Anda di halaman 1dari 20

MEKANISME ADAPTASI SEL

Ditujukkan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Patofiologi


Dosen Pengampu: Tiurlan M.Doloksaribu, M.Kep

Disusun Oleh:
Esa Paska Manurung P07520217015

Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan


D-IV Keperawatan
2017/2018
MEKANISME ADAPTASI SEL

PENGERTIAN SEL

Sel merupakan partisipan aktif di lingkungannya yang secara tetap menyesuaikan


struktur dan fungsinya untuk mengakomodasi tuntutan perubahan dan stress ekstrasel.

RESPON ADAPTASI UTAMA

Respon adaptasi utama adalah atrofi, hipertrofi, hyperplasia, dan metaplasia. Jika
kemampuan adaptatif berlebihan, sel mengalami jejas. Dalam batas waktu tertentu
cedera bersifat reversible dan sel yang terkena mati. Dua pola dasar kematian sel yaitu
1. Nekrosis (khususnya nekrosis koagulatif) terjadi setelah suplai darah hilang atau setelah
terpajan toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein dan kerusakan
organel.
2. Apoptosis terjadi akibat program "bunuh diri " yang dikontrol secara internal, setelah sel
mati yang disingkirkan dengan gangguan minimal dari jaringan sekitarnya.

MEKANISME JEJAS SEL

Ada beberapa cara untuk mengidentifikasi sel yang terdiri dari:


 Respon seluler terhadap stimulus yang beberapa bergantung pada tipe cedera, durasi
dan bentuknya.
 Akibat suatu stimulus yang berbahaya bergantung pada tipe, status, kemampuan
adaptasi dan genetic yang mengalami jejas.
 Empat system intraseluler yang paling mudah terkena adalah
1. Keutuhan membrane sel yang kritis terhadap homestatis osmotic dan lebih seluler
2. Pembentukkan adenosine trifosfat yang paling besar melalui repirasi aerobic
3. Sintesa protein
4. Keutuhan perlengkapan genetic
 Komponen struktual dan biokimiawi suatu sel terhubung secara utuh memandang jejas
efek multiple sekunder yang terjatuh sangat lanjut.
 Fungsi sel hilang sebelum terjadi kematian sel dan perubahan morfologi jejas sel.
ADAPTASI SELULAR TERHADAP JEJAS

Adaptasi fisiologis ini biasanya mewakili respons sel terhadap perangsangan


normal oleh hormone atau mediator kimiawi endogen . adaptasi patologik sering terjadi
mekanisme dasar yang sama , dan memungkinkan sel untuk mengatur lingkungannnya,
dan idealnya melepaskan diri dari cedera.
Adaptasi selular dapat didahului oleh sejumlah mekanisme. Beberapa respons
adaptif melibatkan up regulation atau down regulation reseptor selular spesifik. Respon
adaptif lainnya berhubungan dengan induksi sistesis protein syok panas, dapat
melindungi sel dari bentuk cedera tertentu
Atrofi

Pengerutan ukuran sel dengan hilangnya subtansi sel disebut atrofi. Apabila
mengenai sel dalam jumlah yang cukup banyak, seluru jaringan atau organ berkurangnya
massanya, menjadi atrofi . harus ditegaskan bahwa walaupun dapat menurun fungsinya,
sel atrofi tidak mati. Pada kondisi yang berlawanan, kematian sel terprogram (apoplotik)
bias juga diinduksi oleh sinyal yang sama yang menyebabkan atrofi sehingga dapat
menyebabkan hilangnya sel pada atrofi seluruh organ.

Pengaturan degradasi protein tampaknya mempunyai peran kunci pada atrofi.


Sel mamalia mengandung dua sistem proteolitik yang menjalankan fungsi degradasi
berbeda:
 Lisosom mengandung proteasedan enzim lain pendegradasi molekul yang
diendositosis dari lingkungan ekstrasel, serta mengatabolisme komponen
subselular, seperti organela yang menunjukkan proses penuaan (senescent)
 Jalur ubiquitin-proteasome bertanggung jawab untuk degradasi banyak protein
sitosilik dan inti. Protein yang didegradasi melalui proses ini, secara khas menjadi
sasaran oleh konjugasi ubiquitin, peptide 76-asam amino sitosilik.
Pada banyak situasi, atrofi disertai peningkatan bermakna sejumlah vakuola autofagik,
fusi lisosom dengan organel dan sitosol intrasel memungkinkan katabolisme dan
pembongkaran komponen selnya sendiri pada sel yang atrofi. Beberapa debris sel di
dalam vakuola autfagositik dapat menhana digesti dan menetap sebagai badan residu
yang terikat membrane.

Hipertrofi
Hipertrofi merupakan penambahan ukuran sel dan menyebabkan penambahan
ukuran organ. Pada, hipertrofi murni, tidak ada sel baru, hanya sel yang menjadi lebih
besar, pembesarannya akibat peningkatan sintesis organel dan protein struktual.
Hipertrofi dapat fisiologik atau patologik dan disebabkan juga oleh peningkatan kebutuhan
fungsional atau rangsangan hormonal spesifik. Hipertrofi dan hyperplasia juga dapat
terjadi bersamaan dan jelas keduanya mengakibatkan pembesaran organ(hipertrofik).

Mekanisme yang mengatur hipertrofi jantung melibatkan paling sedikit dua macam
sinyal, pemicu mekanisme, seperti regangan, dan pemicu trofik, seperti aktivitas reseptor
ἀ-adrenerik. Apapun mekanisme pasti atau mekanisme hipertrofi, akan tercapai suatu
batas yang pembesaran massa ototnya tidak lagi dapat melakukan komponensasi untuk
peningkatan beban pada kasus jantung, dapat terjadi gagal jantung.

