Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Adaptasi Sel
Sel beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan internal, seperti total
organisme beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan eksternal. Sel dapat
beradaptasi dengan melakukan perubahan ukuran, jumlah, dan jenis. Perubahan
ini, yang terjadi secara tunggal atau dalam kombinasi, dapat menyebabkan atrofi,
hipertrofi, hiperplasia, metaplasia, dan displasia (Mattson, 2006).
Dalam kondisi normal, sel harus secara konstan beradaptasi terhadap
perubahan lingkungannya. Adaptasi fisiologis biasanya mewakili respon sel
terhadap perangsangaan normal oleh hormon atau mediator kimiawi endogen
(misalnya, pembesaran payudara dan induksi laktasi oleh kehamilan). Adaptasi
patologik sering berbagi mekanisme dasar yang sama tetapi memungkinkan sel
untuk mengatur lingkungannya, dan idealnya melepaskan diri dari cedera. Jadi,
jadi adaptasi selular merupakan keadaan yang berada di antara kondisi normal, sel
yang tidak stres dan sel cedera yang stres berlebihan (Robbins, 2007).
Adaptasi selular dapat didahului oleh sejumlah mekanisme. Beberapa
respons adaptif melibatkan up regulation atau down regulation reseptor selular
spesifik; misalnya reseptor permukaan sel yang terlibat pada pengambilan LDL
(low denisty lipoproein) normalnya dow-regulated saat sel kelebihan kolesterol.
Respon adaptif lainnya berhubungan dengan induksi sintesis protein baru oleh sel
target. Protein ini, misalnya protein syok panas, dapat melindungi sel dari bentuk
cedera tertentu. Masih adaptasi lain, melibatkan pertukaran dari menghasilkan
satu jenis protein menjadi yang lain, atau produksi berlebih protein yang tertentu;
contoh kasus adalah pada sel yang menyintesis berbagai kolagen dan matriks
protein ekstrasel pada inflamasi kronik dan fibrosis. Jadi, respon adaptif selular
dapat terjadi di setiap tahap, termasuk ikatan reseptor; tranduksi sinyal; atau
transkripsi, translasi atau ekspor, protein (Robbins, 2007).
B. Macam – Macam Adaptasi Sel
1. Atrofi
Pengerutan ukuran sel dengnn hilangnya substansi sel disebut atrofi.
Apabila mengenai sel dalam jumlah yang cukup banyak, seluruh jaringan
atau organ berkurang massanya, menjadi atrofi. Harus ditegaskan bahwa
walaupun dapat menurun fungsinya, sel atrofi tidak mati. Pada kondisi yang
berlawanan, kematian sel terprogram (apoptotik) bisa juga diinduksi oleh
sinyal yang sama yang menyebabkan atrofi sehingga dapat menyebabkan
hilangnya sel pada "atrofi" seluruh organ (Robbins, 2007).
Penyebab atrofi, antara lain berkurangnya beban kerja (misal, imobilisasi
anggota gerak yang memungkinkan proses penyembuhan fraktur),
hilangnya persarafan, berkurangnya suplai darah, nutrisi yang tidak adekuat,
hilangnya rangsangan endokrin, dan penuaan. Walaupun beberapa rangsang
ini bersifat fisiologis (misal, hilangnya rangsangan hormon pada
menopause) dan patologi lain (misal, denervasi), perubahan selular yang
mendasar bersifat identik. Perubahan itu menggambarkan kemunduran sel
menjadi berukuran lebih kecil dan masih memungkinkan bertahan hidup;
suatu keseimbangan baru dicapai antara ukuran sel dan berkurangnya suplai
darah, nutrisi, atau stimulasi trofik (Robbins, 2007).
2. Hipertrofi
Hipertrofi adalah bertambahnya ukuran suatu sel atau jaringan. Hipertrofi
adalah suatu respon adaptif yang terjadi apabila terdapat peningkatan beban
kerja suatu sel. Kebutuhan sel akan oksigen dan zat gizi meningkat,
menyebabkan pertumbuhan sebagian sebagian besar struktur intrasel,
termasuk mitokondria, retikulum endoplasma, vesikel intrasel dan protein
kontraktil. Kondisi ini membuat sintesis protein meningkat (Crowin, 2009).
Hipertrofi terutama dijumpai pada sel-sel yang tidak dapat beradaptasi
terhadap peningkatan beban kerja dengan cara meningkatkan jumlah mereka
(Hiperplasia) melalui mitosis. Contoh sel yang tidak dapat mengalami
mitosis, tetapi mengalami hipertrofi adalah sel otot rangka dan sel otot
jantung. Otot polos dapat mengalami hipertrofi maupun hiperplasia
(Crowin, 2009).
