Anda di halaman 1dari 47

MEMAHAMI PEMBENTUKAN PERATURAN PERUDANG-UNDANGAN

SUATU TINJAUAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, POLITIK, YURIDIS DAN HAK ASASI MANUSIA
OLEH
DR SARYONO YOHANES,S.H., M.H
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
KUPANG

2013

Sesungguhnya dalam pergaulan hidup manusia terdapat 5 kaidan fundamental yng


menfatur, mengendalikan dan mengawasi serta membatasi dan memberikan sanksi manakal terjadi
pelanggaran atau penyimpangan yang menimbulkan terjadinya ketidaktertiban dan
ketidaktentraman, kekacauan dan kejahatan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara,yaitu;
1. Kaidah kesopanan;
2. Kaidah kesusilaan;
3. Kaidah agama;
4. Kaidah adat istiadat;
5. Kaidah hukum
Dalam tulisan ini saya mengkaji secara khusus mengenai kaidah hukum karena hal tersebut
sesuai dengan bidang kehlian yang saya geluti selama ini sebagai dosen pada Fakultas Hukum
Undana dan Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Undana.
Masyarakat dan hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dan suliit dipisahkat satu
sama lain, walapun di sana sini ada perbedaan tetapi perbedaan tersebut hanya bersifat gradual dan
bentuk saja. Kontruksi pemikiran ini telah lama dikembangkan oleh Filsuf bangsa Romawi, yaitu
Cicero yang menyatakan bahwa ubi societas ibi ius ( Dimana ada masyarakat di sana ada hukum
yang mengatur peikehidupan dan perilaku manusia). Pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum itu
ada, hidup, tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan hidup manusia
sebagai sumber hukum itu sendiri. Artinya dalam pergaulan hidup manusia di masyarakat sudah ada
hukumnya sebagai hukum yang hidup atau konstitusi yang hidup (living law atau living
constitution).
Hukum seperti ini biasa disebut sebagai hukum tidak tertulis atau hukum
adat/kebiasaan (customary law) Namun persoalan yang muncul dibalik hukum yang hidup ini
adalah daya lakunya atau kekuatan berlakunya (Ingat teori berlakunya hukum) hanyabersifat
terbatas yaitu hanya berlaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu atau wilayah dan daerah
tertemtu.
Sehubungan dengan itu maka diperlukan adanya suatu hukum yng berlaku secara umum
bagi suatu masyarakat yang berada dalam suatu daerah dan Negara tertentu. Dalam teori ilmu
hukum biasa disebut hukum positif, yaitu seperangkat asas dan kaidah hukum yang ditetapkan oleh

pemerintah yang berwenang sebagai pedoman dan peraturan yang mengatur, mengendalikan, dan
membatasi hak dan kewajiban manusia, tugas dan wewenang pemerintah serta memberikan sanksi
yang tegas manakala terjadi pelanggaraan atau kejahatan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara serta berlaku secara umum. Hukum seperti ini biasa disebut juga sebagai
peraturan perundang-undangan atau hukum yang tertulis.
Menyadari hal itu maka dalam pergaulan hidup manusia terdapat dua hukumyang berlaku,
yaitu hukum tidak tertulis dan hukum tertulis. Dalam tulisan ini saya menfokuskan diri pada materi
yang berkaitan dengan hukum tertulis atau hukum positif
BAB I
HUKUM, PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN UNDANG-UNDANG
1.1. Peristilahan dan Pengertian Hukum.
Sub bagian 1.1. ini disajikan dengan maksud untuk menjawab permasalahan yang
berkenaan dengan pertanyaan; Apakah makna dari hukum, dan apa yang dimaksud dengan hukum
tersebut..
1.2. Peristilahan dan Pengertian Peraturan Perundang-undangan dan Undang-undang.
Sub bagian 1.2. ini disajikan dengan maksud untuk menjawab permasalahan yang
berkenaan dengan pertanyaan; Apakah yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan, dan
Undang-undang.
Menurut Bagir Mana1, bahwa; Dalam kalangan awam (man in the street), tidak jarang ada
semacam salah pengertian mengenai istilah-istilah peraturan perundang-undangan,undang-undang
dan hukum.mereka acapkali menganggap peraturan perundang-undangan tidak berbeda dengan
undang-undang atau hukum.misalnya,ada ungkapan yang mengatakan ya, itukan undang-undang
negara yang harus kita patuhi. Komentar itu sebagai reaksi atas peraturan daerah tentang
pembuangan sampah.begitu pula kita mendengar itukan hukum negara. Sedangkan yang
dimaksud adalah undang-undang tentang pemilihan umum.
Lebih lanjut Bagir Manan2 mengemukakan, bahwa; Ungkapan di atas dalam batas-batas
tertentu tidak keliru.kekeliruan terjadi pada saat ungkapan-ungkapan tersebut menjadi
generalisasibahkan menjadi konsep berpikir bahwa memang peraturan perundang-undangan itu
sama dengan undang-undang atau sama dengan hukum.yang benar adalah undang-undang itu
sebagian dari peraturan perundang-undangan.peraturan perundang-undangan terdiri dari undangundang dan berbagai peraturan perundang-undangan lain seperti Ketetapan MPR, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Daerah dan lain sebagainya. Selanjutnya tidak pula salah mengatakan
undang-undang itu hukum. Yang keliru kalau dikatakan bahwa hukum sama dengan ( = ) undangundang. Sebab di luar undang-undang masih terdapat kaidah hukum lain seperti hukum adat,hukum
kebiasaan, dan hukum yurisprudensi.

1 Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, in Hil-Co, 1992, hlm 1


2 Ibid, hlm

Di samping itu, Bagir Manan3 mengemukakan, bahwa; Kekeliruan tersebut tidak hanya
milik mereka yang awam.bukankah dalan teori hukum (jurisprudence) kita mengenal ajaran-ajaran
legisme atau positivismseperti diajarkan JOHN AUSTIN, KELSEN Bahwa hukum itu sematamata kehendak dari penguasa (command of the sovereign) dalam bentuk peraturan perundangundangan.tidak ada hukum di luar undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan.
Pengertian semacam ini tidak hanya berlaku di kalangan ilmu pengetahuan tetapi di lingkungan
peradilan. Dalam hukum keperdataan di Belanda dan Indonesia, kita mengenal perkembangan
konsep perbuatan melawan hukum (onrechtnmatige daad).pada suatu saat,perbuatan melawan
hukum hanya diartikan oleh pengadilan (Hoge Raad) sebagai perbuatan melawan undangundangan.baru kemudian,pengadilan yang sama mengartikan bahwa perbuatan melawan hukum
tidak sekedar perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang tetapi juga perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang tetapi juga perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
keputusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap pribadi atau benda orang
lain.
Mengacu pada pendapat Austin, Bagir Manan 4 mengemukakan, bahwa; Sebenarnya
AUSTIN sendiri tidak memberi arti command of the sovereign begitu sempit hanya terbatas
pada undang-undang atau peraturan perundang-undangan. Menurut AUSTIN, command of the
sovereign yang melahirkan hukum positif selain dari pembentukan undang-undang (formal),juga
badan-badan pemerintah (administrasi Negara) yang memperoleh delegasi dari sovereign untuk
membentuk peraturan perundang-undangan dan badan peradilan yang putusan-putusannya (judge
made law),merupakan ketentuan yang mengikat berdasarkan wewenag yang diberikan negara
kepadanya.KELSEN juga tidak mengartikan bahwa command yang menciptakan hukum itu
semata-mata adalah pembuat undang-undang atau peraturan perundang-undangan.hukum menurut
KELSEN dapat berupa general norms yang berlaku secara umum dan individual normsyang
berlaku untuk orang tertentu.norma individual ini antara lain lahir dari putusan pengadilan.putusan
pengadilan merupakan hukum karena merupakan command yang mempunyai kekuatan
mengikat.since by its nature, law is norm, there is no reason why only the general norms should
be considered law. If, in other respect, individual norms, present the essential characteristics of law,
they, too, must be recognized as law.
1.3. Hubungan dan Perbedaan Hukum, Peraturan Perundang-undangan dan Undang-undang.
Sub bagian 1.3. ini disajikan dengan maksud untuk menjawab permasalahan yang
berkenaan dengan pertanyaan; Apakah yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan, dan
Undang-undang.
Sehubungan dengn pengertian Undang-undang, Bagir Manan 5 mengemukakan, bahwa;
Ilmu hukum (rechtswetenschap) membedakan undang-undang dalam arti material (wet in materiele
zin),dan undang-undang dalam arti formal (wetin formelezin). Dalam arti materill,undang-undang
adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat berwenang yang berisi aturan tingkah
laku yang bersifat atau mengikat secara umum.inilah yang dimaksudkan dengan peraturan
3 Ibid, hlm 2
4 Ibid, hlm
5 Ibid, hlm 4

perundang-undangan.dari uraian ini tidaklah begitu salah kalau orang awam mengatakan bahwa
setiap aturan tertulis dibuat atau dikeluarkan pejabat yang berwenang adalah undang-undang.hanya
undang-undang disini dalam arti materill bukan dalam arti formal. Sedangkan, dalam arti formal,
undang-undang adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerja sama antara pemegang kekuasaan
eksekutif dan legislative yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara
umum.dilihat dari bentuknya yang tertulis dan sifat mengikatnya yang mengikat secara umum
maka undang-undang adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan.perbedaannya dengan
peraturan perundang-undangan lain terletak pada cara pembentukannya yaitu kerja sama antara
pemegang kekuasaan legislative dan eksekutif.di Indonesia.undang-undang adalah hasil kerja sama
antara presiden dan DPR.
Lebih jauh Bagir Manan6 mengemukakan, bahwa; Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa pengkajian mengenai peraturan perundang-undangan mencakup segala jenis peraturan
perundang-undangan baik yang dibuat pada tingkat pusat pemerintahan negara maupun di tingkat
daerah. Dan karena peraturan perundang-undangan adalah salah satu aspek dari hukum, maka
pengkajian peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari pengkajian hukum.
Bertitik tolak dari pendapat yang dikemukakan di atas dapat dikemukakan bahwa konsepsi
atau pendefinisian peraturan perundang-undangan dan undang-undang tidak pernah terlepas dari
konsepsi atau pendefinisian hukum itu sendiri. Sebab hukum sebagai mother of the legislation and
acts (induk dari peraturan perundang-undangan dan undang-undang). Hukum sebagai suatu
lembaga yang utuh yang memayungi peraturan perundang-undangan dan undang-undang. Dengan
perkataan lain bahwa hukum adalah rumah adat atau rumah induk pusat penanaman dan
pengembangan nilai-nilai dari dan bagi seluruh warga persekutuan masyarakat adat yang
bersangkutan. Dalam hal ini, nilai-nilai atau norma yang berada pada warga persekutuan
masyarakat dianalogikan sebagai peraturan perundang-undangan dan undang-undsang. Sebagai
ilustrasinya dapat digambarkan ke dalam lingkaran sentris dengan mengikuti jarum jam, yaitu
berikut ini;
UUD NEGARA RI TAHUN 1945
PERDES

KETETAPAN MPR

HUKUM

PERDA KAB/KOTA

UU/PERPPU

PERDA PROVINSI

PP

PERPRES

6 Ibid, hlm 4

Mencermati secara bagan di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa hukum merupakan
induk dan pusat dari berbagai peraturan perundang-undangan. Ilustrasi di atas menggambarkan
sistem atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Negara republic Indonesia sebagaimana
yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Kesemua peraturan perundang-undangan tersebut dapat disebut sebagai hukum yang
berlaku di Negara Republik Indonesia yang bersifat tertulis, dan masih ada peraturalan tertulis
lainnya yang bersifat peraturan kebijaksanaan (Rules policy) serta norma atau kaidah hukum yang
tidak tertulis yang lainnya.
BAB II
TEMPAT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DALAM
SISTEM HUKUM
7
Menurut Bagir Manan menyatakan, bahwa; Literatur lama mengajarkan bahwa dasarnya
sistem hukum di dunia dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu sistem hukum kontinental,
dan sistem hukum anglo sakson. Sedangkan tulisan-tulisan yang datang kemudian manyatakan
selain kedua sistem tersebut terdapat juga sistem hukum lain seperti sistem hukum islam, sistem
hukum sosialis dan lain-lain.
Lebih lanjut Bagir Manan8 mengemukakan, bahwa; Terlepas dari adanya berbagai sistem
hukum seperti tersebut di atas, yang relevan dalam penyelidikan mengenai tempat peraturan
perundang-undangan adalah sistem hukum kontinental dan sistem hukum anglo sakson. Sistem
hukum Kontinental berkembang di Eropa daratan. Dalam sejarah hukum modern, Perancis dapat
disebut sebagai negara yang terdahulu mengembangkan sistem hukum ini. Sistem hukum
kontinental mengutamakan hukum tertulis yaitu peraturan perundang-undangan sebagai sendi
utama sistem hukumnya. Karena itu, negara-negara yang berada dalam sistem hukum kontinental,
selalu berusaha untuk manyusun hukum-hukumnya dalam bentuk tertulis.bahkan dalan satu
sistematika yang diupayakan selengkap mungkin dalam sebuah kitap undang-undang.penyusunan
semacam ini disebut kodifikasi.karena itu sistem hukum continental sering pula disebut sistem
hukum kodifikasi (codified law).pemikiran kodifikasi ini dipengaruhi oleh konsepsi nagara hukum
abad ke-18-19.untuk melindungi masyarakat dari tindak sewenag-wenang dan demi kaidah
hukum,kaidah-kaidah hukum harus tertulis dama bentuk undang-undang.labih lanjut pemikiran ini
mengatakan bahwa,suatu undang-undang itu baik kalau memenuhi beberapa syarat
pertama:undang-undang harus bersifat umum (algemeen).umum baik menurut waktu,tempat,orang
ataupun
objeknya,kedua:
undang-undang
harus
lengkap,tersusun
dalam
suatu
kodifikasi.berdasarkan pandangan ini,pmerintah dan hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang
bertugas menerapkan undang-undang (mereka bekerja secara mekanis). Dalam perkembangan.sifat
berlaku umum (algemeenheid) tidak hanya terbatas pada undang-undang. Berbagai keputusan
administrasi negara yang bersifat mangatur seperti peraturan pemerintah,keputusan
presiden,keputusan menteri juga berlaku secara umum . begitu pula ,pengertian berlaku umum
dari suatu undang-undang tidak lagi selalu berarti untuk semua orang, brtlaku setiap saat ,semua
tempat dan dalam segala fakta (rechsfeit). Dalam praktek dapat di jumpai undang-undang yang
7 Ibid, hlm 5
8 Ibid

hanya berlaku untuk kelompok orang tertentu untuk waktu tertentu atau daerah tertentu . Sistem
kontinental lazim juga disebut sidtem hukum sipil (the civil system). Penyebuutan sistem hukum
sipil ini karena pada permulaan kodifikasi terutama di tujukan pada hukum-hukum di lapangan
keperdataan termasuk di lapangan perniagaan atau dagang .maksud pengitaban di lapangan
perdataan itu adalah untuk menjamin keteraturan dan kepastian hukum di bidang keperdataan
(dan perniagaan ).hal ini dapat di lihat misalnya pada kitab hukum YUSTINIANUS .Sistem
continental menyebar keluar dari Eropa terutama melalui penjajahan seperti Perancis di Afrika
dan Indo China, Belanda di Indonesia, Spanyol di Negara-negara Amerika Latin .Di Amerika
Serikat meskipun secara keseluruhan adalah sistem anglo sakson dapat dijumpai pula sistem
kontinental di Louissiana sebagai peninggalan Perancis .tetapi ada juga negara-negara yang
menjalankan sistemm kontinental meskipun tidak dijajah seperti Jepang dan Thailand. Jepang
banyak dipengaruhi sistem hukum Jerman .sedangkan Thailand banyak dipengaruhi oleh oleh
sistem hukum Perancis .
Bagaimana dengan sistem anglo sakson? Menurut Bagir Manan 9 menyatakan, bahwa;
Sistem ini mengalir dari inggris .menyebar ke Negara-negara di bawah pengaruh inggris seperti
Amerika Serikat, Canada, Australia, dan lain sebagainya. Sistem anglo sakaon tidak menjadikan
peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistemnya .sendi utamanya adalah pada
yurisprudensi .sistem hukum anglo sakson berkembang dari kasus-kasus konkrit dan dari kasus
konkrit tersebut lahir berbagai kaidah dan asas hukum . karena sistem hukum ini sering di sebut
sebagai sistem hukum yang berdasarkan kasus (case law system). Dalam perkembangan,perbedaan
dasar antara sistem continental dan sistem anglo sakson makin menipis . pada sistem continental,
yurisprudensi makin penting sebagai sumber hukum . begitu pula peraturan perundang-undangan
pada sistem anglo sakson makin menduduki tempat yang penting .
Lebih lanjut Bagir Manan10 mengemukakan, bahwa; Makin besarnya peranan peraturan
perundang-undangan terjadi karena beberapa hal;
a. Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah di kenali (di
identifikasi ),mudah di ketemukan kenbali ,dan mudah di telisuri .sebagai kaidah hukum
tertulis ,bentuk,jenisdan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya.
b. Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena
kaidah-kaidahnya mudah di identifikasi dan mudah di ketenukan kembali
c. Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas sehingga memungkinkan
untuk di periksa kembali dan di uji baik segi-segi formal maupun materi muatanya.
d. Pembentukan yang pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan.faktor
ini sangat penting bagi Negara-negara yang sedang membangun termasuk membangun sistem
hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Tetapi tidak berarti pemanfaatan peraturan perundang-undangan tidak mengundang masalahmasalah antara lain:
a. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel.tidak mudah menyesuaikan peraturan perundangundangan dengan perkembangan masyarakat.pembentukan peraturan perundang-undangan
membutuhkan waktu dan tata cara tertentu.sementara itu masyarakat berubah terus bahkan
9 Ibid, hlm 7
10 Ibid,hlm 7-8

mungkin sangat cepat.akibatnya maka terjadi semacam jurang antara peraturan perundangundangan dan masyarakat.dalam keadaan demikin,masyarakat akan menumbuhkan hukum
sendiri sesuai dengan kebutuhan.bagi masyarakat yang tidak mampu menumbuhkan hukum
hukum sendiri kan terpaksamenerima peraturan perundang-undangan yang sudah
ketinggalan.penerapan pertaturan perundang-undangan dengan yang tidak sesuai itu dapat
dirasakan sebagai ketidakadilan dan dapat menjadi hambatan perkembangan masyarakat.
b. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum
atau tuntutan hukum,dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut sebagai kekosongan hukum
atau rechtsvacuum.barang kali yang tepat adalah kekosongan peraturan perundang-undangan
(wetsvacuum) bukan kekosongan hukum (rechtsvacuum).hal ini sesuai ajaran Cicero-ubi
societas ibi ius-maka tidak akan pernah ada kekosongan hukum.setiap masyarakat mempunyai
mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum apabila hukum resmi tidak mamadai
atau tidak ada.
Selain itu, tentu peraturan perundang-undangan tersebut menimbulkan berbagai persoalan
hukum ketika diimplementasikan di dalam masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut Bagir
Manan11 mengemukakan, bahwa; Cara untuk mengatasi kekurangan peraturan perundang-undangan
adalah dengan cara memperbesar peranan hakim. Hakim bukan sekedar mulut undang-undang,
tetapi sebagai yang mempertimbangkan baik-buruk, manfaat mudlarat suatu peraturan perundangundangan agar hukum tetap terlaksana dengan adil dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kehidupan masyarakat. Untuk itu hakim harus menafsirkan, melakukan analogi ,melakukan
penghalusan hukum (rechtsvervijning), atau argumentum a contrario. Lebih jauh dari itu bila di
perlukan, hakim harus menciptakan hukum untuk memutus suatu perkara. Hal ini menimbulkan
fenomena baru dalam sistem hukum kontinental yaitu makin pentingnya peranan putusan hakim
atau yurisprudensi sebagai subsistem hukum. Bahkan putusan hakim mempunyai arti yang lebih
besar karena menegakan hukum in concreto, hukum yang nyata atau diberlakukan terhadap yang
bersangkutan.
Sebaliknya, Bagaimana dengan sistem anglo sakson?. Sehubungan hal tersebut Bagir
Manan12 mengemukakan, bahwa; Salah satu kebaikanya adalah bahwa perkembangan hukum di
dasarkan pada keadaan konkrit , sehingga akan selalu mendekati kenyataan yang hidup dalam
masyarakat . tetapi dalam praktek tidak selalu demikian .bahkan ada kemungkinan sistem ini
menjadi sangat konservatif karena lazimnya di ikuti dengan sistem precedent yang mewajibkan
hakim dalam perkara-perkara yang identik untuk mengikuti putusan terdahulu. Dalam keadaan
seperti ini kebebasan hakim menjadi terbelenggu. Kalau dalam sistem kontinental ada pemeo,
hakim adalah mulut undang-undang, barangkali dalam sistem anglo sakaon, hakim adalah mulut
precedent. Apabila hakim berpendapat penerapan precedent terhadap perkara baru akan
melahirkan ketidakadilan, maka hakim tersebut harus menemukan faktor atau unsur perbedaanya.
Dengan demikian ia bebas membuat putusan baru yang menyimpang dari putusan lama. Tetapi
ini bukan pekerjaan mudah. Karena tergantung pada kasus, maka sistematika hukum anglo sakson
menjadi tidak begitu jelas .begitu pula perkembanganya tidak dapat di rencanakan . menhadapi
perkembangan masyarakat yang cepat , makin terasa kesulitan memacu perkembangan hukum
11 Ibid, hlm 9
12 Ibid, hlm

