Anda di halaman 1dari 33

TAFSIR MUQARAN

SURAT AN-NISA AYAT 29 DAN 34

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pembuatan Makalah Pada Mata Kuliah Tafsir Muqaran

Dosen Pengampu: Saeful Arif, MA

Disusun Oleh :

Dodik Nurul Yaman

Ichsan Hidayat

M Syamsuddin

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL QUR’AN JAKARTA

2022/2023 M

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
dan hidayah-Nya kepada seluruh umat manusia, sehingga kita dapat merasakan iman dan
islam.

Sholawat beserta salam kepada nabi Muhammad SAW yang membawa kita dari
zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang yakni dengan adanya agama islam.

Tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Nasaruddin Umar M.Ag selaku rektor institut PTIQ Jakarta yang
telah menyediakan berbagai fasilitas belajar kampus.

2. Saeful Arif, MA selaku dosen pengampu yang telah memberikan pengarahan


yang sangat berarti bagi penyusunan makalah ini.

3. Rekan-rekan yang telah membantu hingga selesainya makalah ini.

Penyusun menyadari bahwan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi perbaikan dan
pengembangan makalah ini.

Demikian makalah ini dibuat, semoga dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, 10 Oktober 2022

Pemakalah

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah......................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
A. Tafsir Al Maraghi.........................................................................................................................5
1. Biografi Ahmad Musthafa Al Maraghi..................................................................................5
2. Tafsir Surat An-Nisa ayat 19.................................................................................................7
3. Tafsir Surat An-Nisa ayat 34...............................................................................................10
B. Tafsir Ibnu Katsir: Tafsir al-Qur'an al-Adzim.............................................................................13
1. Biografi Ibnu Katsir.................................................................................................................13
2. Tafsir Surat An-Nisa ayat 34...................................................................................................14
3. Tafsir Surat An-Nisa ayat 19...................................................................................................20
C. Tafsir Al Munir...........................................................................................................................24
1. Biografi Wahbah Az Zuhaili....................................................................................................24
2. Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19..................................................................................................25
3. Tafsir Surat An-Nisa Ayat 34..................................................................................................26
D. Analisis Perbedaan dan Persamaan Penafsiran...........................................................................29
E. Kontekstualisasi..........................................................................................................................30
BAB III...............................................................................................................................................32
PENUTUP..........................................................................................................................................32
Kesimpulan......................................................................................................................................32
Daftar Pustaka...................................................................................................................................33

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Beberapa saat yang lalu, kita disuguhkan berita mengenai adanya Tindakan kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi dalam keluarga pasangan artis yang di depan
public terlihat harmonis. Sebenarnya kejadian semacam ini memang seringkali terjadi di
tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut kepercayaan Islam. Jika mengacu
kepada teori gunung es atau ice berg, fenomena yang muncul di permukaan hanyalah
secuil kejadian yang memiliki latar belakang serta mental model yang variatif. Hal ini
bisa saja terjadi karena adanya pengaruh atau pemahaman yang salah dari segi agama.
Pada makalah ini, kami menyajikan bahasan mengenai dua ayat yang berpotensi disalah
pahami oleh masyarakat, sehingga memicu terjadinya Tindakan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Dua ayat tersebut adalah surat An-Nisa ayat 19 dan 34, yang mana pada
ayat ini terdapat konten seperti arrijalu qowwamuna ‘alan nisa yang mengindikasikan
superioritas kaum lelaki atas perempuan. Ada juga istilah wadhribuhunna yang
mengindikasikan adanya kebolehan suami untuk memukul istri.
Apakah betul demikian adanya? Lantas bagaimana cara memahami ayat ini dengan
benar? untuk itu kami mencoba mengupas masalah tersebut dengan cara membandingkan
penafsiran dari tiga kitab tafsir yakni Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-
Munir.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penafsiran surat An-Nisa ayat 19 dan 34?
2. Apa saja perbedaan dan persamaan tafsir pada surat An-Nisa ayat 19 dan 34?
3. Apa kontekstualisasi surat An-Nisa ayat 19 dan 34?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tafsir Al Maraghi
1. Biografi Ahmad Musthafa Al Maraghi
Nama lengkap al-Maraghi adalah Ahmad Musthafa bin ‘Abd al Mu’in al-Maraghi,
saudara kandung Syaikh Muhammad Musthafa al-Maraghi, direktur kajian tafsir. Beliau
dilahirkan di Maragha, daerah pemerintahan Jurja pada tahun 1300 H1

Ahmad Musthafa al-Maraghi berasal dari keluarga ulama yang taat dan menguasai
berbagai bidang ilmu agama. Hal ini dapat dibuktikan bahwa lima dari delapan orang putra
Syeikh Musthafa al-Maraghi (ayah Ahmad Musthafa al-Maraghi) adalah ulama besar yang
cukup terkenal, yaitu

Syeikh Muhammad Musthafa al-Maraghi yang pernah menjadi Syeikh al-Azhar selama
dua periode, sejak tahun 1928 hingga tahun 1930 dan 1935 hingga tahun 1945, Syeikh
Ahmad Musthafa al-Maraghi, pengarang kitab Tafsir al-Maraghi, Syeikh Abd. Aziz al-
Maraghi, Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar dan Imam Raja Faruq, Syeikh
Abdullah Musthafa al-Maraghi, Inspektor umum pada Universitasal-Azhar, Syeikh Abd
Wafa Musthafa al-Maraghi, Sekretaris badan penelitian dan pengembangan Universitas al-
Azhar.2

Muhammad Musthafa al-Maraghi berasal dari keluarga ulama intelek. Al-Maraghi waktu
kecil, oleh orang tuanya, disuruh belajar al-Qur’an dan bahasa Arab di kota kelahirannya dan
selanjutnya memasuki pendidikan dasar dan menengah. Terdorong keinginan agar al-Maraghi
kelak menjadi ulama terkemuka, orang tuanya menyuruhnya agar al-Maraghi untuk
melanjutkan studinya di al-Azhar. Di sinilah ia mendalami bahasa Arab, tafsir, hadits, fiqih,
akhlak, dan ilmu falak. Selain itu ia juga mengikuti kuliah di Universitas Darul ‘Ulum Kairo.

Dengan kesibukannya di dua perguruan tinggi ini, al-Maraghi dapat disebut sebagai orang
yang ulet, sebab keduanya berhasil diselesaikan pada saat yang sama, tahun 1909 M. Di
kedua Universitas tersebut, al-Maraghi mendapatkan bimbingan langsung dari tokoh-tokoh
ternama dan ahli di bidangnya masing-masing pada waktu itu. Seperti, Syekh Muhammad
Abduh, Syekh Muhammad Bukhait al-Muthi’i, Ahmad Rifa’i al- Fayumi, dan lain-lain.
Merekalah antara lain yang menjadi narasumber bagi al-Maraghi, sehingga Ia tumbuh
menjadi sosok intelektual muslim yang menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama Dalam
masa studinya telah terlihat kecerdasan al-Maraghi yang menonjol, sehingga ketika
menyelesaikan studinya pada tahun 1904 M, ia tercatat sebagai alumnus terbaik dan termuda.

Setama pendidikannya, ia menjadi guru besar di beberapa sekolah menengah. Kemudian


ia diangkat menjadi direktur sebuah sekolah guru di Fayum, kira-kira 300 km di sebelah barat
1
Husnul Hakim, Ensiklopedia Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-KItab Tafsir Dari Masa Klasik
sampai Masa Kontemporer), Depok: Lingkaran Studi Al-Quran, 2013, hal. 204
2
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsir Al- Maraghi, (Jakarta: PT. CV. Pedoman Ilmu
Jaya, 1997), hal 16

5
daya Cairo. Pada masa selanjutnya al-Maraghi semakin mapan, baik sebagai birokrat maupun
sebagai intelektual muslim. Ia menjadi qadi (hakim) di Sudan sampai menjadi qadi al-qudat
hingga tahun 1919 M.3 Kemudian ia kembali ke Mesir pada tahun 1920 M dan menduduki
kepala jabatan Mahkamah Tinggi Syari’ah. Pada Mei 1928 ia diangkat menjadi Rektor al-
Azhar. Pada waktu itu ia baru berumur 47 tahun, sehingga tercatat sebagai rektor termuda
sepanjang sejarah Universitas al-Azhar.

Selama di Universitas Al-Azhar ia juga menjadi dosen Bahasa Arab dan Ilmu-ilmu
Syari’ah Islam di Dar al-Ulum sampai tahun 1940. Selain itu, ia juga mengajar Ilmu
Balaghah dan Sejarah kebudayaan Islam di Fakultas Adab Universitas al-Azhar dan Dar al-
Ulum, sekaligus menetap sampai akhir hayatnya di daerah al-Huwwa, sehingga setelah wafat,
namanya diabadikan sebagai nama salah satu jalan menuju kota itu, jalan al-Maraghi.4

Al-Maraghi telah melahirkan ratusan ulama, pelajar serta ribuan sarjana yang dapat
dibanggakan oleh lembaganya masing-masing, beberapa di antaranya berasal dari Indonesia,
seperti: Abdul Razaq al-Amudy, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Ibrahim Abdul Halim,
dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mastur Jaghuhri, dosen IAIN Antasari Banjarmasin,
Muhktar Yahya guru besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.5

Sebagai ulama, al-Maraghi memiliki kecenderungan bukan hanya kepada bahasa Arab,
tetapi juga kepada ilmu tafsir, dan minatnya itu melebar sampai pada ilmu fiqih.
Pandangannya tentang Islan terkenal tajam menyangkut penafsiran al-Qur’an dalam
hubungannya dengan kehidupan sosial dan pentingnya kedudukan akal dalam menafsirkan al-
Qur’an. Dalam bidang ilmu tafsir, ia memiliki karya yang sampai kini menjadi literatur wajib
diberbagai perguruan tinggi Islam diseluruh dunia, yaitu tafsir al-Maraghi yang ditulisnya
selama 10 tahun. Tafsir tersebut terdiri dari 30 juz, telah diterjemahkan kedalam beberapa
bahasa, termasuk bahasa Indonesia.6

Al-Maraghi adalah seorang ulama yang produktif dalam menyampaikan pemikirannya


melalui tulisannya yang terbilang banyak, sebab di samping kedua buku tersebut di atas
masih terdapat sejumlah tulisannya, antara lain:’Ulum al-Balagah, Hidayah at-Talib, Buhus
wa Ara’, Tarikh ‘Ulum al- Balagah wa Ta’rif bi Rijaliha, Mursyid at-Tullab, al-Mujaz fi al-
Adab al-‘Arabi, al-Mujaz fi ‘Ulum al Usul, ad-Diyanah wa al-Akhlak, al- Hisbah fi al-Islam,
al-Rifq bi al-Hayawanfi al-Islam, Syarah Tsalasin Hadisan, Tafsir Innama as-Sabil, Risalah fi
Zaujat anNabi, Risalah Isbat Ru’yahal-Hilal fi Ramadan, al-Khutbah wa al-Khutaba’ fi
Daulah al- Umawiyyah wa al-‘Abbasiyyah, dan al-Mutala’ah al- ‘Arabiyyah li al-Madaris as-
Sudaniyyah.7

3
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 4, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoave, 2005), hal. 282.
4
Abdul Jalal, Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir al-Nur: Sebuah Study Perbandingan, (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga, 1985), hal.114
5
M. Khoirul Hadi, Karakteristik Tafsir Al-Maraghi Dan Penafsirannya Tentang Akal, Hunafa: Jurnal
Studia Islamika, Vol.11 No. 1, 2014, hal. 159
6
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, hal. 282
7
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, al-Fatḥ al-Mubin fi Ṭabaqat al-Uṣuliyyin, (Beirut: Muḥammad Amin,
1934), hal. 202-204

6
2. Tafsir Surat An-Nisa ayat 19
a. Bunyi ayat dan Terjemahan

َ ‫ض َمٓا ٰاتَ ْيتُ ُم ْوهُنَّ آِاَّل اَنْ يَّْأتِيْنَ بِفَا ِح‬


‫ش ٍة ُّمبَيِّنَ ٍة‬ ُ ‫س ۤا َء َك ْرهًا ۗ َواَل تَ ْع‬
ِ ‫ضلُ ْوهُنَّ لِت َْذ َهبُ ْوا بِبَ ْع‬ َ ِّ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا اَل يَ ِح ُّل لَ ُك ْم اَنْ تَ ِرثُوا الن‬
‫هّٰللا‬ ٓ ٰ ‫ف ۚ فَاِنْ َك ِر ْهتُ ُم ْوهُنَّ فَ َع‬
‫ش ْيـًٔا َّويَ ْج َع َل ُ فِ ْي ِه َخ ْي ًرا َكثِ ْي ًرا‬َ ‫سى اَنْ تَ ْك َره ُْوا‬ ِ ‫ش ُر ْوهُنَّ بِا ْل َم ْع ُر ْو‬ِ ‫ۚ َوعَا‬

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS. An-Nisa: 19)

b. Penafsiran Kata-Kata Sulit

‫العض‬- Al-‘Adhl : artinya mempersulit dan bersikap keras. Berasal dari kata ini juga yaitu, ad-
da’ul

‘idah, penyakit keras dan tidak bisa disembuhkan lagi.