Hyperplasia

Hyperplasia merupakan peningkatan jumlah peningkatan jumlah sel dalam organ


atau jaringan. Hipertrofi dan hyperplasia terkait erat dan sering kali terjadi bersamaan
dalam jaringan sehingga eduanya berperan terhadap penambahan ukuran organ secara
menyeluruh . hyperplasia dapat fisiologik atau patologik hyperplasia fasiologik dibagi
menjadi :
1. Hyperplasia hormonal, ditunjukkan dengan proliferasi epitel kelenjar payudara
perempuan saat masa pubertas dan selama kehamilan
2. Hyperplasia komposensial yaitu hyperplasia yang terjadi saat sebagian jaringan
dibuang atau sakit. Misalnya, saat hati (hepar) , aktivitas mitotic pada sel yang
terisa , berlangsung paling cepat 12 jam berikutnya, tetapi akhirnya terjadi
perbaikkan hati ke berat normal. Rangsangan untuk hyperplasia pada kondisi ini
adalah factor pertumbuhan polipeptida, yang di hasilkan oleh sisa-sia hepatosit
(sel hepar) serta sel nonparenkimia yang idtemukan di hati. Setelah perbaikan
massa hati polferasi sel “dihentikan” oleh berbagai inhibitor pertumbuhan.
Hyperplasia juga merupakan respons kritis sel jaringan ikat pada penyembuhan
luka, pada keadaan tersebut fibroblast yang distimulus factor pertumbuhan dan
pembuluh darah berproliferasi yang mempermudah perbaikan.

Metaplasia
Metaplasia adalah perubahan reoersibel, pada perubahan tersebut satu jenis sel
dewasa (epiterlial atau mesenkimal) digantikan oleh jenis sel dewasa lain. Metaplasia
merupakan adaptasi selular, yang selnya sensitif terhadap stres tertentu, digantikan oleh
jenis sel lain yang lebih mampu bertahan pada lingkungan kebalikan. Metaplasia
diperkirakan berasal dari “pemrograman kembali” genetik sel stem epitelial atau sel
mesenkimal jaringan ikat yang tidak berdiferensiasi.
Metaplasia epitelial ditunjukkan dengan perubahan epitel gepeng yang terjadi pada epitel
saluran napas perokok kretek (kebiasaan). Sel epitel silindris bersilia normal pada trakea
dan bronkus, secara fokal atau luas, diganti dengan sel epitel gepeng bertingkat.
Defisiensi vitamin A juga dapat menginduksi metaplasia silindris pada epitel respirasi.
Walaupun epitel metaplastik adaptif mungkin mempunyai keuntungan dalam daya tahan
hidup, mekanisme perlindungan yang penting hilang, seperti sekresi mukus dan
pembersihan silia material berukuran partikel. Oleh karena itu, metaplasia epitel
merupakan pedang bermata dua: selain itu, pengaruh yang menginduksi transformasi
metaplastik, jika menetap, dapatvmenginduksi transformasi metaplastik, jika meneta,
dapat menginduksi transformasi kanker pada epitel yang metaplastik. Jadi, pada bentuk
umum kanker paru, metaplasia skuamosa epitel pernafasan sering kali muncul
bersamaan dengan penyusun sel skuamosa, dan kanker terjadi kemudian pada beberapa
fokus yang berubah itu. Metaplasia tidak selalu terjadi pada epitel silindris menjadi
gepeng : pada refluks lambung kronik, epitel skuamosa bertingkat normal pada esofagus
bawah dapat mengalami transformasi metaplastik menjadi epitel silindris tipe usus halus
atau lambung.

RESPON SUBSELULER TERHADAP JEJAS

Katabolisme Lisosomal.
Lisosom primer adalah organela intrasel yang dilapisi membran yang mengandung
beragam enzim hidrolitik, lisosom berfusi dengan vakuola yang berisi material yang
berfungsi sebagai pencerna pembentuk lisosom sekunder, atau fragolisosom. Lisosom
terlibat dalam pemecahan material yang dicerna melalui satu dari dua cara: heterofagi
atau autofagi.
Heterofagi
Material dari lingkungan eksterna diambil melalui suatu proses yang secara
umum disebut endostitosis, pengambilan material yang berukuran lebih besar disebut
fagositosis, dan pengambilan makromolekul yang dapat larut yang lebih kecil dinamakan
pinositosis. Vakuola yang mengalami endositosis dan isinya, akhirnya berfusi dengan
lisosom,menyebabkan degradasi material yang dapat ditelan.walaupun hal itu terjadi pada
beberapa tingkatan di semua jenis sel, heterofagi merupakan hal yang paling mencolok
dalam fagosit “profesional”, bakteri diingesti(dicerna) dan didegradasi oleh neutrofil, dan
makrofag menelan dan mengatabolisme sel nekrotik.

Autofagi
Pada proses ini, organela intraselular dan sebagian sitosol terasing dari
sitoplasma dalam vakuola autofagik yang terbentuk dari regio bebas ribosom RER.
Kemudian, berfusi dengan lisosom primer yang sebelumnya telah ada, membentuk
autofagolisosom. Autofagi merupakan fenomena umum yang terlibat dalam penyingkiran
organela rusak atau mati, dan pada perbaikan kembali (remodelling) sel yang disertai
diferensiasi sel.
Enzim dalam lisosom dapat mengatabolisme lengkap sebagian besar protein dan
karbohidrat, walaupun beberapa lipid masih tidak dapat dicerna. Lisosom dengan debris
yang tidak dicerna, yang dihasilkan dari peroksidasi lipid intrasel, dan pigmen tertentu
yang tidak dapat dicerna, seperti partikel karbon yang diinhalasi dari atmosfer atau
pigmen yang diinokulasi pada tato, dapat menetap dalam fagolisosom suatu magrofag
selama beberapa dekade (akan dibahas kemudian).
Lisosom juga merupakan gudang penimbunan material sel terasering yang tidak
dapat dimetabolisme dengan sempurna. Gangguan penyimpanan lisosom herrediter,
disebabkan oleh defisiensi enzim yang mendegradasi berbagai makromolekul,
menyebabkan penimbunan metabolit intramedia abnormal lisosom sel di seluruh tubuh,
neuron paling teratur terhadap cedera letal akibat akumulasi.

