Disusun untuk memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Membaca
Dosen Pengampu: Bivit Anggoro Prasetyo Nugroho, S.Pd., M.Pd
Disusun oleh:
Semester 2
DAFTAR ISI................................................................................................................................2
BAB I...........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN........................................................................................................................3
Latar Belakang.............................................................................................................................3
BAB II..........................................................................................................................................7
PEMBAHASAN..........................................................................................................................7
Analisis dan Hasil.........................................................................................................................7
BAB III.......................................................................................................................................10
PENUTUP..................................................................................................................................10
Kesimpulan dan Saran................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan yang berkualitas merupakan tujuan penting dalam pembangunan suatu negara yang
mana dapat memberikan dasar yang kokoh bagi perkembangan individu, masyarakat, dan bangsa
secara keseluruhan. Untuk mewujudkan hal tersebut terdapat beberapa faktor yang harus
diperhatikan, seperti kurikulum yang relevan, tenaga pengajar yang berkompeten, sarana dan
prasarana yang memadai, dan sebagainya. Salah satu dari empat faktor tersebut yaitu sarana dan
prasarana termasuknya adalah bahan ajar. Bahan ajar merupakan salah satu komponen penting
dalam proses pembelajaran, bahan ajar yang baik dapat membantu siswa memahami materi dengan
lebih baik, mendorong keterlibatan aktif, dan meningkatkan pencapaian belajar.
Bahan ajar memiliki banyak jenis, salah satunya yaitu buku teks. Buku teks memiliki struktur
yang terorganisir dan menyediakan informasi yang komprehensif tentang suatu subjek. Menurut
Prastowo (2011:168- 169), buku teks dapat membuat proses pembelajaran berlangsung secara
sistematis karena sudah sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan sudah sesuai dengan
kompetensi yang harus dicapai oleh siswa. