Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Rendahnya angka kelahiran dan produktivitas ternak
merupakan masalah yang masih sering dijumpai di Indonesia
khususnya di pedesaan. Cara untuk menanggulanginya adalah
dengan Inseminasi Buatan. Inseminasi buatan (IB) adalah
salah satu teknologi reproduksi yang mampu dan telah berhasil
untuk meningkatkan perbaikan mutu genetik ternak, sehingga
dalam waktu pendek dapat menghasilkan anak dengan kualitas
baik dan jumlah besar dengan memanfaatkan pejantan unggul
sebanyak-banyaknya (Susilawati, 2011).
Permasalahan semen dalam bentuk beku adalah karena
banyaknya spermatozoa yang rusak saat pembekuan dan
proses thawing. Penyimpanan semen pada temperatur rendah
dapat merusak sperma. Kerusakan sperma karena cold shock
dapat dikurangi dengan menggunakan pengencer yang
mengandung lesitin dan lipoprotein (Toelihere, 1981).
Keuntungan menggunakan semen cair adalah keberhasilan
lebih tinggi dari semen beku karena tidak mengalami
kerusakan membran pada spermatozoa selama proses
penyimpanan, tidak membutuhkan nitrogen cair hanya
refrigerator, dan sesuai untuk peternakan yang memiliki
pejantan unggul dan laboratorium sendiri (Susilawati, 2013).
Penelitian untuk mencari pengencer semen dari bahan
alami sekarang sudah mulai banyak dilakukan, salah satu
bahan alami yang dapat digunakan adalah air kelapa merah.
Air kelapa merupakan salah satu bahan yang cukup murah,
memiliki beragam jenis dan melimpah di Indonesia, selain itu
air kelapa juga mampu menyediakan sumber nutrisi bagi

1
spermatozoa dengan kandungan gula berupa sukrosa, glukosa,
fruktosa dan sorbitol (Hayati, 2009). Air kelapa saja tidak
cukup karena tidak dapat melindungi spermatozoa dari cold
shock, sehingga harus ditambahkan dengan telur atau zat lain.
Kuning telur dapat melindungi spermatozoa dari cold shock
karena mengandung lipoprotein dan lesitin. Kuning telur
mengandung glukosa yang lebih efektif digunakan oleh
spermatozoa, protein, dan memiliki viskositas yang
menguntungkan spermatozoa (Dwatmadji, Kadarsih, Sutrisno
dan Fisniarsih, 2007). Bahan yang dapat digunakan sebagai
pengencer adalah Tris Amenomethan kuning telur. Pengencer
ini memiliki bahan atau zat yang dibutuhkan spermatozoa
antara lain fruktosa, laktosa, rafinosa, asam-asam amino, dan
vitamin dalam kuning telur, sehingga spermatozoa dapat
memperoleh sumber energi dalam jumlah yang cukup untuk
motilitasnya (Susilawati, 2011).

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan,
rumusan masalah yang dapat ditetapkan pada penelitian ini
adalah :
Bagaimana kemampuan pengencer air kelapa merah dan
kuning telur dalam menjaga kualitas semen selama
pendinginan.

2
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
kualitas semen sapi limousin terbaik dengan menggunakan
pengencer yang berbeda yaitu P0, P1, dan P2.

1.4. Kegunaan Penelitian


Hasil penelitian dapat berguna sebagai informasi bagi
peneliti untuk mengembangkan ilmu mengenai kualitas semen
menggunakan air kelapa merah dan kuning telur pada
konsentrasi yang berbeda.

1.5. Kerangka Pikir


Permasalahan dalam IB yang sering terjadi adalah
karena banyaknya spermatozoa yang rusak saat pembekuan
dan proses thawing. Penyimpanan semen pada temperatur
rendah dapat merusak sperma. Kerusakan sperma karena cold
shock dapat dikurangi dengan menggunakan pengencer yang
mengandung lesitin dan lipoprotein (Toelihere, 1981). Cara
yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah tersebut
adalah dengan menggunakan semen cair.
Penelitian terdahulu yaitu Kewilaa, Ondho dan Setiatin
(2013) mendapatkan hasil bahwa kualitas semen terbaik
didapatkan pada pengencer air kelapa merah dengan
penambahan kuning telur sebanyak 20%. Air kelapa mampu
menyediakan sumber nutrisi bagi spermatozoa dengan
kandungan gula berupa sukrosa, glukosa, fruktosa dan sorbitol
(Hayati, 2009). Air kelapa tidak mampu melindungi
spermatozoa dari temperatur rendah, oleh karena itu perlu
ditambah kuning telur atau zat lain. Kuning telur dapat
melindungi spermatozoa dari cold shock karena mengandung
lipoprotein dan lesitin. Kuning telur mengandung glukosa

3
yang lebih efektif digunakan oleh spermatozoa, protein, dan
memiliki viskositas yang menguntungkan spermatozoa
(Dwatmadji dkk., 2007). Bahan yang dapat digunakan sebagai
pengencer adalah Tris Aminomethan kuning telur. Pengencer
Tris Aminomethan memiliki bahan atau zat yang dibutuhkan
spermatozoa antara lain fruktosa, laktosa, rafinosa, asam-asam
amino, dan vitamin dalam kuning telur sehingga spermatozoa
dapat memperoleh sumber energi dalam jumlah yang cukup
untuk motilitasnya (Susilawati, 2011).

4
Meningkatkan mutu genetik sapi limousin

Semen cair Semen beku

1.Tidak membutuhkan nitrogen 1.Kesulitan dan terlambat


cair pengiriman nitrogen cair
2.Biaya pembuatan lebih murah 2.Harga kontainer mahal
3.Kualitas semen lebih baik dari 3.Banyak spermatozoa rusak
semen yang dibekukan karena pembekuan dan
(Susilawati, 2018) thawing (Susilawati, 2018)

Pengencer air kelapa merah + kuning telur:


1.Air kelapa merah mengandung sukrosa, glukosa, fruktosa,
dan sorbitol untuk spermatozoa (Hayati, 2009)
2.Mengandung lesitin dan lipoprotein untuk melindungi
spermatozoa dari cold shock (Susilawati, 2011)

Uji kualitas spermatozoa


1.Makroskopis
2.Mikroskopis

Perlakuan yang digunakan :


P0 : Tris Aminomethan + 20% kuning telur
P1 : Air kelapa merah + 10% kuning telur
P2 : Air kelapa merah + 20% kuning telur

Gambar 1. Kerangka Pikir

5
1.6.Hipotesis
Pengencer air kelapa merah + kuning telur dapat
mempertahankan kualitas semen dalam penyimpanan dingin.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sapi Limousin


Sapi limousin merupakan sapi bangsa Bos taurus yang
berasal dari Perancis. Sapi limousin merupakan sapi pedaging
dengan bentuk tubuh besar, panjang, kompak dengan bobot
badan jantan dewasa bisa lebih dari 1.000 kg (Fikar dan
Ruhyadi, 2010). Sapi limousin adalah sapi yang berasal dari
daerah sedang (temperate zone) yang terbiasa hidup di daerah
dengan temperatur udara yang dingin dan tatalaksana
pemeliharaan yang intensif (Astuti, Hardjosubroto dan
Bintara, 2002). Karakteristik limousin yang cukup menonjol
adalah warna bulu emas-merah dan warna lebih terang di
bawah perut, paha dalam, sekitar mata, hidung, sekitar anus,
dan ujung ekor. Konformasi kepala menyerupai persegi,
berleher pendek, tanduk berwarna kuning di dasar dan gelap
menuju tipis. Tinggi dapat mencapai 1,5 meter dengan panjang
badan 1,75-1,95 meter. Bobot sapi betina dewasa dapat
mencapai 575 kg sedangkan pejantan dewasa mencapai 1.100
kg (Yulianto dan Saparinto, 2014).

