Anda di halaman 1dari 9

EKONOMI MIKRO ISLAM

EFISIENSI ALOKASI DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
LIDYA PUSPITA SARI          NIM : 1316120072

DOSEN PENGAMPU :
KHAIRIYAH ELWARDAH, M. AG
FAKULTAS SYARI’AH DAN JURUSAN SYARI’AH
PRODI MUAMALAH V B
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
T.A 2015
PENDAHULUAN
           
Distribusi pendapatan merupakan aspek terpenting karena berkaitan dengan
bagaimana individu dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien. Sumber daya yang
efisien akan tercipta manakalah individu dapat mencapai titik kepuasan maksimal, dengan
seadil-adilnya tanpa menzalimi individu yang lainnya. Dalam islam terdapat berbagai nilai
dan norma-norma yang harus diperhatikan dalam hal pengalokasian maupun pendistribusian
pendapatan. Nilai dan norma-norma inilah yang menjadikan berbeda dengan konvensonal.
Islam memang mengenal adanya kepemilikan individu yang mana dengan kepemilikan
tersebut individu bebas memanfaatkannya, namun harus digaris bawahi terkait kebebasan
kepemilikan, dimana dalam kekayaan yang menjadi milik individu bukan merupakan suatu
kepemilikan yang mutlak, karena dalam Al-Qur’an sendiri menjelaskan bahwa setiap harta
yang kita miliki terdapat hak-hak orang lain termasuk hak orang miskin.
Jadi pada intinya sebelum mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya yang
dimiliki terlebih dahulu mempertimbangkan dan memikirkan  kemaslahatan umat dan bukan
self interest. Demikian halnya dalam pembahasan pada bab selanjutnya akan diuraikan
mengenai pengalokasian secara efisiensi dan pendistribusian pendapatan dari konsep
ekonomi umum (konvesional), kemudian perbandingannya dengan konsep efisiensi alokasi
dan distribusi pendapatan menurut islam.
                                                       PEMBAHASAN
A.    Efisiensi Alokasi
Ekonomi islam mazhab mainstream menggunakan defenisi efisiensi yang sama
dengan defenisi ekonomi neoklasik, dimana persoalan efisiensi diwujudkan sebagai masalah
optimasi. Pada perilaku konsumen tunggal, efisiensi dicapai dengan mengalokasikan
anggaran tertentu pada kombinasi barang dan jasa yang memaksimumkan kegunaan
konsumen. Pada kasus produsen tunggal, optimasi bisa dicapai melalui dua jalur  penggunaan
kombinasi input yang memaksimasi laba, atau penggunaan input yang meminimumkan biaya
untuk mencapai tingkat produksi tertentu.
Iman Ali r.a diriwayatkan pernah mengatakan “janganlah  kesejahteraan salah seorang
diantara kamu meningkat namun pada saat yang sama kesejahteraan yang lain menurun.”
Dalam ekonomi konvensional keadaan ini dikenal sebagai efficient allocation of goods yaitu
alokasi barang-barang dikatakan efesien bila tidak seorang pun dapat meningkatkan utiliy nya
tanpa mengurangi utility orang lain.
Katakanlah jono dan kirun mempunyai 10 unit makanan dan 6 pakaian. Awalnya jono
memiliki 7 unit makanan dan 1 unit pakaian sedangkan kirun memiliki 3 unit makanan dan 5
pakaian. Bagi kirun, ia bersedia memberikan 3 unit pakaian untuk mendapatkan 1 unit
makanan. Sedangkan bagi jono, ia bersedia memberikan ½ unit pakaian untuk mendapatkan 1
unit makanan. Nah, karena jono lebih menyukai pakaian dari pada kirun, maka keduanya
dapat lebih tinggi utility nya dengan melakukan pertukaran.
Selama MRS (marginal rate of subtitusion) dari jono dan kirun berbeda, maka mereka
akan terus melakukan pertukaran karena keduanya dapat terus meningkatkan utility nya,
dengan kata lain, selama MRS nya berbeda maka alokasi belum efesien. Alokasi efesien
tercapai ketika MRS nya berbeda maka alokasi belum efesien. Alokasi efesien tercapai ketika
MRS setiap orang sama.
