Oleh :
A. Latar Belakang
B. Latar Belakang
Penyebab angka kesakitan dan kematian anak terbanyak saat ini masih
diakibatkan oleh gizi buruk, pneumonia dan diare. Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab dari kematian pada balita di negara
berkembang. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien
pada sarana kesehatan. Menurut WHO, kriteria untuk menentukan bahwa
kematian pneumonia pada balita masih merupakan masalah di suatu wilayah atau
negara adalah apabila angka kematian balita berada di atas 20% (Maryunani,
2010). Sebagian besar penderita ISPA perlu masuk rumah sakit karena
penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi
dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa. ISPA
masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian
bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi
(Maryunani, 2010).
ISPA lebih banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan negara
maju dengan persentase masing-masing sebesar 25%-30% dan 10%-15%.
Kematian balita akibat ISPA di Asia Tenggara sebanyak 2,1 juta balita pada tahun
2007(WHO 2007). Penyakit ISPA di Indonesia masih menempati urutan pertama
penyebab kematian di Indonesia. Pada tahun 2014 kasus ISPA pada balita tercatat
sebesar 657.490 kasus (29,47%). Proporsi kematian Balita yang disebabkan oleh
ISPA mencakup 20% -30% dari seluruh kematian anak Balita. ISPA juga
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien pada sarana kesehatan.
Sebanyak 40% -60% kunjungan berobat di Puskesmas dan sebanyak 15% -30 %
kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit disebabkan
oleh ISPA (Makna, 2014). Prevalensi ISPA di Kota Malang cukup tinggi,
termasuk 10 besar penyakit di Puskesmas. Penemuan penderita ISPA balita di
Kota Malang pada tahun 2012 sebanyak 30.387 ISPA bukan Pneumonia dan 1349
ISPA Pneumonia. ISPA mengakibatkan sekitar 20%-30% kematian anak balita
dan diperkirakan 10%-20% per tahun balita yang meninggal karena pneumonia,
yang merupakan infeksi lanjut dari ISPA (Makna, 2014).
Penyakit ISPA yang tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan yang
baik dapat menimbulkan pneumonia yang berlanjut pada kematian karena adanya
sepsis yang meluas Oleh karena itu, diperlukan adanya pembahasan yang
mengulas tentang ISPA termasuk upaya pencegahan dan penanganannya.
Sehingga, penulis membuat asuhan kebidanan kepada balita dengan ISPA di Poli
KIA Puskesmas Ardimulyo Singosari.
C. Tujuan Penyuluhan :
1. Tujuan Umum
Klien dapat mengetahui ISPA pada balita..
2. Tujuan Khusus
a. Klien mampu menjelaskan ISPA pada balita.
b. Klien mampu menjelaskan tanda- tanda ISPA pada balita..
c. Klien mampu menjelaskan pencegahan ISPA pada balita..
D. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mendapatkan penyuluhan ini, diharapkan ibu dapat mengetahui
perawatan bayi baru lahir dan mengenali tanda bahaya bayi baru lahir.
E. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah diberikan penyuluhan ibu mampu :
a. Menjelaskan pengertian ISPA pada balita.
b. Menjelaskan penyebab ISPA pada balita.
c. Menjelaskan faktor risiko ISPA pada balita.
d. Menjelaskan tanda dan gejala ISPA pada balita.
e. Menjelaskan komplikasi ISPA pada balita.
f. Menjelaskan pencegahan ISPA pada balita.
g. Mengetahui pengobatan ISPA pada balita.
F. JUMLAH SASARAN
Sasarannya adalah keluarga/ibu yang balita berjumlah minimal 2 orang.
G. MATERI
1. Menjelaskan pengertian ISPA pada balita.
2. Menjelaskan penyebab ISPA pada balita.
3. Menjelaskan faktor risiko ISPA pada balita.
4. Menjelaskan tanda dan gejala ISPA pada balita.
5. Menjelaskan komplikasi ISPA pada balita.
6. Menjelaskan pencegahan ISPA pada balita.
7. Mengetahui pengobatan ISPA pada balita.
H. METODE
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
I. MEDIA
1. Leaflet
2. Poster
J. PENGORGANISASIAN
Penyaji : Intan hayyu Pratiwi, Dita Dwi I, Era Dwi S, Theresia S, Putri
Kusuma P
K. Kriteria Evaluasi
1. Evaluasi Struktur
Peserta hadir ditempat penyuluhan
Penyelenggaraan penyuluhan dilaksanakan di Poli Anak
Pengorganisasian penyelenggaraan penyuluhan dilakukan
sebelumnya
2. Evaluasi Proses
Peserta antusias terhadap materi penyuluhan
Tidak ada peserta yang meninggalkan tempat penyuluhan
Peserta mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan secara
benar
3. Evaluasi Hasil
Ibu-ibu dapat menjawab pertanyaan 80 % pertanyaan benar pada
kuisioner.