2.2. IB
Inseminasi Buatan (IB) merupakan teknologi reproduksi
yang mampu dan berhasil meningkatkan perbaikan mutu
genetik ternak (Aziz, Salim, Isnaini dan Susilawati, 2018).
Sebagai langkah awal dalam mengefisiensikan pejantan maka
program IB perlu dilakukan (Susilawati, 2013). Inseminasi
buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi yang
mampu dan telah berhasil untuk meningkatkan perbaikan mutu
genetik ternak, sehingga dalam waktu pendek dapat

7
menghasilkan anak dengan kualitas baik dan jumlah besar
dengan memanfaatkan pejantan unggul sebanyak-banyaknya
(Susilawati, 2011).

2.3. Semen
Semen adalah sekresi kelamin jantan yang secara
normal diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina saat
kopulasi tetapi dapat pula ditampung dalam berbagai cara
untuk keperluan inseminasi buatan. Semen yang
diejakulasikan merupakan kombinasi dari produksi testis yaitu
spermatozoa dan hasil sekresi dari kelenjar asesoris (Garner
dan Hafez, 2000). Sebagai penunjang keberhasilan IB maka
kualitas semen yang akan digunakan menjadi suatu faktor
penting. Semen yang digunakan dalam program IB dapat
berupa semen cair atau semen beku (Kewilaa, Ondho dan
Setiatin, 2013). Bangsa dapat mempengaruhi kualitas semen,
dan pada sapi limousin semakin tinggi frekuensi penampungan
pH cenderung menurun (Muada, Paputungan, Hendrik dan
Turangan, 2017).

2.4. Uji Makroskopis


Uji kualitas semen segera dilakukan setelah
penampungan atau sebelum diencerkan yang meliputi volume,
warna, dan pH (Susilawati, 2011). Pemeriksaan secara
makroskopis meliputi warna semen, bau semen, volume semen
dan pH semen (Kartasudjana, 2001). Warna semen dilihat
langsung dari tabung semen, pH menggunakan kertas lakmus
dan volume semen dilihat dari tabung penampung berskala
(Agustian, Ihsan dan Isnaini, 2014).

8
2.4.1. Volume
Volume semen yang sudah ditampung pada satu kali
penampungan diukur dengan melihat langsung pada tabung
berskala (Susilawati, 2011). Kualitas semen seperti volume,
motilitas, dan konsentrasi dapat dipengaruhi oleh bangsa sapi
dan bulan pengambilan semen (Rahmawati, Susilawati dan
Ihsan, 2015). Volume semen bervariasi setiap penampungan
antara 1-15 mililiter per ejakulasi (Garner and Hafez, 2008).

2.4.2. Warna
Umumnya warna semen sapi yang normal adalah putih
kekuningan atau putih susu hal ini dikarenakan adanya
riboflavin di dalam semen, jika semen abnormal maka semen
akan mengandung air, darah, rambut preputium, nanah, air
kotor dan bau yang tidak normal. Warna tersebut sering
dikacaukan apabila tercampur urine, oleh sebab itu bau dapat
membedakannya (Susilawati, 2011). Secara normal semen
sapi berwarna seperti susu atau krem keputih-putihan dan
keruh (Toelihere, 1993). Warna semen segar bangsa limousin
adalah putih susu (Muada dkk., 2017).

2.4.3. pH
Pengukuran pH dilakukan dengan cara mengambil
sedikit semen segar dengan menggunakan ose dan diletakkan
pada kertas lakmus atau pH meter kemudian dilihat pH semen
yang diuji dengan menggunakan pH BTB paper, pH normal
semen adalah 6,2-6,8 (Susilawati, 2011). Semen sapi
mempunyai pH 6,2-6,8 (Ismaya, 2014). Peningkatan
abnormalitas spermatozoa dapat disebabkan oleh efek cold
shock dan ketidakseimbangan nutrisi selain itu dapat juga

9
disebabkan oleh penambahan derajat pH karena lama waktu
penyimpanan (Dwatmadji dkk., 2007).

2.5. Uji Mikroskopis


Uji mikroskopis semen adalah uji kualitas semen yang
menggunakan mikroskop yang terdiri dari uji motilitas massa,
uji motilitas individu, viabilitas, dan abnormalitas spermatozoa
(Susilawati, 2011). Pemeriksaan mikroskopik meliputi
motilitas massa, motilitas individu, viabilitas spermatozoa, dan
abnormalitas spermatozoa (Yendraliza, 2008). Penilaian
mikroskopik meliputi persentase spermatozoa motil,
persentase spermatozoa hidup, konsentrasi spermatozoa dan
persentase spermatozoa abnormal (Kewilaa dkk., 2013).

2.5.1. Konsentrasi
Penilaian konsentrasi semen adalah encer (<1000.10 6
spermatozoa/ml semen), sedang (1000.106-1500.106
spermatozoa/ml semen), dan pekat (>1500.10 6 spermatozoa/ml
semen) (Susilawati, 2011). Konsentrasi spermatozoa
menunjukkan jumlah sel spermatozoa tiap satuan volume
semen (Ica, 2016). Konsentrasi spermatozoa sapi berkisar
antara 800-2000 juta/ml. Perbedaan konsentrasi spermatozoa
antar pejantan diduga karena kualitas genetik pada masing-
masing pejantan (Situmorang, 2002).

10
2.5.2. Motilitas Individu
Motilitas individu spermatozoa adalah daya gerak maju
spermatozoa. Daya gerak maju ini sangat dibutuhkan pada saat
spermatozoa bergerak dalam saluran reproduksi betina untuk
mencapai tempat fertilisasi. Motilitas spermatozoa mengalami
penurunan seiring dengan lama penyimpanan (Aziz dkk.,
2018). Kisaran normal motilitas individu berkisar 60-80%
(Hafez, 2008). Minimal nilai motilitas individu semen segar
dapat diolah lebih lanjut menjadi semen cair atau semen beku
adalah diatas 70% (Susilawati, 2013). Motilitas dapat
dipengaruhi oleh adanya kandungan energi yang mencukupi
terutama karbohidrat (Nugraheni, Okid dan Tetri, 2003).

2.5.3. Viabilitas
Viabilitas adalah persentase hidup dan mati
spermatozoa yang dapat dibedakan reaksinya terhadap warna
tertentu, sel spermatozoa yang tidak motil dan dianggap mati
menghisap warna dan sel spermatozoa yang motil dan hidup
tidak berwarna. Bahan pewarna yang biasa digunakan adalah
eosin negrosin. Semen yang akan diproses harus mengandung
spermatozoa yang hidup minimal 70% (Ducha, Susilawati,
Aulanni’am dam Wahjuningsih, 2013). Semen yang normal
biasanya mempunyai viabilitas minimum sebesar 50% (Ax,
Dally, Didion, Lenz, Love, Varner and Bellin, 2008). Cara
kerja dan teknik penghitungan persentase hidup spermatozoa
menggunakan eosin negrosin adalah diteteskan satu tetes
semen segar ke object glass menggunakan kawat ose , lalu
teteskan satu tetes eosin negrosin ke dekat semen segar dan
dicampurkan. Campuran ditutup dengan object glass lain dari
ujung dan membentuk sudut 45oC lalu ditarik ke ujung
lainnya. Hasil olesan diamati mikroskop perbesaran 400x

11
(Susilawati, 2011). Viabilitas merupakan penentuan persentase
spermatozoa hidup dengan pewarnaan eosin negrosin.
Spermatozoa yang menyerap warna mengindikasikan bahwa
spermatozoa tersebut telah mati, sedangkan spermatozoa yang
tidak menyerap warna menunjukkan spermatozoa tersebut
hidup (Aziz dkk., 2018). Menurunnya persentase spermatozoa
hidup pada semua kelompok perlakuan setelah pendinginan
disebabkan semakin berkurangnya ketersediaan energi dalam
media pengencer (Hafez and Hafez, 2000). Penyimpanan
dingin dalam jangka waktu lama menyebabkan kondisi
medium menjadi semakin asam. Sisa metabolisme dapat
bersifat racun bagi spermatozoa yang akhirnya menyebabkan
kematian pada spermatozoa (Sugiarti, Triwulaningsih,
Situmorang, Sianturi dan Kusumaningrum, 2004). Terdapat
korelasi antara nilai persentase spermatozoa motil dan
spermatozoa hidup/mati, dimana nilai persentase spermatozoa
hidup seharusnya lebih tinggi dari pada spermatozoa motil,
karena tidak semua spermatozoa yang hidup dapat bergerak
progresif ke depan (motilitas) akan tetapi sebagian dapat
bergerak di tempat, berputar-putar, atau maju mundur (Rizal
dan Herdis, 2008).

