Anda di halaman 1dari 9

KEBIJAKAN PRESIDEN SOEHARTO MENGENAI HUBUNGAN

DIPLOMATIK INDONESIA DAN CINA PADA MASA ORDE BARU

Siti Nurhaliza

nrhlzaica13@gmail.com

Abstrak : Pergantian kepemimpinan dalam suatu negara berarti juga kebijakan


kebijakan yang ada ikut berganti, entah itu berganti total atau hanya diubah sebagian. Hal
ini juga terjadi dalam pergantian kepemimpinan di Indonesia khususnya saat transisi dari
masa Orde Lama yang dipimpin Presiden Soekarno ke masa Orde Baru yang dipimpin
oleh Presiden Soeharto. Perubahan ini terlihat jelas dalam kebiijakan politik luar negeri
Indonesia yang berubah haluan, politik luar negeri Indonesia yang awalnya lebih condong
ke kiri diubah oleh Presiden Soeharto menjadi lebih memihak Barat yang anti-komunis.
Hubungan diplomatik Indonesia yang awalnya berjalan baik dengan negara negara
komunis diputuskan saat Orde Baru, pemutusan kerjasama ini adalah cara Indonesia
membentuk citra nya dihadapan negara negara Barat. Salah satu negara komunis yang
terkena pemutusan hubungan kerjasama ini adalah Cina, Cina awalnya merupakan salah
satu negara yang menjalin hubungan kerjasama dengan Indonesia dan sering memberi
dukungannya juga, tetapi Presiden Soeharto tidak berpikir demikian, karena adanya
kecurigaan bahwa Cina terlibat dalam tragedi G 30-S, juga adanya pandangan Presiden
Soeharto bahwa Cina adalah ancaman bagi Indonesia karena bisa saja Cina berniat
menyebarkan ideologi komunisnya pada rakyat Indonesia.

Kata Kunci : Politik Luar Negeri, Komunis

Abstract : Change of leadership in a country means also the existing policy


changes, whether it changes completely or only partially changed. This also happened in
the change of leadership in Indonesia, especially during the transition from the Old Order
period led by President Soekarno to the New Order period led by President Suharto. This
change is evident in the habits of Indonesia's foreign policy that changed direction,
Indonesia's foreign policy which was initially more left-leaning was changed by President
Suharto to be more in favor of the anti-communist West. Indonesia's diplomatic relations
that initially went well with the communist country were decided during the New Order,
the termination of this cooperation is the way Indonesia formed its image before western
countries. One of the communist countries affected by this cooperation cut is China,
China was originally one of the countries that established cooperative relations with
Indonesia and often gave its support as well, but President Suharto did not think so,
because of suspicions that China was involved in the G30-S tragedy, There is also
president Suharto's view that China is a threat to Indonesia because China may intend to
spread its communist ideology to the Indonesian people.

Keywords : Foreign Policy, Communists

PENDAHULUAN

Orde Baru merupakan era dimana masa kepemimpinan Presiden Soekarno atau
Orde Lama berakhir dan digantikan oleh pemimpin yang baru yaitu Presiden Soeharto.
Orde Baru ini dimulai pada tahun 1967, saat Soeharto diangkat menjadi Presiden
Republik Indonesia melalui Sidang Umum MPR 1967. Seharusnya pemilu diadakan pada
tahun 1968 sesuai dengan Ketetapan MPRS XI Tahun 1966, tetapi Presiden Soeharto
menggantinya menjadi 1971. Pergantian kepemimpinan ini juga mengubah beberapa
kebijakan kebijakan yang sebelumnya telah diterapkan selama pemerintahan Presiden
Soekarno di Orde Lama. Kepemimpinan Presiden Soeharto selama Orde Baru berusaha
untuk menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara supaya menjadi lebih baik,
dan tetap berdasar pada Pancasila dan UUD 1945, hal ini berkaitan erat dengan ideologi
komunisme yang sempat menjadi akar permasalahan pada tahun tahun awal masa
pemerintahan Orde Baru dan juga penyebab pecahnya tragedi G 30-S. Presiden Soeharto
sendiri berkata bahwa makna Orde Baru adalah peraturan seluruh kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara yang kita letakkan Kembali kepada kemurnian pelaksanaan Pancasila
dan UUD 1945 (Putra, 2008).

