Anda di halaman 1dari 18

SATUAN ACARA PENYULUHAN

“ISPA PADA BALITA”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Pendidikan Profesi Bidan


Di PKM Ardimulyo

Oleh :

Era Dwi Saputri 160070500111038


Dita Dwi Zuliana 160070500111056
Intan Hayyu Pratiwi 160070500111004
Putri Kusuma Pandin 160070500111030
Theresia Sulistyaningrum 160070500111029

PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Topik : ISPA pada Balita


Sasaran : Ibu-Ibu yang memiliki bayi di Posyandu Glatik, PKM
Ardimulyo Singosari, Malang
Hari/tanggal : Sabtu, 15 April 2017
Tempat : Posyandu Glatik, PKM Ardimulyo Singosari, Malang
Waktu : 1 x 15 menit

A. Latar Belakang
B. Latar Belakang
Penyebab angka kesakitan dan kematian anak terbanyak saat ini masih
diakibatkan oleh gizi buruk, pneumonia dan diare. Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab dari kematian pada balita di negara
berkembang. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien
pada sarana kesehatan. Menurut WHO, kriteria untuk menentukan bahwa
kematian pneumonia pada balita masih merupakan masalah di suatu wilayah atau
negara adalah apabila angka kematian balita berada di atas 20% (Maryunani,
2010). Sebagian besar penderita ISPA perlu masuk rumah sakit karena
penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi
dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa. ISPA
masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian
bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi
(Maryunani, 2010).
ISPA lebih banyak terjadi di negara berkembang dibandingkan negara
maju dengan persentase masing-masing sebesar 25%-30% dan 10%-15%.
Kematian balita akibat ISPA di Asia Tenggara sebanyak 2,1 juta balita pada tahun
2007(WHO 2007). Penyakit ISPA di Indonesia masih menempati urutan pertama
penyebab kematian di Indonesia. Pada tahun 2014 kasus ISPA pada balita tercatat
sebesar 657.490 kasus (29,47%). Proporsi kematian Balita yang disebabkan oleh
ISPA mencakup 20% -30% dari seluruh kematian anak Balita. ISPA juga
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien pada sarana kesehatan.
Sebanyak 40% -60% kunjungan berobat di Puskesmas dan sebanyak 15% -30 %
kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit disebabkan
oleh ISPA (Makna, 2014). Prevalensi ISPA di Kota Malang cukup tinggi,
termasuk 10 besar penyakit di Puskesmas. Penemuan penderita ISPA balita di
Kota Malang pada tahun 2012 sebanyak 30.387 ISPA bukan Pneumonia dan 1349
ISPA Pneumonia. ISPA mengakibatkan sekitar 20%-30% kematian anak balita
dan diperkirakan 10%-20% per tahun balita yang meninggal karena pneumonia,
yang merupakan infeksi lanjut dari ISPA (Makna, 2014).
Penyakit ISPA yang tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan yang
baik dapat menimbulkan pneumonia yang berlanjut pada kematian karena adanya
sepsis yang meluas Oleh karena itu, diperlukan adanya pembahasan yang
mengulas tentang ISPA termasuk upaya pencegahan dan penanganannya.
Sehingga, penulis membuat asuhan kebidanan kepada balita dengan ISPA di Poli
KIA Puskesmas Ardimulyo Singosari.

