PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Idri, Hadis Ekonomi: Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi, ( Jakarta: Prenadamedia Group,
2015), hlm. 128.
2
mendapatkannya dan mempergunakannya, dan kaidah-kaidah untuk warisan,
hibah, dan wasiat.2
Dalam ekonomi Islam, distribusi lebih ditekankan pada penyaluran
harta kekayaan yang diberikan kepada beberapa pihak, baik individu,
masyarakat, maupun negara. Menurut Afzalur Rahman, yang dimaksud
dengan distribusi adalah suatu cara di mana kekayaan disalurkan atau
dibagikan ke beberapa faktor produksi yang memberikan kontribusi kepada
individu-individu, masyarakat maupun negara. Islam tidak memperbolehkan
distribusi barang atau jasa yang dilarang seperti bunga modal dan bunga
pinjaman yang termasuk riba, hasil pencurian, khamr, bangkai, babi, dan
sebagainya.
Ekonomi Islam memiliki kebijakan dalam distribusi pemasukan, baik
antara unsur-unsur produksi maupun antara individu masyarakat dan
kelompoknya, di samping pengembalian distribusi dalam sistem jaminan
sosial yang diatur dalam ajaran Islam. Islam menggariskan bahwa dalam harta
pribadi terdapat hak-hak orang lain yang harus ditunaikan dan ini tidak
dikenai dalam ekonomi konvensional. Sebagaimana firman Allah:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz-
Dzariyat:19)
Ayat di atas menunjukkan bahwa umat Islam yang memiliki harta
tidak selayaknya menggunakan harta itu untuk pemenuhan kebutuhan pribadi
semata, sebab di dalam harta itu terdapat hak masyarakat. Bagi umat Islam
yang berharta ada kewajiban untuk mendistribusikan harta itu kepada orang
lain, khususnya mereka yang berkekurangan.3
2
Azhari Akmal Tarigan, Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi: Sebuah Eksplorasi Melalui Kata-kata Kunci
dalam Al-Qur’an, ( Medan :Citapustaka Media Perintis, 2012) hlm.187
3
Idri, Hadis Ekonomi, hlm. 131.
3
kepada orang lain yang membutuhkan, agar mendapat laba sebagai wujud
dari pemenuhan kebutuhan atas bisnis oriented. Kedua, adalah menyalurkan
rezeki(harta kekayaan) untuk diinfakkan (didistribusikan) atau mendermakan
sebagian harta bendanya.4
Kedua jenis distribusi tersebut sama-sama dianjurkan oleh Rasulullah. Untuk
distribusi jenis pertama, misalnya, Rasulullah melarang umat Islam
menimbun barang dan tidak mendistribusikannya ke pasar. Penimbunan
barang (ihtikar) biasanya dilakukan dengan tujuan untuk dijual ketika barang
sudah sedikit atau langka sehingga harganya mahal. Penimbunan termasuk
aktivitas ekonomi yang mengandung kezaliman dan karenanya berdosa. 5
Rasulullah bersabda:
“Dari Ma’mar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa
yang menimbun barang, maka ia bersalah ( berdosa).” (HR. Muslim)
Jenis distribusi kedua dapat berupa sedekah, nafkah, zakat, warisan, kurban,
infak, aqiqah, wakaf, wasiat, hibah, dan lain sebagainya. Rasulullah sangat
menganjurkan agar distribusi kategori ini dilakukan oleh tiap Muslim yang
mampu. Dalam sebuah Hadis, Nabi menganjurkan agar umat Islam segera
mendistribusikan sebagian hartanya sebelum datang suatu masa ketika tidak
ada orang yang mau menerimanya, sebagaimana sabdanya:
"Dari Ma’bad ibn Khalid, katanya: Aku mendengar Haritsah ibn
Wahab berkata, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,
“Bersedekahlah, karena (suatu saat akan datang masa) di mana
seseorang berjalan untuk memberikan sedekahnya, tetapi orang yang akan
diberinya (menolak) seraya berkata,"Seandainya kamu membawanya
kemaren, niscaya aku menerimanya, tetapi kalau saat ini aku tidak
membutuhkannya." Maka tidak ada orang yang mau menerima sedekah
itu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, lafal Hadis tersebut riwayat al-Bukhari)
4
Abdul Azis, Ekonomi Islam: Analisis Mikro dan Makro, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008), hlm.
88
5
Idri, Hadis Ekonomi, hlm. 133.
