Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

Efisiensi Alokasi dan Distribusi pendapatan


Makalah ini disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah
Ilmu Ekonomi Makr
Dosen Pengampu:
Andi Alipia se,.m.e

Disusun oleh Kelompok 3


Windi Astuti (50120555)
Cindy Rismawati (50120550)
Elvina Adinda Putri (50120551)
Prima Arman pusada (501200561)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH 3A


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
TAHUN AJARAN 2021-2022
Kata Pengantar

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi Tugas mata kuliah Ilmu Ekonomi Mikro, dengan judul : “Efisiensi
Alokasi dan Distribusi pendapatan ”.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini
Dapat teterselesaikan.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengetahuan dan pengalaman yang kamimiliki. Oleh karena itu,
Kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukkan bahkan kritik yang membangun
dari Berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi perkembangan dunia Pendidikan.

Jambi, 12 November 2021


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Belakang

Distribusi pendapatan merupakan aspek terpenting karena berkaitan dengan


bagaimana individu dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien. Sumber daya
yang efisien akan tercipta manakalah individu dapat mencapai titik kepuasan
maksimal, dengan seadil-adilnya tanpa menzalimi individu yang lainnya. Dalam
islam terdapat berbagai nilai dan norma-norma yang harus diperhatikan dalam hal
pengalokasian maupun pendistribusian pendapatan. Nilai dan norma-norma inilah
yang menjadikan berbeda dengan konvensonal. Islam memang mengenal adanya
kepemilikan individu yang mana dengan kepemilikan tersebut individu bebas
memanfaatkannya, namun harus digaris bawahi terkait kebebasan kepemilikan,
dimana dalam kekayaan yang menjadi milik individu bukan merupakan suatu
kepemilikan yang mutlak, karena dalam Al-Qur’an sendiri menjelaskan bahwa setiap
harta yang kita miliki terdapat hak-hak orang lain termasuk hak orang miskin.
Jadi pada intinya sebelum mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya
yang dimiliki terlebih dahulu mempertimbangkan dan memikirkan kemaslahatan
umat dan bukan self interest. Demikian halnya dalam pembahasan pada bab
selanjutnya akan diuraikan mengenai pengalokasian secara efisiensi dan
pendistribusian pendapatan dari konsep ekonomi umum (konvesional), kemudian
perbandingannya dengan konsep efisiensi alokasi dan distribusi pendapatan menurut
islam.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana alokasi yang efisien dan cara pendistribusian pendapatan menurut
islam?
2. Apa yang menjadi perbedaan antara konsep ekonomi umum (konvensional)
dengan konsep islam?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami bagamana terciptanya alokasi yang efisien
dan pendistribusian pendapatan menurut islam.
2. dan memahami aspek-aspek yang menjadi perbedaan efisiensi alokasi dan
distribusi pendapatan antara konsep ekonomi umum dan konsep ekonomi
islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Efisiensi Alokasi

Ekonomi islam mazhab mainstream menggunakan defenisi efisiensi yang sama


dengan defenisi ekonomi neoklasik, dimana persoalan efisiensi diwujudkan sebagai
masalah optimasi. Pada perilaku konsumen tunggal, efisiensi dicapai dengan
mengalokasikan anggaran tertentu pada kombinasi barang dan jasa yang
memaksimumkan kegunaan konsumen. Pada kasus produsen tunggal, optimasi bisa
dicapai melalui dua jalur : penggunaan kombinasi input yang memaksimasi laba, atau
penggunaan input yang meminimumkan biaya untuk mencapai tingkat produksi tertentu.
Iman Ali r.a diriwayatkan pernah mengatakan “ janganlah kesejahteraan salah
seorang diantara kamu meningkat namun pada saat yang sama kesejahteraan yang lain
menurun.” Dalam ekonomi konvensional keadaan ini dikenal sebagai efficient allocation
of goods yaitu alokaasi barang-barang dikatakan efesien bila tidak seorang pun dapat
meningkatkan utiliynya tanpa mengurangi utility orang lain.[2]
Katakanlah jono dan kirun mempunyai 10 unit makanan dan 6 pakaian. Awalnya
jono memiliki 7 unit makanan dan 1 unit pakaian sedangkan kirun memiliki 3 unit
makanan dan 5 pakaian. Bagi kirun, ia bersedia memberikan 3 unit pakaian untuk
mendapatkan 1 unit makanan. Sedangkan bagi jono, ia bersedia memberikan ½ unit
pakaian untuk mendapatkan 1 unit makanan. Nah karena jono lebih menyukai pakaian
dari pada kirun, maka keduanya dapat lebih tinggi utilitynya dengan melakukan
pertukaran.
Selama MRS (marginal rate of subtitusion) dari jono dan kirun berbeda, maka
mereka akan terus melakukan pertukaran karena keduanya dapat terus meningkatkan
utilitynya, dengan kata lain, selama MRS nya berbeda maka alokasi belum efesien.
Alokasi efesien tercapai ketika MRS nya berbeda maka alokasi belum efesien. Alokasi
efesien tercapai ketika MRS setiap orang sama.

