PENDAHULUAN
1
spermatozoa dengan kandungan gula berupa sukrosa, glukosa,
fruktosa dan sorbitol (Hayati, 2009). Air kelapa saja tidak
cukup karena tidak dapat melindungi spermatozoa dari cold
shock, sehingga harus ditambahkan dengan telur atau zat lain.
Kuning telur dapat melindungi spermatozoa dari cold shock
karena mengandung lipoprotein dan lesitin. Kuning telur
mengandung glukosa yang lebih efektif digunakan oleh
spermatozoa, protein, dan memiliki viskositas yang
menguntungkan spermatozoa (Dwatmadji, Kadarsih, Sutrisno
dan Fisniarsih, 2007). Bahan yang dapat digunakan sebagai
pengencer adalah Tris Amenomethan kuning telur. Pengencer
ini memiliki bahan atau zat yang dibutuhkan spermatozoa
antara lain fruktosa, laktosa, rafinosa, asam-asam amino, dan
vitamin dalam kuning telur, sehingga spermatozoa dapat
memperoleh sumber energi dalam jumlah yang cukup untuk
motilitasnya (Susilawati, 2011).
2
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
kualitas semen sapi limousin terbaik dengan menggunakan
pengencer yang berbeda yaitu P0, P1, dan P2.
3
yang lebih efektif digunakan oleh spermatozoa, protein, dan
memiliki viskositas yang menguntungkan spermatozoa
(Dwatmadji dkk., 2007). Bahan yang dapat digunakan sebagai
pengencer adalah Tris Aminomethan kuning telur. Pengencer
Tris Aminomethan memiliki bahan atau zat yang dibutuhkan
spermatozoa antara lain fruktosa, laktosa, rafinosa, asam-asam
amino, dan vitamin dalam kuning telur sehingga spermatozoa
dapat memperoleh sumber energi dalam jumlah yang cukup
untuk motilitasnya (Susilawati, 2011).
4
Meningkatkan mutu genetik sapi limousin
5
1.6.Hipotesis
Pengencer air kelapa merah + kuning telur dapat
mempertahankan kualitas semen dalam penyimpanan dingin.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. IB
Inseminasi Buatan (IB) merupakan teknologi reproduksi
yang mampu dan berhasil meningkatkan perbaikan mutu
genetik ternak (Aziz, Salim, Isnaini dan Susilawati, 2018).
Sebagai langkah awal dalam mengefisiensikan pejantan maka
program IB perlu dilakukan (Susilawati, 2013). Inseminasi
buatan (IB) adalah salah satu teknologi reproduksi yang
mampu dan telah berhasil untuk meningkatkan perbaikan mutu
genetik ternak, sehingga dalam waktu pendek dapat
7
menghasilkan anak dengan kualitas baik dan jumlah besar
dengan memanfaatkan pejantan unggul sebanyak-banyaknya
(Susilawati, 2011).
2.3. Semen
Semen adalah sekresi kelamin jantan yang secara
normal diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina saat
kopulasi tetapi dapat pula ditampung dalam berbagai cara
untuk keperluan inseminasi buatan. Semen yang
diejakulasikan merupakan kombinasi dari produksi testis yaitu
spermatozoa dan hasil sekresi dari kelenjar asesoris (Garner
dan Hafez, 2000). Sebagai penunjang keberhasilan IB maka
kualitas semen yang akan digunakan menjadi suatu faktor
penting. Semen yang digunakan dalam program IB dapat
berupa semen cair atau semen beku (Kewilaa, Ondho dan
Setiatin, 2013). Bangsa dapat mempengaruhi kualitas semen,
dan pada sapi limousin semakin tinggi frekuensi penampungan
pH cenderung menurun (Muada, Paputungan, Hendrik dan
Turangan, 2017).
8
2.4.1. Volume
Volume semen yang sudah ditampung pada satu kali
penampungan diukur dengan melihat langsung pada tabung
berskala (Susilawati, 2011). Kualitas semen seperti volume,
motilitas, dan konsentrasi dapat dipengaruhi oleh bangsa sapi
dan bulan pengambilan semen (Rahmawati, Susilawati dan
Ihsan, 2015). Volume semen bervariasi setiap penampungan
antara 1-15 mililiter per ejakulasi (Garner and Hafez, 2008).
