Anda di halaman 1dari 14

Makalah

Perkembangan Tafsir Al-Quran


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
ULUMUL QURAN
Dosen pengampu:
Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad. M.Si

Disusun oleh:
Deby Novianti

JURUSAN SOSIOLOGI 1B
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah swt, karena atas limpahan rahmatnya penyusun
dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad. M.Si
sebagai dosen pengampu mata kuliah Ulumul Quran yang telah membantu memberikan arahan
dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kami. Maka dari itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Bandung, 22 November 2022

Penulis
COVER .......................................................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................................
BAB I: PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
BAB II: PEMBAHASAN ........................................................................................................ 1
2.1 Tafsir Al-quran Masa Nabi Saw Dan Sahabat
2.2 Perkembangan Tafsir Al-quran Masa Tabi'in
2.3 Kitab Tafsir Al-quran Di Indonesia
BAB III: PENUTUPAN........................................................................................................... 6
3.1 Kesimpualan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 6
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tafsir merupakan ilmu syari‟at yang paling agung dan tinggi kedudukannya. Ia merupakan ilmu
yang paling mulia obejk pembahasannya dan tujuannya, serta sangat dibutuhkan bagi umat Islam dalam
mengetahui makna dari Al-Qur‟an sepanjang zaman. Tanpa tafsir seorang muslim tidak dapat menangkap
mutiara-mutiara berharga dari ajaran Ilahi yang kandung dalam Al-Qur‟an,
Tafsir adalah salah satu upaya dalam memahami, menerangkan maksud, mengetahui kandungan
ayat-ayat Al-Qur‟an. Upaya ini telah dilakukan sejak masa Rasulullah SAW, sebagai utusan-Nya yang
ditugaskan agar menyampaikan ayatayat tersebut sekaligus menandainya sebagai mufassir awwal
(penafsir pertama). Sepeninggalan nabi hingga saat ini, tafsir telah mengalami banyak perkembangan
yang sangat bervariatif dengan tidak melepas kategori masanya. Dan tak lepas keanekaragaman secara
metode (manhaj thariqah), corak (laun’) maupun pendekatan-pendekatan (alwan) yang digunakan
merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam sebuah karya tafsir hasil manusia yang tak pernah
sempurna-sempurna.

1.2 Rumusan Masalah


a. Tafsir quran pada masa nabi SAW dan sahabat?
b. Perkembangan tafsir al-quran tabi’in?
c. Kitab tafsir al-quran di Indonesia?

1.3 Tujuan penulisan


a. Untuk mengetahui apa itu tafsir quran masa nabi dan sahabat
b. Untuk mengetahui perkembangan tafsir al-quran masa tabi’in
c. Untuk mengetahui kitab tafsir al-quran di indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tafsir Al-quran Masa Nabi SAW Dan Sahabat


Nabi Muhamamd saw, sebagai penerima wahtu tentu saja memahami ayat al-Quran baik secara
global maupun terperinci. Karena itu, beliau memiliki kewajiban untuk menjelaskan makna dari setiap
ayat al-Quran kepada para sahabat.

Meski demikian, secara mudah para Sahabat sebenarnya tau arti dari setiap ayat karena diturunkan
menggunakan Bahasa Arab, namun terkadang para Sahabat kurang memahami bagaimana detail dan
maksud dari ayat tersebut.

Ibnu Khaldun dalam karyanya Muqaddimah menjelaskan bahwa al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab
dan menuntut uslub-uslub balaghah-nya.

Karena itu, paham bahasa arab tidak serta merta membuat para Sahabat memahami makna terperinci al-
Quran, tapi juga harus didukung dengan pengetahuan bahasa yang melingkupinya.

Maka, tidak heran jika pemahaman satu sahabat dengan sahabat lain dalam memahami al-Quran berbeda-
beda sesuai dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki.

Lalu, apa yang dipegang para sahabat untuk memahami dan melakukan penafsiran terhadap al-Quran?
Diantaranya adalah:

1. Berpegang kepada al-Quran, atau biasa disebut dengan tafsir Qur’an bil Qur’an. Hal ini bisa
dilakukan karena terkadang ada ayat yang bersifat Global lalu disusul dengan ayat lain yang
menjelaskannya secara rinci dan mendetail.
2. Berpegang kepada Nabi Muhammad, ketika mengalami kesulitan dalam mehamai al-Quran, para
sahabat bisa langsung bertanya kepada beliau dan biasanya akan langsung dijawab dengan
penjelasan oleh Nabi.
3. Berpegang pada pemahaman dan Ijtihad, selanjutnya jika ada sahabat yang belum paham
mengenai suatu ayat dan tidak mendapat penjelasan dari Nabi karena belum bertemu, maka para
Sahabat akan melakukan ijtihad dengan pemikiran dan pemahaman mereka.

