Anda di halaman 1dari 14

7 Faedah Qona’ah

9 Komentar // 7 Oktober 2011

a. Hati akan dipenuhi dengan keimanan kepada Allah

Seorang yang qana’ah akan yakin terhadap ketentuan yang


ditetapkan Allah ta’ala sehingga diapun ridha terhadap rezeki
yang telah ditakdirkan dan dibagikan kepadanya. Hal ini erat
kaitannya dengan keimanan kepada takdir Allah. Seorang
yang qana’ah beriman bahwa Allah ta’ala telah menjamin
dan membagi seluruh rezeki para hamba-Nya, bahkan ketika
sang hamba dalam kondisi tidak memiliki apapun. Sehingga,
dia tidak akan berkeluh-kesah mengadukan Rabb-nya kepada
makhluk yang hina seperti dirinya.

Ibnu Mas’ud radhilallahu ‘anhu pernah mengatakan,

ْ َ ْ َ ْ َ ُ َ َ ْ ّ ُ‫ﱠ َ ْ َ َ َ ُ ن‬
‫ِإن أر ﻣﺎ أ ﻮ ِﻟ ِﻠﺮز ِق ِإذا ﻗﺎﻟﻮا ﻟ ﺲ ِ اﻟﺒ ِﺖ‬
‫ﻴﻖ‬ٌ ‫َدﻗ‬
ِ
“Momen yang paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki
adalah ketika mereka mengatakan, “Tidak ada lagi tepung
yang tersisa untuk membuat makanan di rumah” [Jami’ul
‘Ulum wal Hikam].
َ‫ َﻟ ْ ﺲ‬: ‫إ ﱠن َأ ْﺣ َﺴ َﻦ َﻣﺎ َأ ُ ﻮ ُن َﻇﻨﺎ ِﺣ َن َﻳ ُﻘﻮ ُل ا ْ َ ِﺎد ُم‬
ِ ِ
ٌ‫ْاﻟ َﺒ ْ ِﺖ َﻗ ِﻔ ٌ ِﻣ ْﻦ َﻗ ْﻤﺢ َوَﻻ ِد ْر َ ﻢ‬
ٍ
“Situasi dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah
ketika pembantu mengatakan, “Di rumah tidak ada lagi
gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah
(34871); Ad Dainuri dalam Al Majalisah (2744); Abu Nu'aim
dalam Al Hilyah (2/97)].

Imam Ahmad mengatakan,

َ ْ ‫ﺻﺒ ُﺢ َو َﻟ‬
ٌ‫ﺲ ِﻋ ْﻨ ِﺪي َ ْ ء‬ ْ ‫َﻳ ْﻮ ٌم ُأ‬ ‫َأ َﺳ ﱡﺮ َأ ﱠﻳ ِﺎﻣﻲ إ َ ﱠ‬
ِ ِ
“Hari yang paling bahagia menurutku adalah ketika saya
memasuki waktu Subuh dan saya tidak memiliki apapun.”
[Shifatush Shafwah 3/345].

b. Memperoleh kehidupan yang baik

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang


mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” [An-Nahl:
97].
Kehidupan yang baik tidaklah identik dengan kekayaan yang
melimpah ruah. Oleh karenanya, sebagian ahli tafsir
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang
baik dalam ayat di atas adalah Allah memberikannya rezeki
berupa rasa qana’ah di dunia ini, sebagian ahli tafsir yang
lain menyatakan bahwa kehidupan yang baik adalah Allah
menganugerahi rezeki yang halal dan baik kepada hamba
[Tafsir ath-Thabari 17/290; Maktabah asy-Syamilah].

Dapat kita lihat di dunia ini, tidak jarang, terkadang diri kita
mengorbankan agama hanya untuk memperoleh bagian yang
teramat sedikit dari dunia. Tidak jarang bahkan kita
menerjang sesuatu yang diharamkan hanya untuk
memperoleh dunia. Ini menunjukkan betapa lemahnya rasa
qana’ah yang ada pada diri kita dan betapa kuatnya rasa
cinta kita kepada dunia.