C. Tujuan Penyuluhan :
1. Tujuan Umum
Klien dapat mengetahui ISPA pada balita..
2. Tujuan Khusus
a. Klien mampu menjelaskan ISPA pada balita.
b. Klien mampu menjelaskan tanda- tanda ISPA pada balita..
c. Klien mampu menjelaskan pencegahan ISPA pada balita..
D. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mendapatkan penyuluhan ini, diharapkan ibu dapat mengetahui
perawatan bayi baru lahir dan mengenali tanda bahaya bayi baru lahir.
E. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah diberikan penyuluhan ibu mampu :
a. Menjelaskan pengertian ISPA pada balita.
b. Menjelaskan penyebab ISPA pada balita.
c. Menjelaskan faktor risiko ISPA pada balita.
d. Menjelaskan tanda dan gejala ISPA pada balita.
e. Menjelaskan komplikasi ISPA pada balita.
f. Menjelaskan pencegahan ISPA pada balita.
g. Mengetahui pengobatan ISPA pada balita.
F. JUMLAH SASARAN
Sasarannya adalah keluarga/ibu yang balita berjumlah minimal 2 orang.
G. MATERI
1. Menjelaskan pengertian ISPA pada balita.
2. Menjelaskan penyebab ISPA pada balita.
3. Menjelaskan faktor risiko ISPA pada balita.
4. Menjelaskan tanda dan gejala ISPA pada balita.
5. Menjelaskan komplikasi ISPA pada balita.
6. Menjelaskan pencegahan ISPA pada balita.
7. Mengetahui pengobatan ISPA pada balita.
H. METODE
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
I. MEDIA
1. Leaflet
2. Poster
J. PENGORGANISASIAN
Penyaji : Intan hayyu Pratiwi, Dita Dwi I, Era Dwi S, Theresia S, Putri
Kusuma P
K. Kriteria Evaluasi
1. Evaluasi Struktur
 Peserta hadir ditempat penyuluhan
 Penyelenggaraan penyuluhan dilaksanakan di Poli Anak
 Pengorganisasian penyelenggaraan penyuluhan dilakukan
sebelumnya
2. Evaluasi Proses
 Peserta antusias terhadap materi penyuluhan
 Tidak ada peserta yang meninggalkan tempat penyuluhan
 Peserta mengajukan pertanyaan dan menjawab pertanyaan secara
benar
3. Evaluasi Hasil
 Ibu-ibu dapat menjawab pertanyaan 80 % pertanyaan benar pada
kuisioner.
 Jumlah hadir dalam penyuluhan minimal 1 orang
L. KEGIATAN PENYULUHAN
No Kegiatan Waktu
1 Pendahuluan: 3 menit
a. Penyampaian salam
b. Perkenalan
c. Menjelaskan topik penyuluhan
d. Menjelaskan tujuan
e. Menjelaskan waktu pelaksanaan
2 Penyampaian materi 7 menit
3 Tanya jawab 3 menit
4 Penutup (kesimpulan penyuluhan dan salam) 2 menit
M. LAMPIRAN MATERI

ISPA PADA BALITA.

2.1. Definisi Penyakit ISPA


Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering disingkat dengan ISPA. Istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).
ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernapasan dan akut dengan
pengertian (Yudarmawan, 2012), sebagai berikut:
a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
b. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA
secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan
bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran
pernapasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernapasan
(respiratory tract).
c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas
14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih
dari 14 hari.
Menurut WHO (2007), Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh agen
infeksius yang ditularkan dari manusia ke manusia. Timbulnya gejala biasanya
cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari.
ISPA atau infeksi saluran pernafasan akut adalah suatu kelompok penyakit
yang menyerang saluran pernafasan. ISPA dapat ditularkan melalui air ludah,
darah, bersin, udara pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh
orang sehat ke saluran pernafasannya (Maryunani, 2010).
2.2. Etiologi Penyakit ISPA
Menurut Maryunani (2010), ISPA disebabkan oleh lebih dari 300 jenis
bakteri, virus dan jamur. Bakteri penyebab ISPA seperti : Diplococcus
pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus hemolyticus, Streptococcus aureus,
Hemophilus influenza, Bacillus Friedlander. Virus seperti : Respiratory syncytial
virus, virus influenza, adenovirus, cytomegalovirus. Jamur seperti : Mycoplasma
pneumoces dermatitides, Coccidioides immitis, Aspergillus, Candida albicans
(Kurniawan dan Israr, 2009). Selain itu ISPA juga dapat disebabkan oleh asap
kendaraan bermotor, bahan bakar minyak/BBM biasanya minyak tanah
(Maryunani, 2010).

