Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar teori
1. Tinjauan Umum Tentang Lansia
a. Pengertian Lansia
Lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis (Putri, 2019).
Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang manusia tidak secara
tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan
akhirnya menjadi tua. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan
masa tua merupakan masa hidup manusia yang terahir. Dimasa ini seseorang
mengalami kemunduran fiisk, mental dan sosial secara bertahap. Lansia
merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang akan dijalani oleh
setiap individu yang ditandai dengan penurunan fungsi (Meranti, 2018).
Lanjut usia atau lansia adalah tahap akhir dari perkembangan pada
kehidupan manusia yang dimulai pada usia 60 tahun. Pada lansia akan
mengalami penurunan fungsi organ tubuh untuk memperbaiki diri atau
mengganti atau mempertahankan fungsi normalnya (Malo, 2021).
Lansia di artikan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia, menurut UU No. 13/Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia
disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60
tahun (Sofia, 2019).
Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban
dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan
masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai
beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara
negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat (Sofia, 2019).
Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial
sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah
kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya
ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputuan serta luasnya hubungan
sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia
menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda
(Sofia Rhosma Dewi, 2018).

b. Proses Menua
Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi
seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan
sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan
kematian, Terdapat dua jenis penuaan, antara lain penuaan primer, merupakan
proses kemunduran tubuh gradual tak terhindarkan yang dimulai pada masa
awal kehidupan dan terus berlangsung selama bertahun-tahun, terlepas dari apa
yang orang-orang lakukan untuk menundanya. Sedangkan penuaan sekunder
merupakan hasil penyakit, kesalahan dan penyalahgunaan faktor-faktor yang
sebenarnya dapat dihindari dan berada dalam kontrol seseorang. Banyak
perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari
kehilangan yang bersifat bertahap (gradual loss). Lansia mengalami
perubahan-perubahan fisik diantaranya perubahan sel, sistem persarafan, sistem
pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan
suhu tubuh, sistem respirasi, sistem gastrointestinal, sistem genitourinari,
sistem endokrin, sistem muskuloskeletal, disertai juga dengan perubahan-
perubahan mental menyangkut perubahan ingatan (memori). Berdasarkan
perbandingan yang diamati secara potong lintang antar kelompok usia yang
berbeda, sebagian besar organ tampaknya mengalami kehilangan fungsi sekitar
1 persen per tahun, dimulai pada usia sekitar 30 tahun (Kartini et al.,
2019).
1) Perubahan pada lansia
Perubahan yang terjadi pada lansia terdiri dari perubahan fisik,
perubahan mental dan perubahan psikososial. Hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a) Perubahan fisik
Menurut (Sofia, 2019) perubahan kondisi fisik pada lansia umumnya
mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda
(multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, energi menurun, kulit
makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dan sebagainya.
Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia
mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat
menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologis maupun
sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan
kepada orang lain.
Menurut (Sofia, 2019) perubahan fisik yang di alami lansia adalah
(1) Perubahan pada sistem kekebalan atau imunologi yaitu tubuh
menjadi rentan terhadap alergi dan penyakit.
(2) Konsumsi energi turun secara nyata diikuti dengan menurunnya
jumlah energi yang dikeluarkan tubuh.
(3) Air dalam tubuh turun secara signifikan karena bertambahnya sel-sel
yang mati yang diganti oleh lemak maupun jaringan konektif.
(4) Sistem pencernaan mulai terganggu, gigi mulai tanggal, kemampuan
mencerna makanan serta penyerapan mulai lamban dan kurang
efisien, gerakan peristaltik usus menurun sehingga sering konstipasi.
(5) Perubahan pada sistem metabolik yang mengakibatkan gangguan
metabolisme glukosa karena sekresi insulin yang menurun. Sekresi
menurun juga karena timbunan lemak.
(6) Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun dekat,
kepekaan bau dan rasa berkurang, pendengaran berkurang, reaksi
lambat, fungsi mental menurun, dan ingatan visual berkurang.
(7) Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya
elastisitas paru-paru yang mempersulit pernafasan sehingga dapat
mengakibatkan munculnya rasa sesak dan tekanan darah meningkat.
b) Perubahan mental
Perubahan mental lansia dapat berupa perubahan sikap yang
semakin egosentrik, mudah curiga, dan bertambah pelit atau tamak bila
memiliki sesuatu. Lansia mengharapkan tetap diberi peranan dalam
masyarakat. Sikap umum yang ditemukan pada hampir setiap lansia yaitu
keinginan untuk berumur panjang. Jika meninggal pun, mereka ingin
meninggal secara terhormat dan masuk surga. Faktor yang mempengaruhi