lewat kasus kasus. Karena itu merupakan satu kenyataan bahwa pada Negara dengan sistem
hukum anglo sakson berkembang pesat kaidah-kaidah hukum dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Alhasil, sebagai akibat perkembangan masyarakat dan perkembangan hukum
itu sendiri , perbrdaan antara kedua sistem tersebut makin tidak perisipil .Peraturan perundangundangan dan yurisprudensi makin berperan besar dalam pengembangan kedua sistem tersebut .
antara peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi merupakan faktor komplementer antara
satu sama lain .
Selain itu, bagaimana dengan Indonesia?. Menurut Bagir Manan 13 mengemukakan, bahwa;
Hingga saat ini, sekurang-kurangnya ada tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu
sistem hukum adat, sistem hukum agama dan sistem hukum barat. Hukum adat adalah hukum tidak
tertulis yang terwujud (bukan terbentuk) melalui putusan penguasa adat. Dengan demikian sistem
hukum adat lebih dekat pada sistem anglo sakson. Sistem hukum agama yang menonjol adalah
hukum islam. Bagian-bagian tertentu dari hukum islam bukan sekedar hukum yang hidup dalam
masyarakat melainkan sebagai hukum positif yang ditetapkan negara sebagai hukum yang berlaku
bagi umat islam. Sedangkan sistem hukum barat dibawa oleh Belanda. Sistem hukum barat ini
adalah sistem hukum Kontinental karena Belanda termasuk ke dalam lingkungan sistem hukum
continental Peninggalan sistem hukum ini nampak pada KUHDagang, KUHPerdata, KUHPidana
dan berbagai peraturan perundang-undangan lainya. Dalam pembangunan hukum nasional,
Indonesia nampaknya akan lebih menekan pada hukum tertulis sebagai sendi utama. Hal ini
terlihat pada politik kodifikasi. Sebagai hasil politik hukum tersebut nampak pada pembentukan
kitab undang-undang hukum acara pidana dan politik hukum ini akan diteruskan dalam
pembentukan kitab undang-undang hukum pidana dan sebagainya. Pelaksanaan politik kodifikasi
ini telah bergeser dari pengertian dasar kodifikasi karena yang akan lebih di kembangkan adalah
kodifikasi parsial. Seperti di utarakan di muka, kodifikasi merupakan cermin dari pengaturan
yang serba lengkap (completeness). Menilik pengertian dasar ini, maka sebenarnya kodifikasi
parsial bukan lagi kodifikasi melainkan pengaturan materi tertentu dalam sebuah undang-undang
(formal). Bahkan lebih jauh lagi ada pemikiran yang menganggap bahwa peranan (pembentuk)
undang- umdang melakukan modifikasi atau perubahan masyarakat lebih penting atau lebih
diperlukan dibandingkan dengan upaya kodifikasi.
Sehubungan dengan politik hukum kodifikasi yang dianut di Indonesia tersebut di atas, Bagir
14
Manan mengemukakan, bahwa; Politik hukum Indonesia di masa yang akan datang, tidaklah
perlu memilih antara kodifikasi dengan nonkodirikasi, yang lebih penting adalah penentuan tujuan,
arah, sasaran dan fungsi politik hukum, seperti :
Pertama; apakah wawasan nusantara di bidang hukum harus senantiasa diarahkan pada unifikasi
hukum di seluruh bidang kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia. Ataukah sesuai dengan prinsip
bhineka tunggal ika, unifikasi akan berlaku secara selektif. Artinya, unifikasi sebagai prinsip tanpa
menutup kemungkinan diverifikasi sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan masyarakat.
Kedua; apakah setiap gejala atau kepentingan harus diatur dalam undang-undang. Ataukah ada
bagian-bagian yang dibiarkan diatur sendiri oleh masyarakat atau ditumbuhkan melalui peranan
penegak hukum atau ilmu pengetahuan hukum.
13 Ibid, hlm 10
14 Ibid, hlm 12

Ketiga; sejauh manakah faktor atau gejala yan mendunia seperti globalisasi, privatisasi dan lain-lain
dapat dipertemukan dengan paham ke-Indonesia seperti nilai-nilai Pancasila, prisip kekeluargaan,
keadilan sosial dan sebagainya.
Keempat; bagaimanakah perkiraan corak hukum atau peraturan perundang-undangan Indonesia yang
berdasarkan Pancasila pada masyarakat industrI Indonesia di masa datang.
Kelima; bagaimanakah sistem perorganisasian pembinaan hukum nasional yang dapat menjamin
kesatuan kebijaksanaan, kesatuan perencanaan, kesatuan program dan sebagainya.
Keenam; bagaimanakah prinsip dan dasar penyusunan perencanaan dan program pembinaan hukum
nasional yang terpadu dengan sektor prioritas pembangunan lainnya.

BAB III
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
YANG BAIK
15
Menurut Bagir Manan mengemukakan, bahwa; Ketika belajar pengantar ilmu hukum,
bahkan kemudian ketika belajar teori atau filsafat hukum, kepada kita diajarkan agar hukum
ditaati ( maksudnya taat secara spontan bukan dengan paksaan ), hukum itu harus mempunyai
dasar-dasar berlaku yang baik. Biasanya ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku
secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis. Karena peraturan perundangundangan adalah hukum, maka peraturan perundang-undangan yang baik harus mengandung
ketiga unsur tersebut. Yang tidak pernah dijelaskan adalah bagaimana imbangan antara unsurunsur itu?. Hal ini pada ahkirnya sangat tergantung pada pendakatan yang dipergunakan. Mereka
yang mendakati hukum atau peraturan perundang-undangan secara foramal tentu akan melihat
unsur yuridis sebagai yang terpenting. Begitu pula yang melihat hukum sebagai gejala sosial akan
melihat unsur sosiologis sangat penting. Demikian pula mereka yang mengukur kebaikan hukum
dari rechtsidee tentu akan menekan pentingnya aspek filosofis. Terlepas dari perbedaan titik
pandang tersebut, ketiga unsur yuridis, sosiologi dan filosofis memang penting. Sebab setiap
pembuat peraturan perundang-undangan berharap agar kaidah yang tercantum dalam perundangundangan itu adalah sah secara hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena dapat atau akan
di terima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu yang panjang .
Merujuk pada pendapat di atas, tentu kita harus memahami secara lebih mendalam mengenai
Apakah yang di maksud dengan kaidah mempunyai dasar berlaku secara yuridis (juridische
gelding). Dalam pada itu Bagir Manan16 mengemukakan, bahwa; Dasar yuridis ini sangat penting
dalam perbuatan peraturan perundang-undangan karena akan menunjukan;
Pertama; kaharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Kalau
tidak, peraturan perundang-undangan itu batal demi hukum (van rechhtswegenietig). Dianggap
15 Ibid, hlm 13
16 Ibid, hlm 14

tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum. Misalnya undang-undang dalam arti
formal (wet in formelezin) di buat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-undamg
yang tidak merupakan produk antara bersama Presiden dan DPR adalah batal demi hukum.
Bbegitu pula Keputusan Menteri, Peraturan daerah dan sebagainya harus pula menunjukan
kewenangan pembuatnya.
Kedua; Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang- undangan dengan
materi yang di aturkan terutama kalau di perintahkan oleh peraturan perundang-undangan tigkat
lebih tinggi atau sederajat .Ketdak sesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan
peraturan perundang-undangan tersebut l. misalnya kalau UUD 1945 atau undang-undang
terdahulu menyatakan bahwa sesuatu di atur dengan undang-undang, maka hanya dalam bentuk
undang-undanglah hal itu di atur . kalau di atur dalam bentuk lain misalnya keputusan presiden ,
maka keputusan presiden tersebut dapat di batalkan (vernietigbaar).
Ketiga; keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan
perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Peraturan daerah dapat dibuat oleh Kepala daerah dengan persetujuan DPRD. Kalau
ada Peraturan daerah tanpa (mencantumkan) persetujuan DPRD maka batal demi hukum, dan
(harus dimuat dalam Lembaran Daerah = kursif dari penulis). Dalam undang- undang tentang
pengundangan (pengumuman) bahwa setiap undang-undang harus diundangkan dalam Lembaran
Negara sebagai satu-satunya cara untuk mempunyai kekuatan mengikat. Selama pengundangan
belum dilakukan, maka undang-undang tersebut belum mengikat .
Keempat; Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatanya. .Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan
UUD .Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih bawah.
Dalam hubungan dengan dasar yuridis ini, Soerjono Soekanto-Purnadi Purbacaraka.mencatat
beberapa pendapat;
(1) Hans Kelsen berpendapat bahwa setiap kaidah hukum harus berdasarkan kaidah yang lebih
tinggi tingkatanya.
(2) W.Zevenbergen berpendapat bahwa , setiap kaidah hukum harus memenuhi syarat-syarat
pembentukanya (op de vereischte wijze is tot stand gekomen).
(3) Logemann, kaidah hukum mengikat kalau menunjukan hubungan keharusan (hubungan
memaksa) antara suatu kondisi dan akibatnya (dwingend verband). Selanjutnya, apakah yang
di maksut dengan dasar berlaku secara sosiologis (sociologishe gelding)? Dasar sosiologi
artinya mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat .Dalam suatu masyarakat
industri , hukumnya harus sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat
industri terse but .Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah masalah
yang di hadapi seperti masalah perburuan ,hubungan majikan buruh, dan lain sebagainya.
Dengan dasar sosiologi ini diharapkan peraturan perundang-undangan yang dibuat akan
diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan perundang-undangan yang di
terima secara wajar akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak begitu banyak memerlukan
pengerahan institusional untuk melaksanakanya .Soerjono SoekantoPurnadi Purbacaraka
mencatat dua landasan teoretis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum yaitu;
1. Teori kekuasaan (machttheorie) secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan
penguasa, terlepas di terima atau tidak di terima oleh masyarakat .

2. Teori pengakuan (annerkennungstheorie).kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari


masyarakat tempat hukum itu berlaku .
Menanggapi pendapat di atas, Bagir Manan 17 mengemukakan, bahwa; Tetapi satu hal
yang harus diingat bahwa kenyataan yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar sosiologis
harus termasuk pula kecendrungan dan harapan-harapan masyarakat. Tanpa memasukan
faktor-faktor kecendrungan dan harapan masyarakat maka peraturan perundang-undangan
hanya sekedar merekam keadaan seketika (sekedar moment opname). Keadaan seperti itu akan
menyebabkan kelumpuhan peranan hukum. Hukum akan tertinggal dari dinamika
masyarakat. Bahkan peraturan perundang-undangan akan menjadi konservatif karena seolaholah mengukuhkan kenyataan yang ada. Hal ini bertentangan dengan sisi lain dari peraturan
perundang-undangan yang diharapkan mengarahkan perkembangan masyarakat.
Selain itu, bagaimanakah halnya dengan dasar filosofis?. Sehubungan dengan hal
tersebut Bagir Manan18 mengemukakan, bahwa; Setiap masyarakat selalu mempunyai
rechtsidee yaitu apa yang akan mereka harapkan dari hukum, misalnya untuk menjaminkan
keadilan, ketertiban, kesejahtraan dan sebagainya. Cita hukum atau rechtsidee tersebut tumbuh
dari sistem nilai mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan
individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang kedudukan wanita , tentang dunia
gaib dan lain sebagainya .Semuanya ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan
mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem ini tersebut
baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkan dalam
tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat, sehingga setiap
pembentuk hukum atau peraturan perundang-undangan harus dapat menangkapnya setiap kali
akan membentuk hukum atau peraturan perundang-undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai
tersebut telah terangkum baik berupa teori-teori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin
filsafat resmi seperti Pancasila. Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau peraturan
perundang-undangan sudah semestinya memperhatikan sungguh-sungguh rechtsidee yang
terkandung dalam pancasila .
Persoalan berikut yang menjadi masalah adalah apakah suatu peraturan perundangundangan yang sudah mencerminkan dasar-dasar yuridis, sosiologis dan filosofis tidak akan
ada lagi kekuranganya? Dalam upaya menjawab permasalahan tersebut, Bagir Manan 19
mengemukakan, bahwa; Kenyataan tidak selalu drmikian. Peraturan perundang-undangan yang
kurang baik dapat juga terjadi karena tidak jelas perumusanya sehingga tidak jelas arti,
maksud dan tujuanya (ambiguous), atau rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti
(interpretative), atau terjadi inkonsistensi dalam menggunakan pristilahan , atau sismatika
yang tidak baik, bahasa yang berbelit-belit sehingga sukar dimengerti dan lain sebagainya.
Masalah ketidakjelasan, memungkinkan bermacan-macam interpretasi , sukar di pahami ,
penggunaan istilah yang tidak konsisten , bukan sesuatu yang dapat di abaikan dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan .Hal-hal ini menyangkut teknik-teknik perancangan
17 Ibid, hlm 16
18 Ibid
19 Ibid, hlm 17

peraturan perundang-undangan. Dengan demikian selain unsur -unsur yuridis, sosiologis, dan
filosofis, maka unsur teknik perancangan merupakan unsur lain yang tidak boleh diabaikan
dalam upaya membuat peraturan perundang-undangan yang baik.
Lebih lanjut Bagir Manan20 mengemukakan, bahwa; Ditinjau dari sudut perancangan,
keempat unsur (yuridis, sosiologis, filosofis, dan teknik perancangan ) dibagi ke dalam dua
kelompok utama yang sekaligus merupakan tahap-tahap dalam perancangan peraturan
perundang-undangan, yaitu sebagai berikut;
Tahap pertama: Penyusunan Naskah Akademik.
Dalam praktek, terdapat berbagai pandangan mengenai naskah akademik. Ada pendapat
yang mrnyatakan tidak ada perbedaan antara naskah akademik dengan naskah rancangan.
Kedua-duanya telah tersusun dalam sistematika, bab-bab, pasal-pasal, ayat-ayat, dan seterusnya.
.Perbedaan hanya terletak pada pembuatnya.
Rancangan peraturan perundang-undangan disiapkan oleh instansi atau pejabat yang
berwenang dalam perancangan atau pembuatan peraturan perundang-undangan. Sedangkan
naskah akademik, disiapkan oleh mereka-mereka yang tidak memiliki kewenangan formal
menyiapkan atau membuat peraturan perundang-undangan, misalnya oleh ahli-ahli dari
universitas atau badan-badan non pemerintah seperti kantor konsultan. Pendapat kedua
menyatakan bahwa naskah akademik berisi pertanggung jawaban secara akademik mengenai
perancangan suatu
peraturan perundang-undangan. Karena
komponen utama adalah
pertanggungjawaban akademik, maka naskah akademik tidak perlu tersusun dalam bab-bab,
pasal-pasal dan seterusnya. Yang terpenting adalah analisis akademik mengenai aspek dari
peraturan perundang-undangan yang hendak dirancang. Pada tahap penyusunan akademik
itulah dasar-dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis mendapat pengkajian mendalam. Bila
diperlukan, sebelum penyusunan naskah akademik dilakukan, didahului dengan penelitianpenelitian dan pengkajian-pengkajian secara ilmiah. Penulis sendiri cendrung pada pandangan
kedua. Karena
pada tahap naskah akademiklah disusun dasar-dasar, alasan-alasan,
pertimbangan-pertimbangan yang tidak semata-mata politik (misalnya sebagai realisasi janji
atau program pemenang pemilu), tapi juga pertimbangan yuridis, sosiologis, ekonomis, sosial,
budaya, filosofis dan sebagainya. Ke dalam naskah akademik juga dapat dipertimbangkan
manfat atau akibat akibat yang akan timbul seperti beban keuangan Negara dan sabagainya.
Tetapi agar naskah akademik ini tidak merupakan kajian ilmiah semata, harus disertai dengan
kerangka dan pokok-pokok isi yang akan dimasukan ke dalam peraturan perundang-undangan
yang hendak dirancang .
Tahap kedua :Tahap perancangan
Tahap kedua ini mencakup aspek-aspek procedural dan penulisan perancangan. Yang
dimaksud dengan aspek-aspek procedural adalah hal-hal seperti izin prakarsa (apabila
diperlukan), pembentukan panitia antar departemen, dan lain sebagainya. Sedangkan penulisan
rancangan adalah menerjemahan gagasan, naskah akademik, atau bahan-bahan lain ke dalam
bahasa dan struktur yang normatif. Bahasa normatif artinya bahasa yang mencerminkan asasasas hukum tertentu, pola tingkah laku tertentu (kewajiban, larangan, hak dan sebagainya).
Bahasa normatif ini selain tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku, juga
harus tunduk pada bahasa hukum. Sedangkan struktur normatif artinya mengikuti teknik
penulisan peraturan perundang-undangan seperti pertimbangan, dasar hukum, pembagian bab
20 Ibid, hlm 18

dan seterusnya. Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, perlu di


perhatikan berbagai asas (Beginselen van behoorlijke regelgeving). Van der Viles membedakan
antara asas-asas formal dan asas-asas material .
Asas-asas formal meliputi:
(1) Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelsteling).
(2) Asas organ /lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ ).
(3) Asas perlunya peraturan (het noodzakelijkheidsbeginsel).
(4) Asas dapat di laksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid).
(5) Asas consensus (het beginsel van den consensus).
Asas material meliputi :
(1) Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duildelijke
terminologie en duidelijke systematiek).
(2) Asas tentang dapat di kenali (het beginsel van kenbaarheid).
(3) Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheid sbeginsel).
(4) Asas kepastian hukum (het rechtszekerheid sbeginsel).
(5) Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele
rechtsbedeling).