2.2 Efisiensi dan keadilan


Efesiensi alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua sumber daya yang ada
habis teralokaasi, maka alokasi yang efesien tercapai. Tetapi tidak mengatakan apa pun
perihal apakah alokasi tersebut adil. Para ekonom konvensional berbeda pendapat tentang
distribusi yang adil:
• Konsep Egalitarian : setiap orang dalam kelompok masyarakat menerima barang
sejumlah yang sama
• Konsep rawlsian : maksimal utility orang yang paling miskin
• Konsep utilitarian :maksimalkan utility dari setiap orang dalam kelompok
masyarakat
• Konsep market oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar adalah yang
paling adil.
Dalam konsep ekonomi islam, adil adalah “ tidak menzalimi dan tidak dizalimi.”
Bisa jadi “ sama rasa sama rata” tidak adil dalam pandangan islam karena tidak
memberikan insentif bagi orang yang bekerja keras. Lihat saja contoh jono dan kirun,
alokasi terakhir yang tidak efesien tidak “sama rata sama rasa”. Malah bila dipaksakan “
sama rata sama rasa” alokasinya tidak efesien karena mengabaikan kenyataan bahwa
manusia mempunyai selera yang berbeda. Bisa jadi “you get what you deserve” tidak adil
dalam pandangan islam karena orang yang endowmentnya tinggi mempunyai posisi tawar
yang lebih kuat daripada yang endowment nya kecil sehingga yang kuat dapat menzalimi
yang lemah.
Misalnya umar ibn khattab r.a menetapkan tarif kharaj yang berbeda untuk lahan
yang ditanami tanaman yang berbda : untuk lahan yang ditanami gandum tarifnya satu
dirham ditambah satu qafiz, untuk buah-buahan tarifnya sepuluh dirham, untuk lada
tarifnya lima dirham.Bgitu pula dalam pembagian harta Baitul Maal, Umar r.a. mengatur
tunjangan pertahun Rasulullah SAW. Abbas ibn Abdul Mutablib mendapat 12.000
dirham, istri-istri Rasulullah 12.000 dirham, safiyah ibn Abdul mytalib 6000 dirham, Ali,
Hasan, Husein, mujahid Badar masing –masing 5000 dirham, kaum Anshar mujahid uhud
dan mujahirin ke Abisina masing-msig 4000 dirham ,yatim ahli Badar 2000 dirham,dan
seterusnya dan seterusnya sampai seorang gembala di gurun Sinai pun mendapat
bagianya. Dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat, imam Ai r.a. adalah
untuk keadilan. Dalam konsep islam, bukan “sama rata sama rasa” yang penting, bukan
pula “ you get what you deserve” yag penting, tetapi yang penting adalah tidak ada yang
di dzalimi dan tidak ada yang mendzaimi.
Lebih dari sekedar efisiensi dan keadilan, konsep ekonomi islam juga
mendorong pada upaya membesarkan endowment ( meningkatkan production possibility
frontier) atau dalam konteks ini membesarkan Edgeworth Box. Berkutat pada distribusi
yang berkeadilan saja berarti suatu zero sum game. Misalnya utility jono naik 5, utility
kirun turun 5, kenaikan total utility nihil. Oleh karena itu , konsep islam adalah
mendorong terjadinya Positive sum game. Misalnya utility jono naik 5, utility kirun naik
5, kenaikan total utility 10. Jadi bukan hanya mempersoalkan “kue” akan dibagi secara
adil, namun juga bagaimana “kue” yang akan di bagi bertambah besar.

