Anda di halaman 1dari 113

KEMENTERIAN RISET DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS HUKUM

PENULISAN HUKUM

PERLINDUNGAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BAGI PASIEN

TUKANG GIGI YANG BERTINDAK DI LUAR WEWENANG DI KOTA

YOGYAKARTA

Penulisan Hukum ini disusun untuk melengkapi persyaratan

dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum

Oleh

Nama : Fani Laksmi Ramadhani

NIM : 13/345454/HK/19450

Departemen: Hukum Perdata

YOGYAKARTA

2018

i
INTISARI

Maraknya pemasangan kawat gigi pada masyarakat sekarang ini disalah


fungsikan. Kawat gigi adalah alat kesehatan yang digunakan untuk merapikan gigi,
namun sekarang orang memasang kawat gigi untuk sekedar bergaya mengikuti tren.
Keadaan ini diperparah dengan pemasangan kawat gigi yang dilakukan oleh pihak yang
tidak berkompeten seperti tukang gigi. Kawat gigi hanya boleh dipasang oleh dokter
gigi spesialis orthodonti. Kondisi ini yang menimbulkan keprihatinan karena
pemasangan gigi yang dilakukan oleh tukang gigi menimbulkan kerugian pada
konsumennya seperti kerusakan pada gigi, sehingga pemerintah harus melakukan
tindakan untuk meminimalisir kerugian yang akan diderita oleh pasien tukang gigi.
Langkah yang dilakukan pemerintah dengan melakukan perlindungan hukum
preventif seperti membuat peraturan yang mengatur kewenangan tukang gigi secara
jelas dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan,
Pengawasan, dan Perizinan Pekerjaan tukang gigi serta melakukan pembinaan dan
pengawasan pada praktek tukang gigi yang berada di Wilayah Kota Yogyakarta sudah
diterapkan dengan baik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien menderita kerugian kesehatan yang
ditimbulkan dari praktek tukang gigi yang melakukan praktek diluar wewenang yang
sudah di tentukan oleh pemerintah. Perlindungan represif juga sudah diberikan oleh
dinas kesehatan kota Yogyakarta dengan melakukan penindakan kepada tukang gigi
yang terbukti melakukan pelanggaran dengan melakukan jasa diluar wewenangnya.
Namun belum didapati laporan dari masyarakat karena rendahnya pengetahuan
masayarakat akan hukum dan masyarakat masih menganggap jika berurusan dengan
hukum memerlukan biaya yang besar sehingga, pemerintah bersama masyarakat yang
sudah mempunyai pengetahuan tentang hukum serta bahaya mempercayakan perawatan
gigi pada pihak yang tidak berkompeten melakukan penyuluhan kepada masyarakat
langsung agar tidak semakin banyak masyarakat yang mengalami kerugian.
ABSTRACT

The rise of braces installation on today's society is misused by the people.


Braces are medical devices that is used to fix the teeth, but now people put braces on to
just follow the trend. This situation is worsened by the installation of braces carried out
by incompetent parties such as dental artisans. Braces can only be placed by orthodontic
specialists. This condition raises concerns because the dental installation carried out by
dental artisans causes harm to its consumers such as damage to teeth, so the government
must take measures to minimise the losses suffered by dental artisans.
The steps taken by the government by carrying out preventive legal protection
such as making regulations that clearly regulate the authority of dental artisans in the
Regulation of the Minister of Health No. 39 of 2014 concerning Guidance, Supervision,
and Licensing of dental workman and conducting guidance and supervision on dental
practices in The city of Yogyakarta has been well implemented.
The results showed that patients suffered from health losses arising from the
practice of dental artisans who practiced outside the authority set by the government.
Repressive protection has also been provided by the Yogyakarta city health office by
giving action on dental artisans who are proven to have committed violations by
carrying out services beyond their authority. But there have been no reports from the
public because of the lack of public knowledge of the law and the public still considers
that dealing with the law requires a large cost so that the government, together with the
people who already have knowledge of the law and the danger of entrusting dental care
to those who are not competent to directly educate the public so there is no more people
will suffer losses.
KATA PENGANTAR

Diawali dengan puji syukur penulis panjatkan kehadiran ALLAH SWT

yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, petunjuk serta kekuatan

sehingga penulisan ini dapat diselesaikan. Penulisan Hukum ini disusun untuk

memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada.

Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak dalam

menyelesaikannya. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih

yang tidak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu baik dalam proses

penelitian maupun selama penulisan. Ucapan terima kasih ini disampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng. selaku rektor di Universitas

Gadjah Mada.

2. Bapak Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., selaku dekan di Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada.

3. Bapak Prof. Dr. Tata Wijayanta, S.H., M.Hum., selaku ketua departemen perdata

di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

4. Bapak Prof. Dr. Ari Hernawan, S.H.,M.Hum., Ibu Sai’da Rusdiana S.H., LL.M.,

dan Ibu R.A. Antari Inaka Turingsih S.H., M.Hum. selaku dewan penguji.

5. Ibu R.A. Antari Inaka Turingsih S.H., M.Hum. sebagai dosen pembimbing yang

telah sabar meluangkan waktu, berbagi ilmu, memberikan dukungan dan

semangat untuk membimbing penulis selama proses penysusunan dan penulisan

hukum.

v
Bapak/Ibu dosen yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas ilmu yang telah

diberikan selama masa studi.

6. Bapak Agus Sudrajad selaku Sekertaris Dinas Kesehatan Yogyakarta yang telah

meluangkan waktu dalam berbagi ilmu dan menerangkan secara sabar untuk

menjadi sumber dari penulisan ini.

7. Bapak Faturohman, Alm. Ibu Yuni Nuryanti dan Ibu Titik Purnawati sebagai

kedua orang tua di Banjarbaru serta Fara, Fatika, Fathin sebagai adik kandung

yang telah memberikan kepercayaan, kesabaran, dukungan moril dan materi

serta memberikan semangat yang tidak pernah berhenti. Terima kasih karena

telah sabar dalam memberikan dukungan kepada penulis.

9. Sahabat terbaik selama menjadi mahasiswa Fakultas Hukum, Debby Chintya,

Vidivicia, Aprillianita, Erlangga Saputra, Reza Fachri, Pricilia, Dhara Ulfa,

Imam Kurniawan, Fristianto, Bayu Tri Handoko, Dias Sri Ningtias, Marshelina,

Karin, Reza Fauzi, Isaq Prananda, Dessy Mindiana, Reihan Ahmad Rizal, Inne

Triana dan teman-teman seperjuangan angkatan 2013 yang tidak bisa disebutkan

satu-persatu. Terima Kasih untuk kenangan yang diberikan selama menjadi

mahasiswa.

10. Sahabat terbaik dari masa ke masa Risty Karina, Migo Mufarta, Fanisa Effendi,

Sarah Hara, Anggita Wendy, Kemal Padriano, Irfan Nelson, Reza Diofa,

Fathurahman, Aryo Prakoso, Rion Kurnianto, Joshua Evan, Gillbert Jordi, yang

selalu mendukung dan mengingatkan kepada penulis akan tanggung jawab untuk

menyelesaikan penulisan hukum ini.

vi
11. Staf akademik Fakultas Hukum UGM, atas bantuannya dalam mengurus

keperluan akademik dan administrasi selama penulis melaksanakan studi.

12. Semua Pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga

penulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada

umumnya.

Yogyakarta, Juli 2018

Fani Laksmi Ramadhani

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN.....................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN......................................................................iii

PERNYATAAN............................................................................................iv

KATA PENGANTAR..................................................................................v

DAFTAR ISI.................................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

A. Latar Belakang Masalah................................................................1

B. Perumusan Masalah.......................................................................7

C. Tujuan Penelitian...........................................................................11

D. Keaslian Penelitian........................................................................8

E. Kegunaan Penelitian.......................................................................11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................13

A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum..............................13

1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum.......................................13

a. Perlindungan Preventif.................................................................15

b. Perlindungan Reprensif................................................................15

B. Tinjauan Umum Tentang Konsumen...............................................15

1. Pengertia Konsumen....................................................................15

2. Hak Konsumen.............................................................................17

3. Kewajiban Konsumen..................................................................19

4. Penerima Jasa Ortodonti sebagai Konsumen...............................19

C. Tinjauan Umum Tentang Pelaku Usaha...........................................20


viii
1. Pengertian Pelaku Usaha..............................................................20

2. Hak Pelaku Usaha........................................................................21

3. Kewajiban Pelaku Usaha..............................................................22

4. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha...............................23

5. Tukang Gigi sebagai Pelaku Usaha..............................................25

D. Para Pihak Dalam Pelaksaan Perlindungan Konsumen...................26

1. Konsumen.....................................................................................26

2. Pelaku Usaha................................................................................26

3. Menteri..........................................................................................27

4. Pemerintah....................................................................................27

5. Peran Pembinaan..........................................................................28

6. Peran Pengawasan........................................................................28

7. Lembaga atau Instansi Dalam Pelaku Usaha...............................29

E. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perlindungan Konsumen............29

1. Pengertian Perlindungan Konsumen............................................29

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Hukum........................................31

3. Penyelesaian Sengketa Konsumen...............................................34

4. Sanksi Hukum..............................................................................37

F. Tinjauan Umum Pelayanan Jasa Ortodonti......................................40

1. Pengertian Ilmu Ortodonti............................................................40

2. Dasar Umum Layanan Jasa Ortodonti.........................................41

3. Peran Pembinaan dan Pengawasan oleh Pemerintah di Bidang

Kesehatan.....................................................................................43

4. Dasar Hukum bagi Tukang Gigi..................................................46

BAB III CARA PENELITIAN....................................................................48

ix
A. Bahan dan Materi Penelitian............................................................48

1. Jenis dan Sumber Data.................................................................48

2. Lokasi Penelitian..........................................................................49

3. Penentuan Narasumber.................................................................49

4. Teknik Pengambilan Semple........................................................50

B. Alat Penelitian..................................................................................51

1. Teknik Pengumpulan Data...........................................................51

a. Penelitian Kepustakaan........................................................52
b. Peneliitian Lapangan............................................................53
c. Wawancara...........................................................................54

C. Jalan Penelitian.................................................................................54

D. Analisis Hasil Data...........................................................................55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................57

A. Hasil Penelitian...................................................................................57

B. Pembahasan........................................................................................70

1. Perlindungan Hukum bagi Pasien Tukang Gigi..............................70

2. Pertanggungjawaban Hukum bagi Pasien Tukang Gigi..................85

BAB V PENUTUP........................................................................................95

A. Kesimpulan.........................................................................................95

B. Saran...................................................................................................97

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................98

LAMPIRAN..................................................................................................100

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjaga penampilan agar tetap menarik adalah hal yang penting saat

ini. Segala cara dilakukan untuk mempercantik diri mulai dari mendatangi

klinik kecantikan guna mempercantik wajah, memutihkan kulit, merapikan

gigi dengan kawat gigi dan memutihkan gigi agar terlihat lebih rapi dan

bersih, sampai olahraga teratur untuk mendapatkan berat dan bentuk badan

yang ideal. Di zaman modern seperti sekarang ini kecanggihan teknologi juga

sangat mendukung untuk melakukan tindakan medis yang berhubungan

dengan kecantikan. Canggihnya teknologi membuat semakin banyak upaya

yang dapat dilakukan untuk memperbaiki penampilan, salah satu contohnya

adalah dengan pemasangan kawat gigi atau umum disebut sebagai behel.

Pemasangan behel dinilai sebagai salah satu jalan untuk memperbaiki

penampilan dengan merapikan bentuk gigi dan juga dapat mengubah bentuk

rahang agar lebih sesuai dengan bentuk wajah sehingga penampilan akan

lebih menarik.

Kawat gigi atau behel telah mengalami pergeseran fungsi yang semula

yang awalnya digunakan untuk memperbaiki penampilan dan kesehatan, kini

telah menjadi tren serta sebagai lambang sosial. Semakin hari peminat kawat

gigi semakin banyak dengan tujuan yang berbeda dari tujuan pemasangan

kawat gigi yang semestinya. Banyaknya angka peminat pemasangan kawat

1
2

gigi tersebut juga menjadikan kawat gigi sebagai kebutuhan untuk

meningkatkan status sosial seseorang karena biaya pemasangan kawat gigi

yang relatif mahal dan hanya dapat dijangkau orang yang mempunyai

kemampuan ekonomi menengah keatas. Biaya pemasangan kawat gigi atau

behel cukup mahal, oleh karena itu banyak orang dari kalangan ekonomi

menengah kebawah berminat untuk memasang kawat gigi untuk

meningkatkan status sosialnya atau hanya sekedar untuk terlihat keren dan

diperhitungkan oleh teman-temannya. Para peminat kawat gigi yang tidak

memiliki biaya lebih memilih untuk memasang behel di tukang gigi karena

harganya jauh lebih murah. Persaingan status sosial biasanya ditemukan pada

pergaulan remaja di kota besar salah satunya Kota Yogyakarta. Peminat behel

atau kawat gigi cukup tinggi di Yogyakarta.

Tindakan pemasangan alat ortodentik cekat oleh tenaga di luar dokter

gigi populer disebut pasang behel. Kesadaran masyarakat untuk merawat gigi

ini sangat baik untuk perkembangan kesehatan masyarakat. Kondisi ini akan

berbalik menjadi sebuah masalah apabila masyarakat datang untuk

melakukan perawatan gigi dengan mendatangi orang yang tidak berkompeten

di bidangnya seperti tukang gigi, ahli gigi, atau bahkan onlineshop untuk

memberikan perawatan pada giginya diluar wewenang tukang gigi. Tukang

gigi tidak pernah mempelajari secara langsung pada gigi yang terdapat pada

tengkorak manusia. Tukang gigi tidak pernah tahu dan belajar mengenai

aspek medis terkait alat-alat yang digunakan.


3

Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia ( PDGI ) Zaura Rini Matram

mengatakan kawat gigi yang dipasang tidak pada prosedur selain dapat

menyebabkan gigi bergeser juga dapat menimbulkan beragam penyakit.

Pemasangan kawat gigi seharusnya didasarkan pada pemahaman dan

penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran gigi.1

Pemasangan behel atau kawat gigi yang dilakukan oleh orang yang

tidak ahli dibidangnya akan menimbulkan permasalah pada gigi dan

kesehatan. Tindakan pemasangan behel oleh bukan ahlinya ini akan

menyebabkan kerugian bagi konsumennya. Beberapa bahaya memakai behel

di ahli gigi tidak hanya melibatkan kerugian materi, waktu, dan tenaga saja.

Bisa jadi gigi yang sudah bagus malah menjadi rusak atau bertambah parah

apabila melakukan pemasangan behel menggunakan alat yang kurang steril,

dapat berakibat pada kesehatan serta kebersihan mulut anda.

Kebersihan mulut dan gigi itu bisa berdampak panjang, misalnya

menimbulkan bau mulut serta sariawan. Kebersihan mulut bahkan

mempengaruhi kesehatan tubuh secara keseluruhan. Apabila memang ingin

melakukan pemasangan kawat gigi, harus dilakukan oleh dokter gigi spesialis

Ortodonti. Dokter gigi spesialis Ortodonti dalam mendapatkan titel ini,

seorang dokter gigi harus mengambil spesialis dengan belajar minimal 3,5

tahun untuk mengetahui seluk beluk maloklusi (hubungan antara gigi atas

1
Kompas, “Tukang Gigi dan Risiko Infeksi”,
http://lifestyle.kompas.com/read/2011/04/04/14572541/Tukang.Gigi.dan.Risiko.Infeksi diakses
23 Oktober 2017 pukul 17.08 WIB.
4

bawah dan kiri kanan.2 Maka dari itu sangat disayangkan apabila pemasangan

kawat gigi yang bertujuan untuk memperindah bentuk gigi dan kesehatan

akan menjadi penyakit dan menilmbulkan permasalahan karena tidak

ditangani dengan benar. Pada saat pemasangan behel oleh seorang dokter

terdapat beberapa kode etik atau aturan yang harus ditaati seorang dokter.