2.4.2. Warna
Umumnya warna semen sapi yang normal adalah putih
kekuningan atau putih susu hal ini dikarenakan adanya
riboflavin di dalam semen, jika semen abnormal maka semen
akan mengandung air, darah, rambut preputium, nanah, air
kotor dan bau yang tidak normal. Warna tersebut sering
dikacaukan apabila tercampur urine, oleh sebab itu bau dapat
membedakannya (Susilawati, 2011). Secara normal semen
sapi berwarna seperti susu atau krem keputih-putihan dan
keruh (Toelihere, 1993). Warna semen segar bangsa limousin
adalah putih susu (Muada dkk., 2017).
2.4.3. pH
Pengukuran pH dilakukan dengan cara mengambil
sedikit semen segar dengan menggunakan ose dan diletakkan
pada kertas lakmus atau pH meter kemudian dilihat pH semen
yang diuji dengan menggunakan pH BTB paper, pH normal
semen adalah 6,2-6,8 (Susilawati, 2011). Semen sapi
mempunyai pH 6,2-6,8 (Ismaya, 2014). Peningkatan
abnormalitas spermatozoa dapat disebabkan oleh efek cold
shock dan ketidakseimbangan nutrisi selain itu dapat juga
9
disebabkan oleh penambahan derajat pH karena lama waktu
penyimpanan (Dwatmadji dkk., 2007).
2.5.1. Konsentrasi
Penilaian konsentrasi semen adalah encer (<1000.10 6
spermatozoa/ml semen), sedang (1000.106-1500.106
spermatozoa/ml semen), dan pekat (>1500.10 6 spermatozoa/ml
semen) (Susilawati, 2011). Konsentrasi spermatozoa
menunjukkan jumlah sel spermatozoa tiap satuan volume
semen (Ica, 2016). Konsentrasi spermatozoa sapi berkisar
antara 800-2000 juta/ml. Perbedaan konsentrasi spermatozoa
antar pejantan diduga karena kualitas genetik pada masing-
masing pejantan (Situmorang, 2002).
10
2.5.2. Motilitas Individu
Motilitas individu spermatozoa adalah daya gerak maju
spermatozoa. Daya gerak maju ini sangat dibutuhkan pada saat
spermatozoa bergerak dalam saluran reproduksi betina untuk
mencapai tempat fertilisasi. Motilitas spermatozoa mengalami
penurunan seiring dengan lama penyimpanan (Aziz dkk.,
2018). Kisaran normal motilitas individu berkisar 60-80%
(Hafez, 2008). Minimal nilai motilitas individu semen segar
dapat diolah lebih lanjut menjadi semen cair atau semen beku
adalah diatas 70% (Susilawati, 2013). Motilitas dapat
dipengaruhi oleh adanya kandungan energi yang mencukupi
terutama karbohidrat (Nugraheni, Okid dan Tetri, 2003).
2.5.3. Viabilitas
Viabilitas adalah persentase hidup dan mati
spermatozoa yang dapat dibedakan reaksinya terhadap warna
tertentu, sel spermatozoa yang tidak motil dan dianggap mati
menghisap warna dan sel spermatozoa yang motil dan hidup
tidak berwarna. Bahan pewarna yang biasa digunakan adalah
eosin negrosin. Semen yang akan diproses harus mengandung
spermatozoa yang hidup minimal 70% (Ducha, Susilawati,
Aulanni’am dam Wahjuningsih, 2013). Semen yang normal
biasanya mempunyai viabilitas minimum sebesar 50% (Ax,
Dally, Didion, Lenz, Love, Varner and Bellin, 2008). Cara
kerja dan teknik penghitungan persentase hidup spermatozoa
menggunakan eosin negrosin adalah diteteskan satu tetes
semen segar ke object glass menggunakan kawat ose , lalu
teteskan satu tetes eosin negrosin ke dekat semen segar dan
dicampurkan. Campuran ditutup dengan object glass lain dari
ujung dan membentuk sudut 45oC lalu ditarik ke ujung
lainnya. Hasil olesan diamati mikroskop perbesaran 400x
11
(Susilawati, 2011). Viabilitas merupakan penentuan persentase
spermatozoa hidup dengan pewarnaan eosin negrosin.
