Oleh :
Disusun oleh:
Nama : Asa Suryanisa
NIM : B1A020021
Kelompok :2
Rombomgan : A1
Asisten : Alessandra Aprilia Agatha
A. Latar Belakang
Enzim atau biokatalisator adalah katalisator organik yang dihasilkan oleh sel. Enzim
sangat penting dalam kehidupan, karena semua reaksi metabolisme dikatalis oleh enzim.
Jika tidak ada enzim, atau aktivitas enzim terganggu maka reaksi metabolisme sel akan
terhambat hingga pertumbuhan sel juga terganggu. Reaksi-reaksi enzimatik dibutuhkan agar
bakteri dapat memperoleh makanan/nutrient dalam keadaan terlarut yang dapat diserap ke
dalam sel, memperoleh energi kimia yang digunakan untuk biosintesis, perkembangbiakan,
pergerakan, dan lain-lain. Pada Enzim amilase dapat memecah ikatan pada amilum hingga
terbentuk maltosa. Ada tiga macam enzim amilase, yaitu α amilase, β amilase dan γ amilase.
Yang terdapat dalam saliva (ludah) dan pankreas adalah α amilase. Enzim ini memecah
ikatan 1-4 yang terdapat dalam amilum dan disebut endo amilase sebab enzim ini bagian
dalam atau bagian tengah molekul amilum. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan
reaksi enzim adalah perubahan suhu dan pH mempunyai pengaruh besar terhadap kerja
enzim. Kecepatan reaksi enzim juga dipengaruhi oleh konsentrasi enzim dan konsentrasi
substrat. Pengaruh aktivator, inhibitor, koenzim dan konsentrasi elektrolit dalam beberapa
keadaan juga merupakan faktor-faktor yang penting (Ruddin, 2010).
Pengaruh suhu. Suhu rendah mendekati titik beku tidak merusak enzim, namun
enzim tidak dapat bekerja. Dengan kenaikan suhu lingkungan, enzim mulai bekerja sebagian
dan mencapai suhu maksimum pada suhu tertentu. Bila suhu ditingkatkan terus, jumlah
enzim yang aktif akan berkurang karena mengalami denaturasi. Kecepatan reaksi enzimatik
mencapai puncaknya pada suhu optimum. Enzim dalam tubuh manusia mempunyai suhu
optimum sekitar 37° C. Sebagian besar enzim menjadi tidak aktif pada pemanasan sampai ±
60° C, karena terjadi denaturasi. Pengaruh Ph. Enzim bekerja pada kisaran pH tertentu. Jika
dilakukan pengukuran aktivitas enzim pada beberapa macam pH yang berlainan, sebagian
besar enzim di dalam tubuh akan menunjukkan aktivitas maksimum antara pH 5,0 sampai
9,0. Kecepatan reaksi enzimatik mencapai puncaknya pada pH optimum. Ada enzim yang
mempunyai pH optimum yang sangat rendah, seperti pepsin, yang mempunyai pH optimum
2. pada pH yang jauh di luar pH optimum, enzim akan terdenaturasi. Selain itu pada keaadan
ini baik enzim maupun substrat dapat mengalami perubahan muatan listrik yang
mengakibatkan enzim tidak dapat berikatan dengan substrat (Soewoto, Hafiz, 2000).