B.     Efisiensi dan keadilan
Efesiensi alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua sumber daya yang ada habis
teralokasi, maka alokasi yang efesien tercapai. Tetapi tidak mengatakan apa pun perihal
apakah alokasi tersebut adil. Para ekonom konvensional berbeda pendapat tentang distribusi
yang adil:
1.   Konsep Egalitarian : setiap orang dalam kelompok masyarakat menerima barang
sejumlah yang sama
2.   Konsep rawlsian : maksimal utility orang yang paling miskin
3.   Konsep utilitarian :maksimalkan utility dari setiap orang dalam kelompok masyarakat
4.   Konsep market oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar adalah yang paling
adil.
Dalam konsep ekonomi islam, adil  adalah “ tidak menzalimi dan tidak dizalimi.” Bisa
jadi “ sama rasa sama rata” tidak adil dalam pandangan islam karena tidak memberikan
insentif bagi orang yang bekerja keras. Lihat saja contoh jono dan kirun, alokasi terakhir yang
tidak efesien tidak “sama rata sama rasa”. Malah bila dipaksakan “ sama rata sama rasa”
alokasinya tidak efesien karena mengabaikan kenyataan bahwa manusia mempunyai selera
yang berbeda. Bisa jadi “you get what you deserve” tidak adil dalam pandangan islam karena
orang yang endowmentnya tinggi mempunyai posisi tawar yang lebih kuat daripada yang
endowment nya kecil sehingga yang kuat dapat menzalimi yang lemah.
Misalnya umar ibn khattab r.a menetapkan tarif kharaj yang berbeda untuk lahan yang
ditanami tanaman yang berbeda : untuk lahan yang ditanami gandum tarifnya satu dirham
ditambah satu qafiz, untuk buah-buahan tarifnya sepuluh dirham, untuk lada tarifnya lima
dirham. Begitu pula dalam pembagian harta Baitul Maal, Umar r.a. mengatur tunjangan
pertahun Rasulullah SAW. Abbas ibn Abdul Mutablib mendapat 12.000 dirham, istri-istri
Rasulullah 12.000 dirham, safiyah ibn Abdul mytalib 6000 dirham, Ali, Hasan, Husein,
mujahid Badar masing –masing 5000 dirham, kaum Anshar mujahid uhud dan mujahirin ke
Abisina masing-masing 4000 dirham, yatim ahli Badar 2000 dirham, dan seterusnya dan
seterusnya sampai seorang gembala di gurun Sinai pun mendapat bagiannya. Dengan
perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat, imam Ali r.a. adalah untuk keadilan. Dalam
konsep islam, bukan “sama rata sama rasa” yang penting bukan pula “ you get what you
deserve”  yang penting adalah tidak ada yang di dzalimi dan tidak ada yang mendzalimi.
           Lebih dari sekedar efisiensi dan keadilan, konsep ekonomi islam juga mendorong pada
upaya membesarkan endowment ( meningkatkan  production possibility frontier) atau dalam
konteks ini membesarkan Edgeworth Box. Berkutat pada distribusi yang berkeadilan saja
berarti suatu zero sum game. Misalnya utility jono naik 5, utility kirun turun 5, kenaikan
total utility nihil. Oleh karena itu, konsep islam adalah mendorong terjadinya Positive sum
game. Misalnya utility jono naik 5, utility kirun naik 5, kenaikan total utility 10. Jadi bukan
hanya mempersoalkan “kue” akan dibagi secara adil, namun juga bagaimana “kue” yang
akan di bagi bertambah besar.
C.    Distribusi Pendapatan
Distribusi atau pembagian adalah klasifikasi pembayaran-pembayaran berupa sewa,
upah, bunga modal dan laba, yang berhubungan dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh
tanah, tenaga kerja, modal dan pengusaha-pengusaha. Ia adalah proses penentuan harga yang
dipandang dari sudut si penerima pendapatan dan bukanlah dari sudut si pembayar biaya-
biaya. Distribusi juga berarti sinonim untuk pemasaran (marketing). Namun demikian, fikih
klasik nampaknya hanya memberi pengertian secara etimologi saja yaitu “tauzii” (distribusi),
belum ada pengertian tauzii secara terminologi yang cukup relevan dengan tema dalm
ekonomi mikro islam.