2.3. Patofisiologi Penyakit ISPA


Menurut Nurrijal (2009), perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan
berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran
pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas
bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan
refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak
lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan. Iritasi virus pada kedua
lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan
dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang
banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan
mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut
menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling
menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder
bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris
yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap
infeksi bakteri sehingga
memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran
pernafasan atas seperti Streptococcus pneumonia, Haemophylus influenza dan
Staphylococcusmenyerang mukosa yang rusak tersebut.
Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah
banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga
menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya
faktor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian
menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran
nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak. Virus yang
menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam
tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke
saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteri pun bisa menyerang
saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan
dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi
paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri.
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi
menjadi empat tahap, yaitu:
1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang
sudah rendah.
3) Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul
gejala demam dan batuk.
4) Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh
sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat
pneumonia.

2.4. Cara Penularan Penyakit ISPA


Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar,
bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, oleh karena itu maka
penyakit ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara
dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita
maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara
dapat pula menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang
sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang mengandung
unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab (WHO, 2007).

2.5. Tanda dan Gejala Penyakit ISPA


Menurut Nurrijal (2009), adapun pembagian tanda dan gejala ISPA
sebagai berikut :
1) ISPA ringan
Ditandai dengan satu atau lebih gejala : batuk, pilek, dengan atau tanpa demam,
tenggorokan merah
2) ISPA sedang
Meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut: pernafasan
cepat, wheezing (nafas berbunyi ngik), sakit/keluar cairan dari telinga,bercak
kemerahan (campak)
3) ISPA berat
Meliputi gejala ISPA sedang / ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut:
tarikan dinding dada ke dalam sewaktu inspirasi (retraksi), kesadaran menurun
(somnolen),bibir / kulit pucat kebiruan (sianosis),stridor (nafas ngorok) sewaktu
istirahat.