Tafsir kehidupan yang baik dengan anugerah berupa rezeki


yang halal dan baik semasa di dunia menunjukkan bahwa hal
itu merupakan nikmat yang harus kita usahakan. Harta yang
melimpah ruah sebenarnya bukanlah suatu nikmat jika
diperoleh dengan cara yang tidak diridhai oleh Allah. Tapi
sayangnya, sebagian besar manusia berkeyakinan harta
yang sampai ketangannya meski diperoleh dengan cara
yang haram itulah rezeki yang halal. Ingat, kekayaan yang
dimiliki akan dimintai pertanggungjawaban dari dua sisi,
yaitu bagaimana cara memperolehnya dan bagaimana harta
itu dihabiskan. Seorang yang dianugerahi kekayaan melimpah
ruah tentu pertanggungjawaban yang akan dituntut dari
dirinya di akhirat kelak lebih besar.
c. Mampu merealisasikan syukur kepada Allah

Seorang yang qana’ah tentu akan bersyukur kepada-Nya atas


rezeki yang diperoleh. Sebaliknya barangsiapa yang
memandang sedikit rezeki yang diperolehnya, justru akan
sedikit rasa syukurnya, bahkan terkadang dirinya berkeluh-
kesah. Nabi pun mewanti-wanti kepada Abu Hurairah,

ً َ ْ َُ ‫ﱠ‬ َ َ ْ َ ْ ُ َ ً َ ْ ُ َ َ َْ ُ ََ َ
ِ ‫ ﺗﻜﻦ أﻋﺒﺪ اﻟﻨ‬،‫ﻳﺎ أﺑﺎ ﺮ ﺮة ﻛﻦ و ِرﻋﺎ‬
،‫ وﻛﻦ ﻗ ِﻨﻌﺎ‬،‫ﺎس‬
‫ﱠ‬ َ َ ْ َ ْ َُ
‫ﺎس‬
ِ ‫ﺗﻜﻦ أﺷﻜﺮ اﻟﻨ‬
“Wahai Abu Hurairah, jadilah orang yang wara’ niscaya
dirimu akan menjadi hamba yang paling taat. Jadilah orang
yang qana’ah, niscaya dirimu akan menjadi hamba yang
paling bersyukur” [HR. Ibnu Majah: 4217].

Seorang yang berkeluh-kesah atas rezeki yang diperolehnya,


sesungguhnya tengah berkeluh-kesah atas pembagian yang
telah ditetapkan Rabb-nya. Barangsiapa yang mengadukan
minimnya rezeki kepada sesama makhluk, sesungguhnya
dirinya tengah memprotes Allah kepada makhluk. Seseorang
pernah mengadu kepada sekelompok orang perihal
kesempitan rezeki yang dialaminya, maka salah seorang
diantara mereka berkata, “Sesungguhnya engkau ini tengah
mengadukan Zat yang menyayangimu kepada orang yang
tidak menyayangimu” [Uyun al-Akhbar karya Ibnu Qutaibah
3/206].
d. Memperoleh keberuntungan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa


seorang yang qana’ah akan mendapatkan keberuntungan.

Fudhalah bin Ubaid radhiallalahu ‘anhu pernah mendengar


nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

َ َ ‫ َو‬،‫ْﺳ َﻼم‬
َ‫ﺎن َﻋ ْ ُﺸ ُﮫ َﻛ َﻔ ًﺎﻓﺎ َو َﻗ َﻨﻊ‬ َ َ ُ َْ َ ُ
‫ﻃﻮ ﻰ ِﳌﻦ ِﺪي ِإ‬
ِ ِ
“Keberuntungan bagi seorang yang diberi hidayah untuk
memeluk Islam, kehidupannya cukup dan dia merasa qana’ah
dengan apa yang ada” [HR. Ahmad 6/19; Tirmidzi 2249].