perubahan mental yaitu perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat
pendidikan, keturunan dan lingkungan (Sofia, 2019).
Perubahan psikososial
Nilai seseorang sering diukur melalui produktivitasnya dikaitkan
dengan peranan dalam pekerjaan. Bila mengalami pensiun, seseorang akan
mengalami kehilangan, yaitu kehilangan finansial, kehilangan status,
kehilangan teman dan kehilangan pekerjaan (Sofia, 2019).
c) Perubahan kardiovaskuler.
Menurut (Sofia, 2019)Perubahan krdiovaskuler yang terjadi pada
lansia yaitu :
(1) Hipertensi
Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik
sama atau lebih tinggi dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih
tinggi dari 90 mmHg, yang terjadi karena menurunnya elastisitas arteri
pada prosecs menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat memicu
terjadinya stroke, kerusakan pembuluh darah, serangan/gagal jantung
dan gagal ginjal.
(2) Penyakit jantung koroner
pembuluh darah jantung sehingga aliran darah menuju jantung
terganggu. Gejala umum yang terjadi adalah nyeri dada, sesak napas,
pingsan, hingga kebingungan.
(3) Disritmia
Insidensi distrimia atrial dan ventrikuler meningkat pada lansia
karena perubahan struktural dan fungsional pada penuaan. Masalah
dipicu oleh disritmia dan tidak terkordinasinya jantung sering di
manifestasikan sebagai perubahan perilaku, palpitasi, sesak nafas,
keletihan dan jatuh.
(4) Penyakit Vaskular Perifer
Gejala yang paling sering adalah rasa terbakar, kram, atau nyeri
sangat yang terjadi pada saat aktivitas fisik dan menghilang pada saat
istirahat. Ketika penyakit semakin berkembang, nyeri tidak lagi dapat
hilang dengan istirahat
(5) Penyakit Katup Jantung
Manifestasi klinis dari penyakit katup jantung bervariasi dari fase
kompensasi sampai pada fase pascakompensasi. Selama fase
kompensasi tubuh menyesuaikan perubahan pada struktur dan fungsi
katup.
2. Tinjauan umum tentang Arthritis Remathoid
a. Pengertian Arthritis Remathoid
Arthritis atau biasa disebut rematik adalah penyakit yang
menyerang persendian dan struktur di sekitarnya. Penyakit rematik pada
masyarakat sering dianggap penyakit sepele karena tidak menimbulkan
kematian, tetapi bila tidak ditangani secara cepat rematik bisa membuat
anggota tubuh berfungsi tidak normal, mulai dari benjol-benjol, sendi
kaku, sulit berjalan, bahkan kecacatan seumur hidup. Rasa sakit yang
timbul bisa sangat mengganggu dan membatasi aktivitas kegiatan sehari-
hari (Kartini et al., 2019).
Arthritis reumathoid merupakan penyakit autoimun dimana system
imun seseorang mengalami kerusakan yang berujung pada rusaknya sendi
dan lapisan synovial terutama pada tangan, kaki dan lutut (Rin et al.,
2021)adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui dan
ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus
disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3
macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus
perjalananya kronik kematian dini (Atrio et al., 2019).
Rematik atau yang biasa disebut dengan Arthritis Reumathoid
adalah penyakit inflamasi sistemik kronis yang tidak diketahui
penyebabnya. Karakteristik rematik adalah terjadinya kerusakan dan
proliferasi pada membran sinovial, yang menyebabkan kerusakan pada
tulang sendi, ankilosis dan deformitas. Mekanisme imunologis tampak
berperan penting dalam memulai dan timbulnya penyakit ini (Randa,
2020)
Artritis reumatoid adalah kondisi dimana sendi terasa nyeri akibat
inflamasi ringan yang timbul karena gesekan ujung-ujung tulang penyusun
sendi. Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi (Kartini et al., 2019).
Penyakit Arthritis Reumathoid atau rematik merupakan penyakit yang
banyak dijumpai di masyarakat, khususnya pada orang yang berusia 40
tahun ke atas. Lebih dari 40 persen dari golongan usia tersebut
mengeluhkan nyeri sendi. Masalah penyakit rematik ini dipandang sebagai
salah satu masalah kesehatan utama (Dinda Eka, 2019).
b. Patofisiologi Arthritis Rheumatoid
Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana
merupakan penyakit autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca)
dan faktor dalam (usia, jenis kelamin, keturunan, dan psikologis).
Diperkirakan infeksi virus dan bakteri sebagai pencetus awal Artritis
reumatoid. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin diperkirakan
ikut sebagai faktor pencetus (Atrio et al., 2019).
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun
komplek dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai
pencetus awal. mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid,
suatu antibodi terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun
komplek (autoimun). Proses autoimun dalam patogenesis Artritis reumatoid.
masih belum tuntas diketahui, dan teorinya masih berkembang terus.
Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran
genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas selular, humoral, peran
sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran ini, satu sam
lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada
sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya.
Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan
pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan.
Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang
terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari
sel mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta
merangsang pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix
metalloproteases (MMPs) (Atrio et al., 2019)
c. Faktor Risiko Arthritis Rheumatoid