Jumlah hadir dalam penyuluhan minimal 1 orang
L. KEGIATAN PENYULUHAN
No Kegiatan Waktu
1 Pendahuluan: 3 menit
a. Penyampaian salam
b. Perkenalan
c. Menjelaskan topik penyuluhan
d. Menjelaskan tujuan
e. Menjelaskan waktu pelaksanaan
2 Penyampaian materi 7 menit
3 Tanya jawab 3 menit
4 Penutup (kesimpulan penyuluhan dan salam) 2 menit
M. LAMPIRAN MATERI
2.6. Diagnosa
Pneumonia yang merupakan salah satu dari jenis ISPA adalah pembunuh
utama balita di dunia, lebih banyak dibanding dengan gabungan penyakit AIDS,
malaria dan campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita
meninggal karena pneumonia (1 balita/20 detik) dari 9 juta total kematian balita.
Di antara 5 kematian balita, 1 di antaranya disebabkan oleh pneumonia. Bahkan
karena besarnya kematian pneumonia ini, pneumonia disebut sebagai “pandemi
yang terlupakan” atau “the forgotten pandemic”. Namun, tidak banyak perhatian
terhadap penyakit ini, sehingga pneumonia disebut juga pembunuh Balita
yang terlupakan atau “the forgotten killer of children” (Kemenkes RI, 2011b).
Diagnosis etiologi pnemonia khususnya pada balita sulit untuk ditegakkan
karena dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan
imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya
bakteri sebagai penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi
paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu
menegakkan diagnosis etiologi pnemonia. Pemeriksaan cara ini sangat efektif
untuk mendapatkan dan menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita,
namun di sisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan
etika (terutama jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan
tersebut, diagnosis bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia
mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO), bahwa
Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang
selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang (WHO, 2007).
Menurut Sinanmbela (2010), dalam pelaksanaan program P2 ISPA,
penentuan klasifikasi pneumonia berat dan pneumonia sekaligus merupakan
penegakan diagnosa, sedangkan penentuan klasifikasi bukan pneumonia tidak
dianggap sebagai penegakan diagnosa. Jika seorang balita keadaan penyakitnya
termasuk dalam klasifikasi bukan pneumoni maka diagnosa penyakitnya adalah:
batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsillitis, otitis atau penyakit ISPA
non-pneumonia lainnya. Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang
dipakai oleh Program P2 ISPA, diagnosa pneumonia pada balita didasarkan pada
adanya batuk atau kesukaran bernapas disertai peningkatan frekuensi napas (napas
cepat) sesuai umur. Adanya napas cepat (fast breathing) ini ditentukan dengan
cara menghitung frekuensi pernapasan. Batas napas cepat adalah frekuensi
pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada usia 2 bulan - <1 tahun dan
40 kali per menit atau lebih pada anak usia 1 tahun - <5 tahun.
Diagnosa pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran
bernapas disertai napas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke
dalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan - <5 tahun. Sedangkan untuk
kelompok umur < 2 bulan diagnosa pneumonia berat ditandai dengan adanya
napas cepat, yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih,
atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam
(severe chest indrawing) (Kemenkes RI, 2011b).
2.7. Faktor Resiko Terjadi ISPA
ISPA dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Faktor Lingkungan
a. Agen
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa
secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis,
tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai
selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling
sering terjadi pada manusia. Penyebab penyakit ini adalah virus Myxovirus,
Coxsackie, dan Echo (WHO, 2007).
b. Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak
dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga
akan memudahkan terjadinya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang
keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dalam
kamar tidur, ruang tempat bayi dan balita bermain, sehingga dapat memudahkan
terjadinya ISPA (Maryunani, 2010).
c. Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau
dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Jadi jika di dalam rumah
tidak terdapat ventilasi maka udara bersih tidak dapat masuk dan udara ruangan
dari bau-bauan, asap atau debu tetap berada di dalam ruangan sehingga
memudahkan terjadinya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Maryunani,
2010).