‫ – الفا َ ِح َشة‬Al-Faahisyah : perbuatan tercela lagi sangat jelek.

‫ – ُّمبَيِنَة‬Mubayyinah : artinya jelas dan gamblang.

‫ – المعروف‬Ma’ruf : suatu hal yang disukai oleh watak, tidak dibenci oleh syara’ tradisi dan
harga diri.8

c. Pengertian Secara Umum

Dalam kelompk ayat yang lalu, Allah telah melarang memberlakukan tradisi jahiliyah
untuk dipraktekan terhadap anak-anak yatim dan harta mereka. Kemudian Dia mengiringnya
dengan larangan melakukan hal yang sama terhadap kaum wanita dan harta benda mereka.
Pada masa itu, mereka merendahkan derajat kaum wanita dan menganggapnya sebagai
barang dagangan. Sehingga para ahli waris mewarisi harta bendanya. Kemudian Allah SWT
mengharamkan perlakukan seperti itu.9

Telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Abu Daud, bahwa bila ada seorang laki-laki
meninggal dunia para ahli jahiliyyah, maka para walinya lah yang lebih berhak terhadap
wanita-wanita tinggalannya. Bila mereka suka, mereka boleh mengawininya dan bila mereka
suka mengawinkannya (dengan orang lain). Dan bila mereka tidak suka, boleh tidak
mengawinkannya. Pada pokoknya, merekalah yang lebih berhak terhadap wanita peninggalan
si mayit dari para ahli warisnya sendiri. Kemudian turunlah ayat ini yang menjelaskan hal ini.

Telah diriwayatkan oleh Ibnu Munzir dari Ikrimah ia telah menceritakan “Kubaisyah binti
Ma’n ibnu ‘Asim dari kabila Aus, datang mengadukan perihalnya kepada Nabi saw.

8
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 4, Terj. Anshori Umar Sitanggal, dkk,
Semarang: Karya Toha Putra, 1993, hal. 381
9
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 4,hal. 381-382

7
Kubaisyah itu adalah bekas istri Abu Qais bin Aslat yang bari saja meninggal dunia.
Kemudia anak lelaki Abu Qais sering mengganggunya. Ia berkata kepad Nabi, ‘aku tidak bisa
mewarisi dari suamiku, dan aku tidak dibiarkan untuk kawin lagi’. Lalu turunlah ayat ini.”

d. Penjelasan

‫س ۤا َء َك ْرهًا‬
َ ِّ‫ۗ ياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا اَل يَ ِح ُّل لَ ُك ْم اَنْ تَ ِرثُوا الن‬
ٰٓ

Hai orang-orang yang beriman, tidak dihalalkan untuk kalian yang mengaku dirinya
beriman kepada Allah dan rasul-Nya mengikuti ajaran-ajaran kaum jahiliyyah, yakni gemar
merampas hak-hak kaum wanita, yang kalian menjadikan mereka sebagai warisan untuk
kalian, seperti harta benda dan budak. Kemudian kalian memperlakukan mereka sekehendak
hati, sedangkan mereka tidak senang diperlakukan demikian. Yaitu apabila seseorang di
antara kamu suka, maka ia mengawini bekas istri salah satu kerabatnya yang meninggal. Dan
apabila ia tidak suka, maka ia mengawinkannya denga orang lain, atau ia tetap memegang
dan melarangnya kawin. Demikianlah ajaran yang biasa dilakukan pada zaman jahiliyyah.10

َّ‫ض َمٓا ٰاتَ ْيتُ ُم ْوهُن‬


ِ ‫ضلُ ْوهُنَّ لِت َْذ َهبُ ْوا بِبَ ْع‬
ُ ‫َواَل تَ ْع‬

Tidak dihalalkan bagi kalian harta warisan milik kaum wanita. Juga dilarang bagi kalian
mempersulit mereka, serta membikin mereka sengsara, agar mereka memberi kalian dengan
benda yang mereka peroleh dari warisan, mas kawin dan lain sebagainya.

Ibnu jarir pernah mengetengahkan sebuah riwayat dari Ibnu Zaid mengatakan bahwa dulu
orang-orang Quraisy di Mekkah, seorang laki-laki dari mereka menikahi seorang wanita
terhormat yang kemungkinan wanita itu tidak menyukainya. Maka si lelaki tadi hendak
menceraikannya dengan syarat, bahwa si Wanita tidak boleh kawin melainkan berdasarkan
izinnya. Kemudian lelaki tadi mendatangkan beberapa saksi untuk menyaksikan perjanjian
itu secara tertulis. Apabila ada seorang lelaki lain melamarnya, dan sang Istri mau
menyerahkan maharnya kepada bekas suaminya karena membuat senang, maka bekas
suaminya akan mengizinkannya. Tetapi jika tidak, bekas suami melarangnya. Memang
banyak kasus yang menunjukkan bahwa para bekas suami selalu mempersulit agar mereka
mau membayar tebusan untuk dirinya kepada bekas- bekas suami mereka dengan harta
benda.11

‫ش ٍة ُّمبَيِّنَ ٍة‬ ِ َ‫ۚ آِاَّل اَنْ يَّْأتِيْنَ بِف‬


َ ‫اح‬

Janganlah mempersulit mereka dalam kondisi apapun, kecuali dalam keadaan apabila
mereka melakukan perbuatan fahisyah yang membuktikan tanpa ada keraguan atau hanya
main kira-kiranya saja. Dan apabila mereka membangkang, tidak mentaati kalian atau cara
pelayanannya sangan jelek, serta didikan kalian tidak bermanfaat lagi bagi mereka, atau
mereka jelas terbukti melakukan perbuatan zina atau mencuri dan sebagainya, yaitu
melakukan perbuatan fahisyah yang dibenci masyarakat, maka ketika itu kalian dibolehkan
mempersulit mereka dengan cara merampas sebagian mahar yang telah kalian berikan kepada

10
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 4, hal. 382
11
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 4,hal. 383

8
mereka. Juga pemeberian-pemberian lain yang telah kalian berikan kepada mereka. Sebab
kemungkinan perbuatan fahisyah dilakukan oleh pihak perempuan.

Dan sesungguhnya syarat bagi berlakunya sanksi perbuatan fahisyah itu ialah, hendaknya
perbuatan itu terbukti. Atau dengan kata lain sudah jelas dan merupakan skandal bagi
pelakunya. Sebab kemungkinan seorang suami itu berlaku zalim terhadap istrinya hanya
karena sang Suami terdorong oleh rasa cemburu buta, sehingga menghukum sang istri hanya
karena sebab yang dibesar-besarkan.

Dan sesungguhnya hanyalah dibolehkan bagi seorang suami mempersulit istrinya, apabila
ternyata sang Istri terbukti melakukan perbuatan fahisyah ini. Sebab, kemungkinan sang istri
merasa benci terhadap suaminya, dan cenderung mencintai orang lain. Maka ia menyakiti
suaminya dengan kata-kata jelek atau perbuatan yang tidak disukainya, agar suami
membencinya dan bosan hidup bersamanya. Sehingga ia menolak dirinya dan aman
mengambil semua yang telah diberikan sang Suami kepadanya. Setelah itu, ia pergi kawin
dengan lelaki lain serta bersenang-senang dengannya, memakai harta suami yang pertama
dan kemungkinan sang istri itu berlaku sama, seperti yang pernah ia lakukan terhadap suami
pertamanya.12

Apabila wanita telah mengerti bahwa hak menyusahkan dan mempersulit berada di tangan
kaum lelaki, dan di antara hal-hal yang dibolehkan oleh syara’ ialah mereka (kaum wanita)
menghina kaum lelaki (suami) maka sang Suami boleh menghina mereka. Hal itu kiranya
cukup menjadikan sebagai pencegah bagi mereka, supaya tidak melakukan hal-hal fahisyah
dan mengelabui suami untuk menutupi perbuatannya yang nista itu.

1) Perintah Mempergauli Wanita Dengan Cara yang Baik

ِ ‫ش ُر ْوهُنَّ بِا ْل َم ْع ُر ْو‬


‫ف‬ ِ ‫َوعَا‬

Kalian harus memperbaiki pergaulan dengan istri kalian. Untuk itu, kalian harus
menggauli mereka dengan cara yang disenangi oleh mereka, tetapi tidak diingkari oleh
hukum syara’ juga tradisi yang berlaku. Jangan sekali-kali memperketat nafkah mereka dan
jangan menyakiti mereka melalui perkataan maupun perbuatan. Jangan pula kalian
menyambut mereka dengan wajah muram dan jangan mengerutkan dahimu.

Dalam kalimat al-mu’asyarah, terkandung pengertian musyarakah dan musawah


(interaksi). Artinya pergaulilah mereka dengan cara yang baik dan hendaknya mereka pun
mempergauli kalian dengan cara yang sama. Untuk itu, wajib bagi pasangan suami istri
menjadi penghibur dan pelera duka bagi yang lainnya. Juga merupakan ketenangan jiwa
dalam rumah tangganya,13 sebagaimana firman-Nya:
ً‫س ُكنُ ْٓوا اِلَ ْي َها َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َر ْح َمة‬
ْ َ‫اجا لِّت‬ َ َ‫ۗ َو ِمنْ ٰا ٰيتِ ٖ ٓه اَنْ َخل‬
ِ ُ‫ق لَ ُك ْم ِّمنْ اَ ْنف‬
ً ‫س ُك ْم اَ ْز َو‬

12
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 4, hal. 384
13
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 4, hal. 385

9
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar- Rum: 21)

2) Kebencian yang Mengandung Kebaikan

‫ش ْيـًٔا َّويَ ْج َع َل هّٰللا ُ فِ ْي ِه َخ ْي ًرا َكثِ ْي ًرا‬ ٓ ٰ ‫فَاِنْ َك ِر ْهتُ ُم ْوهُنَّ فَ َع‬
َ ‫سى اَنْ تَ ْك َره ُْوا‬

Dan apabila kalian tidak menyenangi mereka karena keaiban akhlak atau mereka berwajah
tidak menyenangkan kalian, yang mana hal itu merupakan pembawaan lahir, atau karena
kesemberonoan dalam beberapa kewajiban yang harus mereka lakukan, seperti merawat
rumah tangga dan mengatur urusan-urusannya yang merupakan pekerjaan sehari-hari kaum
wanita atau disebabkan kalian menyukai wanita lain selain mereka, maka bersabarlah. Jangan
terburu-buru menyakiti mereka dengan menjatuhkan talak. Karena kemungkinan jiwa kalian
tidak menyukainya tetapi kenyataannya untuk agama lebih baik, di antaranya ialah:

1. Anak-anak yang cerdas lagi terhormat, karena ada juga di anatara istri itu tidak disenangai
oleh suaminya, dan sang Suami bermaksud berpisah darinya. Tetapi kemudian dari si Istri itu
sang Suami memperoleh keturunan yang membuat hatinya sejuk, sehingga prestise sang Istri
naik di mata suami.

2. Hendaknya sang Suami bisa memperbaiki keadaan sang istri dengan kesabaran dan
pegaulan yang baik. Akibatnya sang istri akan menjadi penyebab yang paling besar dalam
kebahagiaannya dan suami akan merasa gembira berkat keteraturan gaya hidupnya, di
samping kebaikan pelayanannya. Terlebih lagi, di saat-saat sang suami terkena penyakit,
kefakiran atau kemiskinan, sang istri merupakan satu-satunya hiburan yang paling baik dan
pembantu paling setia baginya dalam kondisi-kondisi seperti itu.14

Untuk itu, sang suami diharuskan mengingat jika keadaannya menjadi demikian. Ia pun
harus ingat memang sangat sedikit wanita yang mau diajak hidup dalam kondisi tersebut,
apalagi ia mau bersabar dan tetap setia kepada suaminya.

3. Tafsir Surat An-Nisa ayat 34


a. Bunyi ayat dan terjemahan
‫اَلرجال قَوامونَ َعلَى النِّس ۤاء بما فَ هّٰللا‬
ِ ‫صلِ ٰحتُ ٰقنِ ٰتتٌ ٰحفِ ٰظتٌ لِّ ْل َغ ْي‬
‫ب ِب َما‬ ٍ ‫ض ُه ْم ع َٰلى بَ ْع‬
ّ ٰ ‫ض َّوبِ َمٓا اَ ْنفَقُ ْوا ِمنْ اَ ْم َوالِ ِه ْم ۗ فَال‬ َ ‫ض َل ُ َب ْع‬ َّ َِ ِ َ ْ ُ َّ ُ َ ِّ
َ َ َ ُ َ ُ ٰ ‫هّٰللا‬
َّ‫سبِ ْياًل ۗاِن‬
َ ِ َّ‫ن‬ ‫ه‬‫ي‬ْ َ ‫ل‬‫ع‬َ ‫ا‬ ‫و‬
ْ ُ
‫غ‬ ‫ب‬
ْ َ ‫ت‬ ‫اَل‬ ‫ف‬ ‫م‬
ْ ُ
‫ك‬ َ ‫ن‬ ‫ع‬
ْ ‫ط‬َ ‫ا‬ ْ‫ن‬ِ ‫ا‬ ‫ف‬ ۚ ‫ه‬
َّ‫ُن‬ ‫و‬ُ ‫ب‬‫ر‬ ‫اض‬
ْ ‫و‬
ْ ِ َ ِ ِ َ َ‫ع‬ ‫ج‬ ‫ا‬ ‫ض‬ ‫م‬ ْ
‫ل‬ ‫ا‬ ‫ى‬ِ ‫ف‬ ‫ه‬
َّ‫ُن‬ ‫و‬
ْ ‫ر‬
ُ ‫ْج‬
ُ ‫ه‬ ‫ا‬ ‫و‬
َ ‫ه‬
َّ‫ُن‬ ‫و‬ْ ِ‫ظ‬ ‫ع‬ ‫ف‬ ‫ه‬
َّ‫ُن‬ َ
‫ز‬ ‫ُو‬
ْ ‫ش‬ُ ‫ن‬ َ‫ن‬ ‫و‬
ْ ‫ف‬ ‫ا‬ َ
‫َخ‬ ‫ت‬ ‫ي‬ْ ِ‫َحفِظَ ُ ۗ َوالّت‬
‫هّٰللا َ َكانَ َعلِيًّا َكبِ ْي ًرا‬

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.

14
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 4, hal. 386

10
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An-Nisa: 34 )

b. Penafsiran Kata-Kata Sulit

‫رأة و قوامها‬ff‫ذا أقيِم ُ الم‬ff‫ – ه‬Hadza qayyimul mar’ah wa qawaamuha: (inilah adalah pemimpin
wanita), apabila laki-laki menjalankan urusan dan menjaga wanita itu.

Keutamaan atau kelebihan laki-laki terbagi dua: keutamaan yang bersifat fitry, yaitu
kekuata fisik dan kesempurnaan di dalam kejadian, kemudian implikasinya adalah kekuatan
dan kebenaran berpandangan mengenai dasar-dasar dan tujuan berbagai perkara, dan
keutamaan yang berupa kasbiy, yaitu kemampuan untuk berusaha mencari rizki dan
melakukan pekerjaan-pekerjaan. Oleh karena itu, kaum lelaki dibebani memberikan nafkah
kepada kaum wanita serta memimpin rumah tangga

‫ – القُنُوت‬Al-Qunuut : ketenangan dan ketaatan kepada Allah dan suami

‫ الحافظات‬Al-Hafidz lil ghoibi: wanita- wanita yang memelihara apa-apa yang tidak tampak
oleh manusia. Jadi bukan hanya khlawat (berdua-dua menyepi) dengan wanita

‫ – تخافون‬takhofuuna : Kalian Mengira

‫ – نشزت ۡالرض‬nasyazatil Al-Ardhu : tanah lebih tingi dibandingkan dengan sekitarnya. Maksud
disini adalah durhaka dan membesarkan diri dari suami

‫ – البغي‬Al-Bagyu : berbuat zalim dan melampaui batas 15

c. Pengertian Umum

Ayat ini berkaitan dengan penyebab Allah memberikan kelebihan kepada laki-laki
khususnya kelebihan dalam masalah warisan.

d. Penjelasan
‫ۗ اَلرجال قَوامونَ َعلَى النِّس ۤاء بما فَ هّٰللا‬
ٍ ‫ض ُه ْم ع َٰلى بَ ْع‬
‫ض َّوبِ َمٓا اَ ْنفَقُ ْوا ِمنْ اَ ْم َوالِ ِه ْم‬ َ ‫ض َل ُ َب ْع‬ َّ َِ ِ َ ْ ُ َّ ُ َ ِّ

Di antara tugas kaum lelaki adalah memimpin kaum wanita dengan melindungi dan
memelihara mereka. Sebagai konsekuensi dari tugas ini, kaum lelaki diwajibkan berperang
dan kaum wanita tidak, karena perang termasuk perkara perlindungan yang paling khusus dan
kaum lelaki memperoleh bagian lebih besar dalam hal harta pusaka dari kaum wanita, karena
kaum lelaki berkewajiban memberi nafkah, sedangkan kaum wanita tidak.

Hal ini karena Allah melebihkan kaum lelaki atas kaum wanita dalam perkara kejadian,
dan memberi mereka kekuatan yang tidak diberikan kepada kaum wanita. Di samping itu,
Allah melebihkan mereka atas kaum wanita dengan kemampuan memberi nafkah dari harta
mereka. Di dalam mahar terdapat suatu pengganti bagi kaum wanita untuk menerima
15
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 5, hal. 40

11
kepemimpinan kaum lelaki atas mereka yang sebanding dengan penggantian material yang
diambil oleh kaum lelaki, sebagaimana firman Allah SWT.16
‫هّٰلل‬ َّ‫ق هّٰللا ُ فِ ْٓي اَ ْر َحا ِم ِهنَّ اِنْ ُكنَّ يُــْؤ ِمن‬ َ َ‫س ِهنَّ ثَ ٰلثَةَ قُ ُر ۤ ْو ۗ ٍء َواَل يَ ِح ُّل لَ ُهنَّ اَنْ يَّ ْكتُ ْمنَ َما َخل‬
‫ـو ِم ااْل ٰ ِخـ ۗ ِر‬
ْ ‫بِا ِ َوا ْليَـ‬ ْ َّ‫َوا ْل ُمطَلَّ ٰقتُ يَتَ َرب‬
ِ ُ‫صنَ بِا َ ْنف‬
‫د ََر َجـ ةٌ ۗ َوهّٰللا ُ َع ِز ْيـ ٌز‬ ْ ‫صاَل ًحا ۗ َولَ ُهنَّ ِم ْثـ ُل الَّ ِذ‬
ِ ۖ ‫ي َعلَ ْي ِهنَّ ِبــا ْل َم ْع ُر ْو‬
َّ‫ف َولِل ِّر َجـ ا ِل َعلَ ْي ِهن‬ ٰ
ْ ِ‫ق بِ َر ِّد ِهنَّ فِ ْي ذلِ َك اِنْ اَ َراد ُْٓوا ا‬ ُّ ‫َوبُ ُع ْولَتُ ُهنَّ اَ َح‬
‫ࣖ ح ِك ْي ٌم‬
َ

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru ́. Tidak
boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami- suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma ́ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” (QS. Al-Baqarah: 228 )

Yang dimaksud dengan qiyam adalah kepemimpinan, yakni orang yang dipimpin
bertindak sesuai kehendak dan pilihan pemimpin. Sebab makna qiyam tidak lain adalah
bimbingan dan pengawasan di dalam melaksanakan apa-apa yang ditunjukkan oleh suami
dan memperhatikan segala perbuatannya. Sebagai contoh ialah, menjaga rumah, tidak
meninggalkan izin suami, meskipun untuk berziarah kepada kerabat, dan menentukan nafkah
di dalam rumah. Laki-lakilah yang menentukan nafkah sesuai dengan kesanggupannya,
sedangkan istri hanya melaksanakan ketentuan itu menurut cara yang diridhai oleh suami
yang sesuai dengan kondisi, lapang atau sempit.17

Kewajiban suami di dalam melindungi dan mencukupi kebutuhan istrinya sangat beragam,
disesuaikan dengan kemungkinannya untuk melaksanakan tugasnya yang bersifat fitriyah
sepeti mengandung, melahirkan dan mendidik anak-anak, sambil ia merasa aman dari apapun
termasuk rahasianya dan juga masalah rizki yang dibutuhkan mencukupi.

1) Cara Lurus Dalam Memperlakukan Istri


‫صل ٰحتُ ٰقن ٰتتٌ ٰحف ٰظتٌ لِّ ْل َغيب بما حفظَ هّٰللا‬
ُ ِ َ َِ ِ ْ ِ ِ ِ ّ ٰ ‫فَال‬

pertama: wanita wanita shalihah yang taat kepada suami mereka akan menjaga hubungan-
hubungan yang bias di antara mereka di waktu berdua-duaan, seperti rafast (hubungan
badaniyah) dan urusan-urusan khusus yang berkenaan dengan suami istri. Mereka tidak
mengizinkan seorang lelaki manapun untuk melirik kepadanya, meskipun itu kerabatnya
sendiri, dan lebih- lebih memelihara kehormatannya dari jamahan tangan orang lain,
pandangan mata atau pendengaran telinganya terjaga dari khianat. Wanita-wanita seperti ini,
suami tidak mempunyai kekuasaan untuk mendidiknya.
ٰ
َّ‫اض ِربُ ْوهُن‬
ْ ‫اج ِع َو‬
ِ ‫ض‬َ ‫َوالّتِ ْي ت ََخافُ ْونَ نُش ُْو َزهُنَّ فَ ِعظُ ْوهُنَّ َواه ُْج ُر ْوهُنَّ فِى ا ْل َم‬

16
hmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 5, hal. 41
17
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 5, hal. 42

12
Kedua: wanita-wanita yang kalian khawatirkan akan bersikap sombong dan tidak
menjalankan hak-hak suami menurut cara yang kalian ridhai, maka hendaknya cara
memperlakukan mereka adalah dengan cara-cara sebagai berikut:

a) Memberikan nasehat yang menurut pandangan suami dapat menyentuh hati mereka

b) Jika pemberian nasehat tidak berhasil, maka pisahkan diri dari tempat tidur.

c) Jika dengan cara kedua tidak berhasil, maka suami boleh memukul istri asalkan
pukulan tersebut tidak menyakiti atau melukainya18

َ َّ‫فَاِنْ اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغ ْوا َعلَ ْي ِهن‬


‫سبِ ْياًل‬

Jika mereka telah mentaati kalian dengan salah satu di antara cara mendidik ini, maka
janganlah kalian berlaku aniaya, jangan pula melampaui batas. Mulailah dengan memberikan
nasehat, jika tidak cukup maka tinggalkanlah dari tempat tidur, dan jiika tidak cukup maka
pukullah. Setelah ketiga cara ini tidak berhasil, maka adakanlah tahkim. Jika hal-hal lahir
telah cukup untuk menjadi bukti, maka janganlah mengungkit-ungkit rahasia.19

2) Suami yang Menghinakan Istrinya akan Melahirkan Budak Bagi Orang Lain.