2.5.4. Abnormalitas Spermatozoa


Abnormalitas spermatozoa merupakan evaluasi terhadap
jumlah spermatozoa yang abnormal (Aziz dkk., 2018).
Kualitas semen termasuk rendah dan daya konsepsinya rendah
apabila persentase abnormalitasnya lebih dari 20% (Ismaya,
2014). Abnormalitas spermatozoa dapat dibedakan menjadi
dua yaitu abnormalitas primer yang berhubungan dengan
kepala dan akrosom dan abnormalitas sekunder ketika adanya
sitoplasmic droplet pada mid piece pada ekor (Susilawati,

12
2013). Abnormalitas primer disebabkan oleh
ketidaksempurnaan proses produksi spermatozoa
(spermatogenesis) di dalam tubuli seminiferi dan proses
pematangan di dalam epididimis, sedangkan abnormalitas
sekunder disebabkan oleh kerusakan pada saat penampungan
dan evaluasi semen. Abnormalitas primer umumnya seperti
kelainan kepala (terlalu besar, kecil, kepala lebih dari satu)
atau kelainan ekor (memiliki ekor lebih dari satu). Sementara
abnormalitas sekunder lebih banyak berupa terpisahnya ekor
dari kepala akibat kesalahan pembuatan preparat (Rizal dan
Herdis, 2008). Peningkatan abnormalitas spermatozoa dapat
disebabkan oleh efek cold shock dan ketidakseimbangan
nutrisi selain itu dapat juga disebabkan oleh penambahan
derajat pH karena lama waktu penyimpanan (Dwatmadji dkk.,
2007). Peningkatan jumlah spermatozoa yang mengalami
abnormalitas diakibatkan oleh pengaruh fisik pada saat
perlakuan di mana spermatozoa saling bergesekan satu sama
lain sehingga menyebabkan abnormalitas sekaligus kematian
(Yulianti, 2006). Abnormalitas spermatozoa dapat terjadi
karena tekanan yang keras, pemanasan yang berlebihan,
pendinginan yang cepat dan kontaminasi dengan air, urine
atau kuman dan bahan antiseptik (Toelihere, 1993).

2.6. Pengencer
Semen yang didapat saat penampungan setelah
memenuhi kualitasnya dilakukan pengenceran agar didapat
semen beku lebih banyak. Pengenceran semen ini dibutuhkan
pengencer yang dapat menjamin terjadinya proses
metabolisme dan respirasi spermatozoa selama proses
pendinginan, pencetakan ke dalam straw ataupun selama
pembekuan (Susilawati, 2013). Semen cair adalah solusi bagi

13
penerapan IB dalam upaya peningkatan populasi dan
produktivitas ternak (Kewilaa dkk., 2013). Rendahnya kualitas
semen cair disebabkan karena kerusakan spermatozoa yang
ditimbulkan oleh buruknya proses preservasi.
Bagian terpenting dari proses preservasi semen adalah
pemilihan bahan pengencer yang baik bagi kehidupan
spermatozoa (Kewilaa dkk., 2013). Semen yang tidak
diencerkan dan dibiarkan pada suhu 28-34 oC hanya bertahan
selama dua jam, tetapi apabila disimpan pada suhu 37-38 oC
dapat bertahan sampai tiga jam (Toelihere, 1981). Lingkungan
merupakan sumber kontaminan bagi spermatozoa, semen
dapat terkontaminasi oleh lebih dari 13 jenis bakteri yang
dapat berasal dari ternak (feses, preputium, dan kulit) atau dari
luar ternak seperti lantai dan area laboratorium (Poolperm,
2001). Cara untuk mempertahankan kualitas sperma adalah
semen yang telah dikoleksi dapat dipreservasi dengan cara
diencerkan kemudian disimpan pada kondisi yang
bertemperatur rendah.
Penyimpanan semen pada temperatur rendah dapat
merusak sperma. Kerusakan sperma karena cold shock dapat
dikurangi dengan menggunakan pengencer yang mengandung
lesitin dan lipoprotein (Toelihere, 1981). Syarat yang harus
dimiliki pengencer adalah tidak bersifat toxic, mengandung
sumber energi, bersifat isotonis, mengandung buffer,
melindungi dari pengaruh pendinginan secara cepat dan
menghambat pertumbuhan bakteri (Susilawati, 2013).

2.7. Tris Aminomethan Kuning Telur


Bahan yang dapat digunakan sebagai pengencer adalah
Tris Aminomethan kuning telur. Pengencer ini memiliki bahan
atau zat yang dibutuhkan spermatozoa antara lain fruktosa,

14
laktosa, rafinosa, asam-asam amino, dan vitamin dalam kuning
telur sehingga spermatozoa dapat memperoleh sumber energi
dalam jumlah yang cukup untuk motilitasnya (Susilawati,
2011). Pengencer Tris Aminomethan + 20% kuning telur
dapat memberikan nutrisi yang dibutuhkan spermatozoa dan
dapat mempertahankan kualitas semen sapi limousin pada
pendinginan suhu 3-5oC dibandingkan dengan pengencer
lainnya (Wiratri, Susilawati dan Wahjuningsih, 2013).

2.8. Air Kelapa Merah


Kandungan gula pada air kelapa merah dalam 100 ml
adalah 2.800 g glukos dan 2.240 g fruktosa . Komposisi air
kelapa muda dalam 100 g adalah 83 g (Depkes, 1981). Air
kelapa merupakan salah satu bahan yang cukup murah,
memiliki beragam jenis dan melimpah di Indonesia, selain itu
air kelapa juga mampu menyediakan sumber nutrisi bagi
spermatozoa dengan kandungan gula berupa sukrosa, glukosa,
fruktosa dan sorbitol (Hayati, 2009).
Fruktosa merupakan sumber energi bagi spermatozoa,
penambahan fruktosa dalam bahan pengencer akan
menghasilkan fertilitas yang tinggi. Fruktosa juga berfungsi
mempertahankan tekanan osmosis dalam pelarut (Kostaman,
Sutama, Situmorang dan Budiarsana, 2000). Fungsi
karbohidrat dalam pengencer adalah sebagai krioprotektan,
mempertahankan tekanan osmotik pengencer serta keutuhan
membran plasma, juga menyediakan substrat energi untuk
kebutuhan spermatozoa selama proses penyimpanan (Yildiz,
Kaya, Aksoy and Tekeli, 2000). Air kelapa tidak mampu
melindungi spermatozoa dari temperatur rendah, oleh karena
itu perlu ditambah kuning telur atau zat lain. Kuning telur
dapat melindungi spermatozoa dari cold shock karena

15
mengandung lipoprotein dan lesitin. Kuning telur mengandung
glukosa yang lebih efektif digunakan oleh spermatozoa,
protein, dan memiliki viskositas yang menguntungkan
spermatozoa (Dwatmadji dkk., 2007).

