DISUSUN OLEH:
A. Latar Belakang
Sel adalah unit fungsional terkecil suatu organisme. Sel-sel yang
memiliki asal embrionik atau fungsi yang sama akan membentuk suatu
organisasi yang memiliki fungsional lebih besar yaitu jaringan. Jaringan ini
kemudian akan bergabung untuk membentuk struktur tubuh dan organ-organ.
Meskipun sel-sel di setiap jaringan dan organ memiliki variasi struktur dan
fungsi yang berbeda, ada beberapa karakteristik umum yang dimiliki semua
sel. Sel memiliki kemampuan untuk mendapatkan energi dari nutrien organik
di sekitarnya, mensintesis berbagai kompleks molekul, dan bereplikasi
Salah satu kemampuan sel adalah beradaptasi dengan lingkungannya.
Kemampuan sel untuk beradaptasi sangat penting karena setiap hari, bahkan
hampir setiap detik, sel-sel tubuh terpapar oleh berbagai kondisi. Adaptasi
juga dibutuhkan oleh sel untuk menghadapi suatu kondisi fisiologis tubuh itu
sendiri, contohnya perbesaran ukuran uterus saat wanita hamil. Terkadang
gangguan proses adaptasi ini bisa menjadi awalan dari suatu mekanisme awal
terjadinya suatu penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk mempe lajari
adaptasi sel agar pembe lajaran mengenai mekanisme terjadinya suatu
penyakit dapat lebih mudah dipahami.
B. Pembahasan
Struktur Sel
Struktur Sel Sel mengandung struktur fisik yang terorganisir
dinamakan organel yang terdiri dari dua bagian utama yaitu inti (Nucleus)
dan Sitoplasma (Cytoplasma) keduanya dipisahkan oleh membrane inti.
Bagian sel Beberapa bagian sel penting dan fungsinya yang harus
diketahui:
1. Retikulum endoplasma (Endoplasmic Reticulum) berfungsi dalam
mensintesis protein, lipid dan enzim.
2. Mitokondria (mitochondrion) berfungsi untuk energi dalam sel.
Merupakan sumber tenaga dari sel karena diolah berbagai zat makanan
untuk menghasilkan tenaga penggerak bagi kegiatan lain dari sel.
3. Lisosom merupakan organ pencernaan sel.
4. Inti (nucleus) berfungsi sebagai pusat pengawasan atau pengaturan sel
dan mengandung DNA yang disebut gen.
Adaptasi Sel
Sel beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan internal,
seperti total organisme beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan
eksternal. Sel dapat beradaptasi dengan melakukan perubahan ukuran,
jumlah, dan jenis. Perubahan ini, yang terjadi secara tunggal atau dalam
kombinasi, dapat menyebabkan atrofi, hipertrofi, hiperplasia, metaplasia,
dan dysplasia.
Dalam kondisi normal, sel harus secara konstan beradaptasi terhadap
perubahan lingkungannya. Adaptasi fisiologis biasanya mewa kili respon
sel terhadap perangsangaan normal oleh hormon atau mediator kimiawi
endogen (misalnya, pembesaran payudara dan induksi laktasi oleh
kehamilan). Adaptasi patologik sering berbagi mekanisme dasar yang
sama tetapi memungkinkan sel untuk mengatur lingkungannya, dan
idealnya melepask an diri dari cedera. Jadi, jadi adaptasi selular merupaka
n keadaan yang berada di antara kondisi normal, sel yang tidak stres dan
sel cedera yang stres berlebihan.
Adaptasi selular dapat didahului oleh sejumlah mekanisme.
Beberapa respons adaptif melibatkan up regulation atau down regulation
reseptor selular spesifik; misalnya reseptor permukaan sel yang terlibat
pada pengambilan LDL (low denisty lipoproein) normalnya dow-
regulated saat selkelebihankolesterol.Respon adaptif lainnya berhubungan
dengan induksi sintesis protein baru oleh sel target . Protein ini, misalnya
protein syok panas, dapat melindungi sel dari bentuk cedera tertentu.
Masih adapta si lain, melibatkan pertukaran dari menghasilkan satu jenis
protein menjadi yang lain, atau produksi berlebih protein yang tertentu;
contoh kasus adalah pada sel yang menyintesis berbagai kolagen dan
matriks protein ekstrasel pada inflamasi kronik dan fibrosis. Jadi, respon
adaptif selular dapat terjadi di setiap tahap, termasuk ikatan reseptor;
tranduksi sinyal; atau transkripsi, translasi atau ekspor, protein.
A. Latar Belakang
Penyakit apapun yang diderita oleh pasien pada dasarnya yang diserang
adalah sel dan sel akan melakukan adapatasi (menyesuaikan diri). Sel normal
merupakan mikrokosmos yang berdenyut tanpa henti, secara tetap mengubah
stuktur dan fungsinya untuk memberi reaksi terhadap tantangan dan tekanan
yang selalu berubah. Bila tekanan atau rangsangan terlalu berat, struktur dan
fungsi sel cenderung bertahan dalam jangkauan yang relatif sempit. Tubuh kita
terdiri dari satuan dasar yang hidup yakni berupa sel-sel. Kemudian sel-sel
tersebut akan berkelompok membentuk jaringan yang berbeda-beda yang saling
menghubungkan satu sama lainnya.
Setiap sel dapat beradaptasi dan berkemampuan untuk berkembang biak.
Bila sel tersebut rusak dan mati, maka sel-sel yang masih hidup akan terus
membelah diri terus menerus sampai jumlahnya mencukupi kembali.