2.3 Distribusi Pendapatan


Distribusi atau pembagian adalah klasifikasi pembayaran-pembayaran berupa
sewa, upah, bunga modal dan laba, yang berhubungan dengan tugas-tugas yang
dilaksanakan oleh tanah, tenaga kerja, modal dan pengusaha-pengusaha. Ia adalah proses
penentuan harga yang dipandang dari sudut si penerima pendapatan dan bukanlah dari
sudut si pembayar biaya-biaya. Distribusi juga berarti sinonim untuk pemasaran
(marketing). Namun demikian, fikih klasik nampaknya hanya memberi pengertian secara
etimologi saja yaitu “tauzii” (distribusi), belum ada pengertian tauzii secara terminologi
yang cukup relevan dengan tema distribusi dalam ekonomi teoritika modern.[3]
Hingga kemudian, sebagian ekonom muslim juga menulis tentang ekonomi islami
dan melakukan “adaptasi” terhadap terminologi-terminologi ekonomi konvensional,
seperti yang dilakukan Abdul Hamid Ghazali (1989 : 79), Muhammad Afar (1996: 32),
Umer Chapra (2000: 99), dan lain-lain. Barangkali inilah pandangan mainstream ekonom
muslim pada umumnya karena bagi mereka konsentrasi teoritis ilmu ekonomi manapun
pasti akan membahas aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. Belakangan
terminologi redistribusi (I’âdat at Tauzii’) juga digunakan oleh sebagian ekonom muslim
dengan berkaca pada adanya mekanisme zakat, sedekah, kafarat, belanja wajib yang
diterapkan dalam Islam.
Konsep dasar kapitalis dalam permasalahan distribusi adalah kepemilikan private
(pribadi). Makanya permasalahan yang timbul adalah adanya perbedaan mencolok pada
kepemilikan, pendapatan, dan harta. Milton H. spences menulis dalam bukunya
contemporary economics: “ Kapitalisme merupakan sebuah sistem organisasi ekonomi
yang
Dicirikan oleh hak milik privat (individu) atas alat-alat produksi dan distribusi dan
pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi-kondisi yang sangat kompetitif ”.
Sedangkan sosialis lebih melihat kepada kerja sebai basic dari distribusi
pendapatan. Setiap kepemilikan hanya bias dilahirkan dari buah kerja seseorang, oleh
sebab itu, adanya perbedaan dalam kepemilikan tidak disebabkan oleh kepemilikan
pribadi tapi lebih kepada adanya perbedaan pada kapabilitas dan bakat setiap orang.
Briton menyebutkan bahwa “ sosiolisme dapat diartikan sebagai bentuk perekonomian di
mana pemerintah paling kurang bertindak sebagai pihak yang dipercayai oleh seluruh
warga masyarakat, dan menasionalisasikan industri-industri besar dan strategis yang
menyangkut hidup orang banyak ”.
Dalam Islam, kebutuhan memang menjadi alasan untuk mencapai pendapatan
maksimum. Sedangkan kecukupan dalam standar hidup yang baik (nisab) adalah hal yang
paling mendasari dalam system distribusi – redistribusi kekayaan, setelah itu baru
dikaitkan dengan kerja dan kepemilikan pribadi. Harus dipahami bahwa islam tidak
menjadikan complete income equality untuk semua umat sebagai tujuan utama dan paling
akhir dari system distribusi dan pembangunan ekonomi. Namun demikian, upaya untuk
mengeliminasi kesenjangan antar pendapatan umat adalah sebuah keharusan.
1. Distribusi Pendapatan Dalam Rumah Tangga
Mengingat nilai-nilai Islam merupakan faktor endogen dalam rumah tangga
seorang muslim, maka haruslah dipahami bahwa seluruh proses aktifitas ekonomi di
dalamnya, harus dilandasi legalitas halal haram mulai dari: produktivitas,hak
kepemilikan, konsumsi, transaksi dan investasi. Aktivitas yang terkait dengan aspek
hokum tersebut kemudian menjadi muara bagaimana seorang muslim melaksanakan
proses distribusi pendapatannya.
Distribusi pendapatan dapat konteks rumah tangga akan sangat terkait dengan
terminology shadaqoh. Pengertian shadaqoh di sini bukan berarti sedekah dalam konteks
pengertian baghasa Indonesia. Karena shadaqoh dalam konteks terminologi Al-Qur’an
dapat dipahami dalam tiga aspek, yaitu