Pada masa sahabat ini, tidak ada satu kitab tafsir pun yang ditulis dan dibukukan, karena urgensi pada
waktu itu lebih kepada bagaimana menjaga al-Quran dan menuliskannya. Sumber penafsiran sahabat,
yakni al-Qur'an, hadis, ijtihad/kekuatan istinbath (melalui bahasa, budaya, adat kebiasaan bangsa Arab),
serta cerita 'Ahl al-Kitāb dari kaum Yahudi dan Nasrani yang dikenal dengan isrāiliyyat. Sumber
penafsiran itu mengakibatkan penafsiran mereka, beragam.
2.2 Perkembangan Tafsir Al-quran Masa Tabi'in
Setelah kepemimpinan khulafatur Rosyidin berakhir, masa pemerintahan kemudian dipegang oleh
generasi berikuynya yaitu generasi Tabi’in yang tentunya segala urusan yang terjadi pada masa sahabat
berganti alih kepada masa Tabi’in. Begitu juga mengenai hal ilmu-ilmu yang telah berkembang pada
masa itu yang tentunya diteruskan oleh para Tabi’in sesuai dengan bidangnya masing-masing. Khususnya
juga dalam hal ilmu tafsir yang akan dibahas pada makalah ini. Dalam hal penafsiran yang pada masa ke
masa telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa
sahabat diterima baik oleh para ulama dari kaum Tabi’in di berbagai daerah kawasan Islam. Dan pada
akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah, dan di daerah lainnya yang
merupakan tempat penyebaran agama Islam pada masa Tabi’in. Masa ini terjadi kira-kira dari tahun 100
H/723 M-181 H/812 M yang ditandai dengan wafatnya Tabi’in terakhir, yaitu Khalaf bin Khulaifat
(w.181 H), sedangkan generasi Tabi’in berakhir pada tahun 200 H.

Yang mengetahui secara pasti soal tafsir ialah orang-orang Makkah, karena mereka itu
kebanyakan ada kedekatan persahabatan kepda ahli tafsir sebelumnya, sehingga memudahkan mereka
dalam memahami tafsir, seperti : Mujahid, ‘Atha bin Rayyah, Ikrimah maula Ibn Abbas, Said bin Jubair,
dan lain-lain.Namun tidak menutup kemungkinan pada waktu itu para ahli tafsir berasal dari kota
tersebut, seperti halnya Abdullah bin Mas’ud yang berasal dari Iraq, Zaid bin Aslam dan Abdurrahman
bin Zaid yang berasal dari Madinah.

1. Tokoh-tokoh Ahli Tafsir pada masa Tabi’in

Seperti halnya pada masa sahabat telah ada para ahli tafsir seperti, empat kholifah, Ibnu Mas’ud,
Ibnu abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, dan lainnya, begitu juga pada masa
Tabi’in. Banyak dari mereka yang menjadi ahli tafsir. Di bawah ini mereka Tabi’in yang ahli tafsir al-
qur’an yang tentunya telah begitu besar pengorbanannya dalam mengembangkan ilmu tafsir pada saat itu,
mereka adalah :
 Muhammad bin Ka’ab
 Abil ‘Aliyah
 Hasan Bashri
 Qatadah
 Al Rabi’in Anas
 Ad Dhahhak bin Muzaahim,
 Imam Abu Malik
 Dan lain-lain

Mereka itulah para ulama ahli tafsir di masa sesudah para shabat Nabi Muhammad saw dan
mereka itulah oleh para ulama Islam dikenal sebagai para tafsir yang terdahulu dan menjadi bahan
rujukan pada masa-masa selanjutnya.