Spermatozoa yang menyerap warna mengindikasikan bahwa
spermatozoa tersebut telah mati, sedangkan spermatozoa yang
tidak menyerap warna menunjukkan spermatozoa tersebut
hidup (Aziz dkk., 2018). Menurunnya persentase spermatozoa
hidup pada semua kelompok perlakuan setelah pendinginan
disebabkan semakin berkurangnya ketersediaan energi dalam
media pengencer (Hafez and Hafez, 2000). Penyimpanan
dingin dalam jangka waktu lama menyebabkan kondisi
medium menjadi semakin asam. Sisa metabolisme dapat
bersifat racun bagi spermatozoa yang akhirnya menyebabkan
kematian pada spermatozoa (Sugiarti, Triwulaningsih,
Situmorang, Sianturi dan Kusumaningrum, 2004). Terdapat
korelasi antara nilai persentase spermatozoa motil dan
spermatozoa hidup/mati, dimana nilai persentase spermatozoa
hidup seharusnya lebih tinggi dari pada spermatozoa motil,
karena tidak semua spermatozoa yang hidup dapat bergerak
progresif ke depan (motilitas) akan tetapi sebagian dapat
bergerak di tempat, berputar-putar, atau maju mundur (Rizal
dan Herdis, 2008).
12
2013). Abnormalitas primer disebabkan oleh
ketidaksempurnaan proses produksi spermatozoa
(spermatogenesis) di dalam tubuli seminiferi dan proses
pematangan di dalam epididimis, sedangkan abnormalitas
sekunder disebabkan oleh kerusakan pada saat penampungan
dan evaluasi semen. Abnormalitas primer umumnya seperti
kelainan kepala (terlalu besar, kecil, kepala lebih dari satu)
atau kelainan ekor (memiliki ekor lebih dari satu). Sementara
abnormalitas sekunder lebih banyak berupa terpisahnya ekor
dari kepala akibat kesalahan pembuatan preparat (Rizal dan
Herdis, 2008). Peningkatan abnormalitas spermatozoa dapat
disebabkan oleh efek cold shock dan ketidakseimbangan
nutrisi selain itu dapat juga disebabkan oleh penambahan
derajat pH karena lama waktu penyimpanan (Dwatmadji dkk.,
2007). Peningkatan jumlah spermatozoa yang mengalami
abnormalitas diakibatkan oleh pengaruh fisik pada saat
perlakuan di mana spermatozoa saling bergesekan satu sama
lain sehingga menyebabkan abnormalitas sekaligus kematian
(Yulianti, 2006). Abnormalitas spermatozoa dapat terjadi
karena tekanan yang keras, pemanasan yang berlebihan,
pendinginan yang cepat dan kontaminasi dengan air, urine
atau kuman dan bahan antiseptik (Toelihere, 1993).
2.6. Pengencer
Semen yang didapat saat penampungan setelah
memenuhi kualitasnya dilakukan pengenceran agar didapat
semen beku lebih banyak. Pengenceran semen ini dibutuhkan
pengencer yang dapat menjamin terjadinya proses
metabolisme dan respirasi spermatozoa selama proses
pendinginan, pencetakan ke dalam straw ataupun selama
pembekuan (Susilawati, 2013). Semen cair adalah solusi bagi
13
penerapan IB dalam upaya peningkatan populasi dan
produktivitas ternak (Kewilaa dkk., 2013). Rendahnya kualitas
semen cair disebabkan karena kerusakan spermatozoa yang
ditimbulkan oleh buruknya proses preservasi.
Bagian terpenting dari proses preservasi semen adalah
pemilihan bahan pengencer yang baik bagi kehidupan
spermatozoa (Kewilaa dkk., 2013). Semen yang tidak
diencerkan dan dibiarkan pada suhu 28-34 oC hanya bertahan
selama dua jam, tetapi apabila disimpan pada suhu 37-38 oC
dapat bertahan sampai tiga jam (Toelihere, 1981). Lingkungan
merupakan sumber kontaminan bagi spermatozoa, semen
dapat terkontaminasi oleh lebih dari 13 jenis bakteri yang
dapat berasal dari ternak (feses, preputium, dan kulit) atau dari
luar ternak seperti lantai dan area laboratorium (Poolperm,
2001). Cara untuk mempertahankan kualitas sperma adalah
semen yang telah dikoleksi dapat dipreservasi dengan cara
diencerkan kemudian disimpan pada kondisi yang
bertemperatur rendah.
