Oleh:
BASRIN OMBO
NIM. 03210122006
Dosen Pengampuh:
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) DATOKARAMA
PALU SULAWESI TENGAH
2023
KATA PENGANTAR
﷽
والصالة والسالم على اشرف االنبياء والمرسلين وعلى اله واصحابه اجمعين.الحمد هلل رب العالمين
""اما بعد
masih dapat melaksanakn aktivitas sehari-hari. Salawat serta salam semoga tercurah
keharibaan junjungan nabi besar Muhammad saw., sang pencerah, revolusioner sejati
Kesalahan dan kekurangan pasti ada, karena itu mohon saran, masukan dan
Basrin Ombo
NIM. 03210122006
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
tangga yang sah, legal dan diakui. Tujuannya adalah untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
hidup, dapat menjadi benteng dalam menjaga kehormatan diri dari pandangan
suatu cita-cita ideal yang tidak hanya mempersatukan antara laki-laki dan
perempuan tetapi juga merupakan kontrak sosial dengan seluruh aneka ragam
tugas dan tanggung jawab. Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu sebuah ikatan atau akad yang sangat kuat.3 Allah swt. menyebutkan bahwa
perjanjian nikah adalah ikatan yang sangat kuat (misaqan galizan). 4 Perkawinan
dalam bangunan rumah tangga, oleh karena itu ada sarana yang dilakukan untuk
menggapainya, salah satu sarana itu adalah kafa’ah. Persoalan kafaa’h dalam
1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 sebagai pengganti Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1.
2
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membinan Keluarga Sakinah menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah (Jakarta: Akademika Pressindo, 2002), 15-22.
3
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Cet. Ke-1 (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), 5.
4
Kata misaqan galizan (perjanjian yang agung) disebutkan Allah dalam al-Qur’an sebanyak 3
kali, yakni perjanjian antara Allah swt. dan Nabi-nabi ulum azmi (al-Ahzab ayat 7), perjanjian
antara Allah swt. dan Bani Israil (an-Nisa ayat 54), dan perjanjian agung antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan (an-Nisa ayat 21). Selanjutnya lihat: Dedi
Junaedi, Bimbingan Perkawinan., 121.
2
kehidupan berumah tangga. Hal ini disebabkan oleh masih seringnya didapati
keluarga yang telah menjalankan biduk rumah tangga, setelah sekian tahun
berjalan tiba-tiba muncul masalah yang baru diketahui kemudian akibat dari
tidak adanya kecocokan dari segi ekonomi, akhlak, strata sosial, pendidikan
maupun hobi. Perkawinan yang dilakukan hanya bermodalkan suka sama suka,
saling mencintai dan yakin benar bahwa dengan modal tersebut mereka akan
bahagia.
Kafa’ah dalam arti setara antara suami dan istri dalam kedudukan sosial,
agama, moral dan ekonomi ini menjadi salah satu indikator terciptanya
harmonisasi dalam hubungan kaluarga. Sebagai bagian kecil dari indikator untuk
dalam kajian hukum keluarga Islam, agar menjadi terang benderang tentang arti
dan ukuran kafa’ah yang dimaksud menurut Islam dan bagaimana melihat
Ahlul bait adalah anggota keluarga, famili, kerabat atau penghuni sebuah
rumah. Bagi masyarakat Arab pra Islam, kata ini digunakan untuk sebuah
keluarga dari suatu suku.5 Ahlul bait adalah: 1) keluarga seisi rumah, 2) keluarga
Nabi Muhammad saw.6 Bagi kaum sunni menyebutkan bahwa ahlul bait adalah
mereka dari keluarga Nabi dalam arti luas, meliputi istri-istri dan cucu-cucunya,
5
Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islam (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 772.
6
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa
Depertemen Pendidikan Nasional, 2008), 21.
3
menantunya, namun bagi kaum Syiah menyebutkan ahlul bait itu hanya
Rasulullah saw., Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husein dengan berdasar
Sayyid adalah suatu kata sapaan kepada orang Arab keturunan Nabi
Muhammad saw. atau tuan,8 jadi non sayyid adalah mereka bukan dari keturunan
nabi, sedang syarifah adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan
wanita yang merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. melalui cucu beliau
Husein bin Ali dan Hasan bin Fathimah az-Zahra dan menantunya yaitu Ali bin
Abi Thalib.9
B. Rumusan Masalah
Indonesia?
