Anda di halaman 1dari 59

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN HAKIM DIBAWAH ANCAMAN

MINIMUM KHUSUS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA

NARKOTIKA

(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 42/PID.SUS/2019/PN BPD

ATAS NAMA TERDAKWA SYAMSUL RIZAL BIN ZAINAL)

PENULISAN KERTAS KERJA PERORANGAN

OLEH

NAMA : ADITYA SYAUMMIL PATRIA


NOMOR PESERTA : 03
KELAS : V

PPPJ ANGKATAN LXXVIII TAHUN 2021

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

JAKARTA

2021
LEMBAR PENGESAHAN KERTAS KERJA PERORANGAN

JUDUL : Tinjauan Yuridis Putusan Hakim Dibawah


Ancaman Minimum Khusus dalam Perkara
Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus Putusan
Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN Bpd Atas Nama
Terdakwa Syamsul Rizal Bin Zainal)

Untuk memenuhi persyaratan kelulusan bagi siswa Pendidikan


dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Kejaksaan Republik
Indonesia Tahun 2021.

DISUSUN OLEH :
NAMA : ADITYA SYAUMMIL PATRIA, S.H.
PANGKAT : YUANA WIRA TU
NI/NRP : 19940722 201902 1 008/ 61994222
PPPJ / KELAS : LXXVIII / V
NO. PESERTA : 03

Jakarta, November 2021


Pembimbing Penguji

Dr. MUSLIKHUDDIN, S.H., M.H. Dr. ENDI AROFAH, S.H., M.H


Jaksa Utama Muda Jaksa Utama Madya
NIP. 19661215 199103 1 001 NIP. 1975113 20002 1 001

ii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhaanahuu wa

ta’aalaa, Tuhan Yang Maha esa, karena atas karunia dan rahmat-Nya,

Penulis dapat menyelesaikan kertas kerja perseorangan dengan judul

“Tinjauan Yuridis Putusan Hakim Dibawah Ancaman Minimum

Khusus dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus

Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN Bpd Atas Nama Terdakwa

Syamsul Rizal Bin Zainal)”

Penulisan kertas kerja perseorangan ini dilakukan dalam rangka

salah satu memenuhi persyaratan kelulusan bagi siswa Diklat Pendidikan

Pelatihan dan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Kejaksaan RI Tahun.

Izinkanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi yang

sangat membangun dalam penulisan kertas kerja perorangan ini, Penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Tony T Spontana, S.H., M.H. selaku Kepala Badan Diklat

Kejaksaan R.I., yang telah membentuk dan membina serta

memotivasi penulis dalam hal keilmuan;

2. Bapak Dr. MUSLIKHUDDIN, S.H.,M.H. selaku Kepala Bidang

Penyelenggara Badan Diklat Kejaksan RI sekaligus Pembimbing

dalam Penulisan Kertas Kerja Perorangan;

iii
3. Bapak Dr. ENDI AROFAH, S.H., M.H selaku penguji Kertas Kerja

Perorangan kelas V;

4. Para Widyaiswara, Penyelenggara, dan Matgaklin pada Badan

Diklat Kejaksaan Agung RI;

5. Keluarga Penulis;

6. Semua rekan-rekan Diklat Pendidikan Pelatihan dan Pembentukan

Jaksa (PPPJ) Angkatan LXXVIII Kelas V.

Penulis menyadari bahwa penulisan Kertas Kerja ini masih banyak

kekurangan oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk

perbaikan penulisan ini.

Akhir kata, Penulis berharap Allah SWT berkenan membalas

segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga kertas kerja

perorangan ini membawa manfaat bagi kita semua. Amin

.
Jakarta, November 2021

Penulis

ADITYA SYAUMMIL PATRIA

iv
DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Lembar Pengesahan...........................................................ii
Kata Pengantar....................................................................iii
Daftar Isi...............................................................................v

BAB I PENDAHULUAN........................................................1

A. Latar Belakang.............................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................4
C. Maksud dan Tujuan.....................................................4
1. Maksud....................................................................4
2. Tujuan.....................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................6

A. Tindak Pidana Narkotika .............................................6


B. Pidana Minimum Khusus ............................................10
C. Hakim...........................................................................11
1. Pengertian Hakim ..................................................11
2. Fungsi Hakim ........................................................11
3. Pertimbangan Hakim .............................................15

BAB III PEMBAHASAN........................................................19

A. Kasus Posisi................................................................19
B. Landasan Teori............................................................23
1. Teori Keadilan.........................................................23
2. Teori Pemidanaan...................................................27
C. Fakta dan Analisa Yuridis............................................33
1. Fakta.......................................................................33
2. Analisa Yuridis........................................................36

BAB IV PENUTUP................................................................47

A. Kesimpulan..................................................................47
B. Saran...........................................................................49

DAFTAR PUSTAKA.............................................................vi

BIODATA PENULIS.............................................................ix

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perundang-undangan di luar Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP), terdapat beberapa aturan yang memuat pidana minimum

khusus yang berbeda dengan prinsip umum sebagaimana terdapat dalam

ketentuan KUHP sebagai ketentuan pidana umum yang berlaku di

Indonesia. Dalam KUHP dikenal dengan adanya pidana penjara minimum

umumnya yaitu 1 (satu) hari dan pidana penjara maksimum paling lama

15 (lima belas) tahun sampai 20 (dua puluh) tahun dalam hal pemberatan.

Ketentuan pidana minimum khusus dapat ditemukan dalam perkara tindak

pidana yang diatur khusus (Lex spesialis) di luar KUHP namun tidak

semua Undang-undang di luar KUHP mempunyai ancaman pidana

minimum khusus.

Ancaman pidana minimum khusus adalah ancaman pidana dengan

adanya pembatasan terhadap masa hukuman minimum dengan waktu

tertentu. Tujuan dari diterapkannya pidana minimum khusus dalam suatu

peraturan pidana khusus adalah dalam rangka mengurangi disparitas

pidana (disparity of sentencing) dan menunjukkan beratnya tindak pidana

yang dilakukan.1 Yang dimaksud dengan disparitas pidana adalah

penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama
1
Muladi, “Politik dan Sistem Peradilan Pidana” Universitas Dipenegoro,
Semarang, 2002,hlm. 154
atau terhadap tindak pidana yang sifatnya berbahaya yang dimilikinya

dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas. 2 Salah satu

undang-undang yang menerapkan ancaman pidana minimum khusus

adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Diberlakukannya sistem ancaman pidana minimum khusus dalam undang-

undang tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku

penyalahgunaan narkotika karena dapat dikenai hukuman yang berat. Hal

ini dilakukan karena di setiap tahun jumlah pelaku penyalahgunaan

narkotika semakin meningkat yang diyakini salah satu penyebab dari

banyaknya penyalahgunaan narkotika yakni ringannya putusan yang

dijatuhkan oleh hakim yang tidak memberikan efek jera bagi pelakunya.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,

mengatur beberapa pasal yang menerapkan pidana minimum khusus.

Contohnya terdapat dalam Pasal 111 ayat (1)

“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,


memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar
rupiah).”

Merujuk pada pasal tersebut, seharusnya hakim dalam memutuskan

perkara narkotika seyogyanya memberikan hukuman sebagaimana

ketentuan yang berlaku. Namun, dewasa ini ditemukan hakim yang

menjatuhkan sanksi pidana dibawah ancaman pidana minimum khusus

2
Muladi dan Barda Nawawi Arief, “Teori-Teori dan Kebijakan Pidana” Alumni,
Bandung, 1998, hlm. 52.

2
yang telah ditentukan dalam undang-undang tersebut sehingga

bertentangan dengan prinsip legalitas.

Putusan Pengadilan Negeri Blangpidie Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN

Bpd tanggal 3 Oktober 2019 atas nama terdakwa Syamsul Rizal Bin

Zainal yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak

pidana Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika dan menghukum terdakwa dengan penjara selama 2 (dua)

tahun 6 (enam) bulan, pidana tersebut dibawah aturan hukum. Terdakwa

oleh Penuntut Umum di dakwa dengan dakwaan Primer Pasal 114 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Subsidair

Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika. Selanjutnya Penuntut Umum dalam surat tuntutan menyatakan

terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana

tanpa hak memiliki narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dan

melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika sebagaimana di dakwa dalam dakwaan subsidair dan

menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan

denda Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan

apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga)

bulan.