2.6. Diagnosa
Pneumonia yang merupakan salah satu dari jenis ISPA adalah pembunuh
utama balita di dunia, lebih banyak dibanding dengan gabungan penyakit AIDS,
malaria dan campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita
meninggal karena pneumonia (1 balita/20 detik) dari 9 juta total kematian balita.
Di antara 5 kematian balita, 1 di antaranya disebabkan oleh pneumonia. Bahkan
karena besarnya kematian pneumonia ini, pneumonia disebut sebagai “pandemi
yang terlupakan” atau “the forgotten pandemic”. Namun, tidak banyak perhatian
terhadap penyakit ini, sehingga pneumonia disebut juga pembunuh Balita
yang terlupakan atau “the forgotten killer of children” (Kemenkes RI, 2011b).
Diagnosis etiologi pnemonia khususnya pada balita sulit untuk ditegakkan
karena dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan
imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya
bakteri sebagai penyebab pnemonia, hanya biakan spesimen fungsi atau aspirasi
paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu
menegakkan diagnosis etiologi pnemonia. Pemeriksaan cara ini sangat efektif
untuk mendapatkan dan menentukan jenis bakteri penyebab pnemonia pada balita,
namun di sisi lain dianggap prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan
etika (terutama jika semata untuk tujuan penelitian). Dengan pertimbangan
tersebut, diagnosis bakteri penyebab pnemonia bagi balita di Indonesia
mendasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO), bahwa
Streptococcus, Pnemonia dan Hemophylus influenzae merupakan bakteri yang
selalu ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang (WHO, 2007).
Menurut Sinanmbela (2010), dalam pelaksanaan program P2 ISPA,
penentuan klasifikasi pneumonia berat dan pneumonia sekaligus merupakan
penegakan diagnosa, sedangkan penentuan klasifikasi bukan pneumonia tidak
dianggap sebagai penegakan diagnosa. Jika seorang balita keadaan penyakitnya
termasuk dalam klasifikasi bukan pneumoni maka diagnosa penyakitnya adalah:
batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsillitis, otitis atau penyakit ISPA
non-pneumonia lainnya. Dalam pola tatalaksana penderita pneumonia yang
dipakai oleh Program P2 ISPA, diagnosa pneumonia pada balita didasarkan pada
adanya batuk atau kesukaran bernapas disertai peningkatan frekuensi napas (napas
cepat) sesuai umur. Adanya napas cepat (fast breathing) ini ditentukan dengan
cara menghitung frekuensi pernapasan. Batas napas cepat adalah frekuensi
pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada usia 2 bulan - <1 tahun dan
40 kali per menit atau lebih pada anak usia 1 tahun - <5 tahun.
Diagnosa pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran
bernapas disertai napas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke
dalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan - <5 tahun. Sedangkan untuk
kelompok umur < 2 bulan diagnosa pneumonia berat ditandai dengan adanya
napas cepat, yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali per menit atau lebih,
atau adanya penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam
(severe chest indrawing) (Kemenkes RI, 2011b).
2.7. Faktor Resiko Terjadi ISPA
ISPA dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Faktor Lingkungan
a. Agen
Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa
secara akut atau kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis,
tonsilitis, dan sinusitis. Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai
selesma/common cold/koriza/flu/pilek, merupakan penyakit virus yang paling
sering terjadi pada manusia. Penyebab penyakit ini adalah virus Myxovirus,
Coxsackie, dan Echo (WHO, 2007).
b. Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak
dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga
akan memudahkan terjadinya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang
keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dalam
kamar tidur, ruang tempat bayi dan balita bermain, sehingga dapat memudahkan
terjadinya ISPA (Maryunani, 2010).
c. Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau
dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Jadi jika di dalam rumah
tidak terdapat ventilasi maka udara bersih tidak dapat masuk dan udara ruangan
dari bau-bauan, asap atau debu tetap berada di dalam ruangan sehingga
memudahkan terjadinya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Maryunani,
2010).
c. Kepadatan hunian rumah
Kepadatan hunian rumah menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang
minimal menempati luas rumah 8m². Melalui kriteria tersebut diharapkan dapat
mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas, karena tempat tinggal
yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah, sehingga akan
memudahkan terjadinya ISPA (Maryunani, 2010).
d. Kelembaban ruangan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang
Rumah menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40-
60%. Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikrorganisme, termasuk mikroorganisme penyebab ISPA
(Kemenkes RI, 2011a).
e. Suhu ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum
18- 300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah di bawah 180C atau di atas
300C, keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat (Kemenkes RI, 2011a).
f. Penerangan alami
Rumah yang sehat adalah rumah yang tersedia cahaya yang cukup. Suatu
rumah atau ruangan yang tidak mempunyai cahaya, dapat menimbulkan perasaan
kurang nyaman, juga dapat mendatangkan penyakit. Sebaliknya suatu ruangan
yang terlalu banyak mendapatkan
cahaya akan menimbulkan rasa silau, sehingga ruangan menjadi tidak sehat. Agar
rumah atau ruangan mempunyai sistem cahaya yang baik, dapat dipergunakan dua
cara (Kemenkes RI, 2011a), yaitu :
1) Cahaya alamiah, yakni mempergunakan sumber cahaya yang terdapat di
alam, seperti matahari. Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh
bakteri-bakteri patogen di dalam rumah. Pencahayaan alami dianggap baik jika
besarnya minimal 60 lux . Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat jendela,
perlu diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan,
dan tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di samping sebagai
ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendelapun harus
diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama menyinari lantai
(bukan menyinari dinding).
2) Cahaya buatan adalah menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah,
seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Pencahayaan alami
dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh
ruangan minimal intensitasnya 60 lux, dan tidak menyilaukan.
2. Faktor Individu Anak
a. Berat badan lahir
Berdasarkan hasil penelitian Sarmia dan Suhartatik (2014) di Kota
Makkasar, didapatkan bahwa balita dengan berat badan lahir rendah, yaitu < 2.500
gram, menderita pneumonia berulang sebesar 35%. Hasil uji statistik diperoleh
nilai p = 0.001 dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa
nilai p < α, berarti ada hubungan antara berat badan lahir rendah (BBLR) dengan
kejadian pneumonia.
b. Status gizi
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi nomal. Penyakit infeksi sendiri akan
menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan
kekurangan gizi. Jika keadaan gizinya buruk, tubuh tidak mempunyai cukup
kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap infeksi, jadi anak lebih mudah
terserang ISPA (Mayunani, 2010).
c. Vitamin A
Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan
menyebabkan peningkatan antibodi, niscaya dapatlah diharapkan adanya
perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka waktu yang
tidak singkat (Maryunani, 2010).
d. Status Imunisasi
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang
dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan
campak, maka cakupan peningkatan imunisasi akan berperan besar dalam upaya
pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas
ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status
imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan
penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat
ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Melalui
imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat
dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat
dicegah (Maryunani, 2010).
e. Status ASI eksklusif
Arini (2012) menyebutkan bahwa Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam
proses tumbuh kembang bayi yang kaya akan faktor antibodi untuk melawan
infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu pertama (4-6 hari)
payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat
kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel
leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi. Bayi (0-12
bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan makanan padat. Pada
enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan ASI saja (ASI Eksklusif)
tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru diberikan makanan
pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu ketika
anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikasi post natal.
Berdasarkan hasil penelitian Arini (2012), frekuensi kejadian ISPA sering
lebih banyak terjadi pada anak yang tidak diberikan ASI (84,4%), dan secara
parsial sebesar 87,5 % dan pola pemberian ASI secara predominan sebagian besar
mengalami ISPA dengan frekuensi jarang (82,1%), sementara yang tidak
mengalami kejadian ISPA terjadi pada anak
dengan pola pemberian ASI secara eksklusif (94,6%). Anak yang tidak diberikan
ASI mengalami kejadian ISPA dengan frekuensi jarang sebesar 267 kali lebih
tinggi dibandingkan pada anak yang diberi ASI secara eksklusif, namun tidak ada
hubungan antara pola pemberian ASI secara eksklusif dengan frekuensi kejadian
ISPA yang sering pada anak usia 6-12 bulan.
3. Faktor Perilaku
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan
tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainya saling tergantung dan
berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga memiliki masalah
kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya. Peran aktif
keluarga/masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit
ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari didalam masyarakat/keluarga.
Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga dalam
praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab bila
praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/buruk akan berpengaruh
terhadap perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah berat
(Maryunani, 2010).

