Anda di halaman 1dari 29

Makalah Revisi

KAFA’AH DI KALANGAN AHLUL BAIT NABI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Problematika Hukum Keluarga Kontemporer”

Oleh:
BASRIN OMBO
NIM. 03210122006

Dosen Pengampuh:

Prof. DR. H. Sagaf S. Pettalongi, M. Pd


Prof. DR. Marzuki, MH

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) DATOKARAMA
PALU SULAWESI TENGAH
2023
KATA PENGANTAR


‫ والصالة والسالم على اشرف االنبياء والمرسلين وعلى اله واصحابه اجمعين‬.‫الحمد هلل رب العالمين‬
"‫"اما بعد‬

Puji syukur kehad{irat Allah swt. yang melimpahkan RahmatNya sehingga

masih dapat melaksanakn aktivitas sehari-hari. Salawat serta salam semoga tercurah

keharibaan junjungan nabi besar Muhammad saw., sang pencerah, revolusioner sejati

dan pembebas kaum mustad{‘afi>n.

Penulisan makalah ini merupakan keharusan sebagai pengantar diskusi mata

kuliah “Problematika Hukum Keluarga Kontemporer” yang diharapkan melahirkan

gagasan-gagasan baru, menemukan permasalahan dan mencari solusinya secara

bersama dengan harapan dapat menjadi pertimbangan rujukan dikemudian hari.

Kesalahan dan kekurangan pasti ada, karena itu mohon saran, masukan dan

kritikan yang bersifat konstruktif demi perbaikan selanjutnya. Akhirnya hanya

kepada Allah jualah penulis berserah diri.

Poso, Juni 2023


Penulis,

Basrin Ombo
NIM. 03210122006

i
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ....................................................................................................................


Kata Pengantar ...................................................................................................................... i
Daftar Isi ..............................................................................................................................ii

BAB I. Pendahuluan .................................................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 3

BAB II. Pembahasan ..................................................................................................... 4


A. Kafa’ah menurut Hukum Islam ................................................................ 4
1. Pengertian Kafa’ah ............................................................................. 4
2. Dasar Hukum Kafa’ah ........................................................................ 5
3. Konsep Kafa’ah menurut Ulama ........................................................ 8
4. Kafa’ah dalam Konsep Alawiyyin ................................................... 10
B. Pernikahan non sayyid dengan syarifah menurut ulama ........................ 12
C. Dampak Hukum Pernikahan non sayyid dengan syarifah...................... 15
D. Analisis Studi Kasus di Indonesia .......................................................... 17

BAB III. Penutup .......................................................................................................... 22


A. Kesimpulan ............................................................................................ 22
B. Saran-saran ............................................................................................ 23

Daftar Pustaka ................................................................................................................... 25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan pintu gerbang dalam membentuk bangunan rumah

tangga yang sah, legal dan diakui. Tujuannya adalah untuk membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Di samping itu, pernikahan juga merupakan realisasi kehormatan bagi manusia

dalam rangka penyaluran seks, dengannya akan diperoleh ketenangan dalam

hidup, dapat menjadi benteng dalam menjaga kehormatan diri dari pandangan

mata dan untuk mendapatkan keturunan.2 Islam memandang pernikahan sebagai

suatu cita-cita ideal yang tidak hanya mempersatukan antara laki-laki dan

perempuan tetapi juga merupakan kontrak sosial dengan seluruh aneka ragam

tugas dan tanggung jawab. Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,

yaitu sebuah ikatan atau akad yang sangat kuat.3 Allah swt. menyebutkan bahwa

perjanjian nikah adalah ikatan yang sangat kuat (misaqan galizan). 4 Perkawinan

adalah sebuah perbuatan yang diharapkan untuk menciptakan keharmonisan

dalam bangunan rumah tangga, oleh karena itu ada sarana yang dilakukan untuk

menggapainya, salah satu sarana itu adalah kafa’ah. Persoalan kafaa’h dalam

1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 sebagai pengganti Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1.
2
Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan Membinan Keluarga Sakinah menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah (Jakarta: Akademika Pressindo, 2002), 15-22.
3
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Cet. Ke-1 (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), 5.
4
Kata misaqan galizan (perjanjian yang agung) disebutkan Allah dalam al-Qur’an sebanyak 3
kali, yakni perjanjian antara Allah swt. dan Nabi-nabi ulum azmi (al-Ahzab ayat 7), perjanjian
antara Allah swt. dan Bani Israil (an-Nisa ayat 54), dan perjanjian agung antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan (an-Nisa ayat 21). Selanjutnya lihat: Dedi
Junaedi, Bimbingan Perkawinan., 121.
2

perkawinan menjadi sangat penting dalam rangka membina keserasian dalam

kehidupan berumah tangga. Hal ini disebabkan oleh masih seringnya didapati

keluarga yang telah menjalankan biduk rumah tangga, setelah sekian tahun

berjalan tiba-tiba muncul masalah yang baru diketahui kemudian akibat dari

tidak adanya kecocokan dari segi ekonomi, akhlak, strata sosial, pendidikan

maupun hobi. Perkawinan yang dilakukan hanya bermodalkan suka sama suka,

saling mencintai dan yakin benar bahwa dengan modal tersebut mereka akan

bahagia.

Kafa’ah dalam arti setara antara suami dan istri dalam kedudukan sosial,

agama, moral dan ekonomi ini menjadi salah satu indikator terciptanya

harmonisasi dalam hubungan kaluarga. Sebagai bagian kecil dari indikator untuk

meraih kebahagiaan keluarga, kafa’ah menjadi poin penting untuk dibicarakan

dalam kajian hukum keluarga Islam, agar menjadi terang benderang tentang arti

dan ukuran kafa’ah yang dimaksud menurut Islam dan bagaimana melihat

realitas sosial masyarakat sekarang.

Ahlul bait adalah anggota keluarga, famili, kerabat atau penghuni sebuah

rumah. Bagi masyarakat Arab pra Islam, kata ini digunakan untuk sebuah

keluarga dari suatu suku.5 Ahlul bait adalah: 1) keluarga seisi rumah, 2) keluarga

Nabi Muhammad saw.6 Bagi kaum sunni menyebutkan bahwa ahlul bait adalah

mereka dari keluarga Nabi dalam arti luas, meliputi istri-istri dan cucu-cucunya,

hingga kadang-kadang ada yang memasukkan mertua-mertua dan menantu-

5
Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islam (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), 772.
6
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa
Depertemen Pendidikan Nasional, 2008), 21.
3

menantunya, namun bagi kaum Syiah menyebutkan ahlul bait itu hanya

Rasulullah saw., Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husein dengan berdasar

pada keterangan Aisyah berikut:

“Aisyah menyatakan bahwa pada suatu pagi, Rasulullah keluar dengan


mengenakan kain bulu hitam yang berhias. Lalu, datanglah Hasan bin Ali,
maka Rasulullah menyuruhnya masuk. Kemudian datang pula Husain lalu
dia masuk bersamanya. Datang juga Fathimah, kemudian dia menyuruhnya
masuk. Kemudian datang pula Ali, maka dia menyuruhnya masuk, lalu dia
membaca ayat 33 surah al-Ahzab, "Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya”.7

Sayyid adalah suatu kata sapaan kepada orang Arab keturunan Nabi

Muhammad saw. atau tuan,8 jadi non sayyid adalah mereka bukan dari keturunan

nabi, sedang syarifah adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan

wanita yang merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. melalui cucu beliau

Husein bin Ali dan Hasan bin Fathimah az-Zahra dan menantunya yaitu Ali bin

Abi Thalib.9

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Kafa’ah menurut Hukum Islam?

