Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

1. Pengertian

Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan

rangsangan internal (pikiran ) dan rangsangan ekternal (dunia luar). Klien

memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa objek atau rangsangan

yang nyata. Sebagai contoh klien mendengarkan suara padahal tidak ada orang

yang berbicara ( Kusumawati & Hartono 2012).

Halusinasi pendengaran atau akustik adalah kesalahan dalam

mempersepsikan suara yang di dengar klien. Suara bisa menyenangkan, ancaman,

membunuh dan merusak (Yosep, 2013).

halusinasi pendengaran adalah kesalahan mempersepsikan rangsangan

yang diterima oleh klien melalui indra


pendengarannya yang sebenarnya rangsangan tersebut tidak ada, tidak nyata

dan tidak dapat dibuktikan.

B. Etiologi

1. Faktor predisposisi menurut (Yosep, 2011)

a. Faktor perkembangan

Perkembangan klien yang terganggu misalnya kurangnya mengontrol

emosi dan keharmonisan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri

sejak kecil, mudah frustasi ,dan hilang percaya diri.

b. Faktor sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak terima di lingkungan sejak bayi akan

membekas diingatkanya sampai dewasa dan di akan merasa disingkirkan

kesepian dan tidak percaya pada lingkungan.

c. Faktor Biokimia

Adanya stres yang berlebihan yang dialami oleh seseorang maka di dalam

tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia

buffofeno dan dimetytranferase sehingga terjadi ketidak seimbangan asetilkolin

dan dopamin.

d. Faktor psikologis

Tipe kepribadian yang lemas dan tidak bertanggung jawab akan mudah

terjerumus pada penyalah gunaan zat adiktif. Klien lebih memilih kesenangan

sesaat dari alam nyata menuju alam khayal.


e. Faktor genetik dan pola asuh

Hasil studi menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan

yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

2. Faktor penyebab halusinasi menurut Stuart (2014)

a. Faktor predisposisi

1) Biologis

Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan

dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai di pahami.

Ditujukan oleh penelitian – penelitian yang berikut:

a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukan keterlibatan otak yang

lebih luas dalam perkembangan skizofrenia, luka pada daerah frontal,

temporal dan limbik berhubungan dengan psikotik.

b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang

berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin di

kaitkan dengan terjadinya skizofrenia.

c) Pembesaran ventrikel dan penurunan masa kontrikal menunjukan

terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi

otak klien dengan skizofrenia kronis di temukan pelebaran lateral

ventrikel. Atropi korteks bagaian depan dan atropi otak kecil (

cerebellum).Temuan kelainan anatomi otak tersebut di dukung oleh

otopsi ( post –mortem ).


2) Psikologis

Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon

dan kondisi psikologis klien.Salah satu sikap atau keadaan yang dapat

mempengaruhi ganggaun orientasi realitas adalah penolakan atau

tindakan kekerasandalam rentang hidup klien.

3) Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya mempengaruhi ganggaun orientasi realita seperti :

kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam)

dan kehidupan yang terisolasi di sertai stres.

b. Faktor presipitasi

1) Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur

proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam

otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif

menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterprestasikan.

2) Stres lingkungan

Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor

lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan.

3) Sumber Koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menaggapi stresor

.
C. Jenis –jenis halusinasi

Jenis halusinasi antara lain menurut Stuart (2013).

1. Halusinasi pendengaran

Karakteristik ditandai dengan suara, terutama suara –suara orang,biasanya

klien mendengar suara orang sedang berbicara apa yang sedang dipikirkan dan

memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

2. Halusinasi penglihatan

Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran

cahaya, gambaran geometrik, gambaran kartun dan/atau panorama yang luas dan

kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.

3. Halusinasi pengidu

Karakteristik di tandai dengan adanya bau busuk,amis dan bau yang

menjijikan seperti darah urine atau feses. Kadang–kadang bau harum. Biasanya

berhubungan dengan stroke tumor kejang dan dementia.

4. Halusinasi peraba

Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa

stimulus yang terlihat contoh merasa sensasi listrik datang dari tanah, benda mati

atau orang lain.

5. Halusinasi pengecap

Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk,amis dan

menjijikan,merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.


6. Halusinasi kenestetik

Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah

mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.

D. Proses Terjadinya masalah

Halusinasi berkembang melalui empat fase menurut Stuart (2015),yaitu

sebagai berikut :

1. Fase Pertama

Disebut juga dengan fase comforting yaitu fase menyenangkan .

Pada tahap ini masuk dalam golongan nonpsikotik .