BAB IV
BENTUK- BENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bagir Manan21 mengemukakan, bahwa; Pengetahuan mengenai bentuk atau jenis
peraturan perundang-undangan sangat penting dalam perancangan atau penyusunan
peraturan perundang-undangan karena:
Pertama: Telah di kemukakan bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus me,punyai landasan atau dasar yuridis yang jelas .Tanpa landasan atau dasar yuridis,
peraturan perundang-undangan akan batal demi hukum atau dapat di batalkan .Landasan atau
dasar yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan adalah peraturan perundangundangan tertentu .Dengan perkataan lain setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus dapat menunjukan secara jelas peraturan perundang-undangan tertentu yang menjadi
landasan atau dasarnya. Peraturan perundang-undangan adalah satu-satunya landasan dasar
yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan .Yurisprudensi ,hukum adat, atau hukum
kebiasaan tidak dapat di jadikan landasan atau dasar yuridis pembentukan peraturan
perundang-undangan .Yurisprudensi, hukum adat, hukum kebiasaan merupakan bahan
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kedua: Tidak setiap peraturan perundang-undangan dapat di jadikan landasan atau dasar
yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan .Hanya peraturan perundang-undangan
yang sederajat atau yang lebih tinggi darl pada peraturan perundang-undangan yang akan di
bentuk dapat di jadikan landasan atau dasar yuridis .Peraturan perundang-undangan yang
lebih tingkatanya tidak dapat di jadikan landasan atau dasar yuridis pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan .Suatu peraturan daerah tidak dapet di jadikan landasan atau
dasar
pembentukan undang-undang.Persyaratan ini
sekaligus
menunjukan betapa
21 Ibid, hlm 21

pentingnya tata urutan (hirarki) peraturan perundang-undangan dalam penbentukan peraturan


perundang-undangan .
Ketiga: Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan berlaku prinsip bahwa peraturan
perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan
perundang-undangan sederajat atau yang lebih rendah .Prinsip ini mengandung beberapa hal :
1. Pencabutan peraturan perundang-undangan yang ada hanya mungkin dilakukan oleh
peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi. Prinsip ini tidak
mengurangi kewenangan hakim untuk melakukan penafsiran-penafsiran atau konstruksi
hukum sehingga sesuatu peraturan perundang-undangan mempunyai arti yang berbeda
(menjadi lenih luas atau lebih sempit) daripada yang di maksudkan pembentukan undangundang. Dalam bidang-bidang hukum tertentu, peraturan perundang-undangan dapat pula
di kesampingkan atau menjadi tidak efektif oleh tumbuhnya suatu hukum kebiasaan
seperti konvensi ketatanegaraan.
2. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang sederajat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan sederajat lainya ,maka berlaku peraturan perundang-undangan yang
terbaru dan peraturan perundang-undangan lama di anggap telah di kesampingkan (lex
posterior derogat priori).
3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatanya bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah,maka berlaku peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatanya
4. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang yang merupakan
kekhususan dari bidang-bidang umum yang diatur oleh peraturan yang sederajat, maka
berlaku peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang khusus tersebut (lex
specialis derogat lex generali).
Dalam perancangan peraturan perundang-undangan, prinsip pencabutan otomatis berdasarkan
hierarki atau saat penetapan tidak dapat di jadikan dasar untuk membenarkan kelalaian
perancang yang tidak mengatur secara tegas mengenai pencabutan atau pernyataan yang tidak
berlaku suatu peraturan perundang-undangan .Dalam perancangan (dan dengan sendirinya
dalam peraturan perundang-undangan) harus dengan teliti dan tegas di cantimkan peraturan
perundang-undangan yang akan di cabut atau akan di nyatakan tidak berlaku.
Ke empat:Faktor keempat mengenai pentingnya pengetahuan mengenai peraturan perundangundangan karena bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan senantiasa berkaitan
dengan materi muatanya.Materi muatan undang-undang dasar berbeda dengan materi
muatan undang-undang.Setiap perancangan atau penyusun peraturan perundang undangan
harus mempunyai pengetahuan yang memadai mengenai hubungan antara materi muatan
dengan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan . Dalam hal peraturan perundangundangan terdahulu memerintahkan agar materi muatan tertentu lebih lanjut dalam bentuk
atau jenis peraturan perundang undangan tertentu misalnya di atur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah tidaklah begitu sukar . Keadaan menjadi tidak mudah kalau
penunjukan semacam itu tidak ada .Perancang atau penyusun peraturan perundang-undangan
harus meneliti sendiri bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang tepat mengenai
materi muatan tersebut.
Dari uraian di atas, nampak betapa pentingnya pengetahuan mengenai seluk beluk peraturan
perundang-undangan untuk menciptakan suatu sistem peraturan perundang-undangan yang tertib

sebagai salah satu unsur peraturan perundang-undangan yang baik. Untuk mengidentifikasi
berbagai bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan .
Lebih lanjut Bagir Manan22 mengemukakan, bahwa; Salah satu ciri negara atau pemerintah
adalah kewenangan membuat dan menegakan peraturan perundang-undangan ( law making dan law
enforcement). Tetapi yang dibuat dan ditegakan Negara atau pemerintah bukan hanya peraturan
perundang-undangan .Selain membuat peraturan perundang-undangan, negara atau pemerintah
membuat pula berbagai keputusan yang bukan peraturan perundang-undangan. Peraturan
perundang-undangan adalah keputusan tertulis negara
atau pemerintah yang berisi petunjuk
atau pola tingka laku yang bersifat dan mengikat secara umum. Bersifat dan berlaku secara umum
maksudnya tidak mengidentifikasi individu tertentu, sehingga berlaku setiap hukum yang
memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan mengenai pola tingka laku tersrbut .
Dalam kenyataan , terdapat juga peraturan perundang-undangan seperti undang-undang yang
berlaku untuk kelompok orang orang tertentu , obyek tertentu , daerah atau waktu tertentu
.Dengan demikian pengertian mengikat secara umum pada saat ini sekedar menunjukan tidak
menentukan sacara konkrit (nyata) identitas individu atau obyeknya .
Dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, dikenal berbagai bentuk atau jenis
peraturan perundang-undangan . Antara tahun 1945-1949, disamping undang-undang, peraturan
pemerintah, dan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (perpu), dikenal juga
peraturan perundang-undangan lain seperti Peraturan presiden. Bahkan berbgai maklumat yang
pada hakekatnya merupakan peraturan perundang-undangan. Pada masa UUDS 1950 dikenal
perturan perundang-undangan seperti Peraturan Perdana Menteri. Selanjutnya pada masa antara
1959-1966, dikenal bentuk-bentuk seperti Penetapan Presiden dan Peraturan Presidan yang
kemudian dipandang sebagai bentuk yang menyimpang dari ketentuan UUD 1945. Dalam rangka
penertiban , MPRS pada tahun 1966 membuat ketetapan yang mengatur mengenai bentuk atau jenis
peraturan perundang-undangan yang dipandang sesuai dengan UUD 1945 (Tap MPRS No.
XX/MPRS/1966 .
Bentuk-bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam Tap MPRS
No..XX/MPRS/1966 lebih luas dari pada yang disebutkan dalam UUD 1945 tetapi lebih sempit di
bandingkan dengan kenyataan yang ada. Dikatakan lebih luas, karena Tap MPRS No. XX/MPRS /
1966, menyebutkan beberapa peraturan perundang-undangan yang tidak secara tegas di sebutkan
dalam UUD 1945 .UUD1945 hanya menyebutkan undang-undang ( pasal 5 ayat 1) peraturan
pemerintah (Pasal 5 ayat 2), Peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang di samping
UUD 1945 itu sendiri. Sebaliknya disebut lebih sempit dari kenyataan, Karena Tap MPRS No.
XX/MPRS /1966 hanya memuat peraturan perundang-undangan tingkat pusat. Sedangkan dalam
sistem peraturan perundang-undangan Indonesia terdapat juga peraturan perundang-undangan
tingkat daerah , seperti peraturan daerah . Memang Tap MPRS No. XX/MPRS /1966 ridak
menentukan secara limitatif bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan , karena membuka
kemungkinan peraturan perundang-undangan lain . Di pihak lain, Tap NO.XX/MPRS /1966, dapat
pula di anggap berlebihan ,karena memasukan intruksi sebagai salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan . Dari segala segi, intruksi tidak lagi memenuhi syarat sebagai peraturan
perundang-undangan . intruksi memuat hal-hal konkrit dan individual, sehingga tidak memenuhi
esensialia peraturan perundang undangan .
22 Ibid, hlm,24

Baik berdasarkan UUD 1945 Tap No..XX/MPRS /1966, UU No. 5 Tahun 1974 dan berbagai
praktek, pada saat ini dijumpai peraturan perundang-undangan berikut :UUD 1945, Ketetapan
MPR,, Undang-undang, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, KeputusanPpresiden ,Peraturan Menteri ,Keputusan Menteri, Peraturan DaerahTingkat
1,Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1. Peraturan Daerah Tingkat 11, dan Keputusan
Bupati /Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat 11.
1. Undang-undang Dasar 1945 ( UUD 1945)
UUD 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam sistem perundangundangan Indonesia. Karena itu dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana
diatur dalam Tap MPRS No. XX/MPRS /1966, UUD 1945 diletakan pada urutan pertama .
kedudukan tertinggi baik di lihat dari pembentukan peraturan perundang-undangan maupun
tindakan kenegaraan atau pemerintahan lainya mengandung pengertian hukum (yuridis)
tertentu. Pengertian hukum tersebut adalah bahwa baik tata cara maupun materi muatan
peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
atau maksud UUD 1945. Apabila UUD 1945 menentukan suatu materi muatan diatur dengan
bentuk peraturan perundang-undangan lain. Kalau UUD 1945 menyatakan suatu materi
muatan diatur dengan undang-undang maka tidak boleh diatur dengan Ketetapan MPR atau
bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan lain. Begitu pula materi muatan peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan atau
maksud UUD 1945 . Berdasarkan pengertian hukum tersebut, maka setiap peraturan perundangundangan tingkat lebih rendah yang bertentangan dengan atau tidak sesuai dengan ketentuan
atau maksud UUD 1945 dapat dinyatakan batal (vernietigbaar ). Tetapi sistem perundangundangan yang berlaku tidak menjalankan secara penuh pengertian dan konsekwensi hukum
UUD 1945 sebagai peraturan perundang-undangan negara tertinggi. Ada pembatasan
pembatasan mengenai kemungkinan menyatakan batal peraturan perundang-undangan yang
tidak sesuai atau bertentangan dengan
UUD 1945.UU No.14/1970 tentang kekuasaan
kehakiman, UU No 14 tahun 1985 dan Ketetapan MPR No. V1/MPR /1973 yang kemudian
diganti dengan ketetapan MPR No 111/MPR/1979 memberikan wewenang kepada Mahkamah
Agung untuk membatalkan peraturan perundang-undagan tingkat lebih rendah dari pada
undang-undang karena alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tingkat yang
lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari pada undang-undang adalah
peraturan pemerintah kebawah. Dengan demikian, ketetapan MPR, undang-undang dan
peraturan pemerintah sebagai sebagai pengganti undang-undang tidak dapat dibatalkan walaupun
bertentangan dengan UUD 1945 .sebagai konsekwensi, Ketetapan MPR, Undang-undang atau
peraturan penerintah sebagai pengganti undang-undang akan tetap berlaku walaupun
bertentingan dengan UUD 1945. Ini berarti, UUD 1945 dapat di kesampingkan oleh Ketetapan
MPR, Undang-undang atau Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang. Dalam
keadaan semacam itu maka UUD 1945 bukanlah peraturan perundang-undangan yang tertinggi.
Ini harus diakui sebagai semacam keganjilan. di satu pihak dikatakan UUD 1945 tidak dapat
dijadikan pengujian terhadap Keterapan MPR, Undang-undang, atau Peraturan Pemerintah
sebagai Pengganti Undang-umdang. Untuk menghilangkan konflik yang akan mengakibatkan
pengesampingan UUD 1945 oleh Ketetapan MPR, Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
sebagai Pengganti Undang-undang maka peranan penyusunan peraturan perundang-undangan
sangat penting. Jangan sampai terdapat materi muatan Ketetapan MPR, Undang-undang, atau

Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang yang akan mengakibatkan UUD 1945
dikesampingkan. Secara historis pada saat penyusunan rancangan UUD 1945 - memang terdapat
perbedaan pandangan mengenai pengujian terhadap undang-undang. MUHAMMAD YAMIN
menghendak agar Mahkamah Agung diberi wewenang mengiuji undang-undang dengan
mengatakan: Balai Agung (maksudnya Mahkamah Agung penulis ) janganlah saja
melaksanakan bagian kehakiman, tetapi juga hendaklah menjadi badan yang membanding,
apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan tidak melanggar Undang-undang
Dasar . Pandangan YAMIN tersebut ditolak SUPOMO.
Menurut Bagir Manan23 menyatakan, bahwa; Ada berbagai pertimbangan SUPOMO
menolak gagasan YAMIN .
Pertama ; Hak menguji bertalian dengan ajaran pemisahan kekuasaan merupakan konsekwensi
demokrasi liberal. Sedangkan pemerintah Indonesia tidak akan menjalankan ajaran pemisahan
kekuasaan .
Kedua: secara teoretis tidak akan kesamaan pandangan mengenai hak menguji. Karena
pengujian itu pada umumnya menjadi persoalan politik bukan yuridis .
Ketiga: Ahli hukum Indonesia belum berpengalaman dalam soal pengujian tersebut dan juga
jumlahnya masih terbatas.
Perbedaan pendapat antara YAMIN dan SUPOMO tidak nampak penyelesaianya dalam
UUD 1945 karena tidak ada ketentuan yang menegaskan apakah undang-undang dapat di uji
atau tidak .Berbeda dengan UUDS 1950 dan KRIS yang dengan tegas mengatakan undangundang tidak dapat di ganggu gugat (UUDS 1950, pasal 95 ayat 2, KRIS, pasal 130 ayat 2 ).
Sekedar perbandingan dapat disebutkan, UUD Amerika Serikat juga tidak memuat
ketentuan mengenai hak menguji. Hak menguji di Amerika dilaksanakan berdasarkan
precedent dan kebiasaan ketatanegaraan . Hak menguji di Amerika Serikat tumbuh
berdasarkan asumsi bahwa UUD merupakan the supreme law of the land dan karena itu
tidak boleh ada peraturan perundang-undangan atau tindakan pemerintahan yang bertentangan
dengan UUD. HANS KELSEN berdasarkan teori the hierarchy of law dan the pure theory of
law mengasumsikan bahwa pengujian itu selalu ada walaupun tidak ada ketentuan yang
tegas. if the legal order does not contain any explicit rule to the contrary, there is a
presumptions that every law applying organ has this power of refusing to apply uncon
stitutional law. Tetapi anggapan HANS KELSEN tidak dapat menghapuskan kenyataan bahwa
dalam berbagai UUD (seperti Belanda dan Perancis yang menentukan undang-undang tidak
dapat diganggu gugat. Pola yang sama di temukan di Inggris yang berdasarkan teori
supremasi parlemen mengatakan bahwa undang-undang tidak dapat diuji .
Berkenaan dengan asumsi tersebut muncul persoalan bahwa, asumsi-asunsi yang
manakah yang hendak dipergunakan oleh UUD 1945. Menurut Bagir Manan 24 mengemukakan,
bahwa; Pada tahun 1966 nampaknya berlaku asumsi KELSEN dan precedent atau kebiasaan
ketatanegaraan Amerika Serikat seperti nampak dari Tap No .XX/MPRS/1966 yang mengatur
tata urutan peraturan perundang-undangan dan mendudukan UUD 1945 pada urutan tertinggi .
asumsi ini mempunyai landasan yang cukup kuat (antara lain):
23 Ibid, hlm 27
24 Ibid, hlm 29

1. UUD 1945 adalah (sebagian ) hukum dasar artinya yang akan mendasari susunan
ketatanegaraan dan penyelenggaraan ( pemerintahan ) negara. Karena itu sangat wajar kalau
ada pada urutan tertinggi tata hukum Indonesia.
2. UUD 1945 tidak mengatur bahwa undang-umdang tidak dapat di ganggu gugat (berbeda
dengan UUDS 1950 dan KRIS ). Hal ini menunjukan bahwa pembentuk UUD 1945 sadar
atau tidak sadar membuka peluang untuk menguji undang-undang .
3. Dalam praktek, hampir semua negara yang mempunyai UUD mengenal sistem hak menguji
atas semua peraturan perundang-undangan di bawah UUD . suatu praktek yang logis
mengingat kedudukan dan fungsi UUD dalam setiap Negara yang bersangkutan .pada saat
ini,pengujian terhadap peraturan perundang-undangan tidak peril lagi di kaitkan dengan
paham liberal ,ajaran pemisahan kekuasaan dan sebagainya . Hak di uji harus di pandang
sebagai salah satu cara efektif untuk menjamin keutuhan UUD dan tertib hukum pada
umumnya .
Sayangnya,Tap No. XX/MPRS /1966 yang menempatkan UUD 1945 sebagai peraturan
perundangan tertinggi kemudian disadari atau tidak digeser oleh UU No.14 tahun 1970 dan
UU NO.14 tahun1985 yang diperkokoh oleh Tap MPR No. V1/MPR /1973 yang kemudian di
ubah menjadi Tap MPR No .111/MPR /1978. Dari sudut perancangan peraturan perundangundangan hal ini terjadi karena:
1. kurangnya pengertian bahwa
hukum, khususnya peraturan perundanganundangan,
merupakan satu kesatuan sistem.dan ini mengakibatkan kurangnya pengajian yang
sistematik dan menyeluruh pada saat membuat suatu peraturan perundang-undangan.
2. Kurangnya pengertian bahwa hukum, khususnya peraturan perundang-undangan demikian
pula pelaksanaanya sering tidak terlepas dari doktrin atau teori hukum atau politik tertentu.
Misalnya, meskipun baik di Inggris maupun di Perancis, undang-undang tidak dapat diuji,
tetapi keduanya didasarkan pada landasan ajaran berbeda. Di Inggris didasarkan pada ajaran
supermasi parlemen .dan akan terasa ganjil bahwa di Perancis, ajaran pemisahan
kekuasaan menghasilkan undang-undang tidak dapat diuji, sebaliknya di Amerika Serikat
malah harus diuji.
Rancangan UUD 1945 disusun Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Pada tangal 18 agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) menetapkan Rancangan tersebut sebagai UUD yang berlaku untuk seluruh wilayah
ilndonesia hingga 27 Desenber 1949. UUD 1945 Berlaku kembali melalui Dekrit presiden
tanggal 5 juli 1959 . Hingga sekarang belum pernah ada perubahan perubahan resmi (formal)
terhadap UUD 1945. M enurut UUD 1945 Perubahan dapat dilakukan oleh MPR. Dalam Pasal
37 UUD 1945 di sebutkan perubahan terjadi kalau sidang MPR di hadiri oleh dua pertiga
anggota dan disetujui oleh dua pertiga anggota yang hadir. Pada saat ini tata cara perubahan
UUD 1945 tidak samata-mata di lakukan di lingkungan MPR. Sebelum MPR memutuskan
perubahan harus di dahului dengan referendum nasional .Keputusan mengenai perubahan
dapat dilakukan kalau mayoritas rakyat menyetujui kehendak MPR untuk mengadakan
perubahan. Dan keputusan perubahan diusahakan melalui musyawarah untuk mufakat
Keputusan dangan suara terbanyak baru dilakukan kalau musyawarah untuk mufakat tidak
dapat tercapai. Kehadiaran pranata referendum, menyebabkan perubahan secara resmi (formal)
UUD1945 makin tidak mudah dilaksanakan . Rakyat baru dianggap menyetujui kehendak
MPR untuk mengubah UUD 1945 apabila sekurang-kurangnya 90% rakyat yang terdaftar
sebagai pemberi pendapat rakyat memberikan pendapatnya dan sekurang-kurangnya 90%

dari yang memberikan pendapat tersebut menyatakan setuju atas kehendak MPR untuk
mengubah UUD 1945 .Tetapi . walaupun secara formal belum pernah terjadi perubahan
terhadap UUD1945, secara material beberapa peraturan perundang-undangan dapat dipandang
telah mengubah UUD 1945 seperti undang-undang tentang referendum yang mengubah tata
cara perubahan UUD1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Di lihat dari teori
konstitusi, perubahan UUD bukan secara material bukan sesuatu yang tidak dikenal.
WHEARE , menyatakan bahwa selain melalui perubahan formal (formal amandement), UUD
dapat berubah melalui kebiasaan ke tatanegaraan (konvensi), dorongan yang timbul dari
kekuatan tertentu (some primary forces), dan putusan pengadilan (judicial interpretarion ).
Tetapi yang harus mendapat perhatian yang mendalam adalah jangan sampai perubahan
secara material tersebut merusak atau meniadakan sendi sendi utama UUD 1945 seperti
paham kedaulatan rakyat, paham negara berdasarkan atas hukum dan sebagainya .
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ( Tap MPR )
UUD 1945 tidak menyebut secara tegas mengenai bentuk Tap MPR. Bentuk ini mulai dikenal
sejak sidang-sidang MPRS tahun 1960 .
Sehubungan keberadaan dari Ketetapam MPR tersebut, Bagir Manan 25 mengemukakan,
bahwa; Kehadiran bentuk tap MPR dapat didasarkan pada dua hal yaitu sebagai berikut:
Pertama: ketentuan-ketentuan yang tersirat dalam UUD 1945. Adanya ketentuan-ketentuan
yang tersirat yang sekaligus mengandung kekuasaan tersirat (implied power) diakui oleh seriap
sistem UUD. Kalau Presiden secara tersirat diberi wewenang mengangkat duta dan konsul atau
menerima duta dan konsul negara lain maka secara tersirat berarti Presiden juga berwenang
menentukan membuka atau tidak membuka, atau membekukan hubungan diplomatik dengan
negara lain, dan menolak seorang calon duta negara lain. MPR menurut UUD 1945 mempunyai
berbagai wewenang untuk melakukan tindakan atau membuat keputusan hukum seperti
menetapkan GBHN, memilih dan menangkat presiden dan wakil presiden ,serta mengubah
UUD 1945 . keputusan-keputusan hukum ini harus di bentuk hukum tertentu . keputusan hukum
MPR di beri nama ketetapan . hal ini mungkin di dasarkan pada bunyi pasal 3 UUD 1945 yang
menyebutkan : Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan UndangUndang Dasar dan
Garis-garis Besar daripada Haluan Negara . Karena menetapkan maka bentuknya diberi
nama Ketetapan .
Kedua: Dasar kedua bagi bentuk Tap MPR adalah praktek ketatanegaraan atau kebiasaan
ketatanegaraan. Praktek atau kebiasaan ketatanegaraan merupakan salah satu sumber hukum
tata negara dan terdapat pada setiap negara. Sistem ketatanegaraan Indonesia mengakui
kehadiran praktek atau kebiasaan katatanegaraan seperti disebutkan dalam Penjelasan UUD
1945 : Undang undang dasar suatu ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar negara itu,
Undang-undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya undang-undang
dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan aturan dasar yang timbul
dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis .Telah di
kemukakan bahwa bentuk Tap MPR mulai di kenal sejak tahun 1960 yaitu sejak MPRS
pertama kali bersidang dan membuat kaputusan keputusan. Praktek ini berjalan dan diteruskan
oleh MPR. Karena telah berjalan cukup lama dan diterima sebagai bagian dari praktek
ketatanegaraan Indonesia, maka bentuk Tap MPR dapat dipandang sebagai salah satu Peraturan
25 Ibid, hlm 31

perundang-undangan Indonesia. Dalam ketentuan mengenai Peraturan Tata Tertib MPR


disebutkan bahwa Tap MPR bersifat mengikat ke dalam dan ke luar MPR. Sedangkan putusan
MPR yang semata-mata mengikat kedalam disebut Keputusan MPR .Menurut Tap No
XX/MPRS/1966 ,Tap MPR adalah peraturan perundang-undangan. Benarkah semua Tap MPR
adalah peraturan perundang-undangan ? dalam kenyataanya tidak demikian .
Terdapat Tap MPR yang tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan.
Tap MPR tentang pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden tidak mungkin digolongkan
sebagai peraturan perundang-undangan karena bersifat konkrit dan individual. Dalam Hukum
Administrasi
Negara, Keputusan Administrasi Negara
semacam Tap MPR
tentang
Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden akan digolongkan sebagai beschikking bukan
peraturan perundang-undangan (wetgeving). Tetapi MPR bukan administrasi negara. Karena itu
tidak mungkin menempatkan Tap MPR tentang Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden
sebagai beschikking dalam arti salah satu bentuk keputusan administrasi negara. Dengan
demikian, secara teoretis ilmiah ada dua jenis Ketetapan MPR, yaitu yang berupa peraturan
perundang-undangan dan yang bukan peraturan perundang-undangan. Dan Tap MPR
sebagaimana dimaksud dalam Tap No . XX/MPRS/1966, terbatas pada Tap MPR yang berupa
peraturan perundang-undangan.
Perbedaan dua jenis Tap tersebut tidak begitu penting ditinjau dari kemingkinan
pembatalanya oleh badan peradilan. Kedua duanya tidak dapat dibatalkan oleh badan
peradilan. Sebagai peraturan perundang-undangan, Tap MPR tidak dapat dibatalkan oleh
Mahkammah Agung, karena Mahkammah Agung, hanya berwenang membatalkan peraturan
perundang-undangan yang tingkatanya di bawah undang-undang. Peradilan Tata Usaha Negara
juga tidak dapat membatalkan Tap MPR yang serupa dengan bechikking. Karena wewenang
Peradilan Tata Usaha Negara hanya terbatas pada beschikking yang dibuat oleh administrasi
negara. Namun perbedaan antara Tap MPR yang berupa peraturan perundang-undangan dan
bukan peraturan perundang-undangan penting ditinjau dari teknik perancanganya.
Menilik ketentuan-ketentuan UUD 1945, pembuatan Tap MPR adalah wewenang penuh
MPR termasuk perancangan dan inisiatif penyusunanya. Tetapi dalam praktek, Presiden turut
serta (pada saat ini melalui Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional ) menyiapkan berbagai
bahan putusan MPR yang kemidian oleh Badan Pekerja MPR secara resmi disusun menjadi
Rancangan Ketetapan (Rantap) dan Rancangan Keputusan (Rantus) MPR . Bahkan pada saat ini
ada praktek baru. Bahan putusan MPR, khususnya bahan GBHN diserahkan Presiden kepada
semua kekuatan SOSPOL untuk dibahas. Dengan demikian semua kekuatan SOSPOL sejak
awal turut serta menyiapkan putusan MPR.
Serta konstitusional, bolehkah Presiden turut serta membuat (dalam bentuk menyiapkan
bahan ) Ketetapan atau Keputusan MPR ? Ditinjau dari hubungan antara Presiden dan MPR,
bukan sekedar diperbolehkan. Dari sudut tertentu dapat dipandang sebagai bagian dari kewajiban
konstitusional Presiden terhadap MPR. Presiden seperti dikatakan Penjelasan UUD 1945
tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR . Salah satu aspek dari pertanggung jawaban
tersebut dari waktu kewaktu apabila diperlukan adalah memberikan berbagai bahan atau
keterangan yang diperlukan MPR baik untuk menilai pertanggungjawaban Presiden maupun
dalam rangka pembuatan Ketetapan atau Keputusan. Penyediaan bahan Rantap MPR dan Rantus
MPR oleh Presiden dapat dipandang sebagai penyampaian keterangan yang diperlukan MPR.

Apakah ada pembatasan materi muatan Tap MPR? Kalau berpegang pada ketentuanketentuan yang tersurat dalam UUD 1945, Keputusa MPR hanya meliputi empat hal yaitu:
Menetapkan UUD, menetapkan GBHN, menetapkan pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden,
dan menetapkan perubahan UUD. Dalam praktek dijumpai aneka ragam Tap MPR seperti
tentang Pemilihan umum, Pelimpahan tugas dan wewenang kepada Presiden /Mandataris MPR
dalam rangka penyuksesan dan pengamanan pembangunan nasional, Kedudukan dan Hubungan
Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara,
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dn sebagainya. Perluasan ruang lingkup
wewenang tersebut nampaknya didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang
menyebutkan MPR sebagai yang melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat, (kedaulatan ada di
tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR). Sebagai yang melakukan kedaulatan
rakyat maka MPR dipandang dapat melakukan segala tindakan atau membuat putusan untuk
melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan penjelasan Pasal 3 UUD1945 lebih jauh
menyebutkan: Oleh karena MPR memegang kedaulatan Negara maka kekuasanya tidak terbatas
. Meskipun landasan perluasan wewenang MPR tersebut dapat dibenarkan, tetapi tidak berarti
tanpa batas. Perluasan tersebut harus mengingat prisip lain yaitu Negara RI adalah Negara
yang berdasarkan atas hukum dan negara konstitusional. Kedua prinsip tersebut menuntut
pembatasan-pembatasan kekusan dari setiap organ negara atau penyelenggara negara. MPR tidak
dapat melampaui ketentuan-ketentuan yang tertera dalam UUD1945. Apabila mengenai sesuatu
hal oleh UUD1945 ditetapkan diatur dengan UU maka MPR tidak boleh mengatur dalamTap
MPR. Begitu pula halnya terhadap hal-hal lain yang sudah secara tegas diatur dalam UUD 1945,
MPR tidak dapat melakukan penyimpangan dengan alasan kekuasaan tertinggi Negara ada pada
MPR. Atas dasar pembatasan tersebut, maka Tap MPR No. 111/MPRS /1963 tentang
Pengangkatan Presiden seumur hidup dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. MPR(S) tidak
berwenang membuat ketetapan semacam itu, walaupun sebagai badan yang sepenuhnya
melakukan kedaulatan rakyat. Karena itu dalam merancang putusan MPR (Ketetapan atau
Keputusan) harus senantiasa memperhatikan batas-batas yang tercantum dalam UUD 1945.
3. Undang-Undang
Menurut Bagir Manan26 menyatakan, bahwa; Undang-undang di sini diartikan sebagai
undang-undang dalam arti formal (wet in formele zin) yaitu peraturan perundang-undangan yang
dibentuk Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Rumusan UUD 1945 Pasal 5
ayat (1) mengenai kekuasaan membentuk undang-undang telah memancing berbagai pendapat
mengenai : Siapakah sebenarnya pemegang kekuasaan membentuk undang-undang atau
lembaga legislatife menurut UUD 1945? Hamid berpendapat bahwa Presiden adalah lebih
utama untuk disebut sebagai lembaga legislatif daripada DPR. Harus diakui pendapat Hamid
didukung oleh susunan gramatikal dari bunyi Pasal 5 ayat(1) tersebut. Tetapi yang harus disadari
adalah apakah penentuan lembaga legislative tersebut sangat relevan baik ditinjau dari sudut teori
maupun praktek.
Lebih lanjut Bagir Manan27 mengemukakan, bahwa; Secara teoretis, mempersoalkan
lembaga legislatif dan eksekutif dalam pembentukan undang-undang sadar atu tidak sadar
26 Ibid, hlm 35
27 Ibid 36

mencerminkan pendekatan pemisahan kekuasaan yang sudah lama ditinggalkan. Dan dalam
berbagai tulisan, semua sependapat, UUD 1945 tidak mengikuti pemikiran pemisahan kekuasaan.
Untuk menghindari masalah pemisahan kekuasaan tersebut, Hamid Attamimi nampaknya dengan
penuh kesadaran mempergunakan kata-kata presiden lebih utama untuk disebut sebagai
lembaga legislatif daripada DPR . Tetapi apakah secara material, memang Presiden lebih utama
sebagai lembaga legislative, mengingat:
Pertama: Dalam kata dengan persetujuan sekaligus terkandung wewenang dapat tidak
menyetujui .wewenang untuk tidak menyetujui menunjukan adanya keseimbangan (balancing)
antara presiden dan MPR.
Kedua: UUD 1945 mengakui hak inisiatif DPR (Pasal 21). Dalam hal rancangan undang-undang
berasal dari DPR, maka secara tersirat Presiden yang memberikan persetujuan dengan cara
mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang. Dengan demikian baik dari ajaran yang
lebih menekankan fungsi daripada kelembagaan pemerintahan negara, maupun makna material
dari ketentuan UUD 1945 mengenai pembentukan undang-undang, tidaklah berlebihan kalau
penjelasan Pasal 5 UUD 1945 menyebutkan : presiden bersama-sama dengan DPR menjalankan
legislative power dalam Negara . Rumusan penjelasan ini semacam dengan ketentuan dalam
UUDS 1945 (pasal 89), yang berbunyi maka kekuasaan perundang-undangan, sesuai dengan
ketentuan ketentuan bagian ini , di lakukan oleh pemerintah bersama sama dengan DPR. Hal
yang senada di jumpai pula dalam KRIS , pasal 127. Terlepas dari pemikiran pemikiran teoritikakademik tersebut di atas ,memang telah lama terjadi pergeseran peran pembentukan undangundang (peraturan perundang-undangan ) dari badan perwakilan rakyat kebadan eksekutif. Karena
itu apakah presiden menurut UUD1945 lembaga legislative atau bukan, presiden akan tetap
menjalankan peran yang lebih dominan dalam pembentukan undang-undang daripada DPR .
Meskipun menempati urutan ketiga dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ,undangundang merupakam sarana utama mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pembentukan hukum.
Tidak ada pembatasan materi muatan undang-undang, kecuali hal-hal yang manjadi wewenang
MPR ( menetapkan UUD ,menetapkan GBHN , dan menetapkan perubahan UUD). Tentu saja
tidak semua materi muatan harus diatur dengan undang-undang . Ada hal-hal yang cukup diatur
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatanya dari undang-undang .
Kapankah suatu materi muatan harus diatur dengan undang-undang ?
Ada berbagai ukuran yang dapat di pergunakan.
Pertama: Ditetapkan dalam UUD .Dalam UUD 1945 terdapat ketentuan ketentuan yang
menyatakan hal-hal tertentu di atur dengan undang-undang . materi muatan yang secara tegas di
perintahkan UUD1945 harus diatur dengan undang-undang adalah :
1) Keanggotaan MPR (pasal2 ayat 1).
2) syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya (pasal12)
3) susunan dewan pertimbangan Agung (pasal 16 ayat 1)
4) Bentuk dan Susunan Pemerintah Daerah ( pasal 18).
5) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat ( pasal 19 ayat 1)
6) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( pasal 23 ayat1 )
7) Pajak ( pasal 23 ayat 2)
8) Macam dan harga mata uang (pasal 23 ayat3)
9) Hak Keuangan Negara ( pasal 23 ayat 4)
10) Badan Pemeriksa Keuangan(pasal23 ayat 5)

11) susunan dan kekuasaan badan kehakiman (pasal 24 ayat2)


12) Syarat menjadi dan di berhentikan sebagai hakim (pasal 25).
13) Syarat-syarat kewarganegaraan (pasal 26)
14) Kemerdekaan berserikat ,berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dan sebagainya ( pasal 28).
15) Syarat-syarat pembelaan Negara (pasal 30).
16) Sistem pengajaran (pendidikan) nasional (pasal 31 ayat 2)
Perlu di catat bahwa , berdasarkan perintah UUD1945 tidak berarti hanya aka nada 16
undang-undang . untuk sesuatu hal mungkin di buat beberapa undang-undang Misalnya di bidang
kekuasaan kehakiman. Disamping pokok-pokok kekuasaan kehakiman , di buat pula berbagai
undang undang tentang Mahkamah Agung , dan undang-undang hukum acara. Begitu pula
mengenai kebebasan berapat, berkumpul dan menyatakan pendapat telah di bentuk beberapa
undang-undang seperti undang-undang partai politik dan golongan karya ,undang-undang
keormasan ,undang-undang pemilihan umum,undang-undang reverendum, termasuk juga undangundang tentang kadin. Sebaliknya dapat juga terjadi , beberapa hal di satukan dalam satu undangundang seperti undang-undang susunan MPR,DPR dan DPRD.
Undang-undang yang di buat berdasarkan perintah UUD lazim di sebut undang-undang
organic(organiek wet ,organic law). Disebut undang-undang organik karena sebenarnya hal-hal
yang diatur adalah yang berhubungan dengan organ atau alat kelengkapan Negara.Tetapi dalam
kenyataan, undang undang organic tidak terbatas pada pengaturan mengenai organ Negara. Karena
itu lebih tepat kalau undang-undang organic diaertikan sebagai bagian dari organic dari UUD .
sebagai bagian organic UUD, materi muatan
undang-undang organic sangat penting .
Semestinya materi muatan undang-undang organic di muat dalam UUD. Tetapi karena, muatan
dalam UUD akan mrnyebabkan UUDakan menjadi begitu luas , maka secara konstitusional di
tenrukan harus diatur dengan undang-undang. Keharusan mengatur materi undang-undang organic
dalam undang-undang (formal) untuk menjamin keikutsertaan rakyat menetapkan aturan-aturan
yang sangat penting itu. Walaupun undang-undang organic di bentuk atas perintah langsung
UUD,tidak berarti mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari undang-undang non organic .
Kedudukan undang-undang organic sama dengan undang-undang non organic,demikian pula tata
cara pembentukanya .
Kedua : Undang-undang di bentuk berdasarkan ketentuan undang-undang terdahulu .Tidak jarang
di jumpai suatu undang-undang menentukan agar hal tertentu diatur dengan undang-undang.
Misalnya, dalam UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman terdapat ketentuan susunan, kekuasaan serta acara dari badan-badan peradilan
seperti tersebut dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang tersendiri(pasal12 ). Pasal
10 (1) menunjukan lingkungan peradilan ( umum,agama,militer, dan tata usaha Negara ).
Berdasarkan ketentuan pasal 12 tersebut , di bentuk undang-undang peradilan umum,undangundang peradilan tata usaha Negara, dan undang-undang peradilan militer .Selain itu di bentuk
pula undang-undang Mahkamah Agung . Hal semacan ini dapat di jumpai dalam berbagai
undang-undang lain seperti undang undang Agraria dan lain sebagainya .
Ketiga: Undang-undang di bentuk dalam rangka mencabut atau menambah undang-undang yang
sudah ada . Hal ini di dasarkan pada prinsip, suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat di
cabut atau di ubah oleh peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi
tingkatanya .

Pada saat ini , melalui pasal 11 aturan UUD 1945 masih berlaku berbagai peraturan
perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda antara lain dalam bentukwet
seperti KUH pidana ( wetboek van strafrecgt), KUH Perdata (buegerlijk wetboek ), KUHDagang
(wetboek van koophamdel). Juga ada yang berbentuk ordonansi seperti Hinder Ordonnantie .
Mengenai pencabutan atau perubahan wet tidak menimbulkan persoalan . Bentuk wet
yang di buat di Negara Belanda adalah peraturan perundang-undangan yang di bentuk pemerintah
bersama Dewan Perwakilan Rakyat ( regering dan staten general ).Dengan demikian sepenuhnya
ekuivalen dengan undang-undang . Bagaimana dengan ordinansi .Dari sudut pembentukan ada dua
macam ordinansi yaitu yang di buat oleh gubernur jendral tanpa keikutsertaan Dewan Rakyat
( volksraad ) dan ordonansi yang di bentuk dengan persetujuan Dewan Rakyat . Bentuk pertama
( hanya oleh gubernur jendral ) di bentuk sebelum ada Dewan Rakyat ( sebelum 1918 ) dan pada
masa pendudukan ( 1945-1949 ). Ordonansi secara formal tidak ekuivalen dengan undang-undang
karena tidak mengikutsertakan badan perwakilan rakyat dalam pembentukanya . Materi
muatanya mungkin memenuhi syarat untuk di katagorikan sebagai materi muatan undangundang. Bagaimanakah dengan ordonansi yang kedua ( bentuk dengan persetujuan Dewan Rakyat
). Secara material Dewan Rakyat tidak memenuhi syarat sebagai badan perwakilan rakyat .
Tetapi , bagaimanapun juga badan ini menjalankan berbagai fungsi badan perwakilan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan , sehingga dapat di pandang sebagai nenjalankan
fungsi legislatif . Berdasarkan pemikiran tersebut , tidaklah keliru untuk secara formal menerima
ordonansi yang di bentuk dengan persetujuan Dewan Rakyat ekuivalen dengan undang-undang .
Dengan demikian dapat diubah atau di cabut dengan undang-undang . Untuk ordonansi yang di
bentuk tanpa persetujuan Dewan Rakyat tidak begitu mudah .Memang benar , di lihat secara
formal ordonansi ini tidak memenuhi syarat untuk di persamakan dengan undang-undang . Tetapi
secara material mungkin mengandung materi muatan undang-undang seperti ordonansi erfpacht
(erfpacht ordinnantie 1914 ) Akan terlalu kompleks apabila perancang peraturan erundangundangan haris meneliti satu persatu ordonansi semacam itu. Untuk menghindari kesulitankesulitan yang tidak perlu, lebih baik semua ordonansi di anggap ekuivalen dengan undangundang . Hal ini di dasarkan pada pemikiran , bahwa politik hukum atas peraturan perundangundangan yang berasal dari masa Hindia Belanda bukan untuk menyesuaikanya dengan sistem
perundang-undangan nasional melainkan untuk meniadakanya dari sistem perundang-undangan
nasional .Karena bertujuan untuk meniadakan maka pencabutan semua ordonansi dengan
undang-undang dapat di benarkan sebab tidak akan ada ordonansi yang lebih tinggi tingkatanya
dari undang-undang .Selanjutnya pengaturan kembali mengenai materi muatan ordonansi
sepenuhnya di sesuaikan dengan sistem perundang-undangan nasional .
Keempat : Undang-undang di bentuk karena menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak
dasar atau hak asasi manusia .
Dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan yang mengatakan bahwa pemidanaan diatur dengan
undang-undang .Demikian pula mengenai pencabutan hak milik . pidana mengatur mengenai
perampasan kebebasan ( pidana penjara atau kurungan atau pengganti denda ), perampasan hak
milik(denda) atau perampasan nyawa ( pidana mati) . semuanya ini berkenan dengan hak dasar
atau hak asasi manusia .pengaturan oleh undang-undang mengenai hal-hal yang bersangkutan
dengan hak dasar atau hak asasi berkaitan dengan paham kedaulatan rakyat .Menurut paham
kedaulatan rakyat, rakyat memrintah dan mengatur diri mereka sendiri (demokrasi ).Hanya rakyat
yang berhak mengatur dan menentukan pembatasan pembatasan terhadap diri mereka sendiri .

