Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS TINGKAT KETERBACAAN BUKU TEKS CERDAS CERGAS

BERBAHASA DAN BERSASTRA INDONESIA SMA/SMK KELAS X DENGAN


MENGGUNAKAN FORMULA RAYGOR DAN FRY

Disusun untuk memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Membaca
Dosen Pengampu: Bivit Anggoro Prasetyo Nugroho, S.Pd., M.Pd

Disusun oleh:

Putri Syalsabila (J1D022075)

Semester 2

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................2
BAB I...........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN........................................................................................................................3
Latar Belakang.............................................................................................................................3
BAB II..........................................................................................................................................7
PEMBAHASAN..........................................................................................................................7
Analisis dan Hasil.........................................................................................................................7
BAB III.......................................................................................................................................10
PENUTUP..................................................................................................................................10
Kesimpulan dan Saran................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan yang berkualitas merupakan tujuan penting dalam pembangunan suatu negara yang
mana dapat memberikan dasar yang kokoh bagi perkembangan individu, masyarakat, dan bangsa
secara keseluruhan. Untuk mewujudkan hal tersebut terdapat beberapa faktor yang harus
diperhatikan, seperti kurikulum yang relevan, tenaga pengajar yang berkompeten, sarana dan
prasarana yang memadai, dan sebagainya. Salah satu dari empat faktor tersebut yaitu sarana dan
prasarana termasuknya adalah bahan ajar. Bahan ajar merupakan salah satu komponen penting
dalam proses pembelajaran, bahan ajar yang baik dapat membantu siswa memahami materi dengan
lebih baik, mendorong keterlibatan aktif, dan meningkatkan pencapaian belajar.
Bahan ajar memiliki banyak jenis, salah satunya yaitu buku teks. Buku teks memiliki struktur
yang terorganisir dan menyediakan informasi yang komprehensif tentang suatu subjek. Menurut
Prastowo (2011:168- 169), buku teks dapat membuat proses pembelajaran berlangsung secara
sistematis karena sudah sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan sudah sesuai dengan
kompetensi yang harus dicapai oleh siswa. Namun, terdapat buku teks yang keterbacaannya tidak
sesuai dengan jenjang peserta didik. Maka dari itu, penting bagi seorang guru untuk memperhatikan
tingkat keterbacaan buku teks agar sesuai dengan kemampuan siswa karena faktor keterbacaan
buku teks sangat mempengaruhi pemahaman, motivasi belajar, dan pencapaian akademik siswa.
Menurut Laksono (2008: 44), keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai atau
tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu yang dilihat dari tingkat kesukaran atau kemudahan
wacananya. Untuk mengukur tingkat keterbacaan suatu teks terdapat beberapa formula yang dapat
digunakan seperti formula Flesch, Fog Index, Grafik Fry, grafik Raygor, SMOG, dan BI.
Pada penelitian ini penulis menggunakan formula keterbacaan grafik Raygor dan Fry untuk
mengetahui tingkat keterbacaan buku teks “Cerdas Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk
SMA/SMK Kelas X”.
Grafik Raygor dinilai berdasarkan panjang atau pendeknya kata dan kalimat. Pertama kali
formula grafik Raygor dicetuskan oleh Alton Raygor. Grafik Raygor berbalik dengan grafik Fry
tetapi, keduanya memiliki prinsip yang sama. Garis-garis penyekat tingkatan kelas pada grafik
Raygor nampak memancar ke atas sedangkan, pada grafik Fry menghadap menghadap ke bawah.
Grafik Raygor posisi kalimat yang terpendek terletak pada bagian samping. Bagian bawah terdapat
jumlah suku kata yang digunakan untuk menyatakan kata-kata panjang atau “jumlah kata sulit”,
yang dimaksud kata sulit ialah kata yang diterdiri oleh enam buah huruf atau lebih. Grafik Raygor
memakai jumlah sampel dan cara menganalisisnya sama dengan Grafik Fry (Sulistyorini, 2006:
31).