Akibat dari malpraktik yang dilakukan tukang gigi ini akan

memberikan dampak buruk bagi profesi tukang gigi lainnya, karena akan

menimbulkan rasa takut bagi sebagian masyarakat untuk melakukan

perawatan pada tukang gigi. Sorotan masyarakat terhadap profesi tenaga

kesehatan merupakan satu pertanda bahwa pada saat ini sebagian masyarakat

belum puas terhadap pelayanan dan pengabdian profesi tenaga kesehatan

terhadap masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya. 3 Keresahan

dirasakan masyarakat mendasari adanya Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan, dan Perizinaan,

Pekerjaan Tukang Gigi.

Semua tukang gigi yang akan membuka praktek wajib mendaftarkan

diri kepada pemerintah daerah kabupaten/kota atau dinas kesehatan

kabupaten/kota setempat. Izin tukang gigi akan berlaku selama 2 tahun dan

dapat diperpanjag. Walaupun tukang gigi mendapat izin praktek dari

pemerintah daerah atau dinas kesehatan daerah namun, ada yang harus

diperhatikan dari izin yang diberikan tersebut. Bahwa tukang gigi hanya di

2
Kesehatanmulut.com, “Waspadai Bahaya dan Akibat Memakai Behel di Ahli Gigi”,
http://www.kesehatanmulut.com/waspadai-bahaya-dan-akibat-memakai-behel-di-ahli-gigi/
diakses tanggal 22 Oktober 2017 pukul 20.43 WIB.
3
Hendrojono Soewono, 2006, Perlindungan Hak-Hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik,
Srikandi, Surabaya, hlm.14.
5

berikan wewenang tertentu dalam membuka prakteknya. Kewenangan tukang

gigi juga diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Permenkes Nomor 39 Tahun 2014.

Tukang gigi hanya berwenang untuk membuat gigi tiruan lepasan dan

memasang gigi tiruan tersebut dan peraturan tersebut mengatur secara tegas

bahwa tukang gigi dilarang melakukan pekerjaan selain kewenangannya

tersebut. Faktanya banyak ditemukan praktek tukang gigi yang melampaui

batas kewenangan seperti mencabut gigi, serta memasang behel atau kawat

gigi yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh dokter spesialis ortodonti.

Sebagai penerima jasa pelayanan dalam kontrak terapi pasien

mempunyai hak, antara lain hak atas persetujuan tindakan yang dilakukan

pada tubuhnya, hak atas rahasia dokter, hak atas informasi, dan hak atas

second opinion. Saat ini, telah mulai diatur mengenai Informed Consent, yaitu

suatu persetujuan yang dilakukan diberikan oleh pasien dan keluarganya atas

dasar informasi dan penjelasan mengenai tindakan medis yang akan

dilakukan terhadap pasien tersebut.4

Informasi yang disampaikan kepada pasien oleh dokter sebelum

melakukan tindakan kepada pasien menyangkut tindakan medis yang akan

diterima, risiko apabila tindakan medis tersebut dilakukan atau resiko apabila

tindakan medis tersebut tidak dilakukan, dan biaya yang akan dikeluarkan

untuk melakukan tindakan medik tersebut. Setelah mengetahui informasi

tentang tindakan medis yang akan dilakukan seorang pasien boleh

memutuskan untuk melakukan tindakan medis yang disarankan dokter atau

4
Sri Siswati, Op.cit., hlm. 98.
6

tidak melakukan tindakan medis atas beberapa pertimbangan dari informasi

yang diterima.

Tentu saja hal ini tidak akan diterima seseorang yang melakukan

pemasangan kawat gigi di tukang gigi atau pasien yang datang langsung

memasang kawat gigi tanpa diberikan informasi terlebih dahulu soal

pemasangan kawat gigi tersebut, karena memang ahli gigi yang menawarkan

jasa pemasangan kawat gigi tidak mengetahui tentang aturan pemasangan

kawat gigi dan kebersihan peralatan yang digunakan untuk memasang kawat

gigi, sehingga dapat membahayakan kesehatan pasien.

Kurangnya pembinaan dan penyuluhan tentang kesehatan gigi dan

mulut di Kota Yogyakarta juga mengakibatkan kurangnya pengetahuan

masyarakat atas wewenang tukang gigi. Tidak semua masyarakat mengetahui

tentang peraturan tersebut dan mengetahui risiko yang akan dialami pengguna

kawat gigi saat memasang behel pada tukang gigi daripada dokter spesialis

ortodenti karena biaya yang lebih murah. Tindakan yang dilakukan tukang

gigi seperti memasang kawat gigi, mecabut gigi yang termasuk tindakan

diluar wewenang tukang gigi yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan, dan Perizinaan,

Pekerjaan Tukang Gigi dianggap membahayakan bagi kesehatan pasien maka

perlu dilakukan perlindungan hukum terhadap pasien pengguna jasa tukang

gigi.

Perlindungan hukum yang dilakukan dalam bentuk preventif dan

represif. Dalam penulisan ini penulis akan membahas tentang kedua bentuk
7

perlindungan tersebut. Penulisan ini bertujuan untuk meneliti tindakan tukang

gigi yang dilakukan diluar wewenang tukang gigi di Kota Yogyakarta dalam

menangani pasiennya serta perlindungan hukum pasien tukang gigi yang

melakukan tindakan diluar wewenang tukang gigi yang ditinjau dari

Peraturan Menteri Kesehatan No.39 Tahun 2014 tentang Pembinaan,

Pengawasan, dan Perizinan, Pekerjaan Tukang gigi serta UU No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen karena hubungan antara tukang gigi

dan pasien adalah hubungan antara konsumen dan pelaku usaha.

B. Perumusan Masalah

Dengan didasari oleh latar belakang di atas, maka permasalahan

penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :

1) Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada

konsumen tukang gigi di Kota Yogyakarta?

2) Bagaimana Pertanggungjawaban hukum yang diberikan tukang gigi

kepada konsumen di Kota Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan

beberapa hal mengenai tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini yaitu:

1. Tujuan Objektif

a. Mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada

konsumen tukang gigi di Kota Yogyakarta


8

b. Mengetahui bentuk pertanggungjawaban yang diberikan oleh kepada

pasien tukang gigi.

2. Tujuan Subjektif

Memperoleh wawasan dan ilmu pengetahuan serta pemahaman

yang diperlukan untuk menyusun Penulisan Hukum sebagai salah satu

persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran dan penelitian di perpustakaan Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada, bahwa tidak menemukan skripsi yang

berjudul Perlindungan dan Pertanggungjawaban Hukum Bagi Pasien Tukang

Gigi yang Bertindak Diluar Wewenang di Kota Yogyakarta. Namun setelah

ditelusuri lebih lanjut maka terdapat judul mengenai tukang gigi dan

perlindungan konsumen pengguna kawat gigi diantaranya sebagai berikut:

1. Merupakan Skripsi yang ditulis oleh Aryani Sinduningrum dengan

NIM:11/316463/HK/18928 Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2015 dengan judul

"Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Pengguna Jasa Tukang Gigi

Sebagai Sebuah Pelayanan Kesehatan Tradisional" dengan rincian sebagai

berikut:
9

a. Rumusan Masalah

Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi pasien pengguna

jasa tukang gigi sebagai sebuah pelayanan kesehatan tradisional?

b. Kesimpulan

Kesimpulan dari skripsi tersebut bahwa Pasien Pengguna jasa

tukang gigi memiliki 2 (dua) bentuk perlindungan hukum, yaitu

perlindungan hukum preventif dan represif. Pertama perlindungan

hukum preventif dilakukan dengan tujuan meminimalisasi kesalahan

yang dilakukan tukang gigi yang berupa tidak diberikannya izin

kepada tukang gigi baru yang akan membuka praktik melainkan hanya

memperbolehkan tukang gigi yang telah memiliki izin sebelumnya

dari pemerintah saja yang dapat menjalankan praktik tukang gigi ini

serta dibutuhkan pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh

Dinas Kesehatan Kota/Kaupaten di daerah setempat untuk

meminimalisasi kesalahan yang akan dilakukan tukang gigi dalam

berpraktik. Kedua, Perlindungan hukum represif dilakukan ketika

sudah terjadi sengketa yang ditimbulkan oleh tukang gigi dan

merugikan pasien berupa tuntutan ganti kerugian dalam hal ini dapat

diajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum.

c. Perbedaan dengan Penelitian Penulis


10

Perbedaan penelitian dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah penelitian diatas

memiliki aspek pengkajian yang berbeda karena pada penelitian

tersebut mengkaji tentang perlindungan hukum pasien terhadap jasa

tukang gigi secara represif dan tidak membahas tentang

pertanggungjawaban hukum bagi pasien tukang gigi, sedangkan

penulis membuat penulisan yang mengkaji tentang perlindungan

hukum pasien terhadap jasa tukang gigi secara preventif dan represif,

selain itu penulis juga mengkaji tentang pertanggungjawaban hukum

kepada pasien tukang gigi..

2. Merupakan Tesis yang ditulis oleh Ari Rabiwaldhy dengan NIM:

10/309797/PMU/06837, Mahasiswa Program Studi Magister Hukum

Kesehatan, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2012

dengan judul "Tinjauan Yuridis Terhadap Praktek Tukang Gigi di Jakarta

Selatan" dengan rincian sebgai berikut:

a. Rumusan Masalah:

1) Bagaimana pelaksanaan praktik tukang gigi di Jakarta Selatan

dikaitkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 339/Menkes/Per/V/1989?

2) Bagaimana mekanisme pengawasan terhadap Praktek Tukang

Gigi?
11

3) Bagaimana respon Tukang Gigi terhadap pencabutan Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

399/Menkes/Per/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi?

b. Kesimpulan:

1) Dalam Pelaksanaan praktik tukang gigi di Jakarta Selatan tidak

memenuhi persyaratan ketentuan yang disebutkan dalam Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 339/Menkes/Per/V/1989 tentang

Pekerjaan Tukang Gigi dan Keputusan Dirjen Yanmed Depkes RI

Nomor 234/Yanmed/KG/1991, tentang Tata cara pendaftaran dan

pemberian izin pekerjaan tukang gigi.

2) Pengawasan terhadap izin tukang gigi di jakarta Selatan oleh Dinas

Kesehatan Kota Jakarta Selatan tidak pernah di lakukan.

3) Ada kecenderungan penolakan terhadap pemberlakuan dari

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 187/Menkes/PER/IX/2011

tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

339/Menkes/Per/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi.

c. Perbedaan dengan Penelitian Penulis:

Perbedaan penelitian dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah Penulisan ini

membahas tentang pelaksanaan praktik tukang gigi, mekanisme

pengawasan dan respon tukang gigi terhadap Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 399/Menkes/Per/V/1989,

sedangkan penulis membahas tekait perlindungan dan


12

pertanggungjawaban hukum secara preventif dan represif kepada

pasien pengguna layanan jasa tukang gigi

E. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan Penelitian Hukum yang telah diketahui, maka manfaat

dari Penulisan Hukum ini antara lain:

1. Bagi penulis

Penelitian ini akan bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan

wawasan Penulis terkait bentuk pelanggaran hukum, keabsahann

perjanjian, dan perlindungan hukum bagi konsumen jasa tukang gigi. Dan

mendapat gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

2. Bagi Ilmu Pengetahuan

Penelitian yang dikerjakan Penulis diharapkan dapat memberikan

manfaat di bidang ilmu pengetahuan dan salah satu sumber informasi

terkait perlindungan hukum pasien pengguna jasa tukang gigi di Indonesia.

3. Bagi Masyarakat

Penulisan ini, diharapkan masyarakat semakin teliti dan mengerti

tentang perlindungan hukum yang dimiliki dalam kedudukannya sebgai

konsumen pengguna jasa tukang gigi


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan hukum

1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

Istilah perbuatan melawan hukum sebelum tahun 1919 oleh Hoge

Raad diartikan dalam arti sempit adalah perbuatan yang bertentaangan hak

orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang

bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena

undang-undang. Menurut pengertian yang sempit sama sekali perbuatan

melawan hukum tidak dapat dijadikan alasan untukmenuntut ganti

kerugian.

Istilah perbuatan melawan hukum diperluas dengan adanya

keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum

lawan Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan yaitu : "bahwa

dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikan suatu

perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain,

atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan,

baik dengan kesusilaan, baik pergaulan hidup terhadap orang lain atau

benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari

perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain,

berkewajiban membayar ganti kerugian". 1

1
M.A. Moegni Djojodirdjo, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm.
25-26.

13
1

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam

Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata. Gugatan perbuatan melawan

hukum didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: "setiap

perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang arena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut".

Perbuatan melawan hukum menurut Munir Faudy adalah suatu

kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol

atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas

suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan

ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.2

Perbuatan melawan hukum menurut R. Wirjono Projodikoro adalah

perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca kesimbangan dari

masyarakat.3 Istilah "onrechtmatige daad" ditafsirkan secara luas, sehingga

meliputi juga suatu hubungan yang bertentangan dengan kesusilaan atau

dengan yang dianggap pantas dalam pergaulan hidup masyarakat.4

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang

melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan dipaksakan pelaksaannya dengan suatu sanksi.

Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

2
Munir Faudi, 2002, Perbuatan Melawan Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 3.
3 R. Wirjono Projodikoro, 1994, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung, Sumur, hlm. 13.
4 Ibid, hlm. 13
1

a. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk

mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu

pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan

dalam melakukan satu kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan terakhir

berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang

diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan

pelanggaran.5

B. Tinjauan Umum Tentang Konsumen

1. Pengertian Konsumen

Istilah konsumen berasal dari ahli bahasa dari kata consumer

(Inggris Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari

consumer atau consument/konsument itu tergantung dalam posisi mana ia

berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen)

setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau

jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna

5
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor Indonesia, Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, hlm. 20
1

tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata

consumer sebagai pemakai atau konsumen.6

Pengertian "konsumen" di Amerika Serikat dan MEE, kata

"konsumen' yang berasal dari consumer sebenarnya berarti "pemakai"

namun, di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai

"korban pemakaian produk yang cacat, baik korban tersebut pembeli,

bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai,

karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang

bukan pemakai.7

Tampaknya perlakuan hukum yang bersifat mengatur dan/atau

mengatur dengan diimbuhi perlindungan, merupakan pertimbangan

tentang perlunya pembedaan dari konsumen itu. Beberapa batasan tentang

konsumen, yakni:8

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa

digunakan untuk tujuan tertentu;

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang

dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau

untuk diperdagangkan (tujuan komersial);

c. Konsumen akhir, adalah setiap orang alami yang mendapat dan

menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan

6
Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
hlm. 3.
7 Ibid., hlm. 9-10.
8
Ibid., hlm. 13
1

hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk

diperdagangkan kembali (nonkomersial).