3
B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut maka rumusan masalah adalah sebagai

berikut :

1. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim memutus perkara

tindak pidana narkotika dibawah ancaman pidana minimum khusus

dalam Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Bpd atas nama terdakwa

Syamsul Rizal Bin Zainal ?

2. Apakah dibenarkan hakim memutus perkara kasus narkotika

dibawah ancaman pidana minimum khusus ?

C. Maksud Dan Tujuan

1. Maksud

Dalam pembuatan Kertas Kerja Perorangan (KKP) ini, penulis

bermaksud untuk :

 meneliti apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim

memutus perkara tindak pidana narkotika dibawah

ancaman pidana minimum khusus; dan

 meneliti apakah putusan hakim dalam perkara narkotika

dibawah ancaman pidana minimum khusus dapat

dibenarkan.

4
2. Tujuan

Adapun tujuan atas penyusunan KKP ini yaitu untuk :

 mengetahui dasar pertimbangan hakim memutus perkara

tindak pidana narkotika dibawah hukuman ancaman

pidana minimum khusus; dan

 mengetahui apakah putusan hakim dalam perkara

narkotika dibawah ancaman pidana minimum khusus

dapat dibenarkan.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tindak Pidana Narkotika

Pada dasarnya narkotika di Indonesia merupakan obat yang

dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan, sehingga ketersediannya perlu

dijamin. Di lain pihak narkotika dapat menimbulkan ketergantungan

apabila disalahgunakan, sehingga dapat mengakibatkan gangguan fisik,

mental, sosial, keamanan dan ketertiban masyarakat yang pada akhirnya

menganggu ketahanan nasional. Oleh karena sifat-sifat yang merugikan

tersebut, maka narkotika harus diawasi dengan baik secara nasional

maupun internasional.1 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman baik sitensis maupun semi sitensis maupun

semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Soedjono Dirdjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika: 2

“Zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang


menggunakannya dengan memasukkan kedalam tubuh. Pengaruh
tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan
semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat
tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan

1
http://republik-ycna.weebly.com/gerbang-articel/tindak-pidana-narkotika-dalam-
hukum positifindonesia, Diunduh pada tanggal 20 Oktober 2021 pukul 19.00 Wib
2
Soedjono Dirdjosisworo, “Hukum Narkotika Indonesia” Alumni, Bandung, 1987,
hlm.7.
dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia di bidang
pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain.

Yang dimakud narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika adalah tanaman papever, opium mentah, opium

masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka,

daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar

ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain,

baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan

yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang

ditetapkan mentri kesehatan sebagai narkotika, apabila

penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang

merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang

mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan

kokaina, atau bahanbahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan

mentri kesehatan sebagai narkotika.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan

yaitu :

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat


digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat
tinggi mengakibatkan ketergantungan.
b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat
pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan.
c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau

7
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan ketergantungan

Siapa saja yang dapat disebut sebagai pelaku perbuatan pidana

narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika. Untuk pelaku penyalahgunaan Narkotika dapat dikenakan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hal ini dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Pengedar

Ketentuan pidana bagi pengedar dalam Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika diatur dalam Pasal

111, Pasal 112, Pasal 114 dan Pasal 116 untuk Narkotika

Golongan I. Pasal 117, Pasal 119 dan Pasal 121 untuk

Narkotika Golongan II. Serta Pasal 122, Pasal 124 dan Pasal

126 untuk Narkotika Golongan III.

2. Produsen

Produsen adalah orang yang melakukan kegiatan produksi

dengan menyiapkan, mengolah, membuat dan menghasilkan

Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui

ekstraksi atau non-ekstraksi dari sumber alami atau sintesis

kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau

mengubah bentuk narkotika. Sanksi pidana yang dapat

diberikan bagi produsen narkotika adalah Pasal 113, Pasal 118

8
dan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika.

3. Penyalahguna

Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika

tanpa hak atau melawan hukum. Penerapan sanksi pidana bagi

penyalahguna diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan

Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika,

dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika

karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau

bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam

Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan

melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Selain

itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor

Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera

terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik

dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh)

tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan

pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis,

ukuran, dan jumlah Narkotika.

9
B. Pidana Minimum Khusus

Pidana minimum khusus adalah ancaman pidana dengan adanya

pembatasan terhadap masa hukuman minimum dengan waktu tertentu.

Tujuan dari diterapkannya pidana minimum khusus dalam suatu peraturan

pidana khusus adalah dalam rangka mengurangi disparitas pidana

(disparity of sentencing) dan menunjukkan beratnya tindak pidana yang

dilakukan.3 Yang dimaksud dengan disparitas pidana adalah penerapan

pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap

tindak pidana yang sifatnya berbahaya yang dimilikinya dapat

diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas. 4

Ketentuan pidana minimum yang belaku di Indonesia KUHP diatur

pada Pasal 12 ayat (2) untuk pidana penjara selama satu hari sedangkan

untuk pidana kurungan pada Pasal 18 ayat (1) dan lamanya adalah satu

hari juga, hal ini berlaku secara umum. Namun dalam pidana minimum

khusus tidak diatur secara khusus di dalam KUHP, namun pada Pasal 103

KUHP bahwasannya undang-undang diluar KUHP dapat mengatur

mengenai hal-hal yang khusus (special rules).

3
Muladi, “Politik dan Sistem Peradilan Pidana” Universitas Dipenegoro,
Semarang, 2002,hlm. 154
4
Muladi dan Barda Nawawi Arief, “Teori-Teori dan Kebijakan Pidana” Alumni,
Bandung, 1998, hlm. 52.

10
Menurut Barda Nawawi Arief, secara teoritis pembahasan mengenai

pidana meliputi tiga hal, yaitu jenis pidana (strafsoort), lamanya sanksi

pidana (strafmaat), dan aturan pelaksanaan pidana (strafmodus). 5 Pidana

minimum khusus termasuk ke dalam kategori lamanya sanksi pidana yang

berkaitan dengan sanksi pidana minimal dalam setiap tindak pidana yang

dirumuskan dalam pasal tertentu.

C. Hakim

1. Pengertian Hakim

Secara normatif menurut Pasal 1 angka (5) Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang dimaksud

dengan hakim, adalah:

Hakim adalah  hakim agung dan hakim pada badan peradilan di


semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagimana
dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun  1945.

 Pada Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman juga menjelaskan mengenai

pengertian dari hakim. yang dimaksud dengan hakim, adalah:

Hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim pada badan


peradian yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan hakim
pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan
peradilan tersebut.  

2. Fungsi Hakim 

5
Mahrus Ali, “Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia” UII Press, Yogyakarta, 2011.
hlm. 56.

11
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa “Dalam menjalankan

tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga

kemandirian peradilan”.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya berdasarkan

ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman “Hakim dan hakim konstitusi wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menjelaskan bahwa

pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili

suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada

atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya.

Dari ketentuan Pasal tersebut Boy Nurdin menjelaskan: 6

Pasal tersebut mengisyaratkan fungsi  hakim sebagai penemu


hukum dalam penegakan hukum apabila terjadi suatu peraturan
perundang-undangan yang belum jelas hakim harus bertindak
berdasar inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara
tersebut. Dalam hal menyelesaikan perkara, hakim harus
berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum,
sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat
membantunya.

Profesi hakim yang merupakan salah satu profesi hukum, yang

pada hakekatnya merupakan pelayanan kepada manusia dan


6
Boy Nurdin, “Kedudukan dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum di
Indonesia” Alumni, Bandung, 2012. hlm. 87.