2. Sumber Tafsir masa Tabi’in

Dalam mempelajari Al-Qur’an dan memahami maksud yang terkandung di dalam ayat-ayatnya
serta tafsirnya, para Tabi’in berlandaskan pada ayat Al-Qur’an, hadits-hadits yang diriwayatkan Nabi
saw, dan tafsir yang diberikan oleh para sahabat Nabi saw serta cerita-cerita dari para ahli kitab yang
bersumber dari isi kitab mereka. Di samping itu mereka berijtihad atau menggunakan pertimbangan
naluri, baik bersandaran pada kaidah-kaidah bahasa Arab maupun ilmu-ilmu pengetahuan lain
sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh Allah swt.
Secara umum kitab-kitab tafsir menginformasikan bahwa pendapat-pendapat Tabi’in tentang
tafsir yang mereka hasilkan melalui penalaran dan ijtihad yang independen. Artinya, penafsiran mereka
ini sedikitpun tidak berasal dari Rosulullah atau dari Sahabat. Pada pembahasan sebelumnya disebutkan
bahwa tafsir yang dinukil dari Rosulullah saw dan para Sahabat tidak mencakup semua ayat Al-Qur’an.
Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang-orang yang semasa dengan
mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari
masa Nabi Muhammad saw dan Sahabat. Maka para Tabi’in yang menekuni bidang tafsir perlu untuk
menyempurnakan sebagian kekurangan itu. Hal ini juga terjadi pada masa-masa selanjutnya. Untuk
menyempurnakan penafsiran sebelumnya mereka mengandalkan pada pengetahuan mereka dengan cara
dalam bahasa Arab maupun cara bertutur kata, dan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa
turunnya Al-Qur’an yang mereka pandang belum valid.

Dengan demikian, sumber-sumber penafsiran pada zaman Tabi’in meliputi 5 sumber, yaitu :
 Al-Qur’an
 Hadits-hadits Nabi Muhammad saw
 Tafsir dari para Sahabat
 Cerita-cerita dari para ahli kitab
 Ra’yu dan ijtihad

Dilihat dari sumber-sumbernya tersebut tafsir pada masa Tabi’in umumnya berbentuk al-matsur,
seperti halnya pada masa Sahabat. Jika dilihat dari sudut cara penafsiran secara umum tafsitan mereka
menggunakan metode ijmali. Metode ini agak lebih luas jika dibandingkan dengan tafsir pada masa
Sahabat yang menggunakan metode tahlili. Sehingga pada masa ini mulai ada perbedaan antara
penafsiran masa Sahabat dan masa Tabi’in yang kemudian diikuti dengan adanya tafsir bil ra’yi.

3. Pusat-pusat Pengajian Tafsir Pada Masa Tabi’in

Negara Islam pada masa ini telah membentang luas dari Negeri Cina di Timur sampai Utara
Spayol di Barat. Atau hampir sepertiga luas peta Bumi kita ini. Oleh karena itu para Sahabat dan Tabi’in
serta Tabi’it Tabi’in tidak menetap pada suatu daerah saja. Di daerah itu sebagian dari mereka ada yang
menjadi guru, hskim, dan sebagainya. Mereka dating dengan membawa ilmu pengetahuandan keahlian
masing-masing, terutama hadits-hadits dan tafsir yang mereka terima dari Nabi Muhammad saw.

Dari tangan Tabi’in inilah, murid mereka itu belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya
timbulah berbgai madzhab dan perguruan tafsir pada masa selanjutnya. Beriring meningkatnya kebutuhan
akan tafsir pada masa itu, maka para ulama membuat sebuah sekolah-sekolah tafsir bagi semua kalangan,
baik non Arab maupun dari Arab itu sendiri. Hal ini dilakukan karena kedekatan mereka dengan sumbber
risalah dan pelita kenabian. Di samping itu juga mereka telah semakin jauh dari masa itu sehingga
kebutuhan mereka akan tafsir meningkat. Karena semakin banyaknya penuntut ilmu, kemudian berdirilah
pusat kajian Islam seperti madrasah diniyyah yang mengajarkan tafsir Al-Qur’an. Pusat kajian tersebut
diantaranya :

a. Di Makkah pusat kajian dipimpin oleh sahabat Abdullah bin Abbas (w. 63 H). Timbulnya madrasah ini
dari Ibnu Abbas sebagai guru diMekah mengajarkan tafsir al-Quran kepada para tabi’in dan menjelaskan
hal yang musykil dari makna lafadz al-Quran, kemudian oleh tabi’in menambahkan pemahamannya
sendiri kemudian titafsirkan ke generasi berikutnya. Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) dalam hal
qira’at, madarasah ini menggunakan qiroat yang berbeda-beda, (2) Metode penafsirannya menggunakan
dasar aqliy. Murid-murid beliau diantaranya, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibn Abbas, Thawus
bin Kasan al Yamani, Atha’ bin Rabah.
b. Di Madinah pusat kajian dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab yang banyak mengajarkan tafsir Al-Qur’an.
Tokoh-tokohnya diantaranya, Zaid bin Aslam (w. 136 H), Abul Aliyah (w. 90 H), Muhammad bin Ka’ab
(w. 118 H), kemudian kepada mereka bertiga inilah para Tabi’in yang lain dan Tabi’ut Tabi’in belajar tafsir.
Munculnya madrasah ini berawal dari para sahabat yang menetap di Madinah melakukan tadarus berjamaah
dalam al-Qurn dan Sunnah diikuti oleh tabi’in yang memfokuskan perhatiaannya kepada Ubay bin Ka’ab
yang dinilai masyhur dalam menafsirkan al-Quran kemudian diteruskan ke generasi berikutnya.
Keistimewaan madrasah ini antara lain; (1) telah ada sistem penulisan naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat
Abu Aliyah lewat Rabi’ oleh Abu Ja’far Ar Roziy dan juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim
banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu ‘Aliyah. (2) Telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat
al-Quran, sebagaimana diucapkan oleh Ibnu ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradliy.
(3) Penafsiran birro’yi telah digunakan. Terbukti Tokoh Zaid bin Aslam membolehkan penafsiran bir ro’yi
namun bukan seperti madzhab bidiy pada period mutaakhiriin.

c. Di Iraq pusat kajian dipimpin oleh Abdullah ibn Mas’ud. Meskipun di sana ada guru tafsir dari Sahabat-
sahabat yang lain, Ibn Mas’ud lah yang dianggap sebagai guru tafsir pertama di Iraq dan di Kuffah.
Madrasah ini timbul ketika Khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jasin sebagai gubernur di Kufah, Ibnu
Mas’ud saat itu ditunjuk sebagai guru atau mubaligh yang dalam penafsiran al-Qur’an banyak diikuti oleh
tabi’in Iraq disamping kemasyhuran beliau juga karena tafsirnya banyak dinulkilkan kepada generasi
selanjutnya. Madrasah ini juga memiliki keistimewaan dianaranya; (1) Semaikin banyak ahli ra’yi. (2)
banyak masalah khilafiyah dalam penafsiran al-Quran diakibatkan warna ro’yi tersebut. (3) Timbullah
metode istid-lal sebagai kelanjutan dari adanya khilafiyah penafsiran al-Qur’an. Ahli tafsir dari Tabi’in Iraq
yang mempelajari tafsir dan termasuk murid-murid Ibn Mas’ud di antaranya, Al-Qomah bin Qois, Hasan
Al-Basry’ dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy, Aqamah an Nahhi, Masruq Ibn Ajda al-Hamdani, dan
lain-lain.
Pada umumnya mereka para ahli tafsir dalam menyampaikan dan menafsirkan Al-Qur’an masih berpegang
teguh pada periwayatan dan pembukuan.

4. Ijtihad Tabi’in

Periode ini terjadi kurang lebih abad II H-IV H, setelah berakhir masa Sahabat, muncul masa Tabi’in.
Generasi Tabi’in ini terdiri atas murid-murid para Sahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada
pendapat para Sahabat. Secara garis besar , para Tabi’in melakukan ijtihad dengan 2 cara, yaitu :

a. Mereka mengutamakan pendapat seorang Sahabat dari pendapat Sahabat yang lain, bahkan kadang-
kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in dari pendapat seorang Sahabat. Hal ini jika pendapat yang
diutamakan itu menurut ijtihad lebih dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

b. Mereka sendiri berijtihad, bahkan menurut mereka bahwa pembentukan hokum Islam sesungguhnya
secara professional dimulai pada masa Tabi’in ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin, setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan
dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah bersangkutan. Di Makkah muncul seperti
‘Atha Ibn Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyah, Ikrimah bin Zubair, di Basrah muncul
Muslim bin Yasir, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain. Mengenai yang paling terkenal diantara para Tabi’in
pada masa itu adalah Mujahid dan Sa’id Ibn Jubair.

5. Ciri-ciri Tafsir Tabi’in dan Keistimewaannya

a. Ciri-ciri Tafsir Tabi’in


 Memuat banyak cerita Israiliyat. Hal ini disebabkan banyak ahli kitab yang masuk Islam, padahal mereka
masih terikat oleh pemikiran lamayang tidak menyangkut soal hokum syariat.
 Terdapat kebiasaan menerima riwayat dari orang-orang tertentu atau yang hanya meriwayatkan tafsir
dari orang yang disenangi, seperti Mujahid yang hanya meriwayatkan tafsir dari Ibn Abbas, demikian pula
dengan ahli tafsir lainnya yng mengkhususkan gurunya tertentu.
 Mulai tumbuh benih-benih fanatisme madzhab sehingga sebagian tafsir Tabi’in ada yang cenderung
mempertahankan pendapat ulama madzhabnya secara kelebihan.

b. Keistimewaan Tafsir Tabi’in


Secara umum keistimewaan tafsir di masa tabiin diwarnai dengan 3 macam warna yang menjadi tolak ukur
perbedaan dengan Tafsir lainnya, yaitu diantaranya:
a. Masuknya cerita israiliyat yang dibawa oleh ahli Kitab Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam,
b. Periwayatan terjadi antar tokoh madrasah tafsir di suatu kota dengan murid-muridnya, dan
c. Terjadi perbedaan pendapat madzhabiyah yang timbul karena perbedaan pemahaman para tabi’in.
c. Kedudukan Tafsir Tabi’in

Mengenai kualitas daripada penafsiran pada masa Tabi’in, para ulama berbeda pendapat. Jika
tafsir tersebut bersifat independen, tidak diriwayatkan dari Rosulullah saw atau para Sahabat, apakah
pendapat mereka itu dapat dipegang atau tidak? Segolongan ulama berpendapat, bahwa penafsiran yang
dihasilkan oleh para ahli tafsir Tabi’in tidak harus dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan
peristiwa-peristiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga
mereka dapat saja berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir
berpendapat tafsir mereka dapat dijadikan pegangan, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari
para sahabat. Pendapat yang kuat jika para Tabi’in sepakat atas suatu pendapat, maka bagi kita wajib
menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil jalur yang lain. Pada umumnya pada masa
Tabi’in, tafsir tetap konsisten dengan metode pengajaran dan periwayatan, tetapi setelah banyak ahli kitab
masuk Islam, para Tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita israillat yang kemudian dimasukan
ke dalam tafsir, sehingga pada masa itu mulailah terjadi silang pendapat mengenai status tafsir yang
diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka. Namun demikian pendapat-
pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang lain.
Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif.

2.3 Kitab Tafsir Al-quran Di Indonesia


Tradisi penulisan tafsir di Nusantara sebenarnya telah bergerak cukup lama, dengan keragaman
teknis penulisan, corak dan bahasa yang dipakai mengungkap tentang perjalanan dan sejarah penulisan
tafsir yang pernah muncul di wilayah Nusantara dari masa ke masa.

Sebenarnya sejak abad ke-16 di Nusantara telah muncul proses penulisan tafsir. Ini dapat dilihat
dari naskah Tafsir Surah al-Kahfi [18]: 9. Teknis tafsir ini ditulis secara parsial berdasarkan surah
tertentu, yakni surah al-Kahfi dan tidak diketahui siapa penulisnya. Manuskripnya dibawa dari Aceh ke
Belanda oleh seorang ahli bahasa Arab dari Belanda, Erpinus (w.1624) pada awal abad ke-17 M.

Sekarang, manuskrip itu menjadi koleksi Cambridge University Library dengan katalog MS
Ii.6.45. Diduga manuskrip ini dibuat pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636
M), di mana mufti kesultanannya adalah Syams al-Din al-Sumatrani, atau bahkan sebelumnya, Sultan
‘Ala’ al-Din Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1537-1604), di mana mufti kesultanannya adalah
Hamzah al-Fansuri.9

Dilihat dari corak atau nuansa tafsir, Tafsir Surah al-Kahfi tersebut sangat kental dengan warna
sufistik. Ini tentu mencerminkan bahwa penulisnya adalah orang yang mempunyai pandangan spiritual
yang tinggi, atau bahkan pengikut tarekat yang mapan pada saat itu di Aceh, yaitu tarekat Qadiriah. Dari
sisi referensi, merujuk pada Tafsir al-Khazin dan Tafsir al-Baydlawi. Hal ini juga menunjukkan bahwa
penulisnya seorang yang menguasai bahasa Arab dengan baik dan mempunyai keilmuan yang tinggi.

Satu abad kemudian, muncul karya tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh ‘Abd al-Ra’uf
al-Sinkili (1615-1693 M) lengkap 30 juz. Tahun penulisan karya ini tidak bisa diketahui dengan pasti.
Namun Peter Riddel, setelah melihat informasi dari manuskrip tertua karya ini, mengambil kesimpulan
tentatif, karya ini ditulis sekitar tahun 1675 M.10

Sesudah itu, dipenghujung abad ke-18, Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1879 M)memunculkan
tafsir-nya Marah Labib li Kasffi Ma’na al-Qur’an al-Majid atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-
Munir, diterbitkan di Makkah pada tahun 1880. Tafsir ini ditulis dalam bahasa Arab, bukan bahasa
Melayu seperti bahasa yang dipakai oleh ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili dalam Tarjuman al-Mustafid.11

Agaknya penulisan tafsir al-Qur’an yang terbanyak di Nusantara muncul dalam renta-ngan masa
abad ke-20. Pada awal abad ini bermunculah beragam literatur tafsir yang mulai ditulis oleh kalangan
Muslim Indonesia. Karya-karya tafsir tersebut disajikan dalam model dan tema yang beragam serta
bahasan yang beragam pula.

itu mengenal Mahmud Yunus dengan karya tafsirnya yang berjudul Tafsir Qur’an Karim (l938),
A. Hassan menulis tafsirberjudul al-Furqon (1956), T.M. Hasbi ash-Shiddieqy menerbitkan karya di
bidang tafsir di bawah judul Tafsir al-Bayan (1971), dan Hamka dengan tafsirnya yang berjudul Tafsir al-
Azhar (1967).