3
Gambar 1.1 Grafik Raygor
Keterangan:
Average number of 6+ character per 100 word = rata-rata jumlah kata sulit. Average number
of sentences per 100 word = rata-rata jumlah kalimat 100 kata. Dari grafik Raygor di atas, Angka
3.2, 3.4, 3.6, dan selanjutnya menyatakan rata-rata panjang kalimat. Angka 6, 8, 12, dan selanjutnya
menyatakan rata-rata jumlah kata sulit. Angka-angka yang ada pada bagian tengah grafik yang
berada diantara garis-garis penyekat dari grafik Raygor menyatakan perkiraan tingkat keterbacaan
wacana yang diukur. Angka 3 menyatakan wacana tersebut sesuai untuk pembaca pada tingkat
kelas 3 sekolah dasar (Arif dkk, : 2010: 318). Angka 4 menyatakan wacana tersebut sesuai untuk
pembaca pada tingkat kelas 4 sekolah dasar (Arif dkk, : 2010: 318). Angka 5 menyatakan wacana
tersebut sesuai untuk pembaca pada tingkat kelas 5 sekolah dasar. Demikian itu seterusnya, sampai
dengankelas profesional yang ditunjukkan dengan angka 14. Adapun, daerah di bawah level 3 dan
di atas level profesional merupakan daerah invalid (Arif dkk, : 2010: 318).
Cara penggunaan grafik Raygor adalah sebagai berikut.
1) Menghitung kata dalam wacana hingga mencapai 100 kata.
2) Menghitung jumlah kalimat dari 100 kata tersebut. Jika terdapat kalimat yang tidak
lengkap karena jumlah katanya sudah mencapai 100, maka kata yang lebih tetap
dihitung dalam decimal. Missal kata terakhir dari wacana bernilai 16 kata, sedangkan
mencapai 100 kata berhenti di kata ke-8, maka cara menghitungnya yaitu 8/16 = 0,5
kalimat.
3) Menghitung rata-rata jumlah kata sulit perseratus buah perkataan, kata sulit yaitu kata
yang terbentuk dari enam huruf atau lebih. Kriteria tingkat kesulitan suatu kata
ditentukan oleh panjang dan pendeknya kata tersebut. Kata yang tergolong dalam
kriteria sulit yaitu kata yang terdiri atas enam huruf atau lebih. Setelah itu kalikan
dengan 0,6.
4) Menentukan titik temu dari hasil yang telah diperoleh dari langkah kedua dan ketiga
dalam grafik Raygor (Mashar & Caromalela, 2010: 55).
4
Sedangkan, formula Fry merupakan cara yang efektif pula jika digunakan untuk
mengukur keterbacaan teks bahasa Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sulastri
(2010) bahwa formula Fry merupakan suatu metode pengukuran yang cocok digunakan untuk
menentukan tingkat keterbacaan wacana tanpa melibatkan pembacanya serta dapat
menentukan kelayakan sebuah wacana bagi jenjang tertentu dilihat dari sudut keterbacaannya.
Formula Fry mendasarkan kajiannya pada dua faktor utama, yaitu (1) panjang-pendek kalimat
dan (2) tingkat kesulitan kata. Berdasarkan kedua faktor tersebut, langkah-langkah dalam
menggunakan formula fry adalah sebagai berikut.
1. Menghitung kata dalam wacana hingga mencapai 100 kata.
2. Menghitung jumlah kalimat dari 100 kata tersebut. Jika terdapat kalimat yang tidak
lengkap karena jumlah katanya sudah mencapai 100, maka kata yang lebih tetap
dihitung dalam decimal. Missal kata terakhir dari wacana bernilai 16 kata, sedangkan
mencapai 100 kata berhenti di kata ke-8, maka cara menghitungnya yaitu 8/16 = 0,5
kalimat.
3. Menghitung jumlah suku kata dalam 100 kata yang telah dipilih tersebut. Yang
dimaksud suku kata di sini adalah bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan
nafas. Misalnya, kata makan dihitung sebagai dua suku kata. kata pulau dihitung
sebagai dua suku kata sebab terdapat diftong au yang cara pengucapannya menjadi
satu, yaitu pu-lau. Hal tersebut juga berlaku untuk diftong yang lain, seperti ai pada
pan-dai dan oi pada am-boi . Jika terpaksa terdapat singkatan dan angka dalam teks,
setiap unsur singkatan dan angka tersebut dihitung sebagai satu suku kata. Misalnya,
FKIP dihitung 4 suku kata dan 2016 ditung 4 suku kata. Untuk teks berbahasa
Indonesia, hasil perhitungan suku kata tersebut harus dikali 0,6.
4. Menerapkan hasil perhitungan kalimat dan suku kata dalam grafik fry. Grafik fry
dapat dilihat pada gambar 1.2.

Gambar 1.2 Grafik Fry

5
Angka-angka yang berderet vertikal di sebelah kiri merupakan jumlah perhitungan kalimat
per 100 kata yang dimulai dari 3,6 hingga 25,0. Angka-angka yang berderet diagonal di sebelah
atas merupakan jumlah perhitungan suku kata per 100 kata yang dimulai dari 108 hingga 172.
Garis pertemuan antara perhitungan kalimat dan suku kata tersebut menunjukkan tingkatan
keterbacaan dari sebuah teks. Angka yang berderet di bagian tengah yang dibatasi sekat-sekat
merupakan tingkatan kelas mulai kelas 1 hingga perguruan tinggi (college). Daerah yang diarsir
pada pojok kanan atas dan pojok kiri bawah adalah daerah invalid. Artinya, jika hasil perhitungan
kalimat dan suku kata bertemu pada daerah itu, tingkat keterbacaannya tidak diketahui atau teks
tersebut merupakan teks yang kurang baik.
Selanjutnya, jika sudah diketahui tingkat keterbacaannya atau hasil pertemuan antara kalimat
dan suku kata, tambahkan dan kurangi tingkat kelas tersebut. Misalnya, jika hasil perhitungan
jatuh pada kelas 7 berarti kelas yang cocok untuk teks tersebut adalah 6, 7, dan 8. Terkait dengan
hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterbacaan buku teks “Cerdas
Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk SMA/SMK Kelas X”. Perhitungan keterbacaan
tersebut penting dilakukan agar guru dapat mengetahui keterbacaan teks-teks yang terdapat dalam
buku teks “Cerdas Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk SMA/SMK Kelas X”. Dengan
diketahuinya keterbacaan di setiap teks, guru dapat menyelaraskan teks tersebut dengan daya baca
siswa.

6
BAB II
PEMBAHASAN

Analisis dan Hasil


Analisis keterbacaan dalam buku “Cerdas Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk
SMA/SMK Kelas X” mengambil sampel wacana berjudul “Kunang-Kunang yang Perlahan
Menghilang” yang terdapat pada halaman 12-13. Wacana tersebut akan dihitung tingkat
keterbacaannya menggunakan formula Raygor dan Fry. Di bawah ini merupakan penggalan dari
wacana tersebut yang sudah penulis bagi menjadi kalimat-kalimat dan akan dijelaskan hasil
analisisnya melalui sebuah tabel.

1) Penyebab pertama kepunahan kunang-kunang adalah hilangnya habitat hidup kunang-kunang.


2) Kunang-kunang menderita karena habitat yang menjadi tempat untuk menyelesaikan siklus
hidupnya telah menghilang.
3) Misalnya, kunang-kunang Malaysia (Pteroptyx tener), yang terkenal karena panjangnya, harus
kehilangan habitatnya untuk berkembang biak di kawasan bakau karena di konversi menjadi
perkebunan sawit dan pertanian budidaya.
4) Dalam penelitian lain juga di sebutkan bahwa polusi cahaya menjadi penyebab kedua terbesar
punahnya kunang-kunang.
5) Penggunaan cahaya buatan pada malam hari, yang semakin marak selama seabad terakhir,
adalah ancaman paling serius kedua bagi kunang-kunang.
6) Banyak kunang-kunang mengandalkan bioluminescence, reaksi kimia di dalam tubuh mereka
yang memungkinkan untuk menyala saat menemukan dan menarik pasangan, banyaknya cahaya
buatan dapat mengganggu fase ini.

Tabel 1. Informasi dari penggalan wacana “Kunang-Kunang yang Perlahan


Menghilang”.
Jumlah Jumlah kata dalam Jumlah
kalimat kalimat terakhir keseluruhan Jumlah Jumlah kata
dengan kata yang masuk ke-100 kata pada suku kata yang sulit
lengkap kata kalimat
terakhir
5 17 26 279 64

7
1. Analisis Formula Raygor
- Rata-rata kalimat per seratus kata
(Jumlah kalimat dengan kata lengkap + Jumlah kata dalam kalimat terakhir yang
masuk ke-100 kata : Jumlah keseluruhan kata pada kalimat terakhir)
= 5 + 17 : 26
= 5 + 0,65
= 5,65

- Jumlah kata yang sulit


(Jumlah kata yang sulit x 0,6)
= 64 x 0,6
= 38,4

Berdasarkan hasil rata–rata analisis tersebut, kemudian diplotkan ke dalam grafik


Raygor ternyata titik temu dari persilangan ke dua data tersebut jatuh pada wilayah
13. Artinya tingkat keterbacaan buku “Cerdas Cergas Berbahasa dan Bersastra
Indonesia untuk SMA/SMK Kelas X” dengan wacana “Kunang-Kunang yang
Perlahan Menghilang” berdasarkan formula keterbacaan grafik Fry lebih cocok untuk
tingkat 13 atau perguruan tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa teks ini tidak
sesuai tingkat keterbacaanya untuk kelas 10 dikarenakan dikarenakan jumlah kata
sulit yang banyak dan kalimat-kalimatnya terlalu panjang.

2. Analisis Formula Fry


a. Rata-rata kalimat per seratus kata
(Jumlah kalimat dengan kata lengkap + Jumlah kata dalam kalimat terakhir
yang masuk ke-100 kata : Jumlah keseluruhan kata pada kalimat terakhir)
= 5 + 17 : 26
= 5 + 0,65
= 5,65

b. Jumlah Silabel
(Jumlah suku kata x 0,6)
= 279 x 0,6
= 167,4

8
Berdasarkan hasil rata–rata analisis tersebut, kemudian diplotkan ke dalam grafik Fry
ternyata titik temu dari persilangan ke dua data tersebut jatuh pada wilayah 13.
Artinya tingkat keterbacaan buku “Cerdas Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia
untuk SMA/SMK Kelas X” dengan wacana “Kunang-Kunang yang Perlahan
Menghilang” berdasarkan formula keterbacaan grafik Fry lebih cocok untuk tingkat
12, 13, dan 14. Sehingga dapat disimpulkan bahwa teks ini tidak sesuai tingkat
keterbacaanya untuk kelas 10 dikarenakan banyaknya kalimat yang panjang dan
tingkat kesulitan kata yang tinggi.

9
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui keterbacaan buku teks
“Cerdas Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk SMA/SMK Kelas X” menggunakan
formula keterbacaan grafik Raygor dan Fry mendapatkan hasil berikut, yaitu:
1) Pada formula Raygor rata-rata kalimat per seratus kata mendapatkan hasil 5,65 sedangkan
jumlah kata yang sulit 38,4. Sehingga jika diplotkan ke dalam grafik Raygor ternyata titik
temu dari persilangan ke dua data tersebut jatuh pada wilayah 13. Artinya tingkat
keterbacaan buku “Cerdas Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk SMA/SMK
Kelas X” dengan wacana “Kunang-Kunang yang Perlahan Menghilang” berdasarkan
formula keterbacaan grafik Fry lebih cocok untuk tingkat 13 atau perguruan tinggi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa teks ini tidak sesuai tingkat keterbacaanya untuk kelas
10 dikarenakan dikarenakan jumlah kata sulit yang banyak dan kalimat-kalimatnya terlalu
panjang.
2) Pada formula Fry rata-rata kalimat per seratus kata mendapatkan hasil 5,65 sedangkan
jumlah silabelnya 167,4. Sehingga jika diplotkan ke dalam grafik fry ternyata titik temu
dari persilangan ke dua data tersebut jatuh pada wilayah 13. Artinya tingkat keterbacaan
buku “Cerdas Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk SMA/SMK Kelas X”
dengan wacana “Kunang-Kunang yang Perlahan Menghilang” berdasarkan formula
keterbacaan grafik Fry lebih cocok untuk tingkat 12, 13, dan 14. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa teks ini tidak sesuai tingkat keterbacaanya untuk kelas 10 dikarenakan
banyaknya kalimat yang panjang dan tingkat kesulitan kata yang tinggi.
Bedasarkan paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keterbacaan buku teks Cerdas
Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk SMA/SMK Kelas X” dari hasil analisis formula
Raygor dan Fry mendapatkan hasil yang kurang sesuai tingkat keterbacaanya untuk jenjang kelas
10 karena banyaknya kata yang memiliki tingkat kesulitan tinggi dan kalimatnya yang panjang.
Sedangkan, teks atau materi ajar yang tingkat keterbacaannya tidak atau kurang sesuai dengan
jenjang kognisi siswa tentu saja akan mempengaruhi kemampuan siswa dalam memahami
informasi yang terdapat dalam teks. Apalagi jika tingkat keterbacaan teks atau materi ajar tersebut
jauh di atas tingkat keterbacaan yang seharusnya. Hal ini juga akan berdampak pada minat dan
motivasi siswa dalam membaca, keterbacaan terlampau sulit akan membuat motivasi dan minat
membaca siswa menurun.
Maka dari itu, penulis menyarankan kata-kata sulit pada teks yang tidak sesuai tingkat
keterbacaannya harus diperbaiki atau diganti dengan kata-kata yang lebih mudah dipahami bagi
siswa dan guru pun harus mengecek terlebih dahulu tingkat keterbacaan buku yang ingin dijadikan
1
0
referensi belajar bagi para siswa, agar mereka dapat dengan mudah memahami isi dari buku
tersebut.
Pengukuran keterbacaan ini hanya ditinjau dari segi panjang pendeknya kalimat dan tingkat
kesulitan kata yang digunakan. Oleh karena itu, masih perlu pengkaijan keterbacaan yang
melibatkan makna sebuah kata atau kalimat yang ada dalam sebuah teks agar hasil dari analisis ini
lebih konkret.

1
1
DAFTAR PUSTAKA

Sari, V.I., 2017. Tingkat Keterbacaan Buku Teks Bahasa Indonesia Jenjang SMP
Menggunakan Teori Fry. Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia, 2(3).

Fatin, I., 2017. Keterbacaan buku teks bahasa Indonesia kelas X kurikulum 2013 edisi
revisi 2016 dengan formula FRY. BELAJAR BAHASA: Jurnal Ilmiah Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2(1).

Pebriana, P.H., 2021. Analisis keterbacaan buku teks siswa kelas IV pada tema I dengan
menggunakan grafik fry. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 3(1), pp.28-35.

Ginanjar, A.A., 2020. Analisis tingkat keterbacaan teks dalam buku ajar bahasa
indonesia. Literasi: Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pembelajarannya, 4(2),
pp.158-163.

SIREGAR, S.A., LUBIS, F. and Barus, F.L., 2016. Keterbacaan Buku Teks Bahasa
Indonesia Kurikulum 2013 Kelas VII dengan Grafik Raygor. Jurnal Bahas
Unimed, 27(4), p.76162.

Saroni, N., Widodo, H.S. and Mudiono, A., 2016, September. Analisis Keterbacaan Teks
pada Buku Tematik Terpadu Kelas V SD Berdasarkan Grafik Fry. In Prosiding Seminar
Nasional KSDP Prodi S1 PGSD: Konstelasi Pendidikan Dan Kebudayaan Indonesia Di
Era Globalisasi.

1
2

Anda mungkin juga menyukai