Karakteristik dari fase ini adalah klien mengalami stress, cemas ,

perasaan perpisahan, atau bersalah, kesepian yang memuncak dan dapat di

selesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan ,

cara ini menolong sementara.

Perilaku klien meliputi tersenyum atau tertawa tidak sesuai,

menggerakan bibir tanpa suara, penggerak mata cepat, respon verbal yang lambat

jika sedang asik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.

2. Fase ke dua

Disebut dengan fase condemming yaitu halusinasi menjadi

menjijikan.Termasuk dalam psikotik ringan.


Karakteristik dari fase ini pengalaman sensori yang menjijikan dan

menakutkan kecemasan meningkat, melamun dan berfikir sendiri jadi dominan.

Mulai ada bisikan yang tidak jelas, klien tidak ingin orang lain tahu dan dapat

mengontrolnya.

3. Fase ke tiga

Adalah fase controlling yaitu pengalaman sensori menjadi

kuasa.Termasuk dalam gangguan psikotik.

Karakteristik difase ini bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol,

menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya

terhadap halusinasinya .

Perilaku klien difase ini kemampuan dikendalikan halusinasinya, rentang

perhatian lainya beberapa menit dan detik. Tanda-tanda fisik berup klien

berkeringat, tremor, dan tidak mampu memantau perintah.

4. Fase ke empat

Adalah fase conquering atau panik yaitu klien kabur dengan

halusinasinya. Termasuk dalam psikotik berat.

Karakteristik difase ini halusinasi berubah menjadi mengancam

,memerintah dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang

control, dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain

dilingkungan.

Perilaku klien difase ini adalah perilaku teror akibat panik, potensi bunuh

diri, perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, atau katatonik, tidak


mampu merespon terhadap perintah kompleks dan tidak mampu berespon lebih

dari satu orang.

E. Tanda dan gejala

Karakteristik perilaku yang dapat ditunjukan klien dan kondisi halusinasi

menurut Direja (2011).

1. Halusinasi pendengaran

Data subyektif :

Klien mendengarkan suara atau bunyi tanpa stimulus nyata, melihat

gambaran tanpa stimulus yang nyata, mencium nyata stimulus yang nyata,

merasa makan sesuatu, merasa ada sesuatu pada kulitnya,takut terhadap suara

atau bunyi yang di dengar,ingin memukul dan melempar barang.

Data obyektif :

Klien berbicara, senyum dan tertawa sendiri,pembicaraan kacau dan

terkadang tidak masuk akal, tidak dapat membedakan hal yang nyata dan tidak

nyata, menarik diri dan menghindar dari orang lain, disorientasi, tidak bisa

memusatkan perhatian atau konsentrasi menurun, perasaan curiga, takut,gelisah,

bingung, ekpresi wajah tegang, muka merah dan pucat,tidak mampu melakukan

aktifitas mandiri dan kurang mengontrol diri, menunjukan perilaku, merusak diri

dan lingkungan.
2. Halusinasi penglihatan

Data subyektif:

Klien akan menunjuk- nunjuk kearah tertentu, akan merasa ketakutan

terhadap sesuatu yang tidak jelas.

Data obyektif:

Klien melihat bayangan seperti melihat hal-hal yang lain hantu atau lainya

yang sebenarnya tidak ada.

3. Halusinasi penghidu

Data Subyektif : Klien membau-bauan seperti merasakan bau darah,urine

kadang- kadang bau terasa menyenangkan.

Data Objektif : Klien menghidung seperti sedang membaui bau-bauan

tertentu klie akan menutup hidung.

4. Halusinasi pengecap

Data Subyektif : Klien merasakan seperti rasa darah, urin atau yang lainya dalam

mulutnya.

Data Obyektif : Klien sering meludah, dan muntah- muntah tanpa sebab.

5. Halusinasi Perabaan

Data Subyektif : Klien mengatakan merasa ada hewan atau ada sesuatu yang

melekat pada permukaan kulitnya.

Data Obyektif : Klien sering mengusap-usap kulitnya berharap hewan atau yang

lainya pergi dari kulitnya.


F. Psikopatologi

Pada model stres dan adaptif dalam keperawatan jiwa halusinasi disebabkan

oleh faktor berikut ini antara lain faktor predisposisi, stresor presifitasi, penilaian

terhadap stresor, sumber koping, mekanisme koping, dan rentang respon Stuart

(2015).