Perubahan Mitokondrial.
Disfungsi mitokondrial berperan penting pada jejas sel akut dan kematian sel.
Namun, pada beberapa kondisi patologik nonletal terjadi berbagai perubahan jumlah,
ukuran, bentuk, dan barangkali juga bisa terjadi perubahan fungsi mitokondria. Misalnya
pada hipertrofi selular terdapat penambahan jumlah mitokondria dalam sel, sebaliknya,
jumlah mitokondria berkurang selama atrofi sel (kemungkinan melalui heterofagi).

Abnormalitas Sitoskeletal.
Sitoskeleton mengandung filamen aktin dan miosin, mikrotubulus, dan berbagai
kelas filamen intermedia , beberapa bentuk nonfilamentosa dan nonpolimerisasi pada
protein kontraktil juga berperan pada perancah selular. Sitoskeleton penting untuk
 Transpor intraselular organel dan molekul
 Mempertahankan arsitektur sel darah ( misalnya, polaritas sel, membedakan atas
bawah)
 Membawa sinyal sel-sel dan sel-matriks ekstraselmenuju nukleus.
 Kekuatan mekanis untuk keutuhan jaringan
 Mobilitas sel
 Fagositosis

Protein syok panas,


Salah satu respons biologik adaptif yang dijaga dalam hirarki filogenetik adalah
induksi protein stres setelah rangsang yang berpotensi berbahaya. Pada mulanya disebut
protein syok panas (HSP) karena protein ini terurai dalam larva lalat buah setelah menjadi
peningkatan ringan temperatur (4 sampai 5’C)
HSP berperan penting pada pemeliharaan/perawatan protein intrasel normal,
termasuk proses pelipatan protein (protein folding), disagregasikompleks protein, dan
transpor protein menuju berbagai organel intraselular.sebagai pengganti, HSP dapat
dihasilkan (misal,anggota keluarga Hsp 60 dan Hsp 90jumlahnya didasarkan pada
perkiraan berat molekul), atau sintesis dasrnya dapat meningkat setelah stres selular
yang mengakibatkan agregasi dan denaturasi protein (misal, anggota keluarga Hsp
70).HSP induksi stelah rangsangan berbahaya yang tak terduga berperan penting dalam
pelipatan kembali polipeptida yang mengalami denaturasi, untuk memperbaiki fungsinya
sebelum menimbulkan difungsi atau kematian sel yang serius.

Akumulasi Intrasel
Sel dapat mengakumulasikan sejumlah zat abnormal. Akumulasi tersebut dapat
membahayakan berbagai tingkat cidera. Lokasi substansi tersebut di dalam sitoplasma,
organel(khususnya lisosom), atau dalam nukleus. Zat dapat di sintesis oleh sel yang
terkena atau dapat diproduksi di tempat lain.
Terdapat tiga jalur umum yang selnya dapat menmbah akumulasi intrasel
abnormal.
 Zat normal diproduksi dengan kecepatan normal atau kecepatan yang meningkat,
tetapi kecepatan metabolik tidak adekuat untuk menyingkirkannya suatu contoh
untuk jenis proses tersebut adalah perlemakan hati.
 Zat endogen normal atau abnormal menumpuk karena defek genetik atau didapat
pada metabolisme, pengemasan, transpor, atau sekresinya.satu contohnya adalah
defek enzimatik genetikpada jalur metabolik spesifik, gangguan yang dihasilkan
disebut penyakit simpanan . pada khasus lain, mutasi menyebabkan defek
pelipatan dan transpor, dan akhirnya akumulasi protein ( misal, defisiensi a1-
antitripsin )
 Zat eksogen abnormal disimpan dan menumpuk karena sel tidak memiliki mesin
enzimatik.
 Mendegradasi zat, dan banyak juga tidak mampu mengangkutnya ke tempat lain.
Akumulasi partikel karbon atau silika merupakan contoh jenis perubahan tersebut.

Kolestrol dan Ester Kolesteril.


Metabolisme kolestrol diatur ketal untuk memastikan sintetis membran sel normal
tanpa akumulasi intrasel yang berarti. Namun, sel fagositik bisa menjadi sangat terbebani
dangan lipid (trigliserida, kolestrol dan ester kolesteril) pada beberapa proses patologik
yang berbeda.
Makrofag seavenger (makrofag yang menggunakan reaksi kimia) berkontrak dengan
debris lipid sel nekrosis atau bentuk abnormal (misal, teroksidasi) lipid plaster
menyebabkan terisi penuh lipid karena aktivitas fagositiknya. Makrofag ini terisi dengan
vakuola lipid kecil yang terikat membran, memberikan gambaran busa pada sitoplasma
(sel busa). Pada aterosklerotik sel otot polos dan magrofag terisi dengan vakuola lipid
yang terdiri atas kolestrol dan ester kolesteril; hal ini menyebabkan plak aterosklerotik
berwarna kuning khas yang mempunyai kontribusi terhadap patogenetilesi. Pada sindrom
hiperlipidemia dan akulsita, marfog mengakumulasi kolestrol intrasel; ketika muncul di
jaringanikat kulit atau di tendo, sekelompok makrofag berbusa yang membentuk massa
yang disebut xanthoma.

Protein.
Secara morfologis, akumulasi protein yang terlihat lebih jarang terjadi
dibandingkan akumulasi lipid; akumulasi protein dapat terjadi karena kelebihan protein
disajikan pada sel atau karena sel atau karena sel menyababkan protein dalam jumlah
yang berlebih. Di ginjal melunturkan sejumlah kecil albumin yang disaring melewati
glonerulus secara normal direabsorpsi oleh pinositosis pada tubulus kontorius
prokalimbium. Namun, pada gangguan dengan kebocoran perikambium berat melewati
filter ginjal (missalnya ,sindrom terisilin) terdapat peningkatan yang sepadan pada
reabsobsi pinositik protein. Fusi vesikel pinositik dengan lisosom menghasilkan gambaran
histologik berwarna merah muda, droplet sitoplasma hialin. Proses inireversibel, jika
proteinuria berkurang. Droplet protein dimetabolisme dan menghilang. Contoh lain adalah
akumulasi nyata imunoglobulin yang baru disintesis yang dapat terjadi di RER beberapa
sel plasma, menghasilkan brudan riassel easinofilik bulat.
Akumulasi protein intrasel juga tampak pada jenis tertentu jejas sel. Misalnya, badan
mallory, atau “hialinalkoholik”, merupakan inklusi esosinofilik intraritoplasmik dalam sel
hati, yang sangat khas untuk penyakit hati alkoholik. Inklusi tersebut terutama tersusun
atas filamen intermedia prekeratin yang teragregasi, yang agaknya menahan degradasi.
Contoh lain adalah kekusutan neurofibrilar yang terdapat pada penyakit alzheimer; inklusi
protein tragregasi tersebut mengandung protein yang berhubungan dengan mikrotubulus
dan neurofilamen, suatu refleksi gangguan sitiskleleton neuronal.

Glikogen.
Deposit glikogen intrasel yang berlebih disebabkan oleh abnormalitas
metabolisme glukosa atau glikogen. Pada diabetes melitus yang tidak terkontrol baik,
contoh utama penyimpangan metabolisme glukosa adalah akumulasi glikogen di epitel
tubulus ginjal, miosit jantung, dan sel beta pulau langerhans. Glikogen juga berakumulasi
dalam sel di sekolmpok gangguan genetik yang terkait erat yang secara kolektif disebut
penyakit penimbunan glikogen, atau glikogenosis. Pada penyakit tersebut, defak enzim
pada sintesis atau pemecahan glikogen menghasilkan pertumbuhan masif, dengan
cedera skunder dan kematian sel.

Pigmen
Pigmen merupakan substansi berwarna yang bersifat eksogen, berasal dari luar
tubuh, atau endogen, disentis dalam tubuh sendiri.
Pigmen eksogen yang tersering adalah karbon (misalnya, debu batu bara), suatu
polutan udara yang ada di sekeliling kehidupan perkotaan. Bila terinhalasi, debu tersebut
difagositosis oleh makrofag alveolar dan diangkut melalui saluran limfantik menuju
kelenjar getah bening trakeobronkial regional. Agregat pigmen nyata sekali
menghitamkan aliran kelenjar getah bening dan prenkim paru. Akumulasi berat yang
dapat mengakibatkan penyakit paru serius, disebut pneournokoniosis paru penambang
batu bara.

Pigmen endogren meliputi lipofusein, melamim, dan derival tertentu hemoglobin.


Lipofusein atau “wear-and-tear pigment”, merupakan matrial intrasel granular kuning
kecoklatan tak mudah larut, yang berakumulasi dalam berbagai jaringan (terutama
jantung, hati, dan otak) sebagai suatu fungsi umur atau atrofi. Lipofuson menggambarkan
kompleks lipid dan protein yang berasal dari radikal bebas-peroksidasi terkatalis pada
lemak polyunsanurated membran subselular. Lipolusein tidak mencederai sel, tetapi
penting sebagai penanda cedera radikal bebas di masa lalu. Bila tampak jelas di jaringan,
lipotuscin disebut atrofi coklat. Dengan mikroskop elektron, pigmen tampak sebagai
granula padat elektron perinuklear.
Melamin adalah pigmen hitam-coklat endogren yang dibentuk oleh melanosit saat enzim
triosisase enzim mengatalisasi oksidasi tirosin menjadi dihidroksifenilalanin. Melanin
disintetis secara eklusif oleh melanosit, sel spesifik yang secara khas ditemukan pada
epidermis dan berperan sebagai tabir endogen melawan radiasi ultraviolet yang sangat
berbahaya. Walaupun melanosit basal yang berdekatan di kulit dapat mengakumulasi
pigmen (misalnya, bintik-bintik di kulit), atau bisa diakumulasi dalam makrofag dermal.
Hemosiderinadalah pigmen granular yang berasal dari hemoglobin yang berwarna
kuning-keemasan sampai coklat dan berakumulasi dalam jaringansaat terdapat kelebihan
zat besi lokal atau sistemik. Zat besi yang dalam keadaan normal tersimpan dalam sel
berhubungan dengan apofritinprotein, yang membentuk misei terilin. Pigmen hemoniderin
menggambarkan agregat besar misel feritin tersebut, yang dengan mudah
divisualisasikan dengan mikroskop cahaya dan elekton; zat besi dapat diindetifikasi tanpa
ambigu dengan reaksi histokimiawi biru prusslan. Walaupun biasanya patologik, sejumlah
kecil hemosiderin normal dalam fagosit mononuklear sumsum tulang, limpa, dan hati; di
tempat tersebut terdapat pemecahan sel darah merah yang luas.
Kelebihan zat besi lokal, yang menyebabkan hemosiderin, terjadi akibat pendarahan.
Contoh terbaik adalah memar yang lajim terjadi. Setelah lisis eritrosit di tempat
pendarahan, debris sel darah merah difagositosis oleh makrofag; kandungan hemoglobin
lalu dikatabolisme oleh lisosom dengan akumulasi zat besi hem dalam hemosiderin.
Susunan warna yang keluar melalui memar mencerminkan perubahan ini. Warna
hemoglobin menjadi biru-hijau oleh pembentukan lokal biliverdin (empedu hijau) dan
bilirubin (empedu merah) dari pemecahan hem; ion zat besi hemoglobin diakumulasi
sebagai hemosiderin kuning-emas
Setiap saat terdapat kelebihan beban zat besi sistemik, hemosiderin tersimpan dalam
banyak organ dan jeringan, suatu keadaan yang disebut hemosi-derosis. Hemosiderosis
pertama kali ditemukan delam lagosit mononuklear hati, sumsum tulang, limpa, dan
kelenjar getah bening serta makrofag yang tersebar di seluruh organ lain. Dengan
akumulasi progesif, sel parenkimal seluruh tubuh (tetapi terutama hati, pankreas, jantung,
dan organ endokrin) menjadi berwarna “perunggu” dengan mengakumulasi pigmen.
Kalsifikasi Patologik
Klasifikasi patogik merupakan proses umum dalam berbagai ragam penyakit;
klasifikasi patologik secara tak langsung menunjukkan deposisi abnormal garam kalsium,
dan mineral lain. Bila terjadi deposisi di jaringan yang telah mati atau akan mati, disebut
klsifikasi distrofik; terjadi dalam keadaan tidak ada kekacauan metabolik kalsium (yaitu,
dengan kadar kalsium dalam serum yang normal). Sebaliknya deposisi garam kalsium
pada jaringan normal dikenal sebagai kalsifikasi metastatik dan hampir selalu
menunjukkan kekacauan metabolisme kalsium