Bagi konsumen antara, barang atau jasa itu adalah barang atau jasa

kapital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk

lain yang akan diproduksinya (produsen). Distributor atau pedagang

berupa barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata

dagangannya. Konsumen antara ini mendapatkan abarang atau jasa itu di

pasar industri atau pasar produsen.9

Konsumen akhir, barang dan/jasa itu adalah barang atau jasa

konsumen, yaitu barang atau jasa yang biasanya digunakan untuk

memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya (produk

konsumen). Barang atau jasa konsumen ini umumnya diperoleh di pasar-

pasar konsumen, dan terdiri dari barang atau jasa yang umumnya

digunakan di dalam rumah tangga masyarakat.10

2. Hak Konsumen

Dalam menjalankan hubungan dengan pelaku usaha, konsumen

mempunya hak-hak yang harus didapatkan dari pelaku usaha untuk

meningkatkan martabatnya. Langkah untuk meningkatkan martabat dan

kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya untuk memahami hak-

9
Az. Nasution, Ibid., hlm. 14.
10
Ibid.
1

hak pokok konsumen, yang dapat dijadikan sebagai landasan perjuangan

untuk mewujudkan hak-hak tersebut.11

Hak konsumen dimuat dalam Pasal 4 Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut:

a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang

dan/atau jasa

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendpat barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan konsidi serta

jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

serta jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau

penggantian, pengambilan barang dan/atau jasa yang diterima tidak

sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

11
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
31.
1

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.12

3. Kewajiban Konsumen

Selain hak-hak yang didapat oleh konsumen dalam hubungan

antara konsumen dan pelaku usaha agar kedudukannya seimbang sebagai

konsumen juga mempunyai kewajiban. Adapun mengenai kewajiban

konsumen dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, yakni:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan

keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakatai;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.13

4. Penerima Jasa Ortodonti Sebagai Konsumen

Konsumen adalah penikmat atau pemanfaat barang atau jasa yang

di sediakan oleh pelaku usaha. Jasa ortodonti adalah jasa dalam bidang

12
Ibid. hlm. 32.
13
Ibid.
2

kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Menurut penulis penerima

jasa ortodonti adalah konsumen karena penerima jasa ortodonti menerima

manfaat jasa dari dokter dan/atau tukang gigi tersebut. Diambil dari arti

luas dan sederhana dari pengertian konsumen menurut Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang konsumen, penerima jasa ortodonti masuk

dalam unsur-unsur konsumen yaitu penikmat jasa dan/atau barang.

Jasa yang diterima oleh penerima jasa ortodonti ini adalah jasa

kesehatan yang tunduk pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Dalam penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dijelaskan

pula bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada dasarnya

bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang

perlindungan konsumen, karena sebelum adanya Undang-Undang

Perlindungan Konsumen telah ada beberapa undang-undang yang

materinya melindungi kepentingan pasien sebagai konsumen, salah

satunya adalah UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang telah

diganti dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

C. Tinjauan Umum Tentang Pelaku Usaha

1. Pengertian Pelaku Usaha

Dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan

bahwa pelaku usaha adalah setiap orang, perorangan atau, badan usaha,

baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui


2

perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

ekonomi.14

Kajian atas perlindungan terhadap konsumen tidak dapat

dipisahkan dari telaah terhadap hak-hak dan kewajiban produsen.

Berdasarkan Directive, pengertian "produsen" meliputi:15

a. Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang

manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang

timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat, termasuk bila

kerugian timbul dari barang yang mereka edarkan kem masyarakat,

termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan

komponen dalam proses produksinya;

b. Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk;

c. Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-

tanda lain pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari

suatu barang.

2. Hak Pelaku Usaha

Dalam menjalankan usahanya pelaku usaha juga mempunyai hak-

hak yang harus didapatkan, untuk menghindarkan pelaku dari tidak adanya

itikad baik dari konsumen. Dalam Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 1999

Produsen disebut sebagai pelaku usaha yang mempunyai hak sebagai

berikut:

14
Az Nasution, Op. cit., hlm. 17.
15
Celina Tri Siwi Kristianti, Op. cit., hlm. 42.
2

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang tidak beritikad baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan.16

3. Kewajiban Pelaku Usaha

Agar hubungan antara konsumen dan pelaku seimbang dan tidak ada

tindakan sewenang wenang antara satu dan yang lain pelaku usaha juga

mempunyai kewajiban yang harus dijalankan. Dalam Pasal 7 diatur

kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kodisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan, dan pemeliharaan;

16
Ibid., hlm. 43.
2

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasar ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.17

4. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Peraturan tentang pelaku usaha tidak hanya meliputi hak dan

kewajiban seorang pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen juga diatur tentang perbuatan yang tidak diperbolehkan atau

dilarang bagi pelaku usaha. Larangan tentang perbuatan yang tidak

diperbolehkan atau dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8

Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal tersebut diatur

17
Ibid.
2

bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang:

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan

dan ketentuan perundang-undangan;

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket

barang tersebut;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang

dan/atau jasa tersebut, akan tetapi di bidang kesehatan tenaga kesehatan

tidak dapat menjamin suatu hasil tertentu maka larangan ini tidak dapat

diterapkan di bidang kesehatan;

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,

gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam

label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut,

seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa di bidang kesehatan tenaga

kesehatan tidak dapat menjamin suatu hasil tertentu maka larangan ini

tidak dapat diterapkan di bidang kesehatan;


2

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan paling baik atas barang tertentu;

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat

nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan

pakai, tanggal pembuatan, akibar sampingan, nama dan alamat pelaku

usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

Larangan-larangan yang tertuju pada produk sebagaimana

dimaksudkan di atas adalah untuk memberikan perlindungan terhadap

kesehatan/harta konsumen dari penggunaan barang dengan kualitas yang

dibawah standar atau kualitas yang lebih rendah daripada harga yang

dibayarnya, atau tidak sesuai dengan informasi yang diperolehnya. 18

5. Tukang Gigi Sebagai Pelaku Usaha

Tukang gigi dapat dimasukkan dalam kategori pelaku usaha karena

menurut pendapat penulis sesuai dengan ketentuan dan memenuhi unsur

yang ada pada pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Jelas disebutkan dalam pasal tersebut bahwa pelaku usaha dapat berupa

18
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Rajawali Pers,
Jakarta, hlm.66.
2

perseorangan maupun badan hukum, yang berada dalam wilayah

yurisdiksi Indonesia dan melakukan usaha di bidang ekonomi.

Dalam menjalankan usahanya dengan memberikan layanan

kesehatan seorang tukang gigi mendapat upah berupa uang untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, usaha membuka jasa untuk mendapat

upah inilah yang dianggap dari kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Tukang gigi dapat disebut sebagai pelaku usaha karena dengan

memberikan layanan kesehatan dia mendapat upah sebagai bayaran untuk

jasa yang ia berikan.

D. Para Pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen

Dalam mempelajari Hukum Perlindungan Konsumen, tidak lepas dari

para pihak yang terlibat dalam Perlindungan konsumen. Pihak-pihak tersebut

tergolong menjadi beberapa kelompok, yaitu:

1. Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Pernyataan diatas adalah pengertian konsumen dalam Pasal 1 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Pelaku Usaha

Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,

baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
2

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama

melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai

bidang ekonomi. Pernyataan diatas adalah pengertian konsumen dalam

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

3. Menteri

Menurut Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen adalah menteri yang ruang lingkup

tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan. Pengertian

menteri dalam undang-undang tersebut menunjukkan bahwa yang

dimaksud adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag).

Menteri Perindustrian memperbolehkan untuk izin barang dan/atau jasa

diproduksi oleh pelaku usaha.

4. Pemerintah

Pemerintah memegang peran yang sangat penting dalam

pengendalian perlindungan konsumen karena bersangkutan dengan

fungsi pemerintah yang tertera dalam Pasal 33 UUD 1945 serta peraturan

perundang-undangan lainnya. Khususnya pada Undang-Undang

Perlindungan Konsumen peran pemerintah terbagi menjadi dua yaitu

peran pembinaan dan peran pengawasan. Peran tersebut juga diamaatkan

oleh Pembukaan Undang Undang Dasar 1945.


2

5. Peran Pembinaan

Ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen menyeburkan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas

pembunaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin

diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya

kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Oleh karena itu, Undang-Undang

Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang

kuat bagi pemerintah dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat (selanjutnya disebut dengan singkatan LPKSM) untuk

melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan

konsumen. 19

6. Peran Pengawasan

Peran Pengawasan pemerintah terhadap penyelenggaraan

perlindungan konsumen didasarkan pada ketentuan Pasal 30 Undang-

Undang Perlindungan konsumen yang menyebutkan bahwa “Pengawasan

terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan

ketentuan peraturan perundang- undangandiselenggarakan oleh

pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat.”

Bentuk kongkrit dari pengawasan yang dilakukan pemerintah

dapat ditemukan dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah nomor 58 Tahun

2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan

19
Ibid., hlm. 181.
2

Konsumen yang menyatakan bahwa pengawasan oleh pemerintah

dilakukan terhadap pelaku usaha dalam memenuhi standar mutu produksi

barang dan/atau jasa, pencantuman label dan klausula baku, serta

pelayanan purna jual barang dan/atau jasa. Pelayanan purna jual yang

dimaksud, pelayanan yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap

konsumen, misalnya tersedia suku cadang dan jaminan atau garansi.

7. Lembaga atau Instansi dalam Perlindungan Konsumen

Peran penting dari Lembaga atau Instansi Dalam Perlindungan

Konsumen adalah peran lembaga dalam upaya pengembangan dan

perlindungan konsumen di Indonesia dengan memberikan saran dan

pertimbangan kepada pemerintah.

E. Tinjauan Umum tentang Hukum Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen adalah segala upaya untuk memberi

perlindungan kepada konsumen yang pengertian-pengertian tentang

Perlindugan Konsumen dimuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen/UUPK. Hukum

Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah

yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah


3

penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan

penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.20

Istilah hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen sudah

sangat sering terdengar namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke

dalam materi keduanya. Selain itu, apakah kedua cabang dari hukum itu

indentik21

Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah

yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk

(barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan

bermasyarakat sedangkan, Hukum Perlindungan Konsumen adalah

keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi

konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan

bermasyarakat.22

Tujuan yang ingin dicapai dalam perlindungan konsumen

umumnya dapat dibagi dalam tiga baihian utama, yaitu:23

a. Memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang

dan/atau jasa kebutuhannya, dan menurut ha-haknya (Pasal 3 huruf c);

20
Kurniawan, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen (Problematika Kedudukan dan Kekuatan
Puttusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), Universitas Brawijaya Press, Malang,
hlm. 42.
21
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, hlm. 9.
22
Az. Nasution, Op.cit, hlm 20-22.
23
Adrian Sutedi, 2008, Tanggung Jawab Produk Dalam Perlindungan Konsumen, Ghalia
Indonesia, Bogor, hlm.9.
3

b. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsur-unsur

kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk medapatkan

informasi itu (Pasal 3 huruf d);

c. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab (Pasal 3

huruf e)

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Asas adalah dasar dari pembentukan dan tujuan lahirnya sebuah

Undang-Undang. Asas juga menjadi pondasi suatu Undang-Undang dan

peraturan pelaksananya. Karena kedudukan asas sebagai pondasi sebuah

Undang-Undang maka posisinya harus diutamakan tidak boleh

dikesampingkan karena apabila pondasinya tidak kuat maka bangunan

Undang-Undang tersebut akan mudah runtuh.

Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen, menyatakan bahwa perlindungan konsumen

diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yaitu asas

manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan, dan asas

kepastian. Penjelasan dari asas asas tersebut dapat dijabarkan sebagai

berikut:

a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan


3

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha

secara keseluruhan.

b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti

materil ataupun spiritual.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang dikonsumsi atau digunakan.

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.

Tujuan dibentuknya Undang-Undang perlindungan konsumen itu

sendiri dapat di temukan dalam Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen, menyatakan bahwa Tujuan dari perlindungan

konsumen adalah
3

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hak-halnya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan terbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan konsumen ini, merupakan

isi pembangunan nasional sebgaimana disebutkan dalam pasal 2

sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu

merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan

pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.24

24
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. cit., hlm. 34.
3

3. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dalam hubungan setiap manusia tidak lepas dari sengketa karena

setiap manusia memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Perbedaan

kepentingan tersebut tidak jarang mempengarruhi kepentingan orang lain

sehingga menimbulkan sengketa. Begitu pula dalam hubungan Pelaku

Usaha dan Konsumen masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang

berbeda sehingga menimbulkan sengketa sehingga dibutuhkan upaya

untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Penyelesaian sengketa dalam

dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis

selanjutnya dengen siapa dia pernah terlibat dalam suatu sengketa.25

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, mengatur penyelesaian sengketa sebagai berikut:

a. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha

melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara

konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di

lingkungan peradilan umum.

b. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan

atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang

bersengketa.

c. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana

diatur dalam Undang-undang.

25
Ibid, hlm. 155.
3

d. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila

upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh

para pihak yang bersengketa.

Ada beberapa cara untuk menyelesaikan sengkerta yang ada dalam

hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Beberapa cara penyelesaian

yang dapat dilakukan oleh para pihak adalah:

a. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

Dalam Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

mendefinisikan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pasal tersebut

mengatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan

diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan

besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk

menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali

kerugian yang diderita oleh konsumen.

b. Penyelesaian Sengketa Secara Damai

Masih terdapat beberapa jalan penyelesaian sengketa antara

pelaku usaha dengan konsumen salah satunya penyelesaian sengketa

secara damai. Cara penyelesaian sengketa dengan cara damai ini

diusahakan agar mudah, murah, dan relatif lebih cepat. Dasar hukum

penyelesaian ini terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


3

Pasal 1851-1854 tentan perdamaian/dading dan dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (2) jo. Pasal 47.26

c. Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK

Selain dua cara tersebut, Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK

juga dapat digunakan sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan

sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Penyelesaiansengketa ini

adalah penyelesaian sengketa melalui peradilan umum atau melalui

lembaga khusus yang dibentuk oleh UU, yaitu Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK ini dibentuk di setiap daerah

tingkat II dan menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan cara

konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi.

Setiap keputusan BPSK bersifat final dan mempunyai kekuatan

yang mengikat para pihak yang bersengketa. Keputusan BPSK bersifat

final dan mengikat, para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut

dapat mengajukan keberatan pada Pengadilan Negeri untuk diputus

walaupun itu, Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya

memberikan hak kepada pihak yang merasa tidak puas untuk

mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), namun peluang untuk

mengajukan kasasi terbuka bagi setiap pihak dalam perkara. 27

d. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

26
Az. Nasution, Op. cit., hlm. 233.
27 Ibid., hlm. 235-236.
3

Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan

Konsumen Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan

dengan ketentuan yaitu:

“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha

melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara

konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di

lingkungan peradilan umum."

4. Saksi Hukum

Hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha umumnya

adalah hukum keperdataan. Apabila terjadi tindakan pelaku usaha yang

merugikan konsumen seharusnya diselesaikan secara perdata namun, pada

Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan

bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan

tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku.28

Ada tiga jenis sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha

yang melanggar ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

terdiri dari sanksi administratif, pidana pokok, dan pidana tambahan.

a. Sanksi Administratif

28
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. cit., hlm. 82.
3

Undang-Undang tentang Perlndungan Konsumen memberikan

hak khusus kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

atas tugas dan/atau kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang

tentang Perlindungan Konsumen ini kepada BPSk unruk menyelesaikan

persengketaan konsumen di luar pengadilan.