Mereka itu sebagai generasi yang lahir terkemudian yang masing-masing menulis tafsir genap 30
juz dengan model penyajian runtut (tahlIli) sesuai dengan urutan surah dalam mushaf Ustmani. Di
samping itu, banyak namanama lain yang menulis tafsir bukan dengan model runtut, tetapi dengan model
tematik.12 Ini merupakan suatu keunikan tersendiri di dalam sejarah penulisan tafsir al-Qur’an di
Indonesia.

Diperkirakan banyak manuscript kitab-kitab tafsir karangan Ulama Nusantara yang tidak dicetak, atau
bahkan menghilang karena tidak di jaga dengan baik oleh kita.

Berikut ini adalah sebagian kecil saja daftar nama-nama kitab-kitab Tafsir Al-Qur’an karangan
ulama Nusantara, beberapa di antaranya bahkan di ajarkan dan di sebarluaskan ke luar Negeri:

1. Tarjuman Al-Mustafid

Nama lengkap pengarang tafsir Tarjuman Al-Mustafid adalah Syaikh Abdurrauf ibn Ali al-Jawi
al-Fansuri as-Sinkili. Di dalam tafsir Tarjuman Al-Mustafid ini, penulis menggunakan metode tahlili. Hal
ini bias dibuktikan dengan adanya ragam pendekatan dalam menafsirkan ayat Al-Quran, seperti qira’ah,
penjelasan suku kata, latar belakang turunnya ayat, nasikh-mansukh, dan munasabatul ayat.

Tafsir ini pertama kali dicetak di Kota Istanbul Turki pada tahun 1615-1693 M. Tafsir ini diduga
kuat sebagai tafsir pertama karya ulama nusantara yang menafsirkan Al-Quran 30 juz secara lengkap.
Salah satu ciri khasnya yang lain dari kitab ini adalah pendekatan pada nilai-nilai tasawuf.
2. Marah Labid li Kasyfi Ma’na Quran Majid

Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Itulah nama lengkap pengarang kitab tafsir ini, atau lebih
dikenal Syaikh Nawawi Banten. Kitab yang terbit pada 1818-1897 ini juga dikenal dengan nama Al-
Munir li Ma’alimit Tanzil. Kedua nama ini memang tampak di sampul kitab tafsir ini. Nama tafsir Al-
Munir diperkirakan diberikan oleh pihak penerbit. Sedangkan nama Marah Labid berasal dari Syaikh
Nawawi langsung.

Tafsir Marah Labid dapat digolongkan sebagai salah satu tafsir dengan metode ijmali (global).
Dikatakan ijmali karena dalam menafsirkan setiap ayat, Syaikh Nawawi menjelaskan setiap ayat dengan
ringkas dan padat, sehingga mudah dipahami. Sistematikan penulisannya pun menuruti susunan ayat-ayat
dalam mushaf. Tafsir Marah Labid terlihat sangat detail dalam menafsirkan setiap kata-perkata pada
setiap ayat.

3. Tamsyiyatul Muslimin

Kitab tafsir karya KH. Ahmad Sanusi ini memiliki nama lengkap Tamsyiyatul Muslimin fi Tafsiri
Kalami Rabbil ‘Alamin. Tafsir ini terbit secara berkala, yakni satu bulan sekali, pada 1 Oktober 1934 dan
dicetak di percetakan Al-Ijtihad Sukabumi. Cetakan ini kemudian beredar di Jakarta, Bengkulu, Bandung,
dan Singapura.

Tafsir ini telah dicetak ulang berpuluh kali dan sampai sekarang masih dipakai oleh majlis-majlis
ta’lim di wilayah Jawa Barat. Karya lainnya adalah serial Tamsyiyatul Muslimin dalam bahasa Melayu.
Setiap ayat-ayat Al-Quran ditulis dengan huruf Arab sekaligus ditulis (transleterasi) dalam huruf latin.

4. Al-Quranul ‘Adzim

Tafsir Al-Quranul ‘Adzim berbeda dengan tafsir pada umunya. Kitab tafsir ini lebih dikenal
dengan nama Tafsir Tiga Serangkai karena H. Abdul Halim Hasan menyusunnya bersama dua ulama lain,
H. Zainal Arifin Abbas dan Abdurrahim Haitami. Kitab tafsir ini disusun dan diterbitkan pada tahun
1937.

5. Al-Ibriz

Dari sekian kitab hasil karya KH. Bisri Mustofa, yang paling terkenal adalah kitab tafsirnya yang
bernama Al-Ibriz. Tafsir Al-Ibriz ini bersumber dari ijtihad Kyai Bisri yang menggunakan Bahasa Jawa
dan ditulis dengan huruf Arab pego (pegon). Alasan ayah KH. A. Musthofa Bisri ini menulisnya
menggunakan pegon adalah supaya kaum muslimin yang berada di Jawa dan waktu itu belum banyak
yang bias membaca huruf latin dapat memahami makna Al-Quran dengan mudah dan dapat memberi
manfaat di dunia ataupu akhirat.

Penulisan kitab Al-Ibriz ini membutuhkan waktu enam tahun mulai 1954 sampai 1960. Corak
kombinasi antara fikih dan tasawuf pun bias terlihat di kitab itu. Kitab yang mencakup tafsiran Al-Quran
secara keseluruhan, tafsir ini dibagi menjadi tiga jilid.

6. Al-Mahmudy

Tafsir Al-mahmudy ditulis oleh KH. Ahmad Hamid Wijaya pada tahun 1989. Tafsir Al-
Mahmudy diterbitkan oleh PBNU pada saat Muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta. Penerbitan itu
lengkap beserta dengan kata pengantar dari PBNU dan juga dari beberapa pengurus PBNU yang menjabat
pada periode tersebut. Sebab, penulis tafsir Al-Mahmudy adalah Katib Am PBNU yang menjabat selama
dua periode.

7. Al-Misbah

Nama Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab dengan pada penghujung abad ke-20 sebagai
cendekiawan muslim Indonesia. Salah satu karya terbaiknya adalah Tafsir Al-Mishbah. Dalam kitab ini
Prof. Quraish lebih menggunakan pendekatan eksploratif, deskriptif, analitis, dan perbandingan. Ini
merupakan metode penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin produk tafsir yang dilakukan oleh
ulama-ulama tafsir.

Tafsir Al-Mishbah yang terdiri dari lima belas jilid ini sangat berpengaruh di Indonesia. Bukan
hanya menggunakan corak baru dalam penafsiran, tafsir ini juga menggunakan metode penulisan dengan
mengombinasikan antara metode tahlili dengan metode maudli’i. Sebelum menafsirkan dengan metode
tahlili terlebih dahulu ia menafsirkan dengan menggunakan metode maudlu’i.

8. Al-Iklil

Kitab ini dikarang oleh Ulama dari Bangilan, Tuban. Beliau merupakan adik kandung KH. Bisri
Mustofa, Rembang. Metode penulisan Tafsir Al-Iklil terdiri dari tiga bentuk sistematika penulisan.
Diantaranya adalah penulisan ayat Al-Quran dengan terjemahan Bahasa Jawa menggunakan aksen pegon,
menerangkan secara detail makna yang diakandung dalam ayat Al-Quran dan mengulang penjelasan
makna yang penting.

Metodologi penafsiran terperinci, lugas dan tidak bertele-tele sehingga sangat tepat dikonsumsi untuk
kalangan awam pada umunya dan kalangan pesantren pada khususnya. Melihat cara penafsiran yang
digunakan dapat disimpulkan bahwa Tafsir Al-Iklil menggunakan metode tahlili.

9. Al-Munir

Penulis kitab ini adalah KH. Daud Ismail Soppeng. Karena itlah, kitab yang ditulis dalam bahsa
Bugis ini juga dikenal dengan sebutan Tafsir Daud Ismail. Tafsir ini memiliki komposisi yang sederhana.
Hal ini bias kita lihat dengan dimulainya suatu pembahasan dengan mengelompokkan ayat-ayat yang
ingin diterjemahkan dan ditafsirkan. Satu kelompok biasanya terdiri antara 3-10 ayat atau lebih dan
kadang-kadang diberi judul pada setiap kelompok ayat. Penerjemahan ayat-ayat dalam tafsir Daud Ismail
ini mengacu pada terjemahan Departemen Agama yang sudah ada sebelumnya