12
masyarakat di bidang hukum. Dalam menjalankan fungsinya hakim

dituntut memiliki moralitas dan tanggung jawab yang tinggi, yang

kesemuanya dituangkan dalam prinsip-prinsip dasar kode etik hakim

(The Bangalore Principle), antara lain:7

a. Independensi (independence)

Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya

hukum dan keadilan, dan persyaratan bagi terwujudnya cita-cita

Negara hukum. Independensi yang dimaksud adalah

kemandirian dan kemerdekaan seorang hakim baik secara

individu maupun kelembagaan. Agar putusan seorang hakim

dapat terhidar dari intervensi dari luar diri hakim yang bersifat

halus, maupun dengan tekanan atau paksaan.

b. Ketidak berpihakan (impartiality)

Fungsi Hakim merupakan seseorang yang diharapkan

dapat memberikan pemecahan disetiap perkara yang diajukan

kepadanya. Ketidakberpihakan merupakan hal yang harus

tercermin bagi seorang hakim dalam memutus perkara yang

diajukan. Sehingga putusan hakim dapat benar-benar dan

diterima sebagai solusi hukum yang adil bagi semua pihak yang

berperkara. 

c. Integritas (integrity)

7
Ashhiddiqe, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia” Cet. 2 PT.Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta, 2008. hal.513.

13
Integritas merupakan sikap batin yang mencerminkan

keutuhan dan keseimbangan keperibadian setiap hakim

sebagai pribadi dan sebagai pejabat Negara dalam

menjalankan tugas jabatanya.

d. Kepantasan dan Sopan-Santun (propriety)

Kepantasan dan kesopanan merupakan sikap yang

dimiliki seorang hakim dalam prilaku hakim, baik sebagai

pribadi maupun sebagai pejabat Negara dalam menjalankan

tugas profesionalnya. Sikap ini bertujuan mewujudkan rasa

hormat, kewibawaan dan kepercayaan terhadap masyarakat.

e. Kesetaraan (equality)

Kesetaraan merupakan sikap hakim agar menjamin

perlakuaan yang sama terhadap semua orang yang berperkara

dihadapanya berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Tidak membeda-bedakan antara suku, ras, etnis dan agama

setiap orang yang berperkara.

f. Kecakapan dan Keseksamaan (competence)

Kecakapan dan Keseksamaan seorang hakim merupakan

syarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan

terpercaya. Hakim yang berkompeten dapat mewujudkan

peradilan yang dipercaya oleh masyarakat. Kompetensi

seorang hakim dapat tercermin dari pendidikan, pelatihan, dan

pengalaman seorang hakim tersebut.

14
3. Pertimbangan Hakim

Pertimbangan Hakim atau ratio decidendi adalah argumen atau

alasan yang dipakai oleh Hakim sebagai pertimbangan hukum yang

menjadi dasar sebelum memutus perkara. 8 Pertimbangan tersebut

menjadi salah satu aspek yang sangat penting untuk mewujudkan

nilai dari suatu putusan Hakim yang mengandung keadilan (ex

aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum.9

Pertimbangan Hakim bermula pada saat Hakim menyatakan

pemeriksaan ditutup, dimana selanjutnya Hakim yang memeriksa

dan mengadili suatu perkara mengadakan musyawarah untuk

mendapatkan putusan yang adil sesuai dengan tujuan dari hukum. 10

Pertimbangan Hakim tersebut berisi argumen atau alasan yang

dipakai oleh Hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi

dasar sebelum memutus perkara. Pertimbangan Hakim sendiri

dibagi menjadi dua bagian yaitu:

a. Pertimbangan yuridis

Menurut Lilik mulyadi bahwa hakekat pada pertimbangan

yuridis Hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu

8
M. Ranuhandoko, “Terminologi Hukum Inggris-Indonesia” Sinar Grafika,
Jakarta, 2003. hlm. 475.
9
Mukti Aro, “Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama” Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004. hlm. 140.
10
AL. Wisnubroto, “Praktik Persidangan Pidana” Universitas Atmajaya,
Yogyakarta, 2014. hlm. 148.

15
delik. Apakah perbuatan Terdakwa memenuhi dan sesuai

dengan delik yang didakwakan oleh Penuntut Umum, sehingga

pertimbangan tersebut relevan terhadap amar/diktum putusan

Hakim.11

Pertimbangan Yuridis diartikan sebagai pertimbangan

Hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang

terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-undang

ditetapkan sebagaimana yang harus dimuat dalam putusan,

seperti dakwaan Penuntut Umum, keterangan Terdakwa,

keterangan saksi, barang bukti dan pasal-pasal dalam

peraturan hukum pidana. Pertimbangan yuridis dari delik yang

didakwakan juga harus sesuai dengan aspek teoritik,

pandangan doktrin, yurisprudensi, dan posisi kasus yang

ditangani, barulah kemudian secara limitatif ditetapkan

putusannya. Setelah pencantuman unsur-unsur tersebut, dalam

praktek Hakim selanjutnya mempertimbangkan hal-hal yang

dapat meringankan atau memberatkan Terdakwa

(pertimbangan non-yuridis).12

11
Lilik Mulyadi, “Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoristis dan Praktek
Peradilan” Mandar Maju, Bandung, 2007. hlm. 193.
12
Adami Chazawi, “Kejahatan terhadap Tubuh & Nyawa” PT Raja Grafindo,
Jakarta, 2004. hlm. 73.

16
b. Pertimbangan non-yuridis

Pertimbangan non-yuridis dapat dilihat dari latar belakang

Terdakwa, kondisi Terdakwa dan agama Terdakwa. 13

Selanjutnya Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengatur bahwa Hakim

wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini

dimaksudkan agar setiap putusan Hakim harus sesuai dengan

ketentuan hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat, sehingga

dalam menjatuhkan putusannya Hakim tidak hanya

mempertimbangkan aspek yuridis, tetapi juga aspek non-

yuridis/sosiologis.

pertimbangan Hakim harus berdasarkan pada fakta-fakta,

alat bukti di persidangan, serta keyakinan Hakim atas suatu

perkara. Hal ini akan sangat berkaitan dengan bagaimana

Hakim mengemukakan pendapat atau pertimbangannya dalam

menjatuhkan putusan. Dimana dalam putusan pengadilan

harus terdapat pertimbangan-pertimbangan mengenai hal-hal

yang memberatkan dan meringankan putusan, yang akan

dijadikan alasan oleh Hakim dalam menjatuhkan putusannya. 14

Pertimbangan mengenai hal-hal yang memberatkan dan


13
Rusli Muhammad, “Hukum Acara Pidana Kontemporer” PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007. hlm. 212.
14
Nurhafifah dan Rahmiati, “Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana
terkait Hal yang Memberatkan dan Meringankan Putusan” Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 17,
No. 22, 2015. hlm. 344.

17
meringankan Terdakwa ini diatur dalam Pasal 197 huruf d dan

197 huruf f KUHAP.

Pasal 197 huruf d:


“Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai
fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan Terdakwa”.

Pasal 197 huruf f:


“Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar pemidanaan atau tindakan dan peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai
keadaan yang memberatkan dan meringankan Terdakwa”.

18
BAB III

PEMBAHASAN

A. Kasus Posisi

Terdakwa Syamsul Rizal Bin Zainal pada hari Senin tanggal 25

Maret 2019 sekira jam 10.00 WIB terdakwa menuju Tripa Kecamatan

Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya untuk mengantar abang ipar

terdakwa kemudian sekira jam 15.00 WIB pada saat terdakwa hendak

pulang, terdakwa bertemu dengan Sdr. Dek Gam (DPO) yang

menawarkan narkotika jenis ganja kepada terdakwa kemudian terdakwa

menyerahkan uang Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) kepada Sdr. Dek

Gam dan 1 (satu) bungkus narkotika jenis ganja yang dibungkus dengan

bungkusan nasi diberikan Sdr. Dek Gam kepada terdakwa kemudian

terdakwa kembali melakukan perjalanan pulang menuju rumahnya.

Selanjutnya sekira jam 19.30 WIB terdakwa memakai ganja yang telah

terdakwa beli tersebut di lapangan bola Desa Padang Baru dengan cara

mengambil sebahagian ganja tersebut kemudian terdakwa campurkan

dengan menggunakan rokok Umill dan terdakwa linting/balut dengan

menggunakan kertas rokok lalu terdakwa hisap.