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus Artritis
rheumatoid menjadi dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
dan faktor rikiko yang dapat di modifikasi menurut (Atrio et al., 2019):
1. Tidak Dapat Dimodifikasi
(1) Usia
Artritis rheumatoid biasanya timbul antara usia 40 tahun
sampai 60 tahun. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada
dewasa tua dan anak-anak, Dari semua faktor risiko untuk
timbulnya Artritis rheumatoid, faktor ketuaan adalah yang terkuat.
Prevalensi dan beratnya Artritis rheumatoid semakin meningkat
dengan bertambahnya usia. Artritis rheumatoid hampir tak pernah
pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering
pada usia diatas 60 tahun.
(2) Jenis kelamin
Artritis rheumatoid jauh lebih sering pada perempuan
dibanding laki-laki dengan rasio 3:1. Meskipun mekanisme yang
terkait jenis kelamin masih belum jelas. Perbedaan pada hormon
seks kemungkinan memiliki pengaruh.
2. Dapat di modifikasi
(1) Gaya hidup
a) Status sosial
ekonomi Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak
terdapat kaitan antara faktor sosial ekonomi dengan Artritis
rheumatoid berbeda dengan penelitian di Swedia yang
menyatakan terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dan
perbedaan paparan saat bekerja dengan risiko Artritis
rheumatoid
b) Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa
rokok tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko
Artritis rheumatoid Merokok berhubungan dengan produksi
dari rheumatoid factor(RF) yang akan berkembang setelah 10
hingga 20 tahun. Merokok juga berhubungan dengan gen
ACPA-positif Artritis rheumatoid dimana perokok menjadi 10
hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok.
Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab namun
kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.
c) Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko Artritis rheumatoid salah
satunya adalah makanan yang mempengaruhi perjalanan
Artritis rheumatoid Dalam penelitian Pattison dkk, isu
mengenai faktor diet ini masih banyak ketidakpastian dan
jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis makanannya.
Penelitian tersebut menyebutkan daging merah dapat
meningkatkan risiko Artritis rheumatoid sedangkan buah-
buahan dan minyak ikan memproteksi kejadian Artritis
rheumatoid Selain itu penelitian lain menyebutkan konsumsi
kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas
bagaimana hubungannya.
d) Pekerjaan Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko Artritis
rheumatoid adalah petani, pertambangan, dan yang terpapar
dengan banyak zat kimia namun risiko pekerjaan tertinggi
terdapat pada orang yang bekerja dengan paparan silica.
(2) Faktor hormonal
Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko Artritis
rheumatoid yaitu pada perempuan dengan sindrom polikistik ovari,
siklus menstruasi ireguler, dan menarche usia sangat muda.
(3) Bentuk tubuh
Risiko Artritis rheumatoid meningkat pada obesitas atau yang
memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) lebih dari 30.
d. Manifestasi klinis
Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau
bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas.
Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan
keluhan diluar sendi (Atrio et al., 2019).
1) Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan
berat badan.
2) Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi
pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi
lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-
klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang
terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi
hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
3) Kelainan diluar sendi
a) Kulit: nodul subukutan (nodul rematoid)
b) Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang didapatkan, namun
40% pada autopsi RA didapatkan kelainan perikardi
c) Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru obstruktif dan
kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)
d) Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis yang sering
terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di ekstremitas dengan
gejala foot or wrist drop
e) Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika)
3. Tinjauan Umum Tentang Nyeri
a. Pengetian Nyeri
Nyeri merupakan sensasi sensori dari pengalaman subyektif yang
dialami setiap individu dan berbeda persepsi antara satu orang dengan
yang lain yang menyebabkan perasaan tidak nyaman, tidak menyenangkan
berkaitan dengan adanya atau potensial kerusakan jaringan (Herdiani &
Wibisono, 2018).
Definisi tersebut menjelaskan konsep bahwa nyeri adalah hasil
kerusakan struktural, bukan saja tanggapan sensorik dari suatu proses
nosisepsi, tetapi juga merupakan tanggapan emosional (psikologik) yang
didasari atas pengalaman termasuk pengalaman nyeri sebelumnya.
Persepsi nyeri menjadi sangat subjektif tergantung kondisi emosi dan
pengalaman emosional sebelumnya. Toleransi terhadap nyeri meningkat
bersama pengertian, simpati, persaudaraan, pengetahuan, pemberian
analgesik, anisolitik, antidepresan dan pengurang gejala. Sedangkan
toleransi nyeri menurun pada keadaaan marah, cemas, bosan, kelelahan,
depresi, penolakan sosial, isolasi mental dan keadaan yang tidak
menyenangkan (Fahmi,2019).
Nyeri diartikan berbeda-beda antar individu, bergantung pada
persepsinya.Walaupun demikian, ada satu kesamaan mengenai persepsi
nyeri. Secara sederhana, nyeri dapat diartikan sebagai suatu sensasi yang
tidak menyenangkan baik secara sensori maupun emosional yang