4
Sebagaimana produksi dan konsumsi, distribusi juga mempunyai
tujuan. Di antara tujuan distribusi yaitu:6
1. Menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat.
Kebutuhan dasar masyarakat seperti kebutuhan pada oksige, makan dan
minuman merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi dan kalau
tidak, akan terjadi kesulitan bahkan kematian. Manusia harus terus
berusaha untuk mempertahankan kehidupannya dengan melakukan
pemenuhan kebutuhan primernya sebatas yang dibutuhkan dan tidak
berlebihan. Mereka juga harus mendistribusikan barang. barang untuk
memenuhi kebutuhan ini. Allah berfirman:
“Dan Dia-lah yang menjadikan tanam-tanaman yang merambat
dan tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam
rasanya, zaitun dan delima yang serupa ( bentuk dan warnanya) dan
tidak serupa ( rasanya). Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan
berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, tapi
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebihan”(QS. Al-An'am:41).
2. Mengurangi ketidaksamaan pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat.
Apabila terjadi perbedaan ekonomi yang mencolok antara yang kaya dan
miskin akan mengakibatkan adanya sifat saling benci yang pada akhirnya
melahirkan sikap permusuhan dan perpecahan dalam masyarakat.
Meskipun demikian, Islam mengakui adanya perbedaan jumlah harta
antar-individu dalam masyarakat. Karena itu, ada yang kaya dan ada pula
yang miskin, tetapi jurang pembeda di antara mereka tidak boleh terlalu
lebar sehingga mengakibatkan disintegrasi sosial. Allah berfirman:
“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja
di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr:7)
3. Menyucikan jiwa dan harta dari segala bentuk kotoran lahir ataupun batin.
Kotoran ini dapat berupa sifat kikir, tamak, rakus, boros, dan sebagainya.
Orang yang mampu mendistribusikan harta akan terhindar dari sifat-sifat
negatif tersebut dan akan menguatkan tali persaudaraan antar sesama
6
Ibid, 147-148.
5
manusia. Jiwa dan harta orang yang melakukan derma disucikan melalui
distribusi harta yang diberikan kepada orang yang membutuhkannya.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
"Ambilah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan jiwa mereka" (QS. At-
Taubah:103).
4. Membangun generasi yang unggul karena generasi muda merupakan
penerus dalam sebuah kepemimpinan suatu bangsa. Dengan ekonomi yang
mapan, suatu bangsa dapat membentuk generasi yang unggul. Islam
mengajarkan agar umatnya meninggalkan generasi yang kuat dari segi
fisik, cerdas dari segi otak, profesional dari segi kerja dan karya, dan
unggul dari segi ilmu. Allah berfirman:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka" (QS. An-Nisa':9)
5. Mengembangkan harta dari dua sisi spiritual dan ekonomi.
Dari segi spiritual, akan bertambah nilai keberkahan harta dan dari segi
ekonomi, dengan adanya distribusi harta kekayaan, maka akan mendorong
terciptanya produktifitas dan daya beli dalam masyarakat akan meningkat.
6. Untuk pendidikan dan mengembangkan dakwah Islam melalui ekonomi,
misalnya pada pemberian zakat kepada orang yang baru masuk Islam
(mualaf) sehingga lebih mantap dalam menjalankan agama Islam yang
baru dianutnya. Distribusi harta ke masjid-m asjid, lembaga-lembaga
pendidikan Islam, dan sebagainya termasuk dalam kategori ini, sehingga
diharapkan kegiatan-kegiatan keislaman menjadi semarak karena ditopang
dengan dana yang memadai.
7. Membentuk solidaritas sosial di kalangan masyarakat.
Tujuan distribusi adalah terpenuhinya kebutuhan orang-orang yang kurang
mampu sehingga tercipta solidaritas di dalam masyarakat Muslim,
terbentuknya ikatan kasih sayang di antara individu dan kelompok dalam
masyarakat, terkikisnya sebab-sebab kebencian dalam masyarakat yang
dapat berdampak pada terealisasinya keamanan dan ketenteraman
6
masyarakat, serta terciptanya keadilan dalam distribusi yang mencakup
pendistribusian sumber-sumber kekayaan.
7
Ibid, hlm. 150
8
Ika Yunia Fauzia dan Abdul Kadir Riyadi, Prinsip Dasar Ekonomi Islam: Perspektif Maqashid
al-Syariah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 140.