2.8 Perawatan Balita ISPA


Menurut Rasmaliah (2014), beberapa hal yang perlu dikerjakan untuk
mengatasi anak yang menderita ISPA yaitu :
 Mengatasi panas (demam)
 Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, dicelupkan pada
air (tidak perlu air es).
 Pemberian makanan
 Memberikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-
ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian
ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.
 Pemberian minuman
 Mengusahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih
banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak,
kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.
 Istirahat cukup
 Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan
rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam.
 Jika pilek, membersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat
kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.
 Menjaga kebersihan perorangan
 Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi
cukup dan tidak berasap.
 Pencegahan penyebaran infeksi
 Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA
pada anak, yaitu memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar
daya tahan tubuh terhadap penyakit baik dan mencegah anak berhubungan
dengan klien ISPA. Salah satu cara adalah memakai penutup hidung dan
mulut bila kontak langsung dengan anggota keluarga atau orang yang
sedang menderita penyakit ISPA.
2.9 Penatalaksanaan ISPA
Penanganan terhadap ISPA disesuaikan dengan tingkatannya antara lain
(Rasmaliah, 2014) :
1) Penanganan ISPA berat
Penderita ISPA berat harus dirawat di Rumah Sakit dan yang dilakukan adalah
diberikan antibiotik parenteral dan oksigen
2) Penanganan ISPA sedang
Penanganan ISPA sedang harus mendapatkan pertolongan dari petugas kesehatan
(perawat atau bidan). Yang harus dilakukan adalah diberi obat antibiotik
kotrimoksasol peroral.
Bila penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan
pemberian kotrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat
antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain
3) Penanganan ISPA ringan
Pengobatan dan perawatan penderita ISPA ringan dapat dilakukan di rumah. Jika
anak menderita ISPA ringan maka yang harus dilakukan adalah:
a) Tanpa pemberian obat antibiotik, untuk batuk dapat digunakan obat batuk
tradisional (jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok
teh , diberikan tiga kali sehari) atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat
yang merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan antihistamin (Bunyamin,
2012)
b) Bila demam diberikan obat penurun panas. Untuk anak yang di bawah
umur 6 tahun menggunakan paracetamol, Ibuprofen atau Asetosal. Apabila obat
dalam bentuk sirup dengan dosis 1 sendok teh (120 mg/1 sendok teh) 3 –4 kali
sehari maksimal pemberian 5x/24 jam, apabila obat dalam bentuk tablet diberikan
10-15 mg/kg BB (3-4x/hari atau antara 4-6 jam sekali) atau dengan kompres
(Nasir, 2009).