Abdullah bin Amr mengatakan bahwa rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫ َو َﻗ ﱠﻨ َﻌ ُﮫ‬،‫ َو ُرز َق َﻛ َﻔ ًﺎﻓﺎ‬،‫َﻗ ْﺪ َأ ْﻓ َ َ َﻣ ْﻦ َأ ْﺳ َﻠ َﻢ‬


ُ‫ﷲ ﺑ َﻤﺎ َآﺗﺎﻩ‬
ِ ِ
“Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, diberi rezki
yang cukup dan Allah menganugerahi sifat qana’ah atas apa
yang telah diberikan-Nya” [HR. Muslim: 1054; Tirmidzi:
2348].

e. Terjaga dari berbagai dosa

Seorang yang qana’ah akan terhindar dari berbagai akhlak


buruk yang dapat mengikis habis pahala kebaikannya seperti
hasad, namimah, dusta dan akhlak buruk lainnya. Faktor
terbesar yang mendorong manusia melakukan berbagai
akhlak buruk tersebut adalah tidak merasa cukup dengan
rezeki yang Allah berikan, tamak akan dunia dan kecewa jika
bagian dunia yang diperoleh hanya sedikit. Semua itu
berpulang pada minimnya rasa qana’ah.

Jika seseorang memiliki sifat qana’ah, bagaimana bisa dia


melakukan semua akhlak buruk di atas? Bagaimana bisa
dalam hatinya timbul kedengkian, padahal dia telah ridha
terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah?

Abdullah bin Mas’ud radhiallalhu ‘anhu mengatakan,

َ‫ َوَﻻ َﺗ ْﺤ ُﺴﺪ‬،‫اﻟﻠﮫ‬ ‫ﱠ‬ ْ ُ َ ‫َْ ُ َ ْ َ ُْ َ ﱠ‬


ِ ‫ِﻂ‬ ِ ‫اﻟﻴ ِﻘ ن أن ﻻ ﺗﺮ ِ اﻟﻨﺎس‬
َ‫ َوَﻻ َﺗ ُﻠ ْﻢ َأ َﺣ ًﺪا َﻋ َ َﻣﺎ َﻟ ْﻢ ُﻳ ْﺆﺗﻚ‬،‫اﻟﻠﮫ‬ ‫ﱠ‬ ْ‫َ َ ً َ َ ز‬
ِ ِ ‫أﺣﺪا ﻋ ِر ِق‬
َ ُ ‫ﻮﻗ ُﮫ ِﺣ ْﺮ‬ ُ ُ َ َ َ ّْ ‫ﱠ ُ َ ﱠ‬
‫ َوﻻ َﻳ ُﺮ ﱡد ُﻩ‬،‫ﺺ‬ ٍ ِ ‫ﺮ‬ َ ‫ص‬
‫ﺣ‬ ‫اﻟﺮزق ﻻ ﺴ‬ ِ ‫ ﻓ ِﺈن‬،‫اﻟﻠﮫ‬
ْ َ َ َ ََ َ َ ََ َ ‫َ ﱠ ﱠ‬ َ ُ َ
‫ ﻓ ِﺈن اﻟﻠﮫ ﺗﺒﺎرك و ﻌﺎ – ِﺑ ِﻘﺴ ِﻄ ِﮫ و ِﻋﻠ ِﻤ ِﮫ‬،‫ﻛ َﺮا َ ﺔ ﺎ ِر ٍﻩ‬
ْ
َ ّ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ‫َ َ َ ﱠ‬ ْ ُ َ
،‫اﻟﺮﺿﺎ‬ ِ ‫وﺣﻜ ِﻤ ِﮫ –ﺟﻌﻞ اﻟﺮوح واﻟﻔﺮح ِ اﻟﻴ ِﻘ ِن و‬
ْ ‫ﱠ‬ َْ ُ ْ َ ‫َ َ َ َ َْ ﱠ‬
‫اﻟﺸ ِّﻚ َواﻟ ﱡ ِﻂ‬ ‫ن‬
ِ ‫وﺟﻌﻞ اﻟ ﻢ وا ﺰ‬
“Al Yaqin adalah engkau tidak mencari ridha manusia
dengan kemurkaan Allah, engkau tidak dengki kepada
seorangpun atas rezeki yang ditetapkan Allah, dan tidak
mencela seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah
kepadamu. Sesungguhnya rezeki tidak akan diperoleh dengan
ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena
kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan
keadilan, ilmu, dan hikmah-Nya- menjadikan ketenangan dan
kelapangan ada di dalam rasa yakin dan ridha kepada-Nya
sserta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam
keragu-raguan (tidak yakin atas takdir Allah) dan kebencian
(atas apa yang telah ditakdirkan Allah)” [Diriwayatkan Ibnu
Abid Dunya dalam Al Yaqin (118) dan Al Baihaqi dalam
Syu'abul Iman (209)].