Model Stres Adaptif Stuart


Faktor Predisposisi

Bio Psikologi Sosial Budaya

Sterssor Presipitasi

Sifat Waktu
Asal Juml
Penilaian terhadap stressor

Afektif Fisiologis perila Sosi


Kognitif
Sumber- sumber Koping

Kemampuan personal Dukungan sosial


Aset materi Keyakinan Positif
Mekanisme Koping

construtive Destructive

Menarik diri Proyeksi Regresi


Rentang respon

Respon adaptif Respon maladaptif

- Pikiran logis - Pikiran kadang - Gangguan pikiran atau


- Persepsi akurat menyimpang waham (delusions)
- Emosional - Ilusi - Haluasinasi
- Konsisten dengan - Emosional berlebihan - Kerusakan proses emosi
pengalaman - Perilaku aneh - Perilaku tidka teroganisasi
- Perilaku cocok - Menarik diri - Isolasi sosial
- Hubungan sosial harmonis

Gambar II. I Patopsikologis, Respon neurobiological berdasarkan model


stress dan adaptasi Stuart (2013)
G. Penatalaksaaan medis

Terapi dalam jiwa bukan hanya meliputi pengobatan dan farmakologi, tetapi

juga pemberian psikoterapi, serta terapi modalitas yang sesuai dengan gejala atau

penyakit klien yang akan mendukung penyembuhan klien jiwa. Pada terapi tersebut

juga harus dengan dukungan keluarga dan sosial akan memberikan peningkatan

penyembuhan karena klien akan merasa berguna dalam masyarakat dan tidak merasa

diasingkan dengan penyakit yang di alaminya (Kusmawati & Hartono, 2010).

1. Psikofarmakologis

Farmakoterapi adalah pemberian terapi dengan menggunakan obat. Obat

yang digunakan untuk gangguan jiwa disebut dengan psikofarmaka atau

psikotropika atau pherentropika. Terapi gangguan jiwa dengan menggunakan

obat-obatan disebut dengan psikofarmakoterpi atau medikasi psikotropika yaitu

obat yang mempunyai efek terapeutik langsung pada proses mental penderita

karena kerjanya pada otak / sistem saraf pusat. Obat bias berupa haloperidol,

Alprazolam, Cpoz, Trihexphendyl.

2. Terapi Somatis

Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan ganggua

jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladatif menjadi perilaku adaptif

dengan melakuakn tindakan yang di tujukan pada kondisi fisik kien.Walaupun

yang di beri perilaku adalah fisik klien,tetapi target


adalahperilaku klien. Jenis somatic adalah meliputi pengingkatan, terapi kejang

listrik,isolasi, dan fototerapi.

a. Pengingkatan

Pengikatan adalah terapi menggunakan alat mekanik atau manual untuk

membatasi mobilitas fisik klien yang bertujuan untuk melindungi cedera

fisik sendiri atau orang lain.

b. Terapi kejang listrik / Elekrto convulsive Therapy (ECT)

Adalah bentuk terapi pada klien dengan menimbulkan kejang (grandma)

dengan mengalirkan arus listrik kekuatan rendah (2- 8joule) melalui elektroda

yang ditempelkan beberapa detik pada pelipis kiri / kanan (lobus frontal)

klien (Stuart, 2007).

3. Terapi Modalitas

Terapi Modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa.Tetapi

diberikan dalam upaya mengubah perilaku klien dan perilaku yang maladaftif

menjadi perilaku adaftif.Jenis terapi modalitas meliputi psikoanalisis,

psikoterapi.terapi perilaku kelompok, terapi keluarga, terapi rehabilitas, terapi

psikodrama, terapi lingkungan (Stuart, 2013).


H. Pohon Masalah

Risiko perilaku kekerasan..............................................Effect

Gangguan Sensori Persepsi Hauisinasi Pendengaran …Core problem

Isolasi sosial...................................................Causa

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

Gambar II.2 Pohon masalah Keliat (2014).

I. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan Sensori Persepsi: halusinasi pendengaran.

2. Risiko perilaku mencederai diri.

3. Isolasi sosial.

4. Gangguan Konsep Diri: harga diri rendah


J. Intervensi

1. Gangguan sensori persepsi Halusinasi

a. Tum :Klien dapat mengontrol terjadinya halusinasi

b. Tuk :

1) Klien dapat membina hubungan saling percaya.

2) Klien dapat mengenal halusinasi.

3) Klien dapat mengontrol halusinasi.

4) Klien memilih cara mengatasi seperti yang telah di diskusikan.

5) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi.

6) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

c. Intervensi

1) Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip

komunikasi terapeutik.

2) Sapa klien dengan ramah.

3) Perkenalkan diri dengan sopan.

4) Tanya nama lengkap klien.

5) Jelaskan tujuan pertemuan.

6) Jujur dan tepati janji.

7) Tunjukan sikap empati.

8) Beri perhatian pada klien.

9) Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasi.

10) Diskusikan dengan klien situasi yang menimbulkan halusinasi.


11) Identifikasi bersama klien cara tindakan yang di lakukan jika terjadi

halusinasi.

12) Diskusikan manfaat yang dilakukan klien dan beri pujian pada klien.

13) Diskusikan cara lain memutus mengontrol halusinasi.

14) Bantu klien melatih cara memutuskan halusinasi.

15) Beri kesempatan untuk melakukan cara yang di latih

16) Anjurkan klien untuk memberi tahu keluarga jika mengalami

halusinasi.

17) Diskusikan dengan keluarga pada saat berkunjung tentang gejala

halusinasi yang di alami.

18) Cara yang dapat dilakukan klien memutuskan halusinasi.

19) Cara merawat halusinasi di rumah, beri kegiatan, jangan biarkan

sendiri.

20) Beri informent karena sudah berinteraksi.

21) Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis,frekeunsi dan

manfaat obat.

22) Anjurkan klien meminta obat sendiri pada perawat dan merasakan

manfaat.

23) Anjurkan klien bicara minta pada dokter tentang manfaat,efek samping

obat.

24) Bantu klien minum obat.


2. Resiko perilaku kekerasan

a. Tum : Klien dapat mengontrol atau mencegah perilaku kekerasan baik

secara fisik,sosial, verbal,spiritual.

b. Tuk :

1) Bina hubungan saling percaya.

2) Klien dapat mengidentifikasikan perilaku kekerasan.

3) Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.

4) Klien dapat mengidentifikasikan perilaku kekerasan yang dapat di

lakukan.

5) Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan.

c. Intervensi

1) Bina hubungan saling percaya dengan menerapkan. Komunikasi

terapeutik.

2) Bantu klien mengungkapkan perasaan.

3) Bantu klien untuk mengungkapkan tanda perilaku kekerasan.

4) Diskusikan dengan klien keuntungan dan kerugian perilaku kekerasan.

5) Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan.

6) Anjurkan klien mempraktekan latian.

3. Isolasi sosial

a. Tum :Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal.

b. Tuk :

1) Klien dapat membina hubungan saling percaya.


2) Klien dapt mengidentifikasi penyebab isolasasi sosial.

3) Klien dapat mengetahui keuntungan dan kerugian berhubungan dengan

orang lain.

4) Klien dapat berkenalan.

5) Klien dapat menentukan topik pembicaraan.

6) Klien dapat berinteraksi dengan orang lain secara bertahap berkenalan

dengan orang pertama ( perawat).

7) Klien dapat berinteraksi dengan seacara bertahap berkenalan dengan

orang ke dua ( pasien lain).

c. Intervensi

1) Beri salam dan panggil nama klien.

2) Sebutkan nama perawat dan saling berjabat tangan

3) Jelaskan tujuan interaksi.

4) Jelaskan kontrak yang akan di buat.

5) Beri rasa aman dan tunjukan sikap empati.

6) Beri kesempatan klien mengungkapkan perasaannya.

7) Bantu klien mengungkapkan alasan klien di bawa ke RS.

8) Beri kesempatan klien mengatakan keuntungan berhubungan /

berinteraksi dengan orang lain.

9) Beri kesempatan klien untuk mengatakan kerugian berhubungan /

berintraksi dengan orang lain.

10) Beri kesempatan klien mencontohkan teknik berkenalan.

11) Neri kesempatan klien menerapkan teknik berkenalan.


12) Beri kesempatan klien dan bantu klien menentukan topik pembicaraan.

13) Latihan berhubungan sosial secara bertahap dengan perawat.

14) Masukan dalam jadwal kegiatan klien.

15) Latihan cara berkenalan dengan 2 orang atau lebih dengan teman 1

ruangan / sesama pasien.

16) Masukan dalam jadwal kegiatan klien.

4. Harga Diri Rendah

a. Tum : Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal dan

mampu meningkatkan harga dirinya.

b. Tuk :

1) Klien mampu membina hubungan saling percaya.

2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang dimiliki.

3) Klien dapat menilai kemampuan yang di gunakan.

4) Klien dapat merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampaun yang

dimiliki dan klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit.

5) Klien dapat melakukan kegiatan.

c. Intervensi

1) Bina hubungan terapeutiki.

2) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki.

3) Beri kesempatan klien untuk mencoba.

4) Setiap bertemu klien hindarkan penilaian negatif.


5) Utamakan memberi pujian realistik.

6) Diskusikan dengan klien kegiatan yang masih bisa di gunakan.

7) Rencanakan bersama.

8) Beri reinforcemen positif atas usaha klien.

Anda mungkin juga menyukai