2. Bagaimana pernikahan non sayyid dengan syarifah menurut ulama?

3. Bagaimana dampak hukum pernikahan non sayyid dengan syarifah?

4. Bagaimana analisis studi kasus pernikahan non sayyid dengan syarifah di

Indonesia?

7
M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Sahih Muslim (Jakarta: Gema Insani Press, 2005),
hadis no. 1656.
8
Kamus Bahasa Indonesia, 1275.
9
Zulkifli, Ensiklopedi Gelar Dalam Islam (Yogyakarta: Interprebook, 2011), 41.
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kafa’ah menurut Hukum Islam

1. Pengertian Kafa’ah

Kafa’ah secara bahasa dapat diartikan dengan kesamaan, kesepadanan,

sejodoh.10 Kafa’ah juga diartikan dengan persamaan atau perbandingan.11 Orang

biasa membahasakannya dengan sejodoh atau sama, serupa, seimbang atau serasi.

Maksudnya adalah keserasian antara calon suami dan calon istri agar pihak-pihak

yang berkepentingan tidak keberatan terhadap kelangsungan perkawinan

tersebut.12

Dalam istilah Fikih Munakahat dikenal dengan sebutan kafa’ah sinonim dari

kata al-musawah yaitu persamaan (kesebandingan atau keseimbangan) antara

calon suami di satu pihak dengan calon istri di lain pihak.13 Kafa’ah dalam arti

sederajat atau sebanding dimaksudkan agar kegoncangan dalam kehidupan

berumah tangga bisa teratasi. Dijelaskan oleh Mushtafa al-Khin dan Mustafa al-

Bugha dalam fikih al-Manhaji yang dimaksud kafa’ah adalah kesetaraan kondisi

suami terhadap kondisi istri.14 Kafa’ah dalam pernikahan adalah keseimbangan

dan keserasian antara calon istri dan calon suami sehingga masing-masing calon

10
Andri, Urgensi Kafa’ah Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pada Pasal 15 Ayat 1
(Jurnal An-Nahl, Vol. 8, No. 1, Juni 2021, 1 – 7)
11
Junaedi, Bimbingan Perkawinan., 72.
12
Otong Husni Taufik, Kafa’ah dalam Pernikahan Menurut Hukum Islam (Jurnal Dosen
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Galuh, Volume 5, No. 2, September, 2017), 170.
13
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), 82-83.
14
Nurcahaya, Konsep kafa’ah dalam hadis-hadis Hukum (Jurnal Syariah dan Hukum Vol. 03,
No. 02, Juli-Desember 2021), 26.
5

tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Atau laki-laki sebanding

dengan calon istrinya, sama dengan kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial

dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.15 Kafa’ah diartikan dengan

keseimbangan antara suami istri dari segi kedudukan, agama, keturunan, dan

semacmnya.16 Dari beberapa pengertian di atas, maka kafa’ah dapat diartikan

sebuah kondisi di mana antara calon suami dan calon istri memiliki kesamaan

dalam hal agama dan akhlak, selain itu pula memiliki kesamaan dalam hal strata

sosial, kedudukan, harta, bahkan sampai pada kebagusan wajah (cantik/ tampan).

2. Dasar Hukum Kafa’ah

Perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata semata, bukan sekadar urusan

keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah agama, karena itu perkawinan harus

dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah dan petunjuk Nabi. Perkawinan juga

bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk selama hidup.

Oleh karena itu, seorang mesti menentukan pilihan pasangan hidupnya itu secara

hati-hati dan dilihat dari berbagai segi.17 Allah swt. berfirman:

َ َ‫ان ا َ ْو ُم ْش ِركٌ َۚو ُح ِر َم ٰذلِك‬


َ‫علَى ْال ُمؤْ مِ ِنيْن‬ ٍ َ‫الزانِيَةُ َال يَ ْن ِك ُح َها ٓ ا َِّال ز‬
َّ ‫لزانِ ْي َال يَ ْن ِك ُح ا َِّال زَ انِيَةً ا َ ْو ُم ْش ِر َكةً ۖ َّو‬
َّ َ ‫ا‬

Terjemahnya:
“Pezina laki-laki tidak pantas menikah, kecuali dengan pezina perempuan
atau dengan perempuan musyrik dan pezina perempuan tidak pantas
menikah, kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik.
Yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.18

15
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2008), 56.
16
Siti Fatimah, Konsep Kafaah dalam Pernikahan menurut Islam: Kajian Normatif,
Sosiologis, dan Historis (As-Salam: Vol. VI, No. 2, Th. 2014), 110.
17
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 46.
18
Q.S. An-Nur/24: 3.
6

Ayat ini secara eksplisit tidak membicarakan tentang kafa’ah, tapi ayat ini

mengisyaratkan bahwa Islam memberi pedoman bagi orang yang ingin menikah

untuk memilih jodoh yang baik dan benar. Ketidaksederajatan bahkan cenderung

berlawanan arah dapat membawa dampak buruk terhadap kelangsungan hidup

rumah tangga. Ada beberapa hadis yang dapat dijadikan pedoman dalam ukuran

kafa’ah, sebagai berikut:

a. Riwayat Ibnu Majah

‫ ان ابي زوجني ابن‬:‫ جاءت فتاة الى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فقالت‬:‫عن عبدهللا بن بريدة عن ابيه قال‬
،‫ ولكن اردت أن تعلم النساء‬،‫ قداجزت ماصنع ابي‬:‫ ففقالت‬.‫ فجعل األمراليها‬:‫ قال‬.‫اخيه ليرفع بي حسيسته‬
)‫(رواه ابن ماجه‬.‫ان ليس إلى االباء من األمرشي ء‬
Artinya:
“Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dia menuturkan, “seorang gadis
datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata, Ayahku telah menikahkanku
dengan anak saudaranya dengan maksud untuk mengangkat martabatnya
melalui diriku, maka beliau menyerahkan putusan kepadanya, lalu gadis itu
berkata, aku menerima apa yang telah dilakukan oleh ayahku, tapi aku ingin
agar para wanita tahu bahwa setiap ayah tidak mempunyai hak
memutuskan". (HR' Ibnu Majah).19

‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم تخيروالنطفكم وانكحوااالكفاء وانكحوااليهم‬:‫عن عائشة قالت‬