Pada hari Selasa tanggal 26 Maret 2019 sekira jam 22.00 WIB,

terdakwa pergi ke kolam ikan milik ayah terdakwa dan sesampainya

dikolam tersebut, terdakwa memakai ganja tersebut dengan cara

terdakwa mengambil sebahagian ganja tersebut kemudian terdakwa


campurkan dengan menggunakan rokok Umill dan terdakwa linting/balut

dengan menggunakan kertas rokok lalu terdakwa hisap.

Pada hari Rabu tanggal 27 Maret 2019 sekira pukul 10.00 WIB, saksi

Dena E.S. Ketaren dan saksi Jusriadi (keduanya anggota Reserse

Narkoba Polres Aceh Barat Daya) yang mendapatkan informasi dari

masyarakat yang layak dipercaya bahwa ada seseorang yang diduga

menguasai narkotika jenis ganja di Desa Padang Baru Kecamatan Susoh

Kabupaten Aceh Barat Daya dan saksi Dena E.S. Ketaren dan saksi

Jusriadi langsung bergerak kelokasi yang dituju. Kemudian sekira pukul

10.30 WIB ketika sudah sampai ditempat yang dituju tepatnya di rumah

terdakwa, saksi Dena E.S. Ketaren dan saksi Jusriadi beserta anggota

Res Narkoba lainnya langsung melakukan penangkapan terhadap

terdakwa yang mana pada saat itu terdakwa sedang duduk didepan

rumahnya kemudian ketika dilakukan penggeledahan terhadap terdakwa

ditemukan barang bukti 1 (satu) bungkus narkotika jenis ganja yang

dibungkus dengan kertas bungkus nasi yang disimpan di saku sebelah kiri

celana terdakwa.

Berdasarkan Berita Acara Analisis Laboratorium Barang Bukti

Narkotika dari Pusat Laboratorium Forensik Polri Cabang Medan Nomor

Lab : 4307/ NNF /2019 tanggal 26 April 2019, barang bukti 1 (satu)

bungkus warna coklat berisi daun dan biji kering dengan berat bruto 3,20

(tiga koma dua puluh) gram milik atas nama SYAMSUL RIZAL Bin

ZAINAL dengan kesimpulan adalah benar Ganja dan terdaftar dalam

20
Golongan I nomor urut 8 Lampiran I Undang- Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Atas perbuatan terdakwa, Penuntut Umum mendakwa terdakwa

dengan dakwaan Primer Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, Subsidair Pasal 111 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Selanjutnya Penuntut

Umum dalam surat tuntutan menyatakan terdakwa terbukti secara sah

dan meyakinkan melakukan tindak pidana tanpa hak memiliki narkotika

golongan I dalam bentuk tanaman dan melanggar Pasal 111 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagaimana

dalam dakwaan subsidair dan menuntut terdakwa dengan pidana penjara

selama 6 (enam) tahun dan denda Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta

rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan

pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.

Atas dasar dakwaan dari Penuntut Umum, Majelis Hakim Pengadilan

Negeri Blangpidie dalam putusan Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Bpd

menyatakan bahwa terdakwa Syamsul Rizal Bin Zainal terbukti secara

sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana tanpa hak memiliki

Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, sebagaimana yang

didakwakan dalam dakwaan subsider dan menjatuhkan pidana terhadap

terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun

dan 6 (enam) bulan dan denda sejumlah Rp. 800.000.000,00 (delapan

ratus juta rupiah), apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana

21
penjara selama 3 (tiga) bulan. Namun Pasal 111 ayat (1) Undang-undang

No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memuat ketentuan ancaman pidana

minimum khusus yakni pidana penjara selama paling singkat 4 (empat)

tahun.

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blangpide Nomor:

42/Pid.Sus/2019/PN.Bpd yang memutus terdakwa Syamsul Rizal Bin

Zainal dibawah tuntutan Penuntut Umum dan dibawah ancaman pidana

minimum khusus Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika, Penuntut Umum melakukan Upaya hukum

banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh namun upaya hukum banding

yang diajukan Penuntut Umum ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh dalam

amar Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor:

309/PID/2019/PT.BNA menguatkan Putusan Pengadilan Negeri

Blangpidie. Selanjutnya atas putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh

tersebut, Penuntut Umum melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah

Agung namun dalam amar Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1125

K/Pid.Sus/2020 menolak permohonan kasasi dari Penuntut Umum dan

memperbaiki Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 309/PID/

2019/PT.BNA tanggal 29 November 2019 yang menguatkan Putusan

Pengadilan Negeri Blangpidie Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN Bpd tanggal 3

Oktober 2019 tersebut mengenai pidana yang dijatuhkan kepada

terdakwa sehingga menjadi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6

(enam) bulan dan pidana denda sebesar Rp. 800.000.000,00 (delapan

22
ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti

dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan.

B. Landasan Teori

Teori berasal dari bahasa latin (theoria) yang berarti perenungan.

Para ahli menggunakan kata teori sebagai bangunan berpikir yang

tersusun secara sistematis, logis (rasional), empiris (sesuai kenyataan),

juga simbolis.0 Teori Hukum sendiri merupakan teori di bidang hukum

yang fungsinya memberikan argumentasi yang meyakinkan bahwa hal-hal

yang dijelaskan tersebut adalah ilmiah atau memberikan gambaran bahwa

hal-hal yang dijelaskan itu memenuhi standar teoritis. 0

1. Teori Keadilan

Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti

tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar,

sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Dapat disimpulkan bahwa

pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenan dengan sikap

dan tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi sebuah

tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak

dan kewajibannya, memperlakukan dengan tidak pandang bulu atau

pilih kasih melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai

dengan hak dan kewajibannya. semua orang diperlakukan sama

sesuai dengan hak dan kewajibannya.0

0
Juhaya Praja, “Teori Hukum dan Aplikasinya” Pustaka Setia, Bandung, 2014.
hlm. 1.
0
Ibid, hlm. 53

23
Menurut Aristoteles Keadilan adalah kelayakan dalam tindakan

manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua

ujung eksterm yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung

eksterm itu menyangkut 2 (dua) orang atau benda. Bila 2 (dua) orang

tersebut punya kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka

masing - masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang

sama. Jika tidak sama, maka akan terjadi pelanggaran terhadap

proporsi tersebut berarti ketidakadilan.

Teori keadilan menurut aristoteles diantaranya adalah :

1. Keadilan Komutatif

Yaitu keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang

apa yang menjadi bagiannya, dimana yang diutamakan adalah

obyek tertentu yang merupakan hak dari seseorang. Keadilan

komutatif berkenaan dengan hubungan antar orang/antar individu. Di

sini ditentukan agar prestasi sama nilainya dengan kontra prestasi.

2. Keadilan Distributif

Yaitu keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang

apa yang menjadi haknya, dimana yang menjadi subyek hak adalah

individu, sedangkan subyek kewajiban adalah masyarakat. Keadilan

distributive berkenaan dengan hubungan antar individu dan

masyarakat/negara. Disini yang ditekankan bukan asas

kesamaan/kesetaraan (prestasi sama dengan kontra prestasi).

0
Manullang E.fernando M, “Menggapai Hukum Berkeadilan” Kompas, Jakarta,
2007. Hlm.57

24
Melainkan, yang ditetapkan adalah asas proporsionalitas atau

kesebandingan berdasarkan kecakapan, jasa, atau kebutuhan.

Keadilan jenis ini berkenaan benda kemasyarakatan seperti jabatan,

barang, kehormatan, kebebasan dan hak-hak.

3. Keadilan Legal

Yaitu keadilan berdasarkan undang-undang. Yang menjadi

objek dari keadilan legal adalah tata masyarakat. Tata masyarakat

itu dilindungi oleh undang-undang.

4. Keadilan Vindikatif

Yaitu keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang

hukuman atau denda sebanding dengan pelanggaran atau kejahatan

yang dilakukan.