‫اِنَّ هّٰللا َ َكانَ َعلِيًّا َكبِ ْي ًرا‬

Kekuasaan Allah atas wanita melebihi kekuasaan laki-laki atas istrinya, maka janganlah
berbuat aniaya terhadap para istri. Lelaki yang memperbudak wanita akan melahirkan budak
bagi orang lain, karena mereka terdidik dengan kezhaliman dan tidak mempunyai
kehormatan, dan tidak menerima sifat-sifat baik dan belas kasih. Jangan melahirkan budak-
budak wanita yang juga akan melahirkan orang-orang seperti dia; terdidik sebagai budak
yang hina dan tidak mempunyai kemuliaan.20

B. Tafsir Ibnu Katsir: Tafsir al-Qur'an al-Adzim


1. Biografi Ibnu Katsir
Nama lengkapnya adalah Imam ad-Din Abu al-Fida' Ismail bin al-Khatib Syihab ad-Din
Abi Hafsah Umar bin Katsir al-Quraisy Asy-Syafi'i. Ulama yang juga biasa di kenal dengan
nama Abu al-Fida' ini lahir di Basrah desa Mijdal pada tahun 700 H/1300 M. Dalam literature-
literatur yang lain juga disebutkan nama Ibn Katsir dengan gelar al-Bushrawi dibelakang
namanya, hal ini berkaitan dengan tempat ia lahir yaitu di Basrah, begitu pula dengan gelar al-
Dimasyqi, hal ini dikarenakan kota Basrah adaalah bahagian dari kawasan Damaskus. 21 Maka
dari itu sering juga disebutkan dengan nama Imad al-Din Ismail bin Umar Ibn Katsir al-
Quraysi al-Dimasyqi.22

18
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 5, hal. 46
19
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 5, hal. 46
20
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz 5, hal. 46-47
21
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat dalam Tafsir Ath-Thobari dan Tafsir Ibnu Katsir,
(Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal 69.
22
Dedi Nurhaedi dkk, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), hal. 132.

13
Sejak umur tujuh tahun (ada juga pendapat yang menyebut tiga tahun) Ibnu Katsir sudah
ditinggal oleh ayahnya yang meninggal dunia. Sejak saat itu, ia diasuh oleh kakaknya (Kamal
al-Din Abd Wahhab) di Damaskus. Dari sinilah Ibnu Katsir memulai pengembaraan
keilmuannya dengan banyak bertemu dengan para ulama-ulama besar pada saat itu, termasuk
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, dan juga Baha al-Din al-Qasimy bin Asakir (w. 723), Ishaq
bin Yahya al-Amidi (w. 728).23 Ibnu Katsir juga banyak mendalami ilmu-ilmu keislaman
lainnya, selain dalam bidang tafsir Ibnu Katsir juga sangat menguasai bidang hadis.24

Karya-karya yang pernah dihasilkan oleh Ibnu Katsir adalah dalam bidang Sejarah, Ibnu
Katsir menulis beberapa kitab antara lain al-Bidayah wa al-Nihayah (yang terdiri dari 14
jilid), al-Fusül fi Sirah al-Rasul, Thabaqat asy-Syafi'iyyah, Qasas al-Anbiya, dan Manaqib al-
Imam al-Syafi'I.25 Dari ketiga buku tersebut, al-Bidayah wa al-Nihayah adalah karya
monumentalnya dalam bidang sejarah.

Dalam bidang hadis, Ibn Katsir menulis sejumlah kitab diantaranya Kitab jami al-Masanid
wa al-Sunan, al-Kutub al-Sittah, al-Takmilah fi Ma'rifat al-Siqat wa al-Du'afa wa al-Mujahal,
al Mukhtasar sebagai ringkasan kitab Muqaddimah li 'Ulum al-Hadis karya Ibn Salah, dan
Adillah al-Tanbih li 'Ulum al-Hadis.26 disamping itu, Ibnu Katsir juga mensyarahi kitab
Shahih Bukhari yang penyelesaiannya dilanjut oleh Ibn Hajar al-Asqalani.27

Dalam bidang fiqih, karyanya tidak terselesaikan. Ia berencana untuk membuat sebuah
kitab fiqih yang berlandaskan al-Qur'an dan al-hadis, tetapi hanya satu bab yang mengenai
ibadah dalam persoalan haji yang ditulis dalam satu bab.28

Dalam bidang tafsir ia menulis kitab tafsir 30 juz yang berjudul Tafsir al-Qur'an al-Adzim
atau yang disebut juga Tafsir Ibnu Katsir.29

2. Tafsir Surat An-Nisa ayat 34


ِ ‫الصـالِ َحاتُ قَانِتَــاتٌ َحافِظَــاتٌ لِ ْل َغ ْي‬
‫ب‬ َ ‫ض َوبِ َما َأ ْنفَقُوا ِمنْ َأ ْمـ‬
َّ َ‫ـوالِ ِه ْم ف‬ َّ َ‫سا ِء بِ َما ف‬
َ ‫ض َل هَّللا ُ َب ْع‬
ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى بَ ْع‬ َ ِّ‫الر َجا ُل قَ َّوا ُمونَ َعلَى الن‬
ِّ
‫سـبِياًل‬ ‫َأ‬
َ َّ‫اض ِربُوهُنَّ فَِإنْ طَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوا َعلَ ْي ِهن‬ ْ ‫ضا ِج ِع َو‬َ ‫ِب َما َحفِظَ هَّللا ُ َوالاَّل تِي ت ََخافُونَ نُشُو َزهُنَّ فَ ِعظُوهُنَّ َواه ُْج ُروهُنَّ فِي ا ْل َم‬
)34( ‫ِإنَّ هَّللا َ َكانَ َعلِيًّا َكبِي ًرا‬
kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusuznya, maka
nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.

23
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat... hal, 70.
24
Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir al-Qur'an (dari Klasik Hingga Kontemporer), (Yogyakarta:
Kaukaba, 2013), hal 75.
25
Dedi Nurhaedi dkk, Studi Kitab Tafsir., hal 134.
26
Dedi Nurhaedi dkk, Studi Kitab Tafsir., hal 134.
27
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat... hal, 70.
28
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat... hal, 71.
29
Rosihon Anwar, Melacak Unsur-unsur Israiliyat... hal, 70.

14
Kemudian jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.

Firman Allah Swt.:

‫الرجا ُل قَ َّوا ُمونَ َعلَى النِّسا ِء‬


ِّ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34)
Dengan kata lain, lelaki itu adalah pengurus wanita, yakni pemimpinnya, kepalanya, yang
menguasai, dan yang mendidiknya jika menyimpang.
ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى بَ ْع‬
}‫ض‬ َّ َ‫{بِ َما ف‬
َ ‫ض َل هَّللا ُ بَ ْع‬
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita). (An-Nisa:34)
Yakni karena kaum laki-laki lebih afdal daripada kaum wanita, seorang lelaki lebih baik
daripada seorang wanita, karena itulah maka nubuwwah (kenabian) hanya khusus bagi kaum
laki-laki. Demikian pula seorang raja. Karena ada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
»ً‫«لَنْ يُ ْفلِ َح قَ ْو ٌم َولَّ ْوا َأ ْم َر ُه ُم ا ْم َرَأة‬

Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita.
Hadis riwayat Imam Bukhari melalui Abdur Rahman ibnu Abu Bakrah, dari ayahnya.
Demikian pula dikatakan terhadap kedudukan peradilan dan lain-lainnya.

‫َوبِما َأ ْنفَقُوا ِمنْ َأ ْموالِ ِه ْم‬

dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34)
Berupa mahar (mas kawin), nafkah, dan biaya-biaya lainnya yang diwajibkan oleh Allah atas
kaum laki-laki terhadap kaum wanita, melalui kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya.
Diri lelaki lebih utama daripada wanita, laki-laki mempunyai keutamaan di atas wanita, juga
laki-lakilah yang memberikan keutamaan kepada wanita. Maka sangat sesuailah bila
dikatakan bahwa lelaki adalah pemimpin wanita. Seperti yang disebutkan di dalam ayat lain,
yaitu firman-Nya:

ٌ‫َولِل ِّرجا ِل َعلَ ْي ِهنَّ د ََر َجة‬

Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. (Al-Baqarah:
228),

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Yakni menjadi kepala atas

15
mereka; seorang istri diharuskan taat kepada suaminya dalam hal-hal yang diperintahkan oleh
Allah yang mengharuskan seorang istri taat kepada suaminya. Taat kepada suami ialah
dengan berbuat baik kepada keluarga suami dan menjaga harta suami.
Ibnu Murdawaih menyandarkan hadis ini ke jalur yang lain. Untuk itu ia mengatakan:
َ ‫ َحـ َّدثَنَا ُم‬،‫ث‬
ُ‫وس ـى بْن‬ ْ ‫ َحـ َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ ُم َح َّم ٍد اَأْل‬،‫اش ـ ِم ُّي‬
ُ ‫ش ـ َع‬ َ َّ‫َحـ َّدثَنَا َأ ْح َمـ ُد بْنُ َعلِ ٍّي الن‬
ِ ‫ َحـ َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َع ْب ـ ِد هَّللا ِ ا ْل َه‬،‫س ـاِئ ُّي‬
‫ َأتَى النَّبِ َّي‬:‫ عَنْ علي قــال‬،‫ عَنْ َأبِي ـ ِه‬،‫ عَنْ َج ْعفَ ـ ِر ْب ِن ُم َح َّم ٍد‬،‫ عَنْ َجدِّي‬،‫ َح َّدثَنِي َأبِي‬،‫سى ْب ِن َج ْعفَ ِر ْب ِن ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫س َما ِعي َل ْب ِن ُمو‬ ْ ‫ِإ‬
‫ فَقَا َل‬،‫ض َربَ َها فََأثَّ َر فِي َو ْج ِه َها‬ َ ُ‫ َوِإنَّه‬،‫ي‬ َ ‫ ِإنَّ ز َْو َج َها فُاَل نُ بْنُ فُاَل ٍن اَأْل ْن‬،ِ ‫سو َل هَّللا‬
ُّ ‫صا ِر‬ ُ ‫ َيا َر‬: ْ‫ فَقَالَت‬،ُ‫صا ِر بِا ْم َرَأ ٍة لَه‬
َ ‫َر ُج ٌل ِمنَ اَأْل ْن‬
‫ضـ ُه ْم َعلَى‬ َّ َ‫سـا ِء [بِ َمـا ف‬
َ ‫ضـ َل هَّللا ُ بَ ْع‬ ِّ :ُ ‫ فَـَأ ْن َز َل هَّللا‬."‫س َذلِ َك لَه‬
َ ِّ‫{الر َجـ ا ُل قَ َّوا ُمــونَ َعلَى الن‬ َ ‫ "ل ْي‬:‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ُ ‫َر‬
َ ‫ "َأ َردْتُ أ ْم ًرا‬:‫سلَّ َم‬
"‫وأرا َد هَّللا ُ َغ ْي َره‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ِ ‫سا ِء فِي اَأْل َد‬
ُ ‫ فَقَا َل َر‬.‫ب‬ ْ ‫ض]} َأ‬
َ ِّ‫ قَ َّوا ُمونَ َعلَى الن‬:‫ي‬ ٍ ‫بَ ْع‬

telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ali An-Nasai, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Hibatullah Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu
Muhammad Al-Asy'as, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail ibnu Musa ibnu
Ja'far ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa ayahku telah menceritakan kepada kami,
dari kakekku, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ali yang menceritakan bahwa
datang kepada Rasulullah Saw. seorang lelaki dari kalangan Ansar dengan seorang wanita
mahramnya. Lalu si lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya suami wanita ini
(yaitu Fulan bin Fulan Al-Ansari) telah menampar wajahnya hingga membekas padanya."
Rasulullah Saw. bersabda, "ia tidak boleh melakukan hal itu." Maka Allah Swt. menurunkan
firman-Nya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-Nisa: 34) Yakni
dalam hal mendidik. Maka Rasulullah Saw. bersabda: Aku menghendaki suatu perkara,
tetapi ternyata Allah menghendaki yang lain.
Hadis ini di-mursal-kan pula oleh Qatadah, Ibnu Juraij, dan As-Saddi; semuanya
diketengahkan oleh Ibnu Jarir.30

Asy-Sya'bi mengatakan sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman-Nya: Kaum laki-
laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. (An-Nisa: 34) Yaitu mas kawin yang diberikan
oleh laki-laki kepadanya. Tidakkah Anda melihat seandainya si suami menuduh istrinya
berzina, maka si suami melakukan mula'anah terhadapnya (dan bebas dari hukuman had).
Tetapi jika si istri menuduh suaminya berbuat zina, si istri dikenai hukuman dera.