pembatasan hak dasar atau hak asasi menyangkut secara langsung kepentingan rakyat karena itu
harus diatur sendiri oleh rakyat .Dalam penyelenggaraan Negara modem , keikutsertaan rakyat
mengatur di lakukan melalui badan perwakilan yang menjalankan fungsi membuat undangundang ( fungsi legislative)
Kelima :Obyek lain yang diatur dengan undang-undang adalah hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan atau kewajiban orang banyak .Apabila suatu kaidah akan menimbulkan beban atau
kewajiban kepada rakyat banyak maka harus diatur dengan undang-undang .Masuk kedalam
katagori ini ketentuan ketentuan mengenai penguatan seperti pajak atau retribusi atau hal-hal
lain yang menimbulkan beban terhadap anggota masyarakat .
Ada berbagai hambatan untuk memasukan semuanya kedalam undang-undang. Kadangkadang pengaturan itu sedemikian rinci seperti cara cara menghitung dan penetapan besarnya
pajak . ada pula kemungkinan suatu obyek yang akan di atur mempunyai sifat yang sangat
dinamis, sehingga perlu di ubah atau di sesuaikan dari waktu kewaktu . kalau harus diatur dengan
undang-undang mungkin menjadi hambatan , karena membentuk undang-undang membutuhkan
tata cara tertentu yang memerlukan waktu .Atau dapat pula terjadi , sesuatu obyek seperti pajak
daerah atau retribusi daerah berkaitan dengan status satuan pemerintahan yang lebih rendah
yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri . Keadaan-keadaan ini menyebabkan
hal-hal meskipun menyangkut hak asasi , kewajiban orang banyak tidak diatur dengan undangundang tetapi oleh peratran perundang-undangan yang lebih rendah . Pengaturan dengan
perundang-undangan yang lebih rendah hanya di lakukan apabila ada kuasa dari undangundang. Artinya harus ada dasarnya dalam undang-undang yang membolehkan diatur oleh
peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah . undang-undangmendelegasikan kepada
peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah . Dalam praktek , pendelegasian makin
meluas. Makin banyak hal-hal yang semestinya dapat di masukan sebagai materi muatan undangundang tetapi di biarkan di atur oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah . Makin
banyaknya pendelegasian ini terjadi karena beberapa hal :
Pertama: Ada kemungkinan Dewan Perwakilan Rakyat kekurangan waktu untuk membahas dan
merumuskan secara rinci (detail) hal-hal yang perlu diatur dengan undang-undang . DPR tidak
hanya melakukan tugas legislatif.Tidak kala penting adalah tugas pengawasan , di samping
berbagai tugas lain seperti memenuhi undangan pemerintah berkunjung kedaerah untuk
menyaksikan kegiatan pemerintah di bidang tertentu .
Kedua: faktor-faktor yang bersifat teknis . DPR tidak senantiasa mempunyai anggota anggota
yang benar-benar memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu sehingga dapat meninjau
secara sangat mendalam setiap aspek yang akan diatur dalam syatu undang-undang .Untuk
mengatasi kesenjangan pengetahuan yang khusus tersebut diatasi dengan cara public hearing
yaitu mengundang ahli-ahli untuk di dengar di Dewan Perwakilan Rakyat . Di samping dengar
pendapat dengan pakar , ada juga dengar pendapat dengan pemerintah untuk memperoleh bahan
atau keterangan keterangan yang di perlukan . Sarana untuk memperkaya informasi dan
pengetahuan adalah kunjungan kerja ke daerah . Begitu pula pengalaman yang panjang sebagai
anggota akan sangat memperkaya pengetahuan anggota yang memungkinkan mereka
memperdebatkan materi muatan Rancangan Undang-undang baik dan bermutu .Pengetahuan
yang tumbuh dari pengalaman yang sangat berguna di suatu pihak ,kadang-kadang di hadapkan
pada kebutuhan peremajaan di pihak lain .Terlalu lama menjadi anggota Dewan Perwakilan
Rakyat ,untuk sebagian mungkin menimbulkan kebosanan atau kejenuhan ,sehingga tidak lagi

bersemangat menghadiri sidang atau rapat untuk menyampaikan pendapat atau pikiran demi
terwujudnya suatu undang-undang yang baik .Tetapi pola peremajaan apalagi tanpa di ikuti
dengan persiapan yang baik untuk menjadi anggota , akan menimbulkan kendala karena
membutuhkan waktu penyesuaian atau mempelajari seluk beluk tugas dan berbagai kemampuan
yamg harus dimiliki sebagai anggota DPR. Karena DPR bukan kekuasaan Negara yang secara
langsung melaksanakan pemerintahan terhadap rakyat ,maka faktor-faktor yang menjadi alasan
untuk membatasi waktu menduduki jabatan seperti kekhewatiran penyalagunaan kekuasaan
tidak di perlukan .Keanggotaan seseorang di DPR tergantung dari keinginan yang bersangkutan
dan dukungan partainya serta rakyat pemilih .
Ketiga : faktor kecepatan atau urgensi .banyaknya delegasi pengaturan dari DPR , dapat juga di
dasarkan pada pertimbangan kecepatan atau urgensi .
Tata cara pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat relative panjang dibandingkan kalau
hal itu di selesaikan oleh pemerintah atau eksekutif. Bahkan mungkin ada peraturan perundangundangan yang di perlukan segera pada saat DPR sedang tidak bersidang . Panjangnya waktu
pembahasan tergambar dari tingkat-tingkat pembicaraan .
Ada empat tingkat pembicaraan di DPR dalam membahas suatu Rancangan Undangundang, yaitu sebagai berikut; .
Tingkat pertama ,sidang paripurna penyampaian keterangan pemerintah .pada kesempatan ini
pemerintah menyampaikan keterangan mengenai latar belakang ,alasan-alasan, dan pokok pokok
materi muatan yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang .
Tingkat kedua ,sidang paripurna penyampaian pemandangan umum fraksi-fraksi , dan jawaban
pemerintah atas pemandangan umum fraksi. Semua fraksi melalui juru bicara masing-masing
menyampaikan pandangan awal mengenai Rancangan undang-undang yang di sampaikan
pemerintah .Sebelum memasuki pembicaraan tingkat ketiga,masing-masing fraksi menyusun
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Rangkuman DIM inilah yang menjadi pokok bahasan pada
pembicaraan tingkat ketiga .
Tinkat ketiga , pada tingkat ini pembicaraan dapat di lakukan melalui Komisi atau Panitia Khasus
(Pansus ). Penentuan pembicaraan melalui komisi atau panitia khusus di tentukan oleh Badan
musyawarah yang bertanggung jawab atas penyusunan acara DPR . Pembicaraan tingkat ketiga
membahas DIM dan menyepakati substansi atau rumusan-rumusan . pansus atau komisi pada
pembicaraan tingkat ketiga di lengkapi pula dengan panitia kerja , panitia perumus dan /atau
panitia kecil . Panitia kerja bertugas membahas lebih lanjut hal-hal yang belum dapat di
selesaikan pada tingkat komisi atau pansus . Jumlah anggota panitia kerja lebih kecil dibanding
anggota komisi atau pansus dan rapat-rapat di lakukan secara tertutup. Dengan jumlah anggota
yang lebih kecil dan rapat-rapat tertutup memungkinkan semua pihak mengungkapkan pendirian
sebebas-bebasnya termasuk berbagai konsensus-konsensus atau saling pengertian yang mungkin
sulit dicapai pada rapat-rapat terbuka . Panitia kerja selain berusaha menemukan kesepakatan
substansi juga nenbuat rumusan rumusan .Semua hasil kerja komisi atau pansus dan panitia
kerja di serahkan pada panitia perumus dan panitia kecil untuk di susun dalam suatu rumusan
lengkap sesuai dengan kesepakatan yang telah di capai oleh komisi atau pansus dan panitia
kerja . Pada rapat komisi atau pansus , panitia kerja, panitia perumus dan panitia kecil, senantiasa
duduk pula wakil pemerintah .

Tingkat ke empat : pembicaraan tingkat keempat adalah sidang paripurna .fraksi menyampaikan
secara resmi persetujuan terhadap rancangan undang-undang untuk di sahkan menjadi undangundang.
Rangkaian pembicaraan yang panjang tersebut di atas, dapat menjadi hambatan pada saat
ada kabutuhan mendesak untuk membuat peraturan di bidang bidang tertentu .Untuk mengatasi
untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut maka di adakanlah pranata pendelegasian
pembentukan peraturan perundang-undangan kepada badan-badan seperti administrasi Negara.
Keempat: unsur lain yang mendorong pendelegasian pada peraturan perundang-undangan
tingkat lebih rendah dari undang-undang adalah faktor kekenyalan atau elastisitas .mengubah
undang-undang tidak semudah mengubah misalnya peraturan pemerintah .menghadapi perubahan
yang serba cepat dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang mudah diubah untuk di
sesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan .Hal ini mungkin lebih di lakukan oleh peraturan
perundang-undangan yang tingkatanya lebih rendah dari undang-undang.
Berbagai faktor tersebutdiatas ( faktor waktu,faktor teknis, faktor uegensi, dan faktor
elstisitas ), tidak berarti bahwa setiap hal dapat di delegasikan atau tanpa batas-batas tertentu .
Ada beberapa pembatasan dalam mendelegasikan pengaturan .
Pertama: Tidak boleh ada delegasi pengaturan mengenai hal-hal yang secara tegas atau yang
karena sifatnya harus diatur dalam peraturan perundang-undangan tertentu ,misalnya UUD Tap
MPR ,atau Undang-undang .
Kedua: tidak boleh ada delegasi pengaturan yang bersifat umum .Setiap delegasi pengaturan
harus menyebut dengan tegas pokok-pokok yang akan diatur dalam peraturan perundangundangan delegasi .Misalkan disebutkan mengenai pengaturan susunan organisasi , tata kerja dan
sebagainya .Dalam ketentuan tentang delegasi tidak cukup kalau hanya menyebutkan
misalnya,hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini akan diatur lebih lanjut
dalam peraturan pelaksanaan (peraturan pemerintah, keputusan presiden dan sebagainya ).
Ketiga: Setiap ketentuan delegasi pengaturan harus menyebut dengan tegas bentuk peraturan
perundang-undangan delegasi , misalnya peraturan pemerintah , keputusan menteri, dan
sebagainya .Tidak boleh dalam ketentuan delegasi dalam pengaturan hanya menyebutkan
misalnya ,penetapan tempat-tempat penahanan bukan RUTAN diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundang-undangan .
Berbagai alasan pendelegasian tersebut diatas ,menunjukan pergeseran peran badan
perwakilan dan eksekutif dalam pembentukan undang-undang atau peraturan perundangundangan. Ada yang memandang badan legislative dewasa ini tidak lagi sebagai pembuat atau
pembentuk norma (normsteller) melainkan sebagai pemberi wewenang (bevoegdhedenoekenner).
Pada masa sekarang , berbagai undang-undang di bidang administrasi baik sebagian atau
seluruhnya tidak memuat ketentuan yang mengikat rakyat secara langsung melainkan berisi
ketentuan yang memungkinkan administrasi Negara membuat peraturan-peraturan .
Siapakah yang menyiapkan Rancangan Undang-undang? Sistem perundang-undangan
Indonesia mengatur mengenai hak inisiatif sebagai hak mengajukan Rancangan Undang-undang
kehadapan Dewan Perwakilan Rakyat .
Dalam praktek, hak inisiatif pada umumnya datang dari presiden (pemerintah) .Merupakan suatu
kecendrungan umum, inisiatif pembentukan undangh-undang lebih banyak datang dari pemerintah .Di
Indonesia, sering disebut sebagai salah satu hambatan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat adalah tata
tertib Dewan perwakilan Rakyat .

Tata tertib DPR menentukan sekurang-kurangnya 20 anggota dan tidak terdiri dari satu fraksi
dapat mengusulkan Rancangan Undang-undang . Apabila usul tersebut diterima DPR , maka
diserahkan kepada salah satu komisi , atau rapat gabungan komisi ,atau pansus untuk di
sempurnakan .setelah di sempurnakan ,oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan kepada
presiden untuk mendapat pembahasan .
Benarkah tata cara diatas menghambat inisiatif DPR persyaratan 20 orang tersebut sebenarnya
tidak besar .Hanya 4% dari seluruh anggota .mengenai persyaratan lebih dari satu fraksi tidaklah
sesulit yang dibayangkan . karena dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari
pemerintah ,fraksi-fraksi hampir selalu menemukan kesepakatan-kesepakatan .
Kalau pun peraturan tata tertib ikut menghambat penggunaan hak inisiatif DPR , itu bukan satusatunya hambatan .Hambatan-hambatan lain adalah :
Pertama : Jumlah anggota yang besar (sekarang 500 orang) , yang tidak ada ikatan structural satu
sama lain , tidak memudahkan untuk mencapai kesepakatan kesepakatan . Di Indonesia ,kesulitan
yang mungkin timbul dari jumlah anggota yang besar ini di atasi dengan menonjolkan peranan fraksi .
Fraksi-fraksilah yang memiliki kata ahkir untuk setuju atau tidak setuju .Tetapi ,bagaimana pun juga
fraksi-fraksi mewakili aliran pikiran atau kepentingan politik tertentu yang mungkin berbeda antara
fraksi yang satu dengan yang lain . Untuk mempertemukan pendapat-pendapat tersebut memerlukan
waktu , mungkin berlarut-larut . Berbeda dengan pemerintah yang terikat secara structural antara
jabatan satu dengan yang lain , yang akan lebih memudahkan mengambil keputusan .
Kedua : Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada umumnya adalah generalis yang tidak begitu
tertarik pada bidang-bidang khusus tertentu. Pada umumnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat lebih
tertarik pada aspek-aspek politis suatu Rancangan Undang- Undang daripada asprk-aspek teknisnya
.Hal ini akan mempengaruhi minat dan kesanggupan mereka untuk menyusun Rancangan Undag
undang apalagi kalau menyangkut materi muatan yang membutuhkan pengetahuan yang khusus
.Masalah ini dapat diatasi apabila di Dewan Perwakilan Daerah disediakan tenaga-tenaga ahli yang
akan membantu anggota mengumpulkan dan menyediakan bahan-bahan yang diperlukan.
Ketiga : Dewan Perwakilan Rakyat bukan pelaksana undang-undang.Sehingga tidak segera
mengetahui kekurangan atau kekosongan undang-undang. Pemerintah yang sehari-hari melaksanakan
undang-undang melaksanakan undang-undang dapat segera mengetahui keperluan undang-undang
baru dan ini mendorong untuk berinisiatif menyusun dan mengajukan suatu Rancangan Undangundang.Disamping itu ada undang undang yang pada dasarnya tergantung pada kehendak pemerintah
yaitu undang-undang tentang ratifikasi suatu perjanjian internasional , karena memasuki perjanjian
internasional adalah kekuasaan pemerintah.
Dilingkungan pemerintah ,prakarsa penyusunan naskah Rancangan Undang-undang dilakukan oleh
departemen atau lembaga pemerintah Non Departemen sesuai dengan bidang tugas masingmasing.Usul prakarsa diajukan kepada presiden untuk memperoleh persetujuan . penyusunan
dilakukan oleh sebuah panitia dengan mengikutsertakan departemen atau lembaga pemerintah Non
Departemen yang terkait.Naskah rancangan Undang-undang tersebut , kemudian diajukan kepada
presiden melalui secretariat cabinet. Dalam praktek, Sekretariat cabinet melakukan pemeriksaan ulang
dan tidak jarang mengusulkan perombakan atau memasukan materi-materi baru .Dengan amanat
presiden naskah Rancangan Undang-undang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
memperoleh persetujuan .Dalam amanat presiden disebutkan pula menteri yang akan mewakili
pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-undang tersebut.

Bagaimana halnya kalau Rancangan Undang-undang berasal dari inisiatif Dewan Perwakilan
Rakyat ?
Tahap-tahap pembahasan Rancangan Undang-undang inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat sama saja
dengan Rancangan Undang-undang
inisiatif presiden (pemerintah).Perbedaan-perbedaan hanya
mengenai:
a. Pembicaraan Tingkat Pertama
Keterangan mengenai Rancangan Undang-undang bukan dari pemerintah melainkan dari
pimpinan komisi ,atau pimpinan rapat Gabungan komisi ,atau pimpinan Pansus
b.Pembicaraan tingkat kedua
Pemerintah memberikan tanggapan dan pimpinan komisi atau pimpinan rapat Gabungan komisi
,atau pimpinan pansus (atas nama Dewan Perwakilan Rakyat ) menyampaikan jawaban atas tanggapan
pemerintah.
c.Pembicaraan tingkat ketiga dan keempat sama dengan tata cara pembicaraan atas Rancangan
Undang-undang inisiatif presiden (pemerintah).
Setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat ,Rancangan Undang-undang disampaikan
(kembali) kepada presiden untuk disahklan sebagai undang-undang yang diikuti dengan pemuatan
dalam Lembaran Negara (untuk batang tubuh) dan Tambahan Lenbaran Negara (untuk penjelasanya).
Setiap undang-undang memerintahkan agar dimuat dalam Lembaran Negara .Apakah sebenarnya
Lembaran Negara itu?Apakah fungsinya dan bagaimanakah kalau suatu undang-undang tidak
memerintahkan untuk dimuat dalam Lembaran Negara .Lembaran Negara merupakan lenbaran resmi
yang memuat peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang diwajibkan dimuat dalam lembaran
Negara .Lenbaran resmi semacam ini merupakan suatu kelaziman .Di Belanda disebut staatsbladHal
itu diketemukan juga pada Negara-negara lain.
Telah disebutkan ,dalam praktek setiap undang-undang menyebutkan agar dimuat dalam lembaran
Negara dengan maksud agar undang-undang tersebut diketahui umum.Dalam setiap undang-undang ,
senantiasa di cantumkan : Agar setiap orang mengetahuinya , memerintahkan pengundangan undangundang ini dengan penempatanya dalam lembaran Negara Repoblik Indonesia . ketentuan ini bersifat
formal belaka sebagai penjelasan fiksi hukum bahwa seriap orang dianggap mengetahui undangundang yang telah di undangkan .Dengan pengundangan ,setiap orang menjadi terikat walaupun belum
parnah membaca atau mendengar undang-undang tersebut. Lebih lanjut hal ini berarti selama undangundang yang dimuat dalam lembaran Negara ,maka belum mempunyai kekuatan mengikat meskipun
sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan disahkan presiden . Dalam pengertian-pengertian inilah
hendaknya dipahamkan ketentuan-ketentuan yang menyatakan pengundangan (pengumuman) terjadi
dalam bentuk menurut undang-undang , adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat.
4.PERATURAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU)
Perpu ditetapkan presiden dan merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat darurat
.karena itu dalam konstitusi RIS dan UUDS 1950 disebut undang-undang darurat. Yang dinaksud
dengan pengganti undang-undang , adalah bahwa materi muatan perpu merupakan materi muatan
undang-undang.Dalam keadaan biasa (normal) materi muatan tersebut harus diatur dengan undangundang. Sebagai peraturan darurat perpu mengandung pembatasan-pembatasan.
Pertama : Perpu hanya di keluarkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa .Dalam praktek
hal ikhwal kegentingan yang memaksa diertikan secara luas .Tidak hanya terbatas pada keadaan juga
yang mengandung suatu kegentingan atau ancaman ,tetapi termasuk juga kebutuhan yang dipandang
mendesak . siapakah yang menentukan kegentingan yang memaksa itu.Karena kewenangan