Penyesuaian sel mencapai perubahan yang menetap, mempertahankan
kesehatan sel meskipun tekanan berlanjut. Tetapi bila batas kemampuan adaptasi
tersebut melampaui batas maka akan terjadi jejas sel atau cidera sel bahkan
kematian sel. Dalam bereaksi terhadap tekanan yang berat maka sel akan
menyesuaikan diri, kemudian terjadi jejas sel atau cidera sel yang akan dapat
pulih kembali dan jika tidak dapat pulih kembali sel tersebut akan mengalami
kematian sel.
B. PEMBAHASAN
Pengertian Jejas Sel
Jejas sel (cedera sel) terjadi apabila suatu sel tidak lagi dapat
beradaptasi terhadap rangsangan. Hal ini dapat terjadi bila rangsangan
tersebut terlalu lama atau terlalu berat. Sel dapat pulih dari cedera atau mati
bergantung pada sel tersebut dan besar serta jenis cedera. Apabila suatu sel
mengalami cedera, maka sel tersebut dapat mengalami perubahan dalam
ukuran, bentuk, sintesis protein, susunan genetik, dan sifat transportasinya.
Berdasarkan tingkat kerusakannya, cedera atau jejas sel dikelompokkan
menjadi 2 kategori utama yaitu jejas reversible (degenerasi sel) dan jejas
irreversible (kematian sel). Jejas reversible adalah suatu keadaan ketika sel
dapat kembali ke fungsi dan morfologi semula jika rangsangan perusak
ditiadakan. Sedangkan jejas irreversible adalah suatu keadaan saat kerusakan
berlangsung secara terus-menerus, sehingga sel tidak dapat kembali ke
keadaan semula dan sel itu akan mati. Cedera menyebabkan hilangnya
pengaturan volume pada bagian-bagian sel.
Jenis-Jenis Jejas
1. Jejas Reversible
Jejas reversibel Jejas reversibel menunjukkan perubahan sel yang
dapat kembali menjadi normal jika rangsangaan dihilangkan atau
penyebab jejasnya ringan. Manifestasi jejas reversibel yang sering terjadi
awal adalah pembengkakan sel akut yang terjadi ketika sel tidak mampu
mempertahankan homeostatsis ionik dan cairan. Ini disebabkan:
a. Kegagalan transpor membran sel aktif Na K ATPase, menyebabkan
natrium masuk ke dalam sel, kalium berdifusi ke luar sel dan terjadi
pengumpulan air isosmotik.
b. Pengikatan muatan osmotik intraseluler kerena akumulasi fosfat
inorganik, laktat dan purin nukleosida. Bila semua sel pada orang
tersebut terkena, terdapat warna kepucatan, peningkatan turgor dan
penambajan berat organ. Secara mikroskopik, tampak
pembengkakan sel disertai vakuola kecil dan jernih di dalam
sitoplasma yang menggambarkan segmen retikulum endoplasma
yang berdistensi.
Perubahan ini umumnya merupakan akibat adanya gangguan
metabolisme seperti hipoksia atau keracunan bahan kimia dan bersifat
reversibel, walaupun dapat pula berubah menjadi irreversibel apabila
penyebab menetap
2. Jejas Irreversible
Jejas irreversibel terjadi jika stresornya melampaui kemampuan sel
untuk beradaptasi dan menunjukkan perubahan patologik permanen yang
menyebabkan kematian sel. Jejas irreversibel ditandai oleh vakuolisasi
berat pada mitokondria, kerusakan membran plasma yang luas,
pembengkakan lisosom dan tampak kepadatan yang besar, amorf dalam
mitokondria. Jejas pada membran lisosom menyebabkan kebocoran
enzim ke dalam sitoplasma.
a. Selanjutnya enzim tersebut diaktifkan dan menyebabkan digesti
enzimatik sel dan komponen ini yang mengakibatkan perubahan ini
karakteristik untuk kematian sel. Ada beberapa mekanisme biokimia
yang berperan penting dalam jejas atau kematian sel yaitu (Robbins,
2010): Deplesi ATP Penurunan sintesis ATP dan deplesi ATP
merupakan konsekuensi yang umum terjadi karenan jejas iskemia
maupun toksik. Hipoksia akan meningkatkan glikolisis anaerob
dengan deplesi glikogen, meningkatkan produksi asam laktat atau
asidosis intrasel. Berkurangnya sintesis ATP akan berdampak besar
terhadap transpor membran, pemeliharaan gradien ionik (khusus
Na+, K+ dan Ca2+) dan sintesis protein.
b. Akumulasi radikal bebas yang berasal dari oksigen Iskemia yang
terjadi dapat menyebabkan jejas sel dengan mengurangi suplai
oksigen seluler. Jejas sel tersebut juga dapat mengakibatkan
rekruitmen sel radang yang terjadi lokal dan selanjutnya sel radang
tersebut akan melepaskan jenis oksigen reaktif berkadar tinggi yang
akan mencetuskan kerusakan membran dan transisi permeabilitas
mitokondria. Disamping itu, sel yang mengalami jejas juga memiliki
pertahanan antioksidan yang terganggu.