Sebagian ahli hikmah mengatakan, “Saya menjumpai yang


mengalami kesedihan berkepanjangan adalah mereka yang
hasad sedangkan yang memperoleh ketenangan hidup adalah
mereka yang qana’ah” [Al Qana’ah karya Ibnu as-Sunni hlm.
58].

f. Kekayaan sejati terletak pada sifat qana’ah

Qana’ah adalah kekayaan sejati. Oleh karenanya, Allah


menganugerahi sifat ini kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Allah ta’ala berfirman,

ً
‫َو َو َﺟ َﺪ َك َﻋﺎ ِﺋﻼ ﻓﺄﻏ‬
“Dan Dia menjumpaimu dalam keadaan tidak memiliki
sesuatu apapun, kemudian Dia member kekayaan
(kecukupan) kepadamu” [Adh-Dhuha: 8].

Ada ulama yang mengartikan bahwa kekayaan dalam ayat


tersebut adalah kekayaan hati, karena ayat ini termasuk ayat
Makkiyah (diturunkan sebelum nabi hijrah ke Madinah). Dan
pada saat itu, sudah dimaklumi bahwa nabi memiliki harta
yang minim [Fath al-Baari 11/273].

Hal ini selaras dengan hadits-hadits nabi yang menjelaskan


bahwa kekayaan sejati itu letaknya di hati, yaitu sikap
qana’ah atas apa yang diberikan-Nya, bukan terletak pada
kuantitas harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫ َو َﻟﻜ ﱠﻦ اﻟﻐ َ ﻏ‬،‫ﻟﻌ َﺮض‬


َ ‫ﺲ اﻟﻐ َ َﻋ ْﻦ َﻛ ْ َ ة ا‬َ ْ ‫َﻟ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ﺲ‬ ‫ﻔ‬ ْ ‫اﻟﻨ‬
‫ﱠ‬
ِ
“Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya kemewahan
dunia, akan tetapi kekayaan hakiki adalah kekayaan
(kecukupan) dalam jiwa (hati)” [HR. Bukhari: 6446; Muslim:
1051].

Abu Dzar radhiallalhu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Wahai Abu
Dzar apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itu
adalah kekakayaan sebenarnya?” Saya menjawab, “Iya, wahai
rasulullah.” Beliau kembali bertanya, “Dan apakah engkau
beranggapan bahwa kefakiran itu adalah dengan sedikitnya
harta?” Diriku menjawab, “Benar, wahai rasulullah.” Beliau
pun menyatakan, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah dengan
kekayaan hati dan kefakiran itu adalah dengan kefakiran
hati” [HR. An-Nasaai dalam al-Kubra: 11785; Ibnu Hibban:
685].
Apa yang dinyatakan di atas dapat kita temui dalam realita
kehidupan sehari-hari. Betapa banyak mereka yang diberi
kenikmatan duniawi yang melimpah ruah, dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan diri dan keturunannya selama
berpuluh-puluh tahun, namun tetap tidak merasa cukup
sehingga ketamakan telah merasuk ke dalam urat nadi
mereka. Dalam kondisi demikian, bagaimana lagi dia bisa
perhatian terhadap kualitas keagamaan yang dimiliki,
bukankah waktunya dicurahkan untuk memperoleh tambahan
dunia?