30
https://www.ibnukatsironline.com diakses pada 9 oktober 2022

16
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "As-Salihat," artinya wanita-wanita yang saleh.
Firman Allah Swt. yang mengatakan, "Qanitat menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang
bukan hanya seorang, yang dimaksud ialah istri-istri yang taat kepada suaminya.

ِ ‫{حافِظَاتٌ لِ ْل َغ ْي‬
}‫ب‬ َ

lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya. (An-Nisa: 34)


Menurut As-Saddi dan lain-lainnya, makna yang dimaksud ialah wanita yang memelihara
kehormatan dirinya dan harta benda suaminya di saat suaminya tidak ada di tempat.

Firman Allah Swt.:

ُ ‫بِما َحفِظَ هَّللا‬

oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (An-Nisa: 34)


Orang yang terpelihara ialah orang yang dipelihara oleh Allah.

َ ‫ عَنْ َأبِي ه َُر ْيـ‬،‫سـ ِعي ٍد ا ْلمقــبري‬


َ‫ـرة‬ َ ‫سـ ِعي ُد بْنُ َأبِي‬ َ ‫ َحـ َّدثَنَا‬،‫شـر‬ َ ‫ َح َّدثَنَا َأبُــو َم ْع‬،‫ح‬ َ ‫ َح َّدثَنَا َأبُو‬،‫ َح َّدثَنِي ا ْل ُمثَنَّى‬:‫قَا َل ابْنُ َج ِري ٍر‬
ٍ ِ‫صال‬
‫س َّر ْت َك َوِإ َذا أ َم ْرتَها أطاعت ـ َك َوِإ َذا ِغبْتَ َع ْن َهــا‬ َ ‫"خي ُر النسا ِء امرأةٌ ِإ َذا َن‬
َ ‫ظ ْرتَ ِإلَ ْي َها‬ َ :‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ُ ‫ َقا َل َر‬:‫قَا َل‬
َ ِّ‫ {ال ِّر َجـ ا ُل قَ َّوا ُمــونَ َعلَى الن‬:َ‫سـلَّ َم َهـ ِذ ِه اآْل يَـة‬
‫سـا ِء} ِإلَى‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْيـ ِه َو‬ ُ ‫ ثُ َّم قَ َرَأ َر‬:‫ قَا َل‬."َ‫سها ومالِك‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ِ ‫َحفِظ ْت َك فِي نَ ْف‬
.‫آخ ِرهَا‬
ِ

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada
kami Abu Saleh, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, telah menceritakan kepada
kami Sa'id ibnu Abu Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sebaik-baik wanita ialah seorang istri yang apabila kamu
melihat kepadanya, membuatmu gembira; dan apabila kamu memerintahkannya, maka ia
menaatimu; dan apabila kamu pergi meninggalkan dia, maka ia memelihara kehormatan
dirinya dan hartamu. Abu Hurairah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Rasulullah
Saw. membacakan firman-Nya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. (An-
Nisa: 34), hingga akhir ayat.

Firman Allah Swt.:

َّ‫َوالاَّل تِي تَخافُونَ نُشُو َزهُن‬

Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya. (An-Nisa: 34)


Yakni wanita-wanita yang kalian khawatirkan bersikap membangkang terhadap suaminya.
An-Nusyuz artinya tinggi diri; wanita yang nusyuz ialah wanita yang bersikap sombong

17
terhadap suaminya, tidak mau melakukan perintah suaminya, berpaling darinya, dan
membenci suaminya. Apabila timbul tanda-tanda nusyuz pada diri si istri, hendaklah si suami
menasihati dan menakutinya dengan siksa Allah bila ia durhaka terhadap dirinya. Karena
sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadanya agar taat kepada suaminya dan haram
berbuat durhaka terhadap suami, karena suami mempunyai keutamaan dan memikul
tanggung jawab terhadap dirinya. Rasulullah Saw. sehubungan dengan hal ini telah bersabda:

ْ َ‫سجد َأِل َح ٍد ألمرتُ ا ْل َم ْرَأةَ َأنْ ت‬


"‫ ِمنْ ِعظَم َحقِّه َعلَ ْي َها‬،‫س ُج َد لِز َْو ِج َها‬ ْ َ‫"لَ ْو ُك ْنتُ آ ِم ًرا َأ َحدًا َأنْ ي‬

Seandainya aku diberi wewenang untuk memerintah seseorang agar bersujud terhadap
orang lain, niscaya aku perintahkan kepada wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena
hak suami yang besar terhadap dirinya.

Menurut riwayat Imam Muslim disebutkan:

"‫ لَ ْعنَ ْت َها ا ْل َماَل ِئ َكةُ َحتَّى تُصبِح‬،‫ت ا ْل َم ْرَأةُ هَاجرة فِراش ز َْو ِجها‬
ِ َ‫"ِإ َذا بَات‬

Apabila seorang istri tidur semalam dalam keadaan memisahkan diri dari tempat tidur
dengan suaminya, maka para malaikat melaknatnya sampai pagi hari.
Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:

} َّ‫{والالتِي ت ََخافُونَ نُشُو َزهُنَّ فَ ِعظُوهُن‬


َ

Wanita-wanita yang kalian khawatiri nusyuznya, maka nasihatilah mereka. (An-Nisa: 34)

Adapun firman Allah Swt.:

ِ ‫َواه ُْج ُروهُنَّ فِي ا ْل َم‬


‫ضاج ِع‬

dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka. (An-Nisa: 34)


Menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah hendaklah si
suami tidak menyetubuhinya, tidak pula tidur bersamanya; jika terpaksa tidur bersama. maka
si suami memalingkan punggungnya dari dia.
Hal yang sama dikatakan pula oleh bukan hanya seorang. Tetapi ulama yang lainnya, antara
lain As-Saddi, Ad-Dahhak, Ikrimah, juga Ibnu Abbas menurut riwayat yang lain mengatakan
bahwa selain itu si suami jangan berbicara dengannya, jangan pula mengobrol dengannya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, hendaknya si suami menasihatinya
sampai si istri kembali taat. Tetapi jika si istri tetap membangkang, hendaklah si suami
berpisah dengannya dalam tempat tidur, jangan pula berbicara dengannya, tanpa

18
menyerahkan masalah nikah kepadanya; yang demikian itu terasa berat bagi pihak istri.
Mujahid, Asy-Sya'bi, Ibrahim, Muhammad ibnu Ka’b, Miqsam, dan Qatadah mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan al-hajru ialah hendaknya si suami tidak menidurinya.

Firman Allah Swt.:


َّ‫اض ِربُوهُن‬
ْ ‫َو‬
dan pukullah mereka. (An-Nisa: 34)
Yakni apabila nasihat tidak bermanfaat dan memisahkan diri dengannya tidak ada hasilnya
juga, maka kalian boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai.
Seperti yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Jabir, dari Nabi Saw., bahwa Nabi
Saw. pernah bersabda dalam haji wada'-nya:

‫ضـ ْربا‬ ْ َ‫ فَـِإنْ فَ َع ْلن ف‬،ُ‫ َولَ ُك ْم َعلَ ْي ِهنَّ َأاَّل يُو ِطْئنَ فُ ُرشــكم َأ َحـ دًا تَ ْك َرهُونَـه‬، ٌ‫ فَِإنَّ ُهنَّ ِع ْن َد ُك ْم َع َوان‬،‫واتَّقُوا هللاَ فِي النِّسا ِء‬
َ َّ‫اضـ ِربُوهُن‬
"‫وف‬ ِ ‫سوتهن بِا ْل َم ْع ُر‬ ْ ‫رزقُهنَّ و ِك‬ ْ َّ‫ َولَ ُهن‬،‫َغ ْي َر ُمبَ ِّرح‬

Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian
merupakan penolong, dan bagi kalian ada hak atas diri mereka, yaitu mereka tidak boleh
mempersilakan seseorang yang tidak kalian sukai menginjak hamparan kalian. Dan jika
mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukakan, dan
bagi mereka ada hak mendapat rezeki (nafkah) dan pakaiannya dengan cara yang makruf.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang,
yaitu dengan pukulan yang tidak melukakan.
Menurut Al-Hasan Al-Basri, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak membekas.
Ulama fiqih mengatakan, yang dimaksud ialah pukulan yang tidak sampai mematahkan suatu
anggota tubuh pun, dan tidak membekas barang sedikit pun.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas; jika si istri nusyuz, hendaklah si suami
memisahkan diri dari tempat tidurnya. Jika si istri sadar dengan cara tersebut, maka
masalahnya sudah selesai. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah
mengizinkan kepadamu untuk memukulnya dengan pukulan yang tidak melukakan, dan
janganlah kamu mematahkan suatu tulang pun dari tubuhnya, hingga ia kembali taat
kepadamu. Tetapi jika cara tersebut tidak bermanfaat, maka Allah telah menghalalkan
bagimu menerima tebusan (khulu') darinya.

Firman Allah Swt.:


َ َّ‫فَِإنْ َأطَ ْعنَ ُك ْم فَال تَ ْب ُغوا َعلَ ْي ِهن‬
‫سبِياًل‬

19
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. (An-Nisa: 34)
Artinya, apabiia seorang istri taat kepada suaminya dalam semua apa yang dikehendaki
suaminya pada diri si istri sebatas yang dihalalkan oleh Allah, maka tidak ada jalan bagi si
suami untuk menyusahkannya, dan suami tidak boleh memukulnya, tidak boleh pula
mengasingkannya.
Firman Allah Swt.:

ً‫ِإنَّ هَّللا َ كانَ َعلِيًّا َكبِيرا‬

Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. (An-Nisa: 34)


Mengandung ancaman terhadap kaum laki-laki jika mereka berlaku aniaya terhadap istri-
istrinya tanpa sebab, karena sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar yang akan
menolong para istri; Dialah yang akan membalas terhadap lelaki (suami) yang berani berbuat
aniaya terhadap istrinya.31

3. Tafsir Surat An-Nisa ayat 19


ِ َ‫ْض َمٓا ٰاتَ ْيتُ ُموْ ه َُّن آِاَّل اَ ْن يَّْأتِ ْينَ بِف‬
‫اح َش ٍة‬ ِ ‫ضلُوْ ه َُّن لِت َْذهَبُوْ ا بِبَع‬ُ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل يَ ِحلُّ لَ ُك ْم اَ ْن ت َِرثُوا النِّ َس ۤا َء كَرْ هًا ۗ َواَل تَ ْع‬
‫ف ۚ فَا ِ ْن َك ِر ْهتُ ُموْ ه َُّن فَ َع ٰ ٓسى اَ ْن تَ ْك َرهُوْ ا َش ْيـًٔا َّويَجْ َع َل هّٰللا ُ فِ ْي ِه خَ ْيرًا َكثِ ْيرًا‬
ِ ْ‫ُّمبَيِّنَ ٍة ۚ َوعَا ِشرُوْ ه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬

Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka
melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara
yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.
(Q.S An-Nisa (4):19)

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil. telah
menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad telah menceritakan kepada kami Asy-
Syaibani, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas —Asy-Syaibani mengatakan bahwa hadis ini
diketengahkan pula oleh Abul Hasan As-Sawa-i, yang menurut dugaannya tidak sekali-kali ia
menuturkannya melainkan dari Ibnu Abbas— sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-
orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa. Ibnu
Abbas mengatakan bahwa di masa lalu apabila ada seorang lelaki dari kalangan mereka
meninggal dunia, maka para wali si mayat adalah orang yang lebih berhak terhadap diri istri
si mayat. Dengan kata lain, jika sebagian dari mereka menyukainya, maka ia boleh
mengawininya; dan jika tidak suka, maka mereka boleh mengawinkannya; dan jika mereka
31
https://www.ibnukatsironline.com diakses pada 9 oktober 2022

20
menginginkan agar istri si mayat tidak kawin, maka mereka boleh tidak mengawinkannya.
Pada garis besarnya mereka lebih berhak terhadap diri istri si mayat daripada keluarga si istri.
Lalu Allah menurunkan ayat ini. yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, tidak
halal bagi kalian mempusakai'. wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19) 32

Waki' meriwayatkan dari Sufyan, dari Ali ibnu Nadimah, dari Miqsarn, dari ibnu Abbas,
bahwa dahulu di masa Jahiliah ada seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. lalu
datanglah seorang lelaki yang melemparkan bajunya kepada si Wanita itu. Maka si lelaki
tersebutlah yang lebih berhak terhadap diri wanita itu Lalu turunlah firman-Nya: Hai orang-
orang yang beriman. tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa.  (An-
Nisa: 19)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa.
(An-Nisa: 19)
Menurut kami ayat ini mengandung makna yang umum mencakup semua perbuatan
yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliah, juga mencakup apa yang disebut oleh Mujahid
serta orang-orang yang mendukungnya serta semua perbuatan yang mempunyai kemiripan
dengan hal tersebut.