Penyimpanan semen pada temperatur rendah dapat
merusak sperma. Kerusakan sperma karena cold shock dapat
dikurangi dengan menggunakan pengencer yang mengandung
lesitin dan lipoprotein (Toelihere, 1981). Syarat yang harus
dimiliki pengencer adalah tidak bersifat toxic, mengandung
sumber energi, bersifat isotonis, mengandung buffer,
melindungi dari pengaruh pendinginan secara cepat dan
menghambat pertumbuhan bakteri (Susilawati, 2013).
14
laktosa, rafinosa, asam-asam amino, dan vitamin dalam kuning
telur sehingga spermatozoa dapat memperoleh sumber energi
dalam jumlah yang cukup untuk motilitasnya (Susilawati,
2011). Pengencer Tris Aminomethan + 20% kuning telur
dapat memberikan nutrisi yang dibutuhkan spermatozoa dan
dapat mempertahankan kualitas semen sapi limousin pada
pendinginan suhu 3-5oC dibandingkan dengan pengencer
lainnya (Wiratri, Susilawati dan Wahjuningsih, 2013).
15
mengandung lipoprotein dan lesitin. Kuning telur mengandung
glukosa yang lebih efektif digunakan oleh spermatozoa,
protein, dan memiliki viskositas yang menguntungkan
spermatozoa (Dwatmadji dkk., 2007).
16
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
17
Pemeriksaan makroskopis segera dilakukan setelah semen
diperoleh, pengenceran semen dengan perlakuan P0, P1 dan
P2 serta dilakukan pemeriksaan mikroskopis setelah
pengenceran. Perlakuan yang dilakukan adalah :
P0 : Tris Aminomethan + kuning telur 20%
P1 : Air kelapa merah + kuning telur 10%
P2 : Air kelapa merah + kuning telur 20%
18
saring untuk menyaring sisa putih telur dan untuk
mendapatkan bagian dalam kuning telur
4. Kuning telur sebanyak 10% (P1) dan 20% (P2)
dituang ke dalam gelas ukur
5. Gelas ukur ditutup dengan alumonium foil
-Prosedur pembuatan :
1. Tris amino methane, citric acid, lactose, dan
raffinose dengan komposisi pada Tabel 1.
dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer 1 liter
19
dan ditambahkan 80% distilled water dari total
volume kemudian dihomogenkan menggunakan
magnetic stirrer dan direbus sampai mendidih.
2. Masukkan kuning telur sebanyak 20% dari total
volume serta masukkan penicillin dan streptomycin
sebanyak 0,1 g/100 ml dan dihomogenkan
menggunakan magnetic stirrer.
3. Pengencer dapat digunakan setelah didiamkan
lebih dari 1 hari, dan jika pengencer ingin segera
digunakan maka dapat disentrifuge dengan
kecepatan 3000 rpm selama 15 menit.
20
5. Disentrifuge 3000 rpm selama 15 menit.
6. Supernatan diambil dan disimpan pada tabung
erlenmeyer yang ditutup dengan alumunium foil
dan disimpan dalam refrigerator.
21
2. Motilitas individu : penilaian motilitas individu
dilakukan dengan menggunakan mikroskop perbesaran
400x menggunakan cover glass. Penilaian lebih bersifat
subjektif terhadap pergerakan spermatozoa.
3. Viabilitas : penilaian viabilitas dilakukan dengan cara
pembuatan preparat ulas dengan pengamatan mikroskop
perbesaran 400x, spermatozoa yang mati akan
menyerap warna dari eosin negrosin.
4. Abnormalitas : penilaian abnormalitas juga
menggunakan preparat ulas yang diamati pada
mikroskop perbesaran 400x dan dihitung minimal 150
spermatozoa. Kategori spermatozoa yang abnormal ada
lima yaitu tidak ada ekor, abnormal kepala, bentuk ekor
abnormal, bentuk ekor abnormal dengan adanya
sitoplasmic droplet pada bagian proximal, dan bentuk
abnormal ekor dengan distal droplet.
22
3.5. Prosedur Penelitian
23
3.6. Analisis Data
Data yang didapat dianalisis dengan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 10
kelompok yang diamati dari hari ke-1 sampai hari ke-6.