Pertama : Instrumen shadaqoh wajibah (wajib dan khusus dikenakan bagi orang
muslim) seperti:
1. Nafaqah 5. Musaadah
2. Zakat 6. Jiwar
3. Udhiyah 7. Diyafah
4. Warisan
5
Kedua : Instrumen shodaqoh nafilah (sunah dan khusus dikenakan bagi orang
muslim) seperti:
1. Infaq 2. Aqiqah 3. Wakaf
Ketiga: Instrumen term had/ hudud (hukuman), seperti:
1. Kafarat 2. Dam/diyat 3. Nudzur
Berbeda dengan ajaran ekonomi mana pun, ajaran Islam dalam mendistribusikan
pendapatan rumah tangga mengenal skala prioritas yang ketat. Bahkan berkaitan dengan
kewajiban zakat, ajaran Islam memberikan sejumlah persyaratan (karakteristik khusus)
pada aset wajib zakat. Dari kepemilikan aset yang dimiliki, pertama yang harus di
distribusikan (dikeluarkan) dari jumlah seluruh asset adalah kebutuhan keluarga, dan
dahulukan membayar hutang.
Kemudian dari sisa aset yang ada, yang harus diprioritaskan adalah distribusi
melalui instrumen zakat. Namun harus dilihat terlebih dahulu karakter dari sisa asset
tersebut, ada 3 yaitu:
1. Apakah asset itu di atas nisab.
2. Kepemilikan sempurna.
3. sudah genap satu tahun kepemilikan dan potensi pruduktif.
2. Distribusi Pendapatan Dalam Negara
Prinsip-prinsip ekonomi yang dibangun di atas nilai moral Islam mencanangkan
kepentingan distribusi pendapatan secara adil. Para sarjana muslim banyak
membicarakan objektivitas perekonomian berbasis Islam pada level Negara terkait
dengan, diantaranya: penjaminan level minimum kehidupan bangsa bagi mereka yang
berpendapatan di bawah kemampuan. Negara wajib bekerja untuk meningkatkan
kesejahteraan materi bagi ligkungan sosial maupun individu dengan pemafaatan sebesar-
besarnya atas sumber daya yang tersedia. Karena itu negara wajib mengeluarkan
kebijakan yang mengupayakan stabilitas ekonomi, kesetaraan, ketenagakerjaan,
pembangunan sosial ekonomi, dan lain sebagainya.
Kemudian dilanjutkan dengan model ekonomi politik dalam pengambilan
keputusan dan kebikjakan pemerintah yang berdampak secara langsung dan tidak
langsung kepada distribusi pendapatan, seperti anggaran pendapatan dan belanja Negara,
kebijakan fiskal dan moneter dengan basis hipotesis kepda ketidaksempurnaan pasaran
teori-teori, yang berkaitan dengan moral hazard dan adverse selection.
A. Sumber Daya
Dalam pengelolaan sumberdaya yang tersedia, pemerintah (Negara) harus mampu
mendistribusikan secara baik atas pemanfaatan tanah/lahan dan industri. Ajaran Islam
memberikan otoritas kepada pemerintah dalam menentukan kebijakan penggunaan lahan
untuk kepentingan Negara dan publik (hak hima), distribusi tanah (hak iqta) kepada sector
swasta, penarikan pajak, subsidi, dan keistimewaan non monetary lainnya yang
legalitasnya dikembalikan kepada aturan syari’ah. Semua keistimewaan tersebut harus
diarahkan untuk memenuhi kepentingan public dan pembebasan kemiskinan.
Dalam negara Islam, kebijaksanaan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk
mencapai tujuan syariah yang dijelaskan Imam al-Ghazali termasuk meningkatkan
kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan dan
kepemilikan. Pada masa kenabian dan kekhalifahan setelahnya, kaum Muslimin cukup
berpengalaman dalam menerapkan beberapa instrumen sebagai kebijakan fiskal, yang
diselenggarakan pada lembaga baitul maal (national treasury).
Dalam Islam kita kenal adanya konsep zakat, infaq, sadaqah, wakaf dan lain-lain
(ZISWA). Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau
harta seseorang yang telah memenuhi syarat syariah Islam guna diberikan kepada
berbagai unsur masyarakat yang telah ditetapkan dalam syariah Islam. Sementara Infaq,
Sadaqah, Wakaf merupakan pengeluaran ‘sukarela’ yang juga sangat dianjurkan dalam
Islam. Dengan demikian ZISWA merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam
kebijakan fiskal. Unsur-unsur tersebut ada yang bersifat wajib seperti zakat dan ada pula
yang bersifat sukarela seperti sadaqah, infaq dan waqaf.
B. Zakat
Zakat merupakan pungutan wajib atas individu yang memiliki harta wajib zakat
yanh Melebihi nishab (muzakki), dan didistribusikan kepada delapan golongan penerima
Zakat (mustahik), yaitu: fakir, miskin, fisabilillah, ibnussabil, amil, gharimin, hamba
C. Sahaya, dan muallaf.
Konsep fikih zakat menyebutkan bahwa sistem zakat berusaha untuk
mempertemukan pihak surplus Muslim dengan pihak defisit Muslim. Hal ini dengan
harapan terjadi proyeksi pemerataan pendapatan antara surplus dan defisit Muslim atau
bahkan menjadikan kelompok yang defisit (mustahik) menjadi surplus (muzzaki). Dalam
al-Qur’an diperkirakan terdapat 30
Ayat yang berkaitan dengan perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah
berzakat sering muncul berdampingan sesudah perintah mendirikan shalat. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya kegiatan berzakat dalam Islam.
Nisab adalah angka minimal aset yang terkena kewajiban zakat. Dalam konteks
zakat penghasilan, maka nisabnya adalah penghasilan minimal perbulan yang membuat
seseorang menjadi wajib zakat (muzakki).Penerapan sistem zakat akan mempunyai
berbagai implikasi di berbagai segi Kehidupan, antara lain:
• Memenuhi kebutuhan masyarakat yang kekurangan;
• Memperkecil jurang kesenjangan ekonomi;
• M jumlah permasalahan sosial; kriminalitas, pelacuran, gelandangan,
pengemis, dan lain-lain;
• Penjaga kemampuan beli masyarakat agar dapat memelihara sektor usaha.
engan kata lain zakat menjaga konsumsi masyarakat pada tingkat yang
minimal sehingga perekonomian dapat terus berjalan; dan
• endorong masyarakat untuk berinvestasi, dan tidak menumpuk hartanya
D Kompetisi Pasar dan Redistribusi Sistem
Perspektif teori menyatakan bahwa pasar adalah salah satu mekanisme yang bisa
dijalankan oleh manusia untuk mengatasi problem-problem ekonomi yang terdiri atas:
produksi, konsumsi, dan distribusi. Keberatan terbesar terdapat mekanisme pasar adalah
bahwa pasar tak lebih sebagai instrument bagi kelas yang berkuasa (invector) untuk
mengukuhkan dominasinya terhadap kelas yang tertindas (labor).
Dari kacamata ekonomi pasar Islam, mekanisme pasar menekan seminimal
mungkin mungkin peranan pemerintah (command economics). Pembenaran atas
diperbolehkan pemerintah masuk sebagai pelaku pasar (intervensi) hanyalah jika pasar
tidak dalam keadaan sempurna, dalam arti ada kondisi-kondisi yang menghalangi
kompetisi yang fair terjadi atau
Distribusi yang tidak normal atau dengan kata lain mengupayakan tidak terjadinya
market failure. Sebagai contoh klasik dari kondisi market failure antara lain: barang
publik, eksternalitas, (termasuk pencemaran dan kerusakan lingkungan), asymetrik
information, biaya transaksi, kepastian institusional serta masalah dalam distribusi.
Dalam masalah yang lebih singkat, masuknya pemerintah adalah untuk menjamin
fairness dan keadilan.
Dalam kajian ekonomi konvensional, teori keadilan perataan pendapatan berdiri
diaas empat hal, yaitu: prinsip-prinsip kebutuhan dasar, prinsip-prinsip efesiensi, prinsip-
prinsip eequity yang menghabiskan proposional dan tanggung jawab social dan prinsip-
prinsip yang yang menggantungkan permasalahan keadilan atas dasar hasil evaluasi
keadaan dan situasi yang berlaku. Sedang di pihak lain, ajaran islam menjelaskan bahwa
selain mengupayakan mekanisme pasar yang berada dalam frame hala-haram, ajaran
islam juga menganut keyakinan adanya tanggung jawab personal terhadap kesejahteraan
orang lain serta batas batas kesejahteraan yang seharusnya dinikmati pelaku pasar susuai
dengan aturan syari’ah. Untuk hal tersebut instrument dikedepankan adalah zakat yang
didisrtibusikan secara produktif.