2.9. Kuning Telur


Kuning telur merupakan jenis krioprotektan
ekstraseluler yang sudah sangat lazim digunakan dalam proses
pendinginan (preservasi) semen (Indriani, Susliawati dan
Wahjuningsih, 2013). Kuning telur melindungi spermatozoa
terhadap cold shock. Khasiat kuning telur terletak pada
lipoprotein dan lesitin yang terkandung di dalamnya yang
bekerja mempertahankan dan melindungi integritas selubung
lipoprotein dari sel spermatozoa. Kuning telur juga
mengandung glukosa sebagai sumber energi bagi spermatozoa
sapi untuk metabolisme dari pada fruktosa yang terdapat di
dalam semen, berbagai protein, vitamin-vitamin yang larut
dalam air maupun yang larut dalam minyak, dan mungkin
memiliki viskositas yang mungkin menguntungkan bagi
spermatozoa (Feradis, 2010). Kadar kuning telur yang
dianjurkan untuk pengenceran semen tidak kurang dari 20%
pada suhu 5oC untuk menjamin daya membuahi spermatozoa
yang optimal (Toelihere, 1981). Kuning telur bisa digunakan
sebagai bahan makromolekul dalam pengencer karena mampu
melindungi kesempurnaan koloid pelindung spermatozoa
(Ismaya, 2014).

16
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada tanggal 26 November
2018 sampai 6 Februari 2019 di Laboratorium Balai Besar
Inseminasi Buatan Singosari Desa Toyomarto, Singosari,
Malang.

3.2. Materi Penelitian


Materi yang digunakan adalah sapi Limousin umur 2-14
tahun dengan ciri-ciri tubuh besar dan kepala berbentuk
persegi yang dipelihara secara intensif di Balai Besar
Inseminasi Buatan Singosari yang ditampung menggunakan
metode vagina buatan. Semen dengan motilitas 45-50%. Sapi
Limousin kakinya dari lutut ke bawah berwarna agak muda di
sekeliling mata, selain itu sapi ini termasuk jenis yang
berukuran tubuh besar , bentuk tubuh panjang, mempunyai
perototan baik, dan lemak sedikit (Zulfan, 2008). Kuning telur
yang digunakan adalah telur ayam ras yang berumur kurang
dari 3 hari. Kelapa merah muda berumur 5-8 bulan dengan
ciri-ciri warna kulit berwarna hijau muda dan warna serabut
merah muda yang didapatkan dari pedagang kelapa di
Singosari. Berbeda dengan kelapa hijau, kelapa merah
memiliki sabut kelapa berwarna kemerahan serta bunganya
berwarna kemerahan (Hadi, 2010).

3.3. Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan adalah percobaan
eksperimental laboratorium dengan menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan 10 kelompok.

17
Pemeriksaan makroskopis segera dilakukan setelah semen
diperoleh, pengenceran semen dengan perlakuan P0, P1 dan
P2 serta dilakukan pemeriksaan mikroskopis setelah
pengenceran. Perlakuan yang dilakukan adalah :
P0 : Tris Aminomethan + kuning telur 20%
P1 : Air kelapa merah + kuning telur 10%
P2 : Air kelapa merah + kuning telur 20%

3.3.1. Penampungan semen sapi limousin


Penampungan semen dilakukan dengan bantuan ternak
pemancing yang sudah disiapkan di kandang jepit. Vagina
buatan yang digunakan adalah double walled type dan diisi
dengan air bersuhu 40-45oC yang pada ujungnya diikat dengan
cone dan tabung reaksi yang sudah ditutup dengan bahan
gelap. Operator yang menampung memegang vagina buatan
pada tangan kanan dan tangan kiri yang sudah dilapisi oleh
glove untuk memegang preputium sapi. Semen yang sudah
ditampung dilapisi dengan kain hitam, dan segera dibawa ke
laboratorium untuk diuji kualitasnya.

3.3.2. Pemisahan kuning telur


-Alat : kertas saring kasar, corong, kapas alkohol
70%, gelas ukur 10 ml
-Bahan : telur
-Prosedur pembuatan :
1. Cuci dan lap bagian luar telur dengan kapas
alkohol 70%
2. Dipisahkan antara putih dan kuning telur
3. Kuning telur diletakkan di atas kertas saring kasar
dan diayunkan serta dipecahkan di atas kertas

18
saring untuk menyaring sisa putih telur dan untuk
mendapatkan bagian dalam kuning telur
4. Kuning telur sebanyak 10% (P1) dan 20% (P2)
dituang ke dalam gelas ukur
5. Gelas ukur ditutup dengan alumonium foil

3.3.3. Pembuatan pengencer Tris Aminomethan


-Alat : timbangan digital, magnetic stirrer,
disposable syringe, alumonium foil, pH
meter, refrigerator, erlenmeyer 1000 ml,
gelas ukur 1000 ml dan 2000 ml.
-Bahan : komposisi bahan pengencer Tris
Aminomethan disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Bahan Pengencer Tris Aminomethan
dalam
100 ml
Bahan Jumlah
Tris amino methane (g/g) 1,6
Citrid Acid (g/g) 0,9
Lactose (g/g) 1,4
Raffinose (g/g) 2,5
Distilled Water %(v/v) 80,0
Egg Yolk %(v/v) 20,0
Penicillin IU/100 ml 100.000,0
Streptomycin g/100 ml 0,1
Sumber : Zenichiro, Herliantien dan Sarastina (2002).

-Prosedur pembuatan :
1. Tris amino methane, citric acid, lactose, dan
raffinose dengan komposisi pada Tabel 1.
dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer 1 liter

19
dan ditambahkan 80% distilled water dari total
volume kemudian dihomogenkan menggunakan
magnetic stirrer dan direbus sampai mendidih.
2. Masukkan kuning telur sebanyak 20% dari total
volume serta masukkan penicillin dan streptomycin
sebanyak 0,1 g/100 ml dan dihomogenkan
menggunakan magnetic stirrer.
3. Pengencer dapat digunakan setelah didiamkan
lebih dari 1 hari, dan jika pengencer ingin segera
digunakan maka dapat disentrifuge dengan
kecepatan 3000 rpm selama 15 menit.

3.3.4. Pembuatan pengencer air kelapa merah


-Alat : tabung erlenmeyer 100 ml, timbangan
digital, alumonium foil, magnetic stirrer, pH
meter, kertas saring halus, sentrifuge,
mikropipet 1000 μl gelas ukur 10 ml, 50 ml
dan 100 ml.
-Bahan : air kelapa, kuning telur, Penicillin,
Streptomycin, NaH2CO3
-Prosedur pembuatan :
1. Air kelapa merah disaring 2 kali menggunakan
kertas saring halus.
2. Dilakukan inaktifasi pada suhu 56 oC selama 20
menit.
3. Ditambahkan 0,1 g NaH2CO3, 0,1 g penicillin, 0,1 g
streptomycin kemudian dihomogenkan dengan
magnetic stirrer selama 10-15 menit.
4. Ditambahkan 10% kuning telur (P1) dan 20%
kuning telur (P2) kemudian dihomogenkan dengan
magnetic stirrer selama 10-15 menit.

20
5. Disentrifuge 3000 rpm selama 15 menit.
6. Supernatan diambil dan disimpan pada tabung
erlenmeyer yang ditutup dengan alumunium foil
dan disimpan dalam refrigerator.

3.4. Variabel Penelitian


Variabel yang diukur pada penelitian ini antara lain:

3.4.1. Uji semen secara makroskopis


1. Warna : semen diamati dari warnanya, umumnya
warna semen sapi normal adalah putih kekuningan atau
putih susu.
2. Volume : volume semen yang ditampung langsung
diukur dengan tabung berskala
3. pH : pH diukur dengan cara mengambil sedikit semen
segar menggunakan kawat ose yang diletakkan di atas
kertas lakmus, kemudian dilihat pH semen. pH normal
semen berkisar 6,2 – 6,8.
4. Bau : bau diamati dengan menggunakan indera
penciuman. Normalnya semen memiliki bau khas semen
5. Konsistensi semen : konsistensi diamati dengan cara
menggoyangkan tabung penampung hal ini
berhubungan dengan kepekatan semen. Konsistensi
dibagi menjadi pekat, sedang, dan encer.

3.4.2. Uji semen secara mikroskopis


1. Konsentrasi : penilaian konsentrasi dilakukan dengan
mencampur 0,035 ml semen dengan 3,5 ml NaCl
fisiologis 0,9% yang dihomogenkan menggunakan
vortex, selanjutnya larutan dituang ke cuvet dan
konsentrasi dibaca menggunakan spektrofotometer.