Sebaliknya, betapa banyak mereka yang tidak memiliki apa-


apa dianugerahi sifat qana’ah sehingga merasa seolah-olah
dirinyalah orang terkaya di dunia, tidak merendahkan diri di
hadapan sesama makhluk atau menempuh jalan-jalan yang
haram demi memperbanyak kuantitas harta yang ada.

Rahasianya terletak di hati sebagaimana yang telah


dijelaskan. Oleh karena pentingnya kekayaan hati ini, Umar
radhilallahu ‘anhu pernah berpesan dalam salah satu
khutbahnya,

ْ‫ َوإ ﱠﻧ ُﮫ َﻣﻦ‬، ً ‫ﺎس ﻏ‬


َ َ‫ َو َأ ﱠن ْ ﻳ‬،‫اﻟﻄ َﻤ َﻊ َﻓ ْﻘ ٌﺮ‬
‫َ َْ ُ َ َ ﱠ ﱠ‬
‫ﻌﻠﻤﻮن أن‬
ِ ِ ِ
ْ‫اﺳ َﺘ ْﻐ َ َﻋ ْ ُ ﻢ‬
ْ ‫اﻟﻨﺎس‬ ‫ﺲ ﻣ ﱠﻤﺎ ﻋ ْﻨ َﺪ ﱠ‬
َ َ
ِ ِ ِ ِ‫أ‬
“Tahukah kalian sesungguhnya ketamakan itulah kefakiran
dan sesungguhnya tidak berangan-angan panjang merupakan
kekayaan. Barangsiapa yang tidak berangan-angan memiliki
apa yang ada di tangan manusia, niscaya dirinya tidak butuh
kepada mereka” [HR. Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhd: 631].

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu pernah berwasiat


kepada putranya, “Wahai putraku, jika dirimu hendak
mencari kekayaan, carilah dia dengan qana’ah, karena
qana’ah merupakan harta yang tidak akan lekang” [Uyun al-
Akhbar : 3/207].

Abu Hazim az-Zahid pernah ditanya,

َ ُ َ َ
‫ﻣﺎ ﻣﺎﻟﻚ؟‬
“Apa hartamu”,

beliau menjawab,

‫َ َ َ َ ْ َ َ ََُ َْ ْ َ َّ ُ ﱠ‬
ُ‫ َو ْاﻟ َﻴ ْﺄس‬،‫ﺎﻟﻠ ِﮫ‬‫اﻟ ِﺜﻘﺔ ِﺑ‬: ‫ِ ﻣﺎﻻ ِن ﻻ أﺧ ﻣﻌ ﻤﺎ اﻟﻔﻘﺮ‬
‫ﱠ‬ ْ َ ‫ﱠ‬
‫ﺎس‬
ِ ‫ِﻣﻤﺎ ِ أﻳ ِﺪي اﻟﻨ‬
“Saya memiliki dua harta dan dengan keduanya saya tidak
takut miskin. Keduanya adalah ats-tsiqqatu billah (yakin
kepada Allah atas rezeki yang dibagikan) dan tidak
mengharapkan harta yang dimiliki oleh orang lain
[Diriwayatkan Ad Dainuri dalam Al Mujalasah (963); Abu
Nu'aim dalam Al Hilyah 3/231-232].
Sebagian ahli hikmah pernah ditanya, “Apakah kekayaan
itu?” Dia menjawab, “Minimnya angan-anganmu dan engkau
ridha terhadap rezeki yang mencukupimu” [Ihya ‘Ulum ad-
Diin 3/212].