Suhu campuran reaksi juga berpengaruh terhadap laju reaksi enzimatik. Jika reaksi tersebut
dilangsungkan dalam berbagai suhu, kurva hubungan tersebut akan menunjukkan suhu
tertentu, yang menghasilkan laju reaksi yang maksimum. Dengan demikian, dalam hal ini
juga ada kondisi optimum yang disebut sebagai suhu optimum. Makin besar perbedaan suhu
reaksi dengan suhu optimum, makin rendah pula laju reaksinya. Akan tetapi, keadaan yang
menyebabkan rendahnya suhu di luar suhu optimum berbeda antara suhu yang lebih rendah
dengan suhu yang lebih tinggi. Pada suhu yang lebih rendah penyebab kurangnya laju reaksi
enzimatik yaitu kurangnya gerak termodinamik, yang menyebabkan kurangnya tumbukan
antara molekul enzim dengan substrat. Jika kontak antara kedua jenis molekul itu tidak
terjadi, kompleks ES tidak terbentuk. Padahal kompleks ini sangat penting untuk mengolah
S menjadi P. Oleh karena itu, makin rendah suhu, gerak termodinamik tersebut akan
makin berkurang. Pada daerah suhu yang lebih tinggi gerak termodinamik akan lebih
meningkat, sehingga tumbukan antara molekul akan lebih sering. Akan tetapi laju reaksi
tidak terus meningkat, melainkan malah menurun dengan cara yang lebih kurang sebanding
dengan selisih nilai dan suhu optimum. Dalam peningkatan suhu ini, selain gerak
termodinamik meningkat, molekul protein enzim juga mengalami denaturasi, sehingga
bangun tiga dimensinya berubah secara bertahap. Jika suhu jauh lebih tinggi dari suhu
optimum, maka makin besar deformasi struktur tiga dimensi tersebut dan makin sukar bagi
substrat untuk menempati secara tepat di bagian aktif molekul enzim. Akibatnya, kompleks
E-S akan sukar terbentuk, sehingga produk juga makin sedikit. Pada sisi A dari kurva
terdapat hubungan tertentu antara kenaikan suhu dengan laju reaksi. Arrhenius secara
empiris telah mengembangkan suatu rumusan umum antara laju suatu reaksi kimia dengan
suhu mutlak system reaksi tersebut (Sadikin, 2002).
Cara kerja enzim ada dua yaitu pertama Teori Gembok. Sisi aktif enzim mempunyai
bentuk tertentu yang hanya sesuai untuk satu jenis substrat saja.Bentuk substrat sesuai
dengan sisi aktif, seperti gembok cocok dengan anak kuncinya.Hal itu menyebabkan enzim
bekerja secara spesifik. Substrat yang mempunyai bentuk ruang yang sesuai dengan sisi aktif
enzim akan berikatan dan membentuk kompleks transisi enzim-substrat. Senyawa transisi
ini tidak stabil sehingga pembentukan produk berlangsung dengan sendirinya. Jika enzim
mengalami denaturasi (rusak) karena panas, bentuk sisi aktif berubah sehingga substrat tidak
sesuai lagi. Perubahan pH juga mempunyai pengaruh yang sama. Kedua, Teori Induced Fit.
Reaksi antara substrat denan enzim berlangsung karena adanya induksi molekul substrat
terhadap molekul enzim.Menurut teori ini, sisi aktif enzim bersifat fleksibel dalam
menyesuaikan struktur sesuai dengan struktur substrat. Ketika substrat akan terinduksi dan
kemudian mengubah bentuknya sedikit sehingga mengakibatkan perubahan sisi aktif yang
semula tidak cocok menjadi cocok (fit). Kemidian terjadi pengikatan substrat oleh enzim,
yang selanjutnya substrat diubah menjadi produk.Produk kemudian dilepaskan dan enzim
kembali pada keadaan semula, siap untuk mengikat substrat baru (Lehninger AL., 1982).
Denaturasi Protein adalah proses perubahan struktur lengkap dan karakteristik
bentuk protein akibat dari gangguan interaksi sekunder, tersier, dan kuaterner struktural.
Karena fungsi biokimia protein tergantung pada tiga dimensi bentuknya atau susunan
senyawa yang terdapat pada asam amino. Hasil denaturasi adalah hilangnya aktivitas
biokimia yang terjadi didalam senyawa protein itu sendiri. Denaturasi protein juga tidak
mempengaruhi kandungan struktur utama protein yaitu C, H, O, dan N. Meskipun beberapa
protein mengalami kemungkinan untuk kehilangan kandungan senyawa mereka
karakteristik struktural saat Denaturasi. Namun, kebanyakan protein tidak akan mengalami
hal tersebut, hanya saja tidak menutup kemungkinan juga protein akan berubah struktur kecil
didalamnya saat proses denaturasi terjadi. Bagaimanapun, untuk perubahan denaturasi
secara umum, prosesnya sama dan tidak dapat diubah (Tjitrosoepomo, 2010).
Panas dapat digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik
non polar. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan
menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat sehingga
mengacaukan ikatan molekul tersebut. Protein telur mengalami denaturasi dan terkoagulasi
selama pemasakan. Beberapa makanan dimasak untuk mendenaturasi protein yang
dikandung supaya memudahkan enzim pencernaan dalam mencerna protein tersebut.