E Moral dalam Distribusi Pendapatan


Menurut paham kapitalisme, setiap individu harus memiliki kebebasan
sepenuhnya agar ia dapat memproduksi kekayaan dalam jumlah yang sebanyak-bayaknya
dengan memanfaatkan kemampuan yang ia miliki sejak lahir. Paham kapitalisme juga
mengakui tak terbatasnya hak individu dalam pemilikan pribadi serta menghalalkan
pendistribusian yang tidak adil. Pandangan ekstrem lainnya yaitu paham komunisme
menyetujui penghapusan kebebasan individu dan pemilikan pribadi secara menyeluruh,
dan pada saat yang sama menginginkan pemerataan ekonomi di antara penduduk. Dengan
kata lain, paham kapitalisme menekankan pada produksi kekayaan, sedangkan paham
komunisme pada distribusi kekayaan, dengan tidak memperhatikan dampaknya terhadap
masyarakat.
Dalam konteks ini, Islam mengambil jalan tengah antara pola kapitalis dan sosialis
yaitu tidak memberikan kebebasan mutlak maupun hak yang tidak terbatas dalam
pemilikan kekayaan pribadi bagi individu dalam lapangan produksi, dan tidak pula
mengikat individu pada sebuah sistem pemerataan ekonomi yang di bawah sistem ini ia
tidak dapat memperoleh dan memiliki kekayaan secara bebas. Islam menganggap bahwa
manusia adalah makhluk ciptaan yang paling sempurna, paling mulia dan bahkan manusia
diberikan kepercayaan sebagai sebagai khalifah yang bertugas untuk mengelols dunia
guna mencapai kemakmuran.
Merujuk pada pesan Al-Quran dalam bidang ekonomi, dapat dipahami bahwa
Islam mendorong penganutnya untuk menikmati karunia yang telah diberikan oleh Allah
SWT. Maka karunia tersebut harus didayagunakan untuk meningkatkan pertumbuhan,
baik materi maupun nonmateri dengan bekerja/berjuang untuk mendapatkan materi/harta
dengan.
Berbagai cara, asalkan mengikuti aturan-aturan yang ada. Maka dengan
keyakinan akan peran dan kepemilikan absolut dari Allah, maka konsep produksi dalam
ekonomi Islam tidak semata-mata bermotif maksimalisasi keuntungan dunia, tetapi lebih
penting untuk maksimalisasi keuntungan akhirat. Urusan dunia merupakan sarana untuk
memperoleh kesejahteraan akhirat. Islam mengarahkan mekanisme berbasis spiritual
dalam pemeliharaan keadilan sosial pada setiap aktifitas ekonomi. Latar belakangnya
karena ketidakseimbangan distribusi kekayaan adalah hal yang mendasari hampir semua
konflik individu maupun sosial. Upaya pencapaian manusia akan kebahagiaan akan sulit
dicapai tanpa adanya keyakinan pada prinsip moral dan sekaligus kedisiplinan dalam
mengimplementasikan konsep moral tersebut.
Distribusi dalam ekonomi islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat
mendasar dan penting, yaitu : nilai kebebasan dan nilai keadilan. Pendapat ini didasarkan
atas kenyataan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak kekayaan telah memberi amanat
kepada manusia untuk mengatur dan mengelola kekayaan disertai kewenangan untuk
memiliki kekayaan tersebut. Sehubungan dengan masalah distribusi ini, Qardhawi
menjelaskan sebagai berikut :
1. Nilai Kebebasan
a. Asas Kebebasan
Kebebasan dalam melakukan aktivitas ekonomi harus dilandasi keimanan kepada
Allah dan ke-Esaan-Nya serta keyakinan manusia kepada Sang Pencipta. Allah lah yang
menciptakan dan Dia pula yang mengatur segala urusan sehingga tidak layak lagi bagi
manusia untuk menyombongkan diri serta bertindak otoriter terhadap makhluk lainnya.
Tidak boleh ada pemaksaan dan penindasan karena seluruh makhluk dihadapan Tuhan
adalah sama.
Keyakinan manusia kepada Allah didasarkan atas persiapan material dan spritiual
yang diberikan Allah kepada manusia dalam melakukan tugasnya sebagai khalifah.
Kebebasan manusia adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupannya.
Seorang yang terbelenggu tidak akan produktif. Islam memberikan