Salah satu kebijakan yang dibenahi selama Orde Baru adalah tentang politik luar
negeri yang bebas aktif, mengingat saat masa demokrasi terpimpin (Orde Lama) sistem
politik luar negeri Indonesia cenderung lebih condong pada negara negara beraliran
komunis, karena itulah pada masa awal pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto
berusaha merubah citra Indonesia yang condong ke komunis dengan pembenahan politik
luar negeri dan kembali menjadi anggota PBB (Hadi & Kasuma, 2012). Politik luar negeri
sendiri merupakan bentuk kebijakan suatu negara untuk mengatur hubungan dengan
negara lain dengan tujuan nasional dalam lingkup internasional (Arifin et al., 2018),
bentuk politik luar negeri berupa kerjasama antara satu negara dengan negara lainnya,
entah itu kerjasama regional, bilateral, ataupun multilateral. Setiap negara tentunya harus
memiliki kerjasama dengan negara lainnya karena negara tidak bisa berdiri sendiri tanpa
negara lain, kerjasama dibutuhkan supaya roda politik, ekonomi, dan sosial dalam skala
internasional bisa berjalan dengan baik.

Perubahan kerjasama dengan negara luar yang diubah oleh Presiden Soeharto
adalah dengan mendekatkan diri dengan barat, dan memerangi komunis, juga
membekukan kerjasama bilateral Indonesia dengan Cina. Selain membekukan kerjasama
dengan negara negara komunis, Indonesia juga melakukan perbaikan hubungan dengan
negara negara tetangga seperti Malaysia, dan juga membentuk kerjasama regional baru
dengan negara negara Asia Tenggara yaitu ASEAN (Association of South East Asian
Nation). Pemutusan kerjasama dengan Cina ini didasari oleh beberapa faktor, pertama
karena adanya kecurigaan bahwa Cina terlibat dalam tragedi 30 September 1965,
walaupun tuduhan ini ditepis oleh Cina tetapi kecurigaan tetap tidak hilang, lalu yang
kedua karena persepsi Presiden SOeharto sendiri terhadap Cina yang dianggap akan
mengancam Indonesia, apalagi saat itu Cina juga sedang dipimpin oleh Mao Zedong yang
ingin menyebarkan ideologi komunis ke seluruh dunia.

Pada akhirnya setelah 22 tahun membekukan hubungan diplomatik Indonesia


dengan Cina, Presiden Soeharto akhirnya menormalkan kembali hubungan
diplomatiknya dengan Cina setelah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Cina yaitu Qian
Qichen dalam upacara pemakaman Kaisar Hirohito di Tokyo. Setelah melalui proses yang
sedikit panjang, pada 3 Juli 1990, kedua menteri luar negeri Indonesia dan Cina
menandatangani Komunike Bersama “The Resumption of The Diplomatic between The
Two Countries” di Beijing dan diikuti dengan kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke
Indonesia sekaligus menyaksikan nota kesepahaman pemulihan hubungan diplomatik
Indonesia dan Cina pada 8 Agustus 1990.

METODE

Metode yang penulis gunakan untuk menulis artikel ini adalah metode studi
literatur atau studi kepustakaan, yaitu metode yang dilakukan dengan mengumpulkan
data pustaka, membaca & mencatat, serta mengolah bahan penelitian. Sumber yang
dipakai pun tidak bisa sembarangan, karena itu penulis menggunakan beberapa sumber
literatur yang terpercaya seperti jurnal jurnal yang sudah terakreditasi juga beberapa e-
book. Menurut Creswell, John. W. kajian literatur merupakan catatan singkat tertulis
mengenai artikel dari jurnal, buku, dan dokumen lain yang mendeskripsikan konsep dan
informasi baik dari masa lalu maupun masa kini dan mengelompokkan pustaka kedalam
topik dan dokumen yang dibutuhkan (Habsy, 2017). Selain menggunakan studi literatur,
penulis juga menggunakan metode kualitatif deskriptif yaitu metode mengumpulkan data
lalu menyusun keseluruhan hipotesis dan hasilnya dalam bentuk deskripsi/narasi
penjelasan secara runtut dan jelas.