Pemanasan akan membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat
airnya menurun. Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya
interaksi non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan ikatan
kovalennya yang berupa ikatan peptida. Proses ini biasanya berlangsung pada kisaran suhu
yang sempit (Lakitan, 2007).
B. Tujuan
Alat yang digunakan pada praktikum pengaruh lingkungan terhadap enzim adalah 2
gelas kaca, 2 gelas stainless, stopwatch, kompor, panci, dan sendok.
Bahan yang digunakan pada praktikum pengaruh lingkungan terhadap enzim adalah
4 putih telur, air, dan asam cuka.
B. Metode
1. Cara kerja (Pengaruh pH)
A. Hasil
1. Pengaruh pH
Menggumpal
Menggumpal
Keterangan :
1: Asam cuka 1 sendok teh, air 2 sendok teh
II: Asam cuka 2 sendok teh, air 2 sendok teh
2. Pengaruh Suhu
Table 3.2. Tabel Pengamatan Pengaruh Suhu
Gelas Waktu (detik) Kondisi Sifat Reaksi
Keterangan:
I : Gelas di dalam air yang sedang mendidih
II : Gelas di dalam yang didiamkan 10 menit setelah mendidih
B. Pembahasan
Protein merupakan bagian utama dari struktur setiap enzim, dan banyak
enzim yang hanya protein saja. Protein terdiri dari salah satu atau lebih rantai
polipeptida yang masing-masing terdiri dari ratusan asam amino. Kompleks enzim
substrat dan struktur tiga dimensi protein menunjukkan bahwa jika struktur enzim
berubah sehingga substrat tidak dapat lagi terikat dengannya, maka aktivitas
katalitisnya hilang (Frederick, William H. , Brown, et al., 2010).
Suhu juga berpengaruh pada suatu enzim. Kecepatan reaksi enzimatik dapat
dipercepat dengan naiknya suhu sampai mendekati 30o. Pada temperatur yang tinggi,
enzim akan rusak karena denaturasi dari protein enzim. Akibat rusaknya enzim, maka
kecepatan reaksi akan menurun. Temperatur optimum untuk enzim adalah 30-40 oC,
enzim lebih tahan apabila tersimpan dalam keadaan kering dan dingin (Linayanti,
1988). Hasil pengamatan uji koagulasi (pemanasan putih telur) didapat bahwa pada
percobaan dua gelas masing-masing diisi 5 ml putih telur dan kemudian dipanaskan
akan mengaiami penggumpalan. Pada perlakuan gelas pertama gelas yang sebelum
perlakuan putih telur tetap dan pada saat di masukkan ke dalam air mendidih pada
waktu 13 detik kondisi putih telur terjadi koagulasi atau menggumpal yang sifat
reaksinya irreversible. Pada perlakuan kedua saat sebelum di lakukan percobaan
putih telur biasa berwarna bening dan kekuningan setelah di lakukan pemanasan
dengan waktu 83 menit didiamkan putih telur tidak menggumpal dan sifat reaksinya
irreversible. Hal tersebut sesuai dengan pengertian koagulasi yaitu penggumpalan
protein karena suhu tinggi atau merupakan denaturasi protein yang sempurna. Enzim
yang dipanaskan pada suhu lebih dari 50oC maka enzim akan terdenaturasi.
Denaturasi akibat suhu tinggi biasanya irreversible karena gaya ikatan-ikatan lemah
yang merusak, akibat meningkatnya getaran termal komponen atom-atomnya. Hal
ini merupakan sesuatu fenomena yang merusak struktur tiga dimensi protein enzim
(Gilindra, 1993).
Hasil kedua percobaan diatas menunjukkan terjadinya denaturasi. Denaturasi
dapat diartikan sebuah perubahan atau modifikasi terhadap perubahan sekunder,
tersier, dan kuartener terhadap molekul protein, tanapa terjadinya pemecahan ikatan-
ikatan kovalen (Winarno, 1997). Setelah terjadi denaturasi yaitu ikatan di sulfida
yang ada terputus sehingga terjadinya penggumpalan. Jika penggumpalan terjadi,
maka molekul-molekul protein telah kehilangan sifat-sifatnya yang semula dan sifat
itu tidak akan kembali serta segala aktivitas enzim telah berhenti total. Denaturasi
memiliki arti hilangnya sifat-sifat asli. Proses denaturasi dapat dipercepat dengan
meningkatkan suhu, dengan meningkatkan konsentrasi ion hidrogen (jika medianya
asam), dengan meningkatkan konsentrasi ion hidroksil (jika medianya basa) serta
menggunakan alkohol atau asam cuka (Alwi, Hi Muhammad and Bisi, 2018).
