Disusun oleh :
Amirul Mukminin (2110101043)
Taufiqul Kamal (2110101043)
Edrizal Wahdi (2110101043)
Dosen Pengampu :
Pak Isa as
2023
1. Pendahuluan
Dalam studi ekonomi, distribusi merujuk pada cara bagaimana sumber daya,
pendapatan, kekayaan, atau barang dan jasa didistribusikan di antara individu, kelompok,
atau wilayah dalam suatu masyarakat. Distribusi ini menjadi topik penting dalam analisis
perilaku ekonomi karena mempengaruhi tingkat kesetaraan, kesejahteraan sosial, dan
keadilan dalam suatu sistem ekonomi.
Distribusi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk distribusi pendapatan,
distribusi kekayaan, dan distribusi sumber daya. Distribusi pendapatan, misalnya, mengacu
pada cara pendapatan yang dihasilkan oleh suatu masyarakat dibagi antara individu-individu
yang ada di dalamnya. Distribusi kekayaan berkaitan dengan pembagian kepemilikan aset
dan kekayaan, sedangkan distribusi sumber daya melibatkan alokasi sumber daya yang
terbatas, seperti tanah, tenaga kerja, dan modal, di antara berbagai sektor atau industri.
Keutamaan distribusi dalam perilaku ekonomi adalah pentingnya menjaga
keseimbangan dan keadilan dalam sistem ekonomi. Distribusi yang adil dapat mendorong
kesetaraan dan mengurangi kesenjangan sosial, sementara distribusi yang tidak adil dapat
menyebabkan ketimpangan yang merugikan bagi masyarakat.
Salah satu keutamaan distribusi adalah mempromosikan keadilan sosial. Ketika
distribusi pendapatan dan kekayaan adil, kesempatan yang setara terbuka bagi individu-
individu untuk mencapai keberhasilan ekonomi. Hal ini memungkinkan akses yang lebih baik
terhadap pendidikan, perumahan, perawatan kesehatan, dan kesempatan ekonomi lainnya,
yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Selain itu, distribusi yang baik juga dapat mengurangi risiko konflik sosial. Ketika
ketimpangan ekonomi menjadi sangat besar, kesenjangan yang tajam antara individu atau
kelompok dapat memicu ketegangan sosial, ketidakpuasan, dan ketidakstabilan politik.
Dalam situasi ini, distribusi yang lebih merata dapat membantu mengurangi ketegangan
sosial dan menciptakan masyarakat yang lebih harmonis.
Dalam hal ekonomi makro, distribusi yang adil juga dapat memperkuat daya beli dan
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Ketika pendapatan
didistribusikan secara merata, masyarakat memiliki kemampuan yang lebih besar untuk
mengakses barang dan jasa, sehingga meningkatkan permintaan agregat dan mendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam kesimpulannya, distribusi memiliki peran yang sangat penting dalam perilaku
ekonomi. Keutamaan distribusi meliputi aspek keadilan sosial, pengurangan risiko konflik
sosial, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Oleh karena itu, penting
bagi kebijakan ekonomi dan tindakan individu untuk memperhatikan distribusi yang adil agar
dapat mencapai kesetaraan, kesejahteraan sosial, dan keadilan dalam sistem ekonomi.
2. Defenisi Distribusi
Distribusi secara eksplisit telah dijelaskan Allah swt. dalam Alquran sebagai
berikut: “(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat
dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-
Baqarah: 3). “Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada RasulNya
yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,untuk Rasul, kaum
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. AlHasyr: 7).
Selain itu, dikemukakan pula bahwa segala apa yang ada di langit ataupun di
bumi adalah milik Allah swt. Akan tetapi semuanya kembali pada bagaimana manusia
mengelola sumber daya alam tersebut. Lebih jauh lagi bagaimana sebuah negara
mampu mengelolanya, untuk selanjutnya mendistribusikan kembali pada masyarakat.
Di samping adanya partisipasi dari masyarakat untuk mengelola sumber daya
yang ada, negarapun memiliki peranan yang penting dalam mengalokasikan dan
mendistribusikan pendapatan yang ada pada masyarakatnya (Karim, 1992: 85, 93).