21
2. Motilitas individu : penilaian motilitas individu
dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran
400x menggunakan cover glass. Penilaian lebih bersifat
subjektif terhadap pergerakan spermatozoa.
3. Viabilitas : penilaian viabilitas dilakukan dengan cara
pembuatan preparat ulas dengan pengamatan mikroskop
perbesaran 400x, spermatozoa yang mati akan
menyerap warna dari eosin negrosin.
4. Abnormalitas : penilaian abnormalitas juga
menggunakan preparat ulas yang diamati pada
mikroskop perbesaran 400x dan dihitung minimal 150
spermatozoa. Kategori spermatozoa yang abnormal ada
lima yaitu tidak ada ekor, abnormal kepala, bentuk ekor
abnormal, bentuk ekor abnormal dengan adanya
sitoplasmic droplet pada bagian proximal, dan bentuk
abnormal ekor dengan distal droplet.

22
3.5. Prosedur Penelitian

Penampungan Semen 10 Kali

Uji kualitas makroskopis (warna, volume, pH, bau, konsistensi)

Dilakukan pengenceran dengan perlakuan


P0 : Tris Aminomethan + 20% kuning telur
P1 : Air kelapa merah + 10% kuning telur
P2 : Air kelapa merah + 20% kuning telur

Uji kualitas mikroskopis (konsentrasi, motilitas individu,


viabilitas, dan abnormalitas)

Perubahan kualitas spermatozoa yang


diamati per hari dimulai dari hari ke – 1, 2,
3, 4, 5, 6 :
1. Motilitas
2. Viabilitas
3. Abnormalitas

Gambar 2. Prosedur Penelitian

23
3.6. Analisis Data
Data yang didapat dianalisis dengan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 10
kelompok yang diamati dari hari ke-1 sampai hari ke-6.
Perlakuan yang diteliti yaitu P0 (Tris Aminomethan + 20%
kuning telur), P1 (air kelapa merah + 10% kuning telur), dan
P2 (air kelapa merah + 20% kuning telur). Model linear aditif
RAK menurut Nugroho (2008) adalah sebagai berikut:
Y ij =μ+ τ i+ β j +ε ij
Keterangan :
Y ij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i pada kelompok ke-j
μ = nilai tengah umum
τ i = tambahan akibat pengaruh perlakuan ke-i
β j = tambahan akibat pengaruh kelompok ke-j
ε ij = tambahan akibat acak galat percobaan dari perlakuan ke-i
pada kelompok ke-j

Apabila terdapat perlakuan yang menunjukkan


perbedaan pengaruh yang nyata atau sangat nyata maka akan
dilakukan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Duncan’s
Multiple Range Test).

24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pemeriksaan Semen Segar


Hasil dari pemeriksaan semen segar dapat dapat dillihat
pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Semen Segar


Parameter Rataan±SD
Makroskopis
Volume (ml) 4,12±1,81
Warna Putih Susu
pH 6,5±0,22
Konsistensi Sedang
Mikroskopis
Motilitas Individu (%) 46,73±4,91
Viabilitas (%) 79,53±4,35
Abnormalitas (%) 6,84±1,09
Konsentrasi (106) 1061,4±425,66

Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat bahwa rataan volume


yang didapat adalah 4,12±1,8 ml, warna semen putih susu pH
semen 6,5±0,22, konsistensi sedang, motilitas individu
46,73±4,91%, viabilitas 79,53±4,35%, abnormalitas
6,84±1,09%, dan konsentrasi 1061,4±425,66 x 10 6.
Pemeriksaan semen segar berguna untuk mengetahui
spermatozoa dapat digunakan untuk penelitian atau tidak, serta
untuk mengetahui penurunan kualitas setelah diencerkan.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi volume, warna,
konsistensi, motilitas individu, viabilitas, abnormalitas, dan
konsentrasi spermatozoa. Didukung pendapat Muhammad,
Susilawati dan Wahjuningsih (2016), evaluasi kualitas semen
segar perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas spermatozoa

25
yang digunakan, serta sebagai acuan untuk mengetahui
perubahan kualitas spermatozoa setelah pengenceran
mengalami penurunan.
Rataan volume semen segar adalah 4,12±1,81 ml
dengan volume penampungan berkisar 1-6,4 ml. Kategori
semen yang digunakan dalam penelitian ini termasuk normal.
Menurut Garner and Hafez (2008), volume semen bervariasi
setiap penampungan antara 1-15 mililiter per ejakulasi. Warna
semen yang digunakan dalam penelitian adalah putih susu, hal
ini juga termasuk normal. Susilawati (2011) berpendapat,
semen warna normal yaitu berwarna putih kekuningan atau
putih susu. Kategori untuk pH dan konsistensi juga masih
tergolong normal. Sesuai dengan pendapat Ismaya (2014),
semen sapi mempunyai pH 6,2-6,8 dengan konsistensi atau
tingkat kekentalan semen berkisar mulai dari kental hingga
encer. Susilawati (2011), konsistensi semen berkorelasi positif
dengan konsentrasi spermatozoa.
Semen yang digunakan termasuk berkualitas rendah
namun masih dapat digunakan untuk penelitian. Menurut
Toelihere (1993), persentase motilitas spermatozoa di bawah
40% menunjukkan semen yang kurang baik dan berhubungan
dengan infertilitas. Viabilitas dan abnormalitas semen segar
juga tergolong normal dan dapat digunakan untuk penelitian.
Ducha dkk. (2013), semen segar yang akan diproses harus
mengandung spermatozoa yang hidup minimal 70%. Ismaya
(2014), kualitas semen termasuk rendah apabila persentase
abnormalitasnya lebih dari 20%.

4.2. Motilitas Spermatozoa


Motilitas merupakan pergerakan maju spermatozoa
yang menjadi tolak ukur yang penting karena motilitas
berkaitan dengan kemampuan spermatozoa untuk membuahi
sel telur. Aziz dkk. (2018), daya gerak maju ini sangat

26
dibutuhkan pada saat spermatozoa bergerak dalam saluran
reproduksi betina untuk mencapai tempat fertilisasi.
Penurunan motilitas spermatozoa dalam keadaan dingin
ditampilkan pada Gambar 3.

50.00
45.00
40.00
35.00
Motilitas (%)

30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6

P0 P1 P2
Gambar 3. Rata – rata motilitas selama penyimpanan 3-5 oC

Berdasarkan Gambar 3. dapat dilihat bahwa motilitas


spermatozoa terus menurun pada penyimpanan dingin.
Semakin lama waktu penyimpanan maka penurunan motilitas
spermatozoa juga akan terus bertambah. Setiap harinya
dimulai dari hari 1 sampai hari 6 motilitas terus menurun.
Penurunan motilitas ini terjadi karena metabolisme
spermatozoa yang terus berjalan dan terus menerus
menggunakan energi untuk melakukan metabolisme yang
menyebabkan sumber energi yang terdapat pada pengencer
perlahan menjadi habis sehingga spermatozoa kekurangan
energi untuk tetap menjalankan metabolisme, kekurangan
energi ini menjadi penyebab kematian spermatozoa. Menurut
Nugraheni dkk. (2003) bahwa, motilitas dapat dipengaruhi

27
oleh adanya kandungan energi yang mencukupi terutama
karbohidrat. Rataan persentase motilitas spermatozoa dalam
perlakuan pengencer pada penyimpanan dingin dapat dilihat
pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Persentase Motilitas Spermatozoa dengan


Perlakuan Pengencer pada Penyimpanan Dingin (%)

Pengamata P0 P1 P2
n
Hari ke-1 43,50±3,37 43,00±3,50 43,00±3,50
Hari ke-2 39,00±3,94 34,00±3,94 36,00±3,16ab
b a

