Anda di halaman 1dari 27

MODUL 1

PENGERTIAN HUKUM KONSTITUSI DAN LETAKNYA DALAM


SISTEM HUKUM POSITIF SERTA RUANG LINGKUPNYA

1. PENDAHULUAN

Dalam pokok bahasan ini diuraikan pengertian hukum konstitusi, dengan


penjelasan mengenai kaidah hukum konstitusi dari segi etimologi, konstitusi
dalam arti luas dan dalam arti sempit; letak hukum konstitusi dalam sistem
hukum positif, khususnya dalam sistem hukum Belanda dan sistem hukum
nasional Indonesia; dan ruang lingkup disiplin hukum konstitusi. Setelah
mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan akan dapat menjelaskan
pengertian hukum konstitusi, pengertian konstitusi dari segi etimologi, perngertian
konstitusi dalam arti sempit dan dalam arti luas; letak hukum konstitusi dalam
sistem hukum positif dan ruang lingkup hukum konstitusi.

2. PENYAJIAN

2.1. Pengertian Hukum Konstitusi


Penggunaan istilah “Hukum Konstitusi” dalam studi Ilmu Hukum di
Indonesia sering membingungkan, karena lazimnya istilah constitutional law
(Inggris), droit constitutionnel (Perancis), verfassungsrecht (Jerman)
diterjemahkan dengan Hukum Tata Negara. Ada juga ahli hukum seperti Philipus
M. Hadjon1 menterjemahkan dengan Hukum Konstitusi atau Hukum Negara dari
Staatsrecht (Belanda) oleh Apeldorn.2 Hukum Negara atau Hukum Konstitusi
atau Hukum Tata Negara ini meliputi Hukum Tata Negara (dalam arti sempit) dan
Hukum Administrasi. Secara sederhana kita dapat membedakan kedua macam
hukum tersebut (Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi) dengan
pandangan Oppenheim bahwa hukum tata negara bertalian dengan negara dalam

1
Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan
Yang Bersih, Pidato pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 10 Oktober 1994, Surabaya, hlm. 4-5.
2
L.J.van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan Sadino Utarid, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1993, hlm. 240.

1
keadaan statis/tidak bergerak (staats in rust) dan hukum administrasi bertalian
dengan negara dalam keadaan bergerak (staats in beweging).3
Istilah Hukum Konstitusi yang kini telah ramai digunakan dalam studi
Ilmu Hukum Tata Negara di Indonesia merupakan pengembangan studi Ilmu
Hukum Tata Negara yang dilakukan oleh Sri Soemantri R. Martosoewignjo.
Beliau menyempatkan diri secara khusus mengajar mata kuliah ini 4 pada Bidang
Kajian Utama Ilmu Hukum Ketatanegaraan – Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, di samping mata kuliah Hukum Tata Negara (lanjut) dan Politik
Hukum. Pada perkembangan terakhir, mata kuliah Hukum Konstitusi telah
ditetapkan sebagai salah satu mata kuliah pilihan dalam Program S-1 Fakultas
Hukum oleh Konsorsium Ilmu Hukum.
Untuk dapat memahami apa itu Hukum Konstitusi, kita perlu menyimak
pendapat Sri Soemantri R. Martosoewignjo5 bahwa Hukum Konstitusi
merupakan bagian dari Hukum Tata Negara. Lebih lanjut Sri Soemantri R.
Martosoewignjo merujuk pada pendapat Andre Mast (Guru Besar Hukum Tata
Negara Belgia) bahwa “hukum konstitusi adalah kaidah-kaidah hukum tentang
hal-hal yang terdapat dalam konstitusi”.
Ini berarti bahwa hukum konstitusi itu merupakan bagian dari hukum tata
negara (dalam arti sempit), yang membicarakan kaidah-kaidah hukum yang
terdapat dalam konstitusi. Persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut adalah:
“apakah dan bagaimanakah kaidah hukum, serta apakah itu konstitusi?

Kaidah Hukum
Menurut Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, kaidah hukum
adalah patokan-patokan atau pedoman hidup antar pribadi yang bertujuan untuk
menciptakan kedamaian hidup bersama (peaceful living together).6 Di samping
3
Perbedaan tersebut dapat dilihat juga dalam Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian
Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 2-16.
4
Mata kuliah yang diajarkan pada BKU Ilmu Hukum Ketatanegaraan – Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran adalah “Teori dan Hukum Konstitusi”.
5
Sri Soemantri R. Martosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni,
Bandung, 1987, hlm. 9. Lihat juga Sri Soemantri R. Martosoewignjo, Hukum Konstitusi dan
Permasalahannya, Makalah, Bandung, 9 Mei 1981, hlm. 11.
6
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, 1986,
hlm. 9-10.

2
kaidah hukum, terdapat juga kaidah lainnya yaitu kaidah kepercayaan, kaidah
kesusilaan, dan kaidah sopan santun.7
Satjipto Rahardjo8 menunjukkan ciri-ciri dari norma hukum, antara lain
diciptakan secara sengaja oleh alat perlengkapan masyarakat yang ditugasi
membuat hukum, bertujuan untuk menegakkan suatu jenis ketertiban tertentu
dalam masyarakat, lahir dari kehendak manusia, terikat pada dunia ideal dan
kenyataan, serta harus dapat dipertanggungjawabkan berlakunya secara filosofis
dan sosiologis.

Mengenai jenis kaidah hukum, J.J.H.Bruggink9 membedakan atas kaidah


hukum sebagai kaidah perilaku dan kaidah hukum sebagai meta-kaidah. Dalam
hal kaidah hukum sebagai kaidah perilaku menampilkan diri dalam berbagai
wajah (sosok). Penggolongan yang paling umum adalah sebagai berikut:
1. Perintah (gebod), ini adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
2. Larangan (verbod), ini adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan
sesuatu;
3. Pembebasan (vrijstelling, dispensasi), ini adalah pembolehan (verlof)
khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan;
4. Izin (toestemming, permisi), ini adalah pembolehan khusus untuik
melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.10
Dalam hal kaidah hukum sebagai meta-kaidah, Bruggink mengutip
pendapat H.L.A. Hart yang menyebut tiga macam meta-kaidah, yaitu:
1. Kaedah pengakuan (kaedah rekognisi). Kaedah yang menetapkan kaedah
perilaku mana yang di dalam sebuah masyarakat hukum tertentu harus
dipatuhi.
2. Kaedah perubahan. Kaedah yang menetapkan bagaimana suatu kaedah
perilaku dapat berubah.
3. Kaedah kewenangan. Kaedah yang menetapkan oleh siapa dan dengan
melalui prosedur yang mana kaedah perilaku ditetapkan, dan bagaimana
7
Ibid.
8
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 16-18.
9
J.J.H.Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm. 100-106.
10
Ibid.