7
M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Sahih Muslim (Jakarta: Gema Insani Press, 2005),
hadis no. 1656.
8
Kamus Bahasa Indonesia, 1275.
9
Zulkifli, Ensiklopedi Gelar Dalam Islam (Yogyakarta: Interprebook, 2011), 41.
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kafa’ah
biasa membahasakannya dengan sejodoh atau sama, serupa, seimbang atau serasi.
Maksudnya adalah keserasian antara calon suami dan calon istri agar pihak-pihak
tersebut.12
Dalam istilah Fikih Munakahat dikenal dengan sebutan kafa’ah sinonim dari
calon suami di satu pihak dengan calon istri di lain pihak.13 Kafa’ah dalam arti
berumah tangga bisa teratasi. Dijelaskan oleh Mushtafa al-Khin dan Mustafa al-
Bugha dalam fikih al-Manhaji yang dimaksud kafa’ah adalah kesetaraan kondisi
dan keserasian antara calon istri dan calon suami sehingga masing-masing calon
10
Andri, Urgensi Kafa’ah Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pada Pasal 15 Ayat 1
(Jurnal An-Nahl, Vol. 8, No. 1, Juni 2021, 1 – 7)
11
Junaedi, Bimbingan Perkawinan., 72.
12
Otong Husni Taufik, Kafa’ah dalam Pernikahan Menurut Hukum Islam (Jurnal Dosen
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Galuh, Volume 5, No. 2, September, 2017), 170.
13
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), 82-83.
14
Nurcahaya, Konsep kafa’ah dalam hadis-hadis Hukum (Jurnal Syariah dan Hukum Vol. 03,
No. 02, Juli-Desember 2021), 26.
5
dengan calon istrinya, sama dengan kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial
keseimbangan antara suami istri dari segi kedudukan, agama, keturunan, dan
sebuah kondisi di mana antara calon suami dan calon istri memiliki kesamaan
dalam hal agama dan akhlak, selain itu pula memiliki kesamaan dalam hal strata
sosial, kedudukan, harta, bahkan sampai pada kebagusan wajah (cantik/ tampan).
Perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan sekadar urusan
keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah agama, karena itu perkawinan harus
dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Perkawinan juga
bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup.
Oleh karena itu, seorang mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara
Terjemahnya:
“Pezina laki-laki tidak pantas menikah, kecuali dengan pezina perempuan
atau dengan perempuan musyrik dan pezina perempuan tidak pantas
menikah, kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik.
Yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.18
15
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2008), 56.
16
Siti Fatimah, Konsep Kafaah dalam Pernikahan menurut Islam: Kajian Normatif,
Sosiologis, dan Historis (As-Salam: Vol. VI, No. 2, Th. 2014), 110.
17
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 46.
18
Q.S. An-Nur/24: 3.
6
Ayat ini secara eksplisit tidak membicarakan tentang kafa’ah, tapi ayat ini
mengisyaratkan bahwa Islam memberi pedoman bagi orang yang ingin menikah
untuk memilih jodoh yang baik dan benar. Ketidaksederajatan bahkan cenderung
rumah tangga. Ada beberapa hadis yang dapat dijadikan pedoman dalam ukuran
ان ابي زوجني ابن: جاءت فتاة الى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فقالت:عن عبدهللا بن بريدة عن ابيه قال
، ولكن اردت أن تعلم النساء، قداجزت ماصنع ابي: ففقالت. فجعل األمراليها: قال.اخيه ليرفع بي حسيسته
)(رواه ابن ماجه.ان ليس إلى االباء من األمرشي ء
Artinya:
“Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dia menuturkan, “seorang gadis
datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata, Ayahku telah menikahkanku
dengan anak saudaranya dengan maksud untuk mengangkat martabatnya
melalui diriku, maka beliau menyerahkan putusan kepadanya, lalu gadis itu
berkata, aku menerima apa yang telah dilakukan oleh ayahku, tapi aku ingin
agar para wanita tahu bahwa setiap ayah tidak mempunyai hak
memutuskan". (HR' Ibnu Majah).19
قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم تخيروالنطفكم وانكحوااالكفاء وانكحوااليهم:عن عائشة قالت
Artinya:
“Dari ‘Aisyah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “pilihlah baik-baik
(tempat) untuk sperma kalian, menikahlah kalian dengan yang sekufu, dan
nikahkanlah anak-anak perempuan kalian kepada mereka (yang sekufu)”.20
b. Riwayat ad-Daruquthni
) (رواه الدرقطنيي. ألمنعن تزوج ذوات اال حساب إالمن اآلكفاء:عن عمر قال
Artinya:
“Dari Umar, ia mengatakan, "Sungguh aku akan melarang pernikahan para
gadis berkedudukan (berstatus sosial yang tinggi), kecuali dengan yang
sepadan. " (Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni).21
19
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Bustanu al-Akhbar Mukhtasyaru Nailul
Authar Jilid 3), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), 440.