Hari ke-3 32,50±5,40b 27,50±7,17a 30,50±6,85ab


Hari ke-4 26,00±6,58b 22,00±5,87a 24,00±4,59ab
Hari ke-5 17,50±3,54b 13,50±3,37a 15,50±2,84ab
Hari ke-6 15,50±2,84b 11,00±4,59a 13,50±3,37b
Keterangan : Notasi yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
*Hari ke-5

Notasi yang berbeda pada baris yang sama


menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01) *Hari ke-2, 3, 4, dan 6

Berdasarkan Tabel 3. dapat dijelaskan bahwa motilitas


individu pada hari ke-5 menunjukkan perbedaan nyata dan
motilitas pada hari ke-2, 3, 4, dan 6 menunjukkan perbedaan
yang sangat nyata (P<0,01). Perlakuan terbaik untuk motilitas
berdasarkan rataan dan uji lanjut adalah pada perlakuan P0
(Tris Aminomethan + 20% Kuning Telur), diikuti P2 (Air
Kelapa Merah + 20% Kuning Telur), dan terakhir adalah P1
(Air Kelapa Merah + 10% Kuning Telur). Persentase motilitas

28
dari perlakuan P0, P1 dan P2 yang dapat digunakan untuk
inseminasi buatan sesuai dengan SNI (motilitas ≥ 40%) adalah
penyimpanan pada hari 1, dengan P0 sebesar 43,50±3,37%, P2
sebesar 43,00±3,50%, dan P1 dengan rataan sebesar
43,00±3,50%.
Spermatozoa dapat bertahan lebih lama pada pengencer
Tris Aminomethan + 20% kuning telur karena dapat
memberikan nutrisi yang dibutuhkan oleh spermatozoa dan
dapat menjaga spermatozoa dari cold shock. Sesuai dengan
pendapat Wiratri dkk. (2014), spermatozoa dapat bertahan
lebih lama pada pengencer Tris Aminomethan karena mampu
menjaga spermatozoa dari efek cold shock, selain itu Tris
Aminomethan + 20% kuning telur mampu memberikan nutrisi
bagi metabolisme spermatozoa dan mampu melindungi
spermatozoa lebih lama dari pengencer lainnya. Persentase
motilitas lebih tinggi pada air kelapa yang mengandung 20%
kuning telur dibandingkan dengan 10% kuning telur, hal ini
dikarenakan air kelapa tidak mampu melindungi spermatozoa
dari temperatur rendah sehingga dilakukan penambahan
kuning telur, semakin rendah konsentrasi kuning telur maka
semakin rendah juga kemampuan pengencer tersebut untuk
melindungi spermatozoa dari cold shock. Hal ini sesuai dengan
penelitian terdahulu yaitu Dwatmadji dkk. (2007) yang
memiliki hasil penelitian bahwa pengencer air kelapa
rubescens-kuning telur 20% menunjukkan persentase motilitas
lebih tinggi dibanding pengencer air kelapa rubescens dengan
penambahan kuning telur 17% dan 14%. Didukung pendapat
Toelihere (1981), kadar kuning telur yang dianjurkan untuk
pengenceran semen tidak kurang dari 20% pada suhu 5 oC
untuk menjamin daya membuahi spermatozoa yang optimal.
Ditambah pendapat Ismaya (2014), kuning telur bisa

29
digunakan sebagai bahan makromolekul dalam pengencer
karena mampu melindungi kesempurnaan koloid pelindung
spermatozoa. Motilitas yang terus menurun terjadi karena
lama penyimpanan dan suhu yang dingin. Agustian dkk.
(2014), spermatozoa memerlukan proses adaptasi akibat dari
lingkungan dan suasana baru. Susilawati (2011), dalam proses
adaptasi spermatozoa terhadap bahan pengencer dapat
mengakibatkan gangguan permeabilitas membran,
menurunkan aktivitas metabolisme, kerusakan sel dan lebih
lanjut dapat menurunkan motilitas spermatozoa.

4.3. Viabilitas Spermatozoa


Viabilitas adalah persentase hidup dan spermatozoa,
hidup dan matinya spermatozoa dapat diamati melalui
reaksinya menggunakan eosin dan negrosin. Spermatozoa
yang hidup dan mati dapat dibedakan ketika spermatozoa
tersebut menyerap warna atau tidak, saat spermatozoa
menyerap warna merah maka spermatozoa mati dan jika tidak
menyerap warna spermatozoa hidup. Didukung Susilawati
(2011) dan Aziz dkk. (2018), viabilitas adalah persentase
hidup dan mati spermatozoa yang dapat dibedakan reaksinya
terhadap warna tertentu, sel spermatozoa yang tidak motil dan
dianggap mati menghisap warna dan sel spermatozoa yang
motil dan hidup tidak berwarna. Bahan pewarna yang biasa
digunakan adalah eosin negrosin. Menurut Rizal dan Herdis
(2008) bahwa, terdapat korelasi antara nilai persentase
spermatozoa motil dan spermatozoa hidup/mati, dimana nilai
persentase spermatozoa hidup seharusnya lebih tinggi dari
pada spermatozoa motil, karena tidak semua spermatozoa
yang hidup dapat bergerak progresif ke depan (motilitas) akan
tetapi sebagian dapat bergerak di tempat, berputar-putar, atau

30
maju mundur. Penurunan viabilitas spermatozoa dalam
keadaan dingin ditampilkan pada Gambar 4.

90.00
80.00
70.00
60.00
Viabilitas (%)

50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6

P0 P1 P2
Gambar 4. Rata – rata viabilitas selama penyimpanan 3-5 oC

Berdasarkan Gambar 4. dapat dilihat rataan penurunan


viabilitas spermatozoa. Viabilitas spermatozoa terus
mengalami penurunan setiap harinya namun rataan viabilitas
spermatozoa masih lebih besar dibandingkan dengan rataan
motilitas karena spermatozoa yang hidup belum tentu dapat
bergerak ke depan, namun bisa juga diam maupun berputar-
putar di tempat. Rataan persentase viabilitas dalam perlakuan
pengencer pada penyimpanan dingin dapat dilihat pada Tabel
4.

31
Tabel 4. Rataan Persentase Viabilitas Spermatozoa dengan
Perlakuan Pengencer pada Penyimpanan Dingin (%)
Pengamatan P0 P1 P2
Hari ke-1 77,20±4,39 b
75,20±4,02 ab
74,50±3,06a
Hari ke-2 64,30±4,24 61,50±7,52 62,80±6,73
Hari ke-3 60,40±5,91 55,90±9,02 60,40±8,18
Hari ke-4 56,70±7,07 50,40±11,56 53,60±10,67
Hari ke-5 51,50±8,90b 43,40±11,71a 49,20±11,30ab
Hari ke-6 42,80±8,19 34,40±8,36 37,90±9,36
Keterangan : Notasi yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Berdasarkan Tabel 4. dapat dijelaskan viabilitas


spermatozoa pada hari ke-1 dan 5 menunjukkan perbedaan
yang nyata (P<0,05). Penurunan viabilitas yang drastis terlihat
pada hari ke-6. Perlakuan terbaik untuk mempertahankan
viabilitas berdasarkan data tersebut adalah P0 (Tris
Aminomethan + Kuning Telur 20%), P2 (Air Kelapa Merah +
20% Kuning Telur), dan P1 (Air Kelapa Merah + 10% Kuning
Telur). Persentase viabilitas dari perlakuan P0, P1 dan P2 yang
dapat digunakan untuk inseminasi buatan sesuai dengan Ax et
al. (2008) yaitu viabilitas minimum 50% adalah P0 sampai
penyimpanan hari ke-5 dengan rataan 51,50±8,90%, diikuti P2
sampai penyimpanan hari ke-4 dengan rataan 53,60±10,67%,
dan terakhir P1 sampai penyimpanan hari ke-4 dengan rataan
50,40±11,56%.
Faktor yang menyebabkan kematian spermatozoa
adalah ketersediaan energi yang semakin berkurang dari
pengencer dan karena adanya asam laktat dari sisa
metabolisme sel yang membuat medium menjadi asam yang
membuat spermatozoa mati. Didukung oleh Hafez and Hafez