5. Keadilan Reaktif

Yaitu keadilan yang memberikan kepada masing-masing orang

bagiannya yaitu berupa kebebasan untuk menciptakan sesuai

dengan kreatifitas yang dimilikinya. Keadilan ini memberikan setiap

orang untuk mengungkapkan kreatifitasnya di berbagai bidang

kehidupan.

6. Keadilan Protektif

Yaitu keadilan yang memberikan proteksi atau perlindungan

kepada pribadi-pribadi. Dalam masyarakat, keamanan dan

25
kehidupan pribadi-pribadi warga masyarakat wajib dilindungi dari

tindak sewenang-wenang pihak lain.0

Selain Aristoteles terdapat beberapa tokoh juga yang

memberikan definisi mengenai keadilan, diantaranya : 0

1. Teori keadilan menurut Ustinian yang menyatakan bahwa


“keadilan adalah kebijakan yang memberikan hasil, bahwa
setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya”.
2. Teori keadilan menurut Herbet Spenser yang menyatakan
“setiap orang bebas untuk menentukan apa yang
dilakukannya,asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama
dari orang lain”.
3. Teori keadilan menurut Hans Kelsen, Menurutnya keadilan
tentu saja digunakan dalam hukum, dari segi kecocokan
dengan undang-undang. Ia menganggap sesuatu yang adil
hanya mengungkapkkan nilai kecocokan relatif dengan sebuah
norma “adil” hanya kata lain dari “benar”.

Keadilan dalam perspektif filsafat hukum meyakini bahwa alam

semesta diciptakan dengan prinsip keadilan, sehingga dikenal antara

lain Stoisisme norma hukum alam primer yang bersifat umum

menyataka: berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi

haknya (unicuique suum tribuere), dan jangan merugikan seseorang

(neminem laedere), Cicero juga menyatakan bahwa hukum dan

keadilan tidak ditentukan oleh pendapat manusia, tatapi alam.

Sedangkan paradigma Positivisme hukum keadilan dipandang

sebagai tujuan hukum. Hanya saja disadari pula sepenuhnya tentang

relativitas dari keadilan ini sering mengaburkan unsur lain yang juga

penting, yakni unsur kepastian hukum. Adagium yang selalu di


0
http://www.PengertianAhli.com /2014/01/Pengertian-Keadilan-Apa-Itu-Keadilan.
Html #. Di akses pada tanggal 12 Oktober 2021 pukul 20.34 WIB.
0
Ansori,Abdul Gafur, “Filsafat Hukum Sejarah,Aliran Dan Pemaknaan” UGM,
Yogyakarta, 2006. Hlm. 89

26
dengungkan adalah suum jus, summa injuria, summa lex. Summa

crux, secara harfiah ungkapan tersebut berarti bahwa hukum yang

keras akan melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya. 0

2. Teori Pemidanaan

Teori tujuan sebagai Theological Theory dan teori gabungan

sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan

beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan pliural, di mana

kedua teori tersebut menggabungkan pandangan Utilitarian dengan

pandangan Retributivist. Pandangan Utilitarians yang menyatakan

bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi

bermanfaat yang dapat dibuktikan dan pandangan retributivist yang

menyatakan bahwa keadilan dapat dicapai apabula tujuan yang

Theological tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran prinsip-

prinsip keadilan.0

Beberapa teori yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan

adalah sebagai berikut:

a. Teori Absolut / Retribusi

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena

orang yang telah melakukan suatu tindak pidana atau

kejahatan. Imamanuel Kant memandang pidana sebagai

“Kategorische Imperatif” yakni seseorang harus dipidana oleh

Hakim karena ia telah melakukan kejahatan sehingga pidana

0
Ibid., Hlm. 102
0
Muladi, “Lembaga Pidana Bersyarat” Alumni, Bandung, 2002. Hlm.13

27
menunjukan suatu tuntutan keadilan. Tuntutan keadilan yang

sifatnya absolute ini terlihat pada pendapat Imamanuel Kant di

dalam bukunya “Philosophy of Law” sebagai berikut :

Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai


sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi
sipelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat tapi dalam semua
hal harus dikenakan karena orang yang bersangkutan telah
melakukan sesuatu kejahatan.0

Mengenai teori pembalasan tersebut, Andi Hamzah juga

memberikan pendapat sebagai berikut :

Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah


bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat.
Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur
dijatuhkan pidana.0

Pidana secara mutlak, karena dilakukan suatu kejahatan.

Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana. Artinya

teori pembalasan tidak memikirkan bagaimana membina si

pelaku kejahatan, padahal si pelaku kejahatan mempunyai hak

untuk dibina dan untuk menjadi manusia yang berguna sesuai

dengan harkat dan martabatnya.0

b. Teori Tujuan / Relatif

Pada penganut teori ini memandang sebagaimana

sesuatu yang dapat digunakan untuk mencapai pemanfaatan,


0
Muladi dan Barda Nawawi Arief, “Teori-Teori dan Kebijakan Pidana” Alumni,
Bandung, 2005. Hlm. 8
0
Andi Hamzah, “Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia” Pradnya Paramita,
Jakarta, 1993. Hlml. 26
0
Samosir, Djisman, “Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di
Indonesia” Bina Cipta, Bandung, 1992. Hlm 21

28
baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah maupun yang

berkaitan dengan dunia luar, misalnya dengan mengisolasi dan

memperbaiki penjahat atau mencegah penjahat potensial, akan

menjadikan dunia tempat yang lebih baik. 0 Dasar pembenaran

dari adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya.

Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang

membuat kesalahan) melakukan ne peccetur (supaya orang

jangan melakukan kejahatan), maka cukup jelas bahwa teori

tujuan ini berusaha mewujudkan ketertiban dalam masyarakat.

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini,

biasa dibedakan menjadi dua istilah, yaitu :

1) Prevensi special (speciale preventie) atau Pencegahan

Khusus Bahwa pengaruh pidana ditunjukan terhadap

terpidana, dimana prevensi khusus ini menekankan tujuan

pidana agar terpidana tidak mengulangi perbuatannya

lagi. Pidana berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki

terpidana untuk menjadi masyarakat yang baik dan

berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya.

2) Prevensi General (Generale Prevenie) atau Pencegahan

Umum Prevensi General menekankan bahwa tujuan

pidana adalaha untuk mempertahankan ketertiban

masyarakat dari gangguan penjahat. Pengaruh pidana

ditunjukan terhadap masyarakat pada umumnya dengan


0
Muladi, Op.Cit., Hlm. 14

29
maksud untuk menakut-nakuti. Artinya pencegahan

kejahatan yang ingin dicapai oleh pidana adalah dengan

mempengaruhi tingkah laku masyarakat pada umumnya

untuk tidak melakukuan tindak pidana.0

Menurut Johan Andenaes terdapat tiga bentuk pengaruh

dalam pengertiannya prevensi general yaitu :

1) Pengaruh pencegahan;
2) Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;
3) Pengaruh untuk mendorong suatu kebiasaan pembuatan
patuh pada hukum.

Sehubungan yang dikemukakan oleh Johan Andenaes,

maka Van Veen berpendapat bahwa prevensi general

mempunya tiga fungsi, yaitu:

1) Menegakan Kewibawaan;
2) Menegakan Norma;
3) Membentuk Norma. 0

c. Teori Gabungan / Integratif

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain

membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk

melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori

ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan

teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan

0
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., Hlm. 16
0
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., Hlm. 16

30
bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan

yaitu:0

1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan

ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman

perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan

pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang

melaksanakan.

2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan

ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan

dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat

diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki

masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan

menakut-nakuti sulit dilaksanakan.

Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: 0

a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan

tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan

sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib

masyarakat.

b. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata

tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu

0
Koeswadji, “Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka
Pembangunan Hukum Pidana” Cetakan I Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995. Hlm. 11-
12.
0
Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai
Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 24

31
penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya

perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.

c. Teori integratif yang menganggap harus ada

keseimbangan antara kedua hal di atas.

Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah

merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan

pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping

itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana

mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan

sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana

adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat

diterima kembali dalam masyarakat.0

C. Fakta dan Analisa Yuridis

1. Fakta

Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan Primer

Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika:
0
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., Hlm. 22

32
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika
Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).

Subsidair Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika:

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,


memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).

Bahwa terdakwa sebelum ditangkap pada tanggal 27 Maret

2019, pada tanggal 25 Maret 2019 sekira pukul 19.30 WIB terdakwa

sempat menggunakan Narkotika Golongan I jenis ganja tersebut,

terdakwa memakainya di lapangan bola Desa Padang Baru dengan

cara mengambil sebahagian ganja tersebut kemudian terdakwa

campurkan dengan menggunakan rokok UMILL dan terdakwa

lenting/balut dengan menggunakan kertas cigarete dan lalu terdakwa

hisap.

Selanjutnya terdakwa pada hari Selasa tanggal 26 Maret 2019

sekira pukul 22.00 WIB, terdakwa pergi ke kolam ikan milik ayah

terdakwa dan sesampai di kolam tersebut, terdakwa memakai

Narkotika Golongan I jenis ganja tersebut dengan cara terdakwa

campurkan sebagian ganja dengan menggunakan rokok UMILL dan

33
kemudian terdakwa lenting atau balut dengan menggunakan kertas

cigarete dan selanjutnya terdakwa hisap.

Barang bukti Narkotika Golongan I jenis ganja yang ditemukan

saat dilakukan penggeledahan terhadap terdakwa adalah sisa pakai

yang dipergunakanan terdakwa. terdakwa juga mengakui di

persidangan bahwa ia telah menggunakan Narkotika jenis ganja

sejak Tahun 2011.

Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tungku Peukan

Pemerintah Kabupaten Aceh Daya, yang diperiksa oleh Dr. Rini

Rahmayani, M.Kep, tanggal 29 Maret 2019, atas nama Syamsul

Rizal dari Tes Urine tersebut terdakwa dinyatakan positif

mengandung THC/ ganja.

Penuntut Umum dalam surat tuntutan menyatakan terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana tanpa

hak memiliki narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dan

melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

tentang Narkotika sebagaimana dalam dakwaan subsidair dan

menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun

dan denda Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dengan

ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara

selama 3 (tiga) bulan.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blangpidie dalam putusan

Nomor 42/Pid.Sus/2019/PN.Bpd menyatakan bahwa terdakwa

34
Syamsul Rizal Bin Zainal terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana tanpa hak memiliki Narkotika Golongan I

dalam bentuk tanaman, sebagaimana yang didakwakan dalam

dakwaan subsider namun menjatuhkan pidana dibawah ancaman

pidana minimum khusus undang-undang karena dari fakta yang

terungkap di persidangan, terdakwa terbukti Pasal 127 Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun Pasal ini

tidak didakwakan. Terdakwa terbukti sebagai Pemakai, dimana

barang bukti Narkotika Golongan I jenis ganja yang dibungkus

dengan kertas nasi yang ditemukan di kantong celana terdakwa

relatif kecil seberat 3,20 (tiga koma dua puluh) gram (SEMA Nomor 4

Tahun 2010). Sehingga menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh

karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6

(enam) bulan dan denda sejumlah Rp. 800.000.000,00 (delapan

ratus juta rupiah).

2. Analisa Yuridis

a. Pertimbangan Hakim Memutus Perkara Tindak Pidana

Narkotika Dibawah Ancaman Pidana Minimum Khusus

35
Majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan

semua unsur-usur dari Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang RI

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah terbukti, maka

terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan tindakan pidana, sebagaimana dalam

dakwaan subsider Penuntut Umum. Dalam persidangan,

Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat

menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai

alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka terdakwa

harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan harus

dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.

Setelah memperhatikan segala sesuatunya dengan

seksama dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan baik

itu setelah mempertimbangkan tuntutan Penuntut Umum

maupun permohonan secara lisan yang dilakukan oleh

Terdakwa didepan persidangan yang mana Terdakwa

mengakui bahwa masih mempunyai tanggungan orang tua

yang sudah tua dan juga setelah memperhatikan keadilan bagi

terdakwa yang mengacu kepada Undang-undang yang berlaku

serta perlindungan terhadap masyarakat akan peredaran

narkotika.

Terdakwa oleh Penuntut Umum dituntut bersalah

melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-undang Nomor 35

36
Tahun 2009 tentang Narkotika dengan pidana penjara selama 6

(enam) tahun dan denda Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus

juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar

diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.

Terhadap ketentuan ancaman pidana dalam Pasal 111

ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika menganut asas pidana minimum khusus, yang berarti

bahwa ketentuan undang-undang tersebut memberikan

batasan minimal terhadap penjatuhan sanski pidana terhadap

pelaku tindak pidana yang melanggar pasal tersebut. Dalam

Pasal 111 ayat (1) tersebut ancaman pidana minimum yang

dapat dijatuhkan Hakim terhadap pelaku tindak pidana yang

terbukti bersalah adalah pidana penjara minimal 4 (empat)

tahun penjara dan denda paling sedikit sejumlah Rp.

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Jika kita melihat aliran hukum positif (positivisme) yang

dianut oleh John Austin dapat disimpulkan bahwa hukum itu

harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena

hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi.

Adapun yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan

sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum

harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis

mengakui bahwa fokus mengenai norma hukum sangat

37
berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiologi dan politik

yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral

hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan

disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan

memberlakukannya sebagai hukum, sehingga Hakim dalam

menerapkan suatu norma sebagai corong undang-undang yang

tidak boleh keluar dari aturan yang telah dibuat.

Seiring berkembangnya peradaban dan teknologi pola

pemikiran aliran positivisme tersebut makin terkikis dengan

munculnya aliran-aliran serta teori-teori hukum baru yang lebih

mengedepankan rasa keadilan dari pada kepastian hukum.

Salah satu perkembangan tersebut dapat kita lihat dari

bagaimana independensi Hakim untuk mengadili suatu perkara

dengan keharusan Hakim memperhatikan nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat meskipun tidak ada hukum normatif yang

mengaturnya. Konsep dasar dalam memutus perkara, Hakim

harus merujuk pada undang-undang yang berlaku akan tetapi

dalam konteks Indonesia saat ini, Hakim bukanlah corong

undang-undang. Hakim adalah corong kepatutan, keadilan,

kepentingan umum, dan ketertiban umum. Dalam konteks

inilah, rumusan keharusan Hakim memperhatikan nilai-nilai

yang hidup dalam masyarakat harus dibaca. Pasal 5 ayat (1)

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan

38
Kehakiman menyebutkan ketentuan memperhatikan nilai-nilai

yang hidup dalam masyarakat dimaksudkan agar putusan

Hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Dalam makalah yang disampaikan oleh Dr. Artidjo

Alkostar,SH.,LLM (Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI)

dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Tahun 2012,

bahwa lahirnya asas pidana minimum dalam peraturan

perundang-undangan yang khusus saat ini dilatarbelakangi

oleh kekurang percayaan terhadap Hakim dalam menjatuhkan

suatu putusan karena lazim berlaku itu adalah asas ketentuan

batas minimum. Penjatuhanan pidana di bawah pidana

minimum khusus dapat diterobos sepanjang hal tersebut

didasarkan kepada rasa keadilan dengan mempergunakan hati

nurani dalam memutus suatu perkara.

Jika disimpulkan bahwa Hakim pada dasarnya bebas

untuk menafsirkan ketentuan undang-undang terhadap suatu

permasalahan hukum yang diperhadapkan kepadanya di depan

pengadilan termasuk di dalamnya kewenangan untuk

menafsirkan ketentuan tentang pidana minimum khusus dalam

perkara aquo sebagaimana diatur dalam undang-undang

Narkotika. Disamping itu ketentuan pidana minimum khusus

dalam undang-undang tindak pidana Narkotika ini dapat saja

diterobos asalkan Hakim memiliki legal resening atau ratio

39
residenti yang tepat terhadap suatu kasus dengan melihat skala

besar kecilnya barang bukti yang digunakan dengan berbagai

pertimbangan dengan pola penafsiran dari berbagai perspektif,

seperti perspektif social-justice, moral-justice, dan keadilan

masyarakat menjadi pertimbangan yang paling dominan dalam

menjatuhkan putusan di bawah batas minimum pemidanaan.