g. Memperoleh kemuliaan

Kemuliaan terletak pada sifat qana’ah sedangkan kehinaan


terletak pada ketamakan. Mengapa demikian, karena seorang
yang dianugerahi sifat qana’ah tidak menggantungkan
hidupnya pada manusia, sehingga dirinya pun dipandang
mulia. Adapun orang yang tamak justru akan menghinakan
dirinya di hadapan manusia demi dunia yang hendak
diperolehnya. Jibril ‘alaihissalam pernah berkata,

ُ‫اﺳﺘ ْﻐ َﻨ ُﺎؤﻩ‬ ‫َ ُ ﱠ‬
ْ ‫اﻟﻠ ْﻴﻞ َوﻋ ﱡﺰ ُﻩ‬ ْ ُْ ُ َ َ ُ ‫َ ُ َ ﱠ‬
ِ ِ ِ ‫ﻳﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺷﺮف اﳌﺆ ِﻣ ِﻦ ِﻗﻴﺎم‬
‫ﺎس‬ ‫َﻋﻦ ﱠ‬
‫اﻟﻨ‬
ِ ِ
“Wahai Muhammad, kehormatan seorang mukmin terletak
pada shalat malam dan kemuliaannya terletak pada
ketidakbergantungannya pada manusia” [HR. Hakim: 7921].

Al Hasan berkata,
َ‫ﺎس ُﻳ ْﻜﺮ ُﻣ َﻮﻧﻚ‬ ُ ‫اﻟﻨﺎس – َأ ْو َﻻ َﻳ َﺰ‬
‫ال ﱠ‬
ُ ‫اﻟﻨ‬ ‫ال َﻛﺮ ًﻤﺎ َﻋ َ ﱠ‬ ُ ‫َﻻ َﺗ َﺰ‬
ِ ِ ِ
‫ﱡ‬ َ َ ْ َ َ َ َْ َ َ َ ْ َْ َ َ ُ َْ َ
‫ ﻓ ِﺈذا ﻓﻌﻠﺖ ذ ِﻟﻚ اﺳﺘﺨﻔﻮا‬،‫ﺎط ﻣﺎ ِ أﻳ ِﺪ ِ ﻢ‬ ِ ‫ﻣﺎ ﻟﻢ ﻌ‬
َ‫ﻀﻮك‬ ُ ‫ َو َﻛﺮ ُ ﻮا َﺣﺪ َﻳﺜ َﻚ َو َأ ْ َﻐ‬،‫ﺑ َﻚ‬
ِ ِ ِ
“Engkau akan senantiasa mulia di hadapan manusia dan
manusia akan senantiasa memuliakanmu selama dirimu tidak
tamak terhadap harta yang mereka miliki. Jika engkau
melakukannya, niscaya mereka akan meremehkanmu,
membenci perkataanmu dan memusuhimu” [Al-Hilyah: 3/20].