3
suatu kaedah perilaku diterapkan jika dalam suatu kejadian tertentu terdapat
ketidakjelasan.11

Khusus tentang kaedah kewenangan, H.L.A. Hart masih membaginya


lebih rinci lagi, yaitu kaedah kewenangan publik dan kaedah kewenangan perdata.
Kaedah kewenangan publik dapat dibagi lagi ke dalam kaedah pembentukan
undang-undang, kewenangan kehakiman dan kewenangan pemerintahan. Juga
dalam hukum perdata terdapat kaedah kewenangan, yang pada gilirannya dapat
dibagi lagi ke dalam misalnya kaedah-kualifikasi, kaedah kewenangan dalam arti
sempit, dan kaedah prosedur.12
Bruggink13 juga menunjukkan pembedaan kaedah hukum yang lain yaitu
berdasarkan teori hukum yang dianut oleh seorang penulis. Pembedaan ini sering
muncul, namun masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan penulis tentang
jenis pembedaan ini. Pembedaan tersebut adalah kaedah mandiri dan kaedah tidak
mandiri. Kaedah hukum mandiri hanya menurut wawasannya adalah kaedah yang
khas. Jenis kaedah hukum yang mandiri harus menunjang kaedah hukum yang
mandiri. Karena itu, pembedaan ini adalah tidak begitu penting, tetapi penting
dalam hubungannya dengan pandangan hukum yang dianut.
Fungsi norma/kaidah hukum menurut Hans Kelsen yang dikutip oleh A.
Hamid S. Attamimi14 antara lain memerintah (gebieten), melarang (verbieten),
menguasakan (ermachtigen), membolehkan (erlauben), dan menyimpang dari
ketentuan (derogieren). Sedangkan mengenai sifat mengaturnya sebuah norma
hukum, Hans Nawiasky mengemukakan dapat ein Konnen (pada norma
fundamental negara, umpamanya), dapat ein sollen (inilah sifat pada umumnya),
dan dapat ein Mussen (yang mengharuskan).
Bertalian dengan kaedah/norma hukum negara, A. Hamid S. Attamimi
mengutip pendapat Hans Nawiasky (murid Hans Kelsen) bahwa norma-norma
tersebut berada dalam tata susunan dari atas ke bawah sebagai berikut:
11
Ibid.
12
Ibid.
13
Ibid.
14
A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta, 1990, hlm. 302.

4
 Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm);
 Aturan dasar negara/aturan pokok negara (staatsgrundgesetz);
 Undang Undang (formal) (formell gesetz); dan
 Peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom (verordnung & autonome
satzung).
Norma fundamental negara adalah norma tertinggi dalam negara. Menurut
Nawiasky, isi norma ini merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau
undang-undang dasar suatu negara (staatsverfassung), termasuk norma
pengubahannya. Hakekat hukum suatu staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi
berlakunya suatu konstitusi. Norma ini ada sebelum adanya suatu konstitusi. Di
bawah norma fundamental negara terdapat aturan dasar negara atau aturan pokok
negara (staatsgrundgesetz). Norma ini biasanya dituangkan dalam batang tubuh
suatu konstitusi tertulis.15

Dengan demikian jelaslah bahwa kaidah-kaidah hukum yang terdapat


dalam konstitusi (sesuai rumusan konstitusi di depan) adalah staatsgrundgesetz
atau aturan-aturan dasar negara atau aturan pokok negara. Aturan-aturan dasar
negara ini merupakan pedoman/patokan dalam penyelenggaraan negara. Berbeda
dengan kedua jenis kaidah hukum di atas, norma hukum dalam suatu undang-
undang merupakan norma hukum yang lebih konkrit dan terinci serta sudah dapat
langsung berlaku dalam suatu masyarakat. Norma hukum dalam undang-undang
ini tidak saja hanya norma yang bersifat tunggal, tetapi norma-norma hukum itu
sudah dapat dilekatkan oleh norma sekunder di samping norma hukum primernya,
sehingga suatu undang undang sudah dapat mencantumkan norma-norma yang
bersifat sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Selain daripada itu,
undang- undang itu berbeda dengan peraturan-peraturan lainnya, oleh karena
suatu undang-undang merupakan norma-norma hukum yang selalu terbentuk oleh
suatu lembaga legislatif.

Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom merupakan peraturan-


peraturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi

15
Ibid.

5
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang, dimana peraturan
pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi sedangkan peraturan otonom
bersumber dari kewenangan atribusi.
Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
(attributie van wetgevingsbevoegheid) ialah pemberian kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan yang diberikan UUD atau Undang-Undang kepada
suatu lembaga negara/pemerintahan. Kewenangan tersebut melekat terus menerus
dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai
dengan batas-batas yang diberikan.
Delegasi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
(delegatie van wetgevingsbevoegheid) ialah pelimpahan kewenangan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah, baik pelimpahan yang dinyatakan secara tegas maupun tidak.
Berlainan dengan atribusi, pada delegasi kewenangan tersebut tidak diberikan
melainkan “diwakilkan”, dan selain itu kewenangan delegasi itu bersifat
sementara dalam arti kewenangan itu dapat diselenggarakan sepanjang
pelimpahan tersebut masih ada.
Berdasarkan pemahaman tentang norma hukum (khususnya
stufenauftheorie dari Hans Kelsen dan stuvenaufbautheory dari Hans Nawiasky)
dan norma-norma hukum yang berkenaan dengan konstitusi, maka dalam sistem
hukum Indonesia, dikenal norma hukum negara dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan dengan Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib
Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik
Indonesia. Kemudian Ketetapan MPRS tersebut telah diganti dengan Ketatetapan
MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan, yang dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004. Jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan dalam kedua produk
hukum tersebut dan pengelompokan berdasar jenjang dan jenis norma
digambarkan sebagai berikut:

6
7
Dengan demikian jelaslah bahwa kaedah-kaedah hukum yang terdapat
dalam konstitusi (sesuai rumusan konstitusi di depan) adalah staatsgrundgesetz
atau aturan-aturan dasar negara atau aturan pokok negara. Aturan-aturan dasar
negara ini merupakan pedoman/patokan dalam penyelenggaraan negara.

Konstitusi

8
Selanjutnya kita akan membahas “apakah yang dimaksudkan dengan
konstitusi?”. Kata konstitusi berasal dari bahasa Perancis dari kata “consituer”,
yang kemudian diambilalih dalam bahasa Belanda “constitute”, bahasa Inggris
“constitution”, yang berarti “membentuk”. Oleh karena itu, istilah konstitusi
dimaksudkan sebagai “pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan
suatu negara”.
Dalam pemakaian yang lazim, kata konstitusi sering diidentikkan dengan
pengertian grondwet (Belanda), namun sebenarnya kata konstitusi itu
mengandung arti undang undang dasar yang tertulis dan undang undang dasar
yang tidak tertulis. Kata grondwet (Jerman : grundgesetz) berarti hukum dasar
tertulis, sehingga pengertian grondwet hanya meliputi sebagian saja dari konstitusi
yaitu konstitusi tertulis, tidak meliputi konstitusi yang tidak tertulis (konvensi).
Konstitusi tidak sama dengan grondwet, karena konstitusi mempunyai arti yang
lebih luas dari grondwet, yaitu meliputi hukum dasar yang tertulis dan hukum
dasar yang tidak tertulis.
Pengertian konstitusi dapat disimak dari pendapat para ahli, sebagai
berikut:
1. Lord James Bryce sebagaimana dikutip oleh C.F.Strong berpendapat
bahwa “Constitution is a frame of political society, organized through and by
law, one in which law has estabilished permanent institutions which
recognized function and definite rights”.16 (suatu kerangka dari negara, yang
diorganisir melalui dan dengan hukum, dimana di dalam hukum itu ditetapkan
institusi-institusi yang bersifat tetap dengan diakui fungsi-fungsi dan hak-hak
yang tetap).
2. C.F.Strong mengungkapkan bahwa “A constitution may be said to be a
collection of principles according to which the powers of government, the
rights of governed, and the relations between the two are adjusted” 17 (Sebuah
konstitusi dapat dikatakan sebagai kumpulan asas-asas yang menetapkan

16
C.F.Strong, Modern Political Constitution, The Language Book Society and Sidgwick &
Jackson Limitted, London, 1966, p. 11.
17
Ibid.

9
kekuasaan pemerintahan, hak-hak dari pihak yang diperintah, dan hubungan
antara pemerintah dan yang diperintah).
3. Dalam menguraikan pengertian konstitusi, K.C.Wheare memulai
uraiannya dengan pertanyaan “apakah konstitusi itu ? dalam bab I bukunya.
Dari uraiannya itu dapat disingkap pengertian konstitusi sebagai berikut:18
 Terdapat paling kurang dua pengertian konstitusi, yakni konstitusi dalam
arti luas dan konstitusi dalam arti sempit;
 Konstitusi dalam arti luas adalah keseluruhan sistem pemerintahan negara,
yang meliputi ketentuan-ketentuan yang bersifat hukum dan ketentuan-
ketentuan yang bersifat non hukum; konstitusi dalam arti sempit adalah
ketentuan-ketentuan konstitusional bersifat hukum yang dituangkan dalam
suatu dokumen atau beberapa dokumen yang saling berkaitan.
 Ketentuan-ketentuan konstitusional bersifat hukum, selain dijumpai dalam
konstitusi, juga diketemukan dalam ordinary law atau organic law.
 Perbedaan antara konstitusi dengan undang-undang organik adalah
konstitusi menetapkan lembaga-lembaga negara dan prinsip-prinsip secara
garis besar mengenai pengaturan lembaga-lembaga tersebut, sedangkan
undang-undang organik mengatur secara mendetail tentang komposisi dan
pelaksanaannya.
 Ketentuan-ketentuan konstitusional yang bersifat non hukum adalah berupa
adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan konvensi.
 Perbedaan antara ketentuan-ketentuan konstitusional yang bersifat hukum
dan ketentuan-ketentuan konstitusional yang bersifat non hukum adalah
terletak pada ketaatan terhadap ketentuan tersebut. Dalam ketentuan
konstitusional yang bersifat hukum, pengadilan akan mengakuinya sebagai
hukum dan menerapkannya dalam kasus konkrit; sedangkan dalam
ketentuan konstitusional yang bersifat non hukum, pengadilan tidak
mengakui sebagai hukum dan tidak akan menerapkan ketentuan tersebut
apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut.