menetapkan perpu ada pada presiden ,maka presidenlah yang secara hukum menentukan kegentingan
yang memaksa .
Kedua : perpu hanya berlaku untuk jangka waktu yang terbatas .presiden paling lambat pada masa
sidang Dewan Perwakilan Rwkyat berikutnya harus mengajukan perpu ke Dewan Perwakilan Rakyat
untuk memperoleh persetujuan .Apabila disetujui Dewan Perwakilan Rakyat perpu berubah menjadi
undang-undang .Kalau tidak disetujui,perpu tersebut harus segera dicebut .Pembatasan jangka waktu
dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat mengandung berbagai makna .
Pertama : Kewenangan membuat perpu memberikan kekuasaan luar biasa kepada presiden .
Kekuasaan luar biasa ini harus di kendalikan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dengan
mempergunakan perpu sebagai sarana.
Kedua : Telah dikemukakan , materi muatan perpu haris diatur dengan undang-undang . Karena itu
harus di ajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperoleh persetujuan .
Ketiga : Perpu mencerminkan suatu keadaan darurat . keadaan darurat merupakan pembenaran untuk
misalnya menyimpangi prinsip-prinsip Negara berdasarkan atas hukum atau prinsip Negara
berkonstitusi.Dengan pengajuan perpu secepat mungkin kepada Dewan Perwakilan Rakyat berarti
secepat mungkin pula pengembalian pada keadaan normal yang menjamin pelaksanaan prinsipprinsip Negara berdasarkan atas hukum atau Negara berkonstitusi .
Dalam hubungan dengan pembatasan waktu ini ada unsur lain yang perlu diperhatikan yaitu
bahwa keadaan darurat harus ada batas waktu.Diharapkan dalam batas waktu tersebut semia unsur
kedaruratan telah dapat di normalkan kembali. Pencabutan perpu tidak mungkin dengan perpu karena
akan lahir perpu baru . karena itu ada gagasan untuk mengajukan Rancangan undang-undang tentang
pencabutan perpu .jalan ini menjadi panjang karena harus menempuh tata cara pengajuan , pembahasan
dan pengesahan Rancangan Undang-undang ,karena itu apakah tidak lebih praktis,apabila sebuah perpu
tidak disetujui Dewan Perwakilan Rakyat , demi hukum menjadi tidak berlaku lagi.
Selain hal-hal yang bersifat procedural tersebut diaras , tidak kalah penting mengenai obyek yang
dapat diatur perpu.Apakah perpu dapat mengenai segala aspek peraturan perundang-undangan
Negara .Misalya apakah perpu dapat menyentuh kewenangan-kewenangan kekuasaan kehakiman atau
kewenangan yang bersangkutan dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat ? Sangat menarik ,rumusan
dalam UUDS 1950 , yang menyebutkan undang-undang darurat dibuat dalam rangka mengatur dalam
hal-hal penyelenggaraan pemerintah .Apabila ketentuan tersebut diartikan secara sempit maka hanya
akan mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan bidang-bidang kekuasaan eksekutif atau
administrasi Negara . Dengan demikian perpu tidak akan menyentuh hal-hal yang bersangkutan
dengan kekuasaan kehakiman ,pelaksanaan kedaulatan dan lain-lain diluar jangkauan fungsi
penyelenggaraan administrasi Negara .
5.PERATURAN PEMERINTAH
UUD 1945 ,Pasal 5 ayat (2) menyebutkan : presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya .Berdasarkan ketentuan ini ,peraturan
pemerintah (pp),dibuat oleh presiden hanya untuk melaksanakan undang-undang .Tidak aka nada
peraturan pemerintah untuk melaksanakan UUD1945 ,TapMPR ,atau semata-mata didasarkan
pada kewenangan mandiri (original power)presiden membentuk peraturan perundang-undangan .
Yang diartikan dengan melaksanakan undang-undang , bahwa peraturan pemerintah yang
berisi ketentuan yang lebih lanjut (rincian) dari ketentuan-ketentuan yang telah terdapat dalam
undang-undang .Dengan perkataan lain setiap ketentuan dalam peraturan pemerintah harus
berkaitan satu dengan atau beberapa ketentuan undang-undang.Bagaimanakah cara menentukan

keterkaitan antara undang-undang dan peraturan pemerintah ?Setiap undang-undang harus


mencantumkan secara tegas kalau menghendaki diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah .Dalam hal undang-undang tidak mengatur secara tegas ,presiden bebas memilih
antara bentuk peraturan pemerintah atau keputusan presiden. Kebebasan presiden bukan tidak
terbatas .Dalam hal tertentu presiden harus mempergunakan bentuk peraturan pemerintah bukan
keputusan presiden ,yaitu :
Pertama: peraturan pelaksanaan tersebut perlu diperkuat dengan ancaman pidana.Hnaya
peraturan pemerintah satu-satunya peraturan pelaksanaan yang dimungkinkan memuat ancaman
pidana , Mengenai pemuatan ancaman pidana dalam peraturan pemerintah terdapat berbagai
pendapat Disatu pihak ada pendapat yang menyatakan pada dasarnya peraturan pemerintah tidak
dapat memuat ancaman pidana. Pemuatan ancaman pidan semata-mata didasarkan pada kuasa
undang-undang yang dilaksanakan oleh peraturan pemerintah tersebut .Misalnya peraturan
pemerintah sebagai pelaksanaan ketentuan tertentu undang-undang lingkungan hidup .Apabila
peraturan pemerintah tersebut hendak memuat ancaman pidana maka harus dilihat apakah dalam
undang-undang lingkungan hidup memuat ketentuan bahwa peraturan pemerintah yang
bersangkutan diperbolehkan memuat ancaman pidan .Kalau tidak ada ketentuan yang
membolehkan maka peraturan pemerintah yang bersangkutan tidak boleh memuat ancaman
pidana. Pendapat lain juga menyatakan pada dasarnya peraturan pemerintah tidak boleh memuat
ancaman pidana.Pemuatan ancaman pidana dalam peraturan pemerintah dapat juga didasarkan
pada suatuperaturan umum yang mengatur mengenal ancaman pidana dalam peraturan
pemerintah.Pandangan terahkir ini memungkinkan peraturan pemerintah memuat ancaman
pidana walaupun undang-undang yang dilaksanakan tidak tegas atau tidak member kuasa untuk
memuat ancaman pidana.Untuk memungkinkan pelaksanaan pola yang kedua ini, harus diadakan
suatu peraturan umum yang memungkinkan peraturan pemerintah memuat ancaman pidana . Pada
masa pemerintah Hindia Belanda ,hal semacam ini,(khusus ancaman pidana) pernah diatur dalam
IS,pasal 81 ayat (2) dan ordonansi 1927 (staatsblad 1927 :346 ).pasal 81 ayat (2) IS menyebutkan :
In de regeeringsverordeningen kan op de overtreding van hare voorschriften straf worden gested.
De grenzen van de te bepalen straffen worden bij ordonanntie geregeld.
Staatsblad 1927:346 menyebutkan :
(1)Tenzij bij ordonantie anders is bepaald,kan in de regeringsverordeningen op de overtreding van
hare voorschriften als straf worden gesteld: hechtenis van ten hoogste drie maanden of geldboete
van ten hoogste vijfhonderd gulden , met of zonder verbeurdverklaring van bepaald voorwerpen
(2) De in het vorige lid bedoelde stafbare feiten worden beschouwd als overtredingen.
Ketentuan semacam IS tersebut diatas ,pernah juga terdapat dalam UUDS 1950 ,Pasal 98 ayat
(2)yang berbunyi peraturan pemerintah dapat mencantumkan
hukuman-hukuman atas
pelanggaran aturan aturanya .Batas-batas hukuman yang akan ditetapkan diatur dengan undangundang.Baik staatsblad 1927 :346 maupun pasal 98 UUDS 1950 ,dapat diberlakukan berdasarkan
aturan peralihan pasal 11 UUD 1945.Kedua ketentuan tersebut tidak mengandung hal-hal yang
bertentangan dengan UUD 1945.Tidak terdapat suatu ketentuan atau petunjuk-petujuk dalam
UUD 1945 yang melarang adanya peraturan umum seperti staatsblad 1927 :346 ,maupun pasal
98 UUDS 1950. Ditinjau dari secara normative ,berdasarkan aturan peralihan pasal 11 UUD 1945
yang menunjukan staatsblad 1927:346 dan UUDS 1950, Pasal 98 ,maka peraturan pemerintah
dapat memuat ancaman pidana walaupun undang-undang yang menjadi landasanya tidak
mengatur secara tegas. Tetapi,apabila ada peraturan umum yang memungkinkan peraturan
pemerintah memuat ancaman pidana ,harus ditentukan jenis, sifat dan batasan tertinggi

ancamanya .Misalnya sebagai pelanggaran dan hukum kurungan tidak lebih dari 6 bulan atau
denda RP 50.000,-.Dan ketentuan ini hanya berlaku sepanjang undang-undang
yang
memerintahkan pembentukan peraturan pemerintah tidak menentukan sendiri ancaman pidana
yang dapat dimuat dalam peraturan pemerintah yang bersangkutan .
Kedua :Faktor kedua yang dapat dijadikan dasar mempergunakan bentuk peraturan pemerintah
walaupun undang-undang yang akan dilaksanakan tidak menyebut dengan tegas ,apabila materi
muatan mengandung hal-hal yang menyangkut hak dan kewajiban rakyat banyak(misalnya
penentuan tariff pajak) atau dalam batas-batas tertentu berkaitan dengan hak asasi atau salah satu
hak yang dijamin UUD 1945 (misalnya hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak dibidang
pendidikan ).Dalam keputusan Belanda terdapat perbedaan pandangan mengenai pengaturan
dalam AMvB(semacam peraturan pemerintah) dan KB (semacam keputusan presiden ). Vander pot
Donner berpendapat keputusan mahkota yang berisi ketentuan yang mengikat secara umum
(aigemeen regeling) harus dalam bentuk AMvB.Kalau tidak ,kaputusan tresebut tidak mengikat
.OUD dilain pihak berpendapat ,kalau undang-undang tidak menunjuk secara tegas AMvB maka
mahkota bebas memilih tidak harus dalam bemtuk AMvB.seperti disebutkan dimuka,dalam halhal undang-undang yang akan dilaksanakan tidak secara tsgas menyebut peraturan pemerintah
,presiden pada dasarnya bebas memilih bentuk peraturan pemerintah atau keputusan presiden
dengan memperhatikan pembatasan tertentu .Dilihat dari segi kewenangan membentuk tidak ada
perbedaan antara peraturan pemerintah dan keputusan presiden. Keduanya adalah wewenang
penuh presiden . perbedaan hanya terletak pada fungsi. Peraturan pemerintah untuk melaksanakan
undang-undang .jadi unsur delegasi. Keputusan presiden tidak hanya melaksanakan undangundang . Keputusan presiden dapat dibuat berdasarkan delegasi maupun kewenangan mandiri
(original power) presiden .
Seperti halnya undang-undang, peraturan pemerintah disusun berdasarkan prakarsa yang
disetujui presiden. Penyusunan peraturan pemerintah disusun oleh panitia yang
mewakili
Departemen-departemen atau lembaga pemerintah Non departemen yang terkait. Penetapan
peraturan pemerintah juga diikuti dengan pemuatan dalam lembaga Negara .
Sebelum mengakiri uraian ini ,ada satu pertanyaan yang perlu dipikirkan : Benarkah semua
peraturan pemerintah secara material (materi muatan) adalah peraturan perundang-undangan ?
Misalnya peraturan pemerintah tentang penyertaan modal dalam persero tertentu . peraturan
pemerintah tidak berlaku secara umum ,malahan mengatur sesuatu obyek yang konkrit yaitu
jumlah modal tertentu dan subyek (person) tertentu yaitu perseri tertentu . memperhatikan
pengertian umum peraturan perundang-undangan , peraturan pemerintah semacam ini tidak
tergolong sebagai peraturan perundang-undangan walaupun demikian, perbedaan materi muatan
ini tidak mempengaruhi tata cara pembentukanya. Seandainya secara ilmiah , peraturan
pemerintah yang bersifat konkrit secara ilmiah disebut beschikking juga tidak akan
bertentangan dengan teori yang ada karena peraturan pemerintah dibuat oleh administrasi Negara
(dalam hal ini presiden).Peraturan pemerintah adalah juga keputusan (huruf kecil) presiden.Atau
semacamnorma konkritnya Belifante (bukan peraturan perundang-undangan dan bukan
beschikking).
6.KEPUTUSAN PRESIDEN
UUD 1945 tidak mencantumkan secara tegas mengenai kewenangan presiden membuat keputusan
presiden..Begitu pila keputusan presiden sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan.

Kewenangan membuat atu mengeluarkan keputusa melekat dengan sendiri pada jabatan presiden
.Menurut UUD 1945 ,Presiden memegang kekuasaan pemerintahan .Dan dalam penjelasan disebutkan
bahwa presiden ialah penyelenggara pemerintahan Negara tertinggi. Ketentuan dan penjelasan
tersebut menunjukan bahwa presiden adalah penanggung jawab dan pimpinan penyelenggara
pemerintahan sehari-hari.Presiden adalah pimpinan administrasi Negara (bestuur). Salah satu fungsi
administrasi Negara adalah membuat keputusan. Sesuai dengan perkembangan ,keputusan administrasi
Negara,tidak sekedar terbatas pada membuat ketetapan (beschikking)tetapi juga membuat peraturanperaturan (regeling). Dilihat dari sifat berlakunya ,ada dua macam keputusan presiden yaitu yang
bersifat konkrit individual(beschikking ) dan yang bersifat umum (peraturan perundangundangan).Dasar pembuatan keputusan presiden yang bersifat mengatur lebih luas daripada peraturan
pemerintah .Telah diuraikan dimuka bahwa ,peraturan pemerintah dibuat untuk melaksanakan undangundang (harue bersumber pada undang-undang ). Tidak demikian halnya dengan keputusan presiden .
keputusan presiden dapat dibuat baik dalam rangka melaksanakan UUD 1945 ,Tap MPR ,undang
undang dari peraturan pemerintah.Luasnya dasar pembuatan keputusa presiden baik yang bersifat
asli(sebagai salah satu unsur yang melekat pada kekuasaan presiden) maupun berdasarkan delegasi
dapat menimbulkan masalah-masalah.Karena itu perlu di kembangkan rambu-rambu,sehingga
keputusan presiden yang bersifat mengatur tidak menyusupi materi, yaitu materi yang semestinya
diatur dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatanya. Salah satu hal yang pelik
adalah bagaimanakah membedakan dengan tepat antara peraturan pemerintah dan keputusan presiden
yang bersifat mengatur.Kedua-duanya adalah keputusan presiden.Barangkali dapat dipertimbangkan
sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang (baik yang expressis maupun yang
implied), hanya diatur dengan peraturan pemerintah. Dengan perkataan lain , keputusan presiden
yang bersifat mengatur hanya mengenai hal-hal yang berkaitan langsung dengan UUD 1945,Tap
MPR,atau peraturan pemerintah . Disanping itu, keputusan presiden harus memperhatikan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan seperti tidak boleh mengatur materi muatan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatanya, tidak memuat ancaman pidana dan sebagainya .
Selain rambu-rambu tersebut diatas,keputusan presiden dapat dikendalikan secara yudisial
.Keputusan presiden yang berupa peraturan perundang-undangan dapat dikendalikan melalui pranata
hak uji Makamah Agung menguji tidak mudah terlaksana karena :
(1) Pengujian tersebut dilakukan dalam pemeriksaan tingkat kasasi .jadi,Mahkamah Agung tidak
dapat secara ex officio menguji tanpa ada satu perkara konkrit yang diajukan kepengadilan
.Pemeriksaan kasasi berarti harus melalui pemeriksaan perkara tingkat pertama dan banding.
(2) Putusan Mahkamah Agung
yang membatalkan keputusan presiden tidak
serta merta
menyebabkan keputusan presiden (atau peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang
lainya ) menjadi tidak mengikat secara umum ,Karena pencabutan peraturan perundang-undangan
yang dibatalkan itu diserahkan kepada instansi yang bersangkutan. Siuasi ini akan kompleks
kalau instansi yang bersangkutan sengaja atau lalu mencabut .Apakah ada sanksi kalau
administrasi Negara tidak melaksanakan pencabutan?Hal ini sangat tergantung pada formulasi
putusan Mahkamah Agung itu sendiri . Mengenai keputusan presiden yang berupa beschikking
pengendalian yudisial dilakukan melalui peradilan tata usaha Negara lebih luas daripada
pengujian Mahkamah Agung .Pengendalian melalui peradilan tata usaha Negara dapat dilakukan
mulai peradilan tingkat pertama sampai pemeriksaan kasasi.
7. PERATURAN MENTERI ATAU KEPUTUSAN MENTERI
Tap No .XX/MPRS/ 1966 menyebutkan peraturan menteri sebagai salah satu bentuk peraturan
perundang-undangan .Dalam praktek, selain peraturan menteri juga terdapat keputusan menteri.

Tidak begitu jelas perbedaan antara kedua bentuk tersebut. Untuk menghindari kerancuan
,sebaiknya ditentukan batas-batasnya .Peraturan menteri adalah keputusan (besluit) yang bersifet
mengatur (regelen),sedangkan keputusan menteri adalah keputusan yang bersifat ketetapan
(beschikking). Apakah yang dapat diatur oleh peraturan menteri atau keputusan menteri?
Pertama : peraturan menteri atau keputusan menteri hanya dapat mengatur hal-hal yang secara
tegas diperintahkan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatanya .
Kedua : peraturan menteri atau keputusan menteri hanya boleh mangatur hal-hal procedural
administrative dalam lingkungan Departemenya seperti keorganisasian ,tata kerja, tata perizinan
,tata permohonan dan lain-lain semacam itu.
8. PERATURAN DAERAH DAN KEPUTUSAN KEPALA DAERAH
Peratura daerah adalah nama peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang ditetapkan
kepala daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah . Kewenangan
Pemerintah Daerah membentuk peraturan daerah merupakan salah satu ciri yang menunjukan
bahwa pemerintah tingkat daerah tersebut adalah satuan pemerintahan daerah otonom-berhak
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri .Susunan alat kelengkapan pemerintahan
daerah yangterdiri dari kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah semacam
susunan presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat .Dan peraturan daerah adalah semacam
undang-undang (dalam arti formal) .Karena itu tata cara pembentukan peraturan daerah pada
dasarnya sebangun dengan tata cara pembentukan undang-undang tanpa mengurangi
perbedaan tertentum.Salah satu perbedaan yang agak mencolok adalah adanya pranata
pengesahan. Peraturan daerah dibidang-bidang tertentu baru berlaku setelah memperoleh
pangasahan dari penjabat yang berwenang. Pranata pengesahan merupakan bentuk
pengawasan terhadap Pemerintah Daerah (pengawasan preventif).Sesuai dengan susunan
daerah otonom ,yang terdiri atas daerah tingkat 1 dan daerah tingkat 11, maka ada peraturan
daerah tingkat 1 dan peraturan tingkat 11. Sebenarnya, selain dua susunan tersebut, masih ada
daerah otonom lain yaitu desa . kepala desa (kepala daerah tingkat desa) dengan mufakat dari
lembaga musyawarah desa(semacam dewan perwakilan rakyat desa)menetapkan keputusan
desa(semacam prtaturan desa).Tentu saja tidak mudah bagi pemerintah desa membuat
keputusan desa yang akan memenuhi persyaratan persyaratan peraturan perundang-undangan
yang baik (lihat uraian dimuka) mengingat antara lain tiadanya tenaga-tenaga yang betul betul
memahami seluk beluk dan tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan yang
baik.Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan tersebut,maka setiap keputusan desa (juga
keputusa kepala desa) harus mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang.Barangkali ada
baiknya,selain dibuatkan pedoman(oleh manteri dalam negri ),pada kesempatan-kesempatan
tertentu-secara sederhana kepala desa diberi bimbingan mengenai tata cara pembuatan
keputusan desa atau keputusan kepala desa.
Telah dikemukakan bahwa peraturan daerah merupakan salah satu cirri daerah yang
mempunyai hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri(otonom).Urusan runah tangga
daerah berasal dari dua sumber yaitu otonom dan tugas pembamtuan(medebewind).Karena itu
peraturan daeah akan terdiri dari peraturan daerah dibidang otonom dan peraturan daerah ini
dibidang tugas pembantuan .Tidak ada perbedaan yang mendasar antara kedua peraturan
daerah tersebut. Perbedaan hanya terletak pada jangkauan pengaturanya .peraturan daerah
dibidang otonom mencakup seluruh aspek urusan rumah tangga daerah baik yang menyangkut
isi maupun tata cara penyelenggaranya .Sedangkan peraturan daerah dibidang tugas
pembantuan hanya mengenai tata cara penyelenngaraan urusan tersebut.Peraturan daerah

dibidang tugas pembantuan tidak mengatur isi urusan karena bukan urusan rimah tangga
daerah.Urusan rumah tangga daerah dalam tugas pembantuan hanya terbatas pada tata cara
penyelenggaraan urusan tersebut.
Bagaimanakah menentukan urusan-urusan yang dapat diatur dengan peraturan daerah?
Dibidang otonom ada beberapa petunjuk mengenai hal-hal yang dapat dengan peraturan
daerah.
Pertama : Sisitem rumah tangga daerah.Dalam sistem rumah tangga formal ,segala urusan
pada dasarnya dapat diatur oleh daerah sepanjang belum diatur atau tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pdad sistem rumah tangga
material,hanya urusan yang ditetapkan sebagai urusan rimah tangga daerah yang dapat diatur
dengan peraturan daerah .Karena Indonesia menjalankan sistem rumah tangga nyata dan
bertanggung jawab(riil),maka urusan-urusan yang dapat diatur dengan peraturan Daerah adlah
baik urusan-urusan yang ditetapkan sebagai urusan rumah tangga daerah maupun urusanurusan lain sepanjang belum diatur atau tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatanya.
Kedua : Ditentukan secara tegas dalam undang-undang pemerintahan daerah seperti
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ,Pajak dan Retribusi,ketentuan yang memuat sanksi
pidana dan lain sebagainya .
Ketiga : Urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah
daerah yang lebih tinggi tingkatanya .
Apa sajakah yang dapat diatur oleh peraturan daerah dibidang tugas pembantuan .Sesuai
namanya ,tugas pembantuan adalah membantu melaksanakan urusan pemerintah pusat atau
pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatanya .Tugas-tugas pembantuan selalu ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan .Dengan demikian , peraturan daerah dibidang tugas
pembantuan tergantung pada aneka ragam tugas pembantuan yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan .Peraturan daerah tidak boleh
mengatur tugas-tugas
pembantuan diluar dari yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Untuk melaksanakan Peraturan Daerah dan tugas-tugas pembantuan Kepala Daerah
menetapkan keputusan kepala daerah.Secara teoritis,Keputusan Kepala Daerah dimungkinkan
memuat ketentuan-ketentuan yang mengikat secara umum,sehingga masih merupakan
peraturan perundang-undangan .Tetapi apakah secara praktis masih diperlukan mengingat
peraturan Daerah sebagai peraturan perundang-undangan yang sudah sangat rendah
tingkatanya semestinya telah mengatur segala sesuatu secara rinci.
BAB V
KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Setiap peraturan perundang-undangan pada umumnya disusun dalam kerangka structural
sebagai berikut :
A.Judu
B.Pembukaan.
C.Batang Tubuh.
A.JUDUL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Setiap peraturan perundang-undangan
mempunyai judul
yang dimaksudkan untuk
memperkenalkan suatu peraturan perundang-undangan .Karena sebagi unsur

memperkenalkan maka judul harus singkat dan jelas serta mencerminkan


perundang-undangan yang bersangkutan .
Judul ditulis dengan huruf capital dan memuat:
1) Jenis peraturan perundang-undangan.
2) Nomor peraturan perundang-undangan .
3) Tahun penetapan peraturan perundang-undangan ;dan
4) Nama peraturan perundang-undangan.