Firman Allah Swt.:

ِ ‫ضلُوهُنَّ لِت َْذ َهبُوا بِبَ ْع‬


} َّ‫ض َما آتَ ْيتُ ُموهُن‬ ُ ‫{وال تَ ْع‬
َ

dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari
apa yang telah kalian berikan kepadanya. (An-Nisa: 19)

Janganlah kalian dalam mempergauli mereka menyusahkan mereka yang pada akhirnya
mereka membiarkan kamu mengambil apa yang telah kamu serahkan kepada mereka sebagai
maskawinnya, atau mengambil sebagiannya, atau salah satu hak mereka yang ada padamu,
atau sesuatu dari hal tersebut karena kalian ambil dari mereka dengan cara paksa dan
menimpakan mudarat terhadap mereka.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari lbnu Abbas sehubungan dengan firman-
Nya: dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena Artinya. janganlah kalian memaksa
mereka. karena hendak mengambil kembali sebagian dan apa yang telah kalian berikan

32
https://www.ibnukatsironline.com diakses pada 9 oktober 2022

21
kepadanya. (An-Nisa: 19) Seorang lelaki yang mempunyai istri, sedangkan dia tidak
menyukainya, padahal dia telah membayar maskawin kepadanya. maka ia bersikap
menyusahkan dirinya dengan tujuan agar si istri menebus kebebasannya dengan maskawin
yang telah dibayarkan kepadanya dari dia. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh
para ulama dan bukan hanya seorang. Inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ibnul Mubarak dan Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar,
telah menceritakan kepadaku Sammak ibnul Fadl, dan lbnu Salmani yang menceritakan
bahwa salali satu dari kedua ayat ini diturunkan berkenaan dengan kebiasaan di zaman
Jahiliah, sedangkan yang lainnya diturunkan berkenaan dengan apa yang terjadi di masa
(permulaan) Islam. Abdullah lbnul Mubarak mengatakan, yang dimaksud ialah firman-
Nya: Tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. (An-Nisa: 19) Yakni
seperti yang biasa terjadi di masa Jahiliah. dan janganlah kalian menyusahkan mereka. (An-
Nisa: 19) Seperti yang terjadi pada jaman permulaan Islam.

Firman Allah Swt.:

َ ‫{ِإال َأنْ يَْأتِينَ بِفَا ِح‬ 


}‫ش ٍة ُمبَيِّنَ ٍة‬

terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. (An-Nisa: 19)
Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab. Asy-Sya'bi. Al-Hasan Al-Basri, Muhammad
ibnu Sirin. Said ibnu Jubair. Mujahid. lkrimah, Ata Al-Khurraaani. Ad-Dahhak. Abu Qilabah,
Abu Saleh, As-Saddi. Zaid ibnu Aslam. dan Sa'id ibnu Abu Hilal inengatakan, yang
dimaksud dengan fahisyah atau perbuatan keji ini adalah perbuatan zina.
Dengan kata lain, bila si istri berbuat zina, maka kamu boleh mengambil kembali darinya
maskawin yang telah kamu berikan kepadanya, misalnya kamu bersikap menyusahkannya
hingga ia membiarkan maskawin itu diambil olehmu dan meminta khulu' darimu. Seperti
pengertian yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya:

َ َّ‫َوال يَ ِح ُّل لَ ُك ْم َأنْ تَْأ ُخ ُذوا ِم َّما آتَ ْيتُ ُموهُن‬


ِ ‫ش ْيئا ً ِإاَّل َأنْ يَخافا َأاَّل يُقِيما ُحدُو َد هَّللا‬

Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuasu dari yang telah kalian berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya kha watir tidak akan dapat menegakkan hukum-hukum
Allah. (Al-

Firman Allah Swt.:

ِ ‫ش ُروهُنَّ بِا ْل َم ْع ُر‬


}‫وف‬ ِ ‫{وعَا‬
َ

22
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. (An-Nisa: 19)
Bertutur sapa dengan baiklah kalian kepada mereka, dan berlakulah dengan baik dalam
semua perbuatan dan penampilan kalian terhadap mereka dalam batas yang sesuai dengan
kemampuan kalian. Sebagaimana kalian pun menyukai hal tersebut dari mereka, maka
lakukan olehmu hal yang semisal terhadap mereka. Seperti pengertian yang terdapat di dalam
firman-Nya:
ِ ‫َولَ ُهنَّ ِم ْث ُل الَّ ِذي َعلَ ْي ِهنَّ بِا ْل َم ْع ُر‬
‫وف‬

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
makruf (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Saw. pernah bersabda:

»‫ َوَأنَا َخ ْي ُر ُك ْم َأِل ْهلِي‬،‫«خ ْي ُر ُك ْم َخ ْي ُر ُك ْم َأِل ْهلِ ِه‬


َ

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik perlakuan kalian kepada istrinya, sedangkan aku
adalah orang yang paling baik kepada istriku di antara kalian.

Mengenai hukum-hukum mempergauli wanita dan hal-hal yang berkaitan dengannya,


pembahasannya secara rinci dapat dijumpai dalam kitab-kitab yang membahas masalah-
masalah hukum (kitab-kitab fiqih).

Firman Allah Swt.:

َ ‫سى َأنْ تَ ْك َرهُوا‬


}‫ش ْيًئا َويَ ْج َع ُل هللاُ فِي ِه َخ ْي ًرا َكثِي ًرا‬ َ ‫{فَِإنْ َك ِر ْهتُ ُموهُنَّ فَ َع‬

kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena barangkali kalian
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An-
Nisa: 19)
Dengan kata lain, barangkali sikap sabar kalian memegang mereka tetap menjadi istri kalian
—padahal kalian tidak suka kepada mereka— mengandung kebaikan yang banyak bagi
kalian di dunia dan akhirat.
Seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini; yang dimaksud
ialah hendaknya si suami tetap berlemah lembut kepada istrinya (yang tidak ia sukai itu),
maka pada akhirnya ia akan dianugerahi seorang anak dari istrinya, dan dari anaknya itu ia
mendapatkan kebaikan yang banyak.
Di dalam sebuah hadis sahih disebutkan:

َ ْ‫«اَل يَ ْف َر ُك ُمْؤ ِمنٌ ُمْؤ ِمنَةً ِإن‬


»‫س ِخطَ ِم ْن َها ُخلُقًا رضي منها آخر‬

23
Seorang lelaki mukmin jangan membenci wanita mukminah, jika ia tidak menyukai suatu
akhlak darinya. maka ia senang dengan akhlaknya yang lain darinya.  33

C. Tafsir Al Munir
1. Biografi Wahbah Az Zuhaili
Wahbah az-Zuhaili merupakan anak dari Musthafa az-Zuhaili seorang petani
sederhana yang terkenal akan kesholihannya dan juga seorang hafizh quran. Sedangkan
ibunya bernama Hajjah Fatimah binti Mustafa Sa’adah. Nama lengkap Wahbah az-Zuhaili
adalah Wahbah Mustafa az-Zuhaili. Lahir pada 6 Maret 1932 di desa Dair ‘Athiyah,
Damaskus Suriah. Az-Zuhaili merupakan julukan yang dinisbahkan kepada daerah Zahlah di
Lebanon yang merupakan tempat leluhurnya.34

Beliau merupakan ulama terkemuka di bidang tafsir, fiqih dan ilmu keislaman.
Wahbah az-Zuhaili wafat tanggal 8 Agustus 2015 pada usia 83 tahun dan selama hidupnya
beliau telah menulis lebih dari 200 judul kitab yang beberapa diantaranya bahkan telah
dicetak dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Beberapa judul kitab yang menjadi karya
Magnum Opus beliau adalah kitab Ushul Fiqh al-Islamy, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, dan
Tafsir al-Munir.

Nama lengkap dari kitab Tafsir al-Munir adalah at-Tafsir al-Munir: fi al-Aqidah wa
asy-Syari’ah wa al-Manhaj. Kitab ini merupakan kitab tafsir yang fenomenal karena telah
diterjemahkan ke berbagai bahasa. Kitab ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1991 oleh
Dar al-Fikr Damaskus. Tafsir ini ditulis kurang lebih selama rentang waktu 16 tahun.
Penjelasan tafsir yang komprhensif membuat karya tersebut terdiri dari 15 jilid dimana setiap
jilidnya membahas 2 juz dari al-Quran dan memiliki tidak kurang dari 10.000 halaman.

Sistematika tafsir ini disusun berdasarkan tartib mushafi dan menjelaskan tafsir ayat
per ayat secara analitik (tahlili). Namun, dalam beberapa kesempatan ditemukan juga
penggunaan metode komparatif (muqaran), dan tematik (maudhu’i) dalam menjelaskan
beberapa kandungan ayat. Kemudian, ciri utama dari Tafsir Al-Munir adalah pengungkapan
ayat yang berbasis pada ayat Al-Qur’an lainya, riwayat hadis sahih, menghindari cerita-cerita
israiliyat, menjelaskan munasabah ayat dan bersikap moderat dalam proses penafsiran ayat
Al-Quran. Sekalipun penulisnya bermazhab Hanafi akan tetapi hal itu tidak menjadikan kitab

33
https://www.ibnukatsironline.com diakses pada 9 oktober 2022

34
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hal.
174.

24
tafsir ini condong terhadap mazhab tersebut. Tidak pula terpengaruhi oleh tendensi tertentu
atau sisa-sisa keyakinan lama.35

Secara umum, isi topik pembahasan utama kajian ayat Al-Qur’an dalam Tafsir Al-
Munir meliputi tiga aspek, yaitu: Pertama, aspek kebahasaan, yaitu menjelaskan ayat Al-
Qur’an menggunakan pendekatan ilmu balaghah, gramatika Arab (Nahwu dan Shorof), dan
sedikit menyinggung perkara perbedaan qiraat. Kedua, aspek tafsir dan bayan, yaitu
mendeskripsikan kandungan dan intisari ayat Al-Qur’an yang dikaji secara komprehensif.
Ketiga, aspek fiqh al-hayat au al-ahkam, yaitu pengambilan kesimpulan dari kajian beberapa
ayat yang memiliki korelasi dengan realitas kehidupan manusia.

2. Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19


ِ َ‫ْض َمٓا ٰاتَ ْيتُ ُموْ ه َُّن آِاَّل اَ ْن يَّْأتِ ْينَ بِف‬
‫اح َش ٍة‬ ِ ‫ضلُوْ ه َُّن لِت َْذهَبُوْ ا بِبَع‬ُ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل يَ ِحلُّ لَ ُك ْم اَ ْن ت َِرثُوا النِّ َس ۤا َء كَرْ هًا ۗ َواَل تَ ْع‬
‫ف ۚ فَا ِ ْن َك ِر ْهتُ ُموْ ه َُّن فَ َع ٰ ٓسى اَ ْن تَ ْك َرهُوْ ا َش ْيـًٔا َّويَجْ َع َل هّٰللا ُ فِ ْي ِه خَ ْيرًا َكثِ ْيرًا‬
ِ ْ‫ُّمبَيِّنَ ٍة ۚ َوعَا ِشرُوْ ه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬

Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka
melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara
yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.
(Q.S An-Nisa (4):19)

Jauh sebelum datangnya ajaran islam, kaum wanita seringkali menjadi kaum yang
tertindas dan terampas hak-haknya. Bahkan di zaman jahiliyah mereka diperlakukan
layaknya barang yang bisa diwariskan dan diperlakukan semena-mena. Islam mengajarkan
akan adanya hak-hak bagi Wanita dalam perkawinan dan menetapkan larangan-larangan yang
tidak baik dilakukan terhadapnya. Diantara hak-hak Wanita dalam pernikahan yang
terkandung dalam ayat ini adalah:

Hak pertama, larangan mewarisi diri wanita, hal ini menjadi tradisi yang berlaku di
zaman jahiliyah. Adapun termasuk perbuatan yang terjadi pada zaman sekarang adalah
adanya upaya keluarga dari pihak suami yang telah meninggal untuk merebut harta yang ia
berikan kepada istrinya.

Hak kedua, larangan menghalang-halanginya untuk menikah,

‫لُوْ ه َُّن‬ff‫ْض‬
ُ ‫ َواَل تَع‬yakni janganlah menghalangi istri kalian untuk menikah dengan orang lain
dengan cara tetap tidak menceraikan mereka padehal kalian sudah tidak lagi memiliki rasa
senang terhadap mereka, yang semua itu kalian lakukan untuk mempersulit mereka dan
menimbulkan mudhorot kepada mereka.36 Pesan ini selain ditujukan untuk para suami, juga
35
Wahbah Az Zuhaili, at-Tafsir al-Munir: fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj (Damaskus: Dar
al-Fikr, 2005) jil. 1, hal. 11
36
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2013) jil. 2, hal. 638

25
ditujukan kepada para wali si mayit agar tidak menghalang-halangi si istri agar mereka dapat
mewarisi hartanya.

‫ْض َمٓا ٰاتَ ْيتُ ُموْ ه َُّن‬


ِ ‫ لِت َْذهَبُوْ ا بِبَع‬maksudnya janganlah mempergauli para istri dengan cara yang tidak
baik serta tidak patut dengan tujuan agar ia memberikan mahar atau harta yang pernah kalian
berikan kepadanya dengan pakasaan atau cara-cara yang zhalim, juga agar ia tidak menuntut
kewajiban-kewajiban yang harus kalian lakukan kepadanya.

ِ َ‫ آِاَّل اَ ْن يَّْأتِ ْينَ بِف‬akan tetapi ketika istri terbukyi secara nyata telah melakukan perbuatan
‫اح َش ٍة ُّمبَيِّنَ ٍة‬
fahisyah seperti zina, mencuri, nusuz atau hal-hal yang bertentangan dengan syariat agama
dan norma-norma kebiasaan yang berlaku, maka suami diperbolehkan bersikap dengan sikap
yang dapat membuatnya merasa susah dan tidak senang (al-‘adhlu) serta diperbolehkan untuk
mengambil kembali harta yang pernah ia berikan kepadanya. Akan tetapi perbuatan seperti
ini tidak boleh dilakukan jika hanya berdasarkan tuduhan atau rasa cemburu semata tanpa ada
bukti yang nyata, jika tidak maka sang suami telah melakukan perbuatan zhalim terhadap
istrinya.37

Hak ketiga, hak dipergauli dengan baik, yakni menghiasi diri dengan tutur kata yang
lemah lembut, bersikap baik, menjaga penampilan diri serta bijak dan adil dalam memberikan
nafkah dan giliran.

‫ف‬ ْ ِ‫رُوْ ه َُّن ب‬ff‫َاش‬


ِ ْ‫ال َم ْعرُو‬ff ِ ‫ َوع‬pada masa jahiliah, kaum lelaki seringkali bersikap kasar dan keras
terhadap Wanita, serta memperlakukan mereka dengan semena-mena. Ayat ini merupakan
bantahan sekaligus ancaman terhadap perbuatan mereka tersebut. Ayat ini juga mengajarkan
para suami untuk berlapang dada, memaklumi, dan bersikap sabar terhadap sesuatu yang
tidak ia senangi pada istrinya baik dari segi fisik ataupun sifatnya. Selagi istri tidak sampai ke
tingkatan melakukan perbuatan fahisyah atau nusuz, maka suami tidak boleh terburu-buru
bersikap negatif terhadap mereka apalagi sampai menceraikan mereka, karena bisa jadi
dibalik kekurangan mereka Allah memberikan kelebihan dan kebaikan yang banyak
baginya.38

Termasuk al-‘usyrah bil ma’ruf ketika suami dan istri sama-sama bersinergi menciptakan
suasana yang menyenangkan, damai, tentram dan kehidupan yang mengasyikkan bagi
keduanya. Mazhab maliki berpendepat bahwa ayat ini merupakan dalil apabila sang isteri
merasa tidak cukup dengan satu pembantu, maka sang suami harus memberinya pembantu
sesuai jumlah yang dibutuhkan istrinya. Adapun imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat
hal tersebut tidak lah wajib.39

3. Tafsir Surat An-Nisa Ayat 34


ٌ ‫ت ٰحفِ ٰظ‬ ٌ ‫ت ٰقنِ ٰت‬
ُ ‫صلِ ٰح‬ّ ٰ ‫ْض َّوبِ َمٓا اَ ْنفَقُوْ ا ِم ْن اَ ْم َوالِ ِه ْم ۗ فَال‬ ٰ ‫اَلرِّ جا ُل قَوَّاموْ نَ َعلَى النِّس ۤاء بما فَ َّ هّٰللا‬
‫ت‬ ٍ ‫ضهُ ْم عَلى بَع‬َ ‫ض َل ُ بَ ْع‬ َِ ِ َ ُ َ
ْ ّ ٰ ‫هّٰللا‬
‫ضا ِج ِع َواضْ ِربُوْ ه َُّن ۚ فَا ِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغوْ ا‬ ُ
َ ‫ب بِ َما َحفِظَ ُ ۗ َوالتِ ْي تَ َخافُوْ نَ نُ ُشوْ َزه َُّن فَ ِعظوْ ه َُّن َوا ْه ُجرُوْ ه َُّن فِى ال َم‬ ِ ‫لِّ ْل َغ ْي‬
‫َعلَ ْي ِه َّن َسبِ ْياًل ۗاِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِيًّا َكبِ ْيرًا‬

37
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2013) jil. 2, hal. 641
38
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2013) jil. 2, hal. 642
39
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2013) jil. 2, hal. 645

26
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan
karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-
perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri
ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-
perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat
kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau
perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi,
Mahabesar.

Ayat ini turun berkenaan dengan Sa’ad bin ar-Rabi’ yang menampar istrinya karena
membangkang kepadanya atau bersikap nusyuz. Kejadian ini sampai ke telinga Rasulullah
karena istri Sa’ad sendiri yang mengadukan perbuatannya. Mendengar pengaduan istri Sa’ad,
Rasulullah menetapkan qishash bagi Sa’ad. Tatkala Habibah dan ayahnya mendatangi rumah
Sa’ad hendak melakukan qishash terhadapnya, Rasulullah menyampaikan perihal turunnya
ayat ini. Kemudian hukuman qishash dalam masalah ini pun dihapuskan dan istri Sa’ad
Kembali ke rumahnya.40

‫ اَل ِّر َجا ُل قَوَّا ُموْ نَ َعلَى النِّ َس ۤا ِء‬laki-laki berperan sebagai pemimpin dan pengatur urusan dalam
keluarga dan rumah tangga. Ia juga bertugas mendidik dan mengawasi keluarga seperti
melindungi, menjaga, merawat dan bahkan mengingatkan jika ada sikap dan perilaku yang
melenceng. Kepemimpinan laki-laki atas perempuan ini dipengaruhi oleh dua faktor, yakni:

Pertama, faktor penciptaan. (‫ْض‬ ٰ ‫ا فَ َّ هّٰللا‬ff‫ )بم‬Kaum lelaki memiliki


ٍ ‫هُ ْم عَلى بَع‬ff‫ْض‬
َ ‫ َل ُ بَع‬ff‫ض‬ َِ
kelebihan dari segi akal, pemikiran, komitmen dan kekuatan dibandingkan perempuan. Oleh
karenanya, risalah kenabian, qodhi, pemimpin tertinggi, pelaksanaan syiar agama seperti
azan, iqomah, khutbah, sholat jum’at dan jihad dikhususkan kepada kaum lelaki.

Kedua, kaum lelaki memiliki kewajiban untuk memberikan infaq kepada istri dan
keluarga serta wajib membayar mahar sebagai simbol penghormatan kepada perempuan. (
‫ ) َّوبِ َمٓا اَ ْنفَقُوْ ا ِم ْن اَ ْم َوالِ ِه ْم‬ketidakmampuan suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya dapat
menjatuhkan peran kepemimpinannya dalam keluarga. Imam Syafi’i dan imam maliki
berpendapat jika suami tidak dapat memberikan nafkan dan sandang maka istri berhak untuk
membatalkan akad nikah. Sementara itu Abu Hanifah berbeda pendapat bahwa hal tersebut
tidak dapat menjadi sebab pembatalan akad nikah. Abu Hanifah berdalil dengan surat al-
Baqarah ayat 280 : Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang
waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui.

Selain dalam kedua hal tersebut, maka sejatinya lelaki dan perempuan memiliki hak
dan kewajiban yang sama, sebagaiman firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 228 : Dan

40
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2013) jil. 3, hal. 78

27
mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka.41

ُ ‫ب بِ َما َحفِظَ هّٰللا‬ ٌ ‫ت ٰحفِ ٰظ‬


ِ ‫ت لِّ ْل َغ ْي‬ ٌ ‫ت ٰقنِ ٰت‬ ّ ٰ ‫ فَال‬diantara ciri-ciri istri yang sholehah adalah mampu
ُ ‫صلِ ٰح‬
menjaga kehormatan dirinya, harta suaminya, dan anak-anaknya.

‫وْ َزه َُّن‬f ‫ افُوْ نَ نُ ُش‬f َ‫ َو ٰالّتِ ْي تَخ‬merupakan perempuan-perempuan yang melanggar batasan dan
aturan bersuami-istri dengan cara tidak mengindahkan hak dan kewajiban berkeluarga. Jika
seorang suami mendapati istrinya berbuat demikian, maka ayat ini menawarkan beberapa
metode yang dapat digunakan untuk mendidik istri agar Kembali menaati suami.

Langkah pertama, menasehati dan mengingatkannya dengan perkataan yang mengena


di hatinya (‫)فَ ِعظُوْ ه َُّن‬.

Langkah kedua, pisah ranjang (‫اج ِع‬


ِ ‫ض‬َ ‫) َوا ْه ُجرُوْ ه َُّن فِى ْال َم‬. Istilah ini dapat dipahami secara
hakiki atau maknawi. Secara hakiki maksudnya adalah tidak tidur pada satu ranjang, atau bisa
juga dengan tidur dalam posisi memunggungi istri, atau ada juga yang memaknainya dengan
tidak tinggal dalam satu tempat tinggal. Adapun jika dipahami secara maknawi maka
maksudnya adalah tidak menggauli istri. Meskipun demikian, seorang suami tidak boleh
mendiamkan istrinya lebih dari tiga hari.42

Langkah ketiga, memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan (‫) َواضْ ِربُوْ ه َُّن‬. Yakni
pukulan ringan yang tidak menyakitkan apalagi membahayakan, tidak menimbulkan luka,
cacat, membekas dan tidak mengenai wajah. Pukulan yang dimaksud adalah yang bertujuan
untuk mengingatkan istri agar kembali menjadi baik, bukan pukulan yang ditujukan untuk
menyakiti atau menyiksa. Jika sang suami berlebihan dalam memukul sehingga
menyebabkan kesakitan, makai ia wajib menanggung biaya pengobatannya.