20
Nurcahaya, Konsep Kafaah., 28.
21
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Bustanu al-Akhbar, 441.
7
c. Riwayat at-Tirmizi
اال، اذاأتاكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه: قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم:عن ابي حاتم المزني قال
اذاجاءكم من ترضون دينه: قال. وإن كان فيه، يا رسول هللا: قالوا.تفعلوه تكن فتنة في األرض وفسا د كبير
) هذا حديثحسن غريب، وقال، (رواه الترمذي. ثالث مرات.وخلقه فأنكحوه
Artinya:
“Dari Abu Hatim al-Muzani, ia mengatakan, "Rasulullah saw. bersabda: Jika
datang kepada kalian seseorong (laki-laki) yang kalian rela terhadap agama
dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putri kalian). Jika tidak kalian
lakukan, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di bumi. Para
sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana bila ada padanya (sesuatu
yang tidak diridhai)? Beliau bersabda lagi, Jika datang kepada kalian
seseorang laki-laki yang kalian rela terhadap agama dan akhlaknya, maka
nikahkanlah dia (dengan putri kalian). tiga kali." (HR. At-Tirmidzi, dan ia
mengatakan, "Ini hadis hasan gharib".22
وكان ممن شهد بدرا مع النبي صلى هللا عليه، ان أبا حزيفة بن عتبة بن ربيعة بن عبد شمس:عن عائشة
(رواه البخاري. وهو مولى امرأة من األنصار، تبنى سالما وأنكحه ابنة اخيه الوليد بن عتبة بن ربيعة،وسلم
)والنسائي وابو داود
Artinya:
“Dari Aisyah, bahwasanya Abu Hudzaifuh bin Utbah bin Rabi'ah bin Abdi
Syams, salah seorang peserta perang badar bersama Nabi saw. mengangkat
Salim sebagai anak dan menikahkannya dengan putri saudaranya, yakni al-
Walid bin Utbah bin Rabi'ah. Salim adalah mantan budak seorang wanita
Anshar. (Diriwayatkan oleh Al Bukhari, An-Nasa'i dan Abu Daud).23
لمالها ولهسبها ولجمالها ولدينها، تنكح النساء ألربع:عن ابى هريرة ان لنبي صلى هللا عليه وسلم قال
)فاظفربذات الدين تربت يداك (رواه ابوداود
Artinya:
“Dari Abu Hurairah dari Nabi saw., Beliau berkata: “wanita dinikahi karena
empat perkara, yaitu: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan
karena agamanya. Carilah yang memiliki agama yang baik maka engkau
akan beruntung”.24
22
Ibid.,
23
Ibid., 442.
24
Nurcahya, Konsep Kafaah., 29.
8
تنكح المرءة ألربع لمالها ولهسبها ولجمالها:عن ابي هريرة رضي هللا عنه ان النبي صلى هللا عليه وسلم قال
)ولدينها فاظفربذات الدين تربت يداك (رواه مسلم
Artinya:
“Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: ‘Wanita itu dinikahi
karena empat hal; karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya.
Namun dari empat itu paling utama yang harus jadi perhatian adalah
masalah agamanya. Perhatikanlah agamanya, maka kamu akan selamat."
