Anda di halaman 1dari 2

… . . _ _ . ..

Mungkin ini sudah sekitar 3 bulan sejak kepergian Lily. Hidup Langit cukup banyak berubah.
Menemukan hobi baru dan mencoba untuk menikmati setiap detik fase kehidupan selanjutnya.
Nongkrongin channel Youtube pengulas otomotif terkemuka membuat Langit menjadi gelisah untuk
segera memiliki kendaraan impiannya sejak dulu, sebuah skuter buatan Italia dengan livery sky blue,
shinning silver atau ivory white. Ditambah teman-teman sekitar Langit yang memulai untuk jalan-
jalan pagi (Sunmori). Ada beberapa alasan mengapa Langit tidak segera membeli skuter impiannya
yang tidak mungkin diceritakan di tulisan ini tetapi pada intinya suatu saat ia akan membeli skuter
tersebut, cepat atau lambat.

Langit mulai kembali ke dapur. Mencoba berbagai macam resep baru dan sebagian ada yang ia
unggah di media sosial dan ia bagikan kepada beberapa koleganya, sebagian lagi ia buat hanya untuk
memuaskan rasa penasarannya. Langit mencoba kembali menghubungi beberapa teman dekatnya
yang sudah lama tidak bertemu untuk sekadar jalan sore santai atau menikmati malam di akhir
pekan. Tentu, tidak semua akhirnya berujung pada pertemuan karena kesibukan atau mungkin ya
memang tidak ingin bertemu saja karena malas keluar rumah atau ya malas dengan orangnya :)

Hanya ada satu yang selalu mudah untuk diajak nongkrong yaitu Pak Mehmet. Pak Mehmet ini
seorang insinyur dengan eksposur internasional dan berprestasi, bertahan hidup 6 bulan di suatu
negara terjorok di dunia (red: India). Dengan kemeja baju pantai, celana pendek, sebungkus rokok M
di saku, penikmat senja ini cukup menikmati hidupnya dengan beberapa obrolan santai bersama
Langit. Banyak hal yang diceritakan tetapi satu yang pasti Langit dan Pak Mehmet sering kali
merenungi nasib dan berpikir kritis tentang kerasnya kehidupan.

Hidup kami sebenarnya tidak jauh berbeda, seorang anak yang dibesarkan keluarga pekerja dengan
privilese yang cukup (tentu Pak Mehmet jauh lebih berprevilese) tetapi masalah yang dihadapi
cenderung sama. Pekerjaan yang sifatnya ultra petita, lingkungan kerja yang terkadang
menghasilkan racun yang membuat hati ingin mengumpat, permasalahan keluarga yang disfungsi
tetapi harmonis, ambisi untuk mengumpulkan harta demi gaya hidup yang lebih baik tetapi sulit
untuk diwujudkan, julid terhadap anak-anak yang lebih mempunyai privilese lebih sampai urusan
perasaan terhadap lawan jenis.

Tentu kami tidak hanya membicarakan hal-hal yang seperti itu saja yang sifatnya individual mikro.
Terkadang kami berandai-andai menjadi seseorang yang sangat berpengaruh di negara ini dan
kebijakan apa yang akan diambil untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk menaikkan skor PISA
anak Indonesia, mengatasi para koruptor, redistribusi kekayaan sampai sempat terceletuk ide untuk
membuat fund dengan fokus student loan agar setiap anak Indonesia bisa bersekolah. Sempat juga
berandai-andai menjadi seorang penjahat kelas kakap dengan cara membentuk hedge fund yang
membuat synthetic collateralized debt obligation (Synthetic CDO), membuat perusahaan papan
nama di negara terpencil seperti Isle of Man, Vanuatu atau Bahamas dan membuat proyek di negara
penuh konflik seperti Sudan Selatan atau Angola dan membeli money thrower gun hanya untuk
merasakan menjadi seperti Jordan Belfort.

Saking seringnya kami bertemu, ada satu pembicaraan yang sempat mengetuk roh kami sampai
akhirnya tercipta suatu keheningan.

Pak M : “Anjir ngapa jadi tiap weekend gini gue ketemu sama lu”

L : “Lah iya. Kalo dulu paling gak ada pemanisnya”


Pak M : “Lu bisa gak sih kesepian? Gue sih engga”

L : “……..”

Kami menyadari bahwa sebenarnya masalah masyarakat perkotaan saat ini terlebih pekerja yang
belum menikah adalah kesepian. Kesepian ini berbahaya karena akan menciptakan kondisi emosi
yang cenderung lebih tidak stabil yang pada akhirnya membuat orang berpikir untuk mengakhiri
hidupnya.

Aristoteles bukan tanpa alasan menyebut manusia sebagai “Zoon Politicon” ataupun Adam Smith
yang menyebut Homo Homini Socius dan Abraham Maslow yang menempatkan kebutuhan sosial
sebagai tahapan ketiga hierarki kebutuhan manusia. Beredar banyak artikel mengenai kesepian dan
akibat yang ditimbulkannya.

Dari obrolan ngenes bersama Pak Mehmet jelas bahwa untuk menyehatkan mental masyarakat
perlu dipikirkan suatu mekanisme yang berguna untuk mengusir kesepian. Bagusnya di Indonesia
terlebih tempat yang padat penduduk, komunitas akar rumput level RT/RW sudah berjalan dengan
baik. Begitupun teknologi membantu orang-orang yang tinggal tidak di tempat yang guyub untuk
bersosialisasi dengan komunitas pilihannya. Tetapi tentu tidak semua semudah itu untuk terus
mempertahankan interaksi dalam komunitasnya.

Langit sangat amat menyadari bahwa semenjak kepergian Lily, penyakit kesepian ini mulai
menghasilkan efek yang buruk. Rasa tidak percaya diri ketika mengajak seseorang untuk berinteraksi
mulai timbul, takut merasa ditolak, gelisah karena terlalu sering mendengar isi kepalanya sendiri,
dan yang paling parah adalah ruang mendapat perspektif baru semakin sempit karena akses
terhadap perspektif tersebut yang semakin berkurang. Tampak seperti orang terkurung hidup dalam
sebuah goa yang gelap dan terus menerus hidup dengan cara yang sama setiap menitnya setiap
detiknya.

Jika dipikir memang manusia tidak akan mati hanya karena kesepian dan mungkin Langit masih
belum menemukan jawaban atas kesepiannya tersebut bermakna apa dalam hidupnya. Apakah
memang seburuk itu atau hanya Langit masih dalam proses beradaptasi dengan hal tersebut?

Anda mungkin juga menyukai