Terdapat tiga jenis utama hipertrofi (Crowin, 2009):
a. Hipertrofi fisiologis
Terjadi sebagai akibat dari peningkatan beban kerja suatu sel secara sehat
(peningkatan masa/ukuran otot setelah berolahraga).
b. Hipertrofi patologis
Terjadi sebagai respon suatu keadaan sakit, misalnya hipertrofi ventrikel
kiri sebagai respon terhadap hipertensi kronik dan peningkatan beban
kerja jantung.
c. Hipertrofi kompensasi
Terjadi sewaktu sel tumbuh untuk mengambil alih peran sel lain yang
telah mati. Contoh, hilangnya satu ginjal menyebabkan sel-sel di ginjal
yang masih ada mengalami hipertrofi sehingga peningkatan ukuran ginjal
secara bermakna.
Bila aktivitas yang dilakukan sel tersebut meningkat, atau stimulus yang
diterimanya meningkat, maka untuk mencapai keseimbangan dalam
merespon hal tersebut, sel akan mengalami hipertropi (McKenna, 1994).
Sebaliknya bila stimulus berkurang atau terjadi penurunan aktivitas sel,
maka sel tersebut akan mengalami atropi (Robbins, 2007).
3. Hiperplasia
Hiperplasia merupakan peningkatan jumlah sel dalam organ atau
jaringan. Hipertrofi dan hiperplasia terkait erat dan sering kali terjadi
bersamaan dalam jaringan sehingga keduanya berperan terhadap
penambahan ukuran organ secara menyeluruh (misal, uterus yang
hamil/uterus gravid). Namun demikian, pada kondisi tertentu, bahkan sel
secara potensial sedang membelah, seperti sel epitel ginjal, mengalami
hipertrofi tetapi tidak hiperplasia. Hiperplasia dapat fisiologik atau patologik
(Robbins, 2007)
Hiperplasia fisiologik dibagi menjadi (Robbins, 2007):
a. Hiperplasia hormonal, ditunjukkan dengan proliferasi epitel kelenjar
payudara perempuan saat masa pubertas dan selama kehamilan; dan
b. Hiperplasia kompensatoris, yaitu hiperplasia yang terjadi saat
sebagian jaringan dibuang atau sakit. Misalnya, saat hati (hepar)
direseksi sebagian, aktivitas mitotic pada sel yang tersisa
berlangsung paling cepat 12 jam berikutnya, tetapi akhirnya terjadi
perbaikan hati ke berat normal. Rangsang untuk hiperplasia pada
kondisi ini adalah faktor pertumbuhan polipeptida, yang dihasilkan
oleh sisa-sisa hepatosit (sel hepar) serta sel non parenkimal yang
ditemukan dihati. Setelah perbaikan massa hati, proliferasi sel
“dihentikan” oleh berbagai inhibitor pertumbuhan.
Hiperplasia juga merupakan respons kritis sel jaringan ikat pada
penyembuhan luka; pada keadaan tersebut fibroblas yang distimulasi faktor
pertumbuhan dan pembuluh darah berproliferasi untuk mempermudah
perbaikan (Robbins, 2007). Sebagian besar bentuk hiperplasia patologi
adalah contoh stimulasi faktor pertumbuhan atau hormonal yang berlebih.
Misalnya, setelah periode menstruasi normal, terjadi ledakan aktivitas
endometrium proliferatif yang secara esensial merupakan hiperplasia
fisiologik. Proliferasi ini secara normal sangat diatur oleh rangsangan
melalui hormon hipofisis dan estrogen ovarium dan oleh inhibisi melalui
progesteron. Namun demikian, jika terjadi gangguan keseimbangan antara
estrogen dan progesteron, terjadi hiperplasia endometrial, penyebab lazim
perdarahan menstruasi abnormal. Peningkatan sensitivitas terhadap kadar
normal faktor pertumbuhan juga dapat mendasari terjadinya hiperplasia
patologik. Jadi,kutil yang sering terjadi dikulit disebabkan oleh peningkatan
ekspresi berbagai factor transkripsi oleh papillomavirus penginfeksi; setiap
stimulasi tropik minor pada sel oleh faktor pertumbuhan, menghasilkan
aktifitas mitotik. Penting dicatat bahwa pada kedua situasi tersebut, proses
hiperplastik tetap dikontrol; jika rangsangan factor hormonal atau faktor
pertumbuhan hilang, hiperplasia menghilang. Hal tersebut yang
membedakannya dengan kanker; sel akan terus tumbuh walaupun tidak ada
rangsangan faktor hormonal. Namun, hiperplasia patologik merupakan
tanah yang subur, yang akhirnya dapat muncul proliferasi kanker. Oleh
karena itu, pasien dengan hyperplasia endometrium beresiko lebih besar
mengalami kanker endometrium dan infeksi papilomavirus tertentu menjadi
predisposisi kanker serviks (Robbins, 2007).