18
K.C.Wheare, Modern Constitution, Oxford University Press, New York – Toronto, 1979, p. 1-
12.

10
4. Bolingbroke yang dikutip oleh K.C.Wheare mengemukakan bahwa “…
Constitution,… that assemblage of laws, institutions and customs, derived from
certain fixed princeples of reason … that compose the general system,
according to which the community hath agreed to be governed”.19 (konstitusi
adalah kumpulan kaedah-kaedah, institusi-institusi, dan kebiasaan-kebiasaan,
diambil/ditarik dari asas-asas penalaran tertentu dan pasti, terdiri dari sistem
umum, atas dasar kesepakatan masyarakat untuk diperintah).
5. Herman Heller membagi konstitusi dalam tiga pengertian, yaitu:20
a. Konstitusi mencerminkan kehidupan politik yang menjadi kenyataan dalam
masyarakat dan belum merupakan konstitusi dalam arti hukum atau dengan
perkataan lain konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau
politis dan belum merupakan pengertian hukum.
b. Kemudian orang berusaha mencari unsur-unsur hukum dari konstitusi yang
hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan sebagai suatu kesatuan kaedah
hukum, maka konstitusi itu disebut rechtverfassung. Tugas mencari unsur-
unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut “abstraksi”.
c. Selanjutnya orang mulai menulisnya dalam suatu naskah sebagai undang-
undang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Beranjak dari pengertian-pengertian konstitusi yang telah dipaparkan di
atas, maka dapatlah diketahui bahwa pada prinsipnya konstitusi itu mengandung
dua pengertian, yaitu :
a. Konstitusi dalam pengertian sempit, yaitu untuk menunjukkan satu dokumen
atau kumpulan peraturan yang memuat aturan-aturan atau ketentuan-
ketentuan dasar/pokok yang tertulis tentang bangunan suatu negara atau
sistem ketatanegaraan dari sebuah negara.
b. Konstitusi dalam pengertian luas, yaitu menunjukkan keseluruhan aturan-
aturan atau ketentuan-ketentuan yang tertulis dan tidak tertulis tentang sistem
ketatanegaraan dari sebuah negara.

19
Id., hlm. 2.
20
Herman Heller, Staatlehre, herausgegeben von Gerhart Niemeyer, A.W. Sijthoff, Leiden, p.
249.

11
Dengan pengertian konstitusi tersebut, maka konstitusi telah menjadi hal
yang tak bisa dipisahkan dari negara-negara modern. Kita tidak menemukan lagi
suatu negara yang hidup tanpa konstitusi. Apapun bentuknya, entah itu tertulis
ataupun tidak tertulis, dalam bentuk dokumen atau non dokumen, tetapi yang jelas
dan pasti setiap negara memiliki konstitusi. Sebagai contoh, di negara Inggris 21
.
tidak terdapat suatu dokumen yang disebut konstitusi Inggris, namun sejak
Inggris memiliki sebuah sistem pemerintahan yang teratur dengan sejumlah
peraturan yang menentukan komposisi, kedudukan, fungsi dan hubungan antar
lembaga pemerintahan, dan menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dari yang diperintah (rakyat), Inggris telah memiliki konstitusi dalam arti luas.
Perkembangan konstitusi di Inggris sangat menarik dan meluas, sehingga
Colin Turpin menggambarkan bahwa “The British Constitution, having envolved
over centuries, does not embody any single constitutional theory. It is the product
of a long period of kingly rules, parliamentary struggle, revolutions, many
concessions and compromises, a slow growth of custom, tha making and breaking
and alteration of many law ”22 .(konstitusi Ingrris berkembang sepanjang abad,
tidak mewujudkan suatu teori konstitusi tunggal. Konstitusi merupakan produk
sepanjang masa dari peraturan raja, perjuangan parlemen, revolusi-revolusi,
berbagai persetujuan dan kesepakatan, sebuah pertumbuhan yang perlahan dari
kebiasaan, membentuk dan memecahkan serta memahami banyak hukum).
Di negara Republik Indonesia khususnya dalam masa berlakunya UUD
1945, dianut kedua pengertian konstitusi di atas. UUD 1945 yang terdiri dari
pembukaan dan batang tubuh merupakan konstitusi dalam pengertian sempit.
Selain itu, sesuai dengan Penjelasan UUD 1945, yang antara lain menyebutkan
bahwa untuk memahami hukum dasar dari negara Republik Indonesia, tidak
cukup kalau hanya dilihat pada ketentuan UUD 1945 saja, tetapi juga pada aturan-
aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara

21
Stanley De Smith and Rodney Brazier, Constitutional and Administrative Law, New Edition,
The Penguin Books, London, 1989, p. 6.
.

22
Colin Turpin, British Government and the constitution, Text, Cases and Material, Second
Edition, Wiedenfield and Nicolson Ltd., London, 1990, p. 19.
.

12
meskipun tidak tertulis. Dengan Penjelasan UUD 1945 tersebut, jelaslah negara
Republik Indonesia juga mengakui adanya hukum dasar tidak tertulis (konvensi
ketatanegaraan), sehingga UUD 1945 juga menganut konstitusi dalam arti luas.

2.2. Letak Hukum Konstitusi Dalam Sistem Hukum Positif


Sebelum kita membicarakan letak hukum konstitusi dalam kerangka
sistem hukum positif (sistem hukum yang sedang berlaku), maka terlebih dahulu
kita harus memahami sistem hukum. Kata sistem hukum terbentuk dari kata
sistem dan hukum. Kata sistem menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,23
berarti sekelompok bagian-bagian (alat dsb.) yang bekerja bersama-sama untuk
melakukan sesuatu maksud: misal, sistem urat syaraf dalam tubuh; sistem
pemerintahan.

Hukum diartikan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai “keseluruhan


asas-asas dan kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, lembaga-lembaga (institution), proses-proses (process) yang
mewujudkan berlakunya kaedah-kaedah itu dalam kenyataan”.24 Dalam pengertian
hukum tersebut terkandung hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, meliputi
asas-asas dan kaedah-kaedah, lembaga-lembaga, serta proses penerapannya.

Kedua kata itu dipadukan menjadi “sistem hukum” mengandung arti


susunan dan hubungan dari asas-asas dan kaedah-kaedah yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, lembaga-lembaga, proses-proses yang
mewujudkan berlakunya kaedah-kaedah dalam kenyataan.
Pengertian sistem hukum yang dibentuk dari asal katanya ini memang
sangat sederhana, namun menyiratkan makna yang sangat luas, karena dalam
pengertian tersebut terkandung hukum normatif dan hukum empirik. Dari hukum
normatif akan berkembang pandangan orang hukum tentang sistem hukum dan
dari hukum empirik berkembang pandangan sosiolog hukum tentang sistem

23
W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hlm.
955.
24
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum,
Binacipta, Bandung, 1986, hlm. 11.

13
hukum. Seiring dengan itu, J.J.H. Bruggink25 .mengemukakan bahwa terdapat
dua pandangan tentang sistem hukum, yakni:
1. Pandangan orang hukum, yang biasanya mendekati hukum dari aspek
sistematisnya, mengartikan hukum sebagai susunan dan hubungan saling
berkaitan dari aturan-aturan dan putusan hukum (sebagai sistem ideal) yang
berlaku dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini, sistem hukum lebih banyak
berkenaan dengan sistem hukum ideal dari kaedah-kaedah hukum yang
mungkin direka, yang di dalamnya orang dapat memperoleh pemahaman
tentang tuntutan (syarat-syarat) dari hukum, ketimbang untuk
mensistimatimasi tatanan-tatanan hukum positif yang ada.
2. Pandangn sosiolog hukum, yang bertolak dari kenyataan kemasyarakatan,
akan menguraikan unsur-unsur (menganalisis) apa saja yang masuk dalam
suatu sistem hukum.
Menurut pandangan sosiolog hukum, antara lain Kees Schuit bahwa sebuah
sistem hukum terdiri atas tiga unsur yang memiliki kemandirian tertentu
(memiliki identitas dengan batas-batas yang relatif jelas) yang saling
berkaitan, dan masing-masing dapat dijabarkan lebih lanjut. Unsur-unsur yang
mewujudkan sistem hukum itu adalah :
a. Unsur Idiil, terdiri dari aturan-aturan, kaedah-kaedah, dan asas-asas. Inilah
yang oleh yuris disebut sistem hukum, tetapi sosiolog hukum masih ada
unsur lainnya:
b. Unsur operasional, terdiri dari keseluruhan organisasi-organisasi, lembaga-
lembaga, dan pejabat hukum.
c. Unsur faktual, terdiri dari keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-
perbuatan konkrit yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik
pejabat maupun masyarakat.
Menurut Bagir Manan, sistem hukum dapat dilihat sekurang-kurangnya
dari dua segi, yaitu :26
25
J.J.H.Bruggink, Op Cit., hlm. 136-140.
.

26
Bagir Manan, Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Nasional, Makalah, disamnpaikan pada
kuliah pendahuluan (Pra Pasca), Program Ilmu Hukum, Pascasarjana UNPAD, Bandung, 1
Oktober 1994, hlm. 2.

14
1. Sistem hukum merupakan “wadah” yang menjamin harmonisasi dan
mengarahkan perkembangan asas dan kaedah hukum satu sama lain;
2. Sistem hukum merupakan kumpulan asas dan kaedah hukum itu sendiri yang
senantiasa tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan asas dan kaedah hukum. Dengan perkataan lain, sistem hukum
merupakan refleksi sistematik dari asas dan kaedah hukum yang tumbuh
dalam masyarakat. Dari sisi ini, sistem hukum senantiasa tumbuh dan
berkembang bersama-sama pertumbuhan dan perkembangan asas dan kaedah
hukum.
Berangkat dari pemahaman ini, Bagir Manan27 lebih cenderung melihat
sistem hukum sebagai refleksi dari asas dan kaedah hukum yang berlaku, yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat tertentu. Sistem hukum tidak saja
dilihat sebagai abstraksi dari asas dan kaedah hukum, tetapi juga termasuk segi-
segi pembentukan dan penegakan hukum.
Pemikiran Bagir Manan tentang sistem hukum ini nampaknya sejalan
dengan pandangan Bruggink. Kalau menurut Bagir Manan, sistem hukum itu
merupakan abstraksi dari asas dan kaedah hukum, adalah identik dengan
pemikiran Brugink tentang makna sistem hukum yang dianut oleh orang hukum.
Demikian pula dengan pemikiran Bagir Manan tentang sistem hukum termasuk
pembentukan dan penegakan hukum, adalah identik dengan pemikiran Brugink
tentang makna sistem hukum yang dianut oleh para sosiolog hukum.
Apasajakah yang menjadi unsur/komponen sebuah sistem hukum ? Sistem
hukum sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan, bersifat integral, saling
berhubungan satu sama lain dan saling mendukung karena dirajut oleh asas-asas
hukum dan kaedah-kaedah hukum yang sama, misalnya sistem hukum nasional
(Indonesia) terikat dalam satu rajutan sistem hukum karena dirajut oleh asas-asas
hukum dan kaedah-kaedah hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta
dijiwai oleh wawasan nusantara (GBHN 1993 Bab I huruf C butir 5). Komponen-
komponen suatu sistem hukum biasanya terdiri dari materi/substansi hukum,
lembaga dan aparatur hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum, pendidikan

27
Ibid.

15
hukum, penelitian hukum, perencanaan hukum, pembentukan hukum, penerapan
dan pelayanan hukum, pengawasan hukum, informasi hukum, dan administrasi
hukum.

Dimanakah letak hukum konstitusi dalam kerangka sistem hukum secara


keseluruhan? Menurut H.D. van Wijk dalam buku “Hoofdstakken van
Administrativerecht” yang dikerjakan oleh Willem Konynenbelt bahwa sistem
hukum Kerajaan Belanda dapat divisualisasikan dalam bagan, sebagai berikut:28

Huk. Perdata Material Huk.Pidana Material

Yg Meng- Yg me- Hukum Administrasi dalam Hukum


Atur maksa UU Pidana
Khusus Umum

Non Contenteus
Huk. Acara Perdata Huk.Ac.Ad- Huku. Acara Pidana
ministrasi
Contenteus

Organisasi Organisasi Organisasi


Peradilan Peradilan Peradilan

Hukum Tata Negara

Demikian pula Crince Le Roy memberikan gambaran tentang sistem hukum


Belanda dalam sebuah bagan sebagai berikut :29 .

Hukum Tata Negara

Hukum Hukum Hukum


28
Sri Soemantri Martosoewignjo, dalam Moh. Busyro Muqoddas, dkk. (Penyunting), Politik
Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta, 1992, hlm. 31.
29
Ibid.
.

16
Perdata Administrasi Pidana

Hk.Acara Hk. Acara Administrasi Hk.Acara


Perdata Pidana

Dalam kedua bagan tersebut di atas terdapat perbedaan yaitu pada bagan
yang dibuat oleh van Wijk, hukum tata negara (staatsrecht) diletakkan pada
kotak yang paling bawah, sedangkan pada bagan yang dibuat oleh Crince Le
Roy, hukum tata negara (staatsrecht) diletakkan pada kotak yang paling atas.
Selain itu, terdapat perbedaan lainnya yaitu pada luasnya bidang hukum
administrasi. Pada bagan yang dibuat oleh Crince Le Roy, hukum administrasi
lebih luas dari pada bidang hukum lainnya, karena hukum administrasi terus
berkembang seiring dengan semakin bertambah luas dan kompleksnya masalah
yang dihadapi oleh Administrasi Negara. Dengan hadirnya konsep negara hukum
kesejahteraan (welfare state), maka administrasi negara harus turut campur tangan
dalam berbagai kepentingan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, hukum administrasi negara semakin bertambah luas dan
menggerogoti bidang hukum lainnya.
Kendatipun kedua ahli tersebut menempatkan posisi hukum tata negara
pada tempat yang bebeda dalam sistem hukum positif Belanda, namun keduanya
menempatkan hukum tata negara pada posisi yang penting. H. D.van Wijk
meletakkan hukum tata negara pada posisi paling bawah, menunjukkan cabang ini
sebagai basis bagi ketiga cabang hukum lain. Crince Le Roy menempatkan
hukum tata negara pada posisi paling atas, menunjukkan hukum tata negara
sebagai payung bagi ketiga bidang hukum yang lain. Hal ini berarti bahwa ketiga
bidang hukum yang lain harus berpijak dan berpedoman pada asas-asas hukum
dan kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam hukum tata negara atau dengan
perkataan lain, hukum tata negara harus menjiwai bidang-bidang hukum yang
lainnya.
Dengan meminjam bagan sistem hukum yang dikemukakan oleh kedua
ahli hukum Belanda tersebut, kita dapat menentukan letak hukum konstitusi
dalam kerangka sistem hukum secara keseluruhan. Oleh karena hukum konstitusi
itu merupakan salah satu bagian dari hukum tata negara, maka letak hukum
konstitusi tidak terpisahkan dari posisi hukum tata negara dalam kerangka sistem
hukum secara keseluruhan sebagaimana telah diuraikan di atas. Dalam kaitannya
dengan sistem hukum konstitusi, yaitu dalam posisi UUD 1945 sebagai salah satu
bagian dari Hukum Tata Negara Indonesia. Gambaran tentang letak hukum

17
konstitusi sebagai salah satu bagian dari Hukum Tata Negara Indonesia, terungkap
dalam bagan sistem hukum nasional Indonesia yang dibuat oleh Sri Soemantri
Martosoewignjo, sebagai berikut:30

Dengan letaknya yang demikian dalam sistem hukum secara keseluruhan,


maka hukum konstitusi mempunyai posisi yang sangat penting yaitu sebagai
kaidah-kaidah dasar atau sebagai kumpulan prinsip-prinsip bernegara yang
fundamental. Kaedah-kaedah dasar tersebut sangat menentukan atau harus
menjiwai pembentukan dan penerapan kaedah-kaedah hukum yang lain dalam
suatu negara. Oleh karenanya, hukum konstitusi31 diharapkan memuat kaedah-
kaedah hukum yang mempunyai jangkauan berlaku tanpa batas dan memiliki
tingkat fleksibilitas dalam menampung perkembangan yang terjadi.

30
Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 34.
31
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Penyunting
Mashudi & Kuntana Magnar), Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 7-8.

18
2.3. Ruang Lingkup Disiplin Hukum Konstitusi

Sesuai dengan pengertian hukum konstitusi yang telah diuraikan di depan,


maka yang menjadi materi kajian hukum konstitusi adalah kaedah-kaedah hukum
yang bertalian dengan konstitusi. Persoalannya adalah apasajakah yang menjadi
materi muatan suatu konstitusi ? Hal ini akan dibahas secara mendalam dalam
bab-bab berikut nanti. Yang jelas bahwa semua hal yang menjadi materi muatan
konstitusi merupakan obyek studi hukum konstitusi.

Dalam berbagai referensi tentang hukum konstitusi diketemukan juga hal-


hal yang dibahas dalam studi tentang hukum konstitusi. Ada beberapa penulis
yang membahas hukum konstitusi dan materinya, antara lain :

1. K.C.Wheare dalam buku “Modern Constitution” menguraikan hal-hal yang


berkaitan dengan konstitusi, yaitu :

a. What a constitution Is (Apakah sebuah konstitusi itu).

b. How constitutions may be classified (bagaimana konstitusi dapat


diklasifikasikan).

c. What constitution should contain (apa seharusnya isi sebuah konstitusi).


d. What authority a constitution can claim (otoritas apa yang dapat diklaim
oleh suatu konstitusi).
e. How constitutions change : Some Primary Force (Bagaimana perubahan
konstitusi : beberapa kekuatan utama).
f. How constitutions change : Formal Amendment (Bagaimana perubahan
konstitusi : perubahan formal).
g. How constitutions change : Judicial Interpretation (Bagaimana perubahan
konstitusi : Penafsiran Pengadilan).
h. How constitutions change : Usage and Convention (Bagaimana Perubahan
Konstitusi : Kebiasaan dan Konvensi).
i. Prospects for constitutional government (Prospek pemerintahan
konstitusional).

19
2. C.F. Strong dalam buku “Modern Political Constitution” menguraikan hal-
hal sebagai berikut :
a. The Meaning of Political Constitution (Arti/makna konstitusionalisme).
b. The origin and growth of Constitutional State (Lahir dan berkembangnya
konstitusi).
c. Comparative constitutional politics (Perbandingan konstitusi).
d. The Unitary State (Negara Kesatuan).
e. The Federal State (Negara Federal).
f. The Flexible Constitution (Konstitusi yang fleksibel).
g. The Rigid Constitution (Konstitusi yang rigid).
h. The Legislature : (I, II, III) … (Legislatif).
i. The Parliament Executive (Pemerintahan Parlementer).
j. The Non-Parliamentary Executive (Pemerintahan Non Parlementer).
k. The Judiciary (Peradilan).
l. Emergent Nationalism (Munculnya nasionalisme).
m. Economic Organization, National and International (Organisasi Ekonomi,
Nasional dan Internasional).
n. The Charter of the United Nations (Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa).
o. Outlook For Constitutionalism (Pandangan terhadap konstitusionalisme).
3. Hans Kelsen dalam buku “General Theory of Law and State” membicarakan
juga konstitusi dalam bab XI yang berjudul “The Hierarchy of the Norms”
(Tata Urutan Norma-norma), yang terdiri dari beberapa sub-bahasan, yaitu :
a. Constitution in a material and formal sense; determination of the creation
of general norms (Konstitusi dalam pengertian material dan formal;
penentuan pembuatan norma-norma umum).
b. Determination of content of general norm by constitution (Penentuan isi
dari pada norma-norma umum oleh konstitusi).
c. Custom as determinated by constitution (Kebiasaan sebagaimana
ditentukan oleh konstitusi).

20
4. Stanley de Smith and Rodney Brazier dalam buku “Constitutional and
Administrative Law) memulai ulasannya dengan menguraikan “Constitutions”
dalam sub-bahasan sebagai berikut :
a. What are constitution ? (Apakah konstitusi itu ?).
b. What goes into constitutions ? (Apasajakah yang dimasukkan ke dalam
konstitusi atau apasajakah materi muatan konstitusi ?).
c. A written constitution for Britian (Konstitusi Tertulis Inggris).
d. Aspects of clasification (Aspek-aspek klasifikasi).
Selain itu, dalam bab II diuraikan tentang “The British Constitution”
(Konstitusi Inggris), yang terdiri dari sub-bahasan tentang :
a. Caracteristic (ciri-ciri khas).
b. The rule of law and seperation of powers (Negara Hukum dan Pemisahan
Kekuasaan).
c. Sources of British constitutional law (Sumber-sumber hukum tata negara).
d. Conventions of the constitution (konvensi ketatanegaraan).
5. Geoffrey Marshall dalam buku “Constitutional Theory” mengulas tentang
beberapa hal berikut:
a. The law and constitution (hukum dan konstitusi).
b. The State, The Crown, and the Executive (Negara, Raja, dan Eksekutif).
c. Legislative Power and sovereignty (Kekuasaan legislatif dan kedaulatan).
d. Judges and Legislators (Hakim-hakim dan para pembuat Undang-
Undang).
e. Seperation of powers (pemisahan kekuasaan).
f. Civil Rights (hak-hak sipil).
g. Equality under the law (persamaan di hadapan hukum).
h. Freedom of Speech and Assembly (kebebasan berkumpul dan
berpendapat).
i. The Right to Disobey the Law: Civil Disobedience (Hak untuk tidak
mematuhi hukum: Ketidakpatuhan sipil).
6. M. Solly Lubis dalam buku “Asas-Asas Hukum Tata Negara” mengulas
beberapa hal mengenai hukum konstitusi, yaitu :

21
a. Konstitusi.
b. Konstitusi dulu dan sekarang.
c. UUD sebagai induk dan sumber hukum negara.
d. Dasar ideal dan dasar struktural dalam UUD.
e. UUD dan GBHN.
f. UUD yang mulur dan fleksibel.
7. Moh. Kusnardi & Hermaily Ibrahim dalam buku “Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia” membahas konstitusi dalam sistimatika sebagai berikut:
a. Istilah.
b. Pengertian konstitusi.
c. Beberapa pengertian tentang konstitusi.
d. Nilai Konstitusi.
e. Sifat Konstitusi.
f. Perubahan Konstitusi.
g. Sejarah Undang-Undang Dasar Indonesia.
Beranjak dari paparan tentang materi-materi yang biasa disajikan dalam
berbagai referensi Hukum Konstitusi, maka pada prinsipnya studi hukum
konstitusi memberikan perhatian pada hal-hal berikut:
1. Teori-teori konstitusi terutama berkaitan dengan arti/pengertian, klasifikasi,
nilai, materi, fungsi, penafsiran, penetapan dan perubahan, konvensi
ketatanegaraan, dan sejarah konstitusi.
2. Kaedah-kaedah hukum dasar/fundamental yang bertalian dengan perlindungan
dan jaminan hak-hak azasi manusia, susunan ketatanegaraan suatu negara dan
pembagian kekuasaan negara.
3. Hukum Konstitusi Positif (Hukum Konstitusi yang berlaku dalam suatu
negara tertentu).
4. Perbandingan konstitusi.

3. PENUTUP
3.1. Rangkuman

22
1. Hukum konstitusi adalah kaidah-kaidah hukum tentang hal-hal yang terdapat
dalam konstitusi.
2. Dua hal penting yang terdapat dalam defenisi tersebut yaitu: kaidah hukum
dan konstitusi.
a. Kaidah hukum kaidah hukum adalah patokan-patokan atau pedoman
hidup antar pribadi yang bertujuan untuk menciptakan kedamaian hidup
bersama (peaceful living together).
b. Secara etimologi kata konstitusi berasal dari bahasa Perancis dari kata
“consituer”, yang kemudian diambilalih dalam bahasa Belanda
“constitute”, bahasa Inggris “constitution”, yang berarti “membentuk”.
Oleh karena itu, istilah konstitusi dimaksudkan sebagai “pembentukan
suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara”.
3. Pada prinsipnya konstitusi itu mengandung dua pengertian: pertama,
konstitusi dalam pengertian sempit, yaitu untuk menunjukkan satu dokumen
atau kumpulan peraturan yang memuat aturan-aturan atau ketentuan-
ketentuan dasar/pokok yang tertulis tentang bangunan suatu negara atau
sistem ketatanegaraan dari sebuah negara. Kedua, konstitusi dalam pengertian
luas, yaitu menunjukkan keseluruhan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan
yang tertulis dan tidak tertulis tentang sistem ketatanegaraan dari sebuah
negara.
4. Dalam sistem hukum Belanda baik yang dikemukakan oleh H.D. van Wijk
maupun Crince Le Roy hukum konstitusi itu merupakan salah satu bagian
dari hukum tata negara, maka letak hukum konstitusi tidak terpisahkan dari
posisi hukum tata negara dalam kerangka sistem hukum secara keseluruhan
sebagaimana telah diuraikan di atas. Dalam kaitannya dengan sistem hukum
Indonesia, letak hukum konstitusi pada posisi UUD 1945.
5. Ruang lingkup atau obyek studi hukum konstitusi meliputi: teori-teori
konstitusi (pengertian, sejarah, klasifikasi, nilai, materi, fungsi, penafsiran,
penetapan dan perubahan, konvensi ketatanegaraan, dll); kaedah-kaedah
hukum dasar/fundamental yang bertalian dengan perlindungan dan jaminan

23
hak-hak azasi manusia, susunan ketatanegaraan suatu negara dan pembagian
kekuasaan negara; hukum konstitusi Positif dan perrbandingan konstitusi.