Artinya:
“Dari ‘Aisyah ra. ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “pilihlah baik-baik
(tempat) untuk sperma kalian, menikahlah kalian dengan yang sekufu, dan
nikahkanlah anak-anak perempuan kalian kepada mereka (yang sekufu)”.20

b. Riwayat ad-Daruquthni

)‫ (رواه الدرقطنيي‬.‫ ألمنعن تزوج ذوات اال حساب إالمن اآلكفاء‬:‫عن عمر قال‬

Artinya:
“Dari Umar, ia mengatakan, "Sungguh aku akan melarang pernikahan para
gadis berkedudukan (berstatus sosial yang tinggi), kecuali dengan yang
sepadan. " (Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni).21

19
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Bustanu al-Akhbar Mukhtasyaru Nailul
Authar Jilid 3), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), 440.
20
Nurcahaya, Konsep Kafaah., 28.
21
Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Bustanu al-Akhbar, 441.
7

c. Riwayat at-Tirmizi

‫ اال‬،‫ اذاأتاكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫عن ابي حاتم المزني قال‬
‫ اذاجاءكم من ترضون دينه‬:‫ قال‬.‫ وإن كان فيه‬،‫ يا رسول هللا‬:‫ قالوا‬.‫تفعلوه تكن فتنة في األرض وفسا د كبير‬
)‫ هذا حديثحسن غريب‬،‫ وقال‬،‫ (رواه الترمذي‬.‫ ثالث مرات‬.‫وخلقه فأنكحوه‬

Artinya:
“Dari Abu Hatim al-Muzani, ia mengatakan, "Rasulullah saw. bersabda: Jika
datang kepada kalian seseorong (laki-laki) yang kalian rela terhadap agama
dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putri kalian). Jika tidak kalian
lakukan, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di bumi. Para
sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana bila ada padanya (sesuatu
yang tidak diridhai)? Beliau bersabda lagi, Jika datang kepada kalian
seseorang laki-laki yang kalian rela terhadap agama dan akhlaknya, maka
nikahkanlah dia (dengan putri kalian). tiga kali." (HR. At-Tirmidzi, dan ia
mengatakan, "Ini hadis hasan gharib".22

d. Bukhari, an-Nasa’i dan Abu Daud

‫ وكان ممن شهد بدرا مع النبي صلى هللا عليه‬،‫ ان أبا حزيفة بن عتبة بن ربيعة بن عبد شمس‬:‫عن عائشة‬
‫ (رواه البخاري‬.‫ وهو مولى امرأة من األنصار‬،‫ تبنى سالما وأنكحه ابنة اخيه الوليد بن عتبة بن ربيعة‬،‫وسلم‬
)‫والنسائي وابو داود‬

Artinya:
“Dari Aisyah, bahwasanya Abu Hudzaifuh bin Utbah bin Rabi'ah bin Abdi
Syams, salah seorang peserta perang badar bersama Nabi saw. mengangkat
Salim sebagai anak dan menikahkannya dengan putri saudaranya, yakni al-
Walid bin Utbah bin Rabi'ah. Salim adalah mantan budak seorang wanita
Anshar. (Diriwayatkan oleh Al Bukhari, An-Nasa'i dan Abu Daud).23

e. Riwayat Abu Dawud

‫ لمالها ولهسبها ولجمالها ولدينها‬،‫ تنكح النساء ألربع‬:‫عن ابى هريرة ان لنبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
)‫فاظفربذات الدين تربت يداك (رواه ابوداود‬

Artinya:
“Dari Abu Hurairah dari Nabi saw., Beliau berkata: “wanita dinikahi karena
empat perkara, yaitu: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan
karena agamanya. Carilah yang memiliki agama yang baik maka engkau
akan beruntung”.24

22
Ibid.,
23
Ibid., 442.
24
Nurcahya, Konsep Kafaah., 29.
8

f. Riwayat Imam Muslim

‫ تنكح المرءة ألربع لمالها ولهسبها ولجمالها‬:‫عن ابي هريرة رضي هللا عنه ان النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬
)‫ولدينها فاظفربذات الدين تربت يداك (رواه مسلم‬

Artinya:
“Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: ‘Wanita itu dinikahi
karena empat hal; karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya.
Namun dari empat itu paling utama yang harus jadi perhatian adalah
masalah agamanya. Perhatikanlah agamanya, maka kamu akan selamat."
(HR. Muslim).25

3. Konsep kafa’ah menurut ulama

Semua ulama sepakat bahwa kafa’ah merupakan hak seorang wanita dan

walinya, namun yang menjadi perbedaan pendapat adalah masalah dalam

menentukan unsur-unsur yang dinilai dalam kafa’ah. Adapun yang menjadi

unsur-unsur kafa’ah26 menurut ulama adalah sebagai berikut:

1. Dalam mazhab Maliki, yang menjadi ukuran kafa’ah adalah agama dan

bebas dari cacat (rohani/ jasmani)

2. Menurut ulama mazhab Hanafi adalah agama, Keislaman, kemerdekaan,

keturunan, kekayaan dan status sosial

3. Ulama mazhab Syafi’i menetapkannya adalah unsur agama, kemerdekaan,

keturunan, status sosial dan keadaan jasmani

4. Ulama mazhab Hambali menyebutkan agama, kemerdekaan, keturunan

kekayaan dan status sosial.

Ulama sepakat untuk menjadikan agama sebagai ukuran kafa’ah, namun

yang berkaitan dengan ukuran kesepadanan pada aspek kemanusiaan, ulama

25
Ibid., lihat juga: HR. Bukhari-Muslim, https://www.republika.co.id/berita/qbrb2o320/
pesan-rasulullah-saw-untuk-pemuda-yang-ingin-menikah.
26
Ibid, 31-32.
9

berbeda pendapat. Perbedaan itu tidak terlepas dari cara pandang tentang aspek-

aspek dalam kafa’ah, karena dipengaruhi oleh kondisi dan situasi para ulama

tersebut menetap, di samping itu disebabkan pula oleh cara dalam memahami

beberapa hadis yang menjadi dasar penetapan kafa’ah.

Semua ulama mengakui agama sebagai salah satu unsur kafa’ah yang paling

esensial.27 Sekufu dalam hal agama merupakan kesepakatan semua ulama.