berhubungan dengan adanya suatu kerusakan jaringan atau faktor lain,
sehingga individu merasa tersiksa, menderita yang akhirnya akan
mengganggu aktivitas sehari-hari, psikis, dan lain-lain (Mussardo,2019).
b. Patofisiologi Nyeri
Pengalaman subyektif nyeri akibat dari adanya cidera akan
menimbulkan empat proses dalam perjalanan nyeri: transduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi (Nurfitriani & Fatmawati, 2020).
Mekanisme nyeri dimulai dari stimulasi nociceptor oleh stimulus
noxious pada jaringan, yang kemudian dapat mengakibatkan stumulasi
nosiseptor yang mengubah stimulus tersebut menjadi potensial. Proses
ini disebut transduksi atau aktivasi reseptor. Selanjutnya, potensial aksi
akan ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat yang
berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama transmisi adalah konduksi
impuls dari neuron aferen primer ke kornu dorsalis medulla spinalis,
pada kornu dorsalis ini neuron aferen primer bersinap dengan neuron
susunan saraf pusat, kemudian akan di transmisikan menuju batang
otak dan thalamus. Selanjutnya akan terjadi hubungan timbal balik
antara thalamus dan pusat-pusat otak yang mengurus respons persepsi
berhubungan dengan nyeri. Terdapat proses nodulasi sinyal yang
mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut. Proses terakhir adalah
persepsi, dimana pesan nyeri di relai menuju otak dan menghasilkan
pengalaman yang tidak menyenangkan (Eka, 2019).
c. Klasifikasi nyeri
Menurut Perry & Potter, (2009), Penting bagi seorang perawat
untuk mengetahui tentang macam-macam tipe nyeri. Dengan
mengetahui macam-macam tipe nyeri diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan membantu perawat ketika memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan nyeri. Ada banyak jalan untuk
memulai mendiskusikan tentang tipe-tipe nyeri, antara lain melihat
nyeri dari segi durasi nyeri, tingkat keparahan dan intensitas, model
transmisi, lokasi nyeri, dan kausatif dari penyebab nyeri itu sendiri
(Mussardo, 2019).
Berdasarkan durasi atau lamanya nyeri berlangsung (Eka, 2019)
antara lain:
a) Nyeri akut atau sementara
Nyeri akut berlangsung tiba-tiba dan umumnya berhubungan
dengan adanya suatu trauma atau cedera spesifik. Nyeri akut
mengindikasikan adanya suatu kerusakan atau cedera yang baru
saja terjadi. Sensasi dari suatu nyeri akut biasanya penurun sejalan
dengan adanya proses penyembuhan. Nyeri akut memiliki tujuan
untuk memperingatkan adanya suatu cedera atau masalah. Nyeri
akut umumnya berlangsung kurang dari 6 bulan.
b) Nyeri kronis atau menetap
Nyeri kronis merupakan suatu keadaan yang berlangsung
secara konstan atau intermiten dan menetap sepanjang suatu
periode waktu Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan
yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan
penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis dapat tidak
mempunyai awitan (onset) yang ditetapkan dengan tepat dan sering
sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan
respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya.
Klien yang mengalami nyeri kronis sering kali mengalami gejala
hilang sebagian atau keseluruhan dan keparahan meningkat. Sifat
nyeri kronis, yang tidak dapat diprediksi ini, membuat klien
frustasi dan sering kali mengarah pada depresi psikologis.
d. Faktor yang mempengaruhi nyeri
Faktor yang mempengaruhi nyeri menurut Taylor,(2011) dalam (Rin et
al., 2021) diantaranya:
1) Budaya
Latar belakang etnik dan warisan budaya telah lama dikenal sebagai
faktor faktor yang mempengaruhi reaksi nyeri dan ekspresi nyeri
tersebut. Perilaku yang berhubungan dengan nyeri adalah sebuah
bagian dari proses sosialisasi, Individu mempelajari apa yang
diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini
meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri.
2) Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan perbedaan yang telah dikodratkan Tuhan.
Perbedaan antara laki laki dengan perempuan tidak hanya dalam faktor
biologis, tetapi aspek sosial kultural juga membentuk berbagai
karakter sifat gender. Karakter jenis kelamin dan hubungannya dengan
sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan memegang peranan
tersendiri (contoh: laki-laki tidak pantas mengeluh nyeri, wanita boleh
mengeluh nyeri). Jenis kelamin dengan respon nyeri laki- laki dan
perempuan berbeda. Hal ini terjadi karena laki-laki lebih siap untuk
menerima efek, komplikasi dari nyeri sedangkan perempuan suka
mengeluhkan sakitnya dan menangis
3) Usia
Usia dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah waktu hidup atau
ada sejak dilahirkan,semakin bertambah usia semakin bertambah pula
pemahaman terhadap suatu masalah yang diakibatkan oleh tindakan
dan memiliki usaha untuk mengatasinya. Umur lansia lebih siap
melakukan dengan menerima dampak, efek dan komplikasi nyeri
Perbedaan perkembangan, yang ditemukan diantara kelompok usia
anak-anak yang masih kecil memiliki kesulitan memahami nyeri dan
prosedur yang dilakukan perawat (Oliver, 2020).
4) Makna Nyeri
Beberapa klien dapat lebih mudah menerima nyeri dibandingkan klien
lain, bergantung pada keadaan dan interpretasi klien mengenai makna
nyeri tersebut. Seorang klien yang menghubungkan rasa nyeri dengan
hasil akhir yang positif dapat menahan nyeri dengan sangat baik.
Sebaliknya, klien yang nyeri kroniknya tidak mereda dapat merasa
lebih menderita. Mereka dapat berespon dengan putus asa, ansietas,
dan depresi karena mereka tidak dapat mengubungkan makna positif
atau tujuan nyeri (Oliver, 2020).