Perlakuan yang diteliti yaitu P0 (Tris Aminomethan + 20%
kuning telur), P1 (air kelapa merah + 10% kuning telur), dan
P2 (air kelapa merah + 20% kuning telur). Model linear aditif
RAK menurut Nugroho (2008) adalah sebagai berikut:
Y ij =μ+ τ i+ β j +ε ij
Keterangan :
Y ij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i pada kelompok ke-j
μ = nilai tengah umum
τ i = tambahan akibat pengaruh perlakuan ke-i
β j = tambahan akibat pengaruh kelompok ke-j
ε ij = tambahan akibat acak galat percobaan dari perlakuan ke-i
pada kelompok ke-j
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
25
yang digunakan, serta sebagai acuan untuk mengetahui
perubahan kualitas spermatozoa setelah pengenceran
mengalami penurunan.
Rataan volume semen segar adalah 4,12±1,81 ml
dengan volume penampungan berkisar 1-6,4 ml. Kategori
semen yang digunakan dalam penelitian ini termasuk normal.
Menurut Garner and Hafez (2008), volume semen bervariasi
setiap penampungan antara 1-15 mililiter per ejakulasi. Warna
semen yang digunakan dalam penelitian adalah putih susu, hal
ini juga termasuk normal. Susilawati (2011) berpendapat,
semen warna normal yaitu berwarna putih kekuningan atau
putih susu. Kategori untuk pH dan konsistensi juga masih
tergolong normal. Sesuai dengan pendapat Ismaya (2014),
semen sapi mempunyai pH 6,2-6,8 dengan konsistensi atau
tingkat kekentalan semen berkisar mulai dari kental hingga
encer. Susilawati (2011), konsistensi semen berkorelasi positif
dengan konsentrasi spermatozoa.
Semen yang digunakan termasuk berkualitas rendah
namun masih dapat digunakan untuk penelitian. Menurut
Toelihere (1993), persentase motilitas spermatozoa di bawah
40% menunjukkan semen yang kurang baik dan berhubungan
dengan infertilitas. Viabilitas dan abnormalitas semen segar
juga tergolong normal dan dapat digunakan untuk penelitian.
Ducha dkk. (2013), semen segar yang akan diproses harus
mengandung spermatozoa yang hidup minimal 70%. Ismaya
(2014), kualitas semen termasuk rendah apabila persentase
abnormalitasnya lebih dari 20%.
26
dibutuhkan pada saat spermatozoa bergerak dalam saluran
reproduksi betina untuk mencapai tempat fertilisasi.
Penurunan motilitas spermatozoa dalam keadaan dingin
ditampilkan pada Gambar 3.
50.00
45.00
40.00
35.00
Motilitas (%)
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6
P0 P1 P2
Gambar 3. Rata – rata motilitas selama penyimpanan 3-5 oC
27
oleh adanya kandungan energi yang mencukupi terutama
karbohidrat. Rataan persentase motilitas spermatozoa dalam
perlakuan pengencer pada penyimpanan dingin dapat dilihat
pada Tabel 3.
Pengamata P0 P1 P2
n
Hari ke-1 43,50±3,37 43,00±3,50 43,00±3,50
Hari ke-2 39,00±3,94 34,00±3,94 36,00±3,16ab
b a
28
dari perlakuan P0, P1 dan P2 yang dapat digunakan untuk
inseminasi buatan sesuai dengan SNI (motilitas ≥ 40%) adalah
penyimpanan pada hari 1, dengan P0 sebesar 43,50±3,37%, P2
sebesar 43,00±3,50%, dan P1 dengan rataan sebesar
43,00±3,50%.
Spermatozoa dapat bertahan lebih lama pada pengencer
Tris Aminomethan + 20% kuning telur karena dapat
memberikan nutrisi yang dibutuhkan oleh spermatozoa dan
dapat menjaga spermatozoa dari cold shock. Sesuai dengan
pendapat Wiratri dkk. (2014), spermatozoa dapat bertahan
lebih lama pada pengencer Tris Aminomethan karena mampu
menjaga spermatozoa dari efek cold shock, selain itu Tris
Aminomethan + 20% kuning telur mampu memberikan nutrisi
bagi metabolisme spermatozoa dan mampu melindungi
spermatozoa lebih lama dari pengencer lainnya. Persentase
motilitas lebih tinggi pada air kelapa yang mengandung 20%
kuning telur dibandingkan dengan 10% kuning telur, hal ini
dikarenakan air kelapa tidak mampu melindungi spermatozoa
dari temperatur rendah sehingga dilakukan penambahan
kuning telur, semakin rendah konsentrasi kuning telur maka
semakin rendah juga kemampuan pengencer tersebut untuk
melindungi spermatozoa dari cold shock. Hal ini sesuai dengan
penelitian terdahulu yaitu Dwatmadji dkk. (2007) yang
memiliki hasil penelitian bahwa pengencer air kelapa
rubescens-kuning telur 20% menunjukkan persentase motilitas
lebih tinggi dibanding pengencer air kelapa rubescens dengan
penambahan kuning telur 17% dan 14%. Didukung pendapat
Toelihere (1981), kadar kuning telur yang dianjurkan untuk
pengenceran semen tidak kurang dari 20% pada suhu 5 oC
untuk menjamin daya membuahi spermatozoa yang optimal.