Penempatan agama sebagai unsur kafa’ah tidak ada perselisihan dikalangan

ulama. Agama dimaksud adalah kebenaran dan kelurusan terhadap hukum-hukum

agama dan komitmen terhadap ajaran agama. Agama juga dapat diartikan dengan

kebaikan, istiqomah dan mengamalkan apa yang diwajibkan agama. Nasab

adalah asal usul, keturunan atau keberadaan seseorang berkenaan dengan latar

belakang keluarganya baik menyangkut kesukuan, kebudayaan maupun status

sosialnya. Kemerdekaan sebagai unsur kafa’ah erat kaitannya dengan masalah

perbudakan. Perbudakan diartikan dengan kurangnya kebebasan. Budak28 adalah

orang yang berada dibawah kepemilikan orang lain, yang tidak mempunyai hak

atas dirinya sendiri. Unsur kekayaan sebagai kriteria kafa’ah adalah kemampuan

seseorang untuk membayar mahar dan memenuhi nafkah. Tidak dapat dipungkiri

bahwa dalam kehidupan manusia terdapat stratifikasi sosial, ada yang kaya dan

ada yang miskin. Walaupun kualitas seseorang terletak pada dirinya sendiri dan

amalnya, namun kebanyakan manusia merasa bangga dengan nasab dan

bertumpuknya harta. Menurut Abu Yusuf, selama seorang suami mampu

27
Iffatin Nur, Pembaharuan Konsep Kesepadanan Kualitas (Kafa‟ah) dalam Al-Qur’an dan
Hadis, (Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 2012), 420.
28
Di masa sekarang, perbudakan sudah tidak ada, maka kriteria merdeka sebagai ukuran
kafa’ah tidak berlaku lagi.
10

memberikan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan nafkah dari satu hari ke

hari berikutnya tanpa harus membayar mahar, maka ia dianggap kafa’ah dengan

alasan bahwa kemampuan membayar nafkah itulah yang lebih penting untuk

menjalani kehidupan rumah tangga kelak. Sementara mahar dapat dibayar oleh

siapa saja di antara keluarganya yang mempunyai kemampuan misalnya bapak

ataupun kakek.29

Mazhab Maliki mencantumkan cacat (rohani/ jasmani) sebagai salah satu

unsur kafa’ah. Yang dimaksudkan adalah keadaan yang dapat memungkinkan

seseorang untuk dapat menuntut fasakh. Karena orang cacat dianggap tidak

sekufu dengan orang yang tidak cacat. Adapun cacat yang dimaksud adalah

meliputi semua bentuk cacat baik fisik maupun psikis yang meliputi penyakit

gila, kusta atau lepra.30

4. Kafaah dalam pandangan kalangan Alawiyyin

Semua imam mazhab dalam ahlu sunnah wal jama’ah sepakat akan adanya

kafa’ah walaupun mereka berbeda pandangan dalam menerapkannya. Salah satu

yang menjadi perbedaan tersebut adalah dalam masalah keturunan atau nasab.31

Dalam wawancara bersama Habib Reza bin Muhsin al Hamid beliau menjelaskan

secara detail bahwa para sadah Alawiyin memilih mazhab Ahmad bin Hanbal

dalam menikahkan putri-putri mereka. Jika seorang yang bukan keturunan Nabi

hendak menikahi putri mereka, harus mendapatkan keridhoan dari wanita itu dan

29
Muhammad Abu Zahrah, Aqd Az-Zawaj wa Asaruh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arobi, 1957),
188.
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah, (Lebanon:Daar Kutub, 2010), 58.
30

Idrus Alwi Almasyhur, Sekitar Kafaah Syarifah Dan Dasar Hukum Syar’iahnya (t.tp., t.
31

th), h. 18.
11

dari seluruh walinya baik yang dekat maupun yang jauh. Dan itu adalah hampir

tidak mungkin mengingat telah tersebarnya para wali wanita di berbagai penjuru

sehingga sulit untuk mengumpulkan dan meminta keridhoan mereka semua. Ini

karena dengan menikahkan wanita syarifah kepada yang bukan keturunan Nabi

akan menimpakan aib kepada keluarga mereka semua.32 Al Allamah Alwi bin

Ahmad Assegaf dalam Hasyiah Fathul Muin mengatakan:

‫ قد أجيب‬،‫ قد َّزوج سيدنا علي َّكرم هللا وجهه بناته االلتي أ مهن فاطمة الزهراء من غير بني هاشم‬:‫فإن قيل‬
‫ بأ َّن في ذلك الوقت لم يكثر انتشار من له حق في هذا النسب الطاهر بل هو موجود وحاضر فال‬:‫عن ذلك‬
‫وانتشروا‬ ‫كثروا‬ ‫أن‬ ‫بعد‬ ‫وأ َّما‬ ،‫بذلك‬ ‫ورضاهم‬ ‫الكل‬ ‫اجتماع‬ ‫يعسر‬
ْ ْ‫ل ْنهذا‬،ْْ ‫الرضى‬
‫الحق‬ ِ ‫ْتعذرذل ْكاالجتماع ْْو‬
ْ ‫ْأقطاراِلرض‬
ْ ‫في‬
‫ِلخرى من مذهب‬
ْ ْ
‫ْالروايةا‬
‫ْوبعضه ْماعتمد‬.‫متعذرفافه ْم‬
ْ ْ ‫لهذاْالنسبْراج ْع‬
ْ ‫لكلم ْنانتسبْإلىْالحسني ْنورضاْجمي ْعأوالدهما‬
.‫أحمد وهي عدم صحة النكاح وإ ن رضي اِلولياء ِلن الكفاءة من حق هللا‬
Artinya:
“Jika dikatakan Sayyidina Ali telah menikahkan putra putrinya yang ibunya
adalah Fatimah kepada selain Bani Hasyim. Maka dijawab kepadanya:
Bahwa di masa itu tidak banyak tersebar orang yang memiliki nasab suci
semuanya ada dan dapat hadir sehingga tidak sulit untuk mengumpulkan
mereka dan meminta keridhoan mereka semua. Adapun setelah mereka
menjadi banyak dan tersebar di berbagai penjuru dunia maka sulit untuk
mengumpulkan mereka dan mengambil ridho mereka semua. Sebab itu hak
bagi nasab ini kembali kepada semua orang yang bernasab kepada Hasan dan
Husain, dan mendapatkan keridhoan semua keturunan keduanya adalah tidak
mungkin, maka fahamilah! Sebagian mereka memuktamadkan riwayat lain
dari Madzhab Ahamad yaitu tidak sah menikahkan walau semua wali ridho
sebab kafaah adalah hak Allah”.33

Muh Ilham Azis, at. all., Tinjauan Hukum Islam Terhadap Nilai-Nilai Kafaah dalam
32

Praktik Perkawinan Sayyid di Sulawesi Selatan (Jurnal Al-Qad{a>u Vol. 8 Nomor 2 Deseember
2021), h. 67.
33
Sayyid Alwi Bin Ahmad Assagaf, Hasyiah Fathul Muin (t. tp., Dar Haya al Kutub al
Arabiyah) h. 315.
12

B. Pernikahan non sayyid dengan syarifah menurut ulama

Sebelum menjelaskan tentang pernikahan antara laki-laki non sayyid dengan

perempuan syarifah dalam struktur masayakat Arab, terlebih dahulu diberikan

penjelasan tentang pengertian dari masing-masing istilah tersebut agar

memudahkan pemahaman terkait dengan istilah-istilah dimaksud, yakni syarifah,

non sayyid, habib atau habaib.