7
orang miskin hidup dalam kekurangan dan penderitaan. Sejak dini, Islam
mewajibkan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat harta (mal) dalam
rangka menciptakan stabilitas ekonomi di kalangan masyarakat sehingga
muncul ketenangan dan kebahagiaan bersama (QS. At-Taubah: 103),
terhindar dari segala bentuk kejahatan, kedengkian, dan kezaliman.
Demikian pula, anjuran-anjuran Islam tentang distribusi sosial yang lain
sebagaimana dijelaskan dalam perspektif Nabi di atas, yaitu sedekah,
nafaqah (nafkah), warisan, udhhiyyah (kurban), infak, aqiqah (akikah),
wakaf, wasiat, dan musaadah (bantuan) .
Prinsip keadilan dan pemerataan dalam distribusi mengandung
maksud. Pertama, kekayaan tidak boleh dipusatkan pada sekelompok
orang saja, tetapi harus menyebar kepada seluruh masyarakat. Islam
menginginkan persamaan kesempatan dalam meraih harta kekayaan,
terlepas dari tingkatan sosial, kepercayaan, dan warna kulit. Kedua, hasil-
hasil produksi yang bersumber dari kekayaan nasional harus dibagi secara
adil. Ketiga, Islam tidak mengizinkan tumbuhnya harta kekayaan yang
melampaui batas-batas yang wajar apalagi jika diperoleh dengan cara yang
tidak benar. Untuk mengetahui pertumbuhan dan pemusatan, Islam
melarang penimbunan harta dan memerintahkan untuk membelanjakannya
demi kesejahteraan masyarakat.
Konsep keadilan Islam dalam pembagian pendapatan dan kekayaan
bukanlah berarti bahwa setiap orang harus meminta imbalan sama persis
tanpa mempertimbangkan kontribusinya kepada masyarakat. Islam
membolehkan adanya perbedaan pendapatan, karena memang manusia
diciptakan tidak sama dalam watak, kemampuan dan pengabdiannya
kepada masyarakat.
Keadilan tidak berarti kesamaan secara mutlak karena
menyamaratakan antara dua hal yang berbeda seperti membedakan antara
dua hal yang sama tetapi keadilan adalah menyamakan dua hal yang sama
sesuai batas-batas persamaan dan kemiripan kondisi antar keduanya. Atau
membedakan antara dua hal yang berbeda sesuai batas-batas perbedaan
dan keterpautan kondisi antar keduanya. Ustadz Abbas Al ‘Aqqad berkata
8
bahwa “keadilan bukanlah suatu persamaan dalam hak karena persamaan
dalam hak denagn adanya perbedaan dalam kewajiban adalah kezhaliman.
Jadi yang benar adalah persamaan kesempatan dan sarana.”9
Oleh sebab itu, keadilan distribusi dalam islam merupakan (i)
jaminan standar hidup yang layak bagi setiap warga negara melalui
pelatihan yang tepat, pekerjaan yang cocok dan upah yang layak,
keamanan masyarakat dan bantuan keuangan bagi yang membutuhkan
melalui pelembagaan zakat dan (ii) penggalakan pembagian kekayaan
melalui sistema pembayaran pada tingkat orang-orang yang lemah,
membolehkan pendapatan sesuai dengan kontribusinya terhadap
masyarakat.10
2) Prinsip Persaudaraan dan Kasih Sayang
Konsep persaudaraan (ukhuwah) dalam Islam menggambarkan
Solidaritas individu dan sosial dalam masyarakat Islam yang tercermin
dalam pola hubungan sesama Muslim. Rasa persaudaraan harus
ditanamkan dalam hati umat Islam sehingga tidak terpecah belah oleh
kepentingan duniawi. Distribusi harta kekayaan dalam Islam,
sesungguhnya sangat memperhatikan prinsip ini. Zakat, wakaf, sedekah,
infak, nafkah, waris, dan sebagainya diberikan kepada umat Islam agar
ekonomi mereka semakin baik. Prinsip persaudaraan dan kasih sayang ini
digambarkan dalam firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena
itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada
Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat:10)
9
Yusuf Qardawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani Press,
2001), hlm. 396-397
10
Abdul Azis, Ekonomi Islam, hlm. 101.
9
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi
berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud
mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak
pada maka mereka dari bekas sujud.” ( QS. Al-Fath:29)
10
j. Anjuran agar distribusi disertai dengan doa agar tercapai ketenangan
batin dan kestabilan ekonomi masyarakat.
k. Larangan berlebihan (boros) dalam distribusi ekonomi di kalangan
masyarakat.
11
BAB III
KESIMPULAN
12