Menurut ketentuan Pasal 60 ayat (2) jo. Pasal 60 ayat (1) Undang-

Undang tentang Perlindungan Konsumen, saksi administratif yang

dapat dijatuhkan oleh BPSK adalah berupa penetapan ganti rugi sampai

setinggi-tingginya Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) terhadap

para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap/dalam rangka:

1) Tidak dilaksanakannya pemeberian ganti rugi oleh pelaku usaha

kepada konsumen, dalam bentuk pengembalian uang atay

penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan

kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian yang diderita

oleh konsumen.

2) Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang

dilakukan oleh pelaku usaha periklanan.

3) Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan

purnajual, baik dalam bentuk suku cadang maupun

pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah

ditetapkan sebelumnya; baik berlaku terhadap pelaku usaha yang

memperdagangkan barang dan/atau jasa.

b. Sanksi pidana
3

Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan

dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap

pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Rumusan Pasal 62

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa pelaku

usaha dan/atau pengurusnya yang melakukan pelanggaran terhadap:

1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:

a) Pasal 8, mengenai barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi

standar yang telah ditetapkan;

b) Pasal 9 dan 10, mengenai informasi yang tidak benar;

c) Pasal 13 ayat (2), mengenai penawaran obat-obatan dan hal-hal

yang berhubungan dengan kesehatan;

d) Pasal 15, mengenai penawaran barang secara paksaan (fisik);

e) Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e,

mengenai iklan yang memuat informasi yang tidak sesuai

dengan kenyataan atau menyesatkan;

f) Pasal 17 ayat (2) mengenai peredaran iklan yang dilarang;

g) Pasal 18, mengenai pencantuman klausula baku. Dapat

dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5

(lima) tahun atau pidana denda sebanyak Rp.2.000.000.000

(dua milyar rupiah).

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:

a) Pasal 11, mengenai penjualan secara obral atau lelang;

b) Pasal 12, mengenai penawaran dengan tarif khusus;


4

c) Pasal 13 ayat (1) mengenai pemberian hadiah secara cuma-cuma;

d) Pasal 14 mengenai penawaran dengan memberikan hadiah

melalui undian;

e) Pasal 16, mengenai penawaran melalui pesanan;

f) Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f mengenai produksi iklan

yang bertentangan dengan etika, kesusilaan, dan ketentuan

hukum yang berlaku;

Dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2

(dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00

(lima ratus juta rupiah.) Pelanggaran yang mengakibatkan luka

berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian, maka akan

diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku secara umum

F. Tinjauan Umum Pelayanan Jasa Ortodonti

1. Pengertian Ilmu Ortodonti

Ortodonti adalah pengkhusussan pertama di bidang kedokteran gigi

yang berkaitan dengan studi dan perawatan maloklusi (gigitan yang tidak

benar), yang merupakan akibat dari ketidakteraturan gigi, hubungan

rahang yang tidak proporsional, atau keduanya. Perawatan ortodontik

dapat dilakukan semata karena alasan estetika berkaitan dengan

meningkatkan penampilan umum dari gigi pasien. Namun, ada ortodontis


4

yang bekerja untuk merekonstruksi seluruh wajah tidak terfokus secara

eksklusif pada gigi.29

2. Dasar Hukum Layanan Jasa Ortodonti

Dasar hukum yang dipakai dalam pelayanan jasa ortodonti adalah

Undang-Undang Kesehatan Pasal 1 butir 11 bahwa upaya kesehatan adalah

setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu,

terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,

peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh

pemerintah dan/atau masyarakat.

Diperjelas tentang kesehatan gigi dan mulut dalam Pasal 48 huruf k

mengatur tentang Kesehatan salah satu dari upaya kesehatan gigi dan

mulut dan selanjutkan karena ortodonti adalah spesialisasi dari ilmu

kedokteran gigi maka pelayanan ortodonti tunduk pada peraturan yang

mengatur mengenai kesehatan gigi dan mulut. Dijelaskan dalam Pasal 93

ayat (1) yaitu pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk

memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk

peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan

penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, pemerintah

daerah, dan/atau masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi

dan berkesinambungan.

29
Milton B. Asbell, A Brief History of Orthodontics, (American Journal of Orthodontics and
Dentofacial Orthopedics vol 98, 1990) hlm. 176.
4

Selanjutnya kententuan tentang pembinaan, pengawaan dan

perizinan tukang gigi diatur dalam Peraturan Menteri Kesehtan Nomor 39

Tahun 2014. Penjelasan tentang perizinan tukang gigi diatur dalam Pasal 2

ayat (3) Permenkes 39/2014 yang menyatakan bahwa tukang gigi berlaku

selama dua tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.

Peraturan tentang tindakan yang dapat dilakukan oleh tukang gigi diatur

dalam Pasal 6 ayat (1) Permenkes 39/2014 yaitu:

Pekerjaan tukang gigi hanya dapat dilakukan apabila:

a. tidak membahayakan kesehatan, tidak menyebabkan kesakitan dan

kematian;

b. aman;

c. tidak bertentangan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan

masyarakat; dan

d. tidak bertentangan dengan norma dan nilai hidup dalam masyarakat.

Dalam Pasal 6 ayat (2) diatur tentang pekerjaan tukang gigi hanya berupa:

a. membuat gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari

bahan heat curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan

kesehatan; dan

b. memasang gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat

dari bahan heat curing acrylicdengan tidak menutupi sisa akar gigi.

Diatur juga mengenai larangan pekerjaan tukang gigi. Dalam Pasal

9 Permenkes 39/2014 tukang gigi dilarang:


4

a. melakukan pekerjaan selain kewenangan yang diatur dalam pasal 6

ayat (2);

b. mewakilkan pekerjaannya kepada orang lain;

c. melakukan promosi yang mencantumkan pekerjaan selain yang

diatur dalam Pasal 6 ayat (2); dan

d. melakukan pekerjaan secara berpindah-pindah.

Tukang gigi melakukan pelanggaran dengan memasang behel dan

menimbulkan kerugian pada pasien/konsumen, tukang gigi berkewajiban

untuk memberikan kompensasi dan ganti rugi kepada pasien. Hal ini

sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 19 ayat (1) UU

Perlindungan Konsumen. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau

penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau

perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-unadangan yang berlaku dalam Pasal 19

ayat (2) UU Perlindungan Konsumen. Pemberian ganti rugi dilaksanakan

dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi (Pasal 19

ayat (3) UU Perlindungan Konsumen).

3. Peran Pembinaan dan Pengawasan oleh Pemerintah di Bidang

Kesehatan

Dalam menjalankan prakteknya dalam bidang kesehatan. Tenaga

kesehatan harus mendapat pembinaan dan pengawasan dari pemerintah

untuk menjamin mutu dan kinerja tenaga kesehatan agar tujuan negara
4

dalam meningkatkan angka kesehatan di Indonesia terwujud. Berdasarkan

undang-undang Kesehatan pemerintah dan pemerintah daerah melakukan

pembinaan terhadap tenaga kesehatan dan masyarakat terhadap setiap

kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan. Pembinaan tersebut diatur

dalam Undamg-Undang Kesehatan Pasal 178 dalam pasal itu berisi

pembinaan yang isinya mengarahkan untuk:

a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses atas

sumber daya di bidang kesehatan;

b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggarakan upaya kesehatan;

c. memfasilitasi dan menyelenggarakan penyelenggarakan upaya

kesehatan;

d. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan perbekalan

kesehatan, termasuk sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan

dan minuman;

e. memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan standar dan

persyaratan;

f. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat

menimbulkan bahaya bagi kesehatan.

Kemudian berdasarkan pasal 182 Undang-Undang Kesehatan

peran pengawasan dijalankan oleh Menteri Kesehatan. Pasal tersebut berisi

penjelasan mengenai peran pengawasan yang dilakukan oleh menteri

sebagai berikut:
4

a. Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap

penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya

dibidang kesehatan dan upaya kesehatan.

b. Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan izin terhadap

setiap penyelenggaraan upaya kesehatan.

c. Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan (2) dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah

non kementrian, kepala lembaga pemerintah non kementrian, kepala

dinas di probinsi, dan kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya

di bidang kesehatan.

d. Menteri dalam melaksanakan pengawasan mengikutsertakan masyarakat.

Kemudian mengenai kewenangan Menteri dalam melakukan

pengawas diatur dalam Pasal 188 Undang-Undang Kesehatan yaitu:

a. Menteri dapat mengabil tindakan administratif terhadap tenaga

kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

b. Menteri dapat mendelegasikan kwenangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) kepada lembaga pemerintah nonkementrian, kepala

dinas provinsi, atau kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya

di bidang kesehatan.

c. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

berupa:

1) Peringatan secara tertulis;


4

2) Pencabutan izin sementara atau izin tetap.

d. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengamilan tindakan

administratif sebagaimana dimaksud pasal ini diatur oleh Menteri.

Pasal 188 Undang-Undang Kesehatan diatas dapat diketahui bahwa

kewenngan pengawasan oleh Menteri. Peraturan tersebut juga digunakan

untuk mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan yang

melanggar ketentuan Undang-Undang Kesehatan dimana tindakan

administratif yang dapat diambil dalam bentuk peringatan tertulis dan

pencabutan izin sementara maupun izin tetap.

4. Dasar Hukum Bagi Tukang GIgi

Fungsi pemerintah untuk mengendalikan kesehatan masyarakat

diatur khusus tentang tukang gigi dalam Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 53/DPK/I/K/1969 Tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin

Menjalankan Pekerjaan Tukang Gigi. Undang-Undang tersebut memuat

ketentuan tentang pendaftaran dan pemberian izin menjalankan pekerjaan

tukang gigi, peraturan ini dikeluarkan dengan latar belakang bahwa

terdapat banyak orang yang bekerja dalam bidang kesehatan tanpa

memiliki pengetahuan ilmu yang diperlukan dan melakukan pekerjaannya

diluar batas wewenangnya sehingga menimbulkan kerugian yang

membahayakan kesehatan masyarakat. Atas sebab itu Pemerintah

menertibkan peraturan tersebut. Setelah itu sempat ada peraturan yang

mencabut peraturan tersebut dengan dikeluarkannya Permenkes Nomor

339/MENKES/PER/V/1989 dengan tidak memperpanjang masa ijin


4

praktek tukang gigi dan tidak memberikan izin baru pada tukang gigi yang

akan membuka praktek. Peraturan tersebut dianggap merugikan profesi

tukang gigi karena membuat orang yang berprofesi sebagai tukang gigi

menjadi tidak memiliki lapangan pekerjaan sehingga, tukang gigi yang

beranama H. Hamdani Prayogo mengajukan pengujian Permenkes Nomor

339/MENKES/PER/V/1989 ke Mahkamah Konstusi dan dikabulkan

dengan diberikannya kembali ijin untuk membuka praktek tukang gigi.

Selain itu terdapat Peraturan Menteri Kesehatan No. 39 Tahun 2014

tentang Pembinaan, Pengawasan, dan Perizinan Pekerjaan Tukang Gigi.

Peraturan Menteri Kesehatan tersebut memuat batas wewenang sejauh

mana tindakan yang dapat dilakukan tukang gigi.


BAB III

CARA PENELITIAN

Metode Penulisan merupakan suatu proses dilakukannya analisis dan

konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Memiliki arti

yang lebih jelas sebagai suatu kegiatan yang didasarkan pada sistematika

pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa

gejala tertentu dengan menganalisanya. 1


Dasar dalam penelitian ini

menggunakan data yang didapat dan diuraikan sebagai berikut :

A. Bahan dan Materi Penelitian

1. Jenis dan Sumber Data


Penelitian ini termasuk jenis penelitian dengan penelitian

normatif empiris karena penelitian ini memadukan antara penelitian

kepustakaan dan penelitian lapangan.2 Penelitian normatif dan empiris

yaitu penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan unsur-

unsur empiris. Penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris ini

menekankan kepada implementasi ketentuan dalam hukum normatif ke

dalam peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat. Penelitian

normatif yang dilakukan berkaitan dengan implementasi ketentuan

dalam hukum perdata dan kesehatan ke dalam wewenang tukang gigi

dalam menjalankan usahanya di Yogyakarta.

1 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI – Press, Jakarta, hlm. 17


2
Amirudin dan Zaenal Asikin, 2004, Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo,
Jakarta, hlm. 133.

48
4

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Yogyakarta dan Jawa

Tengah karena narasumber dan responden berada di daerah tersebut.

Lokasi penelitian ini, diantaranya dilakukan pada Dinas Kesehatan

Kota Yogyakarta yang berkedudukan di Jl. Kenari No.56 Yogyakarta

dan Tempat Praktek tukang gigi yang berkedudukan di Wilayah

Yogyakarta

3. Penentuan Responden dan Narasumber

Subyek penelitian adalah sumber yang utama dalam data

penelitian yaitu memiliki data yang memuat variable yang diteliti. 3

Subyek penelitian terdiri dari responden dan narasumber yang

diartikan sebagai berikut:

a. Responden

Responden adalah pihak-pihak yang mengalami atau

mengetahui secara langsung dengan permasalahan yang ada dalam

peneliin ini. yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah:

a. Nadiya sebagai Tukang Gigi

b. Fadhila sebagai Tukang Gigi

c. Dina sebagai Tukang Gigi

d. Rohani sebagai Tukang Gigi

e. Herman sebagai Tukang Gigi

f. Daryono sebagai penerima jasa tukang gigi atau pasien

3 Saifudin Anwar, 2005, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Jakarta, hlm. 93.
5

g. Ririn sebagai penerima jasa tukang gigi atau pasien

h. Rahayu sebagai penerima jasa tukang gigi atau pasien

i. Sutinem sebagai penerima jasa tukang gigi atau pasien

j. Parlan sebagai penerima jasa tukang gigi atau pasien

b. Narasumber

Narasumber adalah orang yang mengetahui jelas tentang

informasi mengenai permasalahan dalam penelitian ini.

Narasumber dalam penelitian ini adalah:

a. Bapak Agus Sudrajad Sekretaris Dinas Kesehatan Yogyakarta

b. Drg. Rifky Alharis anggota Pusat Data dan Informasi PB PDGI.

4. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik Pengambilan sampel yang digunakan oleh penulis

yaitu Pengambilan sampel menggunakan kriteria yang telah dipilih

oleh peneliti dalam memilih sampel. Penulis menentukan kriteria

sempel yang akan digunakan dalam penelitian untuk tukang gigi

dan pasien yang akan diwawancarai.

Tukang gigi yang hasil wawancaranya digunakan sebagai

sampel adalah tukang gigi yang berumur 20 sampai 30 tahun, telah

berpraktik lebih dari 3 tahun, melakukan tindakan diluar wewenang

tukang gigi yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan, dan Perizinan,

Pekerjaan Tukang Gigi.


5

Pasien atau konsumen tukang gigi yang hasil

wawancaranya akan dugunakan sebagai sampel adalah pasien yang

berumur 20 sampai 30 tahun, telah menggunakan jasa tukang gigi

lebih dari 1 tahun, dan mengalami kerugian.

B. Alat Penelitian

Penelitian ini berusaha menggambarkan dan memahami suatu

permasalahan dengan cara mencari dan mengumpulkan data-data serta

informasi sehingga diharapkan dapat memberi jawaban atas permasalahan

yang diteliti.

1. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai

sarana untuk memperoleh data pada penelitian lapangan yaitu pedoman

wawancara yang terdiri atas beberapa pertanyaan yang diajukan kepada

narasumber dan responden. Dalam penelitian ini memakai 3 jenis

teknik pengumpulan data, yaitu studi dokumen, pengamatan dan

wawancara.4 Ketiganya dapat digunakan secara bersamaan. Penelitian

ini menggunakan teknik pengumpulan data wawancara terbuka kepada

narasumber dan responden. Wawancara merupakan cara yang

digunakan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan

manusia serta pendapat-pendapat mereka5

4 Soekanto, Soejono, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 21.
5
Burhan Ashshofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 95.
5

a. Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh data

skunder. Data skunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan

kepustakaan yang terkait dengan objek penelitian. data skunder

tersebut terdiri dari 3 bagian yaitu:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang

mempunyai kekuatan mengikat semua warga negara seperti

peraturan perundang-undangan atau keputusan pengadilan. 6


.

Dalam penulisan penelitian ini digunakan Bahan Hukum Primer

yaitu:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

b) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen Perlindungan Konsumen

c) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

d) Permenkes nomor 39 tahun 2014 tentang Tukang Gigi

e) Bahan Hukum Sekunder

2) Bahan Hukum Sekunder

6
Soedino Soekanto, 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Rajawali,
Jakarta, hlm. 34.
5

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang

berhubungan dengan Bahan Hukum Primer sebagai penjelas

dari Bahan Hukum Primer. Bahan Hukum Skunder dalam

penulisan ini yaitu:

a) Buku-buku tentang Perlindungan Konsumen, Hukum

Kesehatan, dan Ortodonti.

b) Jurnal hukum

c) Laporan Hasil Penelitian seperti Laporan Penekitian Hukum

tentang wewenang tukang gigi dengan pasien.

d) Artikel-artikel yang diperoleh dari website.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum tersier adalah bahan hukum yang

memberikan penjelasan dan bersifat melengkapi terhadap bahan

hukum primer dan bahan hukum skunder. dalam penelitian ini

menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

b. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapat data primer

yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu hal-hal yang berkaitan

dengan tukang gigi. Termasuk pelaksanaan pengawasan tukang gigi

Permenkes tentang tukang gigi. Penelitian lapangan dilakukan secara

langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data dan informasi

riil yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti dengan

cara melakukan wawancara secara langsung di lapangan.


5

c. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mendapat sampel yang akan

menjadi bahan pembahasan dalam penelitian ini. Wawancara

dilakukan dengan sekretaris dinas kesehatan kota Yogyakarta dan

dokter gigi sebagai Narasumber, kemudian tukang gigi dan pasien

sebgai responden untuk diteliti. Wawancara dilakukan langsung oleh

penulis kepada Narasumber dan Responden untuk memperoleh data

dan informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang

diteliti.

C. Jalannya Penelitian

Penulis mendatangi dinas kesehatan kota Yogyakarta guna

memperoleh informasi tentang perizinan tukang gigi kegiatan yang

dilakukan tukang gigi dalam berpraktik di kota Yogyakarta dengan

sepengetahuan dinas kesehatan kota Yogyakarta, dan pembinaan

serta pengawasan yang dilakukan kepada tukang gigi. Setelah

penulis mendapat informasi yang diperlukan dalam penelitian ini

dari dinas kesehatan penulis melakukan wawancara dengan dokter

gigi yang menangani korban akibat tindakan diluar wewenang yang

dilakukan oleh tukang gigi

Penulis mendatangi dokter gigi yang mempunyai sebuah

wadah yaitu sebuah akun media sosial untuk mengumpulkan korban

akibat tindakan diluar wewenang yang dilakukan tukang gigi. Dokter

gigi tersebut memberikan informasi dan data tentang korban dan


5

kerugian yang dialami tukang gigi dan cara korban menyelesaikan

masalah dengan tukang gigi dimana korban tersebut melakukan

perawatan gigi dengan persetujuan korban. Data korban yang penulis

peroleh dari dokter gigi inilah yang kemudian penulis jadikan sampel

sebagai bahan penelitian.

Penulis menemui korban yang sesuai dengan teknik

pengambilan sampel yang penulis gunakan untuk mendapatkan

informasi yang digunakan dalam penelitian ini, kemudian penulis

mengolah informasi yang diperoleh dari korban sebagai pembahasan

dalam penulisan ini.

D. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis

kualitatif yaitu mengolah data yang telah diperoleh secara rinci

dalam bentuk kalimat. Data yang diperoleh di lapangan dijadikan

sumber data utama yang akan dianalisis untuk dapat menjawab

permasalahan dalam penelitian. Berdasarkan hasil analitis data

lapangan dan pustaka ditarik sebuah kesimpulan dan penalaran yaitu

deduktif dan induktif. Penalaran deduktif adalah proses

berpikirberdasarkan pada fakta-fakta umum yang kemudian di tarik

suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Penalaran induktif adalah

proses berpikir berdasar fakta khusus kemudian ditarik suatu

kesimpulan yang bersifat umum. Penalaran yang digunakan dalam


5

analisis data pada penelitian ini adalah deduktif kemudian penulis

mengambil data penelitian secara deskriptif dengan menjabarkan

fakta-fakta yang berkaitan dengan permasalahan tanggung jawab

tukang gigi atas tindakan yang dilakukan diluar wewenang tukang

gigi di Yogyakarta.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Tukang gigi dipercaya masyarakat Indonesia karena keberadaannya telah

ada lama sebelum Indonesia merdeka saat dokter gigi masih asing di telinga

masyarakat Indonesia. Keadaan ekonomi masyarakat Indonesia juga yang

membuat tukang gigi lebih dipilih masyarakat karena tarifnya yang relatif

murah dibanding dengan dokter gigi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Nadia yang berusia 21 tahun dan

telah membuka praktek selama lima tahun dalam melakukan usahanya Nadia

melayani jasa pasang behel tetapi ia tidak melakukan pencabutan gigi karena,

menurut Nadia pencabutan gigi terlalu berisiko untuk dilakukan kemudian,

Nadia juga melayani jasa panggilan yaitu apabila pasiennya ingin

pemasangannya dilakukan dirumah, Nadia bersedia datang ke rumah pasien

tersebut.

Mengenai peraturan yang berlaku tentang wewenang tukang gigi, Nadia

tidak mengetahui sama sekali tentang Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39

Tahun 2014 tentang pembinaan, pengawasan, dan perizinan, pekerjan tukang

gigi dan tidak mengetahui Undang-Undang perlindungan konsumen. Nadia

melakukan pekerjaannya hanya bertujuan untuk bisnis dan dia melihat

banyak orang yang menawarkan jasa pemasangan behel jadi Nadia tertarik

57
5

untuk membuka usaha tersebut karena hasil dari pekerjaan yang ia lakukan ia

mendapat uang yang jumlahnya besar.

Nadia mengatakan tidak ada pasiennya yang mengeluhkan kondisi

giginya, semua konsumennya puas atas jasa yang ia kerjakan kemudian

dalam pemasangan behel yang dilakukannya tidak ada perjanjian antara

Nadia dengan pasiennya tentang ganti rugi. Pasien datang meminta

pemasangan behel dan Nadia kerjakan. Nadia juga telah menegaskan

kepada konsumennya bahwa Nadia bukan dokter gigi tetapi dengan alasan

harganya lebih terjangkau dan sudah banyak testimoni dari pasien

sebelumnya maka pasien yang datang pada Nadia mempercayakan

perawatan giginya pada Nadia. Setelah mengetahui peraturan ini Nadia

mengaku tidak akan menghentikan usahanya selama pasiennya masih

percaya dan ingin melanjutkan perawatan padanya Nadia akan tetap

mengerjakannya.1

Berdasarkan hasil wawancara dengan Fadhila yang berusia 27 tahun

dan telah membuka praktek selama tiga tahun yang membuka klinik behel

atau behelshop di sekitaran kampus UNY Yogyakarta, mengaku bahwa di

kliniknya Fadhila tidak melayani pemasangan gigi tiruan tetapi hanya

melayani pemasanganan kawat gigi dan veneer. Fadhila juga menangani

pencabutan gigi apabila diperlukan untuk keperluan kawat gigi, dalam

prakteknya Fadhila tidak menyediakan obat-obatan untuk mengurangi rasa

1 Nadia, 2018, Praktek Tukang Gigi, Wawancara, Yogyakarta, 26 Agustus.


5

sakit pasien apabila setelah pemasangan kawat gigi pasien tersebut

mengeluh ngilu pada giginya dan sebagainya Fadhila hanya menerangkan

itu adalah hal yang wajar bagi orang yang baru memasang kawat gigi.

Fadhila tidak tahu menahu soal obat-obatan maka dari itu Fadhila tidak mau

menanggung resiko akibat obat yang Fadhila berikan. Fadhila berbeda

dengan Nadia karena Fadhila tidak melakukan jasa panggilan semua

perawatan yang ia lakukan dilakukan di kliniknya.

Fadhila mengetahui tentang Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39

Tahun 2014 tentang pembinaan, pengawasan, dan perizinan, pekerjan

tukang gigi dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Menurut Fadhila

apabila dia hanya melakukan praktek sesuai dengan kewenangan Fadhila

tidak akan mendapat pemasukan yang besar, lalu dia tetap melakukan

praktek tersebut walaupun Fadhila mengetahui bahwa tindakan yang

Fadhila lakukan dilarang. Fadhila berpendapat bahwa selama tidak

merugikan pasien maka Fadhila tetap meneruskan usahanya karena selama

ini tidak ada keluhan dari pasien, dan saat melakukan prakteknya Fadhila

juga membuat perjanjian dengan pasiennya apabila gigi tidak rapi dalam

waktu yang ditentukan maka uang akan kembali. Sehingga Fadhila tidak

merasa merugikan pasiennya karena dia memberikan garansi kepada

pasiennya.2

2 Fadhila, 2018, Praktek Tukang Gigi, Wawancara, Yogyakarta, 26 Agustus.


6

Berdasarkan hasil wawancara dengan Dina yang berusia 25 tahun dan

telah membuka praktek selama lima tahun, pemilik behelshop yang juga

membuka klinik di daerah sekitar Malioboro Yogyakarta menyatakan

bahwa dia melakukan pemasangan kawat gigi dengan seijin dokter gigi.

Dina hanya menerima pasien di tempat prakteknya dan tidak menerima

panggilan.

Dina tidak melayani pencabutan gigi karena menurutnya tindakan itu

terlalu beresiko. Pada saat menjalankan prakteknya, apabila harus ada gigi

yang dicabut maka dia merujuk pasien tersebut ke dokter yang memberinya

ijin untuk membuka klinik kawat gigi, di kliniknya apabila pasien mengeluh

sakit dia memberi obat dengan berkonsultasi terlebih dahulu kepada dokter

yang memberinya izin untuk membuka praktek. Dina mengetahui tentang

pembatasan tindakan yang boleh dilakukan oleh tukang gigi, namun Dina

merasa bukan tukang gigi maka tidak harus menaati peraturan tersebut.

Dina tidak mengetahui Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Sertifikat yang dia miliki dari lembaga kursus pemasangan kawat gigi bukan

dari dinas kesehatan, sehingga Dina tetap meneruskan usahanya dan dia

berkata bahwa tidak ada keluhan dari pasiennya.3

Berdasarkan wawancara dengan Rohani yang berusia 47 tahun an telah

membuka praktek selama 10 tahun, tukang gigi yang membuka praktek di

kawasan Baciro Yogyakarta ini menyatakan bahwa selain melayani

3 Dina, 2018, Praktek Tukang Gigi, Wawancara, Yogyakarta, 26 Agustus.


6

pembuatan dan pemasangan gigi palsu dia juga melayani jasa tambal gigi

dan cabut gigi. Rohani hanya berpraktek di kliniknya dan tidak menerima

panggilan.

Rohani mengaku tidak pernah mengetahui tentang Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang pembinaan, pengawasan, dan

perizinan, pekerjan tukang gigi karena pekerjaan ini di lakukankan turun

temurun dari mendiang bapaknya dan dari dulu memang membuka praktek

penambalan dan pencabutan gigi dan Rohani juga tidak mengetahui tentang

Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Rohani mengaku tidak pernah mendapat keluhan dari pasiennya, namun

setelah mengetahui adanya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun

2014 Rohani tidak akan meneruskan pelayanan yang diluar peraturan

tersebut karena Rohani takut atas tuntutan pidana yang akan ditanggung

apabila nanti terjadi kesalahan atau keluhan dari pasiennya. Rohani dalam

menjalankan prakteknya membuat perjanjian apabila gigi tiruannya tidak

nyaman digunakan maka pasien boleh kembali sampai terasa nyaman.4

Berdasarkan hasil wawancara dengan Herman yang berusia 50 tahun

dan telah membuka praktik 15 tahun, yang membuka praktek di daerah

Gedong Kuning Yogyakarta menyatakan bahwa Herman melayani

pembuatan dan pemasangan gigi palsu, pencabutan gigi dan penambalan

gigi.

4 Rohani, 2018, Praktek Tukang Gigi, Wawancara, Yogyakarta, 26 Agustus.


6

Herman mengatakan bahwa dia mengetahui tentang Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang pembinaan,

pengawasan, dan perizinan, pekerjaan tukang gigi, namun Herman merasa

penghasilan dari membuat dan memasang gigi palsu saja tidak dapat

memenuhi kenutuhan hidupnya sehingga tetap melakukan praktek tersebut

walaupun melanggar ketentuan dari menteri kesehatan.

Herman mengaku bahwa pasiennya mengeluhkan darahnya tidak

berhenti setelah pencabutan gigi yang dilakukan oleh Herman dan Herman

menyarankan untuk berkonsultasi dengan dokter karena Herman tidak tahu

cara mengatasi pendarahan selain mengompres luka dengan es untuk

membekukan darah.5

Berdasarkan hasil wawancara dengan Adita yang berusia 25 tahun

seorang yang berprofesi sebagai asisten rumah tangga sebagai pengguna

jasa Tukang Gigi yang memasang kawat gigi pada giginya mengaku

mempunyai keluhan nyeri yang tak kunjung reda semenjak penggantian

kawat yang dilakukan tukang gigi sebulan yang lalu, Adita sendiri telah

memasangan behel 2 tahun yang lalu.

Adita juga mengatakan bahwa tidak diberi obat pereda rasa sakit oleh

tukang gigi tersebut sehingga Adita merasa kesakitan dan berencana

melepas sendiri behel yang dikenakan. Adita mengatakan bahwa tidak ada

perjanjian antara tukang gigi dengan Rani apabila nanti ada kerugian yang

5 Herman, 2018, Praktek Tukang Gigi, Wawancara, Yogyakarta, 26 Agustus.


6

diderita, karena Adita berfikir tidak akan terjadi apa-apa yang

membahayakan dirinya.

Adita mengeluh tentang rasa sakit yang tak kunjung hilang kepada

tukang gigi tersebut namun, tukang gigi tersebut selalu menjawab itu hal

yang wajar untuk penyesuaian. Adita merasa sakitnya ini tidak biasa

lantaran giginya berdarah saat menggosok gigi.

Adita tidak mengetahui tentang Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39

Tahun 2014 tentang pembinaan, pengawasan, dan perizinan, pekerjaan

tukang gigi dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebelumnya

setelah mengetahui peraturan tersebut Adita menyatakan tetap tidak akan

menuntut tukang gigi tersebut dan hanya meminta untuk segera meminta

tukang gigi tersebut melepaskan kawat giginya. Melaporkan atau menuntut

tukang gigi bukanlah jalan yang dapat diambil karena Adita berfikir hal

tersebut merupakan hal yang sulit dan membutuhkan lebih banyak biaya

sehingga dia hanya mengiklaskan saja.6

Berdasarkan hasil wawancara dengan Daryono yang berusia 50 tahun

seorang pensiunan perangkat desa, menuturkan mempunyai keluhan setelah

memasang gigi tiruan pada tukang gigi setelah 1 tahun penggunaan. Gigi

tiruan tersebut terasa mengganjal dan tidak nyaman saat digunakan untuk

mengunyah makanan, selain itu Daryono mengeluhkan bau mulut yang

dirasakan setelah satu tahun pemasangan gigi palsu miliknya.