Secara umum, syarifah berkaitan erat dengan keturunan Rasulullah saw.

yang terjaga hingga saat ini. Syarif untuk sebutan laki-laki atau syarifah sebutan

untuk perempuan sendiri adalah keturunan Nabi Muhammad dari jalur Hasan.

Sementara itu, sayyid (sayyidah untuk perempuan) ialah keturunan Nabi

Muhammad dari jalur Husein.34 Hasan dan Husein ialah anak dari Ali bin Abu

Thalib yang menikah dengan putri Nabi Muhammad, Fatimah. Syarifah adalah

gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan wanita yang merupakan

keturunan Nabi Muhammad saw. melalui cucu beliau Husein bin Ali dan Hasan

bin Fathimah az-Zahra dan menantunya yaitu Ali bin Abi Thalib.35 Dalam

Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa syarifah adalah wanita yang mulia

sebutan bagi wanita keturunan Nabi Muhammad saw. yang langsung dari

Husein.36

Kata non dalam Bahasa Inggris berarti bukan, sedang kata sayid berarti 1)

kata sapaan kepada orang Arab keturunan Nabi Muhammad saw., tuan; 2) orang

34
M. Hardi, Memahami Pengertian Syarifah beserta Pandangan Ulama tentang Syarifah
(https://www.gramedia.com/literasi/syarifah-adalah/), dikakses tanggal 10 Mei 2023.
35
Zulkifli, Ensiklopedi Gelar Dalam Islam (Yogyakarta: Interprebook, 2011), 41.
36
Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008),
h. 1402.
13

Arab keturunan Nabi Muhammad saw.37 Non sayyid laki-laki bukan dari

keturunan Nabi Muhammad saw. Istilah lain adalah habib atau habaib yang

berarti panggilan kepada orang arab yang bergelar sayyid.38

Dalam fikih munakahat didapati anjuran adanya kesetaraan baik dari segi

agama seperti iffah (keterjagaan dari maksiat), atau hirfah (mata pencaharian),

aib nikah, merdeka, maupun nasab. Mayoritas ulama seperti Syafi'iyah dan

Hanabilah beranggapan bahwa kafa'ah adalah sunnah dalam pernikahan.

Sedangkan menurut Hanafiyyah, kafa'ah adalah perkara yang wajib. Bagi mereka,

kafa'ah atau kesetaraan dilihat dari segi agama, nasab dan lain-lain. Beda halnya

dengan Malikiyah yang berpendapat bahwa kafa'ah cukup ditinjau dari agama

saja, tanpa harus memandang pada perkara-perkara yang lain. Dengan demikian,

maka tak heran bila ulama Hadramaut begitu memelihara kafa’ah nasab. Lebih-

lebih lagi mereka yang bernasab kepada Rasulullah saw. yang kerap dikenal

sebagai ahlu bait Rasulullah saw. dan dijuluki Sayyid/ Syarif (untuk laki-laki)

dan Sayyidah/ Syarifah (untuk perempuan).

Pernikahan non sayyid dengan syarifah menurut ulama Syafiiyah, Hanafiah,

dan Hanabilah dianggap tidak sekufu karena perbedaan nasab di antara keduanya,

karena itu non sayyid dan syarifah tidak boleh melangsungkan perkawinan

karena dianggap tidak sederajat, sedangkan ulama Malikiyyah, keturunan

bukanlah ukuran kafaah, maka non sayyid dan syarifah boleh melangsungkan

perkawinan, sebab ukuran kafaah adalah hanya agama.

37
Depertemen Pendidikan Nasional, h. 1276-1277.
38
Ibid., 499.
14

Di Hadramaut, seorang syarifah tidak boleh dinikahkan kecuali dengan

sayyid, dengan argumen menjalankan sunnah tentang adanya kesetaraan antara

kedua calon pengantin, baik itu dari segi agama seperti iffah (keterjagaan dari

maksiat), hirfah (mata pencaharian), aib nikah, merdeka, maupun nasab. Ulama

Hadramaut sangat memelihara kafa'ah nasab, lebih-lebih bagi yang bernasab

melantas kepada Rasulullah saw. yang kerap dikenal sebagai ahlu bait. Kekangan

ini hanya berlaku kepada syarifah yang kepingin menikah dengan non sayyid.

Namun, bila seorang sayyid hendak menikahi non syarifah, maka akan terlepas

dari belenggunya. Sebab, persoalan nasab akan menjalur kepada sang ayah, bukan

kepada ibu (kecuali dalam beberapa masalah). Ulama Hadramaut menetapkan

fatwa ketidakabsahan perkawinan antara syarifah dengan non sayyid, yang

demikian itu semata-mata demi melindungi kelestarian nasab Rasulullah saw.

agar tak terputus dan terus bersambung hingga hari kiamat. Dalam kitab

Umdatul Mufti wal Mustafti, Mufti Hadramaut, Imam Jamaluddin Muhammad

bin Abdurrahman Al-Ahdal menyebutkan:

"Tidak boleh bagi seorang syarif (Sayyid) mengawinkan anak perempuannya


(syarifah) dengan selain syarif, namun andaikata ia (syarifah) telah baligh
dan ridha, maka diperkenankan baginya melakukan hal tersebut. Karena
persolaan kesetaraan (kafa'ah) merupakan hak bagi perempuan dan walinya,
dan jika salah satunya menafikan perkara tersebut, hilanglah anjuran
kesetaraan dalam pernikahan."39

39
Miftah H. Yusufpati, Apakah Syarifah Boleh Menikah dengan Laki-Laki Non-Sayyid?
https://kalam.sindonews.com/read/895729/70/apakah-syarifah-boleh-menikah-dengan-laki-laki-
non-sayyid-1664179781/20 (diakses tanggal 1 Juni 2023)
15

C. Dampak hukum pernikahan non sayyid dengan syarifah

Pernikahan menurut hukum Islam dianggap sah jika telah memenuhi syarat

dan rukun pernikahan. Tetapi terdapat pula aturan lain yang harus dipenuhi

menurut literatur kitab-kitab fikih klasik yakni konsep kafa’ah yaitu kesepadanan

dari pihak laki-laki kepada pihak wanita dalam berbagai hal yang telah disepakati

oleh mayoritas ulama, di antaranya: agama, nasab, pekerjaan dan merdeka. Status

kafa’ah dalam pernikahan merupakan suatu hal yang dipertimbangkan dan

anjuran bagi seseorang sebelum memasuki jenjang pernikahan, status kafa’ah

akan berubah menjadi syarat pernikahan ketika tidak ada ridho dari wali. Dari

konsep inilah kemudian melahirkan adanya hukum pelarangan pernikahan antara

non-sayyid dengan syarifah, yang berdampak hukum sebagai berikut:

1. Seorang syarifah dianggap tidak sekufu dengan non sayyid, jika menikah

merusak atau memutus nasab keturunan Rasulullah saw.