Penambahan air dan asam cuka 1 sendok teh dan 2 sendok teh pada putih
telur terjadi penggumpalan ,sehingga tidak terdapat bidang pisah antara keduanya.
Denaturasi pada putih telur dapat dilihat karena adanya gumpalan dan penarikan air
dalam putih telur. Hal ini sesuai dengan referensi menurut (Sugiyono., 1989), protein
dapat terdenaturasi yang ditandai dengan membentuk gumpalan dan larutannya
menjadi keruh. Denaturasi yang diawali dengan proses koagulasi. Denaturasi akibat
panas menyebabkan molekul-molekul yang menyusun protein bergerak dengan
sangat cepat. Selain oleh panas, asam dan basa juga dapat membuat protein
terdenaturasi. Pada cuka terbentuk butiran-butiran pada kunig telur dan putih telur.
Seperti telah diketahui bahwa protein dapat membentuk struktur zwitter ion. Protein
juga memiliki titik isoelektrik dimana jumlah muatan positif dan muatan negatif pada
protein adalah sama. Percobaan pengaruh pH dengan menggunakan putih telur, air,
dan asam cuka memiliki sifat denaturasi irreversible. Hal ini sesuai dengan referensi
menurut (Dwidjoseputro, D., 1978) menyatakan bahwa molekul-molekul protein
yang telah kehilangan sifat-sifat yang semula, tidak mungkin mendapatkan sifat itu
kembali. Hal ini dapat dilihat dari hasil percobaan yang telah dilakukan dimana
protein putih telur yang telah terdenaturasi oleh asam cuka tidak dapat balik ke
semula (irreversible).
penambahan asam cuka terjadi penarikan molekul air dari putih telur sehingga
protein pada putih telur menjadi rusak dan menggumpal. Selain itu juga terjadi
perubahan warna pada putih telur, warnanya menjadi lebih keruh dari sebelumnya.
Artinya dengan penambahan asam cuka pada putih telur maka akan terjadi denaturasi
yang terjadi akibat adanya perubahan pH. Peristiwa flokulasi terjadi karena rusaknya
enzim oleh zat kimia. Pemanasan pada putih telur terjadi peristiwa koagulasi yaitu
penggumpalan protein karena suhu tinggi atau merupakan denaturasi protein yang
Alwi, D., Hi Muhammad, S. and Bisi, S., 2018. Inventarisasi organisme avertebrata
terumbu karang di perairan Tanjung Dehegila Kabupaten Pulau Morotai. Jurnal Ilmu
Kelautan Kepulauan. 1(1), pp. 71–83. doi: 10.33387/jikk.v1i1.683.
Dwidjoseputro, D., 1978. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta : PT. Gramedia.
Frederick, William H. , Brown, et al., 2010. Introduction to General, Organic, and
Biochemistry. Canada : Nelson Education.
Gilindra, A., 1993. Biokimia 1. Gramedia : Jakarta.
Hamid, A., 2001. Biokimia Metabolisme Biomolekul. Jakarta: Penerbit Alfabeta.
Lakitan, B., 2007. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lehninger AL., 1982. Dasar – Dasar Biokimia Jilid I. Maggy Thenawijaya, penerjemah.
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry.
Linayanti, D., 1988. Biokimia Umum 1. Erlangga : Jakarta.
Ruddin, C., 2010. Laporan Praktikum Biokimia II Percobaan II Enzim.
Jayapura:Universitas Cendrawasih.
Sadikin, M., 2002. Biokimia Enzim. Jakarta : Widya Medika.
Salisbury, F. & C. R., 1995. Fisiologi Tumbuhan. Bandung : ITB.
Soewoto, Hafiz, dkk., 2000. Biokimia Eksperimen Laboratorium. Jakarta: Widya Medika.
Sugiyono., 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor : IPB.
Tjitrosoepomo, H. S., 2010. Botani Umum. UGM Press. Yogyakarta.
Winarno, F. G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi’, Gramedia : Jakarta.