4. Metaplasia
Metaplasia adalah perubahan reversible; pada perubahan tersebut satu
jenis sel dewasa (epitheal atau mesenkimal) digantikan oleh jenis sel dewasa
lain. Metaplasia merupakan adaptasi selular, yang selnya sensitif terhadap
stress tertentu, digantikan oleh jenis sel lain yang lebih mampu bertahan
pada lingkungan kebalikan. Metaplasia diperkirakan berasal dari
“pemrograman kembali” genetik sel stem epithelial atau sel mesenkimal
jaringan ikat yang tidak berdiferensiasi (Robbins, 2007).
Metaplasia epithelial ditunjukkan dengan perubahan epitel gepeng yang
terjadi pada epitel saluran napas perokok kretek (kebiasaan). Sel epitel
silindris bersilia normal pada trakea dan bronkus, secara fokal atau luas,
diganti dengan sel epitel gepeng bertingkat. Defisiensi vitamin A j uga dapat
menginduksi metaplasia silindris pada epitel respirasi (Robbins, 2007).
Walaupun epitel metaplastik adaptif mungkin mempunyai keuntungan
dalam daya tahan hidup. Mekanisme perlindungan yang penting hilang,
seperti sekresi mucus dan pembersihan silia material berukuran partikel.
Oleh karena itu, metaplasia epitel merupakan pedang bermata dua; selain
itu, pengaruh yang menginduksi transformasi metaplastik, jika menetap,
dapat menginduksi transformasi kanker pada epitel yang metaplastik. Jadi,
pada bentuk umum kanker paru, metaplasia skuamosa epitel pernafasan
sering kali muncul bersamaan dengan penyusun kanker sel skuamosa
maligna. Walaupun tidak terbukti diduga bahwa merokok awalnya
menyebabkan metaplasia skuamosa, dan kanker terjadi kemudian ada
beberapa fokus yang berubah itu. Metaplasia tidak selalu menjadi pada
epitel selapis menjadi gepeng; pada refluks lambung kronik, epitel skuamos
bertingkat normal pada esophagus bawah dapat mengalami transformasi
metaplastik menjadi epitel silindris tipe usus halus atau lambung (Robbins,
2007).
Metaplasia juga dapat terjadi pada sel mesenkimal, tetapi kurang jelas
seperti suatu respon adaptif. Oleh karena itu, tulang atau kartilago dapat
terbentuk dalam jaringan, yang dalam keadaan normal, tidak dapat.
Misalnya, tulang kadang-kadang terbentuk dalam jaringan lunak, terutama
(tetapi tidak selalu) di tempat terjadinya jejas (Robbins, 2007).
5. Displasia
Dysplasia adalah kerusakan pertumbuhan sel yang menyebabkan lahirnya
sel yang berbeda ukuran, bentuk, dan penampakan dibandingkan sel
asalnya. Terjadi pada sel yang terpajan iritasi dan peradangan kronik.
Walaupun perubahan sel ini tidak bersifat kanker, dysplasia adalah indikasi
adanya suatu situasi berbahaya dan terdapat kemungkinan timbulnya
kanker. Tempat tersering terjadi dysplasia : saluran pernafasan dan serviks
wanita.
Displasia merupakan hilangnya keberagaman sel secara individu dan
juga hilangnya orientasi susunan sel-sel tersebut
a. Perubahan sifat sel sehingga bervariasi dalam ukuran, bentuk, dan
susunannya.
b. Mempunyai inti sel berwarna gelap, ukurannya lebih besar dan abnormal
c. Mitosis lebih banyak dijumpai pada tempat abnormal diantara sel-sel
epitel
d. Berhubungan erat dengan iritasi / radang kronik yang berkepanjangan
e. Proses yang reversible
f. Permulan dari timbulnya keganasan (pendahulu kanker)
Dysplasia dapat dijumpai pada :
a. Seviks
b. Saluran pernafasan
c. Rongga mulut
d. Kantung empedu
C. Mekanisme adaptasi sel
1. Mekanisme Atrofi
Atrofi menggambarkan pengurangan komponen struktural sel;
mekanisme biokimiawi yang mendasari proses tersebut bervariasi, tetapi
akhirnya memengaruhi keseimbangan antara sintesis dan degradasi. Sintesis
yang berkurang, peningkatan katabolisme, atau keduanya, akan
menyebabkan atrofi. Pada sel normal, sintesis dan degradasi isi sel
dipengaruhi sejumlah hormon, termasuk insulin, TSH (hormone perangsang
tiroid), dan glukokortikoid.