5) Pengalaman sebelumnya
Mahasiswa yang penah mengalami haid kemungkinan akan lebih siap
menghadapi nyeri dibandingkan remaja yang belum pernah. Namun
demikian, pengalaman nyeri sebelumnya tidak berarti bahwa individu
akan mengalami nyeri yang lebih mudah pada masa yang akan datang.
Apabila individu sejak lama sering mengalami serangkaian nyeri tanpa
pernah sembuh maka rasa takut akan muncul dan sebaliknya (Oliver,
2020).
e. Tanda dan gejala nyeri
Tanda dan gejala nyeri ada bermacam–macam perilaku yang tercermin
dari pasien. Secara umum orang yang mengalami nyeri akan didapatkan
respon psikologis berupa :
1) Suara: Menangis, merintih, menarik/menghembuskan nafas
2) Ekspresi wajah: Meringiu mulut
3) Menggigit lidah, mengatupkan gigi, dahi berkerut, tertutup
rapat/membuka mata atau mulut, menggigit bibir
4) Pergerakan tubuh: Kegelisahan, mondar – mandir, gerakan
menggosok atau berirama, bergerak melindungi bagian tubuh,
immobilisasi, otot tegang.
5) Interaksi sosial: Menghindari percakapan dan kontak sosial,
berfokus aktivitas untuk mengurangi nyeri, disorientasi waktu
(Oliver, 2020).
f. Penatalaksanaan Nyeri
1) Farmakologi
Banyak agen farmakologis tersedia untuk mengurangi nyeri. Perawat
harus memberikan semua analgesik dengan menggunakan
pedoman/petunjuk dari The Joint Commison’s National Patient Safety
Goals (2007). Analgesik merupakan metode penanganan nyeri yang
paling umum dan sangat efektif. Ada tiga tipe analgesic yaitu (Eka,
2019):
a. Non opioid dan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS)
Asetaminofen Tylenol : Obat ini bekerja secara menyebar dan
terpusat, namun kerja obat ini belum diketahui secara pasti
Seringkali dikombinasikan dengan opioid (contoh: Percocet,
Vicodin, Lortab, dan Ultracet) karena dapat mengurangi dosis
opioid yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dalam
pengontrolan nyeri.
OAINS non selektif : seperti aspirin dan ibuprofen, memberikan
penurunan rasa nyeri untuk nyeri akut ringan hingga sedang yang
timbul sesekali, seperti yang berhubungan dengan sakit kepala atau
ketegangan otot. OAINS bekerja pada reseptor saraf perifer untuk
mengurangi transmisi nyeri tanpa menekan sistem saraf pusat.
b. Analgesik narkotik atau Opioid
Opioid secara umum digunakan untuk nyeri sedang hingga
berat. Analgesik ini bekerja pada pusat otak yang lebih tinggi dan
tulang belakang melalui cara pengikatan dengan reseptor opiat
untk memodifikasi persepsi nyeri. Efek merugikan yang timbul
adalah depresi pernapasan, mual, muntah, konstipasi, rasa gatal,
retensi urin, spasme otot dan perubahan proses mental.
c. Obat tambahan (adjuvan) atau koanalgesik
Koanalgesik merupakan obat yang awalnya dikembangkan
untuk mengobati kondisi selain nyeri namun dikembangkan untuk
mengobati kondisi selain nyeri namun telah menunjukkan adanya
kandungan analgesik. Sebagai contoh :
(1) Antidepresan trisiklik (Nortriptyline), antikonvulsan
(Neurontin) dan pemberian lidokain melalui infus telah
berhasil dalam mengobati nyeri neuropatik.
(2) Kortikosteroid yang dapat mengurangi nyeri yang
berhubungan dengan inflamasi dan metastase tulang.
2) Non farmakologi
Intervensi non-farmakologis mencakup perilaku kognitif dan
pendekatan secara fisik. Tujuan dari intervensi perilaku kognitif adalah
mengubah persepsi klien terhadap nyeri, untuk mengubah perilaku
terhadap nyeri dan mengajari klien agar memiliki rasa kontrol tehadap
nyeri yang lebih baik. Distraksi, berdoa, relaksasi,imajinasi terpimpin,
musik dan biofeedback merupakan beberapa contoh. Pendekatan
secara fisik memiliki tujuan untuk memberikan penanganan nyeri agar
nyeri berkurang, memperbaiki disfungsi fisik, mengubah respons
fisiologis, serta mengurangi ketakutan yang berhubungan dengan
immobilitas terkait nyeri. Terapi chiropractic ( orang yang
menyembuhkan penyakit dengan pengobatan tulang punggung) dan
terapi akupuntur/akupresur merupakan contoh. Secara umum
intervensi non farmakologis antara lain (Eka, 2019).
a. Relaksasi dan imajinasi terpimpin : Relaksasi merupakan perasaan
bebas secara mental dan fisik dari ketegangan atau stres yang
membuat individu memiliki rasa kontrol terhadap dirinya. Teknik
relaksasi mencakup meditasi, yoga, Zen imajinasi terpimpin dan
latihan relaksasi secara progresif,
b. Distraksi : Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien dari nyeri.
Hal ini dapat mencakup kegiatan bernyanyi, bernapas lambat dan
berirama secara berirama, dan mendengarkan musik. Musik
menghasilkan suatu keadaan di mana klien sadar penuh melalui
suara, hening, jarak, dan waktu. Klien setidaknya perlu
mendengarkan selama 15 menit agar mendapat efek terapeutik,
c. Stimulasi kutaneus : Stimulasi pada kulit membantu untuk
mengurangi nyeri. Masase/pijatan, mandi dengan air hangat,
kompres es, kompres hangat dan stimulasi elektrik pada saraf
transkutaneus menstimulasi kulit untuk mengurangi persepsi nyeri.
d. Hipnotis : Hipnotis adalah suatu teknik yang menghasilkan suatu
keadaan tidak sadar dari yang icapai melalui gagasan –gagasan
yang disampaikan oleh pehipnotis.
g. Pengukuran Skala Nyeri
Skala nyeri merupakan alat ukur yang digunakan untuk
membantu mendiagnosa dan mengukur intensitas nyeri. Skala nyeri
yang paling sering digunakan adalah skala visual, verbal dan numerik.
Skala NRS (Numeric Rating Scale) dapat mengukur skala nyeri.
Digambarkan dalam bentuk garis horizontal yang menunjukkan skala
dari 0-10 (Eka, 2019).
Dalam penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan dengan skala
(Dewi SLI et al., 2018), sebagai berikut:
1) Deskriptif

Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan


yang objektif. Skala pendeskriptif verbal( verbal descriptif scala VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
dekriptif yang tersusun dengan jarak yang sama sepanjang garis
pendiskripsian dari tidak terasa nyeri samapi nyeri tidak tertahankan
dengan cara ini menunjukkan ke pasien skala tersebut dan meminta
klien untuk memilih terbaru dirasakan

1.1 Gambar skala Nyeri deskriptif


Mubarak, wahit iqbal (2015) ilmu keperawatan dasar.Jakarta: Penerbit
Salemba Medika
Keterangan:
0 : tidak merasa nyerisecara
1-3 : objektif klien dapat berkomunikasi
4-6 : secara objektif klien mendesis
7- 9 : secara objektif terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi
masih merespon terhadap tindakan
10 : klien tidak dapat mampu mengikuti perintah

2) Numerik
Skala penilaian numerik (numeric rating scale, NRS) lebih digunakan
sebagai alat pendeskripsi kata, dalam hal ini klien menilai nyeri
dengan menggunakan sakal 1-10, skala ini paling efektif digunakan
saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi
terapeutik.

1.2 gambar skala nyeri numeric


Mubarak, wahit iqbal (2015) ilmu keperawatan dasar.Jakarta:
Penerbit Salemba Medika

Keterangan
0: tidak nyeri
1-3 : nyeri seperti kesemutan = nyeri ringan
4-6 : nyeri seperti ditusuk jarum = nyeri sedang
7-9 :nyeri seperti luka sayatan = nyeri berat
10 : nyeri sangat berat, responden berteriak, meraung raung
kesakitan sambil menangis dan sulit terkendali
3) Visual analog scale (VAS)
Skala analog visual adalah suatu garis lurus sepanjang 10cm, yang
mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan mendiskripsikan
verbal dan setiap ujungnya, dengan cara klien diminta untuk
menunjukkan letak yang nyeri terjadi pada sepanjang garis yang
menunjukkan letak nyeri terjadi pada sepanjang garis tersebut. Pada
ujung kiri tidak nyeri yang sebelah kanan nyeri berat.

1.3. gambar skala nyeri VAS


Mubarak, wahit iqbal (2015) ilmu keperawatan dasar.Jakarta:
Penerbit Salemba Medika

4) Wong – baker faces pain rating scale


Skala ini biasanya dipakai untuk mengukur nyeri pada anak-anak
karena biasanya anak-anak tidak bisa mengungkapkan rasa nyerinya.
Skala ini dengan penilaian dari ekspresi wajah.

1.4 gambar skala nyeri wong- baker faces pain rating scaleMubarak,
wahit iqbal (2015) ilmu keperawatan dasar.Jakarta: Penerbit Salemba
Medika

1) Tinjauan Umum Tentang kompres Serai (Cymbopogon Citratus)


(1) Definisi Serai (Cymbopogon Citratus)
Serai (Cymbopogon Citratus) merupakan tanaman semak yang
memiliki akar serabut besar dan berimpang pendek. Serai merupakan
tanaman semak yang memiliki akar serabut besar dan berimpang pendek
Serai ini dapat menurunkan nyeri sendi, dengan pemberian minyak atsiri
yang terkandung dalam serai tersebut (Suryani & Nurmansyah, 2020). Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Andriani (2016)
menyatakan bahwa ada pengaruh pemberian kompres serai hangat pada nyeri
Artritis Rheumatoid (Sciences, 2019)

Pada penelitian Hyulita (2013), serai juga terbukti


menurunkan nyeri sendi, ini dibuktikan dengan penelitiannya dengan
pemberian kompres serai hangat pada intensitas nyeri Artritis
Rheumatoid pada lanjut usia. Hasil penelitian Handayani (2015),
mengatakan bahwa serai termasuk tumbuhan yang dimanfaatkan
sebagai tanaman obat untuk memberi kehangatan dengan cara
mengoleskan minyak atsiri pada bagian yang diinginkan (Sciences,
2019).

2) Kandungan Serai
Dalam buku herbal Indonesia disebutkan bahwa khasiat tanam serei
mengandung minyak atsiri yang memiliki sifat kimiawi dan efek farmakologi
yaitu rasa pedas dan bersifat hangat sebagi anti radang dan menghilangkan
rasa sakit yang bersifat hangat sebagai anti radang dan menghilangkan rasa
sakit yang bersifat analgesik serta melancarkan sirkulasi darah, yang
diindikasikan untuk menghilangkan nyeri otot, nyeri sendi, pada penderita
hipeuresemia badan pengalinu dan sakit kepala (Rin et al., 2021).
Komposisi minyak serei terdiri dari beberapa komponen, yang isinya
antara lain alkohol, hidrokarbon, ester, aldehid, keton, oxide, lactone, terpene
dan sebagainya (Ranitha, 2014) dalam Istiqomah, 2018). Menurut Suprianto
(2008), dalam (Benjamin, 2019), kadar air batang serei yaitu 76,78%, kadar
abu 0,79%, dan kadar minyak atsiri 0,4%. Vitamin A berkisar 0.1 IU/100g,
vitamin B berkisar 0.8 mg dan vitamin C sekitar 4 mg. Juga menyediakan
mineral penting seperti potassium, kalsium, magnesium, fosfor, tembaga,
seng dan besi yang dibutuhkan untuk fungsi tubuh yang sehat. Komponen
utama penyusun minyak serei dapat dilihat pada