Ditambah pendapat Ismaya (2014), kuning telur bisa
29
digunakan sebagai bahan makromolekul dalam pengencer
karena mampu melindungi kesempurnaan koloid pelindung
spermatozoa. Motilitas yang terus menurun terjadi karena
lama penyimpanan dan suhu yang dingin. Agustian dkk.
(2014), spermatozoa memerlukan proses adaptasi akibat dari
lingkungan dan suasana baru. Susilawati (2011), dalam proses
adaptasi spermatozoa terhadap bahan pengencer dapat
mengakibatkan gangguan permeabilitas membran,
menurunkan aktivitas metabolisme, kerusakan sel dan lebih
lanjut dapat menurunkan motilitas spermatozoa.
30
maju mundur. Penurunan viabilitas spermatozoa dalam
keadaan dingin ditampilkan pada Gambar 4.
90.00
80.00
70.00
60.00
Viabilitas (%)
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6
P0 P1 P2
Gambar 4. Rata – rata viabilitas selama penyimpanan 3-5 oC
31
Tabel 4. Rataan Persentase Viabilitas Spermatozoa dengan
Perlakuan Pengencer pada Penyimpanan Dingin (%)
Pengamatan P0 P1 P2
Hari ke-1 77,20±4,39 b
75,20±4,02 ab
74,50±3,06a
Hari ke-2 64,30±4,24 61,50±7,52 62,80±6,73
Hari ke-3 60,40±5,91 55,90±9,02 60,40±8,18
Hari ke-4 56,70±7,07 50,40±11,56 53,60±10,67
Hari ke-5 51,50±8,90b 43,40±11,71a 49,20±11,30ab
Hari ke-6 42,80±8,19 34,40±8,36 37,90±9,36
Keterangan : Notasi yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
32
(2000), menurunnya persentase spermatozoa hidup pada
semua kelompok perlakuan setelah pendinginan disebabkan
semakin berkurangnya ketersediaan energi dalam media
pengencer. Ditambah pendapat Sugiarti dkk. (2004),
penyimpanan dingin dalam jangka waktu lama menyebabkan
kondisi medium menjadi semakin asam. Sisa metabolisme
dapat bersifat racun bagi spermatozoa yang akhirnya
menyebabkan kematian pada spermatozoa.
Penurunan persentase viabilitas spermatozoa juga dapat
terjadi karena spermatozoa mengalami cold shock yang
menyebabkan membran plasma menjadi rusak. Kerusakan
membran plasma dapat menyebabkan spermatozoa melemah
dan mati karena membran adalah bagian terluar yang
berfungsi untuk melindungi spermatozoa. Hal ini sesuai
dengan pendapat Lestari, Ihsan dan Isnaini (2014), penurunan
viabilitas terjadi karena adanya kerusakan membran sel
sehingga terjadi kematian sel. Kerusakan membran
spermatozoa akan menyebabkan terganggunya metabolisme
intraseluler sehingga spermatozoa akan melemah dan bahkan
bisa mengalami kematian. Susilawati (2011) menambahkan,
membran merupakan bagian terluar spermatozoa yang
berfungsi untuk melindungi spermatozoa, sehingga apabila
membran rusak maka spermatozoa akan mati, dan hanya
spermatozoa yang memiliki membran utuh yang akan mampu
melakukan fertilisasi.
33
4.4. Abnormalitas Spermatozoa
Abnormalitas adalah presentase spermatozoa yang tidak
normal. Abnormalitas yang diamati ada 2 yaitu abnormalitas
primer dan abnormalitas sekunder. Aziz dkk. (2018),
abnormalitas spermatozoa merupakan evaluasi terhadap
jumlah spermatozoa yang abnormal. Susilawati (2013)
menambahkan, abnormalitas spermatozoa dapat dibedakan
menjadi dua yaitu abnormalitas primer yang berhubungan
dengan kepala dan akrosom dan abnormalitas sekunder ketika
adanya sitoplasmic droplet pada mid piece pada ekor.