isi peraturan

1.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
2.mempergunakan nama singkat(citeertitel)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.TAHUN..TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK KEAGRARIAAN(UNDANG-UNDANG POKOK-POKOK
AGRARIA)
3.perubahan peraturan perundang-undangan
PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT 1 JAMBI NOMOR. . . . . . .TAHUN . . .
. . .TENTANG
PEUBAHAN YANG KEDUA PERATURAN DAERAH NOMOR . . . . . . .TAHUN. . . . . .TENTANG
BEA BALIK NAMA KENDARAAN BERMOTOR
4.pencabutan peraturan perundang-undangan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR . . . . . .TAHUN . . . . . .TENTANG
PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR . . . . . .TAHUN . . . . . .TENTANG CEK KOSONG
B.PEMBUKAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.Pembukaan undang-undang dan peraturan daerah terdiri atas :
a.pencantuman :DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA (ditulis dengan huruf capital)
b.pencabutan pejabat pembuat peraturan perundang-undangan
1) Undang-undang :PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
2) Peraturan Daerah:GUBERNUR KEPALA DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT 1
MALUKU,(ditulis dengan huruf capital)
c. konsiderans
Konsiderans didahului kata menimbang berisi latar belakang dan alasan-alasan membuat
peraturan baru (termasuk alasan mengganti yang lama kalau ada).Apabila konsiderans terdiri atas
lebih dari satu latar belakang atau alasan disusun secara alfabetik (a,b,c,dst).
Contoh:
Menimbang : a.bahwa . . . . . .;]kata bahwa
]di tulis dengan
b.bahwa . . . . . .]huruf kecil
d.Dasar hukum
Dasar hukum adalah peraturan perundang-undangan atau ketentuan dari suatu peraturan perundangundangan yang menjadi dasar yuridis pembuatan suatu peraturan perundang-undangan .
Dasar hukum terdiri dari :
1.Dasar kewenangan pembuat
peraturan perundang-undangan (bahwa pembuat memang
berwenang ).Misalnya ,penunjukan pasal 5ayat(1) dan pasal 20 ayat(1) UUD 1945 menunjukan bahwa
presiden dan DPR berwenang membuat undang-undang.

2 . Dasar pembuatan peraturan perundang-undangan yang menunjukan bahwa obyek yang (akan )
diatur didasarkan pada satu atau beberapa peraturan perundang-undangan.
Misalnya ,penunjukan pasal26 UUD 1945 sebagai dasar hukum Undang-undang Kewarganegaraan
karena pasal tersebut memerintahkan mengenai kewarganegaraan diatur dengan undang-undang.
Penulisan dasar hukum dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a) Pencantuman kata mengingat
b) Apabila dari suatu dasar hukum ,ditulis berurutan dengan angka arab (1,2,3 dan seterusnya).
c) Disusun menurut tata urutan peraturan perundang-undangan .peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatanya didahulukan daripada yang lebih rendah tingkatanya
d) Dalam hal sam tingkatnya,disusun berdasar urutan tahun penetapan .
e) Dalam hal sama tahun ,disusun berdasarkan nomor peraturan perundang-undanganya.
Contoh:
Mengingat : 1 . . . . . . . .;
2.. . . . . . . . .;
3.. . . . . . . . . .;
e. Pencantuman kata-kata :Dengan persetujuan (hanyaDditulis dengan huruf capital )
f. Pencantuman badan perwakilan yang memberikan persetujuan .
1) DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA .(ditulis dengan huruf capital ).
2) DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TINGKAT 1BALI (ditulis dengan huruf capital).
g. pencantuman kata :MEMUTUSKAN (ditulis dengan huruf capital )
h.pencantuman kata : Menetapkan (ditulis dengan huruf capital hanyaM
i.pencantuman nama peraturan perundang-undangan .
1) UNDANG-UNDANG TENTANG KEIMIGRASIAN
2) PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK TONTONAN (ditulis dengan huruf capital )
Secara keseluruhan ,pembukaan undang-undang atau peraturan daerah ditulis sebagai berikut :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR . . . . . . .TAHUN . . . . . . . .
. . . . . . . . . .. . . . . . . . . .. .
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ,
Menimbang : a. . . . . . . . . . . . . . . . .;
b.. . . . . . . . . . . . . . . .;
mengingat : 1. . . . . . . . . . . . . . . . .;
2.. . . . . .. . . . . .. . . . .;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG
2.Pembukaan peraturan perundang-undangan yang bukan undang-undang dan peraturan daerah.
Tidak perlu mencantumkan
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
(unsur-unsur lain sama dengan undang-undang atau peraturan daerah )
C. BATANG TUBUH PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Batang tubuh adalah bagian yang berisi norma yang merupakan isi muatan peraturan perundangundangan .Pada umunya ,batang tubuh tersusun atas :

1 .Ketentuan umum
2 .Ketentuan mengenai obyek yang diatur .
3 . Ketentuan sanksi ( pidana atau administrasi ).
4 . Ketentuan peralihan.
5 . Ketentuan penutup .
Batang tubuh dapat dibagi-bagi kedalam:buku, bab,bagian paragraph-sesuai dengan kebutuhan
disamping pasal-pasal dan ayat-ayat yang ditulis dengan cara berikut :
BUKU PERTAMA (huruf capital)
PERIKATAN
(huruf capital )
BAB 1
(huruf capital )
LAHIRNYA PERIKATAN (huruf capital )
Bagian pertama
(B&P,Kapital )
Perjanjian
(P.Kapital )
Pasal . . . . . .
(P,capital )
(1 ) . . . . . . . .. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
(2).. . . .. . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . .. . . . .. . . . . .
1.ketentuan umum
Ketentuan umum diletakan pada bab pertama (BAB 1) dan memuat :
a. Pengertian-pengertian
Pengertian berupa uraian istilah atau peristilahan tertentu yang akan dipergunakan dalam
bagian-bagian lain dari batang tubuh.
Biasanya dimulai dengan kalimat :
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. . . . . . . . . . . . . . . . . . .adalah . . . . . . . . . . . .
b. Singkatan-singkatan
1 ) ABRI adalah Angkatan bersenjata Republik Indonesia .
2 ) DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
c. Ketentuan ketentuan yang bersifat umum.
Misalnya yang menggambarkan asas-asas umum mengenai sesuatu hal.
Setiap Warganegara Republik Indonesia berhak tinggal pada setiap bagian dari wilayah
Negara Indonesia .
2.Ketentuan mengenai obyek yang diatur
Obyek yang diatur disusun dalam sistematika sesuai dengan luas lingkup dan pendekatan yang
dipergunakan .Misalnya dimulai dengan kaidah-kaidah material atau subtantif,kemudian kaidah-kaidah
acara (formal).Begitu pula pemnagian dalam buku ,bab ,pasal , ayat tergantung pada keperluan .Yang
penting diperhatikan ,adalah :
a. Bahwa susunan tersebut menggambarkan satu kesatuan sistem.
b. Bahwa susunan tersebut menggambarkan cara berpikir dan pendekatan yang runtut .
c. Bahwa susunan tersebut mudah diamati ,diketahui,dan di mengerti .
Rumusan harus bersifat normative artinya baik langsung atau tidak langsung menggambarkan
tingka laku tertentu (mengatur tingkalaku tertentu ).
3.Ketentuan sanksi ( pidana atau administrasi )
Tidak semua peraturanperundang-undangan memerlukan ketentuan pidana .Ada atau tidak ada
ketentuan pidana
tergantung pada kaidah-kaidah dalam peraturan
perundang-undangan

tersebut.Ketentuan pidana berkaitan dengan adanya kaidah larangan atau perintah yang menurut
pembentuk peraturan perundang-undangan perlu dipertahankan secara pidana .
Pembentuk peraturan perundang-undangan dapat merumuskan sanksi keperdataan (misalnya
gantirugi,pemulihan )atau administrative (misalnya pencabutan izin atau upaya paksa.Dalam
merumuskan ketentuan pidana .ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
Pertama : Rumusan pidana harus berpegang pada asas-asas umum hukum pidana.Misalnya tentang
berlaku surat,percobaan melakukan kejahatan ,percobaan melakukan pelanggaran dan sebagainya
(ketentuan ketentuan dalam buku 1 KUHPid ).
Kedua : Lama atau besarnya pidana (badan atau denda atau jenis pidana lainya ) disesuaikan dengan
prinsip-prinsip sistem pemidanaan yang berlaku secara umum.
Ketiga : Bagi peratura perundang undangan yang tingkatanya lebih rendah dari undang-undang
,ancaman pidana, dan besarnya pidana ditentukan oleh ada tidaknya delegasi dari undang-undang
yang membenarkan memuat ketentuan pidana .
Delegasi ini ada yang bersifat umum atau khusus.
a . umum apabila ada undang-undang yang secara umum menyatakan (misalnya)peraturan pemerintah
dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak RP.15.000.000,
b. Khusus apabila ada undang-undang tertentu yang menyatakan (misalnya) peraturan pemerintah
yang dibuat untuk melaksanakan undang-undang ini dapat memuat ancaman pidana paling lama 3
bulan atau denda RP 7.500.000,
Keempat : Dalam merumuskan ancaman pidana harus dipenuhi unsur-unsur :
(1) Penyebutan subyek pidana baik yang bersifat umum (setiap orang),maupun orang tertentu atau
kelompok orang tertentu (orang asing yang . . . .).
(2) Penyebutan sifat perbuatan pidana apakah sengaja atau kelalaian.
Setiap orang yang dengan sengaja . . .. . . . . . . . .
Setiap orang yang karena kelalaianya . . . . . . . . . . . . .
Penyebutan perbuatan yang diancam pidana baik dengan cara menunjuk pasal atau pasal-pasal
yang diancam pidana maupun rumusan konkrit mengenai perbuatanya .
Contoh : setiap orang yang dengan sengaja melanggar pasal . . . . . . . . . .. . . .;atau setiap orang
dengan sengaja melindungi orang yang melakukan korupsi atau patut diduga melakukan
korupsi. . . .. . . .. . . . . . . . .
(3) Penyebutan jenisperbuatan pidana apakah kejahatan atau pelanggaran
Penyebutan jenis perbuatan pidana biasanya dipisahkan dalam ayat atau pasal bersendiri.
Contoh : - perbuatan (tindak)pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal . . ., . . ., . . . .dan
seterusnya adalah kejahatan .
-Perbuatan (tindak)sebagaimana dimaksud dalamayat (1) adalah pelanggaran.Penyebutan jenis
pidana ini bertalian dengan sistem hukum pidana Indonesia yang masih membedakan antara
kejahatan dan pelanggaran .Apabila KUHPid baru tidak menbedakan lagi antara kejahatan dan
pelanggaran , maka penyebutan jenis perbuatan pidana tidak diperlukan lagi.
(4) Penyebutan lama atau besarnya ancaman pidana yang disebutkan adalah ancaman
maksimun.Untuk pidana badan disebutkan paling lama. Sedangkan untuk pidana denda disebutkan
paling banyak.
_ paling lama 5 tahun
_paling banyak RP 5.000,(lima ribu rupiah).

Pada saat ini ada pemikiran untuk mencantumkan ancaman pidana minimum.Pidana badan atau
pidana denda dapat berdiri sendiri-sendiri, alternative,atau komulatif.jadi ada yang diancam pidana
badan saja ,badan atau denda (alternatif),badan dan denda(komulatif).
Pilihan pilihan ini tergantung pada sifat jahat dari perbuatan tersebut.Misalnya untuk membuang
sampahtidak pada tempatnya cukup diancam pidana denda denda saja.Untuk perbuatan pidana yang
serius seperti pembunuhan diancam pidana badan.Pidana ekonomi diancam pidana badan dan denda
(komulasi).Hingga saat sekarang belum ada ketentuan mengenai ukuran untuk menentukan lama atau
besarnya ancaman pidana .Tim pengkajian HukumPidana BPHN ,mencoba merumuskan sistem
pemidanaan ,tetapi belim diketahui apakah hal itu akan dipergunakan dalam KUHPid yang baru.
4 . Ketentuan Peralihan
Ketentuan peralihantumbil sebagai cara mempertemukan antara asas mengenai akibat kehadiran
peraturan baru dengan keadaan sebelum peraturan itu berlaku.Pada asasnya pada saat peraturan
baru berlaku maka semua peraturan lama berserta akibat-akibatnya menjadi tidak berlaku.Kalau
asas ini diterapkan tanpa memperhitungkan keadaan yang sudah berlaku maka dapat timbul
kekacauan hukum,ketidakpastian hukum atau kesewenang-wenangan hukum.Untuk menampung
akibat berlakunya peraturan baru terhadap peraturan lama atau pelaksanaan peraturan
lama,diadakanlah ketentuan atau aturan peralihan.Dengan demikian ,ketentuan peralihan
berfungsi:
a. Menhindari kemungkinan terjadi kekosongan hukumatau kekosongan peraturan perundangundangan(rechts vacuum).
b. Menjamin kepastian hukum(rechtszekerheid).
c. Perlindungan hukum (rechtsbesherming ),bagi rakyat atau kelompok tertentu atau orang
tertentu
Jadi,pada dasarnya ,ketentuan peralihan merupakan penyimpangan terhadap peraturan baru itu
sendiri.Suatu penyimpangan yang tidak dapat dihindari (necessary evil) dalam rangka mencapai atau
mempertahankan tujuan hukum secara keseluruhan (ketertiban,keamanan,keadilan ).
Penyimpangan ini bersifat sementara. Karena itu dalam rumusan ketentuan peralihan harus dimuat
keadaan atau syarat-syarat yang akan mengahkiri masa peralihan tersebut.Keadaan atau syarat
tersebut dapat berupa pembuatan peraturan pelaksanaan baru (dalam rangka melaksanakan peraturan
baru) atau penentuan jangka waktu tertentu atau mengakui secara penuh keadaan yang lama menjadi
keadaan baru.
a. Segala peraturan atau badan yang telah ada tetap berlaku selama belum diganti atau diubah
menurut UUD ini.
b. Segala izin yang telah diberikan berdasarkan peraturan lama tetap berlaku untuk jangka waktu
paling lama 3 tahun sejak berlakunya undang-undang ini.
c. Semua badan peradilan yang telah ada dianggaptelah diatur menurut undang-undang ini.
5.ketentuan Penutup
Ketentuan penutup pada umumnya memuat :
a. Penunjukan organ atau alat perlengkapan yang diikutsertaan dalam melaksanakan peraturan
perundang-undangan.
b. Nama singkat.
c. Pengaruh peraturan perundang-undangan yang baru terhadap peraturan perundang-undangan
yang sudah ada.
d. Rumusan pengundangan atau pengumuman dan penandatanganan .

1. Rumusan pengundangan dalam Lembaran Negara /Lembaran Daerah.Agar setiap orang


mengetahui ,memerintahkan pengundangan . . . . . . . . . . .ini dengan penempatanya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia/Lembaran Daerah.
2. Rumusan pengumuman dalam Berita Negara /Berita Daerah .Agar setiap orang mengetahui
,memerintahkan pengundangan . . . . . . .ini dengan penempatanya dalam Berita Negara Republik
Indonesia Berita Daerah.
Catatan : 1.Tentang kata-kata dengan penempatanya dalam barangkali akan lebih baik
kalaudengan menempatkan dalam .Tetapi karena cara penulisan dengan penempatanya dalam
telah lazim dalam praktek,seyogyanya diikuti saja kecuali kalau ada pedoman baru yang
member petunjuk lain.
2 . Tentang Berita Daerah sebagai tempat memuat antara lain Penjelasan Peraturan Daerah
seperti halnya Berita Negara Republik Indonesia.
3 .Rumusan penandatanganan .
Rumusan penandatanganan memuat :
a.Tempat dan tanggal penetapan.
b.Nama jabatan.
C .Tanda tangan pejabat yang mandatangani
d.Nama jelas pejabat yang mendatangani (ditulis tanpa mempergunakan gelar /pangkat)
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal . . . . . .
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Tanda tangan
Nama jelas
4 .Rumusan pengundangan /pengumuman
Diundangkan /Diumumkan di Jakarta
MENTERI /SEKERTARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Tanda tangan

PENGALAMAN PENGALAMAN LAINNYA


A . Pengalaman pekerjaan :
1 ).Sekretaris Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UNPAD (1974 -1977)
2) . Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotamadya Bandung (Wakil SEKBER GOLKAR )
1968
-1971.
3 ). Anggota Panitia penyelesaian sengketa perumahan Kotamadya Bandung (1968 1971).
4.)Staf Menteri Kehakiman RI (Part timer) (1974-1976)
5).Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (UNISBA) (1977-1979).

6).pemabantu Rektor 1 UNISBA (1981-1984).