(HR. Muslim).25
Semua ulama sepakat bahwa kafa’ah merupakan hak seorang wanita dan
1. Dalam mazhab Maliki, yang menjadi ukuran kafa’ah adalah agama dan
25
Ibid., lihat juga: HR. Bukhari-Muslim, https://www.republika.co.id/berita/qbrb2o320/
pesan-rasulullah-saw-untuk-pemuda-yang-ingin-menikah.
26
Ibid, 31-32.
9
berbeda pendapat. Perbedaan itu tidak terlepas dari cara pandang tentang aspek-
aspek dalam kafa’ah, karena dipengaruhi oleh kondisi dan situasi para ulama
tersebut menetap, di samping itu disebabkan pula oleh cara dalam memahami
Semua ulama mengakui agama sebagai salah satu unsur kafa’ah yang paling
agama dan komitmen terhadap ajaran agama. Agama juga dapat diartikan dengan
adalah asal usul, keturunan atau keberadaan seseorang berkenaan dengan latar
orang yang berada dibawah kepemilikan orang lain, yang tidak mempunyai hak
atas dirinya sendiri. Unsur kekayaan sebagai kriteria kafa’ah adalah kemampuan
seseorang untuk membayar mahar dan memenuhi nafkah. Tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam kehidupan manusia terdapat stratifikasi sosial, ada yang kaya dan
ada yang miskin. Walaupun kualitas seseorang terletak pada dirinya sendiri dan
27
Iffatin Nur, Pembaharuan Konsep Kesepadanan Kualitas (Kafa‟ah) dalam Al-Qur’an dan
Hadis, (Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 2012), 420.
28
Di masa sekarang, perbudakan sudah tidak ada, maka kriteria merdeka sebagai ukuran
kafa’ah tidak berlaku lagi.
10
hari berikutnya tanpa harus membayar mahar, maka ia dianggap kafa’ah dengan
alasan bahwa kemampuan membayar nafkah itulah yang lebih penting untuk
menjalani kehidupan rumah tangga kelak. Sementara mahar dapat dibayar oleh
ataupun kakek.29
seseorang untuk dapat menuntut fasakh. Karena orang cacat dianggap tidak
sekufu dengan orang yang tidak cacat. Adapun cacat yang dimaksud adalah
meliputi semua bentuk cacat baik fisik maupun psikis yang meliputi penyakit
Semua imam mazhab dalam ahlu sunnah wal jama’ah sepakat akan adanya
yang menjadi perbedaan tersebut adalah dalam masalah keturunan atau nasab.31
Dalam wawancara bersama Habib Reza bin Muhsin al Hamid beliau menjelaskan
secara detail bahwa para sadah Alawiyin memilih mazhab Ahmad bin Hanbal
dalam menikahkan putri-putri mereka. Jika seorang yang bukan keturunan Nabi
hendak menikahi putri mereka, harus mendapatkan keridhoan dari wanita itu dan
29
Muhammad Abu Zahrah, Aqd Az-Zawaj wa Asaruh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arobi, 1957),
188.
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah, (Lebanon:Daar Kutub, 2010), 58.
30
Idrus Alwi Almasyhur, Sekitar Kafaah Syarifah Dan Dasar Hukum Syar’iahnya (t.tp., t.
31
th), h. 18.