Pengaturan degradasi protein tampaknya mempunyai peran kunci pada
atrofi. Sel mamalia mengandung dua sistem proteolitik yang menjalankan
fungsi degradasi berbeda yaitu:
a. Lisosom mengandung protease dan enzim lain pendegradasi molekul
yang diendositosis dari lingkungan ekstrasel,serta mengatabolisme
komponen subselular, seperti organela yang menunjukkan proses
penuaan (senescent).
b. Jalur ubiquitin-proteasome bertanggung jawab untuk degradasi banyak
protein sitosolik dan inti. Protein yang di degradasi melalui proses ini,
secara khas menjadi sasaran oleh konjugasi ubiquitin,peptida 76-asam
amino sitosolik. Protein ini kemudian didegradasi dalam proteasome,
kompleks proteolitik sitoplasmik besar. Jalur ini menyebabkan
percepatan proteolisis pada keadaan hiperkatabolik (termasuk kakeksia
kanker) dan pengaturan berbagai molekul aktivasi intrasel.
Pada banyak situasi, atrofi disertai peningkatan bermakna sejumlah
vakuola autofagik, fusi lisosom dengan organela dan sitosol intrasel
mernungkinkan katabolisme dan pembongkaran komponen selnya sendiri
pada sel yang atrofi. Beberapa debris sel di dalam vakuola autofagositik
dapat menahan digesti dan menetap sebagai badan residu yang terikat
membran (misal, lipofuscin).
Secara umum, seluruh perubahan dasar seluler (dalam hal ini
merupakan perubahan ke arah atrofi) memiliki proses yang sama, yaitu
menunjukkan proses kemunduran ukuran sel menjadi lebih kecil. Namun,
sel tersebut masih memungkinkan untuk tetap bertahan hidup. Walupun sel
yang atropi mengalami kemunduran fungsi, sel tersebut tidak mati.
Atrofi menunjukkan pengurangan komponen-komponen stutural sel.
Sel yang mengalami atrofi hanya memiliki mitokondria dengan jumlah yang
sedikit, begitu pula dengan komponen yang lain seperti miofilamen dan
reticulum endoplasma. Akan tetapi ada peningkatan jumlah vakuola
autofagi yang dapat memakan/merusak sel itu sendiri.
Atrofi juga dipengaruhi oleh proses autofagi yang terdapat dalam sel.
Pada proses ini organela intraselular dan sebagian sitosol terasing dari
sitoplasma dalam vakuola autofagik yang terbentuk dari regio bebas
ribosom RER. Kemudian, berdifusi dengan lisosom primer yang
sebelumnya telah ada, membentuk autofagolisosom. Autofagi merupakan
fenomena umum yang terlibat dalam penyingkiran organela rusak atau mati,
dan pada perbaikan kembali (remodelling) sel yang disertai diferensiasi sel.
Autofagi terutama terjadi pada sel yang mengalami atrofi, yang diinduksi
oleh kekurangan zat nutrisi atau hormon.
Enzim dalam lisosom dapat mengkatabolisme lengkap sebagian besar
protein dan karbohidrat, walaupun beberapa lipid masih tidak dapat dicerna.
Lisosom dengan debris yang tidak dicerna, bisa menetap dalam sel sabagai
bahan-bahan residual atau bisa dipaksa keluar. Granul pigmen lipofuscin
menunjukkan material yang tidak dapat dicerna, yang dihasilkan dari
perooksidasi lipid intrasel, dan pigmen tertentu yang tidak dapat dicerna
seperti partikel karbon yang diinhalasi dari atmosfer atau pigmen yang
diinokulasi pada tato, dapat menetap dalam fagolisosom suatu makrofag
selama beberapa dekade.
2. Mekanisme Hipertrofi
Sel otot lurik, baik pada otot jantung maupun rangka, dapat mengalami
hipertrofi saja akibat respons terhadap peningkatan kebutuhan sel karena
pada orang dewasa, sel itu tidak dapat membelah membentuk sel yang lebi
banyak untuk membagi beban kerjanya. Akibatnya, sintesis protein dan
miofilamen yang lebih banyak di tiap sel, diduga mencapai keseimbangan
antara kebutuhan dan kapasitas fungsional sel; hal ini memungkinkan
peningkatan beban kerja dengan tingkat aktivitas metabolik per unit
volume sel yang tidak berbeda dari yang dikeluarkan oleh sel normal.