c. Influks kalsium intrasel dan gangguan homeostasis kalsium Kalsium
bebas sitosol dipertahankan pada kadar yang sangat rendah oleh
transportasi kalsium yang terganggu ATP. Iskemia atau toksin dapat
menyebabkan masuknya kalisum ekstrasel melintasi membran
plamsa dan diikuti dengan pelepasan kalsium dari deposit
intraseluler di mitokondria serta retikulum endoplasma. Penginkatan
kalsium sitosol dapat mengaktifkan enzim fosfolpase (mencetuskan
kerusakan membran), protease (mengkatabolis protein membran
serta sitoskeleton), ATPase (mempercepat depleso ATP) dan
endonuklease (menyebabkan fragmentasi kromatin).
d. Defek pada permeabilitas membran plasma Membran plasma dapat
berlangsung dirusak oleh toksin bakteri tertentu seperti protein virus,
komponen komplemen, limfosit sitolitik atau sejumlah agen fisik dan
kimiawi. Perubahan permeabilitas membran bisa juga sekunder yang
disebabkan oleh hilangnya sintesis fosfolipid yang berkaitan dengan
deplesi ATP atau disebabkan oleh aktivasi fosfolipase yang
dimediasi kalsium yang mengakibatkan degradasi fosfolipid.
Hilangnya barier membran menimbulkan kerusakan gradien
konsentrasi metabolit yang diperlukan untuk mempertahankan
aktivitas metabolik sel.
e. Kerusakan mitokondria Sel-sel tubuh sangat bergantung pada
metabolisme oksidatif, maka keutuhan mitokondria sangat penting
bagi pertahanan hidup sel. Kerusakan mitokondria dapat terjadi
langsung karenan hipoksia atau toksin atau sebagai akbiat
meningkatnya Ca2+ sitosol, stress oksidatif intrasel atau pemecahan
fosfolipid dapat menyebabkan akumulasi pada saluran membran
mitokondria interna yang nantinya akan mencegah pembentukan dari
ATP.
5. Mekanisem imun
Reaksi imun sering menjadi penyebab kerusakan pada sel. Sebagai
contoh penyakit alergi yang sering dialami pasien usia lanjut atau karena
reaksi imun lain yang menimbulkan gatal atau kerusakan sel kuliT.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Jejas sel adalah cedera pada sel karena suatu sel tidak lagi dapat
beradaptasi terhadap rangsangan. Hal ini dapat terjadi bila rangsangan
tersebut terlalu lama atau terlalu berat. Sel dapat pulih dari cedera atau mati
bergantung pada sel tersebut dan besar serta jenis cedera. Apabila suatu sel
mengalami cedera, maka sel tersebut dapat mengalami perubahan dalam
ukuran, bentuk, sintesis protein, susunan genetik, dan sifat transportasinya.
Penyebab jejas sel antara lain: Hipoksia (pengurangan oksigen),
Faktor fisik, termasuk trauma, panas, dingin, radiasi, dan tenaga listrik,
Bahan kimia dan obat-obatan, Bahan penginfeksi, Reaksi imunologik,
Kekacauan genetic, Ketidakseimbangan nutrisi dan Penuaan. Proses
kematian sel dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu Nekrosis dan Apoptosis.
Akibat dari kematian sel dalam jumlah besar disebut Gangren.
“INFLAMASI”
A. Latar Belakang
Inflamasi adalah suatu respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh
kerusakan pada jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang
merusak, atau zat mikrobiologik. Inflamasi berfungsi untuk menghancurkan,
mengurangi, atau melokalisasi (sekuster) baik agen yang merusak maupun
jaringan yang rusak. Tanda terjadinya inflamasi adalah pembengkakan/edema,
kemerahan, panas, nyeri, dan perubahan fungsi.
Di Indonesia kasus penyakit yang melibatkan proses peradangan di
masyarakat, angka kejadian yang terbentuk cukup tinggi. Prevalensi nasional
penyakit kanker dan tumor 0,4%, hepatitis 1,2%, penyakit diabetes melitus
adalah 2,1%, pneumonia 2,13%, asma 4,5%, dermatitis 6,8%, penyakit sendi
24,7% dan pada penyakit infeksi saluran pernafasan akut 25,50%. Penyakit yang
telah disebutkan merupakan penyakit yang dalam mekanismenya melalui tahap
adanya inflamasi.
Inflamasi menyebabkan banyak zat-zat yang dikeluarkan secara endogen,
dikenal sebagai mediator inflamasi. Asam arakidonat merupakan salah satu
mediator inflamasi yang penting, asam arakidonat berperan dalam biosintesis
prostaglandin melalui jalur siklooksigenase. Siklooksigenase-1 (COX-1)
berperan pada fungsi fisiologis normal seperti sekresi mukus untuk melindungi
mukosa pencernaan dan untuk memelihara fungsi ginjal. Siklooksigenase-2
(COX-2) merupakan enzim yang keberadaanya dipengaruhi adanya rangsangan
pada jaringan. Rangsangan tersebut dapat berupa sitokin, lipopolisakarida
bakteri, inflamasi atau keadaan patologis lainnya. Inflamasi juga mengakibatkan
penimbunan sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas
untuk menghilangkan atau membatasi agen penyebab jejas. Neutrofil akan
melakukan marginasi, emigrasi, kemotaksis dan fagositosis.
Obat antiinflamasi yang biasa digunakan dibagi menjadi dua, yaitu
antiinflamasi steroid dan antiinflamasi nonsteroid. Namun kedua golongan obat
tersebut memiliki banyak efek samping. Antiinflamasi steroid dapat
menyebabkan tukak peptik, penurunan imunitas terhadap infeksi, osteoporosis,
atropi otot dan jaringan lemak, meningkatkan tekanan intra okular, serta bersifat
diabetik, sedangkan antiinflamasi nonsteroid dapat menyebabkan tukak lambung
hingga pendarahan, gangguan ginjal, dan anemia. Berdasarkan hal tersebut maka
banyak dilakukan pengembangan antiinflamasi yang berasal dari bahan alam,
terutama pada tanaman. Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan
obat diantaranya buah, daun, kulit batang, rimpang, dan bunga.