11
dari seluruh walinya baik yang dekat maupun yang jauh. Dan itu adalah hampir
tidak mungkin mengingat telah tersebarnya para wali wanita di berbagai penjuru
sehingga sulit untuk mengumpulkan dan meminta keridhoan mereka semua. Ini
karena dengan menikahkan wanita syarifah kepada yang bukan keturunan Nabi
akan menimpakan aib kepada keluarga mereka semua.32 Al Allamah Alwi bin
قد أجيب، قد َّزوج سيدنا علي َّكرم هللا وجهه بناته االلتي أ مهن فاطمة الزهراء من غير بني هاشم:فإن قيل
بأ َّن في ذلك الوقت لم يكثر انتشار من له حق في هذا النسب الطاهر بل هو موجود وحاضر فال:عن ذلك
وانتشروا كثروا أن بعد وأ َّما ،بذلك ورضاهم الكل اجتماع يعسر
ْ ْل ْنهذا،ْْ الرضى
الحق ِ ْتعذرذل ْكاالجتماع ْْو
ْ ْأقطاراِلرض
ْ في
ِلخرى من مذهب
ْ ْ
ْالروايةا
ْوبعضه ْماعتمد.متعذرفافه ْم
ْ ْ لهذاْالنسبْراج ْع
ْ لكلم ْنانتسبْإلىْالحسني ْنورضاْجمي ْعأوالدهما
.أحمد وهي عدم صحة النكاح وإ ن رضي اِلولياء ِلن الكفاءة من حق هللا
Artinya:
“Jika dikatakan Sayyidina Ali telah menikahkan putra putrinya yang ibunya
adalah Fatimah kepada selain Bani Hasyim. Maka dijawab kepadanya:
Bahwa di masa itu tidak banyak tersebar orang yang memiliki nasab suci
semuanya ada dan dapat hadir sehingga tidak sulit untuk mengumpulkan
mereka dan meminta keridhoan mereka semua. Adapun setelah mereka
menjadi banyak dan tersebar di berbagai penjuru dunia maka sulit untuk
mengumpulkan mereka dan mengambil ridho mereka semua. Sebab itu hak
bagi nasab ini kembali kepada semua orang yang bernasab kepada Hasan dan
Husain, dan mendapatkan keridhoan semua keturunan keduanya adalah tidak
mungkin, maka fahamilah! Sebagian mereka memuktamadkan riwayat lain
dari Madzhab Ahamad yaitu tidak sah menikahkan walau semua wali ridho
sebab kafaah adalah hak Allah”.33
Muh Ilham Azis, at. all., Tinjauan Hukum Islam Terhadap Nilai-Nilai Kafaah dalam
32
Praktik Perkawinan Sayyid di Sulawesi Selatan (Jurnal Al-Qad{a>u Vol. 8 Nomor 2 Deseember
2021), h. 67.
33
Sayyid Alwi Bin Ahmad Assagaf, Hasyiah Fathul Muin (t. tp., Dar Haya al Kutub al
Arabiyah) h. 315.
12
yang terjaga hingga saat ini. Syarif untuk sebutan laki-laki atau syarifah sebutan
untuk perempuan sendiri adalah keturunan Nabi Muhammad dari jalur Hasan.
Muhammad dari jalur Husein.34 Hasan dan Husein ialah anak dari Ali bin Abu
Thalib yang menikah dengan putri Nabi Muhammad, Fatimah. Syarifah adalah
keturunan Nabi Muhammad saw. melalui cucu beliau Husein bin Ali dan Hasan
bin Fathimah az-Zahra dan menantunya yaitu Ali bin Abi Thalib.35 Dalam
Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa syarifah adalah wanita yang mulia
sebutan bagi wanita keturunan Nabi Muhammad saw. yang langsung dari
Husein.36
Kata non dalam Bahasa Inggris berarti bukan, sedang kata sayid berarti 1)
kata sapaan kepada orang Arab keturunan Nabi Muhammad saw., tuan; 2) orang
34
M. Hardi, Memahami Pengertian Syarifah beserta Pandangan Ulama tentang Syarifah
(https://www.gramedia.com/literasi/syarifah-adalah/), dikakses tanggal 10 Mei 2023.
35
Zulkifli, Ensiklopedi Gelar Dalam Islam (Yogyakarta: Interprebook, 2011), 41.
36
Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008),
h. 1402.