Abnormalitas spermatozoa dapat dilihat pada Gambar 5.
10.00
9.00
8.00
Abnormalitas (%)
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
1.00
0.00
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6
P0 P1 P2
Gambar 5. Rata – rata abnormalitas selama penyimpanan 3-
5oC
34
Tabel 5. Rataan Persentase Abnormal Spermatozoa dengan
Perlakuan Pengencer pada Penyimpanan Dingin (%)
Pengamatan P0 P1 P2
Hari ke-1 7,50±0,53 a
8,70±0,67 b
8,20±0,42ab
Hari ke-2 7,90±2,08 6,80±1,55 7,60±1,26
Hari ke-3 7,20±0,63 7,70±0,67 7,50±0,97
Hari ke-4 8,50±0,71 8,60±1,17 8,70±0,48
Hari ke-5 8,20±0,92 8,20±1,03 8,90±0,32
Hari ke-6 8,40±0,52 a
9,10±0,88 b
8,60±0,70a
Keterangan : Notasi yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan perbedaan yang nyata
(P<0,05) Hari ke-6
Notasi yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01) *Hari ke-1
35
banyak tekanan saat pembuatan preparat. Abnormalitas juga
dapat terjadi karena spermatozoa mengalami cold shock.
Dwatmadji dkk. (2007), peningkatan abnormalitas
spermatozoa dapat disebabkan oleh efek cold shock dan
ketidakseimbangan nutrisi selain itu dapat juga disebabkan
oleh penambahan derajat pH karena lama waktu penyimpanan.
Ditambah pendapat Yulianti (2006), peningkatan jumlah
spermatozoa yang mengalami abnormalitas diakibatkan oleh
pengaruh fisik pada saat perlakuan di mana spermatozoa
saling bergesekan satu sama lain sehingga menyebabkan
abnormalitas sekaligus kematian. Menurut Toelihere (1993)
abnormalitas spermatozoa dapat terjadi karena tekanan yang
keras, pemanasan yang berlebihan, pendinginan yang cepat
dan kontaminasi dengan air, urine atau kuman dan bahan
antiseptik.
Rizal dan Herdis (2008), abnormalitas primer
disebabkan oleh ketidaksempurnaan proses produksi
spermatozoa (spermatogenesis) di dalam tubuli seminiferi dan
proses pematangan di dalam epididimis, sedangkan
abnormalitas sekunder disebabkan oleh kerusakan pada saat
penampungan dan evaluasi semen. Abnormalitas primer
umumnya seperti kelainan kepala (terlalu besar, kecil, kepala
lebih dari satu) atau kelainan ekor (memiliki ekor lebih dari
satu). Sementara abnormalitas sekunder lebih banyak berupa
terpisahnya ekor dari kepala akibat kesalahan pembuatan
preparat.
36
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kualitas semen terbaik didapatkan pada P1 : Air Kelapa
Merah + 10% Kuning Telur pada penyimpanan hari ke-1
dengan motilitas 43,00±3,50%, viabilitas 75,20±4,02%, dan
abnormalitas 8,70±0,67% karena penambahan 10% Kuning
Telur dapat mempertahankan kualitas spermatozoa seperti
pada penambahan 20% Kuning Telur.
5.2. Saran
Penelitian lebih lanjut disarankan menggunakan semen
dengan kualitas lebih dari 70%
37
DAFTAR PUSTAKA
38
CEP-2 dengan suplementasi kuning telur. Jurnal
Kedokteran Hewan. 7 (1): 5-8.
39
Hayati, R. 2009. Perbandingan susunan dan kandungan asam
lemak kelapa muda dan kelapa tua (Cocos Nucifera L.)
dengan metode gas kromatografi. J. Floratek 4 (1) : 18-28.
40
Lestari, T. P. S., M. N. Ihsan dan N. Isnaini. 2014. Pengaruh
waktu simpan semen segar dengan pengencer andromed
pada suhu ruang terhadap kualitas semen kambing boer. J.
Ternak Tropika. 15 (1) : 43-50.
41
Rizal, M., dan Herdis. 2008. Inseminasi Buatan pada Domba.
Rineka Cipta. Jakarta.
42
acrosomal integrity of dog spermatozoa during freezing.
Theriogenology. 54: 579-585.
43