Kalsifikasi Distrofik.
Klasifikasi distorik ditemukan di bagian area nekrosis jenis apa pun. Kelasifikasi
tersebut sebenarnya pasti terjadi pada ateroma alerosklerosis lanjut, area jejasintima di
aorta dan arteri.
MORFOLOGI

Tanpa memandang tempat, garam kalsium tampak jelas sebagai granula atau gumpalan
putih halus, yang sering teraba seperti deposit berpasir. Kadang, kelenjar getah bening
bertuberkel secara mendasar diubah menjadi batu. Secara histologis, klarifikasi tampak
sebagai deposit basofillik intrasel dan/atau ekstrasel pada saatnya, tulang heterotopik
dapat terbentuk pada lokus kalsifikasi

Patogenesis klarifikasi distrotik meliputi inistasin ( atau nukleasi ) dan propagasi,


keduanya dapat intrasel atau ekstrasel; produk akhir puncak adalah pembentukan kristal
kalsium fosfat. Inisiasi di tempat ekstrasel terjadi pada vasikel yang di bungkus oleh
membran dengan diameter sekitar 200 nm; pada kartilago dan tulang normal, dikenal
sebagai vesikel matriks, dan pada klarifikasi patologik berasal dari sel-sel yang
mengalami degenerasi. Diperkirakan kalsium pertama-tama terkonsentrasi dalam vasikel
tersebut dengan afinitasnya untuk membran fosfolopid, sedangkan akumulasi fosfat
terjadi akibat kerja fostafase yang dibungkus oleh membran inisiasi klarifikasi intrasel ini
terjadi dalam mitokondria sel yang telah mati atau akan mati, yang telah kehilangan
kemampuannya untuk mengatur kalsium intrasel. Setelah inisiasi di salah satu lokasi,
terjadi propogasi pembentukan kristal. Keadaan tersebut bergantung padakonsentrasinya
Ca++ dan PO4- di ruang ekstrasel, adanya inhibitor mineral, dan derajat kolagenisasi.
Kolagen meningkatkan kecepatan pertumbuhan kristal, tetapi protein lain seperti
osteopontin juga terlibat.

Klarifikasi metastatik.
Klarifikasi metastatik dapat terjadi di jaringan normal setiap kali terdapat
hiperkalsemia;jelas, hiperkalsemia juga memperburuk klarifikasi distrofik. Empat
penyebab utama hiperkalsemia adalah (1) peningkatan hormon paratirosil, akibat tumor
paratiroid primer atau produksi oleh tumor ganas lain(2) destruksi tulang akibat pengaruh
penggantian yang terakselerasi (misalnya, penyakit paget ), imobilisasi, atau tumor
( peningkatan katabolisme tulang yang disebabkan oleh multipelmieloma, leukimia, atau
metastasis skeretal difusi);(3) gangguan yang berhubungan dengan vitamin D, termasuk
intoksikasi vitamin D dan sarcaidosis (magrofag mengaktifkan prekursor vitamin D); dan
(4) gagal ginjal, yang retensi fosfatnya menimbulkan hiperparatiroidisme sekunder.
JEJAS SEL REVERSIBEL DAN IREVESIBEL

Mekanisme molekular yang menghubungkan sebagian besar bentuk jejas sel dengan
kematian sel. Pertama, jelas terdapat banyak cara untuk membuat sel cedera , tidak
semuanya bersifat fatal. Kedua, banyak makromolekul, enzim dan organela dalam sel
sangat bergantungan sehingga sukar untuk membedakan efek reaksi cedera primer
dengan cedera sekunder (dan tidak perlu relevan). Ketiga, “point of ni retrun” (titik tidak
dapat kembali normal lagi) pada kerusakan ireversibel yang te;ah terjadi mesih tidak
dapat ditentukan;jadi, kami tidak memiliki acuan (titik potong) penentuan yang tepat untuk
menentukan penyebab dan akibatnya. Akhirnya, kemungkinan tidak terdapat jalur akhir
kematian sel.