Hingga kemudian, sebagian ekonomi muslim juga menulis tentang ekonomi islami
dan melakukan "adaptasi" terhadap terminologi-terminologi ekonomi konvensional, seperti
yang dilakukan Abdul Hamid Ghazali (1989 : 79), Muhammad Afar (1996: 32), Umer
Chapra (2000: 99), dan lain-lain. Barangkali inilah pandangan mainstream ekonom muslim
pada umumnya karena bagi mereka konsentrasi teoritis ilmu ekonomi manapun pasti akan
membahas aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. Belakangan terminologi
redistribusi (I’âdat at Tauzii’) juga digunakan oleh sebagian ekonom muslim dengan berkaca
pada adanya mekanisme zakat, sedekah, kafarat, belanja wajib yang diterapkan dalam Islam.
Konsep dasar kapitalis dalam permasalahan distribusi adalah kepemilikan private
(pribadi). Makanya permasalahan yang timbul adalah adanya perbedaan mencolok pada
kepemilikan, pendapatan, dan harta. Milton H. spences menulis dalam bukunya
contemporary economics: “ Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi yang
dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi dan
pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif ”.
Sedangkan sosialis lebih melihat kepada kerja sebai basic dari distribusi pendapatan.
Setiap kepemilikan hanya bias dilahirkan dari buah kerja seseorang, oleh sebab itu, adanya
perbedaan dalam kepemilikan tidak disebabkan oleh kepemilikan pribadi tapi lebih kepada
adanya perbedaan pada kapabilitas dan bakat setiap orang. Briton menyebutkan bahwa “
sosiolisme dapat diartikan sebagai bentuk perekonomian di mana pemerintah paling kurang
bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh warga masyarakat, dan
menasionalisasikan industri-industri besar dan strategis yang menyangkut hidup orang
banyak ”.
Dalam Islam, kebutuhan memang menjadi alasan untuk mencapai pendapatan
maksimum. Sedangkan kecukupan dalam standar hidup yang baik (nisab) adalah hal yang
paling mendasari dalam system distribusi – redistribusi kekayaan, setelah itu baru dikaitkan
dengan kerja dan kepemilikan pribadi. Harus dipahami bahwa islam tidak
menjadikan complete income equality untuk semua umat sebagai tujuan utama dan paling
akhir dari system distribusi dan pembangunan ekonomi.  Namun demikian, upaya untuk
mengeliminasi kesenjangan antar pendapatan umat adalah sebuah keharusan.
1. Distribusi Pendapatan Dalam Rumah Tangga
Mengingat nilai-nilai Islam merupakan faktor endogen dalam rumah tangga seorang
muslim, maka haruslah dipahami bahwa seluruh proses aktifitas ekonomi di dalamnya, harus
dilandasi legalitas halal haram mulai dari: produktivitas,hak kepemilikan, konsumsi, transaksi
dan investasi. Aktivitas yang terkait dengan aspek hokum tersebut kemudian menjadi muara
bagaimana seorang muslim melaksanakan proses distribusi pendapatannya.
Distribusi pendapatan dapat konteks rumah tangga akan sangat terkait dengan
terminology shadaqoh. Pengertian shadaqoh di sini bukan berarti sedekah dalam konteks
pengertian baghasa Indonesia. Karena shadaqoh dalam konteks terminologi Al-Qur’an dapat
dipahami dalam tiga aspek, yaitu
Pertama : Instrumen shadaqoh wajibah (wajib dan khusus dikenakan bagi orang
muslim) seperti:
1.    Nafaqah               5.  Musaadah
2.    Zakat                    6.  Jiwar
3.    Udhiyah               7.  Diyafah
4.    Warisan
Kedua : Instrumen shodaqoh nafilah (sunah dan khusus dikenakan bagi orang
muslim) seperti:
1.    Infaq                     2.  Aqiqah                   3.    Wakaf
Ketiga: Instrumen term had/ hudud (hukuman), seperti:
1.    Kafarat                 2.  Dam/diyat              3.   Nudzur
Berbeda dengan ajaran ekonomi mana pun, ajaran Islam dalam mendistribusikan
pendapatan rumah tangga mengenal skala prioritas yang ketat. Bahkan berkaitan dengan
kewajiban zakat, ajaran Islam memberikan sejumlah persyaratan (karakteristik khusus) pada
aset wajib zakat. Dari kepemilikan aset yang dimiliki, pertama yang harus di distribusikan
(dikeluarkan) dari jumlah seluruh asset adalah kebutuhan keluarga, dan dahulukan membayar
hutang.