Kontrol terhadap rasa sakit dan edema akan meningkatkan respon imun
dalam penyembuhan luka sehingga penyembuhan luka berlangsung lebih baik.
Salah satu cara mengontrol rasa sakit dan edema adalah dengan menghambat
enzim siklooksigenase. Obat anti inflamasi non steroid (AINS), contohnya
ibuprofen bekerja sebagai antiinflamasi dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase dan menghambat migrasi sel-sel inflamasi dan ekspresi adhesi
sel. Penggunaan AINS dapat menimbulkan efek samping, diantaranya dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan gastrointestinal, memperlama waktu
perdarahan, serta dapat merusak fungsi ginjal.
Penggunaan tanaman tradisional lebih aman dari pada penggunaan obat
kimiawi sintetis. Salah satu tanaman obat tradisional yang mempunyai potensi
sebagai antiinflamasi adalah rosela. Adanya kandungan komponen-komponen
kimia alami seperti fenol, alkaloid, tanin, flavanoid, saponin dan antioksidan
yang tinggi dalam rosela menyebabkan rosela memiliki khasiat untuk mencegah
berbagai penyakit seperti kanker, hipertensi, diabetes, kolesterol, gangguan liver,
asam urat, anti virus, anti bakteri dan anti inflamas.
B. PEMBAHASAN
Inflamasi
Inflamasi adalah suatu respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh
kerusakan pada jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang
merusak, atau zat mikrobiologik. Inflamasi berfungsi untuk menghancurkan,
mengurangi, atau melokalisasi (sekuster) baik agen yang merusak maupun
jaringan yang rusakTanda terjadinya inflamasi adalah pembengkakan/edema,
kemerahan, panas, nyeri, dan perubahan fungsi. Inflamasi merupakan respons
fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan.
Inflamasi lokal, sistemik, akut dan kronis yang dapat menimbulkan kelainan
patologis.
Jenis-Jenis Inflamasi
Jenis inflamasi dibedakan menjadi dua macam:
1. Inflamasi akut
Pada inflamasi akut proses berlangsung singkat beberapa menit
hingga beberapa hari, dengan gambaran utama eksudasi cairan dan
protein plasma serta emigrasi sel leukosit terutama neutrofil. Rubor,
kalor, dan tumor pada inflamasi akut terjadi karena peningkatan aliran
darah dan edema. Inflamasi akut biasanya terjadi tiba-tiba, ditandai oleh
tanda-tanda klasik, dimana proses eksudatif dan vaskularnya domina.
Inflamasi akut Pada umumnya respons inflamasi akut menunjukkan
awitan yang cepat dan berlangsung sementara. Inflamasi akut biasanya
disertai reaski sistemik yang disebut respons fase akut yang ditandai oleh
perubahan cepat dalam kadar beberapa protein plasma. Reaksi dapat
menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak terjadinya
vasodilatasi, kebocoran vaskulator mikro dengan eksudasi cairan dan
protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi.
Inflamasi akut merupakan respons khas imunitas nonspesifik.
Inflamasi akut adalah respons cepat terhadap kerusakan sel, berlangsung
cepat (beberapa jam-hari) dan dipacu oleh sejumlah sebab seperti
kerusakan kimiawi dan termal serta infeksi. Efek jaringan lokal dapat
ditemukan antara peningkatan produksi mukus kelenjar dan remodeling
jaringan atas pengaruh fibroblast dan sel endotel, yang akhirnya
menimbulkan pembentukan jaringan parut. Elemen sistemik dengan
peningkatan sistesis protein fase akut juga sering ditemukan. Mekanisme
yang berperan dalam terjadinya perubahan inflamasi akut lokal adalah:
a. Mediator preformed yang dilepas oleh jaringan dan sel imun
b. Sintesis mediator inflamasi baru
c. Aktivasi kaskade reaksi larut
2. Inflamasi Kronik
Inflamasi kronik terjadi bila penyembuhan pada radang akut tidak
sempurna, bila penyebab jejas menetap atau bila penyebab ringan dan
timbul berulang-ulang. Dapat pula diakibatkan oleh reaksi immunologik.
Radang berlangsung lama (berminggu-minggu, berbulanbulan). Radang
kronik ditandai dengan lebih banyak ditemukan sel limfosit, sel plasma,
makrofag, dan biasanya disertai pula dengan pembentukan jaringan
granulasi yang menghasilkan fibrosis.
Inflamasi kronis dapat dianggap sebagai inflamasi memanjang
(berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun).
Inflamasi kronis terjadi bila proses inflamasi akut gagal, bila antigen
menetap. Inflamasi akut berbeda dengan inflamasi kronis. Antigen yang
persisten menimbulkan aktivasi dan akumulasi makrofag yang terus
menerus. Hal ini menimbulkan terbentuknya sel epiteloid (makrofag
yang sedikit diubah) dan granuloma TNF diperlukan untuk pembentukan
dan mempertahankan granuloma. IFN-γ dilepas sel T yang diaktifkan
menimbulkan transformasi makrofag menjadi sel epiteloid dan sel
multinuklear (sel datia) yang merupakan fusi dari beberapa makrofag.