JALUR LINTAS UMUM

Empat sistem sel yang paling mudah terkena jejas (1) intregitas membran sel yang
penting bagi homeotasis ionik dan osmosik selular; (2) pembentukan ATP, sebagian
besar melakukan respirasi aerobik mitrokondria. (3) sintetis protein, dan (4) integritas
apparatus genetik. Dalam keterkaitan sel dapat mengompensasi gangguan tersebut, dan
jika rangsangan yang membuat jejas dihilangkan, sel kembali ke keadaan normal. Namun
begitu, cedera yang persistem atau berlebihan menyebabkan sel melewati ambang batas
dan masuk ke kondisi jejas ireversibilitas. Keadaan tersebut disertai kerusakan lain pada
semua membran, pembengkakan lisosom, vakuolisasi mitokondria, sehingga terjadi
penurunan kapasitas untuk membentuk ATP, kalsium ekstrasel masuk ek dalam sel, dan
cadangan kalsium intrasel dikeluarkan, mengakibatkan aktivitas enzim yang dapat
mengatabolisai membran, protein, ATP, dan asam nukleat. Jadi, salah satu penanda
ultrastruktur jelas irevisibel yang paling dini adalah akumulasi densitas amorf, kaya
kalsium dalam matrika mitrokondria.. setelah itu, terdapat kehilangan kontinu protein,
koenzim esensial, dan asam ribonukleat dan membran plasma yang hipermeabel, dengan
sel yang kurang metabolit vital untuk membentuk kembali ATP, dan selanjutnya
mengosongkan fosfat berenergi tinggi intrasel. Jejas pada membran lissosomal
menyebabkan kebocoran ke dalam sitoplasma; asam hidrolase diaktivasi pada penurunan
pH intrasel pada sel yang iskemik dan mengdegradasi komponen sitloplasma dan
nuklear.
Setelah kematian sel, kandungan sel secara progesif terdigesti oleh hidrolase
lisosomal; selanjutnya terjadi kebocoran luas enzim sel yang berpotensi destruktif, masuk
kedalam ruang ekstrasel. Sel mati akhirnya dapat digantikan dengan massa fosfolipid
berulir besar yang disebut gambaran mielin. Presipitat fosfolipid tersebut kemudian
difagositosis oleh sel lain atau selanjutnya didegradasi menjadi asam lemak. Klarifikasi
residu asam lemak seperti itu menghasilkan pembentukkan sabun kalsium. Penting
memprtahankan bahwa kebocoran protein intrasel melintasi membran sel yang terdegrasi
ke dalam sirkulasi perifer, menunjukkan suatu cara deteksi jejas sel spesifik jaringan dan
kematian sel, dengan menggunakan sampel serum darah. Otot jantung, misalnya,
mengandung isoform khusus enzim kreatinin kinase dan troponin protein kontraktil; hati
(dan khususnya epitel duktus biliaris) mengandung isofrom enzim alkaline fosfatase yang
tahan temperatur. Jejas irevesibel dan kematian sel dalam jaringan ini akhirnya
dicerminkan dengan peninggian kadar protein tersebut dalam sirkulasi umum.

MEKANISME JEJAS IREVERSIBEL

Rangkaian biokimiawi kejadian yang disebabkan oleh jejas sel yang telah dibahas
terdahulu sebagai kelanjutan dari onset sampai pencernaan akhir sel yang mengalami
jejas secara letal oleh enzim lisosomal. Namun begitu, di mana keadaan “point of no
retrun” (titik yang tidak dapat kembali normal lagi) yang selnya mengalami destruksi ? dan
kapan sel benar-benar mati ? dua fenomena yang secara konsisten menandai keadaan
irevesibel. Pertama-tama adalah ketidakmampuan memperbaiki disfungsi mitokondria
(kekurangan fosforilasi oksidatif dan pembentukkan ATP), bahkan setelah resolusi jejas
adal (misal, restorasi aliran darah). Keuda adalah terjadinya gangguan fungsi membran
yang besar. Walaupun deplesi ATP sendiri memungkinkan kejadian yang letal, kiktinya
masih diperdebatkan; secara eksperimental memungkinkan untuk mendisosiasikan
perubahan morfologik dan deplesi ATP, dari kematian sel yang tidak dapat dihindari.
Terdapat beberapa penyebab potensial kerusakan embran, dan semua mempunyai
peran pada bentuk tertentu jejas.
 Kehilangan progesif fosfolipid membran. Pada hati yang iskemik. Jejas ireversibel
dihubungkan dengan penurunan mencolok fospolipid membra. Satu penjelasan
mungkin berupa peningkatan degradasi yang disebabkan oleh aktivitas fosfolipase
endogren akibat peningkatan kalsium sotosol yang diinduksi iskemia. Kehilangan
fospolipid yang progesif dapat juga terjadi akibat penurunan realasi yang
dependen ATP atau berkurangnya sintetis fosfolipid de novo.
 Abnormalitas sitoskeletal. Aktivitasi protase dengan peningkatan kalsium intrasel
bisa menyebabkan kerusakan sitoskleton. Pada kondidi pembengkakkan sel, jejas
seperti itu dapat menyebabkan pelepasan emmbran sel dari sitoskleton,
menyebabkan membran rentan terhadap regangan dan ruptur.
 Radikal oksigen toksik. Speis oksigen yang tereduksi sebagian sangat toksik dan
menyebabkan jejas pada membran sel dan isi sel lainnya. Radikal oksigen
tersebut meningkat pada jaringan iskemik, terutama setelah perbaikan aliran
darah dengan rekrutmen leukosit dan mekanisme lain yag telah dibahas pada
bagian” jejas iskemia/reperfusi”.
 Produksi pemecahan lipid. Produk katabolik ini berakumulasi dalam sel isemik
sebagai akibat degradasi fosfolipid dan memiliki efek pembersih pada membran.

MORFOLOGI JEJAS SEL REVERSIBEL DAN KEMATIAN SEL-NEKROSIS

Perubahan fungsional secara khas mendahului setiap perubahan morfologik jejas


sel. Selain itu, kelambatan waktu yang diperlukan untuk menghasilkan perubahan
morfologik jejas serta kematian bervariasi bergantung sensitivitas metode yang digunakan
untuk mendeteksi perubahan itu. Dengan teknik histokimiawi atau ultrastruktur perubahan
bisa terlihat dalam beberapa menit sampai jam setelah jejas yang disebabkan berbagai
penyesaian namnum, perubahan mungkin memerlukan waktu yang cukup lama
(beberapa jam sampai hari ) sebelum terlihat dengan mikroskop cahaya atau
pemeriksaan mikroskopis.
Sel yang mati memperlihatkan peningkatan eosinofil(yaitu ,pulasan merah muda
dari pewarnaan eosin). Gambaran tersebut sebagian disebabkan oleh meningkatnya
pengikatan eosin terhadap protein intrasitoplasmikyang mengalami donaturasi, dan
sebagian akibat hilangnya basofil yang normalnya ditanam oleh RNA di sitoplasma.
Sel dapat memiliki gambaran homogen yang leblhtampakKaca dibandingkan sel yang
masih hidup (viabel),terutama akibat hilangnya partikel glikogen. Bila enzimtelah
mendegradasi organela, sitoplasmamenjadi hervakuola dan tampak dimakan ngengat
Akhirnya, bisa terjadi kalsifikasi sel yang mati. Perubahan nuklear memberikan satu dari
tiga pola dan semuanya disebabkan oleh pemecahan nonspesifikDNA Basofilia kromatin
bisamemudar(Kariolisis).