Kemudian dari sisa aset yang ada, yang harus diprioritaskan adalah distribusi melalui
instrumen zakat. Namun harus dilihat terlebih dahulu karakter dari sisa asset tersebut, ada 3
yaitu:
1.    Apakah asset itu di atas nisab.
2.    Kepemilikan sempurna.
3.    sudah genap satu tahun kepemilikan dan potensi pruduktif.
2. Distribusi Pendapatan Dalam Negara
Prinsip-prinsip ekonomi yang dibangun di atas nilai moral Islam mencanangkan
kepentingan distribusi pendapatan secara adil. Para sarjana muslim banyak membicarakan
objektivitas perekonomian berbasis Islam pada level Negara terkait dengan, diantaranya:
penjaminan level minimum kehidupan bangsa bagi mereka yang berpendapatan di bawah
kemampuan. Negara wajib bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan materi bagi ligkungan
sosial maupun individu dengan pemafaatan sebesar-besarnya atas sumber daya yang tersedia.
Karena itu negara wajib mengeluarkan kebijakan yang mengupayakan stabilitas ekonomi,
kesetaraan, ketenagakerjaan, pembangunan sosial ekonomi, dan lain sebagainya.
Kemudian dilanjutkan dengan model ekonomi politik dalam pengambilan keputusan
dan kebikjakan pemerintah yang berdampak secara langsung dan tidak langsung kepada
distribusi pendapatan, seperti anggaran pendapatan dan belanja Negara, kebijakan fiskal dan
moneter dengan basis hipotesis kepda ketidaksempurnaan pasaran teori-teori, yang berkaitan
dengan moral hazard dan adverse selection.
a.      Pengelolaan Sumber Daya
Dalam pengelolaan sumberdaya yang tersedia, pemerintah (Negara) harus mampu
mendistribusikan secara baik atas pemanfaatan tanah/lahan dan industri. Ajaran Islam
memberikan otoritas kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan penggunaan lahan
untuk kepentingan Negara dan publik (hak hima), distribusi tanah (hak iqta) kepada sector
swasta, penarikan pajak, subsidi, dan keistimewaan non monetary lainnya yang legalitasnya
dikembalikan kepada aturan syari’ah. Semua keistimewaan tersebut harus diarahkan untuk
memenuhi kepentingan public dan pembebasan kemiskinan.
Dalam negara Islam, kebijaksanaan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk
mencapai tujuan syariah yang dijelaskan Imam al-Ghazali termasuk meningkatkan
kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan dan
kepemilikan. Pada masa kenabian dan kekhalifahan setelahnya, kaum Muslimin cukup
berpengalaman  dalam menerapkan beberapa instrumen  sebagai kebijakan fiskal, yang
diselenggarakan pada lembaga baitul maal (national treasury).
Dalam Islam kita kenal adanya konsep zakat, infaq, sadaqah, wakaf dan lain-lain
(ZISWA).  Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta
seseorang yang telah memenuhi syarat syariah Islam guna diberikan kepada berbagai unsur
masyarakat yang telah ditetapkan dalam syariah Islam. Sementara Infaq, Sadaqah, Wakaf
merupakan pengeluaran ‘sukarela’ yang juga sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan
demikian ZISWA merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Unsur-
unsur tersebut ada yang bersifat wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat sukarela
seperti sadaqah, infaq dan waqaf.
   Zakat
Zakat merupakan pungutan wajib atas individu yang memiliki harta wajib zakat yang
melebihi nishab (muzakki), dan didistribusikan kepada delapan golongan penerima
zakat (mustahik), yaitu: fakir, miskin, fisabilillah, ibnussabil, amil, gharimin, hamba
sahaya, dan muallaf.
Konsep fikih zakat menyebutkan bahwa sistem zakat berusaha untuk mempertemukan
pihak surplus Muslim dengan pihak defisit Muslim. Hal ini dengan harapan terjadi proyeksi
pemerataan pendapatan antara surplus dan defisit Muslim atau bahkan menjadikan kelompok
yang defisit (mustahik) menjadi surplus (muzzaki). Dalam al-Qur’an diperkirakan terdapat  30
ayat yang berkaitan dengan perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah berzakat sering
muncul berdampingan sesudah perintah mendirikan shalat. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya kegiatan berzakat dalam Islam.
Nisab adalah angka minimal aset yang terkena kewajiban zakat. Dalam konteks zakat
penghasilan, maka nisabnya adalah penghasilan minimal perbulan yang membuat seseorang
menjadi wajib zakat (muzakki).