Sitokin terutama IFN-γ dan TNF-a berperan pada inflamasi kronis.
Th1, sel NK dan sel Tc melepas IFN- γ, sementara makrofag yang
diaktifkan melepas TNF-a. Anggota famili glikoprotein (TNF-a dan
TNF-b) dilepas sel terinfeksi virus dan memberikan proteksi antivirus
pada sel sekitar. IFN-a diproduksi leukosit, IFN-β sering disebut
interferon fibroblast, IFN-γ hanya diproduksi sel T dan sel NK. IFN- γ
menunjukkan sifat pleiotropik yang dapat dibedakan dari IFNα dan IFN-
β dan berperan pada proses inflamasi. Salah satu efek IFN-γ adalah
kemampuannya mengaktifkan makrofag.
IFN-a merupakan sitokin utama yang dilepas makrofag yang
diaktifkan. Endotoksi memacu makrofag yang memproduksi TNF-α.
Yang akhir memiliki sifat sitotoksik direk terhadap beberapa sel tumor
tetapi tidak teradap sel normal. TNF-α juga berperan dalam kehilangan
material jaringan (seperti mengurus) yang 16 merupakan ciri inflamasi
kronis. TNF-α bekerja sinergistik dengan IFN-γ dalam inisiasi respons
inflamasi kronis. Kedua sitokin bersama menginduksi peningkatan yang
lebih besar dari ICAM-1, E-selektin dan MCH-1 dibanding masing-
masing sitokin sendiri.
Perjalanan inflamasi
Proses inflamasi akan berjalan sampai antigen dapat disingkirkan, hal
tersebut pada umumnya terjadi cepat berupa inflamasi akut yang berlangsung
beberapa jam sampai hari. Inflamasi akan pulih setelah mediator-mediator
diinaktifkan. Bila penyebab inflamasi tidak dapat disingkirkan atau terjadi
pajanan berulang-ulang dengan antigen, akan terjadi inflamasi kronis yang
dapat merusak jaringan dan kehilangan fungsi sama sekali.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Inflamasi merupakan suatu respon terhadap cedera jaringan dan infeksi di
dalam sel tubuh. Proses inflamasi menyebabkan reaksi vaskular dimana cairan
elemen-elemen darah, sel darah putih (leukosit), dan mediator kimia berada
pada tempat jaringan yang cedera atau yang mengalami infeksi. Proses
tersebut merupakan suatu perlindungan dari tubuh untuk menetralisir dan
membasmi agenagen berbahaya yang menyebabkan cedera jaringan atau
infeksi agar kembali normal dan bekerja pada fungsinya. Pada bentuk akutnya
ditandani dengan tanda klasik : nyeri (dolor), panas (calor), kemerahan
(rubor), bengkak (tumor) dan hilangnya fungsi (fungio lesa).
“SISTEM METABOLIK”
A. Latar Belakang
Kelainan metabolisme seringkali disebabkan oleh kelainan genetik yang
mengakibatkan hilangnya enzim tertentu yang diperlukan untuk merangsang
suatu proses metabolisme. Sedangkan metabolisme sendiri adalah proses penting
yang terjadi pada tubuh manusia, sebagai proses pengolahan baik pembentukan
dan penguraian zat-zat yangdiperlukan oleh tubuh agar tubuh dapat menjalankan
fungsinya dengan baik (Soentoko, 2022).
Metabolisme adalah proses yang diperlukan tubuh untuk menghasilkan
energi dari makanan yang masuk. Pada makanan terdapat protein, karbohidrat,
dan lemak. Bahan kimia yang terdapat di dalam sistem pencernaan mampu
memecah makanan tersebut menjadi energi tubuh (Evelyn, 2018).
Kelainan metabolik seringkali disebabkan oleh kelainan genetik yang
mengakibatkan hilangnya enzim tertentu yang diperlukan untuk merangsang
suatu proses metabolisme. Kelainan metabolisme dibedakan menjadi beberapa
macam berdasarkan zat yang mengalami kegagalan dalam metabolisme
diantaranya kelainan metabolisme lemak, protein, karbohidrat, pirivat dan asam
amino. Gangguan metabolik dapat terjadi saat adanya reaksi kimia abnormal
pada tubuh terkait proses tersebut. Kelainan ini dapat membuat seseorang
memiliki terlalu banyak atau terlalu sedikit berbagai zat yang dibutuhkan untuk
tetap sehat. Gangguan ini umumnya terjadi akibat kelainan genetik
mengakibatkan kelainan pada metabolisme. Dengan begitu, enzim yang
berperan dalam proses metabolisme sel hilang atau rusak. Selain itu, dapat juga
yang diakibatkan oleh makanan, toksin, infeksi, dan lain-lain. Gangguan
metabolik merupakan penyakit yang saat ini banyak diderita oleh penduduk
dunia, tidak terkecuali Indonesia. (Ramdhani et al., 2020).
B. PEMBAHASAN
Definisi Metabolisme
Metabolisme adalah pertukaran zat antara suatu sel atau suatu
organisme secara keseluruhan dengan zat antara suatu sel atau organisme
secara keseluruhan dengan lingkungannya. Metabolisme juga merupakan
proses penting yang terjadi pada tubuh manusia, sebagai proses pengolahan
baik pembentukan dan penguraian zat-zat yang diperlukan oleh tubuh agar
tubuh dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Terdapat beberapa contoh
dari metabolisme, yaitu:
- Proses memecah karbohidrat, protein, dan lemak dalam makanan untuk
menghasilkan energi.