2. Tidak mendapatkan ridha dari wali ketika anak wanitanya menikah

dengan laki-laki yang tidak sekufu. Pada umumnya mayoritas haba>ib

dikalangan Jam’iyyah Rabithah Alawiyyah di Indonesia melarang dan

tidak ridha jika anak wanita mereka menikah dengan laki-laki non-sayyid.

3. Ketika ada syarifah yang nekad menikah dengan non sayyid, maka

otomatis syarifah tersebut akan terputus hubungan silaturahim dengan

keluarga besarnya dan dianggap telah meninggal dunia dan tidak diakui

anak cucunya kelak

4. Beberapa kalangan habaib mengatakan bahwa pernikahan anak

perempuannya yang syarifah dengan laki-laki non sayyid hukumnya


16

bukan haram tapi hanya sebuah larangan. Jika ada seorang syarifah

menikah dengan seorang laki-laki non sayyid dan kedua orang tua saling

ridha, apabila pernikahan telah terjadi dan orang tua syarifah telah saling

ridha, maka hukum pernikahan tersebut menjadi sah, apabila pernikahan

telah terjadi dan orang tua tidak saling ridha, maka hukum pernikahannya

tidak sah dan apabila syarifah dengan laki-laki non sayyid menghasilkan

keturunan, maka anak tersebut putus nashabnya dari ibunya sebab nashab

itu jatuhnya kepada sang ayahnya yang non sayyid bukan sang ibu yang

syarifah. Jadi anak dari Syarifah dan laki-laki non sayyid kalau

melahirkan anak laki-laki atau perempuan maka bukan lagi sayyid atau

syarifah melainkan non sayyid atau non syarifah, sedangkan hukum setara

nasab para syarifah adalah wajib dalam rangka menjaga hubungan

kefamilian keturunan anaknya kepada Nabi Muhammad saw.

5. Umar Muhdor Syahab mengatakan bahwa manakala wanita-wanita dari

anak keturunan Hasan dan Husein (syara’if) menikah dengan laki-laki

yang tidak berhubungan nasab dengan Rasulullah saw., maka untuk anak-

anaknya nanti jelas terputus hubungan nasabnya dengan Rasulullah saw.,

yang berarti tidak dapat a) Tindakan wanita-wanita tersebut merupakan

tindakan yang menghinakan diri, secara tidak langsung menunjukkan

ketidaksukaannya terhadap status kemuliaan nasabnya, tidak bersyukur

atas karunia Allah swt, yang tanpa diminta dan tidak bisa diminta oleh

siapapun, hanya dengan takdir saja bisa mendapatkannya. b) Dia

berkhianat terhadap amanah Allah swt, dari Rasul-Nya guna menjaga tali
17

kefamilian dengan Rasulullah saw, dan tidak beramanah menyampaikan

kepada anak-anaknya agar dapat bersambung nasabnya dengan Rasulullah

saw. c) Dia dikatakan menjaga amanah bila memeliharanya,

menempatkan semestinya dan termasuk pula harus menampilkan Syara’if

menjadi sosok keteladanan yang diharapkan Rasulullah saw, bagi

umatnya yang tidak terlepas dari tuntuanan Al-Qur’an dan Sunnah. d)

Tindakan laki-laki yang menikahinya atau wali yang merestui dan

membiarkannya, merupakan suatu keberanian dan kelancangan dalam

melanggar serta memutuskan hubungan nasabnya yang mulia dan ini juga

termasuk sikap menentang ancaman Allah swt melalui Rasul-Nya.

Disamping itu hal tyersebut dapat menyakiti hati Rasulullah saw.40

D. Analisis studi kasus di Indonesia

Di Indonesia terdapat banyak kalangan haba>ib yang tergabung dalam

Jam’iyyah Rabithah Alawiyyah. Sebutan Alawiyyin, karena berasal dari bani

Alawi, keturunan Baginda Rasulullah saw. atau dzurriyah Ar-Rasul> yang

nasabnya melalui sayyidina Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa

bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein putera sayyidina Ali

bin Abi Thalib dn Sayyidah Fatimah binti Rasulullah saw.41

Selain keturunan Sayyidina Husein, keturunan Sayyidina Hasan juga disebut

dzuriyyah Ar-Rasu>l. Mereka dikenal dengan sebutan Syarif, yang dalam bentuk

40
Umar Muhdor Syahab. Tuntunan dan Tanggung Jawab terhadap Ahlul Bait dan Kafaahnya
(Jakarta: Yayasan Nusantara, 1999), 32.
41
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia (Malang: Pustaka
Basma, 2013), 3-4.
18

jamak disebut Asyraf. Sedangkan keturunan Sayyidina Husein dikenal dengan

sebutan Sayyid, dalam bentuk jamak disebut Saadat. Dalam Dunia Arab istilah

Syarif digunakan oleh keturunan Hasan bin Ali, sedangkan gelar Sayyid

digunakan oleh keturunan Husain bin Ali.42 Sedangkan di Indonesia, baik

keturunan Sayyidina Hasan ataupun Sayyidina Husein tersebut dipanggil dengan

sebutan Habib (bentuk tunggal dari Habaib).

Dalam kalangan haba>ib ini mensyaratkan keturunan sebagai ukuran kafa’ah

dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam upaya menjaga nasab, bahkan jika

perkawinan tersebut dilakukan maka akan merusak keturunan Rasulullah saw.

Berikut ini kasus di Indonesia, yakni di Probolinggo (desa Patokan Kec.

Kraksakan) terdapat dua kasus peristiwa perkawinan non sayyid dan syarifah.

1. Pernikahan Syarifah Nanik binti Ahmad as-Segaf

Syarifah Nanik binti Ahmad as-Segaf adalah salah satu gadis yang menikah

dengan laki-laki non sayyid. Awalnya ia merasa gelisah jika hanya harus

menunggu ada sayyid yang ingin menikahinya. Namun ia masih bersabar

menunggu hingga berusia 26 tahun. Hingga pada suatu hari seorang laki-laki

keturunan Jawa bernama Sudarso datang ke rumah syarifah Nanik. Ia menemui

Habib Ahmad as-Segaf, ayah dari syarifah Nanik dan minta izin untuk berteman

dengannya. Bermula dari itu, mereka menjadi lebih dekat. Sampai akhirnya

Sudarso menyatakan kehendak untuk menikahi syarifah Nanik. Melihat

kesungguhan dan keseriusan Sudarso, awalnya Habib Ahmad merestui. Akan

tetapi Habib Ahmad mulai berubah pikiran karena terpengaruh ucapan para

42
Alisha Fakhira, Dinamika Organisasi Rabithah Alawiyah 1928-1958 (Bandung: Skripsi
Universitas Padjajaran, 2019), 2.
19

tetangga yang tidak mendukung dan menyalahkan jika seorang syarifah harus

menikah dengan lelaki yang bukan sayyid. Akhirnya Habib Ahmad tidak setuju

dan melarang. Syarifah Nanik berusaha meyakinkan Habib Ahmad agar dapat

merestui mereka. Ia mengatakan bahwa Sudarso sudah memenuhi kriteria laki-

laki yang dapat menjadi pasangannya. Di antara kriteria-kriteria yang Syarifah

Nanik tetapkan adalah Islam, berakhlak baik, mempunyai pekerjaan, jujur, setia

pada pasangan, dan dapat saling menerima dengan keluarga masing-masing.