10. Tafsir Midadurahman

Tafsir Midadurahman merupakan karya ke-30 dari Asy-Syaikh KH. Shohibul Faroji Azmatkhan.
Tafsir ini berhasil mendapatkan 3 penghargaan sekaligus, yaitu MURI (Musium Rekor Dunia Indonesia),
MURTI (Musium Rekor Terhebat Indonesia) dan penghargaan dari MRNU (Musium Rekor Nahdlatul
Ulama). Lalu apa yang membuat tafsir ini benar-benar spesial? Ia menjadi spesial karena ini merupakan
karya NU yang terpanjang, yakni mencapai 8500 halaman atau 115 volume, isinya adalah tafisir Quran 30
juz, dan ini merupakan tafsir utuh satu-satunya di dunia.
Karya Syaikh Mufti KH. Shohibul Faroji Azmatkhan ini merupakan tafsir Alqur’an yang
mengungkap rahasia kearifan quran, dan menyingkap rahasia akhir zaman, dikaji dengan lugas dalam
berbagai perspektif, dan berdasarkan sanad keilmuan dari Rasulullah, Ahlulbayt Rasulullah, Para
shahabat Nabi, Para tabi’in, Para tabiut tabiin, sanad Walisongo hingga para mufassir nusantara
(indonesia).

Middadurrahman ditafsirkan lengkap 30 juz. Terdiri dari 115 jilid, 1 jilid menjelaskan tafsir per surat.
Jilid 115 adalah jilid ringkasan..

11. Tafsir An Nur

Tafsir Al-Qur’anul Majid atau yang lebih dikenal dengan nama TAFSIR AN-NUR ini adalah
salah satu karya monumental ulama Indonesia asal Aceh, iaitu Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-
Shiddiegy.

Tafsir An-Nur pertama kali terbit pada tahun 1956. Ini adalah kitab tafsir lengkap pertama karya
ulama ahli tafsir Indonesia yang diterbitkan di Indonesia. Tafsir ini mudah dicerna oleh semua golongan
masyarakat, dari para peneliti sampai para pemula. Tafsir inilah pula yang menjadi rujukan Terjemah
Qur’an Departemen Agama Indonesia yang pertama tahun 1952.

Tafsir An-Nur menggunakan dua metode sekaligus, yaitu mudhi’i tahlili karena dibuat
berdasarkan urutan dan susunan Al-Qur’an, ayat per ayat dan surah per surah, dan dengan bentuk
penyajian yang rinci, dan juga metode maudhu’i (tematik) karena sebelum menjelaskan tafsir suatu surah
terlebih dahulu dijelaskan gambaran umum surah tersebut.

Tafsir ini juga dapat digolongkan sebagai at-tafsir bil ra’y (tafsir berdasarkan ijtihad), walaupun
tidak semua ayat dijelaskan dengan metode tersebut. Dapat pula digolongkan sebagai at-tafsir bil-ma’tsur
(tafsir dengan riwayat), yaitu penjelasan suatu ayat dengan ayat lain atau dengan hadits dan atsar yang
shahih.

Dalam kitab tafsir ini Hasbi ash-Shiddieqy banyak mengutip dari rujukan-rujukan mu`tabar
(otoritatif). Sebut saja di antaranya, tafsir Jami` al-Bayan karya ath-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-`Azhim
karya Ibnu Katsir, tafsir al-Qurthubi, tafsir al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari, dan at-Tafsir al-Kabir
karya Fakhruddin ar-Razi.

Tidak hanya tafsir klasik, tafsir ulama muta’akhkhirin juga menjadi sumber ash-Shiddieqy,
seperti, tafsir al-Manar karya Muhammad Rasyid Ridha, tafsir al-Maraghi, tafsir al-Qasimi, dan tafsir al-
Wadhih. Selain kitab-kitab tafsir, ia juga merujuk kepada kitab-kitab induk hadis yang mu`tamad
(dipercaya), semisal, kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan kitab-kitab as-Sunan.

12. Tafsir Al-Azhar

Buya Hamka adalah seorang pemikir muslim progresif dan tokoh Muhammadiyah yang rela
berkorban dalam memperjuangkan islam hingga dia dipenjara. Namun maksudnya dia ke penjara bukan
menjadi hambatan dalam berkarya, justru di dalam sel kata itu ia hanya menyelesaikan penulisan Tafsir
al-Azhar.
BAB III
PENUTUPAN
3.1 SIMPULAN

Secara etimologis, tafsir berarti penjelasan, sedangkan terminologis tafsir adalah keterangan dan
penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Quran sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit. Tujuan
mempelajari ilmu tafsir adalah terpelihara dari salah dalam memahami al-Quran. Ada beberapa macam-
macam tafsir salah satunya adalah tafsir bil matsur.

3.2 Saran
Kami sadar bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, ke depannya kami akan lebih fokus
dan detail dalam menjelaskan tentang makalah ini dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang
tentunya dapat dipertanggungjawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.uinsgd.ac.id/8781/4/4_bab1.pdf

https://pecihitam.org/perkembangan-tafsir-pada-masa-nabi-sahabat-dan-tabiin/

Anda mungkin juga menyukai