- Proses mengubah nitrogen yang berlebihan menjadi zat limbah di dalam
urine.
- Proses memecah dan mengubah kimia kedalam zat lain dan
menyalurkannya kedalam sel-sel tubuh.
Gangguan metabolic adalah kelainan medis yang mempengaruhi
produksi energy di dalam sel tubuh manusia. Umumnya, kelainan genetic
mengakibatkan gangguan pada metabolism, sehingga enzim yang berperan
dalam proses metabolisme sel hilang ataurusak. Selain itu dapat juga
diakibatkan oleh makanan, toksin, infeksi, dan lain-lain. Gangguan
metabolisme memiliki berbagai macam bentuk antara lain:
- Kehilangan enzim atau vitamin yang diperlukan tubuh untuk reaksi yang
penting.
- Reaksi kimia abnormal yang menghambat proses metabolisme.
- Terdapat beberapa penyakit yang terlibat dalam proses metabolisme
sepertihati, pankreas, kelenjar endokrin, dll.
- Kekurangan gizi
-
Penyebab Gangguan Metabolik
Gangguan metabolisme paling sering disebabkan oleh kelainan genetik
yang diturunkan dalam keluarga. Kelainan genetik ini memengaruhi kinerja
kelenjar endokrin dalam menghasilkan enzim yang digunakan dalam proses
metabolisme. Akibatnya jumlah enzim yang dihasilkan akan berkurang atau
bahkan tidak diproduksi sama sekali dan kelainan genetic ini menimbulkan
hilangnya atau terjadi kelainan fungsi enzim yang penting. Sehingga kondisi
ini dapat mengganggu serangkaian proses kimia.
Hilang atau rusaknya enzim pencernaan juga menyebabkan zat-zat
beracun di dalam tubuh tidak dapat dikeluarkan dan menumpuk di aliran
darah. Kondisi ini dapat memengaruhi fungsi organ dalam tubuh dan
mengganggu proses metabolisme dalam tubuh.
Terdapat beberapa gangguan metabolisme tubuh yang terjadi karena
mutasi gen yang diturunkan. Hal ini didukung oleh National Institutes of
Health yang mengatakan bahwa terdapat gen etnis tertentu yang dapat
memicu terjadinya kelainan metabolisme bawaan,seperti penyakit anemia sel
sabit pada keturunan Afrika dancystic fibrosis pada keturunan Eropa Utara.
Umumnya, sejak bayi baru dilahirkan gejala akan gangguan metabolic
sudah muncul, sehingga dapat didiagnosis dengan melakukan tes skrining
rutin. Jika saatlahir gangguan metabolic gagal dideteksi, biasanya tidak akan
didiagnosis hingga pengidap merasakan gejalanya untuk pertama kali. Jika
pengidap sudah mengeluhkan gejalanya, dokter bisa mendiagnosis sebagian
besar gangguan metabolic melalui DNA.
A. Latar Belakang
Penyakit berbasis lingkungan terjadi pada kelompok masyarakat yang
memiliki keterkaitan dengan satu atau lebih komponen lingkungan di tempat
masyarakat tinggal dalam jangka waktu tertentu. Penyakit berbasis lingkungan
dapat dicegah dengan merubah kondisi lingkungan yang dapat menjadi faktor
munculnya penyakit tersebut.
Sanitasi merupakan salah satu komponen dari kesehatan masyarakat.
Perilaku sengaja untuk membudidayakan hidup bersih untuk mencegah manusia
bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan bahaya. Sanitasi
meliputi penyediaan air, pengelolaan limbah, control vector, pencegah dan
pengontrolan pencemaran tanah, sanitasi makanan, serta pencemaran udara.
Kesehatan lingkungan di Indonesia sangat memprihatinkan. Belum optimalnya
sanitasi ditandai dengan masih tingginya angka kejadian infeksi dan penyakit
menular seperti demam berdarah, kusta, serta hepatitis A yang tidak ada
habisnya Kondisi sanitasi sangat menentukan keberhasilann dari paradigma
pembangunan sehat yang lebih menekankan upaya promotif dan preventif tanpa
mengesampingkan upaya kuratif dan rehabiliaif. Kenyatannya sekarang, kondisi
sanitasi di Indonesia cukup tertinggal dari Malaysia dan Singapura yang lebih
bekomitmen menjaga kebersihan lingkungan.
Penyakit-penyakit berbasis lingkungan masih merupakan penyebab
utama kematian di Indonesia. Kecenderungan ini juga semakin mendapatkan
legitimasi seiring dengan munculnya Flu Burung dan Flu Babi, dua penyakit
yang sangat berkaitan dengan sanitasi lingkungan.
Bahkan pada kelompok bayi dan balita, penyakit-penyakit berbasis
lingkungan menyumbangkan lebih 80% dari penyakit yang diderita oleh bayi
dan balita. Keadaan tersebut mengindikasikan masih rendahnya cakupan dan
kualitas intervensi kesehatan lingkungan. Munculnya kembali beberapa
penyakit menular sebagai akibat dari semakin besarnya tekanan bahaya
kesehatan lingkungan yang berkaitan dengan masalah sanitasi cakupan air
bersih dan jamban keluarga yang masih rendah, perumahan yang tidak sehat,
pencemaran makanan oleh mikroba, telur cacing dan bahan kimia, penanganan
sampah dan limbah yang belum memenuhi syarat kesehatan, vektor penyakit
yang tidak terkendali (nyamuk, lalat, kecoa, ginjal, tikus dan lain-lain),
pemaparan akibat kerja (penggunaan pestisida di bidang pertanian, industri
kecil dan sektor informal lainnya), bencana alam, serta perilaku masyarakat
yang belum mendukung ke arah pola hidup bersih dan sehat.