3.2. Tes Mandiri


1. Jelaskan pengertian hukum konstitusi!
2. Jelaskan pengertian konstitusi dalam arti sempit dan dalam arti luas!
3. Jelaskan hirarkhi norma dalam negara dari Hans Nawiasky dan bagaimana
posisi tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam kaitan
dengan teori tersebut!
4. Jelaskan pendapat H.D. van Wijk dan Crince Le Roy tentang letak
hukum konstitusi dalam sistem hukum!
5. Jelaskan secara singkat obyek studi hukum konstitusi!

3.3. Umpan Balik


Sekarang, cocokkan jawaban anda dengan jawaban yang ada dibagian
akhir modul ini. Hitunglah jumlah jawaban anda yang benar, kemudian gunakan
rumus yang ada berikut ini untuk mengetahui tingkat penguasaan anda
mempelajari materi modul satu ini.

Tingkat penguasaan = jumlah jawaban anda yang benar x 100%


100
Arti tingkat penguasaan yang anda capai:

90% - 100% = baik sekali

80% - 89% = baik

70% - 79% = cukup

- 69% = kurang

Apabila anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, anda dapat
meneruskan mempelajari modul 2. Tetapi kalau nilai anda berada di bawah 80%

24
maka anda harus mengulangi mempelajari modul ini terutama pada bagian yang
anda belum menguasainya.

3. 4 Kunci Jawaban Tes Mandiri


Anda dapat mencocokan jawaban anda dengan jawaban berikut ini:
1. Hukum konstitusi konstitusi adalah kaidah-kaidah hukum tentang hal-hal
yang terdapat dalam konstitusi.
2. Konstitusi dalam pengertian sempit adalah dokumen atau kumpulan peraturan
yang memuat aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan dasar/pokok yang
tertulis tentang bangunan suatu negara atau sistem ketatanegaraan dari sebuah
Negara, sedangkan ua, konstitusi dalam pengertian luas adalah keseluruhan
aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang tertulis dan tidak tertulis tentang
sistem ketatanegaraan dari sebuah negara.
3. Menurut Hans Nawiasky norma-norma dalam negara berada dalam tata
susunan dari atas ke bawah sebagai berikut:
 Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm);
 Aturan dasar negara/aturan pokok negara (staatsgrundgesetz);
 Undang-Undang (formal) (formell gesetz); dan
 Peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom (verordnung & autonome
satzung).
Apabila pendapat di atas dihubungkan dengan tata urutan peraturan
perundang-undangan menurut UU No. 10 Tahun 2004 maka Pancasila berada
pada posisi (staatsfundamentalnorm), Batang Tubuh UUD 1945 berada pada
posisi staatsgrundgesetz), Undang-Undang/PERPU berada pada posisi
formell gesetz, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden berada pada
posisi verordnung satzung, sedangkan Peraturan Daerah berada pada posisi
autonome satzung).
4. H.D. van Wijk dan Crince Le Roy berpendapat bahwa hukum konstitusi itu
merupakan salah satu bagian dari hukum tata negara, maka letak hukum

25
konstitusi tidak terpisahkan dari posisi hukum tata negara dalam kerangka
sistem hokum.
5. Oyek studi hukum konstitusi meliputi: teori-teori konstitusi, kaedah-kaedah
hukum dasar/fundamental yang bertalian dengan perlindungan dan jaminan
hak-hak azasi manusia, susunan ketatanegaraan suatu negara dan pembagian
kekuasaan negara, hukum konstitusi positif, dan perbandingan konstitusi.

3.5. Daftar Pustaka

Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi


dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985.
A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”, Disertasi, Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.
Bagir Manan, Pemahaman Mengenai Sistem Hukum Nasional, Makalah,
disamnpaikan pada kuliah pendahuluan (Pra Pasca), Program Ilmu
Hukum, Pascasarjana UNPAD, Bandung, 1 Oktober 1994.
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,
(Penyunting Mashudi & Kuntana Magnar), Mandar Maju, Bandung, 1995.
Colin Turpin, British Government and the constitution, Text, Cases and Material,
Second Edition, Wiedenfield and Nicolson Ltd., London, 1990.
C.F.Strong, Modern Political Constitution, The Language Book Society and
Sidgwick & Jackson Limitted, London, 1966.
Herman Heller, Staatlehre, herausgegeben von Gerhart Niemeyer, A.W. Sijthoff,
Leiden
J.J.H.Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1996.
K.C.Wheare, Modern Constitution, Oxford University Press, New York –
Toronto, 1979.
L.J.van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan Sadino Utarid, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1993.
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan
Hukum, Binacipta, Bandung, 1986.
Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan
Pemerintahan Yang Bersih, Pidato pada Peresmian Penerimaan Jabatan
Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, 10 Oktober 1994, Surabaya.
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni,
Bandung, 1986.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.1986.
Sri Soemantri R. Martosoewignjo, Hukum Konstitusi dan Permasalahannya,
Makalah, Bandung, 9 Mei 1981.

26
---------, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987.
---------, dalam Moh. Busyro Muqoddas, dkk. (Penyunting), Politik
Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta, 1992.
--------, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.
Stanley De Smith and Rodney Brazier, Constitutional and Administrative Law,
New Edition, The Penguin Books, London, 1989.
W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1976.
.

27

Anda mungkin juga menyukai