Oleh YAS
Pengertian
Istilah logika berasal dari bahasa Yunani : “Logike”
(kata sifat), “Logos” (kata benda). Definisi Logika :
“Ilmu atau disiplin ilmiah yang mempelajari jalan
pikiran yang dinyatakan atau diungkapkan dalam
bahasa”.
Legal Reasoning/legal Method/ Argumentasi Yuridik/
Metode Berpikir yuridis/ Element of argument of
law/ Penalaran hukum
Definisi Logika : “Ilmu atau disiplin ilmiah yang
mempelajari jalan pikiran yang dinyatakan atau
diungkapkan dalam bahasa”.
Obyek studi Logika : kegiatan berfikir (bukan proses
berfikir)
Penalaran Hukum/Argumentasi
Hukum
Berpikir Yuridik adalah suatu cara berpikir tertentu, yakni
terpola dalam konteks sistem hukum positif dan kenyataan
kemasyarakatan, untuk memelihara stabilitas dan predikbilitas
demi menjamin ketertiban, dan kepastian hukum, untuk
menyelesaikan kasus konkret secara impersial- objektif-adil
manusiawi.
Berfikir yuridik adalah metode berpikir yang digunakan untuk
memperoleh, menata, memahami dan mengaplikasikan
pengetahuan hukum.
Model berpikirnya adalah model berpikir problematik-
tersistematisasi mengacu tujuan hukum, fungsi hukum, dan
cita hukum.
[1] Suadara Ananda, SH. Legal Reasoning. (Jakarta: Makalah yang disampaikan Pendidikan Advokat
LPLIH-FHUI Angkatan I)April-Juli 2005, hal. 1.
Dipandang dari sudut cara bekerjanya, berpikir yuridik
adalah berpikir secara analitik-sistematik-logikal-rasional
terorganisasi dalam kerangka tertib kaidah-kaidah hukum
positif secara kontekstual.
Penalaran hukum adalah proses menalar dalam kerangka
dan berdasarkan tata hukum positif mengidentifikasi hak-
hak dan kewajiban- kewajiban yuridik dari subyek-subyek
hukum tertentu. Penalaran hukum adalah pproses
penggunaan alasan-alasan hukum (legal reasons) dalam
menetapkan pendirian hukum yang dirumuskan dalam
putusan hukum.
Penalaran adalah suatu proses, suatu kegiatan dalam akal
budi manusia yang didalamnya berlangsung gerakan/alur
dari suatu premis ke premis-premis lainnya untuk mencapai
suatu kesimpulan.
Kesimpulan adalah suatu pendirian yang dibangun atas
dasar premis-premis yang diajukan dalam penalaran itu.
cara pembentukanya
[1] Dikemukakan pertama kali oleh Snouck Hurgonye dalam bukunya “De Atjehers” (1938) dan
kemudian digunakan van Vollen Hoven yang dianggap sebagai penemu hukum adat “ Het
Adatrecht van Nederlands Indie.”Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif
yang disatu pihak mempunyai sanksi dan dilain pihak dalam keadaan tidak dikodifikasikan
(hukum adat adalah adat kebiasaan yang mempunyai akibat hukum).
Tap MPRS No.XX/MPRS/1996 Tata urutan
perundangan RI menurut UUD 1945
1. Undang-undang;
2. Peraturan Pemerintah;
3. Peraturan Pemerintah Pengganti UU,
diantaranya,
3.1 Penetapan Presiden didasarkan pada pasal
4 ayat (1) UUD 45 untuk melaksanakan
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959;
3.2 Peraturan Presiden didasarkan pada psl.4
ayat (1) UUD 45 untuk melaksanakan
Penetapan Presiden.
3.3 Peraturan -Pemerintah untuk melaksanakan
Peraturan Presiden;
3.4 Keputusan Presiden untuk melakukan
pengangkatan;
3.5 Peraturan Menteri dan Putusan Menteri.
Pasal 2 Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang- undangan
1. UUD 1945;
2. Tap MPR RI[1]
RI ,
3. Undang-Undang,
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
5. Peraturan Pemerintah,
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.[2]
Daerah.
[1] Adanya perubahan ke-4 UUD 45 maka kedudukan MPR setara dengan
Yudikatif, sehingga seyogyanya TAP MPR tersebut diganti uu saja
[2] Adanya Surat Menkeh dan HAM yang merevisi TAP MPR tersebut No
M.UM.01.06-27 tertanggal 23 Februari 2001 yang substansinya merupakan
pendapat mengenai kedudukan keputusan menteri (kepmen) dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan, yaitu terletak di antara keputusan presiden dan
peraturan daerah. Surat Menteri nmenurut ketatanegaran tidak dapat merevisi TAP
MPR.
Prof. A. Hamid S. Attamimi
Peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis
berkedudukan lebih rendah
a. tidak dapat mengubah materi yang ada
didalam aturan yang lebih tinggi;
b. tidak menambah;
c. tidak mengurangi;
d. tidak menyisipi suatu ketentuan baru;
e. tidak memodifikasi materi dan pengertian
yang telah ada dalam aturan induknya
pasal 25 ayat (1) UU No. 4/2004 menegaskan :
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat
alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
Dalam pasal 19 ayat (4) UU No.4/2004 juga
menegaskan:
“Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis
terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari putusan”.