Pola kedua adalah Piknosis ditandai dengan melisutnya inti sel dan peningkatan
basofil,DNA berkondensasi menjadi massa yang melisut padat.
Pada pola ketiga kario-roksis fragmen inti sel yang peknotik Dalam 1-2 hari. Inti dalam
sel yang mati benar benar menghilang.
Massa jaringan nekrotik dapat memperlihatkan pola morfologik berbeda bergantung pada
katabolisme enzimatik atau denaturasi protein, apabila denaturasi merupakan pola
primer,disebut nekrosis koagulatif. Pada keadaan tertentu bisa saja terjadi nekrosis
kaseosa atau nekrosis lemak.
Nekrosis koagulatif menunjukkan secara tidak langsung pemeliharaan kerangka
struktural dasar sel.nekrosis liquefatik khas untuk infeksi bakterialfokal atau kadang
tunggal,karena memberikan rangsang yang sangat kuat untuk akumulasi sel darah putih.
Apapun patogenesis nyali quefaksi (pencairan) sepenuh nya mencerna sel mati walaupun
nekrosis gangronosa bukan merupakan pola jenis praktik pembedahan istilah tersebut
menunjukkan nekrosis koagulativaiskemik.
Saat terjadi infeksi yang menumpang dengan komponen liquefaksi, lesi disebut gangren
basah
Nekrosis kaseosa adalah bentuk tersendiri nekrosis yang paling sering di temukan pada
fokus infeksi tuberkulosis. Istilah kaseosa berasal dari gambaran makroskopikputih,
seperti keju didaerah nekrotik tersusun atas debris granularamort tanpa struktur
terlingkupi dalam cincin inflamasigranulomatosa tersendiri.
Nekrosis lemak adalah nekrosis yang di sebabkan oleh pelepasan patologi enzim
pankreatik yang teraktivitasikedalam parenkim yang berdekatan atau cabumperitonel.
Nekrosis lemak terjadi pada kegawatdaruratan abdomen yang membahayakan da dikenal
sebagai pankreatis akut.

Kematian Sel Terprogram Apoptosis

Apoptosis adalah cara kematian sel yang penting dan tersendiri yang seharusnya
di bedakan dengan nekrosis, meskipun beberapa gambaran mekanistiksama.
Apoptosis adalah jalur bunuh diri sel bukan pembunuhan , sel yang terjadi pada kematian
sek nekrotik.
Proses fisiologik meliputi:
1. Kerusakan sel terprogram selama embriogenesis . Seperti yang terjadi pada
implantasi , organogenesis dan terjadinya involusi.
2. Involusi fisiologik bergantung hormon seperti involusi endometrium selama siklus
menstruasi atau payudara dimasa laktasi setelah atrofi patologikseperti pada
prostat.
3. Delesi sel pada populasi yang berfroliferaseperti epitel kripta ,usus atau kematian
sel.
Mekanisme Apoptosis

1. Signaling(pemberian signal), apoptosis dapat dipicu dengan berbagai sinyal yang berkisar
dari kejadian terprogram intrinsik (misalnya pada perkembangan), kekurangan faktor
tumbuh.
2. Kontrol dan integrasi, di lengkapi oleh protein spesifik yang menghubungkan sinyal
kematian asli dengan program eksekusi akhir.
3. Jalur akhir apoptosis ini ditandai dengan konstelasi dengan kejadian biokimiawi khas
yang dihasilkan dari sintesis dan/atau aktivitasi sejumlah enzim katobolik sitosoloik.
Walaupun terdapat variasi yang tidak kentara, eksekusi final jalur lintas itu
memperlihatkan pola-pola pokok yang umumnya bisa diaplikasikan pada semua bentuk
apoptosis.
 Pemecahan protein oleh satu golongan protease yang baru dikenal, dinamakan caspase ,
disebut dimikian karena protein itu mempunyai sistein sisi aktif dan pecah setelah residu
asam aspartat. Pada sistem eksperimental, ekspresi berlebih setiap kaspase
mengakibatkan apoptosis selular, mengesankan bahwa dalam kondisis normal, protein
tersebut harus dikontrol dengan ketat. Aktivasi satu atau lebih enzim kaspase secara tak
terduga menimbulkan rentetan bertingkat aktivasi protease lain, puncak yang tak bisa
ditawar lagi berupa bunuh diri sel. Sebagai contoh, aktivasi endonuklease down-stream
mengakibatkan fragmentasi DNA khan, selama perubahan volume dan bentuk sel
sebagian dapat disebabka oleh pemecahan komponen sitoskeleton
 Ikatan sikang protein yang luas melalui aktivasi transglutaminase mengubah
protein sitosplasmik mudah larut dan terutama protein sitoskletal menjadi selubung
memadat berikatan secara kovalen yang dapat berfragmentasi menjadi badan-
badan apoptotic
 Pemecehan DNA menjadi fragmen berpasangan dengan basa 180 sampai 200
(jarak antar nukleosom) . keadaan tersebut dapat digambarkan sebagai
“penjengjangan” DNA acak (yang membentuk suatu “apusan” pada gel agarosa)
yang secara khas tampak pada sel nekrotik. Seharusnya diperhatikan bahwa
penjejangan juga dapat terlihat pada stadium dini nekrosis.
4. Pengangkatan sel mati. Sel apoptotik dan fragmennya memiliki molekul penanda
pada permukaannya, yang mempermudah pengambilan dan pembuangan oleh sel
yang berdekatan atau fagosit. Keadaan tersebut terjadi dengan membalikkan
fosfatidiliserin dari permukaan sitoplasmik interna dari sel apoptotik ke permukiaan
ekstra sel. Perubahan tersebut dan perubahan lainnya memungkinkan pengenalan
dan fagositosis dini sel apoptotik tanpa pelepasan mediator proinflamasi. Proses
sangat efisien sehingga sel mati menghilang tanpa meninggalkan bekas, dan
inflamasi benar-benar tidak ada.