Namun Habib Ahmad masih belum bergeming. Sementara syarifah Nanik

berusaha mendapat restu, Habib Ahmad menghubungi pamannya, Habib Abdur

Rahman as-Segaf yang menjadi ulama di Jakarta. Ia menceritakan keadaan

putrinya yang ingin menikah dengan laki-laki non sayyid. Tanpa diduga, Habib

Abdur Rahman setuju dan mengizinkan asal lelaki itu beragama Islam. Akhirnya

Habib Ahmad menyetujui kehendak putrinya. Pernikahan pun dilangsungkan

pada tahun 1988 di kediaman Habib Ahmad dengan dihadiri dua orang saksi dari

keluarga Habib Ahmad dan mahar sejumlah uang tunai serta disaksikan oleh para

tamu dari kedua keluarga tersebut. Syarifah Nanik mengakui pernikahannya

tabu, disalahkan, dan bahkan ia harus menanggung malu hingga mati karena

menikah dengan orang jawa. Namun ia yakin bisa melalui semua itu karena

melihat kesungguhan Sudarso. Setelah menikah, kehidupan mereka tidak pernah

bermasalah dengan keluarga syarifah Nanik. Namun tidak demikian dengan

habāib dan syarifah lainnya. Terkadang ia merasa minder jika berkumpul dengan

sesama orang Arab dari marga as-Segaf. Ia merasa rendah diri dan merasa salah

karena menikah dengan orang Jawa. Tapi ia mengembalikan semuanya pada


20

takdir. Meski demikian ia bersyukur karena suaminya bisa membaur dengan

keluarga dan para habāib. Syarifah yang telah dikaruniai 4 anak ini mengaku

sangat mencintai suaminya. Ia bahkan mengatakan bahwa suaminya tak bisa

tergantikan oleh sejuta habāib.43

2. Pernikahan Syarifah Anis binti Idrus al-Hamid

Lain lagi kisah yang dialami syarifah Anis binti Idrus al-Hamid. Ia mengaku

jatuh cinta pada laki-laki keturunan Madura bernama Zubaidi. Keduanya

bermaksud untuk menikah. Akan tetapi ketika meminta restu pada keluarga,

mereka tidak setuju. Syarifah dari marga al-Hamid ini mencoba meyakinkan agar

mereka bisa mendapatkan restu keluarga. Melihat kesungguhan anak dan

Zubaidi, sang ibu mulai luluh. Ia mulai mengerti keadaan putrinya. Ia bahkan

meminta kepada Habib Idrus, suaminya agar mau menjadi wali jika putrinya

menikah. Tapi nyatanya Habib Idrus tetap tidak setuju dan menentang keputusan

syarifah Anis. Dalam keadaan yang membingungkan karena belum juga

mendapat restu dari Habib Idrus al-Hamid dan hasrat untuk menikah. Akhirnya

syarifah Anis tetap memutuskan untuk menikah dengan Zubaidi, walau tanpa

restu ayahnya. Ia menikah secara agama di Desa Sidomukti, kediaman Zubaidi

dengan dihadiri dua orang saksi dari keluarga Zubaidi dan mahar uang tunai Rp.

50.000. Adapun yang menjadi wali adalah wali hakim. Setelah menikah, ia

mengakui hubungannya dengan keluarga mulai merenggang. Terkadang ia

merasa minder Ketika berkumpul dengan keluarga besarnya karena menikah

43
Syarifah Nanik as-Segaf, Wawancara, Probolinggo, 09 Juni 2012. Selanjutnya: Lihat:
Masruroh, Pernikahan Syarifah dan non Sayiid di Patokan Kraksaan Probolinggo Perspektif Imam
Malik dan Imam Syafi’i (AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume
04, Nomor 01, Juni 2014), 112
21

dengan laki-laki non sayyid. Pada tahun pertama menikah, syarifah Anis dan

suaminya menetap di Desa Sidomukti. Mereka mengesahkan pernikahan secara

hukum positif dengan mengajukan Isbat Nikah di Pengadilan Agama Kraksaan.

Setelah dua tahun bekerja di luar negeri, syarifah Anis memutuskan untuk pulang

karena ia hamil, sedangkan Zubaidi tetap bekerja sebagai TKI. Sesampainya di

Tanah Air, ia kembali ke rumah orang tuanya di Desa Bulu. Sejak itulah Habib

Idrus al-Hamid mulai lunak dan menerima keadaan putrinya yang telah menjadi

istri orang Madura. Tahun 1986, anak pertama mereka lahir. Setahun kemudian

Zubaidi pulang ke Indonesia. Mereka berdua kemudian mengontrak di Kelurahan

Semampir dan menjadi pekerja swasta. Sayangnya Habib Idrus al-Hamid wafat 6

tahun kemudian setelah sebelumnya telah merestui pernikahan mereka. Syarifah

Anis menyatakan bahwa hidupnya bahagia. Bahkan setelah suaminya meninggal

pada tahun 2010 lalu, ia tidak menikah lagi. Ia bertekad menjaga anak-anak dan

cucu-cucunya.44

Para habaib memberikan tanggapan negatif. Ia akan dikucilkan oleh keluarga

dan kalangan Arab dari marganya dan seakan-akan syarifah itu telah lepas dari

keluarganya. Begitu pula yang disampaikan Habib Ali al-Jufri. Ia tidak pernah

mendukung pernikahan syarifah dengan laki-laki non sayyid. Menurutnya, para

syarifah harus menjaga agar keturunan mereka tetap bersambung silsilahnya pada

Sayyidah Fatimah dengan menikahi laki-laki dari kalangan habāib. Dengan

begitu, keturunan dari marganya tetap terjaga.45

44
Ibid., 113.
45
Ibid., 114.
22

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian-uraian sebagaimana telah dijelaskan di atas, dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Kafa’ah adalah keserasian antara calon suami dan calon istri agar pihak-

pihak yang berkepentingan tidak keberatan terhadap kelangsungan

perkawinan tersebut. Dasar hukumnya adalah Q.S an-Nur ayat 3 dan

hadis riwat Ibnu Madja, ad-Daruquthni, Abu Dawud dan lain-lain. Ulama

sepakat bahwa kafa’ah merupakan hak wanita dan walinya, namun yang

menjadi perbedaan pendapat adalah masalah menentukan unsur-unsur

yang dinilai dalam kafa’ah. Adapun yang menjadi unsur-unsur kafa’ah

menurut ulama adalah sebagai berikut: a) Dalam mazhab Maliki, yang

menjadi ukuran kafa’ah adalah agama dan bebas dari cacat (rohani/

jasmani); b) Menurut ulama mazhab Hanafi adalah agama, Keislaman,

kemerdekaan, keturunan, kekayaan dan status sosial; c) Ulama mazhab

Syafi’i menetapkannya adalah unsur agama, kemerdekaan, keturunan,

status sosial dan keadaan jasmani; d) Ulama mazhab Hanbali

menyebutkan agama, kemerdekaan, keturunan kekayaan dan status

sosial.