PEMBAHASAN

KEBIJAKAN PRESIDEN SOEHARTO MENGENAI HUBUNGAN


DIPLOMATIK INDONESIA DENGAN CINA

Masa Orde Lama merupakan masa dimana Presiden Soekarno memimpin


Indonesia, di akhir masa kepemimpinannya, Presiden Soekarno menerapkan sistem
demokrasi terpimpin tepatnya saat dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Selama awal demokrasi terpimpin dijalankan, Presiden Soekarno sibuk memperbaiki
kondisi politik dalam negeri yang sebelumnya tidak kondusif, barulah setelah kondisi
politik dalam negeri sudah lebih kondusif, barulah Presiden Soekarno memerhatikan
urusan politik luar negeri. Kebijakan Indonesia dalam politik luar negeri di era demokrasi
terpimpin masih sama dengan kebijakan di era sebelumnya, yaitu memerangi
imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme (Pradana, 2016). Yang membedakan
hanyalah kebijakan luar negeri Indonesia menjadi semkain militant, terlihat dari cara
Presiden Soekarno merebut kembali Irian Barat tahun 1963, dan kampanye nya untuk
mencegah terbentuknya Federasi Malaysia.

Dari uraian singkat diatas terlihat bahwa politik luar negeri Indonesia saat masa
demokrasi terpimpin bersifat militant anti-kolonial dan anti Barat, dan karena itu juga
Indonesia secara tidak langsung lebih condong kearah kiri atau komunis dan sosialis,
salah satunya dengan Cina. Hubungan Indonesia dan Cina selama masa demokrasi
terpimpin tidak selalu mulus walaupun tentu tidak separah saat Orde Baru, contohnya
saat Indonesia membuat kebijakan yang melarang orang orang etnis tionghoa untuk
terlibat dalam kegiatan perdagangan di pedesaan, hal ini membuat Sebagian besar
masyarakat yang beretnis Tionghoa Kembali ke Cina dan membuat hubungan Indonesia-
Cina sempat renggang. Tetapi karena tidak ingin Indonesia lebih dekat dengan Uni
Soviet, Cina memilih untuk mengabaikan masalah ini. Meskipun sempat diwarnai isu
diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, hubungan Indonesia dan Cina secara umum terjalin
dengan baik, mungkin karena kedua negara ini juga sama sama memiliki pandangan yang
cenderung anti Barat. Selama masa demokrasi terpimpin pun, peran Presiden Soekarno
sangat dominan sebagai pemimpin negara karena beliau jugalah yang menentukan arah
politik luar negeri Indonesia.

Pergantian pemerintahan selalu diikuti oleh perubahan perubahan kebijakan,


termasuk kebijakan luar negeri. Hal ini terlihat dalam pergantian pemerintahan dari
Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Orde Baru identik dengan menjauhnya
Indonesia dari ideologi komunis dan negara negara yang berideologi tersebut, Presiden
Soeharto sangat keras jika itu mengenai komunis karena apa yang pernah menimpa
Indonesia sebelumnya. Cina sebagai salah satu negara komunis yang menjalin kerjasama
dengan Indonesia pun terkena dampak dari perubahan kebijakan ini, Presiden Soeharto
membekukan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan Cina. Padahal saat Presiden
Soekarno masih memimpin, khususnya pada tahun 1959-1965 Indonesia dan Cina
menjalin hubungan diplomatic yang dekat, ditunjukkan dengan adanya poros Jakarta-
Beijing. Alasan pembekuan kerjasama ini adalah karena adanya anggapan bahwa Cina
terlibat dalam Gerakan 30 September, selain itu Cina juga dianggap sebagai ancaman bagi
keamanan nasional. Setelah melakukan pembekuan kerjasama bilateral dengan Cina,
Indonesia juga mulai mencitrakan diri sebagai negara yang anti-komunis dengan tujuan
menarik negara negara barat supaya mereka mau bekerjasama dengan Indonesia.