B. PEMBAHASAN
Pengertian Penyakit Berbasis Lingkungan
Pengertian Penyakit adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan
fungsi atau morfologi suatu organ dan/atau jar tubuh. Lingkungan adalah
segala sesuatu yg ada disekitarnya (benda hidup, mati, nyata, abstrak) serta
suasana yg terbentuk karena terjadi interaksi antara elemen-elemen di alam
tersebut.
Penyakit Berbasis Lingkungan adalah suatu kondisi patologis berupa
kelainan fungsi atau morfologi suatu organ tubuh yang disebabkan oleh
interaksi manusia dengan segala sesuatu disekitarnya yang memiliki potensi
penyakit.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Penyakit berbasis lingkungan terjadi pada kelompok masyarakat
yang memiliki keterkaitan dengan satu atau lebih komponen lingkungan
di tempat masyarakat tinggal dalam jangka waktu tertentu. Penyakit
berbasis lingkungan dapat dicegah dengan merubah kondisi lingkungan
yang dapat menjadi faktor munculnya penyakit tersebut.
Penyakit Berbasis Lingkungan merupakan suatu kondisi patologis
berupa kelainan fungsi atau morfologi suatu organ tubuh yang
disebabkan oleh interaksi manusia dengan segala sesuatu disekitarnya
yang memiliki potensi penyakit. Ada 3 macam agent yang dapat
menyebabkan penyakit berbasis lingkungan, yaitu: secara biologis,
kimia, dan fisik, serta kita juga dapat mengetahui jenis-jenis penyakit
berbasis lingkungan tersebut.
“TUBERCULOSIS”
A. Latar Belakang
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara
lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran
nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang
terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC. Hingga
saat ini, Tuberkulosis tercatat sebagai salah satu masalah kesehatan dunia yang
masuk dalam Millennium Development Goals (MDGs).
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI masih terus menggaungkan
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas). Hal itu untuk mengantisipasi
terjadinya masalah kesehatan terutama Stunting, TBC, dan penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi. Masalah kesehatan tersebut diupayakan selesai pada
2019 sebagaimana hasil Rapat Kerja Kesehatan (Rakerkesnas) 2018 yang digelar
pada 5-8 Maret 2018 di Tangerang, Banten. Karenanya, diharapkan pemahaman
dan pengaplikasian Germas dilakukan secara merata oleh seluruh masyarakat
Indonesia.1 Germas merupakan gerakan nasional yang diprakarsai oleh Presiden
RI Joko Widodo dengan mengedepankan upaya promotif dan preventif, serta
melibatkan seluruh komponen bangsa dalam memasyarakatkan paradigma sehat.
Lintas sektor diharapkan dapat membuat kebijakan yang dapat mendukung
pengimplementasian Germas. Germas meliputi kegiatan aktivitas fisik, konsumsi
buah dan sayur, tidak merokok, memeriksakan kesehatan secara rutin,
membersihkan lingkungan, dan menggunakan jamban. Germas secara nasional
dimulai dengan berfokus pada 3 kegiatan, yakni melakukan aktivitas fisik 30
menit per hari, mengkonsumsi buah dan sayur, dan memeriksakan kesehatan
secara rutin minimal 6 bulan sekali sebagi upaya deteksi dini penyakit.Terkait
TBC, sesuai data WHO Global Tuberculosis Report 2016, Indonesia menempati
posisi kedua dengan beban TBC tertinggi di dunia. Tren insiden kasus TBC di
Indonesia tidak pernah menurun, masih banyak kasus yang belum terjangkau
dan terdeteksi, kalaupun terdeteksi dan telah diobati tetapi belum dilaporkan.
TBC di Indonesia merupakan salah satu jenis penyakit penyebab kematian
nomor empat setelah penyakit stroke, diabetes dan hipertensi. Kasus penyakit
TBC di Indonesia masih terbilang tinggi yakni mencapai sekitar 450 ribu kasus
setiap tahun dan kasus kematian akibat TBC sekitar 65 ribu orang. Penyakit
TBC lebih banyak menyerang orang yang lemah kekebalan tubuhnya, lanjut
usia, dan pasien yang pernah terserang TBC pada masa kanakkanaknya.
Penyebab penyakit TBC adalah infeksi yang diakibatkan dari kuman
Mycobaterium tuberkulosis yang sangat mudah menular melalui udara dengan
sarana cairan yang keluar saat penderita bersin dan batuk, yang terhirup oleh
orang sekitarnya.
Seseorang yang terinfeksi TB paru akan menimbulkan berbagai dampak di
kehidupannya, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Secara fisik, seseorang
yang telah terinfeksi TB paru akan sering batuk, sesak nafas, nyeri dada, berat
badan dan nafsu makan menurun, serta berkeringat di malam hari. Semua hal itu
tentunya akan mengakibatkan seseorang tersebut menjadi lemah. Secara mental,
seseorang yang telah terinfeksi TB paru umumnya akan merasakan berbagai
ketakutan di dalam dirinya, seperti ketakutan akan kematian, pengobatan, efek
samping dalam melakukan pengobatan, kehilangan pekerjaan, kemungkinan
menularkan penyakit ke orang lain, serta ketakutan akan ditolak dan
didiskriminasi oleh orang-orang yang ada di sekitarnya
B. Pembahasan
Pengertian Tuberculosis
Penyakit tuberkulosis Tuberkulosis (TBC) paru adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium tuberculosis yang
menyerang paru-paru dan bronkus. TBC paru tergolong penyakit air borne
infection, yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernapasan ke
dalam paru-paru. Kemudian kuman menyebar dari paru-paru ke bagian
tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui
bronkus atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya.