13
Arab keturunan Nabi Muhammad saw.37 Non sayyid laki-laki bukan dari
keturunan Nabi Muhammad saw. Istilah lain adalah habib atau habaib yang
Dalam fikih munakahat didapati anjuran adanya kesetaraan baik dari segi
agama seperti iffah (keterjagaan dari maksiat), atau hirfah (mata pencaharian),
aib nikah, merdeka, maupun nasab. Mayoritas ulama seperti Syafi'iyah dan
Sedangkan menurut Hanafiyyah, kafa'ah adalah perkara yang wajib. Bagi mereka,
kafa'ah atau kesetaraan dilihat dari segi agama, nasab dan lain-lain. Beda halnya
dengan Malikiyah yang berpendapat bahwa kafa'ah cukup ditinjau dari agama
saja, tanpa harus memandang pada perkara-perkara yang lain. Dengan demikian,
maka tak heran bila ulama Hadramaut begitu memelihara kafa’ah nasab. Lebih-
lebih lagi mereka yang bernasab kepada Rasulullah saw. yang kerap dikenal
sebagai ahlu bait Rasulullah saw. dan dijuluki Sayyid/ Syarif (untuk laki-laki)
dan Hanabilah dianggap tidak sekufu karena perbedaan nasab di antara keduanya,
karena itu non sayyid dan syarifah tidak boleh melangsungkan perkawinan
bukanlah ukuran kafaah, maka non sayyid dan syarifah boleh melangsungkan
37
Depertemen Pendidikan Nasional, h. 1276-1277.
38
Ibid., 499.
14
kedua calon pengantin, baik itu dari segi agama seperti iffah (keterjagaan dari
maksiat), hirfah (mata pencaharian), aib nikah, merdeka, maupun nasab. Ulama
melantas kepada Rasulullah saw. yang kerap dikenal sebagai ahlu bait. Kekangan
ini hanya berlaku kepada syarifah yang kepingin menikah dengan non sayyid.
Namun, bila seorang sayyid hendak menikahi non syarifah, maka akan terlepas
dari belenggunya. Sebab, persoalan nasab akan menjalur kepada sang ayah, bukan
agar tak terputus dan terus bersambung hingga hari kiamat. Dalam kitab
39
Miftah H. Yusufpati, Apakah Syarifah Boleh Menikah dengan Laki-Laki Non-Sayyid?
https://kalam.sindonews.com/read/895729/70/apakah-syarifah-boleh-menikah-dengan-laki-laki-
non-sayyid-1664179781/20 (diakses tanggal 1 Juni 2023)
15
Pernikahan menurut hukum Islam dianggap sah jika telah memenuhi syarat
dan rukun pernikahan. Tetapi terdapat pula aturan lain yang harus dipenuhi
menurut literatur kitab-kitab fikih klasik yakni konsep kafa’ah yaitu kesepadanan
dari pihak laki-laki kepada pihak wanita dalam berbagai hal yang telah disepakati
oleh mayoritas ulama, di antaranya: agama, nasab, pekerjaan dan merdeka. Status
akan berubah menjadi syarat pernikahan ketika tidak ada ridho dari wali. Dari
1. Seorang syarifah dianggap tidak sekufu dengan non sayyid, jika menikah
tidak ridha jika anak wanita mereka menikah dengan laki-laki non-sayyid.
3. Ketika ada syarifah yang nekad menikah dengan non sayyid, maka
keluarga besarnya dan dianggap telah meninggal dunia dan tidak diakui
bukan haram tapi hanya sebuah larangan. Jika ada seorang syarifah
menikah dengan seorang laki-laki non sayyid dan kedua orang tua saling
ridha, apabila pernikahan telah terjadi dan orang tua syarifah telah saling
telah terjadi dan orang tua tidak saling ridha, maka hukum pernikahannya
tidak sah dan apabila syarifah dengan laki-laki non sayyid menghasilkan
keturunan, maka anak tersebut putus nashabnya dari ibunya sebab nashab
itu jatuhnya kepada sang ayahnya yang non sayyid bukan sang ibu yang
syarifah. Jadi anak dari Syarifah dan laki-laki non sayyid kalau
melahirkan anak laki-laki atau perempuan maka bukan lagi sayyid atau
syarifah melainkan non sayyid atau non syarifah, sedangkan hukum setara
yang tidak berhubungan nasab dengan Rasulullah saw., maka untuk anak-
atas karunia Allah swt, yang tanpa diminta dan tidak bisa diminta oleh
berkhianat terhadap amanah Allah swt, dari Rasul-Nya guna menjaga tali
17
melanggar serta memutuskan hubungan nasabnya yang mulia dan ini juga
nasabnya melalui sayyidina Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa
bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein putera sayyidina Ali
dzuriyyah Ar-Rasu>l. Mereka dikenal dengan sebutan Syarif, yang dalam bentuk
40
Umar Muhdor Syahab. Tuntunan dan Tanggung Jawab terhadap Ahlul Bait dan Kafaahnya
(Jakarta: Yayasan Nusantara, 1999), 32.