Kebebasan kepada mausia untuk berusaha, memiliki, mengelola, dan
membelanjakan hartanya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Allah sehingga
manusia pantas dimuliakan dan menerima amanah dari Allah yang harus
dipertanggungjawabkan di Hari Kemudian.
b. Bukti-Bukti Kebebasan
1) Hak Milik Pribadi
Kepemilikan adalah suatu bukti prinsip kebebasan. Seorang yang memiliki suatu
benda dapat menguasai dan memanfaatkannya. Ia dapat pula mengembangkan hak
miliknya dengan cara-cara yang dibenarkan islam. Islam melindngi hak milik pribadi dari
perbuatan zalim seseorang dan menganjurkan untuk mempertahankan hak miliknya.
Kebebasan mengharuskan seseorang untuk menanggung risiko sesuai dengan apa yang
dilakukan dan memberikan hak orang lain yang terdapat di dalam hartanya.
2) Warisan
Disyari’atkannya warisan adalah sebagai pencerminan kebebasan. Di mana
seseorang dapat melestarikan dan mengelola secara berkesinambungan apa yang menjadi
miliknya. Perolehan hak milik dari pemilik yang lama kepada penggantinya dapat terjadi
dalam duah hal, yaitu: melalui warisan dan wasiat. Kedua hal ini diakui oleh syar’I
dengan maksud untuk memelihara kemaslahatan individu, keluarga dan masyarakat.
Kemaslahatan indvidu dapat diperoleh dengan memenuhi keinginannya serta
menjaga kepentingannya dari perampasan hak yang merupakan salah satu hikmah
disyari’atkannya wasiat dan waris. Selanjutnya Allah sangat menganjurkan agar kita
memberi nafkah kepada keluarga terdekat agar terciptanya kemaslahatan dalam keluarga,
dan yang terakhir memaslahatkan masyarakat yang kemudian akan berdampak pada
sistem distribusi. Warisan merupakan faktor yang sangat berperan dalam pemerataan
kekayaan, perluasan dan pemindahan dari seorang pemilik kepada beberapa orang yang
ketentuan pembagiannya telah ditentukan oleh Allah didalam Al-Qur’an.
2. Nilai Keadilan
Kebebasan dalam islam tidak bersifat mutlak. Oleh karena itu meskipun seseorang
diperbolehkan memiliki namun ada ketentuan batasannya atau aturan dalam memperoleh,
mengembangkan dan mengkonsumsi harta yang dimilikiya. Islam juga mewajibkan
setiap orang untuk mengeluarkan bagian tertentu dari harta yang dimilikinya.
Hal di atas dimaksudkan karena pada dasarnya manusia sangat senang
mengumpulkan harta sehingga dalam pembelanjaan hartanya terkadang ia berlaku boros
dan kikir. Oleh karena itu islam memberikan perhatian mengenai keadilan dan larangan
berbuat zalim. Ayat yang ditegaskan didalam al-Qur’an yakni seorang muslim tidak
diperbolehkan berbuat zalim terhadap orang lain termasuk lingkungannya. Kaitannya
dengan distribusi pendapatan jika dalam pendistribusian pendapatan dilakukan dengan
tidak adil maka akan menimbulkan keresahan dan protes dari pemilik faktor produksi.
Oleh karena itu pembagian pendapatan harus diberikan dengan prinsip-prinsip keadilan.
Pola Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam
Ada beberapa pola yang dapat digunakan dalam pendistribusian kekayaan
diantaranya:
3.) Mudharabah
Mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara pemilik modal
dengan seseorang yang pakar dalam berdagang (yang oleh ulama Hijaz menyebutnya
dengan qiradh. Dalam prakteknya mudharabah adalah dimana pemilik modal
menyerahkan modalnya kepada pekerja (padagang) untuk diperdagangkan, sedangkan
keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan bersama.
Dari aspek pendistribusian harta kekayaan dapat dilihat dalam skema dimana terjadi
bentuk kerja sama antara seorang yang mempunyai surplus unit dengan mitra kerja yang
hanya punya skill sekaligus sebagai pihak yang deficits unit. Dengan terjadinnya kerja
sama antara shahibul mal dengan mitranya dengan sendirinya menjalankan pola distribusi