(TBC) paru adalah suatu penyakit infeksi kronis yang sudah sangat
lama dikenal pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat
tinggal di daerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya
penemuan kerusakan tulang vertebra otak yang khas TBC dari kerangka
yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu juga
penemuan yang berasal dari mumi dan ukuriran dinding piramid di Mesir
kuno pada tahun 2000 – 4000 SM. Hipokrates telah memperkenalkan
sebuah terminologi yang diangkat dari bahasa Yunani yang menggambarkan
tampilan penyakit TBC paru ini.
Etiologi TBC
TBC paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil TBC
(Mycrobacterium Tuberculosi Humanis). Mycrobacterium tuberculosis).
Merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran sangat kecil dengan
panjang 1-4 µm dengan tebal 0,3-0,6 µm. Sebagian besar komponen
Mycrobacterium tuberculosis adalah berupa lemak atau lipid yang
menyebabkan kuman mampu bertahan terhadap asam serta zat kimia dan
faktor fisik. Kuman TBC bersifat aerob yang membutuhkan oksigen untuk
kelangsungan hidupnya. Mycrobacterium tuberculosis banyak ditemukan di
daerah yang memiliki kandungan oksigen tinggi. Daerah tersebut menjadi
tempat yang kondusif untuk penyakit TB. Kuman Mycrobacterium
tuberculosis memiliki kemampuan tumbuh yang lambat, koloni akan tampak
setelah kurang dari dua minggu atau bahkan terkadang setelah 6-8 minggu.
Lingkungan hidup optimal pada suhu 37°C dan kelembaban 70%. Kuman
tidak dapat tumbuh pada suhu 25°C atau lebih dari 40°C.
Patogenesis TBC
TBC paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh basil TBC
(Mycrobacterium Tuberculosi Humanis). Karena ukurannya yang sangat
kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TBC ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TBC dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman
TBC. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TBC dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TBC dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TBC di
jaringan paru disebut Fokus Primer. Waktu yang diperlukan sejak masuknya
kuman TBC hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut
sebagai masa inkubasi TBC. Hal ini berbeda dengan pengertian masa
inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TBC
biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara
2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai
jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler
Abdulkhaleq L. A., Assi M., Abdullah R. et al, 2018, The Crucial Roles of
Inflammatory Mediators in Inflammation: A Review, Vet World, Volume
11 (5), pp. 627-635
Ardianto dan Yudhastuti. 2012. Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada
Pekerja Pabrik. Jurnal Kesmas Nasional Vol.6 No.5 April 2012.
Crowin, Elisabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3 Rev isi . Jakarta:
EGC
Guyton & H al.2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 11. Jakarta : EGC
Hammer.et.al. 2018. Risk Factors and Risk Factor Cascades for Communicable
Disease Outbreak in Complex Humanitarian Emergencies: A
QualitativeSystematic Review.BMJGlob Health Doi:10.1136/bmjgh-2017-
00064
Hikmah Nurul, Fitriyanti & Ika Astuti, K., 2020. Efek Antiinflamasi Infusa Bunga
Asoka (Ixora coccinea l) pada Tikus Jantan yang Diinduksi Karagenan.
Jurnal Sains Kesehatan 2. Vol 2. No 4. p-ISSN: 2303-0267, e-ISSN: 2407-
608
Kusumawati Endha. 2014. Ekspresi COX-2 dan Jumlah Neutrofil Fase Inflamasi
pada Proses Penyembuhan Luka Setelah Pemberian Sistemik Ekstrak
Etanolik Rosela (Hibiscus sabdariffa) (studi in vivo pada Tikus Wistar).
Maj Ked Gi. Juni 2014; 21(1): 13-19
Kumar V, Cotran R.S, Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Edisi .
Jakarta. EGC 2.
Mitchell R., Kumar V., Abbas A. K. et al, 2015, Inflammation and Repair, In :
Robbins and Cotran Pathologic Basis Of Disease, Philadelphia: Elsavier
Saunders, pp.31-40.
Murray Robert. K, dkk .2009. Biokimia Harper, edisi 27. Jakarta : EGC.
Purnama, Sang Gede. 2016. Buku Ajar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta.
Pober J. S., Sessa W. C., 2015, Inflammation and the Blood Microvascular
System. Cold Spring Harb Perspect Biol, Volume 7(1), pp. 1-1
Sugiyarto & Ayu Natalia. 2022. Efek Samping Hipoglikemi yang Dialami oleh
Pasien Geriatri yang Berisiko Sindrom Metabolik. Jurnal Sains
Kesehatan. 2022. Vol 4. No 4. p-ISSN: 2303-0267, e-ISSN: 2407-6082
William F. Ganong.2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 22. Jakarta. EGC.
Wijaya L., Saleh I., Theodorus et al, 2015. Efek Antiinflamasi Fraksi Daun
Andong (Cordyline fructicosa l) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus
Novergicus) Galur Sprague Dawley, Biomedical Journal of Indonesia,
Vol.1(1), pp. 16 – 24