Senada dengan pendapat di atas, Afzalur Rahman mengemukakan bahwa untuk
mencapai keadilan ekonomi yang ideal dalam masyarakat, Islam menawarkan suatu
gagasan yang sarat nilai dan menumbuhkan semangat di antara penganutnya. Gagasan
tersebut adalah bahwa bantuan ekonomi kepada sesama, dengan niat mencari keridaan
Allah semata, merupakan tabungan yang nyata dan kekal, yang akan dipetik hasilnya
di akhirat kelak (Rahman, 1995: 96). Adapun maksud distribusi ditinjau dari segi
bahasa adalah proses penyimpanan dan penyaluran produk kepada pelanggan, di
antaranya sering kali melalui perantara (Collins, 1994: 162). Definisi yang
dikemukakan Collins di atas memiliki kajian yang sempit apabila dikaitkan dengan
topik kajian dalam tulisan ini. Hal ini disebabkan definisi tersebut cenderung
mangarah pada perilaku ekonomi yang bersifat individual. Namun dari definisi di atas
dapat ditarik perpaduan, di mana dalam distribusi terdapat sebuah proses pendapatan
dan pengeluaran dari sumber daya yang dimiliki oleh negara (mencakup “prinsip take
and give”) 1
Distribusi merupakan kegiatan penyampaian produk sampai ke tangan si
pemakai atau konsumen pada waktu yang tepat. Saluran distribusi sangat diperlukan
karena produsen menghasilkan produk dengan memberikan kegunaan bentuk bagi
konsumen setelah sampai ke tangannya.2
Dalam aktivitas ekonomi secara sederhana distribusi diartikan segala kegiatan
penyaluran barang atau jasa dari tangan konsumen. Aktivitas distribusi harus dilakukan
secara benar dan tepat sasaran agar barang dan jasa atau pendapatan yang dihasilkan
produsen dapat sampai ke tangan konsumen atau yang membutuhkan.3
1
Madnasir, Distribusi dalam Sistem Ekonomi Islam,lampung: IAIN Raden Intan, 2011, h.57
2
Sofjan Assauri, Manajemen Pemasaran, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, h.233
3
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam,Jakarta: Gema Insani Press, 2000, h 150.
Sistem ekonomi pasar (kapitalis) menggunakan asas bahwa penyelesaian kemiskinan
dalam suatu negara dengan cara meningkatkan produksi dalam negeri dan memberikan
kebebasan bagi penduduk untuk mengambil hasil produksi (kekayaan) sebanyak yang mereka
produksi untuk negara. Dengan terpecahkannya kemiskinan dalam negeri, maka terpecah
pula masalah kemiskinan individu sebab perhatian mereka pada produksi dapat memecah
masalah kemiskinan mereka. Maka solusi yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan
masyarakat adalah meningkatkan produksi.
Dengan demikian, ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat untuk memuaskan
kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan
meningkatkan pendapatan nasional (national income), sebab dengan banyaknya pendapatan
nasional maka seketika itu terjadilah pendistribusian pendapatan dengan cara memberikan
kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat sehingga setiap
individu dibiarkan bebas memperoleh kakayaan sejumlah yang dia mampu sesuai dengan
faktor-faktor produksi yang dimilikinya. Asas distribusi yang diterapkan oleh sistem ekonomi
pasar (kapitalis) ini pada akhirnya berdampak pada realita bahwa yang menjadi penguasa
sebenarnya adalah para kapitalis (pemilik modal dan konglomerat). Oleh karena itu, hal yang
wajar jika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada para
pemilik modal atau konglomerat dan selalu mengorbankan kepentingan rakyat sehingga
terjadilah ketimpangan (ketidakadilan) pendistribusian pendapatan dan kekayaan. Berbeda
dengan kapitalisme yang memfokuskan pada individualisme, sosialisme beranggapan bahwa
pemilikan bersama merupakan cara hidup yang paling baik, dengan sedikit hak milik pribadi
atau tidak ada hak milik sama sekali. Sosialisme tidak menyukai adanya hak milik pribadi
karena hak milik pribadi membuat manusia egois dan menghancurkan keselarasan
masyarakat yang alami. Sosialisme menginginkan pengorganisasian produksi oleh negara
sebagai saran untuk menghapus kemiskinan dan penghisapan orang kecil. Sosialisme
menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan, golongan, dan kelas masyarakat dalam
menikmati kesejahteraan, kekayaan dan kemakmuran. Sosialisme menginginkan pembagian
keadilan dalam ekonomi. Tugas negara adalah mengamankan sebanyak mungkin faktor
produksi untuk kesejahteraan seluruh rakyat, dan bukan terpusat pada kesejahteraan pribadi.