Jika dikaitkan dalam perkara aquo maka Majelis tidak

sependapat dengan strafmaat dalam surat tuntutan Penuntut

Umum karena dari fakta yang terungkap di persidangan

terdakwa terbukti Pasal 127 Undang-undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika, namun Pasal ini tidak didakwakan,

terdakwa terbukti sebagai Pemakai, dimana barang bukti

Narkotika Golongan I jenis ganja yang dibungkus dengan

kertas nasi yang ditemukan di kantong celana terdakwa relatif

kecil seberat 3,20 (tiga koma dua puluh) gram (SEMA Nomor 4

Tahun 2010).

Dengan tuntutan Penuntut Umum Majelis Hakim

berpendapat tidak adil bagi terdakwa jika ia harus menjalani

hukuman penjara yang terlalu lama dikaitkan dengan kesalahan

yang telah terdakwa lakukan tidak sebanding, mengingat

terdakwa masih berusia muda dan saat ini terdakwa

merupakan tulang punggung keluarga yang mana orang tua

terdakwa sudah tua.

40
Bahwa Mahkamang Agung, dalam Rapat Pleno kamar

yang dilakukan pada bulan Desember 2015 khususnya untuk

kamar pidana rumusan yang disampaikan oleh Yang Mulia

Hakim Agung, Bapak Dr.Suhadi,SH.,MH yang salah satu isi

rumusan hukum kamar pidana adalah dalam hal perkara

Narkotika Hakim dapat memutus sesuai surat dakwaan, namun

dapat menyimpangi aturan ketentuan pidana minimum khusus

yang berlaku dalam pasal-pasal Undang-undang Narkotika

sepanjang dengan pertimbangan yang cukup dan sesuai

dengan fakta hukum yang ada. Dari pernyataan tersebut,

Majelis dapat menyimpulkan bahwa dimungkinkan dilakukan

penerobosan hukum yang mana hasil Rumusan Hukum Rapat

Pleno Kamar Mahkamah Agung Republik Indonesia yang

dilakukan pada Bulan Desember 2015 tersebut dipertegas

dengan Terbitnya SEMA Nomor 3 Tahun 2015 Tentang

Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah

Agung Republik Indonesia 2015 Sebagai Pedoman Pelaksana

Tugas Bagi Pengadilan.

Setelah memperhatikan segala sesuatunya dengan

seksama dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan,

Majelis Hakim berpendapat bahwa pidana penjara yang

dijatuhkan kepada terdakwa selama 2 (dua) tahun dan 6

(enam) bulan dan denda sejumlah Rp. 800.000.000,00

41
(delapan ratus juta rupiah), apabila denda tidak dibayar diganti

dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dalam Amar

Putusan adalah merupakan pidana yang sudah tepat dan

dirasakan adil sesuai dengan bobot dari kesalahan yang

dilakukan oleh terdakwa.

b. Putusan Hakim Dibawah Ancaman Pidana Minimum

Undang-undang

Sebagaimana diketahui bahwa dalam perkara pidana, berlaku

asas pembuktian; beyond reasonable doubt, yang artinya, dalam

menjatuhkan putusannya, hakim bukan hanya terikat dengan alat-

alat bukti yang sah, melainkan juga masih harus ditambah adanya

keyakinan hakim. Inilah yang kemudian menjadi alasan oleh hakim

menjatuhkan putusan yang menurutnya sesuai dengan nalar dan hati

nuraninya. Jika memang menurut keyakinan hakim putusan yang

diberikan itu memberikan rasa keadilan maka hal tersebut dapat saja

dilakukan.0

Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan

pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi

ketentuan tersebut dikategorikan putusan yang tidak cukup

pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd. Alasan yang dijadikan

pertimbangan dapat berupa pasal-pasal tertentu peraturan

0
Achmad Ali, “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial
Prudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence)” Kencana
Prenadamedia Group, Jakarta, 2009. hlm. 481.

42
perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin

hukum.0

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting

dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang

mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung

kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi

para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini

harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat.0

Penentuan berat ringannya pidana merupakan diskresi yang

dimiliki oleh hakim. Beberapa faktor yang harus diperhatikan terkait

dengan penentuan nilai pidana: Faktor dampak kejahatan; Faktor

modus operandi kejahatan; Faktor perilaku terdakwa di persidangan;

Faktor perdamaian antara terdakwa dan korban; Faktor pribadi

hakim yang memutus.0 Dalam menetukan berat ringanya pidana

yang di putus oleh Hakim tentu tidak terlepas dari kewajiban Hakim

dalam menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan

rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang

0
M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata” Sinar Grafika, Jakarta, 2005. hlm.
798
0
Mukti Arto, “Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama” Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004. hlm.140"

0
Darmoko Yuti Witanto, “Diskresi Hakim: Sebuah Instrumen Menegakkan
Keadilan Substantif dalam Perkara-perkara Pidana” ALFABETA, Bandung, 2013. hlm.
123.

43
diamanatkan dalam Pasal 5 Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam makalah yang disampaikan oleh Dr. Artidjo

Alkostar,SH.,LLM (Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI) dalam

Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung Tahun 2012, bahwa

lahirnya asas pidana minimum dalam peraturan perundang-

undangan yang khusus saat ini dilatarbelakangi oleh kekurang

percayaan terhadap Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan

karena lazim berlaku itu adalah asas ketentuan batas minimum.

Penjatuhanan pidana di bawah pidana minimum khusus dapat

diterobos sepanjang hal tersebut didasarkan kepada rasa keadilan

dengan mempergunakan hati nurani dalam memutus suatu perkara.

Rapat Pleno Mahkamah Agung yang dilakukan pada bulan

Desember 2015 khususnya untuk kamar pidana rumusan yang

disampaikan oleh Yang Mulia Hakim Agung, Bapak

Dr.Suhadi,SH.,MH yang salah satu isi rumusan hukum kamar pidana

adalah dalam hal perkara Narkotika Hakim dapat memutus sesuai

surat dakwaan, namun dapat menyimpangi aturan ketentuan pidana

minimum khusus yang berlaku dalam pasal-pasal Undang-undang

Narkotika sepanjang dengan pertimbangan yang cukup dan sesuai

dengan fakta hukum yang ada. hasil Rumusan Hukum Rapat Pleno

Kamar Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dilakukan pada

Bulan Desember 2015 tersebut dipertegas dengan terbitnya Surat

44
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015 Tentang

Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah

Agung Republik Indonesia 2015 Sebagai Pedoman Pelaksana Tugas

Bagi Pengadilan.

Jika disimpulkan bahwa Hakim pada dasarnya bebas untuk

menafsirkan ketentuan undang-undang terhadap suatu

permasalahan hukum yang diperhadapkan kepadanya di depan

pengadilan termasuk di dalamnya kewenangan untuk menafsirkan

ketentuan tentang pidana minimum khusus dalam perkara aquo

sebagaimana diatur dalam undang-undang Narkotika. Disamping itu

ketentuan pidana minimum khusus dalam undang-undang tindak

pidana Narkotika ini dapat saja diterobos asalkan Hakim memiliki

legal resening atau ratio residenti yang tepat terhadap suatu kasus

dengan melihat skala besar kecilnya barang bukti yang digunakan

dengan berbagai pertimbangan dengan pola penafsiran dari

berbagai perspektif, seperti perspektif social-justice, moral-justice,

dan keadilan masyarakat menjadi pertimbangan yang paling

dominan dalam menjatuhkan putusan di bawah batas minimum

pemidanaan.

Putusan hakim dibawah ancaman pidana minimum undang-

undang dalam tindak pidana narkotika dipertegas dengan Surat

Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015 tentang

Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah

45
Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi

Pengadilan, yaitu pada bagian A angka 1 yang berbunyi:

Hakim memutus dan memeriksa perkara harus didasarkan


kepada Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (Pasal 128 ayat 3,
dan 4 KUHAP). Jaksa mendakwa dengan Pasal 111 atau Pasal 112
Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU
Narkotika) namun berdasarkan fakta hukum yang terungkap di
persidangan terbukti Pasal 127 UU Narkotika yang mana pasal ini
tidak didakwakan, terdakwa terbukti sebagai pemakai dan jumlahnya
relatif kecil (SEMA 4 Tahun 2010), maka hakim memutus sesuai
surat dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum
khusus dengan membuat pertimbangan yang cukup.