Semua pembekuan kerjasama dengan Cina ini juga didasari oleh persepsi Presiden
Soeharto yang memandang Cina sebagai ancaman, ditambah dengan fakta bahwa saat itu
Cina juga sedang dipimpin oleh Mao Zedong yang berambisi menyebarkan ideologi
Komunisme ke seluruh dunia. Mao Zedong juga memberikan dukungannya pada parta
komunis yang ada di seluruh dunia untuk merebut kekuasaan di negara negara tersebut,
untuk mengantisipasi hal itu terjadilah, Presiden Soeharto segera membubarkan PKI dan
juga memutus hubungan diplomatiknya dengan Cina.
DAMPAK PEMBEKUAN HUBUNGAN DIPLOMATIK DENGAN CINA DAN
KEMBALI DIBUKANYA HUBUNGAN DIPLOMATIK INI

Pihak Cina jelas saja menentang tuduhan atas keterlibatan mereka dalam tragedi
30 September, mereka bahkan sampai mengambil tindakan serius dengan menghentikan
bantuan ekonomi pada Indonesia, padahal Indonesia pada saat itu sedang kesulitan karena
inflasi yang terjadi saat Orde Lama. Kemarahan Cina ini juga ditambah dengan
permasalahan saat Orde Lama sebelumnya yaitu pelarangan orang orang etnis Tionghoa
untuk terlibat dalam kegiatan perdagangan di pedesaan. Karena itulah untuk menutupi
hutang hutang negara yang menumpuk, Presiden Soeharto membentuk tim ekonomi yang
mencari dukungan dari luar negeri, tentunya kepada negara negara Barat yang bukan
penganut Komunis Sosialis. Selain dengan Cina, negara negara komunis lain yang juga
sempat memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia juga akhirnya memutus
kerjasama mereka, karena Presiden Soeharto tidak ingin ada pengaruh aliran kiri
(komunis) di Indonesia

Walaupun pemutusan kerjasama bilateral dengan Cina membuat Indonesia


sempat kesulitan dalam permasalahan ekonomi negara, tetapi Presiden Soeharto tetap
pada keputusannya untuk memutus kerjasama dengan Cina dan negara negara komunis
lainnya karena tidak ingin Indonesia terlalu condong ke kiri. Karena kesulitan ekonomi
setelah pemutusan hubungan diplomatik inlah akhirnya Presiden Soeharto mengeluarkan
kebijakan baru yaitu Undang Undang Penanaman Modal Asing. Kondisi ini
memungkinkan para pemodal asing untuk melakukan investasi di Indonesia, ada
beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam Undang Undang Penanaman Modal
Asing adalah:

a. Adanya jaminan bahwa semua milik asing tidak akan dinasionalisasi dan aka nada
kompensasi pembayaran jika terjadi nasionalisasi (pasal 21 dan pasal 22)
b. Masa kerja perusahaan asing adalah 30 tahun dan bisa dilakukan perpanjangan
jika sesuai dengan persetujuan
c. Selama 3 tahun, perusahaan investor asing akan diberikan pembebasan
pembayaran deviden dan pajak. Kerugian dapat di perhitungkan sebagi tambahan
terhadap pembebesan pajak yang telah lewat (pasal 15).
d. Selama 2 tahun, bea masuk untuk mesin mesin yang di impor beserta bahan
bakunya akan dibebaskan.
e. Pihak investor asing diberi kebebasan untuk merekrut tenaga kerja dan teknisi dari
luar negeri jika pekerjaan semacam itu masih belum bisa dilakukan oleh tenaga
kerja dari Indonesia
f. Kebebasan melakukan pemindahan keuntungan, dana defresiasi dan hasil
penjualan saham kepada warga negara indonesia (pasal 19 dan pasal 24).

Tetapi, setelah kurang lebih selama 22 tahun Indonesia membekukan hubungan


diplomatik dengan Cina, akhirnya pada 24 Februari 1989, ketika Presiden Soeharto
bertemu dengan Menteri Luar Negeri Cina yaitu Qian Qichen dalam upacara pemakaman
Kaisar Hirohito di Tokyo dan akhirnya membahas tentang kemungkinan normalisasi
hubungan antara Indonesia dan Cina yang sempat dibekukan. Pembahasan dilanjutkan
dalam pertemuan Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan Qian Qichen pada 4 Oktober 1989
di Tokyo. Hasilnya pada 3 Juli 1990, kedua Menteri luar negeri menandatangani
Komunike Bersama “The Resumption of The Diplomatic between The Two Countries”
di Beijing dan diikuti dengan kunjungan Perdana Menteri Li Peng ke Indonesia sekaligus
menyaksikan nota kesepahaman pemulihan hubungan diplomatik Indonesia dan Cina
pada 8 Agustus 1990.