41
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia (Malang: Pustaka
Basma, 2013), 3-4.
18
sebutan Sayyid, dalam bentuk jamak disebut Saadat. Dalam Dunia Arab istilah
Syarif digunakan oleh keturunan Hasan bin Ali, sedangkan gelar Sayyid
dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam upaya menjaga nasab, bahkan jika
Kraksakan) terdapat dua kasus peristiwa perkawinan non sayyid dan syarifah.
Syarifah Nanik binti Ahmad as-Segaf adalah salah satu gadis yang menikah
dengan laki-laki non sayyid. Awalnya ia merasa gelisah jika hanya harus
menunggu hingga berusia 26 tahun. Hingga pada suatu hari seorang laki-laki
Habib Ahmad as-Segaf, ayah dari syarifah Nanik dan minta izin untuk berteman
dengannya. Bermula dari itu, mereka menjadi lebih dekat. Sampai akhirnya
tetapi Habib Ahmad mulai berubah pikiran karena terpengaruh ucapan para
42
Alisha Fakhira, Dinamika Organisasi Rabithah Alawiyah 1928-1958 (Bandung: Skripsi
Universitas Padjajaran, 2019), 2.
19
tetangga yang tidak mendukung dan menyalahkan jika seorang syarifah harus
menikah dengan lelaki yang bukan sayyid. Akhirnya Habib Ahmad tidak setuju
dan melarang. Syarifah Nanik berusaha meyakinkan Habib Ahmad agar dapat
Nanik tetapkan adalah Islam, berakhlak baik, mempunyai pekerjaan, jujur, setia
putrinya yang ingin menikah dengan laki-laki non sayyid. Tanpa diduga, Habib
Abdur Rahman setuju dan mengizinkan asal lelaki itu beragama Islam. Akhirnya
pada tahun 1988 di kediaman Habib Ahmad dengan dihadiri dua orang saksi dari
keluarga Habib Ahmad dan mahar sejumlah uang tunai serta disaksikan oleh para
tabu, disalahkan, dan bahkan ia harus menanggung malu hingga mati karena
menikah dengan orang jawa. Namun ia yakin bisa melalui semua itu karena
habāib dan syarifah lainnya. Terkadang ia merasa minder jika berkumpul dengan
sesama orang Arab dari marga as-Segaf. Ia merasa rendah diri dan merasa salah
keluarga dan para habāib. Syarifah yang telah dikaruniai 4 anak ini mengaku
Lain lagi kisah yang dialami syarifah Anis binti Idrus al-Hamid. Ia mengaku
bermaksud untuk menikah. Akan tetapi ketika meminta restu pada keluarga,
mereka tidak setuju. Syarifah dari marga al-Hamid ini mencoba meyakinkan agar
Zubaidi, sang ibu mulai luluh. Ia mulai mengerti keadaan putrinya. Ia bahkan
meminta kepada Habib Idrus, suaminya agar mau menjadi wali jika putrinya
menikah. Tapi nyatanya Habib Idrus tetap tidak setuju dan menentang keputusan
mendapat restu dari Habib Idrus al-Hamid dan hasrat untuk menikah. Akhirnya
syarifah Anis tetap memutuskan untuk menikah dengan Zubaidi, walau tanpa
dengan dihadiri dua orang saksi dari keluarga Zubaidi dan mahar uang tunai Rp.