46
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas didapat kesimpulan sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan Hakim menjatuhkan putusan dibawah

ancaman pidana minimum undang-undang yaitu berdasarkan

fakta yang terungkap di persidangan Terdakwa terbukti sebagai

Pemakai, dimana barang bukti Narkotika Golongan I jenis ganja

yang dibungkus dengan kertas nasi yang ditemukan di kantong

celana Terdakwa relatif kecil seberat 3,20 (tiga koma dua

puluh) gram (SEMA Nomor 4 Tahun 2010) namun Pasal 127

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak

didakwakan. Majelis Hakim berpendapat tidak adil bagi

terdakwa jika ia harus menjalani hukuman penjara yang terlalu

lama dikaitkan dengan kesalahan yang telah terdakwa lakukan

tidak sebanding. Berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 2015

Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar

Mahkamah Agung Republik Indonesia 2015 Sebagai Pedoman

Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan yang salah satu isi rumusan

hukum kamar pidana adalah dalam hal perkara Narkotika

Hakim dapat memutus sesuai surat dakwaan, namun dapat

menyimpangi aturan ketentuan pidana minimum khusus yang

berlaku dalam pasal-pasal Undang-undang Narkotika


sepanjang dengan pertimbangan yang cukup dan sesuai

dengan fakta hukum yang ada.

2. Penjatuhanan pidana di bawah ancaman pidana minimum

khusus undang-undang dapat diterobos sepanjang hal tersebut

didasarkan kepada rasa keadilan dengan mempergunakan hati

nurani dalam memutus suatu perkara. aturan ketentuan pidana

minimum khusus yang berlaku dalam pasal-pasal Undang-

undang Narkotika dapat dikesampingkan sepanjang asalkan

Hakim memiliki legal resening atau ratio residenti yang tepat

terhadap suatu kasus dengan melihat skala besar kecilnya

barang bukti yang digunakan dengan berbagai pertimbangan

dengan pola penafsiran dari berbagai perspektif, seperti

perspektif social-justice, moral-justice, dan keadilan masyarakat

menjadi pertimbangan yang paling dominan dalam

menjatuhkan putusan di bawah batas minimum pemidanaan.

Hal ini dipertegas dengan (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015

tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar

Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan

Tugas Bagi Pengadilan, yaitu pada bagian A angka 1 yang

berbunyi:

Hakim memutus dan memeriksa perkara harus didasarkan


kepada Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (Pasal 128 ayat
3, dan 4 KUHAP). Jaksa mendakwa dengan Pasal 111 atau
Pasal 112 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang
Narkotika (UU Narkotika) namun berdasarkan fakta hukum
yang terungkap di persidangan terbukti Pasal 127 UU Narkotika

48
yang mana pasal ini tidak didakwakan, Terdakwa terbukti
sebagai pemakai dan jumlahnya relatif kecil (SEMA 4 Tahun
2010), maka hakim memutus sesuai surat dakwaan tetapi
dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus dengan
membuat pertimbangan yang cukup.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis dapat mengemukakan

saran sebagai berikut:

1. Pada prinsipnya putusan Majelis Hakim yang memutus

terdakwa Syamsul Rizal berdasarkan fakta yang terungkap di

persidangan adalah terbukti sebagai Pemakai atau

penyalahguna narkotika sudah tepat karena Majelis Hakim

berpendapat tidak adil bagi terdakwa jika ia harus menjalani

hukuman penjara yang terlalu lama dikaitkan dengan kesalahan

yang telah terdakwa lakukan tidak sebanding. Namun perlu

adanya alat bukti tambahan berupa surat hasil asesmen yang

menyatakan bahwa terdakwa memang sebagai pemakai atau

penyalah guna narkotika yang dilakukan oleh tim asasmen

terpadu sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan

Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Mentri Kemenkumham

RI, Mentri Sosial RI, Jaksa Agung RI, Kapolri, Kepala BNN

Nomor : 01/PB/MA/III/2014, Nomor : PER-005/JA/03/2014,

Nomor: 1 Tahun 2014, Nomor: PERBER/01/III/2014 tentang

Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan

Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi

49
2. Agar adanya peraturan perundang-undangan yang kongkrit

dalam mengatur putusan Hakim dibawah ancaman pidana

minimum undang-undang sehingga ada kriteria dan batasan-

batasan yang lebih jelas lagi untuk Hakim memutus sanksi

pidana dibawah ancaman pidana minumum undang-undang,

maka kedepannya akan lebih memberikan rasa keadilan dan

kepastian hukum di masyarakat.

50
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan dan Regulasi lainnya

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 3


Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno
Kamar Mahkamah Agung Republik Indonesia 2015 Sebagai
Pedoman Pelaksana Tugas Bagi Pengadilan

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010


tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan Dan
Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan
Rehabilitasi Sosial

Buku

Achmad, Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan
(Judicial Prudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2009.

Ali, Mahrus, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta,


2011.

Ansori, Abdul Gafur, Filsafat Hukum Sejarah,Aliran Dan Pemaknaan,


UGM, Yogyakarta, 2006.

Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka


Pelajar, Yogyakarta, 2004.

Ashhiddiqe Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 2,


PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2008.
Chazawi Adami, Kejahatan terhadap Tubuh & Nyawa, PT Raja Grafindo,
Jakarta, 2004.

Dirdjosisworo, Soedjono, Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung,


1987.

Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Pradnya


Paramita, Jakarta, 1993.
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka


Pembangunan Hukum Pidana, Aditya Bhakti, Bandung, 1995.
Manullang E.fernando M, Menggapai Hukum Berkeadilan, Kompas,
Jakarta, 2007.

Muhammad Rusli, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya


Bakti, Bandung, 2007.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 2002.

Muladi, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Dipenegoro,


Semarang, 2002.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,


Alumni, Bandung, 1998.

Mulyadi Lilik, Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoristis dan


Praktek Peradilan, Mandar Maju, Bandung, 2007.

Nurdin, Boy, Kedudukan dan Fungsi Hakim Dalam Penegakan Hukum di


Indonesia, Alumni, Bandung, 2012.

Praja, Juhaya, Teori Hukum dan Aplikasinya, Pustaka Setia, Bandung,


2014.

Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai


Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1984.

vii
Ranuhandoko M., Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003.

Samosir, Djisman, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di


Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1992.

Wisnubroto AL., Praktik Persidangan Pidana, Universitas Atmajaya,


Yogyakarta, 2014.

Witanto, Darmoko Yuti, Diskresi Hakim: Sebuah Instrumen Menegakkan


Keadilan Substantif dalam Perkara-perkara Pidana, ALFABETA,
Bandung, 2013.

Jurnal, Internet dan Sumber Lainnya

Nurhafifah dan Rahmiati, Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana


terkait Hal yang Memberatkan dan Meringankan Putusan, Jurnal
Ilmu Hukum, Vol. 17, No. 22, 2015.

http://www.PengertianAhli.com /2014/01/Pengertian-Keadilan-Apa-Itu-
Keadilan. Html #. Di akses pada tanggal 12 Oktober 2021 pukul
20.34 WIB.

http://republik-ycna.weebly.com/gerbang-articel/tindak-pidana-narkotika-
dalam-hukum positifindonesia, Diunduh pada tanggal 20 Oktober
2021 pukul 19.00 Wib

viii
BIODATA PENULIS

Nama : ADITYA SYAUMMIL PATRIA, SH

Pangkat / Gol : Yuana Wira TU / III a

NIP / NRP : 19940722 201902 1 008 / 61994222

Diklat : PPPJ

Kelas / No. Peserta : V / 03

Pengalaman Tugas : Kejaksaan Negeri Bintan

Alumni / Tamatan : Universitas Yarsi

ix

Anda mungkin juga menyukai