Al Hafizh Ibnu Rajab mengatakan,

ْ‫اﻟﻠ ُﮫ َﻋ َﻠﻴ ِﮫ‬


‫ﱠ‬ ‫ﱠ ّ َﱠ‬ َ ُ ََْ َ َ َ َ ْ َ َ
‫وﻗﺪ ﺗ ﺎﺛﺮ ِت ﺣ ِﺎدﻳﺚ ﻋ ِﻦ اﻟﻨ ِ ِ ﺻ‬
‫ﱠ‬ ََ ْ َ ْ َ َ ْ ْ ْ َْ َ ‫َ َﱠ‬
‫ﺎس‬ ِ ‫ﺎف ﻋﻦ ﻣﺴﺄﻟ ِﺔ اﻟﻨ‬ ِ ‫وﺳﻠﻢ ِﺑﺎﻷﻣ ِﺮ ِﺑ ِﺎﻻﺳ ِﺘﻌﻔ‬
ْ،‫ﺎس َﻣﺎ ﺑ َﺄ ْﻳ ِﺪ ﻢ‬ َ ‫اﻟﻨ‬‫ َﻓ َﻤ ْﻦ َﺳ َﺄ َل ﱠ‬،‫َو ْﺳﺘ ْﻐ َﻨﺎء َﻋ ْ ُ ْﻢ‬
ِ ِ ِ
ِ ِ
َ،‫ﻮب ﻟ ُﻨ ُﻔﻮس َﺑ َآدم‬ ٌ ْ‫ﺎل َﻣﺤﺒ‬
ُ َ َْ ‫َ ُ ُ ََْ َ ُ ُ َ ﱠ‬
ِ ِ ِ ‫ﻛ ِﺮ ﻮﻩ وأ ﻐﻀﻮﻩ؛ ِﻷن اﳌ‬
َ‫ﻮﻩ ﻟ َﺬﻟﻚ‬ ُ ُ ‫ َﻛﺮ‬،‫َﻓ َﻤ ْﻦ َﻃ َﻠ َﺐ ﻣ ْ ُ ْﻢ َﻣﺎ ُﻳﺤ ﱡﺒ َﻮﻧ ُﮫ‬
ِ ِ ِ ِ ِ
“Begitu banyak hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
memerintahkan untuk bersikap ‘iifah (menjaga kehormatan)
untuk tidak meminta-minta dan tidak bergantung kepada
manusia. Setiap orang yang meminta harta orang lain,
niscaya mereka akan tidak suka dan membencinya, karena
harta merupakan suatu hal yang amat dicintai oleh jiwa anak
Adam. Oleh karenanya, seorang yang meminta orang lain
untuk memberikan apa yang disukainya, niscaya mereka akan
membencinya” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 2/205].

Kepemimpinan dalam agama yang identik dengan kemuliaan


pun dapat diperoleh jika seorang ‘alim tidak
menggantungkan diri kepada manusia, sehingga mereka tidak
direpotkan dengan berbagai kebutuhan hidup yang
dituntutnya. Seyogyanya manusia membutuhkan sang ‘alim
karena ilmu, fatwa dan nasehatnya. Mereka bukannya butuh
ketamakan dari sang ‘alim. Seorang Arab badui pernah
bertanya kepada penduduk Bashrah,

َ ‫ َﻗ‬،‫ا ْ َ َﺴ ُﻦ‬: ‫َﻣ ْﻦ َﺳ ّﻴ ُﺪ َأ ْ ﻞ َ ِﺬ ِﻩ ْاﻟ َﻘ ْﺮَ ِﺔ؟ َﻗ ُﺎﻟﻮا‬


َ‫ﺑﻤﺎ‬: ‫ﺎل‬
ِ ِ ِ
ْ ْ َ ْ َ ُ ‫َْ َ ﱠ‬ ُ َ
‫اﺳ َﺘﻐ َ ُ َﻮ‬‫ و‬،‫ﺎس ِإ ِﻋﻠ ِﻤ ِﮫ‬ ‫اﺣﺘﺎج اﻟﻨ‬: ‫َﺳ َﺎد ُ ْﻢ؟ ﻗﺎﻟﻮا‬
ْ
‫َﻋ ْﻦ ُدﻧ َﻴﺎ ُ ْﻢ‬
“Siapa tokoh agama di kota ini?” Penduduk Bashrah
menjawab, “Al Hasan.” Arab badui bertanya kembali,
“Dengan apa dia memimpin mereka?” Mereka menjawab,
“Manusia butuh kepada ilmunya, sedangkan dia tidak butuh
dunia yang mereka miliki” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam
2/206].
Sumber: Al Qana’ah, Mafhumuha, Manafi’uha, ath-Thariqu
ilaiha karya Ibrahim bin Muhammad al-Haqil disertai
beberapa penambahan.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

==========

Silakan like FB fanspage Muslim.Or.Id dan follow twitter


@muslimindo

Anda mungkin juga menyukai