32
(2000), menurunnya persentase spermatozoa hidup pada
semua kelompok perlakuan setelah pendinginan disebabkan
semakin berkurangnya ketersediaan energi dalam media
pengencer. Ditambah pendapat Sugiarti dkk. (2004),
penyimpanan dingin dalam jangka waktu lama menyebabkan
kondisi medium menjadi semakin asam. Sisa metabolisme
dapat bersifat racun bagi spermatozoa yang akhirnya
menyebabkan kematian pada spermatozoa.
Penurunan persentase viabilitas spermatozoa juga dapat
terjadi karena spermatozoa mengalami cold shock yang
menyebabkan membran plasma menjadi rusak. Kerusakan
membran plasma dapat menyebabkan spermatozoa melemah
dan mati karena membran adalah bagian terluar yang
berfungsi untuk melindungi spermatozoa. Hal ini sesuai
dengan pendapat Lestari, Ihsan dan Isnaini (2014), penurunan
viabilitas terjadi karena adanya kerusakan membran sel
sehingga terjadi kematian sel. Kerusakan membran
spermatozoa akan menyebabkan terganggunya metabolisme
intraseluler sehingga spermatozoa akan melemah dan bahkan
bisa mengalami kematian. Susilawati (2011) menambahkan,
membran merupakan bagian terluar spermatozoa yang
berfungsi untuk melindungi spermatozoa, sehingga apabila
membran rusak maka spermatozoa akan mati, dan hanya
spermatozoa yang memiliki membran utuh yang akan mampu
melakukan fertilisasi.

33
4.4. Abnormalitas Spermatozoa
Abnormalitas adalah presentase spermatozoa yang tidak
normal. Abnormalitas yang diamati ada 2 yaitu abnormalitas
primer dan abnormalitas sekunder. Aziz dkk. (2018),
abnormalitas spermatozoa merupakan evaluasi terhadap
jumlah spermatozoa yang abnormal. Susilawati (2013)
menambahkan, abnormalitas spermatozoa dapat dibedakan
menjadi dua yaitu abnormalitas primer yang berhubungan
dengan kepala dan akrosom dan abnormalitas sekunder ketika
adanya sitoplasmic droplet pada mid piece pada ekor.
Abnormalitas spermatozoa dapat dilihat pada Gambar 5.

10.00
9.00
8.00
Abnormalitas (%)

7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6

P0 P1 P2
Gambar 5. Rata – rata abnormalitas selama penyimpanan 3-
5oC

Berdasarkan Gambar 5. dapat dilihat rataan


abnormalitas dari hari ke-1 sampai hari ke-6 bahwa tidak ada
kenaikan abnormalitas spermatozoa secara drastis. Rataan
abnormalitas dapat dilihat pada Tabel 5.

34
Tabel 5. Rataan Persentase Abnormal Spermatozoa dengan
Perlakuan Pengencer pada Penyimpanan Dingin (%)
Pengamatan P0 P1 P2
Hari ke-1 7,50±0,53 a
8,70±0,67 b
8,20±0,42ab
Hari ke-2 7,90±2,08 6,80±1,55 7,60±1,26
Hari ke-3 7,20±0,63 7,70±0,67 7,50±0,97
Hari ke-4 8,50±0,71 8,60±1,17 8,70±0,48
Hari ke-5 8,20±0,92 8,20±1,03 8,90±0,32
Hari ke-6 8,40±0,52 a
9,10±0,88 b
8,60±0,70a
Keterangan : Notasi yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05) Hari ke-6
Notasi yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01) *Hari ke-1

Berdasarkan Tabel 5. dapat dijelaskan abnormalitas


spermatozoa pada hari ke-1 menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01) dan abnormalitas pada hari k-6
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Perlakuan
terbaik untuk mencegah kenaikan abnormalitas berdasarkan
data tersebut adalah P0 (Tris Aminomethan + Kuning Telur
20%), P2 (Air Kelapa Merah + 20% Kuning Telur), dan P1
(Air Kelapa Merah + 10% Kuning Telur). Pengencer
perlakuan P0, P1 dan P2 yang dapat digunakan untuk
inseminasi sesuai dengan Ax et al. (2008) yaitu abnormalitas
tidak lebih dari 20% adalah dari hari ke-1 sampai hari ke-6,
karena dari semua perlakuan tidak ada abnormalitas yang lebih
dari 20%.
Abnormalitas yang sering ditemui adalah kepala tanpa
ekor dan ekor melingkar atau patah yang disebabkan terlalu

35
banyak tekanan saat pembuatan preparat. Abnormalitas juga
dapat terjadi karena spermatozoa mengalami cold shock.
Dwatmadji dkk. (2007), peningkatan abnormalitas
spermatozoa dapat disebabkan oleh efek cold shock dan
ketidakseimbangan nutrisi selain itu dapat juga disebabkan
oleh penambahan derajat pH karena lama waktu penyimpanan.
Ditambah pendapat Yulianti (2006), peningkatan jumlah
spermatozoa yang mengalami abnormalitas diakibatkan oleh
pengaruh fisik pada saat perlakuan di mana spermatozoa
saling bergesekan satu sama lain sehingga menyebabkan
abnormalitas sekaligus kematian. Menurut Toelihere (1993)
abnormalitas spermatozoa dapat terjadi karena tekanan yang
keras, pemanasan yang berlebihan, pendinginan yang cepat
dan kontaminasi dengan air, urine atau kuman dan bahan
antiseptik.
Rizal dan Herdis (2008), abnormalitas primer
disebabkan oleh ketidaksempurnaan proses produksi
spermatozoa (spermatogenesis) di dalam tubuli seminiferi dan
proses pematangan di dalam epididimis, sedangkan
abnormalitas sekunder disebabkan oleh kerusakan pada saat
penampungan dan evaluasi semen. Abnormalitas primer
umumnya seperti kelainan kepala (terlalu besar, kecil, kepala
lebih dari satu) atau kelainan ekor (memiliki ekor lebih dari
satu). Sementara abnormalitas sekunder lebih banyak berupa
terpisahnya ekor dari kepala akibat kesalahan pembuatan
preparat.

36
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Kualitas semen terbaik didapatkan pada P1 : Air Kelapa
Merah + 10% Kuning Telur pada penyimpanan hari ke-1
dengan motilitas 43,00±3,50%, viabilitas 75,20±4,02%, dan
abnormalitas 8,70±0,67% karena penambahan 10% Kuning
Telur dapat mempertahankan kualitas spermatozoa seperti
pada penambahan 20% Kuning Telur.

5.2. Saran
Penelitian lebih lanjut disarankan menggunakan semen
dengan kualitas lebih dari 70%

37
DAFTAR PUSTAKA

Agustian, M. F., M. N. Ihsan dan N. Isnaini. 2014. Pengaruh


lama simpan semen dengan pengencer tris aminomethan
kuning telur pada suhu ruang terhadap kualitas
spermatozoa kambing boer. J. Ternak Tropika. 15 (2) : 1-6.

Astuti, M. W. Hardjosubroto, S. S. Bintara. 2002. Livestock


breeding and reproduction in indonesia: past and future.
International Seminar on Tropical Animal Production : 60-
67.

Ax, R. L., M. R. Dally, B. A. Didion, R. W. Lenz, C. C. Love,


D. D. Varner, B. Hafez and M. E. Bellin. 2008. Semen
Evaluation. Reproductive in Farm Animals. 8th Edition.
Edited by Hafez and Hafez. Lea and Febiger.

Aziz, A. F., M. A. Salim, N. Isnaini, A. P. A. Yekti dan T.


Susilawati. 2018. Pengaruh pengencer air kelapa tua yang
berbeda varietas terhadap kualitas semen cair kambing boer
pada penyimpanan 3-50C. J. Ilmu – Ilmu Peternakan 28
(2) : 112-120.