Namun demikian, perubahan adaptatif tersebut tidak semuanya bersifat
jinak; perubahan tersebut dapat juga menyebabkan perubahan dramatis pada
fenotip selular. Jadi, pada kelebihan beban volume jantung kronik, beragam
gen yang secara normal nanya ditunukkan pada jantung neonates diaktifkan
kembali, dan protein kontraktil berubah menjadi isoform fetal, yang
berkontraksi lebih lambat. Nuklei pada sel hipertrofik tersebut juga
memiliki kandungan DNA yang lebih tinggi dibandingkan sel miokardial
normal, kemungkinan karena sel itu berhenti pada siklus sel tanpa
mengalami mitosis sel.
Mekanisme yang mengatur hipertrofi jantung melibatkan paling sedikit
dua macam sinyal: pemicu mekanis, seperti regangan; dan pemicu trofik,
seperti aktivasi reseptor α-adrenergik. Selain itu hipertrofi juga didukung
dengan berbagai aktivasi growth factor (TGF-β, insulin-like growth factor-
1, fibroblast growth factor) serta agen vasoaktif(agonis α-adrenergik,
endothelin-1, angiotensin-II).
Hipertrofi memiliki dua jenis, yaitu hipertrofi fisiologis yang melalui
jalur Phosphoinositide 3-kinase/Akt, dan hipertrofi patologis yang melalui
jalur mekanisme signaling downstream of G protein-coupled receptors.
Apa pun mekanisme yang menyebabkan hipertrofi, akan tercapai suatu
batas yang pembesaran massa ototnya tidak lagi dapat melakukan
kompensasi untuk peningkatan beban; pada kasus jantung, dapat terjadi
gagal jantung. Pada stadium ini, terjadi sejumlah perubahan “degeneratif”
pada serabut miokardial, yang terpenting di antarnya adalah fragmentasi dan
hilangnya elemen kontraktil miofibrilar. Faktor yang membatasi
berlanjutnya hipertofi dan menyebabkan perubahan regresif belum
sepenuhnya dipahami. Mungkin terdapat vaskularisasi dalam jumlah yang
terbatas untuk menyuplai secara adekuat serabut yang mengalami
pembesaran, untuk menyupai ATP, atau fungsi biosintesis untuk
menunjukkan protein kontraktil atau unsure sitoskeleton lain.
3. Mekanisme Hiperplasia
Rangsangan yang menginduksi hiperplasia bisa fisiologis atau
patologis. Hiperplasia fisiologis dapat terjadi sebagai hasil stimulasi
hormonal, peningkatan kebutuhan fungsional, atau sebagai mekanisme
kompensasi. Pembesaran payudara dan uterus selama kehamilan adalah
contoh dari hiperplasia fisiologis yang distimulasi estrogen. Contoh lain
adalah kebutuhan hormon paratiroid yang meningkat, seperti pada kasus
gagal ginjal kronis, akan menyebabkan hiperplasia kelenjar paratiroid.
Selain itu proses regenerasi dari hati yang terjadi setelah hepatektomi parsial
(pengambilan parsial hati) adalah contoh dari hiperplasia kompensasi.
Dalam penyembuhan luka, hyperplasia jaringan ikat juga mekanisme yang
sangat penting untuk berkontribusi dalam proses penyembuhan.
Meskipun hipertrofi dan hiperplasia adalah dua proses yang berbeda,
mereka mungkin terjadi bersamaan dan sering dipicu oleh satu pemicu yang
sama. Contohnya adalah pada uterus ibu saat proses kehamilan akan
mengalami baik hipertrofi dan hiperplasia akibat stimulasi estrogen.
4. Mekanisme Metaplasia
Sebagian besar bentuk hiperplasia patologis disebabkan karena
stimulasi hormon atau efek dari faktor pertumbuhan yang berlebihan.
Produksi hormon estrogen yang berlebihan dapat menyebabkan
endometrium dan perdarahan haid yang tidak normal. Benign prostatic
hyperplasia, yang merupakan gangguan umum pria berusia lebih tua dari 50
tahun, diduga terkait dengan tindakan sinergis estrogen dan androgen. Kutil
pada kulit adalah contoh lain hiperplasia disebabkan oleh faktor
pertumbuhan yang dihasilkan oleh human papilloma virus.
5. Mekanisme Displasia

Anda mungkin juga menyukai