50.000. Adapun yang menjadi wali adalah wali hakim. Setelah menikah, ia
43
Syarifah Nanik as-Segaf, Wawancara, Probolinggo, 09 Juni 2012. Selanjutnya: Lihat:
Masruroh, Pernikahan Syarifah dan non Sayiid di Patokan Kraksaan Probolinggo Perspektif Imam
Malik dan Imam Syafi’i (AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume
04, Nomor 01, Juni 2014), 112
21
dengan laki-laki non sayyid. Pada tahun pertama menikah, syarifah Anis dan
Setelah dua tahun bekerja di luar negeri, syarifah Anis memutuskan untuk pulang
Tanah Air, ia kembali ke rumah orang tuanya di Desa Bulu. Sejak itulah Habib
Idrus al-Hamid mulai lunak dan menerima keadaan putrinya yang telah menjadi
istri orang Madura. Tahun 1986, anak pertama mereka lahir. Setahun kemudian
Semampir dan menjadi pekerja swasta. Sayangnya Habib Idrus al-Hamid wafat 6
pada tahun 2010 lalu, ia tidak menikah lagi. Ia bertekad menjaga anak-anak dan
cucu-cucunya.44
dan kalangan Arab dari marganya dan seakan-akan syarifah itu telah lepas dari
keluarganya. Begitu pula yang disampaikan Habib Ali al-Jufri. Ia tidak pernah
syarifah harus menjaga agar keturunan mereka tetap bersambung silsilahnya pada
44
Ibid., 113.
45
Ibid., 114.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kafa’ah adalah keserasian antara calon suami dan calon istri agar pihak-
hadis riwat Ibnu Madja, ad-Daruquthni, Abu Dawud dan lain-lain. Ulama
sepakat bahwa kafa’ah merupakan hak wanita dan walinya, namun yang
menjadi ukuran kafa’ah adalah agama dan bebas dari cacat (rohani/
sosial.
di antara keduanya, karena itu non sayyid dan syarifah tidak boleh
syarifah dianggap tidak sekufu dengan non sayyid, jika menikah merusak
ridha dari wali ketika anak wanitanya menikah dengan laki-laki yang
berlaku. Jika ini terjadi maka yang bersangkutan akan dikucilkan dari
B. Saran-saran
Sebagian orang memahami kufu' secara tidak tepat, oleh karena itu,
dalam usia, sepadan dalam kekayaan, sepadan dalam kecantikan dan ketampanan,
sepadan dalam kedudukan dan tingkat sosial, sepadan dalam jenjang pendidikan,
bahkan ada yang menambahkan sepadan dalam tinggi dan berat badan dan
sepadan dalam warna kulit adalah kurang tepat. Janganlah memilih pasangan
karena kecantikan atau ketampanan, karena cantik dan tampan akan pudar
dimakan usia, janganlah pula menikahi karena kekayaan, karena hanya titipan
Allah yang bisa saja hilang seketika dan/ atau harta menjadikan seseorang ingkar
nikmat. Akan tetapi nikahilah mereka berdasarkan agamanya, sebab agama dapat
DAFTAR PUSTAKA
Almasyhur, Idrus Alwi. Sekitar Kafaah Syarifah Dan Dasar Hukum Syar’iahnya.
t.tp., t. th.
Alwi, Sayyid Bin Ahmad Assagaf, Hasyiah Fathul Muin. t. tp., Dar Haya al
Kutub al Arabiyah.
Andri, Urgensi Kafa’ah Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pada Pasal 15
Ayat 1, Jurnal An-Nahl, Vol. 8, No. 1, Juni 2021.
Azis, Muh Ilham. at. all., Tinjauan Hukum Islam Terhadap Nilai-Nilai Kafaah
dalam Praktik Perkawinan Sayyid di Sulawesi Selatan, Jurnal Al-Qad{a>u Vol.
8 Nomor 2 Deseember 2021.
Faishal. Syaikh bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Bustanu al-Akhbar Mukhtasyaru
Nailul Authar Jilid 3, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Fatimah, Siti. Konsep Kafaah dalam Pernikahan menurut Islam: Kajian Normatif,
Sosiologis, dan Historis, As-Salam: Vol. VI, No. 2, Th. 2014.
Nur, Djamaan. Fiqih Munakahat, Cet. Ke-1, Semarang: CV. Toha Putra, 1993.
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004.
Syahab, Umar Muhdor. Tuntunan dan Tanggung Jawab terhadap Ahlul Bait dan
Kafaahnya, Jakarta: Yayasan Nusantara, 1999.
Taufik, Otong Husni. Kafa’ah dalam Pernikahan Menurut Hukum Islam, Jurnal
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Galuh, Volume 5,
No. 2, September, 2017.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Zahrah, Muhammad Abu Aqd Az-Zawaj wa Asaruh, Kairo: Dar al-Fikr al-Arobi,
1957.