2. Pernikahan non sayyid dengan syarifah menurut ulama Syafiiyah,

Hanafiah, dan Hanabilah dianggap tidak sekufu karena perbedaan nasab


23

di antara keduanya, karena itu non sayyid dan syarifah tidak boleh

melangsungkan perkawinan karena dianggap tidak sederajat, sedangkan

ulama Malikiyyah, keturunan bukanlah ukuran kafaah, maka non sayyid

dan syarifah boleh melangsungkan perkawinan, sebab ukuran kafaah

adalah hanya agama.

3. Dampak hukum pernikahan non sayyid dan syarifah. a) Kalua seorang

syarifah dianggap tidak sekufu dengan non sayyid, jika menikah merusak

atau memutus nasab keturunan Rasulullah saw.; b) Tidak mendapatkan

ridha dari wali ketika anak wanitanya menikah dengan laki-laki yang

tidak sekufu. Pada umumnya mayoritas habaib dikalangan Jam’iyyah

Rabithah Alawiyyah di Indonesia melarang dan tidak ridha jika anak

wanita mereka menikah dengan laki-laki non-sayyid.

4. Kalangan Alawiyyin di Indonesia belum menerima pernikahan seorang

syarifah dgn non sayyid, karena dianggap menentang kebiasaan yang

berlaku. Jika ini terjadi maka yang bersangkutan akan dikucilkan dari

keluarga, bahkan anak keturunannya tdk lagi dianggap sebagai bagian

dari keluarga. Namun ada juga kasus, sekalipun perkawinanya ditentang,

namun seiring perjalanan waktu dgn kehadiran seorang cucu, hati yg

dulunya menolak kini melunak dan menrima kenyataan tersebut.

B. Saran-saran

Sebagian orang memahami kufu' secara tidak tepat, oleh karena itu,

menghubung-hubungkan kafa’ah dengan hal-hal sangat teknis seperti: sepadan


24

dalam usia, sepadan dalam kekayaan, sepadan dalam kecantikan dan ketampanan,

sepadan dalam kedudukan dan tingkat sosial, sepadan dalam jenjang pendidikan,

bahkan ada yang menambahkan sepadan dalam tinggi dan berat badan dan

sepadan dalam warna kulit adalah kurang tepat. Janganlah memilih pasangan

karena kecantikan atau ketampanan, karena cantik dan tampan akan pudar

dimakan usia, janganlah pula menikahi karena kekayaan, karena hanya titipan

Allah yang bisa saja hilang seketika dan/ atau harta menjadikan seseorang ingkar

nikmat. Akan tetapi nikahilah mereka berdasarkan agamanya, sebab agama dapat

menjamin keselamatan hidup di dunia dan akhirat.


25

DAFTAR PUSTAKA

Al-Albani, M. Nashiruddin. Ringkasan Sahih Muslim, Jakarta: Gema Insani Press,


2005.

Almasyhur, Idrus Alwi. Sekitar Kafaah Syarifah Dan Dasar Hukum Syar’iahnya.
t.tp., t. th.

Alwi, Sayyid Bin Ahmad Assagaf, Hasyiah Fathul Muin. t. tp., Dar Haya al
Kutub al Arabiyah.

Andri, Urgensi Kafa’ah Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pada Pasal 15
Ayat 1, Jurnal An-Nahl, Vol. 8, No. 1, Juni 2021.

Azis, Muh Ilham. at. all., Tinjauan Hukum Islam Terhadap Nilai-Nilai Kafaah
dalam Praktik Perkawinan Sayyid di Sulawesi Selatan, Jurnal Al-Qad{a>u Vol.
8 Nomor 2 Deseember 2021.

Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat


Bahasa, 2008.

Faishal. Syaikh bin Abdul Aziz Alu Mubarak, Bustanu al-Akhbar Mukhtasyaru
Nailul Authar Jilid 3, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Fakhira, Alisha. Dinamika Organisasi Rabithah Alawiyah 1928-1958. Bandung:


Skripsi Universitas Padjajaran, 2019.

Fatimah, Siti. Konsep Kafaah dalam Pernikahan menurut Islam: Kajian Normatif,
Sosiologis, dan Historis, As-Salam: Vol. VI, No. 2, Th. 2014.

Hardi, M. Memahami Pengertian Syarifah beserta Pandangan Ulama tentang


Syarifah (https://www.gramedia.com/literasi/syarifah-adalah/), dikakses
tanggal 10 Mei 2023.

Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah,, Lebanon:Daar Kutub,


2010.

Junaedi, Dedi. Bimbingan Perkawinan Membinan Keluarga Sakinah menurut Al-


Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta: Akademika Pressindo, 2002.

Masruroh, Pernikahan Syarifah dan non Sayiid di Patokan Kraksaan Probolinggo


Perspektif Imam Malik dan Imam Syafi’i, AL-HUKAMA: The Indonesian
Journal of Islamic Family Law Volume 04, Nomor 01, Juni 2014.
26

Mauladdawilah, Abdul Qadir Umar .17 Habaib Berpengaruh di Indonesia,


Malang: Pustaka Basma, 2013.

Nur, Djamaan. Fiqih Munakahat, Cet. Ke-1, Semarang: CV. Toha Putra, 1993.

Nur, Iffatin Pembaharuan Konsep Kesepadanan Kualitas (Kafa‟ah) dalam Al-


Qur’an dan Hadis, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 2012.

Nurcahaya, Konsep kafa’ah dalam hadis-hadis Hukum, Jurnal Syariah dan


Hukum Vol. 03, No. 02, Juli-Desember 2021.

Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004.

Syahab, Umar Muhdor. Tuntunan dan Tanggung Jawab terhadap Ahlul Bait dan
Kafaahnya, Jakarta: Yayasan Nusantara, 1999.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana,


2006.

Taufik, Otong Husni. Kafa’ah dalam Pernikahan Menurut Hukum Islam, Jurnal
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Galuh, Volume 5,
No. 2, September, 2017.

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 sebagai pengganti


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 1.

Yusufpati, Miftah H. Apakah Syarifah Boleh Menikah dengan Laki-Laki Non-


Sayyid? https://kalam.sindonews.com/read/895729/70/apakah-syarifah-
boleh-menikah-dengan-laki-laki-non-sayyid-1664179781/20 (diakses tanggal
1 Juni 2023)

Zahrah, Muhammad Abu Aqd Az-Zawaj wa Asaruh, Kairo: Dar al-Fikr al-Arobi,
1957.

al-Zuhayli, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islam, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.

Zulkifli, Ensiklopedi Gelar Dalam Islam, Yogyakarta: Interprebook, 2011.

Anda mungkin juga menyukai