1.5 Gambar kandungan serai


Morfologi tanaman serai (Sumber : Anonim, 2014)
3) Manfaat tanaman serai
Menurut Elsanti (2018),jika melihat keunggulan serei dari berbagai
kandungan dan sifatnya, tidak heran memang jika tanaman serei dipercaya
memiliki banyak sekali manfaat untuk kesehatan. Berikut adalah beberapa
manfaat serei untuk tubuh (Nurfitriani & Fatmawati, 2020).
yaitu:
a) Mengatasi depresi
Manfaat serei yang pertama adalah mengatasi depresi. Serei yang
memiliki sifat antidepresan bisa menurunkan berbagai gejala depresi
seperti stres, cemas. dan gangguan tidur atau roma serei yang
mnenenangkan dipercaya dapat membantu relaksasi otot dan juga saraf
sehingga dapat tidur lebih nyenyak. Konsumsi teh daun serei sebelum
tidur akan membuat tidur anda lebih nyenyak.
b) Menghindari gigitan nyamuk
Aroma serei yang segar memiliki efek menenangkan dan disukai
oleh manusia, tetapı wangi serei ternyata dibenci oleh serangga, termasuk
nyamuk. Gigitan nyamuk dapat memberikan Isa gatal dan bekas pada
kulit. Bahkan beberapa nyamak berpotensi untuk membawa penyakit
seperti demam berdarah dan malaria. Mengoleskan minyak serei secara
berkala pada kulit dipercaya dapat melindungi anda dari gigitan nyamuk.
Manfaat serei untuk menghindari nyamuk juga sudah dibuktikan dengan
banyaknya produk lotion anti nyamuk dengan wangi daun serei.
c) Menurunkan tekanan darah
Manfaat serei vang ketiga adalah dapat membantu menurunkan
tekanan darah. Serei memiliki sifat diuretic yang artinya serei mampu
membantu membuang kelebihan garam dan air dalam tubuh melalui
urine. Kelebihan kadar garam dalam tubuh memang merupakan salah
Satu penyebab dari hipertensi. Sehingga jika kita mengkonsumsiserei
secara rutin mnaka tekanan darah pun akan menurun seiring dengan
menurunnya kadar garam dalam tubuh.
d) Menurunkan kadar gula
Selain menurunkan tekanan darah, manfaat daun serei yang lain
adalah menurunkan kadar gula darah. Caranya adalah dengan cara
mengeluarkan racun yang ada di pankreas dan meningkatkan kerja
pankreas. Perlu diketahui bahwa penyebab diabetes adalah akibat
ketidakmampuan pancreas memproduksi insulin yang dibutuhkan bleh
tubuh sehingga kadar gula dalam darah pun naik.
e) Menjaga kadar kolestrol
Manfaat serei selanjutnya adalah mampu mencegah kadar kolestrol
1ahat dalam tubuh naik. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa serei
mampu menaikkan kadar kolestrol baik dan mencegah penyerapan
kolestrol jahat dalam pencernaan. Meskipun dapat membantu mencegah
kadar kolestrol jahat atau kolestrol LDL naik, tetapi masih arus diui
kembali efektivitas daun serei pada pasien yang sudah terlanjur memiliki
penyakit kolestrol tinggi .
f) Menjaga sistem penceraan
Manfat serei yang keenam adalah memelihara sistem pencernaan
Setiap harinva tentu tidak terhitung berapa banyak bakteri yang masuk ke
dalam sistem pencernaan kita. Serei membantu melindungi sistem
pencernaan dengan cara nembunuh bakteri patogen yang masuk dalam
system pencernaan.
g) Pereda nyeri otot sendi
Efek analgesik tidak hanya dapat dirasakan untuk sakit perut, tetapi
juga jenis nyeri lainnya seperti nyeri otot dan juga nyeri sendi. Manfaat
serei untuk meredakan nyeri otot dan sendi bisa didapatkan dengan cara
konsumsi the serei atau dengan melakukan pijat menggunakan minyak
serei, dan kompres menggunakan serei hangat.
h) Menjaga kesehatan mulut
Serei juga dipercaya dapat menjaga kesehatan mulut. Serei
dipercaya dapat mengobati infeksi jamur maupun bakteri. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa konsumsi teh serei dapat menurnkan
gejala infeksi mulut akibat jamur pada pasien HIV/ AIDS. Hal ini
tentunya karena serei memiliki sifat anti inflamasi, anti bakteri, dan juga
anti jamur (Nurfitriani & Fatmawati, 2020).

4) Pengelolaan Jahe Untuk Kompres Hangat


Alat dan bahan (Nurfitriani & Fatmawati, 2020):
a) Baskom
b) Serei 100 gram
c) Air 500 cc
d) Handuk kecil
e) Thermometer air
f) Panci dan termos

Cara pembuatan rebusan serei hangat :

1) Cuci bersih serei 100 gram dengan air mengalir


2) Siapkan panci dan isi air bersih sebanyak 500 cc untuk 100 gram
serei.
3) Panaskan air samnpai mendidih, kemudian masukkan serei yang
sudah digeprek ke dalam air yang mendidih.
4) Kemudian masukkan ke dalam termos supaya tingkat kehangatan
air serei tetap terjaga.

Persiapan klien :

1) Lakukan informed consent


2) Pastikan identitias klien
3) Pasien dengan nyeri sendi (Rheumathoid Arthrtitis)
4) Beri penjelasan kepada klien mengenai tujuan, manfaat dan
tekhnik pelaksanaan dari terapi yang akan diberikan.

Pelaksanaan:

1) Siapkan air serei yang sudah direbus, biarkan sebentar sampai suhu
37"C.
2) Masukkan kasa ke dalam air rebusan serei.
3) Kemudian letakkan pada sendi yang sakit.
4) Biarkan kompres hangat dengan suhu 37C selama 10 menit
kemudian diangkat.
5) Kompres dilakukan selama 7 hari berturut-turut.
6) Kompres jahe ini dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 08.00-
09.00 menurut An,(2010) dalam (Sunarti dan Alhuda, 2018)

Tahap Terminasi

1) Rapihkan klien dengan posisi semula.