6 Adita, 2018, Korban Tukang Gigi, Wawancara, Yogyakarta, 26 Agustus.


6

Keluhan yang dirasakan Daryono akibat dari sisa akar gigi yang tidak

dicabut sebelum gigi tiruan dipasang. Penulis menanyakan tentang

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 dan Undang-Undang

Perlindungan konsumen kepada Daryono, Daryono mengakui tidak

mengetahui tentang peraturan tersebut. Setelah mengetahui peraturan

tersebut Daryono ingin mendatangi tempat praktik tukang gigi dimana

Daryono membuat dan memasang gigi tiruan untuk

mempertanggungjawabkan kelalaiannya.7

Berdasarkan hasil wawancara dengan Tina seorang pemilik warung nasi

yang pernah menggunakan kawat gigi dan memasang kawat gigi pada

tukang gigi menyatakan, memasang behel kepada tukang gigi yang

bersetifikat dari dokter gigi yang berlokasi di Malioboro yang notabenenya

adalah saudara dari Rahayu.

Tina sudah memasang kawat gigi sejak tahun lalu dan merasa tidak ada

kemajuan bentuk giginya dan semakin hari semakin merasakan sakit pada

giginya. Tina menerangkan bahwa saat pertama dia memutuskan memasang

behel, tidak ada perjanjian khusus dengan tukang gigi tersebut apabila nanti

terjadi kesalahan dalam perawatan kawat gigi, dia juga merasa perawatan

giginya akan baik-baik saja karena dilakukan oleh saudaranya sendiri.

Tina mengatakan keluhannya kepada tukang gigi tersebut, hanya diberi

obat penahan rasa sakit dan setelah hilang efek obat tersebut giginya

7 Daryono, 2018, Korban Tukang Gigi, Wawancara, Yogyakarta, 26 Agustus.


6

kembali sakit. Tina berniat untuk melepas behelnya sendiri menggunakan

tang yang biasa digunakan tukang bangunan untuk mencabut paku di

tembok karena sudah tidak kuat menahan sakit. Penulis menanyakan tentang

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 dan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, Tina mengetahui peraturan tersebut.

Tina menyesal telah memasang behel atau kawat gigi kepada tukang

gigi dan menuntut pengembalian uang kepada tukang gigi tempat

memasang behel yang Tina gunakan untuk memeriksakan giginya pada

dokter gigi. Namun hingga saat ini belum ada itikad baik dari tukang gigi

tersebut, sehingga jika dalam waktu 3 bulan tukang gigi tersebut tidak

mengembalikan uangnya maka Tina akan bertindak tegas untuk melaporkan

tukang gig tersebut pada pihak yang berwajib.8

Berdasarkan hasil wawancara dengan Sutinem yang berusia 39 tahun

yang telah melakukan penambalan gigi pada tukang gigi 2 tahun yang lalu

terjadi pembuusukan pada giginya yang ditambal oleh tukang gigi tersebut.

Sutinem menyatakan tidak mengetahui Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 39 Tahun 2014 dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Sutimen pernah menanyakan kondisi giginya pada tukang gigi yang

menambal giginya tersebut dan meminta pertanggungjawaban dari tukang

gigi tersebut tetapi tukang gigi tersebut tidak mau bertanggungjawab dengan

8 Tina, 2018, Korban Tukang Gigi, Wawancara, Yogyakarta, 26 Agustus.


6

alasan penambalan telah dilakukan 2 tahun yang lalu dan masa garansi dari

penambalan gigi tersebut hanya 1 tahun.

Setelah mengetahui peraturan menteri tentang wewenang tukang gigi

dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa yang tukang gigi

lakukan tersebut melanggar wewenang, maka Sutinem akan terus menuntut

tukang gigi tersebut jika tidak diberikan ganti rugi dan akan segera

memeriksakan giginya ke dokter gigi. 9

Berdasarkan hasil wawancara dengan Parlan yang berusia 49 tahun,

seorang petani yang pernah membuat gigi tiruan pada tukang gigi 1 tahun

yang lalu mengeluhkan terjadi pendarahan pada giginya setelah satu tahun

pemakaian gigi palsu tersebut. Parlan kemudian memeriksakan menuturkan

kondisi giginya kepada tukang gigi yang membuat gigi tiruan, namun

tukang gigi tersebut tidak mau bertanggungjawab karena ia juga tidak tahu

bagaimana menyembuhkan kerusakan gigi yang dialami parlan dan tidak

mempunyai uang untuk mengganti rugi.

Parlan kemudian mendatangi dokter gigi untuk memeriksakan kondisi

giginya dsehingga diketahui penyebabnya adalah akar gigi yang tidak

dicabut dengan bersih oleh tukang gigi tersebut asal dipasang gigi palsu.

Parlan tidak mengetahui Peraturan mengenai wewenang tukang gigi dan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen, setelah mengetahuinya Parlan

tidak akan menuntut tukang gigi tersebut karena kini giginya telah sembuh,

9 Sutinem, 2018, Korban Tukang Gigi, Wawancara, Yogyakarta, 26 Agustus.


6

dan melakukan pelaporan ke jalur hukum menurut parlan membutuhkan

biaya yang besar sehingga dia tidak akan melakukannya.

Berdasarkan hasil Wawancara dengan Agus Sudrajad selaku sekretaris

Dinas Kesehatan Yogyakarta menuturkan bahwa Dinas Kesehatan tidak lagi

mengeluarkan izin pada Tukang Gigi yang belum terdaftar di Dinas

Kesehatan. Izin yang dikeluarkan dinas kesehatan hanya diberikan kepada

tukang gigi yang sudah terdaftar dan ingin memperpanjang masa izinnya.

Agus menuturkan bahwa dinas kesehatan melakukan pembinaan dan

pengarahan berkala pada tukang gigi yang terdaftar di dinas kesehatan

Yogyakarta yang bertujuan untuk mengedukasi tukang gigi tentang

peraturan yang berlaku dan pembatasan wewenang yang dilakukan tukang

gigi untuk melakukan tindakan kepada pasiennya.

Selain memberikan pembinaan Dinas Kesehatan Yogyakarta juga

melakukan pengawasan kerpada tukang gigi yang terdaftar melalui

puskesmas yang yang satu wilayah dengan tempat praktek tukang gigi

tersebut. Agus juga menuturkan tidak sedikit pelanggaran yang dilakukan

tukang gigi yang ada dalam pengawasan dinas kesehatan kota Yogyakarta

dan semua pelanggaran tersebut telah ditindak lanjuti oleh dinas kesehatan.

Bentuk tindak lanjut atau pengawasan yang dilakukan Dinas Kesehatan

adalah masih dalam tahap peringatan biasanya tukang gigi yang diketahui

menyalah gunakan wewenang sekali diingatkan sudah tidak melakukan

pelanggaran yang sama sehingga tindakan yang dilakukan dinas kesehatan


6

masih dalam teguran kepada oknum tukang gigi yang bertindak diluar

wewenang.

Belum ada yang sampai dicabut ijinnya kemudian dari segi konsumen

tukang gigi Agus menyatakan belum ada laporan yang masuk tentang

keluhan kerugian yang diakibatkan praktek tukang gigi yang sudah

mempunya izin dari dinas kesehatan, namun apabila ada konsumen yang

merasa dirugikan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, mengenai jasa memenuhi unsur apabila merasa

dirugikan terhadap jasa praktek tukang gigi, karena mengenai jasa

merupakan suatu prestasi yang diberikan sehingga ada akibatnya. Ketika

konsumen merasa dirugikan terhadap pelayanan praktek tukang gigi yang

bertindak diluar wewenang yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 39 Tahun 2014 tentang pembinaan, pengawasan, dan perizinan,

pekerjan tukang gigi bisa melapor ke Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen sepanjang konsumen yang merasa dirugikan mempunya bukti

yang kuat.

Berdasarkan wawancara dengan drg. Rifky Alharis pemilik media

sosial yang berisikan oleh korban akibat dari tukang gigi yang juga

merupakan anggota Pusat data dan informasi PB PDGI. Menurut Drg.

Rifky Tukang Gigi sudah ada serikatnya sendiri keberadaannya memang

diakui oleh dinas kesehatan maka dari itu Dokter Gigi tidak berwenang

untuk berkomentar tentang keberadaan Tukang Gigi. Dokter Gigi merasa


6

punya andil dalam kasus korban tukang gigi yang ada selama ini karena

telah banyak korban yang memperihatinkan dan mendatangi Dokter Gigi

untuk memperbaiki giginya yang rusak akibat tindakan yang dilakukan

Tukang Gigi dan salah satu tugas Dokter Gigi adalah mengedukasi tentang

kesehatan gigi dan mulut maka dari itu Dokter Gigi merasa terpanggil untuk

menangani kasus korban dari tukang gigi tersebut.

Alasan masyarakat lebih memilih tukang gigi daripada dokter gigi

karena biaya lebih murah, tidak mau repot (tindakan dokter harus melalui

beberapa tahapan sesuai kondisi gigi), ketidaktahuan masyarakat tentang

kewenangan tukang gigi, masyarakat menganggap tukang gigi adalah

kearifan lokal.

Dalam beberapa kasus korban tukang gigi membawa kerusakan giginya

kepada dokter gigi, belum tentu dokter gigi tersebut dapat menangani

karena kebanyakan kerusakan gigi pada pasien sudah sangat parah bahkan

ada yang sudah menjadi tumor. Pasien tukang gigi meminta

pertanggungjawaban kepada tukang gigi, namun seringkali tukang gigi

tersebut sudah tidak dapat ditemui atau menyatakan tidak sanggup untuk

bertanggung jawab atas kerusakan gigi pasien tersebut. Menurut drg. Haris,

sejauh ini pasien tukang gigi tidak ada yang menempuh jalur hukum

dikarenakan mereka berfikir bahwa akan mengeluarkan banyak biaya dalam

prosesnya.
7

Menurut drg. Haris, behelshop bukanlah tukang gigi. Serikat tukang

gigi sendiri tidak mengakui behelshop sebagai tukang gigi karena

memasang behel jelas melanggar kewenangan tukang gigi. Behelshop

sangat menyalahi kewenangan karena selain memasang behel juga melayani

tambal gigi, cabut gigi dan veneer. Dokter gigi yang belum mengambil

spesialis tidak diperbolehkan memasang behel, apabila itu dilakukan maka

dokter tersebut melanggar kode etik.

drg. Haris menyatakan bahwa tujuan dibentuknya media sosial yang

berisikan oleh korban akibat dari tukang gigi adalah menyadarkan

masyarakat untuk merawat gigi dengan benar dan berobat pada ahlinya

karena ketika terjadi kesalahan maka akan berakibat fatal bahkan

menimbulkan kematian. drg. Haris juga menghimbau masyarakat yang

mengetahui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang

pembinaan, pengawasan, dan perizinan, pekerjan tukang gigi untuk ikut

mengedukasi masyarakat yang belum mengetahui peraturan tersebut.

B. Pembahasan

Pembahasan penulis buat beberapa bagian untuk memperdalam


terhadap rumusan masalah yang penulis teliti.

1. Perlindungan Hukum bagi Pasien Tukang Gigi

Dalam hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUHPerdata,

dikenal adanya dua macam perjanjian, yaitu:


7

1) Inspanningsverbintenis, merupakan perjanjian upaya dimana kedua

belah pihak yang berjanji berdaya upaua secara maksimal untuk

mewujudkan apa yang diperjanjikan;

1) Resultaatverbintenis, merupkan perjanjian dimana pihak yang

berjanji akan memberikan suatu hasil (resultaat) yang nyata sesuai

dengan apa yang diperjanjikan.

Inspanningsverbintenis yang merupakan perjanjian upaya dimana

kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk

mewujudkan apa yang diperjanjikan terapeutik dimana dokter akan

berupaya melakukan pelayanan kesehatan dengan kesungguhan dan

mengerahkan seluruh kemampuannya sesuai dengan standar profesinya,

dengan kata lain perjanjian ini bukanlah kesembuhan dan mengerahkan

seluruh kemampuannya sesuai dengan standar profesinya, dengan kata lain

perjanjian ini bukanlah kesembuhan yang menjadi pokok utamanya

melainkan mencari upaya yang teoat untuk kesembuhan pasien.

Resultaatverbitenis merupakan perjanjian bahwa pihak yang

berjanji akan memberikan suatu resultaat atau hasil yang nyata sesuai

dengan apa yang diperjanjikan. Perjanjian ini dapat ditemukan pada

praktek tukang gigi dimana konsumen tukang gigi mendapatkan hasil susai

apa yang telah diperjanjikan. Seperti halnya ketika konsumen tukang gigi

memesan gigi tiruan maka tukang gigi tersebut berkewajiban untuk

membuat gigi tiruan susuai apa yang diharapkan oleh konsumennya.


7

Hubungan hukum tukang gigi dan pasiennya seharusnya adalah

Resultaatverbitenis karena hasil dari perjanjian itu nyata yaitu gigi palsu,

tukang gigi mempunyai wewenang untuk membuat dan memasang gigi

tiruan. Hubungan itu bergeser menjadi Inspanningsverbintenis saat tukang

gigi melakukan praktek diluar wewenangnya sebagai tukang gigi yaitu

melakukan perawatan secara medis yang seharusnya dilakukan oleh dokter

gigi yaitu seperti penambalan, pencabutan, dan memasang kawat gigi.

Pasal 6 ayat (2) Permenkes nomor 39 tahun 2014 tentang

Pembinaan, Pengawasan, dam Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi telah

mengatur jelas tentang wewenang tukang gigi, selain yang tertera pasa

Pasal 6 ayat (2) maka tukang gigi tersebut bertindak diluar wewenang.

Masyarakat yang datang ke tukang gigi kebanyakan tidak tahu

peraturan tentang kewenangan tukang gigi. Tidak sedikit masyarakat yang

mengeluh dengan perawatan yang dilakukan oleh tukang gigi. Maka dari

itu perlu dilakukan perlindungan hukum pada masyarakat yang menjadi

pasien tukang gigi tersebut. Perlindungan hukum adalah perlindungan

yang diberikan secara preventif maupun represif, baik tertulis maupun

tidak tertulis. Pemberian perlindungan hukum ini bertujuan untuk

memberikan keadilan ketertiban serta kepastian hukum bagi masyarakat.

Berdasarkan Pasal 3 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen, Tujuan dari perlindungan hukum kepada konsumen adalah:


7

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri;

b. meningkatkan harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan terbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

f. mengingatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, dan keselamatan konsumen.

Perlindungan konsumen sangat penting untuk konsumen agar

kedudukannya seimbang dengan pelaku usaha. Karena posisi konsumen

cenderung lebih lemah dibandingkan dengan pelaku usaha maka dari itu

untuk menghindarkan hal-hal yang merugikan konsumen maka diatur

dalam Pasal 8 Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

diterangkan bahwa:

a. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang:


7

1)tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan ketentuan perundang-undangan

2) tidak sesuai berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam

hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket

barang tersebut;

3) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah

dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

4) tidak sesuai dnegan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau

kemanjuran, sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebur;

5) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses

pengolahan gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana

dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa

tersebut;

6) tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa

tersebut;

7) tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu

penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;


7

8) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

9) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang

memuat nama barang, ukuran, berat/isi ersih atau netto,

komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,

nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk

penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

10) tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan

barang dalam bahasa Indonesia sesuai sengan ketentuan

perundang- perundangan yang berlaku;

11) pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat

atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara

lengkap dan benar atas barang yang dimaksud.

12) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan

pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau

tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

13) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada Ayat (1) dan

Ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa

tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Sampai saat ini secara universal diakui adanya hak-hak konsumen


7

yang harus dilindungi dan dihormati, yaitu:10

a. hak keamanan dan keselamatan,

b. hak atas informasi,

c. hak untuk memilih,

d. hak untuk didengar, dan

e. hak atas lingkungan untuk hidup.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis dapat

diketahui kelima tukang gigi yang dijadikan responden oleh penulis

melakukan tindakan diluar wewenang tukang gigi kepada pasiennya,

berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39

Tahun 2014 tentang pembinaan, pengawasan, dan perizinan, pekerjaan

tukang gigi. Diketahui dari hasil wawancara dua dari lima orang tukang

gigi mengetahui tentang Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun

2014 tentang pembinaan, pengawasan, dan perizinan, pekerjan tukang gigi

dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Hal ini menunjukkan

kurangnya pengetahuan tukang gigi terhadap peraturan mengenai

pekerjaan yang dilakukan. Kurangnya wawasan tukang gigi terhadap

peraturan mengenai pekerjaan tukang gigi akan mengakibatkan tindakan

yang dapat membahayakan keselamatan konsumen dengan melakukan

tindakan yang diluar wewenang sebagai tukang gigi,

10
Sri Redjeki Hartono, 2000, Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Kerangka Era
Perdagangan Bebas, Bandung: Mandar Maju, hlm. 38-39.
7

Tukang gigi membuka usaha tanpa tahu aturan yang mereka harus

taati sehingga berdampak dengan banyaknya pelanggaran yang dilakukan

oleh pelaku usaha kepada konsumennya dan menimbulkan kerugian pada

pasien.

Perlindungan preventif sudah dilaksanakan terlihat dari peraturan-

peraturn yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatur hubungan pelaku

usaha dengan konsumen namun, kurangnya pengetahuan pelaku usaha atas

aturan-aturan tersebut memicu terjadinya pelanggaran oleh pelaku usaha

ke konsumen. Pada dasarnya dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengupayakan agar barang

dan atau jasa layak bagi konsumen yang dapat diperanggungjawabkan

kualitasnya baik. Diharapkan pelaku usaha dapat melakukan kegiatan

usahanya sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga konsumen

terhindar dari kecurangan pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.

Sejauh ini peraturan-peraturan yang dibuat untuk melindungi

konsumen telah mampu melindungi konsumen akan tetapi, apabila tidak

ada itikad baik dari pelaku usaha dalam menjalankan pekerjaannya sesuai

ketentuan yang berlaku akan dapat membahayakan dan merugikan

konsumen. Kitab Undang-Undang Hukum perdata juga mengatur tentang

perlindungan hukum terhadap konsumen ditujukan agar konsumen dapat

terlindungi kepentingannya terhadap wanprestasi serta perbuatan melawan

hukum yang mengakibatkan kerugian konsumen yang diakibatkan oleh


7

tindakan pelaku usaha, dalam penulisan ini yang lebih berfokus kepada

tukang gigi sebagai pelaku usaha.

Pemerintah wajib memberikan pembinaan seperti yang di katakan

Bapak Agus selaku sekretaris Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta yang

menyatakan bahwa pembinaan rutin dilakukan Dinas Kesehatan Kota

Yogyakarta melalui puskesmas-puskemas yang satu wilayah dengan

tempat praktek tukang gigi yang terdaftar di Dinas Kesehatan.

Pembinaan merujuk pada Pasal 178, 179 dan 180 Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 178 Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah

dan pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan

setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya

kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.

Merujuk pada Pasal 10 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39

Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan

Tukang Gigi. mengatur tentang Pembinaan dan Pengawasan, yaitu:

a. Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, Perangkat Daerah dan/atau

organisasi Tukang Gigi melakukan pembinaan dan pengawasan sesuai

dengan kewenangan masing-masing

b. Pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1) diarahkan

untuk menjamin perlindungan kepada masyarakat.

c. Pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1) dapat berupa:


7

1) Supervisi secara berkala; dan

2) Pengarahan dan/atau penyuluhan secara berkala.

d. Pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1) ditunjukkan

agar tukang gigi tidak melakukan pekerjaan di luar kewenangan yang

telah ditetapkan oleh Peraturan Menteri ini.

Pembinaan bertujuan agar tukang gigi memiliki pengetahuan

tentang pekerjaan sesuai ketentuan yang berlaku Pasal 179 Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa:

a. Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 diarahkan untuk:

1) Memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses

atas sumber daya dibidang kesehatan;

2) Memfasilitasi dan melaksanakan penyelenggaraan upaya

kesehatan;

3) Memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan

pembekalan kesehatan, termasuk sediaan farmasi dan alat

kesehatan serta makanan dan minuman;

4) Memenuhikebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan standar dan

persyaratan;

5) Melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang

dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.

b. Pembinaan seagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan

melalui:
8

1) Komunikasi, Informasi, edukasi, dan pemberdayaan

masyarakat;

2) Pendayagunaan tenaga kesehatan;

3) Pembiayaan.

Praktek tukang gigi yang dilakukan diluar wewenang dan

merugikan konsumen melanggar Pasal 28 Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia 1945 yang memuat bahwa setiap orang berhak hidup

sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan pelayanan

kesehatan. Tindakan tukang gigi yang dilakukan diluar wewenang

beresiko akan terjadi kelalaian ataupun kesalahan tukang gigi dalam

menjalankan prakteknya dan berpengaruh besar dari akibat yang

ditimbulkan. Kerugian gangguan kesehatan yang ditimbulkan akibat

tindakan tukang gigi bertindak diluar wewenang.

Selain memberikan pembinaan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta

juga melakukan pengawasan pada tempat praktek tukang gigi apakah

sudah melaksanakan usahanya sesuai wewenang atau terdapat tindakan

diluar wewenang. Pengawasan bertujuan untuk mengontrol pekerjaan

tukang gigi agar menjalankan pekerjaan sesuai standar yang ditetapkan

pemerintah dan memberikan sanksi kepada tukang gigi yang melanggar

atau menyalahgunakan pekerjaannya.

Tukang gigi yang didapati melakukan tindakan diluar wewenang

maka Dinas Kesehatan Kota Yogakarta memberikan sanksi administratif


8

berupa teguran tertulis kemudian apabila tindakan tersebut masih

dilakukan maka akan ditinjak lanjuti kembali dengan menutup atau

pencabutan izin sementara tempat praktek tukang gigi dan apabila masih

dilakukan tindakan diluar wewenang tukang gigi Pasal 6 Ayat (2)

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang pembinaan,

pengawasan, dan perizinan, pekerjan tukang gigi maka akan ditindak

dengan mencabutan izin praktek tukang gigi yang bertindak diluar

wewenang tersebut sesuai dengan tatacara Pengawasan yang ada pada

Pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang

pembinaan, pengawasan, dan perizinan, pekerjan tukang gigi namun

sejauh ini menurut Agus belum ada kejadian seperti itu sekali diberikan

teguran mereka sudah tidak lagi melakukan tindakan diluar wewenang.

Sanksi administratif seringkali lebih efektif dibandingkan dengan

saksi perdata atau pindana. Ada beberapa alasan untuk mendukung

pernyataan ini. 11
Pertama, sanksi adminisratif dapat diterapkan secara

langsung dan sepihak. Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak

pemberi izin tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak

manapun. Persetujuan, kalaupun itu dibutuhkan, mungkin dari instansi-

instansi Pemerintah terkait. Sanksi administratif juga tidak perlu melalui

proses pengadilan. Bagi Pihak yang terkena sanksi ini dibuka kesempatan

untuk membela diri, antara lain mengajukan kasus tersebut ke Pengadilan

11
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hlm.84.
8

Tata Usaha Negara, tetapi sanksi itu sendiri dijatuhkan terlebih dulu,

sehingga berlaku efektif.

Kedua, sanksi perdata dan/atau pidana sering tidak membawa efek

jera bagi pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin

tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari

perbuatan negatif produsen belum lagi mekanisme penjatuhan putusan itu

yang biasanya berbelit-belit dan membutuhkan proses yang lama, sehingga

konsumen sering menjadi tidak sabar. Gugatan secara perdata, konsumen

juga dihadapkan posisi tawar menawar yang tidak selalu menguntungkan

dibandingkan dengan si produsen.

Penulis berpendapat bahwa sanksi administratif lebih efektif

daripada sanksi-sanksi lainnya. Sanksi administratif ini berkaitan dengan

perizinan yang diberikan oleh pemerintah, apabila pelaku usaha melanggar

ketentuan peraturan yang telah pemerintah keluarkan, maka pemerintah

terkait dapat mencabut izin usaha dari pelaku usaha tersebut. Hal tersebut

bertujuan untuk menghentikan kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku

usaha karena tindakan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan berlaku

sehingga dapat melindungi konsumen dari perbuatan curang atau

menyimpang dari pelaku usaha yang dapat merugikan konsumen.

Bentuk tindak lanjut atau pengawasan yang dilakukan Dinas

Kesehatan adalah masih dalam tahap peringatan biasanya tukang gigi yang

diketahui menyalah gunakan wewenang sekali diingatkan sudah tidak


8

melakukan pelanggaran yang sama sehingga tindakan yang dilakukan dinas

kesehatan masih dalam teguran kepada oknum tukang gigi yang bertindak

diluar wewenang belum ada yang sampai dicabut ijinnya kemudian dari segi

konsumen tukang gigi Agus menyatakan belum ada laporan yang masuk

tentang keluhan kerugian yang diakibatkan praktek tukang gigi yang sudah

mempunya izin dari dinas kesehatan namun, apabila ada konsumen yang

merasa dirugikan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, mengenai jasa memenuhi unsur apabila merasa

dirugikan terhadap jasa praktek tukang gigi, karena mengenai jasa

merupakan suatu prestasi yang diberikan sehingga ada akibatnya. Ketika

konsumen merasa dirugikan terhadap pelayanan praktek tukang gigi yang

bertindak diluar wewenang yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 39 Tahun 2014 tentang pembinaan, pengawasan, dan perizinan,

pekerjan tukang gigi bisa melapor ke Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen sepanjang konsumen yang merasa dirugikan mempunya bukti

yang kuat sebagai tindakan perlindungan hukum represif.

Berdasarkan hasil Wawancara dengan Agus, Sekretaris Dinas

Kesehatan Kota Yogyakarta pelaksanaan pembinaan dan pengawasan aman

terkendali namun, yang melakukan tindakan diluar wewenang adalah

tukang gigi yang tidak terdaftar di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta

sehingga tidak terawasi dengan baik bagaimana kegiatan tukang gigi yang

tidak berijin di Kota Yogyakarta kedepannya Dinas akan menertibkan

klinik-klinik gigi yang tidak berizin karena Dinas Kesehatan Kota


8

Yogyakarta sudah tidak memberikan izin praktek kepada tukang gigi baru.

Agus juga mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengawasi

pertumbuhan tukang gigi tidak berizin di Kota Yogyakarta yang tujuannya

adalah memperkecil resiko kesalahan dalam melakukan tindakan pada

konsumen sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.

Perlindungan hukum represif mulai muncul saat terjadi kerugian

yang dirasakan oleh pasien. Kerugian yang diderita seseorang secara garis

besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu kerugian yang menimpa diri dan

kerugian yang menimpa harta benda sesorang. Kerugian harta benda sendiri

dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang

diharapkan. 12
Kerugian yang didapat berupa kerugian atas diri (fisik)

seseorang atau kerugian yang menimpa harta benda, namun apabila

dikaitkan dengan ganti kerugian, maka keduanya dapat dinilai dengan uang

(harta kekayaan). Kerugian harta benda dapat pula berupa kehilangan

keuntungan yang diharapkan, maka pengertian kerugian seharusnya adalah

berkurangnya/tidak diperolehnya harta kekayaan pihak yang satu, yang

disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar

norma oleh pihak lain.13

12
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit., hlm.133.
13
Ibid.
8

2. Pertanggung Jawaban Hukum bagi Pasien Tukang Gigi

Perbuatan melawan hukum menurut ketentuan Pasal 1365

KUHPerdata menyatakan bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan

membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang

menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian

tersebut. Selanjutnya pada Pasal 1366 diterangkan bahwa setiap orang

bertanggung jawab, bukan hanya atas kekerugian yang disebabkan

perbuatannya, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian dan

kurang hati-hati.

Ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum dapat dituntut

tanpa di dahului dengan suatu perjanjian antara konsumen dengan pelaku

usaha, yang dimaksud disini adalah bahwa setiap pihak yang merasa

dirugikan dapat melakukan tuntutan meskipun tidak pernah ada perjanjian

antara konsumen dengan pelaku usaha. Seseorang baru dapat dimintakan

pertanggung jawabannya secara hukum apabila ada unsur kesalahan yang

dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata, yang lazim dikenal sebagai Pasal

tentang perbuatan melawan hukum mengharuskan terpenuhinya empat

unsur pokok, yaitu:14

a. Ada perbuatan;

b. Ada unsur kesalahan;

c. Adanya kerugian yang diderita;

14
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Ibid., hlm.93.
8

d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Perbuatan yang melanggar hukum pembuktiannya dititik beratkan

pada adanya kausalitas antara kesalahan dengan kerugian. Yurisprudensi

yang dianut Belanda diterapkan empat kriteria perbuatan melanggar hukum,

antara lain:

a. Perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;

b. Perbuatan itu melanggar hak orang lain;

c. Perbuatan itu melanggar kaidah tata susila;

d. Perbuatan itu bertentangan dengan asas kepatuhan, ketelitian serta

sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan

dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang

lain.

Dari hasil wawancara terhadap kelima pasien tukang gigi dapat

dilihat bahwa hanya 1 dari 5 orang yang mengetahui tentang Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang pembinaan, pengawasan,

dan perizinan, pekerjan tukang gigi dan tidak satupun pasien yang mengerti

apabila perawatan gigi yang mereka laukan bersangkutan dengan Undang-

Undang Perlindungan Konsumen sehingga pengetahuan pasien tukang gigi

tentang batasan wewenang tukang gigi masih sangatlah rendah Tingkat

pengetahuan konsumen terhadap batasan apa yang boleh dan tidak boleh

dilakukan oleh tukang gigi dalam menjalankan prakteknya masih terbilang

kurang disebabkan oleh informasi yang kurang memadai. Konsumen yang


8

cerdas adalah konsumen yang mengetahui hak-haknya, salh satunya hak

untuk mendapatkan informasi. Konsumen yang mengetahui batasan

pekerjaan tukang gigi, akan terhindar dari kerugian praktek tukang gigi

yang tidak sesuai dengan kewenangannya.

Tukang gigi berkewajiban untuk menyampaikan informasi yang

benar kepada konsumen mengenai tindakan yang dilakukan oleh tukang gigi

sebagai pelaku usaha. Dalam UUPK itikad baik sangat ditekankan oleh

pelaku usaha dala melakukan kegiatannya hal ini dimaksudkan untuk

menghindari kerugian bagi konsumen. Pentingnya penyampaian informasi

yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk tertentu.

Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa

representasi, peringatan, maupun berupa instruksi.15 Disamping itu dalam

hal pemberian informasi pemerintah harus ikut berperan aktif

mensosialisasikan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat.

Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen menyatakan bahwa:

a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberi ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

b. Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud Ayat (1) dapat berupa

pengembalian barang dan/atau jasa yang sjenis atau setara nilainya, atau

15
Celina Tri Kristiyanti, Op.cit., hlm.44.
8

perawatan kesehatn dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Pemberian ganti rugi sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1) dan

Ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa

kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting

dalam hukum perlindungan konsumen. Kasus pelanggaran hak konsumen,

diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis yang harus bertanggung jawab

dan seberapa jauh tanggung jawab dapat diebankan kepada pihak-pihak

terkait.16Tukang gigi sebagai pelaku usaha bertanggung jawab penuh atas

produk yang dihasilkan, sehingga konsumen dapat dilindungi dari praktek

tukang gigi yang tidak sesuai dan dapat menimbulkan kerugian. Tukang gigi

harus memenuhi standar yang baik dalam menjalankan kegiatan usahanya,

sehingga sarat keamanan bagi konsumen dapat terpenuhi.

Keadaan dalam penelitian ini menurut para ahli merupakan

penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan dapat timbul karena

adanya posisi yang tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen. Oleh

karena itu, menurut penulis perjanjian yang tidak sesuai dengan Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata antara konsumen dengan tukang gigi

tersebut merupakan keadaan yang mendesak dimana konsumen

16
Shidarta, Ibid., hlm.59.
8

membutuhkan berawatan gigi yang murah namun tanpa keahlian dari

tukang gigi tersebut.

Persoalan penyalahgunaan keadaan, memang belum diadopsi

kedalam KUHPerdata walaupun demikian, ketidak adaan pengaturan

tersebut tidak berarti penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan

tidak dapat diterapkan dalam penyelesaian kasus-kasus perdata di Indonesia.

UUPK sendiri secara umum membuka kemungkinan pengajuan gugatan

oleh konsumen kepada pelaku usaha berdasarkan faktor penyalahgunaan

keadaan ini. Penjelasan Pasal 2 UUPK menyebutkan adanya lima asas

perlindungan konsumen, yaitu asas manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan dan keselamatan serta kepastian hukum. Pada asas keadilan,

dijelaskan seluruh rakyat diupayakan agar dapat berpartisipasi semaksimal

mungkin dan agar dapat diberi kesempatan kepada konsumen dan pelaku

usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil.

Pada asas keseimbangan disebutkan, perlu diberi keseimbangan antara

produsen dan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Pasal 4 Huruf g

UUPK menyebutkan pula, salah-satu hak konsumen adalah hak untuk

diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Penjelasan dari ketentuan tersebut secara jelas dapat ditafsirkan sebagai

keterikatan dengan larangan penyalahgunaan keadaan.17

17
Ibid., hlm. 122.
9

Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan merupakan prinsip

yang bertentangan dengan hukum, yang berarti bertentangan dengan

Undang-Undang, kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Prinsip ini

mengharuskan bahwa orang berbuat sehingga menimbulkan kesalahan

untuk mengganti kerugian bagi pihak yang dirugikan. Prinsip praduga untuk

selalu bertanggungjawab merupakan tergugat selalu dianggap

bertanggungjawab sampai dapat membuktikan bahwa tergugat tidak

bersalah, berarti beban pembuktian ada pada tergugat. Prinsip praduga

untuk tidak selalu bertanggung jawab merupakan kebalikan dari prinsip

praduga untuk selalu bertanggung jawab, bahwa pelaku usaha tidak harus

bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan. Prinsip tanggung jawab

mutlak merupakan prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan

tidak sebagai faktor yang menentukan namun, ada pengecualian yang

memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab. Prinsip tanggung

jawab mutlak dapat melindungi konsumen yang dirugikan dari pelaku usaha

yang dalam kegiatan usahanya melanggar jaminan yaitu khasiat yang timbul

tidak sesuai dengan janji, adanya unsur kelalaian yaitu pelaku usaha tidak

memenuhi standar. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan merupakan

dimana pelaku usaha mencantumkan ketentuan standar yang dibuatnya

sendiri.

Berdasarkan wawancara dengan drg. Rifky Alharis pemilik media

sosial yang berisikan oleh korban akibat dari tukang gigi yang juga

merupakan anggota Pusat data dan informasi PB PDGI. Menurut Drg.


9

Rifky Tukang Gigi sudah ada serikatnya sendiri keberadaannya memang

diakui oleh dinas kesehatan maka dari itu Dokter Gigi tidak berwenang

untuk berkomentar tentang keberadaan Tukang Gigi. Dokter Gigi merasa

punya andil dalam kasus korban tukang gigi yang ada selama ini karena

telah banyak korban yang memperihatinkan dan mendatangi Dokter Gigi

untuk memperbaiki giginya yang rusak akibat tindakan yang dilakukan

Tukang Gigi dan salah satu tugas Dokter Gigi adalah mengedukasi tentang

kesehatan gigi dan mulut maka dari itu Dokter Gigi merasa terpanggil untuk

menangani kasus korban dari tukang gigi tersebut. Alasan masyarakat lebih

memilih tukang gigi daripada dokter gigi karena biaya lebih murah, tidak

mau repot (tindakan dokter harus melalui beberapa tahapan sesuai kondisi

gigi), ketidaktahuan masyarakat tentang kewenangan tukang gigi,

masyarakat menganggap tukang gigi adalah kearifan lokal.

Dalam beberapa kasus korban tukang gigi membawa kerusakan

giginya kepada dokter gigi, belum tentu dokter gigi tersebut dapat

menangani karena kebanyakan kerusakan gigi pada pasien sudah sangat

parah bahkan ada yang sudah menjadi tumor. Pasien tukang gigi meminta

pertanggungjawaban kepada tukang gigi, namun seringkali tukang gigi

tersebut sudah tidak dapat ditemui atau menyatakan tidak sanggup untuk

bertanggung jawab atas kerusakan gigi pasien tersebut. Menurut drg. Haris,

sejauh ini pasien tukang gigi tidak ada yang menempuh jalur hukum

dikarenakan mereka berfikir bahwa akan mengeluarkan banyak biaya dalam

prosesnya.
9

Menurut drg. Haris, behelshop bukanlah tukang gigi. Serikat tukang

gigi sendiri tidak mengakui behelshop sebagai tukang gigi karena

memasang behel jelas melanggar kewenangan tukang gigi. Behelshop

sangat menyalahi kewenangan karena selain memasang behel juga melayani

tambal gigi, cabut gigi dan veneer. Dokter gigi yang belum mengambil

spesialis tidak diperbolehkan memasang behel, apabila itu dilakukan maka

dokter tersebut melanggar kode etik.

drg. Haris menyatakan bahwa tujuan dibentuknya media sosial yang

berisikan oleh korban akibat dari tukang gigi adalah menyadarkan

masyarakat untuk merawat gigi dengan benar dan berobat pada ahlinya

karena ketika terjadi kesalahan maka akan berakibat fatal bahkan

menimbulkan kematian. drg. Haris juga menghimbau masyarakat yang

mengetahui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang

pembinaan, pengawasan, dan perizinan, pekerjan tukang gigi untuk ikut

mengedukasi masyarakat yang belum mengetahui peraturan tersebut.

Wewenang tukang gigi dalam Pasal 6 ayat (2) Permenkes 39/2014):

a. Membuat gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yag terbuat dari

bahan heat curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan;

dan

b. memasang gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari

bahan heat curing acrylic dengan tidak menutupi sisa akar gigi.

Kemudian dijelaskan kembali dalam Pasal 9 Permenkes 39/2014:


9

tukang gigi dilarang:

a. melakukan pekerjaan selain kewenangan yang diatur dalam pasal 6 ayat

(2);

b. mewakilkan pekerjaannya kepada orang lain;

c. melakukan promosi yang mencantumkan pekerjaan selain yang diatur

dalam Pasal 6 ayat (2); dan

d. melakukan pekerjaan secara berpindah-pindah.

Negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan

kesehatan keapada masyarakat oleh tenaga kesehatan yang memiliki

keahlian serta kewenangan dan ditingkatkan mutunya melalui pemberian

sertifikasi, pembinaan dan pengawasan, dan pemantauan sebagaimana diatur

dalam Pasal 28H Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945.

Tanggung jawab pemerintah untuk melindungi konsumen dalam

penyediaan jasa tukang gigi dengan cara pembinaan dan pengawassan

sebagai perlindungan preventif dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran

yang dilakukan sebagai perlindungan represif. Sehingga konsumen

mendapatkan pelayanan yang bermutu dan jaminan kualitas barang dan/atau

jasa yang akan diterima. Pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab

terhadap konsumen dalam penyediaan pelayanan praktek jasa tukang gigi

agar dapat melindungi masarakat dari praktek tukang gigi yang memberikan

layanan diluar wewenangnya sebagai tukang gigi. Pemerintah melalui

kementrian Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan


9

Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan,

Pekerjaan Tukang Gigi.

Tukang gigi mempunyai tanggungjawab untuk mengganti kerugian

yang dialami pasiennya. Perawatan yang diberikan tukang gigi harus sesuai

dengan wewenang yang diberikan oleh pemerintah. Tukang gigi yang

bertindak diluar wewenang dan membuat pasien mengalami kerugian,

tukang gigi tersebut harus bertanggungjawab mengganti kerugian pasiennya

dengan cara memberikan perawatan untuk memperbaiki kerusakan giginya

atau mengembalikan uang perawatan yang telah pasien keluarkan selama

perawatan.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perlindungan Hukum bagi Pasien Tukang Gigi di Yogyakarta

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi

konsumen maupun pelaku usaha. Tindakan tukang gigi yang

melakukan praktek di luar kewenangannya merupakan tindakan yang

melawan hukum. Pada dasarnya menurut Pasal 6 Ayat (2) Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan,

Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi. Tukang gigi

hanya diperbolehkan membuat dan memasang gigi tiruan dari bahan

akrilik bukan dari bahan porselen namun, dalam prakteknya 5 tukang

gigi di Yogyakarta yang penulis jadikan responden melakukan

pencabutan gigi, penambalan, dan pemasangan kawat gigi, serta

perawatan gigi lainnya yang biasa dilakukan oleh dokter gigi.

Perlindungan Preventif diperlukan untuk mencegah terjadinya

kerugian pada konsumen. Dinas kesehatan Kota Yogyakarta

melakukan perlindungan preventif dengan melakukan pembinaan

berkala dan pengawasan kepada tukang gigi yang beroprasi di Kota

Yogyakarta untuk mencegah terjadinya pelanggaran praktek diluar

wewenang oleh tukang gigi, agar tidak merugikan pasien tukang gigi.

95
9

Pengawasan represif juga diterapkan oleh dinas kesehatan Kota

Yogyakarta jika terjadi laporan tentang pelanggaran yang dilakukan

oleh tukang gigi yang menyebabkan kerugian pada pasien dapat

menindak tegas tukang gigi dengan memberikan sanksi secara

administratif.

2. Pertanggung Jawaban Hukum Bagi Pasien Tukang Gigi di

Yogyakarta

Tukang gigi yang melakukan tindakan diluar kewenangannya,

dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Dalam melindungi

konsumen dari tindakan tukang gigi yang dapat merugikan, konsumen

dihimbau untuk kritis dan berani memperjuangkan haknya apabila

mengalami kerugian. Konsumen juga dapat memperjuangkan haknya

apabila tukang gigi bertindak diluar wewenang sesuai dengan Pasal 6

Ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang

Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi.

Konsumen harus mendapatkan informasi tentang peraturan-peraturan

yang ada agar mengetahui hak-haknya sehingga terbebas dari praktek

tukang gigi yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan,

Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi yang merugikan

kesehatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan korban tukang gigi di

Kota Yogyakarta yang penulis lakukan tidak ada tukang gigi yang

bertanggungjawab atas kerugian yang diderita pasien.


9

B. Saran

1. Dinas kesehatan Kota Yogyakarta harus lebih meningkatkan

pengawasan terhadap tukang gigi yang terdaftar agar melakukan

praktek sesuai wewenangnya di dalam Pasal 6 Ayat (2) Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan,

Pengawasan dan Perizinan, Pekerjaan Tukang Gigi. Dinas kesehatan

Kota Yogyakarta juga harus menindak tukang gigi yang belum

memiliki izin pada dinas kesehatan karena keberadaan tukang gigi

ilegal lebih riskan karena Dinas Kesehatan tidak dapat mengawasi

tukang gigi ilegal tersebut secara berkala karena bukan merupakan

tanggung jawab Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta sehingga,

kedepannya karena Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta sudah tidak

mengeluarkan izin pada tukang gigi baru maka lebih tukang gigi

yang tidak terdaftar tersebut untuk ditutup secara paksa karena

beresiko untuk menimbulkan kerugian kepada konsumen lebih besar

dan tukang gigi juga dapat bertanggungjawab atas perbuatan yang

dilakukannya.

2. Tukang gigi harus bisa bertanggungjawab dengan perbuatan yang

dilakukan. Mengganti rugi adalah kewajiban pelaku usaha jika

terjadi kerugian yang dialami konsumen. Harusnya dibuat perjanjian

sebelum melakukan jasa, pasien dapat meminta perjanjian kepada

tukang gigi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pustaka

Amirudin dan Asikin, Zaenal, 2004, Pengantar Metodologi Penelitian


Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo

Anwar, Saifudin, 2005, Metode Penelitian, Jakarta: Pustaka Belajar.

Asbell, Milton B, 2001, A Brief Hidtory of Orthodonics, (American Journal


of Orthodontics and Dentofacial Orthopedics vol 98)

Ashofa, Burahman, 2010, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.

Nasution, Az, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,


Jakarta : Diadit Media.

Ramadhan, Ardyan Gilang, 2010, Serba-serbi Gigi dan Mulut, Jakarta :


Bukune.

Siswati, Sri, 2015, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta : UI Press.

Soekanto, Soerjono, dan Mamuji, Sri, 1986, Penelitian Hukum Normatif


Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Rajawali.

Soewono, Hendrojono, 2006, Perlindungan Hak-hak Pasien dalam


TransaksiTerapeutik, Surabaya : Srikandi.

Shofie, Yusuf, 2003, Perlindungan Konsumen, Bandung: PT. Citra Aditya


Bakti

Tri Siwi Kristiyanti, Celina, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:


Sinar Grafika.

2. Penulis Hukum

Rabiwaldhy, Ari, 2002, Tinjauan Yuridis terhadap Praktik Tukang Gigi di


Jakarta Selatan (tesis), Yogyakarta: Fakultas Hukum Gajah Mada.
Sinduningrum, Aryani, 2015, Perlindungan Hukum Terhadap Pasien
Pengguna jasa Tukang Gigi Sebagai sebuah Pelayanan Kesehatan
Tradisional (Skripsi) Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

3. Peraturan Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Pembinaan


Pengawasan dan Perizinan Pekerjaan Tukang Gigi.

4. Website

Forum Dokter Gigi, (2017, 21 Oktober) Biaya Pasang Behel di Dokter Gigi
2017, https://www.forumdoktergigi.com/biaya-pasang-behel-di-
dokter-gigi-2017/

Dentamedia, (2017, 22 Oktober) Pemasangan Behel oleh Bukan Dokter


Gigi Ancaman Keselamatan Masyarakat,
http://www.dentamedia.co/2011/01/Pemasangan-behel-oleh -
bukandokter-gigi.html

Keselamatanmulut.com, (2017, 22 Oktober) Waspada Bahaya dan Akibat


Memakai behel di Ahli Gigi, http://kesehatan mulut.com/waspadai-
bahaya-dan-akibat-memeakai-behel-di-ahli-gigi/

Anda mungkin juga menyukai