c. Kepadatan hunian rumah
Kepadatan hunian rumah menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang
minimal menempati luas rumah 8m². Melalui kriteria tersebut diharapkan dapat
mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas, karena tempat tinggal
yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah, sehingga akan
memudahkan terjadinya ISPA (Maryunani, 2010).
d. Kelembaban ruangan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang
Rumah menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40-
60%. Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikrorganisme, termasuk mikroorganisme penyebab ISPA
(Kemenkes RI, 2011a).
e. Suhu ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum
18- 300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah di bawah 180C atau di atas
300C, keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat (Kemenkes RI, 2011a).
f. Penerangan alami
Rumah yang sehat adalah rumah yang tersedia cahaya yang cukup. Suatu
rumah atau ruangan yang tidak mempunyai cahaya, dapat menimbulkan perasaan
kurang nyaman, juga dapat mendatangkan penyakit. Sebaliknya suatu ruangan
yang terlalu banyak mendapatkan
cahaya akan menimbulkan rasa silau, sehingga ruangan menjadi tidak sehat. Agar
rumah atau ruangan mempunyai sistem cahaya yang baik, dapat dipergunakan dua
cara (Kemenkes RI, 2011a), yaitu :
1) Cahaya alamiah, yakni mempergunakan sumber cahaya yang terdapat di
alam, seperti matahari. Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh
bakteri-bakteri patogen di dalam rumah. Pencahayaan alami dianggap baik jika
besarnya minimal 60 lux . Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat jendela,
perlu diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan,
dan tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di samping sebagai
ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendelapun harus
diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama menyinari lantai
(bukan menyinari dinding).
2) Cahaya buatan adalah menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah,
seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Pencahayaan alami
dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh
ruangan minimal intensitasnya 60 lux, dan tidak menyilaukan.
2. Faktor Individu Anak
a. Berat badan lahir
Berdasarkan hasil penelitian Sarmia dan Suhartatik (2014) di Kota
Makkasar, didapatkan bahwa balita dengan berat badan lahir rendah, yaitu < 2.500
gram, menderita pneumonia berulang sebesar 35%. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p = 0.001 dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa
nilai p < α, berarti ada hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan
kejadian pneumonia.
b. Status gizi
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi nomal. Penyakit infeksi sendiri akan
menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan
kekurangan gizi. Jika keadaan gizinya buruk, tubuh tidak mempunyai cukup
kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap infeksi, jadi anak lebih mudah
terserang ISPA (Mayunani, 2010).
c. Vitamin A
Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan
menyebabkan peningkatan antibodi, niscaya dapatlah diharapkan adanya
perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka waktu yang
tidak singkat (Maryunani, 2010).
d. Status Imunisasi
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang
dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan
campak, maka cakupan peningkatan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas
ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status
imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat
ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Melalui
imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat
dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat
dicegah (Maryunani, 2010).
e. Status ASI eksklusif
Arini (2012) menyebutkan bahwa Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam
proses tumbuh kembang bayi yang kaya akan faktor antibodi untuk melawan
infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu pertama (4-6 hari)
payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat
kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel
leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Bayi (0-12
bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan makanan padat. Pada
enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif)
tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru diberikan makanan
pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu ketika
anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi post natal.
Berdasarkan hasil penelitian Arini (2012), frekuensi kejadian ISPA sering
lebih banyak terjadi pada anak yang tidak diberikan ASI (84,4%), dan secara
parsial sebesar 87,5 % dan pola pemberian ASI secara predominan sebagian besar
mengalami ISPA dengan frekuensi jarang (82,1%), sementara yang tidak
mengalami kejadian ISPA terjadi pada anak
dengan pola pemberian ASI secara eksklusif (94,6%). Anak yang tidak diberikan
ASI mengalami kejadian ISPA dengan frekuensi jarang sebesar 267 kali lebih
tinggi dibandingkan pada anak yang diberi ASI secara eksklusif, namun tidak ada
hubungan antara pola pemberian ASI secara eksklusif dengan frekuensi kejadian
ISPA yang sering pada anak usia 6-12 bulan.
3. Faktor Perilaku
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan
tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainya saling tergantung dan
berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga memiliki masalah
kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya. Peran aktif
keluarga/masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit
ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari didalam masyarakat/keluarga.
Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga dalam
praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab bila
praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/buruk akan berpengaruh
terhadap perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah berat
(Maryunani, 2010).
Sumber Pustaka :