2.10 Komplikasi Penyakit ISPA


Penyakit ISPA sebenarnya merupakan self limited disease, yang sembuh
sendiri 5-6 hari jika tidak terjadi invasi kuman lainnya. Komplikasi yang dapat
terjadi adalah sinusitis paranasal, penutupan tuba eusthacii dan penyebaran infeksi
(Nasir, 2009).
1) Sinusitis paranasal
Komplikasi ini hanya terjadi pada anak besar karena pada bayi dan anak kecil
sinus paranasal belum tumbuh. Gejala umum tampak lebih besar, nyeri kepala
bertambah, rasa nyeri dan nyeri tekan biasanya di daerah sinus frontalis dan
maksilaris. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan foto rontgen dan
transiluminasi pada anak besar.
Proses sinusitis sering menjadi kronik dengan gejala malaise, cepat lelah dan
sukar berkonsentrasi (pada anak besar). Kadang-kadang disertai sumbatan hidung,
nyeri kepala hilang timbul, bersin yang terus menerus disertai secret purulen dapat
unilateral ataupun bilateral. Bila didapatkan pernafasan mulut yang menetap dan
rangsang faring yang menetap tanpa sebab yang jelas perlu yang dipikirkan
terjadinya komplikasi sinusitis. Sinusitis paranasal ini dapat diobati dengan
memberikan antibiotik.
2) Penutupan tuba eusthachii
Tuba eusthachii yang buntu memberi gejala tuli dan infeksi dapat menembus
langsung ke daerah telinga tengah dan menyebabkan Otitis Media Akut (OMA).
Gejala OMA pada anak kecil dan bayi dapat disertai suhu badan yang tinggi
(hiperpireksia) kadang menyebabkan kejang demam (Ngastiyah, 2005).
Anak sangat gelisah, terlihat nyeri bila kepala digoyangkan atau memegang
telinganya yang nyeri (pada bayi juga dapat diketahui dengan menekan telinganya
dan biasanya bayi akan menangis keras). Kadang-kadang hanya ditemui gejala
demam, gelisah, juga disertai muntah atau diare. Karena bayi yang menderita
batuk pilek sering menderita infeksi pada telinga tengah sehingga menyebabkan
terjadinya OMA dan sering menyebabkan kejang demam, maka bayi perlu
dikonsultasikan ke bagian THT. Biasanya bayi dilakukan parsentesis jika setelah
48-72 jam diberikan antibiotika keadaan tidak membaik. Parasentesis (penusukan
selaput telinga) dimaksudkan mencegah membran timpani pecah sendiri dan
terjadi Otitis Media Perforata (OMP).
3) Penyebaran infeksi
Penjalaran infeksi sekunder dari nasofaring ke arah bawah seperti laryngitis,
trakeitis, bronkitis dan bronkopneumonia. Selain itu dapat pula terjadi komplikasi
jauh, misalnya terjadi meningitis purulenta.

Sumber Pustaka :

Indriarti, M.T. 2014. Panduan Lengkap Kehamilan, Persalinan dan Perawatan


Bayi. Yogyakarta : Diglossia Media
Moore/ Hacker. 2010. Esensial Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Hipokrates
Pengenalan Tanda Bahaya pada Kehamilan, Persalinan dan Nifas, Depkes RI,
2011. Asuhan Antenatal , Pusdiknakes
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Puedji, Rochjati. 2013. Skrining Antenatal pada Ibu Hamil. Surabaya : Airlangga
University Press
Saifuddin. 2010. Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal. Jakarta : Yayasan
Bina. Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Simkin, Penny. 2009. Kehamilan, Melahirkan dan Bayi. Edisi Revisi. Jakarta:
Arcan
Mansjoer, A, dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Acsulapius.
Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta: Trans
Info Media

Anda mungkin juga menyukai