2) Evaluasi hasil intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan
kompres serei catat pada lembar observasi.

2. Tinjauan Umum Tentang Kompres Jahe (Zingiber Officinale)


a. Definisi jahe (Zingiber Officinale)
Jahe (Zingiber officinale) merupakan tanaman rempah yang berasal
dari Asia Selatan, dan sekarang telah tersebar ke seluruh dunia.
Masyarakat China selanjutnya dikenalkan ke Eropah berupa buku-buku
resep masakan yang menggunakan berbagai rempah- rempah. Di Yunani,
jahe digunakan pertama kali sebagai obat herbal untuk mengatasi
penyakit vertigo, mual-mual, dan mabuk perjalanan (Redi Aryanta,
2019).
Di Indonesia, rimpang jahe sering digunakan sebagai obat rematik
dengan menempelkan tumbukan jahe pada bagian tubuh yang sakit
(Hariana, 2013). Ada 3 macam jenis jahe, antara lain jahe gajah, jahe
merah dan jahe emprit. Menurut penelitian Hermani dan Hayani (2001),
jahe merah memiliki kandungan pati (52,9%), minyak atsiri (3,9%) dan
ekstrak yang larut dalam alkohol (9,93%) lebih tinggi dibanding jahe
emprit dan jahe gajah (Eka, 2019).
Jahe memiliki peran penting pada pencegahan suatu penyakit. Namun
mekanisme pasti dari manajemen penyakt belum diketahui sepenuhnya.
Kandungan aktif pada jahe seperti minyak atsiri, gingerol, shogaol,
paradol, zingerone dan lain-lain menunjukkan manfaat sebagai berikut
(Eka, 2019).
Kompres jahe adalah terapi nonfarmakologis yang merupakan salah
satu kombinasi antara terapi hangat dan terapi relaksasi yang bermanfaat
pada penderita osteoarthritis. Kompres jahe juga bertujuan untuk
memperlancar sirkulasi darah, memberikan rasa rileks, dan membantu
melakukan aktivitas sehari-hari (Eka, 2019).
b. Manfaat Jahe untuk kesehatan
Jahe dimanfaatkan sebagai bahan obat herbal karena mengandung
minyak atsiri dengan senyawa kimia aktif, seperti: zingiberin, kamfer,
lemonin, borneol, shogaol, sineol, fellandren, zingiberol, gingerol, dan
zingeron yang berkhasiat dalam mencegah dan mengobati berbagai
penyakit (Redi Aryanta, 2019).
Dalam bukunya berjudul ‘Ragam dan Khasiat Tanaman Obat’,
Santoso (2008) menyatakan bahwa Jahe berkhasiat untuk mengobati
penyakit impoten, batuk, pegal-pegal, kepala pusing, rematik, sakit
pinggang, dan masuk angin (Redi Aryanta, 2019).
c. Kandungan senyawa jahe
Kandungan senyawa kimia aktif gingerol, zingeron, shogaol,
gingerin dan zingerberin dalam jahe menyebabkan memiliki khasiat yang
besar untuk kesehatan (Sunarti dan Alhuda, 2018).
Komposisi jahe dapan dilihat pada

1.6 Gambar kandungan jahe


1.7 Morfologi tanaman jahe (Sumber : Anonim, 2014)

d. Penggunaan Komres Jahe Hangat


Alat dan bahan (Fatmawati & Ariyanto, 2021) :
1) Timbanan
2) Pisau
3) Panci dan termos
4) Saringan
5) kasa
6) Jahe 100 gram
7) Air sebanyak 500 cc

Cara pembuatan

1) Cuci bersih jahe 100 gram dengan air mengalir


2) Kemudian jahe di geprek
3) Siapkan panci dan isi air bersih sebanyak 500 cc untuk 100
gram jahe yang sudah dii geprek tadi
4) Panaskan 500 cc air sampai mendidih, kemudian masukkan
jahe kedalam air mendidih
5) Setelah mendidih lalu saring jahe tersebut dengan cara
menekan-nekan untuk memproleh sari jahenya
6) Kemudian siapkan termos dan masukkan air hangat jahe
kedalam termos, ini dilakukan agar tingkat kehangatan air
jahe tetap terjaga

Prosedur pelaksanaan kompres jahe hangat

1) Bersihkan terlebih dahulu daerah nyeri yang akan di lakukan


pengompresan
2) Kemudian tuangkan air hangat jahe yang ada pada termos kedalam
baskom
3) Campurkan sedikit air bersih kedalam beskom yang telah terisi air
rebusan jahe, ini dilakukan agar jahe tidak terlalu panas
4) Kemudian masukkan kasa kedalam air hangat jahe tersebut, tunggu
beberapa menit sebelum kain kasa diperas
5) Peraskan kasa dan tempelkan didaerah sendi yang terasa nyeri
6) Angkat kain kasa apabila sudah terasa dingin pengompresan
dilakukan selama 10 menit
7) Kompres jahe ini dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 08.00-
09.00 menurut An,(2010) dalam (Sunarti dan Alhuda, 2018).

4. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan suatu model yang menerangkan bagian suatu teori
dengan faktor- faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu
dan digunakan untuk menjelaskan hubungan yang timbul antara beberapa variabel
yang diobservasi. Kerangka teori pada penelitian ini dapat dilihat pada skema
berikut:

Anda mungkin juga menyukai