Sosialisme menganggap bahwa negara adalah lembaga di atas masyarakat yang mengatur
masyarakat tanpa pamrih. Sosialisme menganggap bahwa kapitalisme memiliki sifat yang
jahat, yaitu: kapitalisme menghasilkan sistem kelas; kapitalisme adalah sistem yang tidak
efisien; dan kapitalisme merusak sifat manusia karena cenderung membuat orang berlaku
kompetitif, tamak, egois, dan kejam. Nilai-nilai utama dalam sosialisme adalah kesamaan,
kerja sama, dan 36 Profit : Jurnal Kajian Ekonomi dan Perbankan kasih sayang. Produksi
dilakukan atas dasar kegunaan dan bukan untuk mencari keuntungan semata-mata.
Persaingan yang kompetitif digantikan dengan perencanaan. Setiap orang bekerja demi
komunitas dan memberi kontribusi pada kebaikan bersama sehingga muncul kepedulian
terhadap orang lain.
Senada dengan beberapa uraian di atas, menyangkut prinsip keadilan dan pemerataan
distribusi, Yusuf Qard}a>wi> mengemukakan bahwa perbedaan pendapatan dan pemerataan
kesempatan itu termasuk pula dalam prinsip keadilan. Selanjutnya Qard}a>wi>
mengemukakan beberapa faktor yang turut mempengaruhi proses pendistribusian perbedaan
pendapatan. Faktor tersebut adakalanya merupakan karunia yang diberikan Allah tanpa
adanya campur tangan manusia, adakalanya merupakan nilai usaha yang dilakukan seseorang
(Qard}a>wi>, 1995: 398). Sumber pendapatan negara, khususnya dalam ekonomi Islam,
lebih banyak ditinjau dari aspek sejarah. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa pokok
pembahasan yang banyak berlaku di masa awal-awal berkembangnya Islam dan masa-masa
pemerintahan khulafaurrasyidin (Salama, 1995: 115 ; Lihat pula dalam Zarqa, 1995: 191-
204).
Sebelum membahas lebih jauh tentang pembahasan yang menyangkut tentang
“keadilan”, perlu penjelasan sekilas tentang pola distribusi yang pernah diterapkan oleh Umar
ibn Khattab. Dalam hal distribusi yang berkenaan dengan harta bergerak, Umar
melaksanakan hukum Allah yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Ia mengambil
seperlimanya (khumus), dan membagikan empat perlima (4/5) lainnya kepada masingmasing
tentara yang turut membela panji Islam (ikut perang). Akan tetapi berkenaan dengan tanah-
tanah pertanian, Umar berpendapat bahwa tanahtanah itu harus disita dan tidak dibagi-
bagikan. Tanah pertanian tersebut dibiarkan seolah-olah merupakan milik negara di tangan
pemilik aslinya (warga setempat). Kemudian mereka ini dikenai pajak (khara>j).
Hasil pajaknya dibagi-bagikan kepada seluruh masyarakat muslim setelah disisihkan
untuk gaji tentara yang ditempatkan di pos-pos pertahanan -seperti Basrah dan Kufah di Iraq-
dan negeri-negeri yang terbebaskan. Tentara pendudukan yang tinggal di sana tentu
memerlukan ongkos. Karenanya jika tanah-tanah itu habis dibagikan, tentu akan muncul
masalah seputar logistik buat para tentara itu. Sayang, kebanyakan sahabat menolak pendapat
Umar tersebut (Madjid, 2000: 392-393).
Pendistribusian kekayaan negara haruslah dilaksanakan dengan beberapa
pertimbangan yang matang dan penuh dengan perhitungan. Sehingga konsep keadilan yang
dicita-citakan dapat benar-benar terwujud dan dirasakan oleh masyarakat. Hal tersebut sedikit
dapat membentengi peredaran kekayaan di kalangan tertentu saja. Menurut Mannan,
beberapa aspek pembayaran dalam sistem ekonomi Islam, meliputi zakat, jizyah (pajak yang
dikenakan pada non muslim sebagai imbalan untuk jaminan yang diberikan negara Islam
pada mereka guna melindungi kehidupannya, harta bendanya dan lain sebagainya. Secara
tegas Mannan membandingkan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara zakat dan jizyah,
di mana zakat dipungut dari kaum muslim, sementara jizyah dan rika>z dipungut dari
nonmuslim. Akan tetapi bukan berarti zakat merupakan pajak religius -meminjam istilah
Mannan-, sementara jizyah dan kharaj merupakan pajak sekuler. Hal ini disebabkan negara
Islam tidaklah dikategorikan sebagai negara sekuler.Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali,
sebagaimana dikutip oleh Mannan, pajak ini dianggap sebagai zakat, sementara kaum Hanafi
lebih condong mengkategorikan persoalan di atas sebagai harta rampasan perang (Mannan,
1993: 247-256).
TEORI
4
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jld 1. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995. hlm. 215- 217