Meskipun memukul istri itu dibolehkan, syeikh Wahbah az-Zuhaili menambahkan


pendapat para ulama yang mengatakan bahwa meninggalkan perbuatan tersebut adalah lebih
utama. Ummu Kultsum bin Abu Bakar ash-Shiddiq menyebutkan bahwa dahulu kaum laki-
laki pernah dilarang memukul istri-istri mereka, kemudian mereka mengeluhkan perilaku
istri-istri mereka ke Rasulullah hingga mereka dibolehkan lagi. Namun Rasulullah
bersabda,’Sebaik-baik kalian adalah yang tidak pernah memukul istrinya.’ Lalu Umar
menegaskan,’ (jika kalian memukul istri) kalian bukanlah orang yang terbaik.’ 43 Allah tidak
menyebutkan kata memukul secara jelas melainkan pada ayat ini dan ayat-ayat yang
berbicara tentang hudud. Hal ini menunjukkan ketidaktaatan isteri kepada suami merupakan
dosa besar.44

‫بِ ْياًل‬f‫وْ ا َعلَ ْي ِه َّن َس‬f‫ا ِ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَاَل تَ ْب ُغ‬fَ‫ ف‬jika istri kalian telah taat, maka janganlah mencari-cari alasan
untuk melanggar haknya, menyakitinya dan menzhaliminya.

41
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2013) jil. 3, hal. 78-79
42
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2013) jil. 3, hal. 80
43
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2013) jil. 3, hal. 81
44
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2013) jil. 3, hal. 84

28
‫رًا‬fْ‫ا َكبِي‬fًّ‫ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعلِي‬jangan lah terpedaya dengan kekuatan, keutamaan dan kekuasaan kalian
sehingga menjadikan kalian berbuat semena-mena terhadap istri-istri kalian. Ingatlah Allah
jauh lebih agung, lebih kuasa dan lebih agung dibandingkan kalian. Allah maha kuasa untuk
membalas setiap perbuatan kalian. Kalimat terakhir pada ayat ini juga dapat dipahami sebagai
anjuran untuk memaafkan kesalahan istri jika ia telah Kembali taat dan sadar akan
kesalahannya, karena Allah yang Maha luhur dan Agung saja mau menerima taubat orang
yang bermaksiat.45

D. Analisis Perbedaan dan Persamaan Penafsiran


1. Surat An-Nisa ayat 19

Perbedaan :
- ketika menjelaskan kata fahisyah, Ibnu katsir hanya menyebutkan perbuatan zina,
sedangkan Al-Maraghi dan Wahbah az-Zuhaili menyebutkan lebih rinci berupa
perbuatan zina, mencuri, nusyuz, dan hal-hal yang bertentangan dengan syariat dan
norma-norma kebiasaan yang berlaku.
- Ketika menafsirkan kata mu’asyarah bil ma’ruf, Ibnu Katsir menjelaskan
maksudnya adalah berbuat baik dalam perkataan, perbuatan dan penampilan
sesuai dengan batas kemampuan. Al-Maraghi menjelaskan pada kata mu’asyarah
mengandung makna musyarakah dan musawah (interaksi), sehingga baik istri
maupun suami harus saling terlibat untuk berbuat baik satu sama lain. Al-Maraghi
juga menyebutkan perbuatan yang termasuk di dalamnya adalah hendaknya para
suami tidak memperketat nafkah dan tidak boleh menyambut istri dengan
bermuka muram. Adapun Wahbah az-Zuhaili menjelaskan agar suami mampu
berlapang dada, memaklumi dan bersikap sabar terhadap kekurangan istri dan
terhadap sesuatu yang tidak ia senangi pada istrinya baik dari segi fisik ataupun
sifat, selama itu tidak berkaitan dengan perbuatan fahisyah, nusyuz dan yang
melanggar syariat. Wahbah az-Zuhaili juga sependapat dengan Al-Maraghi agar
suami dan istri bersinergi menciptakan suasana berkeluarga yang menyenangkan,
damai, tentram dan kehidupan yang mengasyikkan bagi keduanya. Selain itu
Wahbah az-Zihaili juga menambahkan perbedaan pendapat di ranah fikih, yakni
dalam mazhab Maliki, suami harus mencukupi kebutuhsn istri sesuai dengan
jumlah yang ia butuhkan. Sementara itu imam Syafi’i dan Abu Hanifah
berpendapat hal tersebut tidaklah wajib, melainkan hanya sesuai dengan kadar
kebutuhan saja.
Persamaan :
- Ketiga Mufassir memaknai sama-sama berpendapat bahwa tidak boleh
memperlakukan istri secar semena-mena dan keduanya hendaklah saling bersikap
baikdalam perkataan, perbuatan dan penampilan.
- ketiga mufassir juga sepakat bahwa seorang suami tidak boleh mencari-cari alasan
untuk berbuat zhalim terhadap istri sehingga istrinya merasa susah dan tidak tahan,

45
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, (Jakarta: Gema Insani, 2013) jil. 3, hal. 81

29
kecuali jika istrinya melakukan perbuatan fahisyah yang tidak hanya pada batas
menduga-duga tapi harus benar-benar nyata dan terbukti.

2. Surat An-Nisa ayat 34

Perbedaan :

- Ibnu katsir dan Al-Maraghi berpendapat bahwa lelaki adalah pemimpin dalam
keluarga karena kemampuannya dalam memberikan nafkah. Wahbah az-Zuhaili
berpendapat bahwa kepemimpinan tersebut bisa saja jatuh, manakala suami tidak
mampu memberikan nafkah dan sandang kepada istri. Beliau jugamenambahkan
perbedaan pendapat dalam ranah fikih dimana Imam Syafi’i dan Imam Malik
berpendapat bahwa dalam keadaan ini, istri berhak membatalkan akad pernikahan.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa hal tersebut tidak dapat membatalkan
akad pernikahan dengan berdalil pada surat al-Baqarah ayat 280.
- Ketika memaknai kata ‫اج ِع‬ َ ‫ رُوْ ه َُّن فِى ْال َم‬f‫ َوا ْه ُج‬, Al-Maraghi memaknainya dengan
ِ f‫ض‬
makna apa adanya sesuai dengan bunyi ayat yakni memisahkan diri dari tempat
tidur. Adapun Ibnu Katsir dan Wahbah az-Zuhaili menyebutkan maknanya lebih
rinci berupa tidak menyetubuhi, tidak tidur Bersama, atau jika terpaksa maka tidur
dengan posisi memunggungi istri, serta tidak berbicara dan mengobrol dengannya.
Wahbah az-Zuhaili menambahkan bahwa seorang suami tidak boleh mendiamkan
istrinya lebih dari 3 hari.
- Ketiga mufassir sepakat bahwa adanya kebolehan bagi suami untuk memukul istri
dalam keadaan tertentu. Akan tetapi Wahbah az-Zuhaili menyampaikan pendapat
sekalipun perbuatan itu boleh, akan tetapi meninggalkan perbuatan tersebut adalah
lebih utama.

Persamaan :

- Para mufassir sepakat bahwa yang dimaksud dengan kata qowwam adalah
pemimpin. Artinya lelaki adalah pemimpin wanita ditinjau dari segi
penciptaannya yang lebih kuat serta karena lelaki diwajibkan untuk memberi
nafkah dan mahar kepada wanita. Suami sebagai pemimpin yang mengatur urusan
keluarga dan rumah tangga, juga berperan sebagai pendidik dan pengawas
keluarga agar tidak bersikap melenceng. Isteri harus taat kepada suami sebagai
pemimpin dalam keluarga.
- ketiga mufassir sepakat bahwa huruf wawu pada kata ‫اج ِع‬ َ ‫فَ ِعظُوْ ه َُّن َوا ْه ُجرُوْ ه َُّن فِى ْال َم‬
ِ ‫ض‬
‫ َواضْ ِربُوْ ه َُّن‬menunjukkan makna tingkatan dari satu langkah ke langkah berikutnya
yang ditempuh untuk mendidik istri yang berlaku nusyuz.
- Para mufassir juga sepakat yang dimaksud dengan kata memukul pada ayat ini
adalah pukulan yang ringan, tidak menyakitkan, dan tidak melukai.

E. Kontekstualisasi
. pada hari ini banyak sekali terjadi kasus penganiayaan suami terhadap istri, perbuatan
ini seringkali dilakukan dengan dalih agama. Tindakan kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) bisa saja terjadi karena adanya kesalahan dalam memahami makna kata ar rijalu

30
qowwamuna ‘alan nisaa’. Sekalipun lelaki adalah pemimpin bagi perempuan, bukan berarti
ia dapat berbuat semena-mena terhadapnya. Sebaliknya al-Quran membawa semangat dimana
kelompok yang kuat dapat melindungi hak-hak dari kelompok yang lemah.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga dapat terjadi karena berangkat dari
pemahaman akan bolehnya seorang suami untuk memukul istri dalam islam. Hal ini
dimanfaatkan dengan cara yang bahkan tidak dibenarkan dalam islam oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab. Padehal islam memerintahkan seorang suami untuk berbuat baik
kepada istrinya, jikalau istrinya berbuat salah pun maka islam mengatur cara-cara yang dapat
ditempuh agar istrinya Kembali menjadi baik, taat dan menyesali perbuatannya, yang semua
itu bertujuan untuk menghadirkan kerhamonisan dalam berkeluarga dan juga menjamin hak
juga kewajiban setiap individu yang berkeluarga.

31
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bisa saja terjadi karena adanya pemahaman
yang salah terhadap ayat dan ajaran islam. islam sebagai agama yang sempurna melarang
seorang suami berbuat aniaya dan kasar terhadap istrinya. Islam juga membawa semangat
perubahan yang mengangkat harkat martabat perempuan.

Dalam kehidupan berkeluarga, islam mengatur tata cara interaksi sehingga hak dan
kewajiban setiap insan yang berkeluarga dapat terjaga dan terpenuhi. Islam islam
memerintahkan seorang suami untuk berbuat baik kepada istrinya, jikalau istrinya berbuat
salah pun maka islam mengatur cara-cara yang dapat ditempuh agar istrinya kembali menjadi
baik, taat dan menyesali perbuatannya. Semua itu bertujuan untuk menghadirkan
kerhamonisan dalam berkeluarga dan juga menjamin agar tidak adanya pelanggaran hak serta
kewajiban setiap individu yang berkeluarga.

32
Daftar Pustaka

Amin Ghofur, Saiful. 2013. Mozaik Mufassir al-Qur'an (dari Klasik Hingga Kontemporer).
Yogyakarta: Kaukaba.

Amin Ghofur, Saiful. 2008. Profil Para Mufasir al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani.

Anwar, Rosihon. 1999. Melacak Unsur-unsur Israiliyat dalam Tafsir Ath-Thobari dan Tafsir
Ibnu Katsir. Bandung: Pustaka Setia.

Az-Zuhaili, Wahbah. 2005. at-Tafsir al-Munir: fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj


Damaskus: Dar al-Fikr.

az-Zuhaili, Wahbah. 2013. Tafsir Al-Munir. Jakarta: Gema Insani.

Hakim, Husnul. Ensiklopedia Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-KItab Tafsir Dari Masa
Klasik sampai Masa Kontemporer). Depok: Lingkaran Studi Al-Quran.

Jalal, Abdul. 1985. Tafsir Al-Maraghi dan Tafsir al-Nur: Sebuah Study Perbandingan.
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga.

Khoirul Hadi, M. Karakteristik Tafsir Al-Maraghi Dan Penafsirannya Tentang Akal. Hunafa:
Jurnal Studia Islamika,

Musthafa Al-Maraghi, Ahmad. 1993. Tafsir Al-Maraghi, Juz 4, Terj. Anshori Umar
Sitanggal, dkk. Semarang: Karya Toha Putra.

https://www.ibnukatsironline.com diakses pada 9 oktober 2022

33

Anda mungkin juga menyukai