Penerapan sistem zakat akan mempunyai berbagai implikasi di berbagai segi
kehidupan, antara lain:
1)  Memenuhi kebutuhan masyarakat yang kekurangan;
2)  Memperkecil jurang kesenjangan ekonomi;
3)  Menekan jumlah permasalahan sosial; kriminalitas, pelacuran, gelandangan,
     pengemis, dan lain-lain;
4)  Menjaga kemampuan beli masyarakat agar dapat memelihara sektor usaha.
    Dengan kata lain zakat menjaga konsumsi masyarakat pada tingkat yang
minimal          sehingga perekonomian dapat terus berjalan; dan
5)  Mendorong masyarakat untuk berinvestasi, dan tidak menumpuk hartanya
b.      Kompetisi Pasar dan Redistribusi Sistem
Perspektif teori menyatakan bahwa pasar adalah salah satu mekanisme yang bisa
dijalankan oleh manusia untuk mengatasi problem-problem ekonomi yang terdiri atas:
produksi, konsumsi, dan distribusi. Keberatan terbesar terdapat mekanisme pasar adalah
bahwa pasar tak lebih sebagai instrument bagi kelas yang berkuasa (invector) untuk
mengukuhkan dominasinya terhadap kelas yang tertindas (labor).
Dari kacamata ekonomi pasar Islam, mekanisme pasar menekan seminimal mungkin
mungkin peranan pemerintah (command economics). Pembenaran atas diperbolehkan
pemerintah masuk sebagai pelaku pasar (intervensi) hanyalah jika pasar tidak dalam keadaan
sempurna, dalam arti ada kondisi-kondisi yang menghalangi kompetisi yang fair terjadi atau
distribusi yang tidak normal atau dengan kata lain mengupayakan tidak terjadinya market
failure. Sebagai contoh klasik dari kondisi market failure antara lain: barang publik,
eksternalitas, (termasuk pencemaran dan kerusakan lingkungan), asymetrik information,
biaya transaksi, kepastian institusional serta masalah dalam  distribusi. Dalam masalah yang
lebih singkat, masuknya pemerintah adalah untuk menjamin fairness dan keadilan.
Dalam kajian ekonomi konvensional, teori keadilan perataan pendapatan berdiri diaas
empat hal, yaitu: prinsip-prinsip kebutuhan dasar, prinsip-prinsip efesiensi, prinsip-
prinsip eequity yang menghabiskan proposional dan tanggung jawab social dan prinsip-
prinsip yang yang menggantungkan permasalahan keadilan atas dasar hasil evaluasi keadaan
dan situasi yang berlaku. Sedang di pihak lain, ajaran islam menjelaskan bahwa selain
mengupayakan mekanisme pasar yang berada dalam frame hala-haram, ajaran islam juga
menganut keyakinan adanya tanggung jawab personal terhadap kesejahteraan orang lain serta
batas batas kesejahteraan yang seharusnya dinikmati pelaku pasar susuai dengan aturan
syari’ah. Untuk hal tersebut instrument dikedepankan adalah zakat yang didisrtibusikan
secara produktif.
        PENUTUP
            Dalam ekonomi konvensional, alokasi barang-barang dikatakan efesien bila tidak
seorang pun dapat meningkatkan utiliynya tanpa mengurangi utility orang lain. pada intinya
ketika sumber daya yang ada telah habis teralokasi maka itu dikatakan efisien tanpa
memperdulikan apakah itu adil atau tidak. Sedangkan dalam ekonomi islam, lebih
memperhatikan nilai keadilan. Selain itu juga konsep ekonomi islam juga mendorong pada
upaya peningkatan sumber daya, bukan hanya menghabiskan sumber daya untuk
dialokasikan secara efisien.
            Distribusi dalam ekonomi islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat
mendasar dan penting, yaitu : nilai kebebasan dan nilai keadilan. Pendapat ini didasarkan atas
kenyataan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak kekayaan telah memberi amanat kepada
manusia untuk mengatur dan mengelola kekayaan disertai kewenangan untuk memiliki
kekayaan tersebut.
             

      DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman A. (2007), Ekonomi Mikro Islam,  Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Muhammad, (2004), Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, yogyakarta: BPFE-Yogyakarta,


Anggota IKAPI

Anda mungkin juga menyukai