KESIMPULAN

Transisi antara masa Orde Lama dan Orde Baru memunculkan banyak kebijakan
kebijakan baru yang berbeda sama sekali dari kebijakan yang sudah ada di awal. Salah
satu kebijakan baru yang dibuat oleh Presiden Soeharto saat masa kepemimpinannya
dimulai adalah kebijakan politik luar negeri, sebelumnya, politik luar negeri Indonesia
cenderung lebih kearah poros kiri atau komunis, terlihat dari hubungan diplomatik
Indonesia yang banyak dilakukan dengan negara negara komunis, selain itu Indonesia
juga memusuhi negara negara barat dan menganut anti-kolonialisme. Pada akhirnya
Presiden Soeharto membekukan hubungan diplomatik Indonesia dengan Cina, alasannya
jelas karena Cina merupakan negara komunis, ditambah saat itu Cina juga sedang
dipimpin oleh Mao Zedong yang berambisi menyebarkan ideologi komunis ke seluruh
dunia, hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa Cina juga terlibat dalam tragedi G 30-S
tahun 1965 sehingga Presiden Soeharto menganggap bahwa Cina merupakan ancaman
bagi kesatuan rakyat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Alami, A. N. (2016). Profil Dan Orientasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia Pasca Orde
Baru. Jurnal Penelitian Politik, 163–181.
http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/459/272

Ardhana, A. A. (2014). Masyarakat Cina dan Kekerasan Obyektif dalam Karya Sastra;
Sebuah Kritik Ideologi atas Multikulturalisme. Universitas Sanata Dharma.

Arifin, M. Z., Jumadi, J., & Najamuddin, N. (2018). Politik Luar Negeri Indonesia Masa
Transisi Pemerintahan Orde Lama Pemerintahan Orde Baru Tahun 1965-1973.
Jurnal Pattingalloang, 5(3), 100–111.

Habsy, B. A. (2017). Seni Memehami Penelitian Kuliatatif Dalam Bimbingan Dan


Konseling : Studi Literatur. JURKAM: Jurnal Konseling Andi Matappa, 1(2), 90–
100. https://doi.org/10.31100/jurkam.v1i2.56

Hadi, D. W., & Kasuma, G. (2012). Propaganda Orde Baru 1966-1980. Verleden, 1(1),
40–50.

Hilmy, M. (2015). Radikalisme Agama dan Politik Demokrasi di Indonesia Pasca Orde
Baru. XXXIX(2), 407–425.

Irsan. (2013). PANDANGAN PUSTAKAWAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


ALAUDDIN MAKASSAR TEHADAP PELARANGAN BUKU-BUKU KIRI DI ERA
ORDE BARU Skripsi. UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR.

Pradana, H. A. (2016). Persepsi Suharto dan Perubahan Kebijakan Luar Negeri


Indonesia terhadap Cina pada Awal Orde Baru. Indonesian Perspective, 1(1), 21–
40.

Putra, O. E. (2008). Hubungan Islam Dan Politik Masa Orde Baru. Jurnal Dakwah UIN
Sunan Kalijaga, 9(2), 185–201.
https://www.neliti.com/publications/76845/hubungan-islam-dan-politik-masa-
orde-baru

Utama, G. I., & Putri, A. A. (2017). AKIBAT HUKUM PENGAKHIRAN


BILATERAL INVESTMENT TREATY (BIT) OLEH INDONESIA. Law Review,
XIV(3), 497–522.

Yuningsih, H. (2015). Kebijakan Pendidikan Islam Masa Orde Baru. JURNAL


TARBIYA, 1(1), 175–194. https://www.neliti.com/publications/226411/politik-
kebijakan-pemerintah-terhadap-pendidikan-agama-islam-di-masa-orde-baru

Anda mungkin juga menyukai