dasn pendekatan kritik sastra yang jelas. Akibatnya, kemajuan di dalam ilmu pengetahuan, terutama
yang berkaitan dengan pemaknaan teks dan fenomena-fenomena sosial, tidak banyak berpengaruh ke
dalam dunia kritik sastra. Kritik sastra Indonesia pun tidak memiliki arah dan pedoman penelitian
yang jelas.
Hasil reposisi kritik sastra memperlihatkan bahwa kritik sastra paradigma M. H. Abrams
menghasilkan enam pendekatan kritik sastra, yaitu: kritik sastra objektif, pragmatik, ekspresif,
mimetik, eklektik, dan diskursif. Kritik sastra diskursif menganggap teks sastra merupakan bagian
dari praktik diskursif. Teori-teori kaum poststrukturalis, seperti Pierre Bourdieu, Jean Baudrilard,
Gilles Deleuze, Michel Foucault, Jacques Derrida, dan lain-lain dapat dimanfaatkan untuk meneliti
berbagai fenomena yang dipandang sebagai bagian dari praktik diskursif.Metode-metode yang dapat
digunakan di dalam penelitian sastra mencakup metode interdisipliner atau transdisipliner, antara lain:
metode pembacaan parallel, metode arkeologi, metode genealogi, dan metode thick description.
Berdasarkan hasil reposisi atas paradigma kritik sastra seperti dikemukakan di atas, penelitian
sastra dapat tetap menggunakan paradigma Abrams (yang diperluas). Di dalam paradigma tersebut,
terdapat dua pendekatan baru, yaitu pendekatan eklektik dan pendekatan diskursif. Dalam pendekatan
kritik sastra diskursif, para peneliti dapat menggunakan teori-teori kaum poststrukturalis yang
memandang kehadiran sastra sebagai bagian dari praktik diskursif. Peneliti diharapkan untuk mampu
merumuskan pertanyaan-pertanyaan elementer yang dipandu wawasan teoretis kaum poststrukturalis,
merumuskan metode kritik sastra yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut, dan menerangkan langkah-langkah penelitiannya secara sistematis dan teratur. Dengan
perspektif tersebut, kritik sastra kita akan memperoleh hasil yang bermutu, yang memberikan
penjelasan sosiologis yang penting bagi masyarakat di dalam memahami praktik-praktik diskursif
yang sedang berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H., 1958. ―Orientations of Critical Theories‖ dalam The Mirror and the Lamp.
New York: The Norton Library.
Barry, Peter, 2002. Beginning Theory: An Introduction to Literary and Cultural Theory.
Manchester and New York: Manchester University Press.
Belsey, Catherine, 2003. ―Literature, History, Politics‖ dalam Contexts for Criticism
(Fourth Edition) in Donald Keesey (ed.). Boston: McGraw Hill.
Brannigan, John, 1998. New Historicism and Cultural Materialism. New York: St.Martin‘s
Press.
Budianta, Melani, 2005. ―Teori Sastra Sesudah Strukturalisme: Dari Studi Teks ke Studi
Wacana Budaya.‖ Makalah untuk Pelatihan Kritik Sastra Poskolonial 12-13 Desember
2005 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Budianta, Melani, 2006. ―Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam Perkembangan
Kritik Sastra‖ dalam Susastra: Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya. Jakarta: Himpunan
Sarjana-Kesusastraan Indonesia dan Yayasan Obor.
Endraswara, Suwardi, 2013. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service.
Faruk, 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Greenblatt, Stephen, 1989.‖Towards a Poetics of Culture‖ dalam The New Historicism (H.
Aram Veeser, Ed). New York and London: Routledge.
Haryatmoko, Yohanes, 2016. Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritik Post-strukturalis.
Yogyakarta: Kanisius.
Kutha Ratna, Nyoman, 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme
hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
8
Lefevere, Andre. 1977. Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic Essay on Its Nature,
Growth, Relevance, and Transmission. Assen/Amsterdam: Van Gorcum.
Montrose, Louis A., 1989. ―Professing the Renaissance: The Poetics and Politics of Culture‖
dalam The New Historicism (H. Aram Veeser, ed). New York and London: Routledge.
Tanaka, Ronald, 1976. System Models For Literary Macro-theory. Lisse: The Petter-
de Ridder Press
Taum, Yoseph Yapi, 2014. ―Bahasa, Wacana, dan Kekuasaan dalam Konstruksi G30s‖
dalam Proceedings International Seminar Language Maintenance and Shift IV,
November 18, 2014. Semarang: Master Program Diponegoro University.
Taum, Yoseph Yapi, 2014. Sastra dan Politik: Representasi Tragedi 1965 dalam Negara Orde
Baru. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan(Diterjemahkan oleh Melani Budianta).
Jakarta: Gramedia.
Wu, Jianguo, 2011. ―Understanding Interdiscursivity: A Pragmatic Model‖ dalam Journal of
Cambridge Studies Vol 6 No. 2-3 2011.