BSN. 2005. Semen Beku Sapi. Badan Standarisasi Nasional.


SNI 01-4869. 1-2005. BSN. Jakarta.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar


Komposisi Bahan Makanan. Bhratara Karya Aksara.
Jakarta.

Ducha, N., T. Susilawati, Aulanni’am, dan S. Wahjuningsih.


2013. Motilitas dan viabilitas spermatozoa sapi limousin
selama penyimpanan pada refrigerator dalam pengencer

38
CEP-2 dengan suplementasi kuning telur. Jurnal
Kedokteran Hewan. 7 (1): 5-8.

Dwatmadji, S. Kadarsih, E. Sutrisno dan Y. Fisniarsih. 2007.


Pengaruh pengencer kuning telur dengan air kelapa dan
lama penyimpanan terhadap kualitas semen kambing
nubian. J. Sain Peternakan Indonesia 2 (2) : 65-71.

Fikar, S. dan D. Ruhyadi. 2010. Beternak dan Bisnis Sapi


Potong. PT AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Feradis. 2010. Bioteknologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit


Alfa Beta. Bandung.

Garner, D. L. and E. S. E. Hafez. 2000. Reproduction in Farm


Animal. 7th Edition. Philadelphia. Baltimore. New York.

Garner, D. L. and E. S. E. Hafez. 2008. Spermatozoa and


Seminal Plasma. In: Reproduction in Farm Animals. Edited
by E. S. E. Hafez. 7th Edition. Lippincott Williams and
Wilkins: Maryland. USA.

Hadi, P. P. S. 2010. Dosis efektif air kelapa wulung (Cocos


nucifera L. var. rubescens) sebagai antidotum terhadap
keracunan propoxur pada mencit putih jantan. Skripsi.
Fakultas Farmasi. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.

Hafez, E. S. E. and B. Hafez. 2000. Reproduction in Farm


Animals. 7th Edition. Lippincott Williams and Wilkins.
Baltimore. New York.

Hafez, E. S. E. 2008. Preservation and Cry-opreservation of


Gamet and Em-bryos in Reproduction Farm Animal. E.S.E.
Hafez and B. Hafez (eds.) 7th Ed. Lippincott Williams and
Wilkins. Marryland. USA.

39
Hayati, R. 2009. Perbandingan susunan dan kandungan asam
lemak kelapa muda dan kelapa tua (Cocos Nucifera L.)
dengan metode gas kromatografi. J. Floratek 4 (1) : 18-28.

Ica, W. 2016. Kualitas spermatozoa sapi bali dengan bahan


pengencer tris kuning telur dan air kelapa muda pada lama
penyimpanan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan.
Universitas Halu Oleo. Kendari.

Indriani, T. Susilawati dan S. Wahjuningsih. 2013. Daya hidup


spermatozoa sapi limosin yang dipreservasi dengan metode
water jacket dan free water jacket. J. Veteriner 14 (3) : 379-
386.

Ismaya. 2014. Bioteknologi Inseminasi Buatan pada Sapi dan


Kerbau. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. ISBN
979-420-848-5.

Kartasudjana, R. 2001. Teknik Inseminasi Buatan pada


Ternak. Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat
Pendidikan Menengah Kejuruan Jakarta.

Kewilaa, A. I., Y. S. Ondho dan E. T. Setiatin. 2013. Pengaruh


berbagai jenis pengencer air kelapa muda dengan
penambahan kuning telur yang berbeda terhadap kualitas
spermatozoa semen cair domba ekor tipis (DET). J.
Agrinimal 3 (1) : 1-9.

Kostaman, T., I. K. Sutama, P. Situmorang, and I. G. M.


Budiarsana. 2000. Pengaruh jenis pengencer terhadap
kualitas semen beku kambing peranakan etawah. Prosiding
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner ke-18. Pusat
Penelitian Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pertanian. Bogor.

40
Lestari, T. P. S., M. N. Ihsan dan N. Isnaini. 2014. Pengaruh
waktu simpan semen segar dengan pengencer andromed
pada suhu ruang terhadap kualitas semen kambing boer. J.
Ternak Tropika. 15 (1) : 43-50.

Muada, D. B., U. Paputungan, M. J. Hendrik dan S. H.


Turangan. 2017. Karakteristik semen segar sapi bangsa
limousin dan simmental di balai inseminasi buatan
lembang. J. Zootek. 37 (2) : 360-369.

Muhammad, D., T. Susilawati dan S. Wahjuningsih. 2016.


Pengaruh penggunaan CEP-2 dengan suplementasi kuning
telur terhadap kualitas spermatozoa sapi FH (Frisian
holstein) kualitas rendah selama penyimpanan suhu 4-5 oC.
J. Ternak Tropika. 17 (1) : 66-76.

Nugraheni, T., P. A. Okid dan W. Tetri. 2003. Pengaruh


vitamin c terhadap perbaikan spermatogenesis dan kualitas
spermatozoa mencit (Mus musculus L.) setelah pemberian
ekstrak tembakau (Nicotiana tabacum L.). J. Biofarmasi 1
(1) : 13-19.

Nugroho, S. 2008. Dasar – Dasar Rancangan Percobaan.


UNIB Press. Bengkulu.

Poolperm, P. 2001. Factors Influencing Semen Quality and


Fertility in Boars. PhD. Diss. North Carolina State
University.

Rahmawati, M. A., T. Susilawati dan M. N. Ihsan. 2015.


Kualitas semen dan produksi semen beku pada bangsa sapi
dan bulan penampungan yang berbeda. J. Ilmu-Ilmu
Peternakan. 25 (3) : 25-36.

41
Rizal, M., dan Herdis. 2008. Inseminasi Buatan pada Domba.
Rineka Cipta. Jakarta.

Situmorang. P. 2002. The effect of inclusion exogenous


phospholipid in tris-diluent containing a different level of
egg yolk on the viability of bull spermatozoa. JITV. 7 (3) :
181-187.

Sugiarti, T., E. Triwulaningsih, P. Situmorang, R. G. Sianturi


dan D. A. Kusumaningrum. 2004. Penggunaan katalase
dalam produksi semen dingin sapi. Prosiding Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner : 215 : 220.

Susilawati, T. 2011. Spermatology. Universitas Brawijaya


(UB) Press. Malang.

_____________ 2013. Pedoman Inseminasi Buatan.


Universitas brawijaya (UB) Press. Malang. ISBN: 978-602-
203-458-2.

Toelihere, M. R. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak.


Penerbit Angkasa. Bandung

_____________ 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak.


Cetakan 3. Penerbit Angkasa. Bandung

Wiratri, V. D. B., T. Susilawati dan S. Wahjuningsih. 2013.


Kualitas semen sapi limousin pada pengencer yang berbeda
selama pendinginan. J. Ternak Tropika. 15 (1) : 13-20.

Yendraliza. 2008. Inseminasi buatan pada ternak. SUSKA


press. Pekanbaru.

Yildiz, C., A. Kaya, M. Aksoy, and T. Tekeli. 2000. Influence


of sugar sup-plementation of the extender on motility and

42
acrosomal integrity of dog spermatozoa during freezing.
Theriogenology. 54: 579-585.

Yulianti. 2006. Pengaruh beberapa pengencer dengan waktu


equilibrasi yang berbeda terhadap kualitas semen kambing
boer sebelum pembekuan. Skripsi. Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya. Universitas Brawijaya. Malang.

Yulianto, P. dan C. Saparinto. 2014. Beternak Sapi Limousin.


Penebar Swadaya. Jakarta.

Zenichiro, K. Herliantien dan Sarastina. 2002. Teknologi


Prosesing Semen Beku pada Sapi. Balai Inseminasi Buatan
Singosari Malang. Malang.

Zulfan, M. 2008. Hubungan antara libido dngan kualitas


semen segar pada pejantan bos taurus. Skripsi. Universitas
Islam Negeri Malang. Malang.

43

Anda mungkin juga menyukai