7).Pejabat Rektor UNISBA (1984-1986).
8).Penatar P4 Tingkat provinsi,Kotamadya ,Kabupaten dan Kecamatan Jawa Barat.
9).Penatar susunan pemerintahan Tingkat Daerah pada penataran Administratie organization
BAB 11 ASAS ASAS PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.Pengantar
Asas Negara hukum mempersyaratkan bahwa tindakan tertentu pemerintah harus
didasarkan pada undang-undang.Pada asas ini tersirat asunsi bahwa wetmatigheid merupakan jaminan
bagirechtmatigheid tindakan pemerintah .Untuk menjawab harapan yang tinggi ini ,undang-undang
harus memenuhi syarat-syarat tertentu . Berdasarkan analogi dengan asas-asas pemerintahan yang
baik, kita mengenal pula asas-asas pembuatan peraturan yang baik. Baru dalam tahun-tahun terahkir
ini dilakukan penelitian mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam membuat peraturan yang
baik .Sebelum itu diperhatikan khususnya lsbih diarahkan pada syarat-syarat yang menurut undangundang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam melakukan tindakan-tindakanya : asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Meskipun pentingnya asas-asas ini tidak diragukan lagi ,asas-asas ini tentu
saja tidak dapat menggantikan peran dari suatu dasar undang-undang yang baik .Karena itu, perlu ada
perhatian terhadap mutu peraturan perundang-undangan.
Lingkup tugas pemerintah bukanlah satu-satunya alasan mengapa peraturan perundangundangan peril diperhatikan . Sifat dan jangkauan peraturan perundang-undangan itu sendiri berubahubah.Undang-undang tidak lagi semata-mata dibuat untuk mengamankan hak-hak rakyat.Ini adalah
tujuan klasik peraturan perundang-undangan : penetapan hukum.
Undang-undang semakin sering dipergunakan sebagai instrument kebijakan pemerintah. Meskipun
pada dasarnya segi penetapan hukum ini masih tetap ada ,makin ada penekanan pada tujuan lain yaitu
tujuan penyelenggaraan pemerintah .Ambil contoh ,misalnya, peraturan perundang-undangan sosialekonomi. Di sini dapat timbul kemungkinan bahwa pemerintah merangkap menjadi pembuat undangundang di dalam urusan-urusan pemerintahanya sendiri. Undang-undang akam cendrung digunakan
bertentangan dengan sifat asalnya.Undang-undang tidak lagi dibuat untuk membela kepentingan
rakyat ,tetapi untuk mewujudkan tujuan pemerintah .Perubahan yang terjadi atas sifat pekerjaan
pemerintah dan sifat dari peraturan perundang-undangan bukanlah satu-satunya alasan mengapa dalam
tahun-tahun terahkir makin banyak perhatian dicurahkan kepada peraturan perundang-undangan.
Salah satu faktor lainnya adalah besarnya jumlah peraturan perundang-undangan serta gejala yang
timbul karenanya.Akibat dari paksaan produksi ini, pembuat undang-undang dalam berbagai bagianya
tidak lagi mempunyai waktu yang cukup untuk menerapkan kecermatan yang diperlukan .Sejalan
dengan meningkatnya jumlah undang-undang ,makin besar pula kemungkinan yang terjadi
ketahserasian antar undang-undang satu sama lainya. Selain itu timbul gejala bahwa berbagai prtaturan
saling acu- mengacu atau bahkan mengacu ke peraturan pelaksanaan yang pada gilirannya mengacu
lagi keperaturan pelaksanaan yang lebih rendah. Semua ini dapat mengakibatkan bahwa peraturan
perundang-undangan menjadi sulit di mengerti oleh instansi pelaksana maupun masyarakat ,serta
berkurang fungsinya bagi lembaga peradilan .Timbul kebutuhan untuk menetapkan aturan-aturan bagi
pembuat undang-undang .Aturan-aturan ini bukan baru. Locke sudah menyarikan teori perundangundanganya dalam sejumlah pedoman.
Keempat pedoman yang dikemukakanya belum merupakan kerangka yang memadai bagi
tercipatanya suatu peraturan yang baik dijaman sekarang. Meskipun begitu, dari setiap pedoman itu

mencuat gagasan bahwa dalam membuat peraturan perlu ada pengenalan dan pemahaman .Ini berbeda
dari pandangan sebelumnya .Ketika itu orang berpendapat bahwa membuat undang-undang adalah
suatu bakat bawaan : anda memilikinya atau anda tidak memilikinya. Orang berbicara dengan rasa
hormat mengenai pembuat undang-undang agung seperti justianus dan Napeleon .Beru pada abad ke
-19 orang mulai membedakan dan mengembangkan teknik dengan perundang-undangan seperti yang
kita kenal sekarang.
2 . Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan
Teknik pembuatan peraturan perundang-undangan mulai berkembang pada abad ke-19 : masa
timbulnya kodifikasi-kodifikasi besar.Didorong oleh kebutuhan untuk menuliskan banyak undangundang.Orang mulai berpikir mengenai sistem yang terbaik untuk itu. Salah satu butir perhatian adalah
masalah pilihan kata dan struktur kalimat. Walaupun begitu ,baru pada abad ke-20 muncul tulisantulisan yang berarti. Pada tahun 1948 terjadi pristiwa penting bagi Belanda yaitu terbitnya laporan
mengenai teknik pembuatan peraturan perundang-undangan yang disusun oleh sebuah komisi
(Vereiniging Voor Administratief Recht ) yang diketahui oleh fockema Andreae.Sebagai akibat dari
laporan ini dewan menteri membentuk Contaccommisie voor de wetgevingstechniek. Pada tahun 1951
komisi ini mengeluarkan brebagai pedoman
teknik pembuatan peraturan perundangundangan.Pedoman-pedoman ini diperuntukan bagi para pegawai deoartemen yang bertugas
menyiapkan peraturan perundang-undangan dalam tahap pertama . Versi yang kedua lebih luas dan
berisi 78 butir pedoman terbit pada tahun 1954 .Versi terahkir ditahun 1984 membuat jauh lebih dari
sekedar petunjuk tehnis .Pedoman-pedoman ini berlain-lainan sifatnya: sebagian sangat tehnis
,sebagian lagi lebih tepat disebut asas-asas pembuatan peraturan yang baik. Dari hak diatas terlihat
kecendrungan yang ada
didalam perkembangan
teknik pembuatan
peraturan perundangundangan.Peraturan perundang-undangan yang baik baru dapat ada hanya jika pegawai yang
merancangnya memperhatikan lebih dari sekedar soal tehnik semata-mata.
3. Perkembangan ilmu perundang-undangan
Pemikiran bahwa perancangan undang-undang itu semata-mata suatu seni sudah ditinggalkan
orang. Kemampuan untuk menulis undang-undang lebih dilihat sebagai siatu tehnik .Ini sejalan dengan
pemahaman bahwa menunggu datangnya dan mempertahankan adanya seorang pegawai perancang
yang berbakat tudaklah cukup untuk dapat menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik.
Milai timbul perhatian terhadap tehnik merancang undang-undang . Bagaimanapun, tehnik yuridis saja
tidak cukup . Suatu undang-undang dapat saja dirumuskan secara indah dari segi yuridis,tetapi dari segi
kemasyarakatan tidak dapat berfungsi sesuai dengan tujuannya ,Jadi,suatu undang-undang yang
,misalnya, memberikan lebih banyak hal kepada pembayar sewa (lessee ) dapat saja berakibat ,antara
lain, bahwa penerima sewa (lessor ) tidak lagi bersedia menyewakan kamarnya.
Karena pembayar sewa mendapat terlalu banyak hak,penerimaan sewa tidak ingin menempuh
resiko tinggal bersama seorang pembayar sewa yang tidak disukainya didalam rumahnya .Alhasil,
pembayar sewalah yang rugi. Hal serupa terjadi tidak saja dibidang perunahan,tetapi juga dibidang
kesehatan , pertanian ,militer, tata ruang dan lain-lain. Disetiap bidang ada risiko bahwa suatu undangundang itu secara yuridis baik tetapi tidak dapat bekerja karena orang tidak atau kurang
memperhatikan segi-segi non-yuridis.Untuk menghindari masalah ini,Noll mengajukan gagasan untuk
mengembangkan ilmu perundang-undangan.,Dalam ilmu ini semua masalah perundang-undangan
dapat dipelajari dalam kaitanya satu sama lain. Pengembangan ilmu ini tidak harus dilakukan oleh para
ahli hukum saja ,tetapi saja bersama-sama dengan para ahli hukum dibidang spesialisasi yang berkaitan
.Usul ini tepat sekali waktunya pada saat ketika sosiologi hukum merupakan mata kuliah wajib

dibanyak fakultas hukum dan ketika orang selalu cendrung memecahkan berbagai masalah melalui
pendekatan ilmiah .DiBelanda himbauan
untuk melakukan pendekatan
ilmiah ini telah
mengakibatkam,antara lain, dibentuknya Wetenschappelijke Raad Voor het Regeringsbeleid. Dewan ini
member saran kepada pemerintah mengenai pengembangan kebijakan jangka panjang .Namun
,timbulnya pertanyaan apakah suatu ilmu perundang-undangan dapat memberi sumbangan yang berarti
kepada ilmu pengetahuan dan kepada perancang peraturan .Yang khas bagi ilmu ini adalah keterkaitan
antara teknis yuridis dan pengetahuan dari berbagai disiplin lain.Masalahnya adalah apakah kajian
sistematis atas penggabungan antara teknik yuridis dan masing-masing disiplin itu akan membuahkan
hasil.Membentuk suatu ilmu tersendiri dari hasil kajian ini merupakan siatu usaha yang ,agaknya,
terlalu ambisius .Walaupun begitu ,jelas mutlak bahwa seorang pegawai perancangan membuat
hubungan-hubungan yang diperlukan itu dan dapat menjamin kemungkinan pelaksanaan peraturan
yang di rancangnya.Kesimpulan bahwa suatu ilmu perundang-undangan yang lingkupnya luas seperti
ini tidak diperlukan ,tidak bolehilantas menimbulkan sikap bahwa ilmu tidak boleh mencampuri
bidang perancangan .Minat ilmu terhadap perancangan ada, dan terlihat antara lain dari mata kuliah
pilihan wetgeving atau wetgevingsleer (baca : ilmu perundang-undangan ,red.)diberbagai fakultas
hukum .Selain itu,makin banyak publikasi ilmiah bibidang peraturan ,khususnya di bidang asas-asas
pembuatan peraturan yang baik.
4.Asas-asas Pembuatan Peraturan Yang Baik
Kataasassering digunakan dan juga sering salah digunakan .Ketika istilah asas-asas pemerintahan
yang baikmuncul pertama kali didalam suatu rancangan undang-undang ,terjadi tukar pikiran antara
kamer dan pemerintah mengenai sifat hukumnya .Ada masalah apakah istilah itu semata-mata
menunjuk pada norma kepatutan(fatsoen).Adalah jelas bahwa kata itu menunjuk pada lebih dari sekedar
norma kepatutan,,walaupun tidak dapat dinyatakan secara tepat seberapa jauh asas-asas ini melampaui
norma kepatutan.Didalam yurisprudensi asas-asas ini dikembangkan lebih lanjud dan di pertegaskan
bentuknya.Istilah asas dalam asas-asas pembuatan peraturan yang baik mempunyai pengertian yang
lain dari pengertianya yang biasa.Ini adalah asas-asas yang harus ditaati pemerintah dalam
melakukan tindakan-tindakanya dan yang pelaksanaanya dapat dipaksakan oleh hukum.Salah satu
asas ini sesuai dengan pasal 1 UUD:asas kesamaan .Seperti terlihat dari bunyi pasal 1 UUD ,asas ini
berkaitan ,meskipun amat samar-samar ,dengan suatu norma .Hirsch Ballin berpendapat bahwa dalam
perkembangan asas-asas pemerintahan yang baik didalam yurisprudensi,asas-asas ini harus dianggap
sebagai aturan hukum yang berjenis khusus.
Ciri dari aturan ini adalah sifatnya yang tak mandiri ,demikian Hirsch Ballin.Aturan ini hanya
mempunyai arti jika, karena sesuatu alasan ada hubungan hukum antara suatu organ pemerintah dan
satu atau lebih pihak ketiga. Pada saat pemerintah boleh mengeluarkan suatu keputusan ( beschikking)
berdasarkan suatu norma hukum tertulis ,maka ketika itu pila timbul pentungnya asas-asas
taktertulis .Asas-asas taktertulis ini menyatakan bagaimana keputusan itu harus diberikan sepanjang di
dalam hukum tertulis belum ada penormaan untuk itu.Dalam pengertian ini asas-asas ini merupakan
aturan hukum taktertulis.
Kesimpulan (yang bukan tanpa sanggahan )ini dapat timbul karena asas-asas pemerintahan yang
baik telah begitu jauh dikembangkan sehingga dapat berfungsi sebagai aturan hukum yang berjenis
khusus .Dilain pihak,asas-asas pembuatan peraturan yang baik masih berada dalam tahap awal
perkembanganya ,Namun,karena ada perbedaan antara kegiatan eksekutif dan legislatif, kedua jenis asas
ini tidak dapat dikembangkan pada satu garis .Asas-asas pemerintahan yang baik memang tidak dibuat
untuk tindakan pemerintahan yang sama sekali bebas.Asas-asas ini lahir dari yurisprudensi bagi

pemberian suatu keputusan atas dasar peraturan yang ada.Bagi pemberian keputusan berlaku normanorma tertentu,betapapun besarnya kebebasan yang kadang-kadang diberikan oleh norma-norma ini
kepada pemerintah.Jadi,arah dari isi keputusan itu sudah ditentukan , kadang-kadang bahkan lebih dari
itu. Lagi pula,asas-asas ini umumnya dikembangkan dalam kaitanya dengan hubungan antara
pemerintah dari pihak (-pihak ) yang lain berkepentingan primer(mereka yang dituju oleh suatu
keputusan ).Ini pada umumnya merupakan suatu kelompok kecil.
Mengenai asas-asas perbuatan peraturan yang baik ,prakteknya justru terbalik.Sebagian besar
aturan-aturanya berlaku bagi banyak orang tak dikenal .Sejauh itu menyangkut peraturan yang tidak
bersumber pada peraturan yang lebih tinggi,arah dari peraturan yang akan dibuat itu bahkan tidak
dapat ditetapkan sebelumnya .Kebijakan masih harus seluruhnya dikembangkan .Kadang-kadang terjadi
bahwa kebijakan yang akan dijalankan oleh pemerintah dalam mengeluarkan keputusan ,masih belum
diketahui;dalam hal ini pemerintah pada dasarnya wajib menetapkan aturan kebijakan.Bahkan bila
dalam pemerintah dalam hal demikian tidak menetapkan suatu peraturan sekalipun,pemerintah tidak
dapat langsung mengeluarkan suatu keputusan : pemerintah harus pertama-tama mulai dengan
menetapkan kebijakan lebih dulu.Dalam hal-hak seperti ini asas-asas pemerintahan yang baik tidak
banyak membantu.Asas-asas ini memang tidak ditujukan bagi situasi serupa. Dalam mencari asas-asas
pembuatan peraturan yang baik,dapat ditemukan titik-titik taut pada asas-asas pemerintahan yang baik.
Bagaimanapun,asas-asas pemerintahan yang baik tidak dapat begitu saja diterapkan pada kegiatan
pembuatan peraturan.Ini bukan karena fakta bahwa ada perbedaan yang jelas dan mendasar antara
pemberian keputusan dan pembuatan peraturan ,tetapi karena fakta bahwa asas-asas pemerintahan
yang baik itu dibentuk dalam yurisprudensi atas berbagai keputusan (beschikking) dalam kasus yang
konkrit dan mengingat jenis perlindungan hukum administrative di Belanda atas berbagai keputusan
yang menyangkut pihak (-pihak) yang berkepentingan primer.Yang harus ditegaskan dulu adalah
bagaimana pembuat undang-undang dan pemerintah harus bertindak dalam mengeluarkan suatu
peraturan yang sama sekali baru. Karena itu,sebaiknya asas-asas pembuat peraturan yang baik ini
pertama-tama dikembangkan secara terpisah ,dan baru dilihat kemungkinan pengintegrasianya dengan
asas-asas pemerintahan yang baik.
Ada pendapat lain.dalam pidato pengukuhanya sebagai guru besar ,Oostenbrink membahas
perkembangan asas-asas umum pembuatan peraturan perundang-undangan yang baik.Menurut
dia,perbedaan antara asas-asas umum pemerintahan yang baik dan asas-asas umum pembuatan peraturan
yang baik digantungkan pada perbedaan antara peraturan umum dan keputusan.Ia menganggap
pembedaan ini sebagai tidak dapat dipertahankan .Karena itu ia tidak melihat adanya ruang bagi
pengembangan asas-asas umum pembuatan peraturan yang baik secara mandiri.Adalah lebih tepat
untuk mengatakan adanya asas-asas hukum yang umum yang sifatnya dapat diterapkan bagi
bermacam-macam jenis tindakan.
Orang dapat bertanya apakah disini tepat untuk berbicara mengenai asas-asas.Sebagai ganti
dariasaskita mungkin lebih baik berbicara mengenai butir-butir pengujian . Dengan cara ini akan
lebih tegas dinyatakan bahwa asas-asas pembuatan peraturan yang baik (masih) belum mencapai tahap
yang sudah dicapai oleh asas-asas pemerintahan yang baik. Orang tidak menyukai istilah butir-butir
pengujian ,karena istilah ini memberikan kesan adanya suatu kesukarelaan (vrijblijvenheid ) yang
besar.Kesan ini tidak dikehendaki ada.Oleh karena itu dapat di mengerti bahwa pada umumnya dipilih
istilah asas-asas pembuatan peraturan yang baik.
4.1.Sifat Hukum

Karena adanya ketakpastian mengenai peristilahan yang akan dipakai ,sifat hukum dari asas-asas
ini pun kemudian tidak seluruhnya jelas.Sifat hukum dari asas-asas ini tidak sama dalam seluruh
seginya .Asas-asas yang ditujukan kepada pembuat undang-undang tidak dapat diuji oleh organ-organ
lain.Dalam kaitan ini Van Kreveld mengusulkan untuk memperlihatkan perbedaan menyangkut
kemungkinan pengujian ini melalui pembedaan dalam peristilahan .Ia membedakan antara asas-asas
hukum yang umum dan pengertian luas asas-asas pembuatan peraturan yang baik, yang sekaligus
memuat pula asas-asas hukum yang umum.Asas-asas hukum yang umum adalah asas-asas yang boleh
dipakai oleh hakim untuk melakukan pengujian ;asas-asas umum pembuatan peraturan yang baik
adalah asas-asas yang harus selalu dipenuhi oleh setiap peraturan .Bahwa hakim tidak menguji dan
juga tidak akan menguji berdasarkan atas asas-asas tertentu ,hal itu tidak hanya karena adanya larangan
menguji dalam pasal 120 UUD,tetapi juga karena ada kaitanya dengan keberhati-hatian dari hakim
untuk menguji kewenangan bebas pemerintah untuk mengatur.
Sikap umum ini timbul dari posisi hakim terhadap pemerintah didalam penyelengaraan Negara
.Hakim tidak mengambil alih pekerjaan pemerintah.Ia hanya menilai apakah pemerintah dalam
melakukan tindakan-tindakanya tetap berada didalam batas-batas yang ditetapkan oleh hukum.Asasasas pembuatan peraturan yang baik pertama-tama ditujukan kepada mereka yang membuat
peraturan;sejauh mana hakim dapat ,dan boleh, menilai apakah asas-asas ini telah ditaati ,adalah masalah
lain lagi.Masalah ini dibicarakan dalam Bab 14 .
4.2.Asas-asas bagi pembuat undang-undang
Pernyataan bahwa asas-asas ini ditujukan kepada pembuat undang-undang ,masih belum berbunyi
apa-apa bagi kepentingan praktek.Seperti diketahui organ pembuat undang-undang terdiri dari banyak
unsur.Apakah asas-asas ini lalu ditujukan
kepara pegawai, menteri,pemerintah,Raad
vanState,TweedeKamer,atau Eerste Kamer? Asas-asas ini diperuntukan bagi semua pihak yang
bersangkutan meski dalam perspektif yang lain.Para pegawailah yang paling pertama sekali harus
menerapkan asas-asas ini, meskipun ini tentu saja tetap berada di dalam tanggung jawab menteri
.Menterilah yang harus mengawasi titaatinya asas-asas ini oleh para pegawai .Sayangnya, masalah
mutu peraturan perundang undangan belum merupakan prioritas bagi sebagian besar pejabat tinggi
.Umumnya isi kebijakan itu sendiri lebih banyak mendapat perhatian daripada cara kebijakan itu
dituangkan .
Dengan demikian ,pelaksanaan suatu kebijakan dapat bertabrakan dengan syarat-syarat yang harus
ada pada perancangan peraturan perundang-undangan yang baik .Untuk memperkuat fungsi
perancangan peraturan di departemen ,saat ini dilakukan langkah-langkah perbaikan.Dengan surat
edaran resmi cabinet tanggal 10 juni 1985,antara lain dimintakan saran dari Raad Van State. Tanggal 7
oktober 1985 Raad Van State mengeluarkan saranya .Raad menggarisbawahi pentingnya memperkuat
fungsi perancangan peraturan.Selain itu,dalam tahap dini peoses perancangan peraturan perundangundangan perlu diberikan perhatian pada aspek-aspek teknis perancangan.Raad Van State
berpendapat bahwa ,ditingkat pusat,peraturan perundang-undangan harus melewati pengujian ahkir dari
segi harmonisasi.
Penegakan optimal asas-asas ini terjadi jika asas-asas ini sudah diperhatikan dalam konsep awal
suatu undang-undang .Untuk itu biro-biro hukum departemen dapat memainkan peranan penting , yang
juga tergantung pada kadar keinginan pimpinan departemen itu sendiri dalam memperoleh peraturan
perundang-undangan yang baik.Kepentingan peraturan perundang-undangan selalu diperbandingkan
terhadap kepentingan politis .Kepentingan politis menghendaki ,misalnya,dikeluarkan suatu peraturan
perundang-undangan dengan cepat,dengan konsekuensi tidak dapat diterapkanya ketelitian yang

diperlukan . Pendapat menteri diwarnai pada umumnya oleh keinginan politis .Pembandingan
kepentingan dilakukan juga oleh Tweede Kamer.

Anda mungkin juga menyukai