yang adil dan berdasarkan hubungan kemitraan.
3) Musyarakah
Syirkah atau perseroan adalah suatu bentuk transaksi antara dua orang atau lebih,
yang kedua-duanya sepakat untuk melakiukan kerjasama yang bersifat finansial dengan
tujuan mencari keuntungan. Musyarakah merupakan juga salah satu bentuk kerja sama
antara dua orang atau lebih dalam sebuah usaha atau modal dalam bentuk coorporate
dengan bagi hasil keuntungan berdasarkan kesepakatan. Musyarakah berbeda dari
mudharabah, dalam mudharabah pemilik modal tidak diberikan peran dalam menjalankan
manajemen perusahaan, sedangkan dalam musyrakah juga ada bagi hasil, tapi semua
pihak berhak turut serta dalam pengambilan keputusan manajerial.
Distribusi Pendapatan melalui Pola Mekanisme Pasar
1. Penentuan Harga
Allah SWT telah memberikan hak tiap orang untuk membeli dengan harga yang
disenangi. Ibnu Majah meriwayatkan dari Abi Sa’id: Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
jual beli itu (sah karena) sama-sama suka”. Dalam artian sama sama suka adalah saling
ridho dan transaksi yang dilakukan merupakan transaksi yang tidak bertentangan dengan
syari’ah. Dalam konsep ekonomi Islam, penentuan harga dilakukan oleh kekuatan-
kekuatan pasar, yaitu kekuatan permintaan dan penawaran. Dalam konsep Islam pula,
pertemuan permintaan dengan penawaran adalah terjadi secara seimbang dengan rela
sama rela (an taradhin) atau tidak ada pemaksaan terhadap harga tersebut pada saat
transaksi. Islam mengatur agar persaingan di pasar dilakukan secara adil.
2. Larangan Penimbunan dan Spekulasi
Penimbun adalah orang yang mengumpulkan barang-barang dengan menunggu
waktu naiknya harga barang-barang tersebut, sehingga dapat di jual dengan harga yang
tinggi. Syarat terjadinya penimbunan adalah sampainya pada suatu batas yang
menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang tertimbun, semata karena fakta
penimbunan tersebut tidak terjadi selain dalam keadaan semacam ini. Orang-orang yang
menyembunyikan (menimbun) hartanya yang dikumpulkan sesungguhnya mereka telah
menghambat arus industri, serta menghalangi kemajuan dan pembangunan negara.
Seharusnya harta mereka digunakan untuk menghasilkan kekayaan lebih banyak
keuntungan masyarakat dan kapitalis-kapitalis itu sendiri. Semua bentuk perdagangan
komersil yang memungkinkan adanya penghilangan hak pihak-pihak yang terlibat
(hoarding/penyembunyian barang maupun pasar gelap), itu semua dilarang.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam ekonomi konvensional, alokasi barang-barang dikatakan efesien bila tidak


seorang pun dapat meningkatkan utiliynya tanpa mengurangi utility orang lain. Pada
intinya ketika sumber daya yang ada telah habis teralokasi maka itu dikatakan efisien
tanpa memperdulikan apakah itu adil atau tidak. Sedangkan dalam ekonomi islam, lebih
memperhatikan nilai keadilan. Selain itu juga konsep ekonomi islam juga mendorong
pada upaya peningkatan sumber daya, bukan hanya menghabiskan sumber daya untuk
dialokasikan secara efisien.
Distribusi dalam ekonomi islam didasarkan pada dua nilai manusiawi yang sangat
mendasar dan penting, yaitu : nilai kebebasan dan nilai keadilan. Pendapat ini didasarkan
atas kenyataan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak kekayaan telah memberi amanat
kepada manusia untuk mengatur dan mengelola kekayaan disertai kewenangan untuk
memiliki kekayaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Karim, Adiwarman A. (2007) ,Ekonomi Mikro Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Muhammad, (2004), Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, yogyakarta : BPFE-
Yogyakarta, Anggota IKAPI

Anda mungkin juga menyukai