Penuaan Sel

Sejumlah fungsi sel menurun secara progresif seiring penuaan. Fosforilasi


oksidatif mitokondria menurun, seperti sintesis protein structural, enzimatik dan reseptor.
Sel yang mengalami proses penuaan memiliki kapasitas untuk ambilan nutrien dan
perbaikan kerusakan kromosom yang berkurang. Perubahan morfologik pada sel yang
menua meliputi ketidakteraturan inti, mitokondria bervakuola pleomorfik, pengurangan
reticulum endoplasma dan penyimpangan aparatus Golgi. Secara bersamaan, terdapat
akumulasi tetap pigmen lipofuscin (yang mengindikasikan riwayat kerusakan oksidatif dan
jejas membran sel) protein yang terlipat abnormal, dan produk akhir glikolisasi lanjut yang
mampu berikatan silang dengan protein yang berdekatan.
Teori penuaan sel intrinsik berpegang bahwa proses penuaan sel terjadi karena
pemrograman genetic yang telah ditetapkan. Teori semacam ini didukung oleh
pengamatan jangka panjang bahwa fibroblast manusia dewasa normal pada kultur sel,
memiliki rentang masa hidup tertentu; fibroblast berhenti membelah dan menjadi menua
setelah kira-kira 50 kali penggandaan (sehingga disebut fenomena Hayflick). Fibroblast
neonatus mengalami sekitar 65 kali penggandaan sebelum berhenti membelah,
sementara itu fibroblast dari pasien dengan progeria, yang berusia premature, hanya
memperlihatkan 35 kali penggandaan atau lebih. Dari teori tersebut ada dua mekanisme
yang diusulkan, antara lain:
 Replikasi inkomplet ujung-ujung kromosom (pemendekan telomere). Oleh karena
mekanisme replikasi DNA, setiap pembelahan sel normal menghasilkan kopi tiap
kromosom dengan agak sedikit terpotong.
 Jam gen. Gen memiliki sistem control waktu pertumbuhan terhadap tubuh.
Sebagai tambahan untuk jam genetic intrinsic, teori terkini berpegang bahwa rentang
masa hidup sel juga diatur oleh keseimbangan cedera yang sedang berlangsung dan
kemampuan sel untuk memperbaiki kerusakan.
Konsisten dengan teori penuaan adalah hasil pengamatan sebagai berikut:
a. Panjang umur diantara spesies berbeda berbanding terbalik dengan
kecepatan pembentukan radikal superoksid mitokondria
b. Ekspresi berlebih enzim dismutase superoksid antioksidatif dan katalase
memperlama masa hidup pada penelitian model penuaan
c. Pembatasan asupan kalori menurunkan drajat status (kondisi) mantap
terhadap kerusakan oksidatif, memperlambat perubahan yang berhubungan
dengan usia, dan memperlama masa hidup maksimal mamali

Asuhan Keperawatan

  Pada pasien Post Orif Femur & Tibia

1.   Pengkajian
I.
                    Identitas
Nama                           : Ny.S
Jenis kelamin               : Perempuan
Umur                           : 27 tahun
Status                          : Menikah
Agama                         : Kristen
Pendidikan                  : SMA
Pekerjaan                     : Wiraswasta
Alamat                        : Medan . Jl Bunga Ncole Kec.Medan tuntungan
Tanggal masuk            : 20 juli 2018
NO. Register               : 04062
Ruang/Kamar              : RB III /18
Golongan Darah          : B
Tanggal Pengkajian     : 2 Agustus 2018
Tanggal Operasi          : 23Juli 2018
Dx Medis                    : Fraktur Open (L) femur + open (L) fibula

Penanggung Jawab
Nama                           : Tn.S
Hubungan                   : Suami
Pekerjaan                    : Guru
Alamat                        : Medan. Jl Bunga Ncole Kec. Medan tuntungan
                   :
                      

            Diagnose keperawatan
a.       Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, dan
cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas
b.      Kerusakan Mobilitas Fisik Berhubungan dengan Kerusakan Rangka
Neusomuskuler Trauma,resiko
3.   Intervensi Keperawatan
1.      Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, dan
cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas

Intervensi Rasional
Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri        Untuk menentukan tindakan
 Imobilisasi bagian yang sakit keperawatan yang tepat
Tinggikan dan dukung ekstremitas yang       Untuk mempertahankan posisi
terkena fungsional tulang
  Dorong menggunakan teknik manajemen       Untuk memperlancar arus balik
relaksasi vena
  Berikan obat analgetik sesuai indikasi        Agar klien rileks
       Untuk mengurangi nyeri

2.      Kerusakan Mobilitas Fisik Berhubungan dengan Kerusakan Rangka Neusomuskuler


Intervensi Rasional

Ambulasi Meningkatkan dan membantu berjalan


Mobilitas Sendi  penggunaan untuk mempertahankan atau
pergerakan tubuh aktif memperbaiki fungsi tubuh
perubahan posisi memindahkan untuk mempertahankan atau
pasienatau bagian tubuh memperbaiki fleksibilitas sendi
untuk memberikan kenyamanan,
menurunkan resiko kerusakan kulit
mendukung integritas kulit dan
meningkatkan penyembuhan.

Implementasi :

Hari 1 s/d 3:
Pukul 17.00
Mengkaji keadaan umum pasien : keadaan umum lemah, akelauhan umum nyeri
Pukul 17.20
Mengkaji nyeri : lokasi di daerah sendi femur proksimal sampai daerah gips
Intensitas nyeri : 3
Menganjurkan pasien untuk mendengar musica yang disukai
Pukul 17.40
Hari ketiga
Pasien kehilangan alat music
Menganjurkan pasien menarik nafas dalam (nyeri masih sedikit terasa)
Pukul 18.00
Memberi diet MB pasien
Pukul 19.00
Membantu pasien miki miki

Anda mungkin juga menyukai