Anda di halaman 1dari 1

Masa-masa sekolah ialah salah satu masa emas dikala remaja.

Sayangnya, saya
menghabiskan masa sekolah tingkat pertama sebagai siswa yang terancam tidak lulus. Bagaimana
tidak, setengah dari satu semester saya habiskan bermain game dan uring-uringan dijalan.
Untungnya saat terima raport saya masuk diperingkat kedua paling bawah. Saat itu lulus seratus
persen adalah tren yang diadopsi hampir seluruh sekolah didaerahku, termasuk SMP Negeri
tempatku belajar. Yah, itu keajaiban.

Keajaiban lainnya adalah, saat masuk SMA, saya dikelompokkan dikelas favorit yang isinya
pelajar dengan gizi baik, dibanding denganku yang setiap hari makan kangkung tumis dan nasi
goreng, baru duduk langsung tumbang karena ngantuk, lagi-lagi berujung diperingkat kedua paling
akhir. Btw, teman saya keluar dari sekolah saat itu yang kebetulan peringkat terakhir.

Tahun kedua saya masuk dikelas IPS yang isinya sebagian besar kumpulan anggota geng,
artis, atleet, seniman dan seorang kutu buku. Itu kelas dengan paduan gado-gado paling komplit
yang pernah saya cicipi. Tapi seperti biasa, belum sempurna kalau tanpa sambal dan kecap. Saya
mulai bergabung dengan club olahraga dan organisasi sekolah, yah tujuannya untuk menutupi
kedekilan, hitam dan kurus dimasa itu. Harapan saya saat itu bisa lebih banyak belajar dan mulai
ingin membanggakan kedua orang tua, tapi sayangnya masih tidak berjalan semulus rencana. Belajar
ekstra kurikuler hanya menambah jam terbang dan mengurangi waktu belajar. Saya mulai aktif
diberbagai event sekolah dan beberapa pertandingan. Tanpa sadar, seiring berjalan waktu saya
mulai mendapat kepercayaan untuk memimpin klub olahraga pada saat itu, dan tentunya bagian ini
mempengaruhi nilai sekolahku dan lagi-lagi semester awal ditahun kedua berakhir diperingkat
buncit.

Meskipun demikian, orang tua saya tidak begitu mempermasalahkan hal tersebut. Semester
kedua mulai berjalan dan saya memutuskan untuk coba fokus belajar tapi rasanya berat karena ada
banyak tanggung jawab yang tidak bisa saya tinggalkan begitu saja misalnya, tebar pesona. Belum
lagi isi kelas yang didominasi pelajar multi tallent yang tidak fokus sama isi buku 15 ribuan, apalagi
yang tebalnya sekamus. Rasanya tidak ada cahaya, disana gelap. Untungnya ada satu siswi kutu buku
dari golongan tiongkok dan lumayan cantik. Ya sebagai pelajar SMA, penampilan fisik selalu masuk
dalam perhitungan. Melihat dia rasanya ada secercah cahaya disumur yang dalam, hanya saja saya
tidak tau cara memanjatnya. Dia wanita yang tertutup dengan pergaulan dan semester kemarin
berhasil meraih peringkat pertama dengan berbagai pujian dari seluruh guru.

Tapi demi visi yang mulia, apapun akan saya coba, termasuk menyalin isi jawaban dari
bukunya, meskipun keliatannya dia marah.

Anda mungkin juga menyukai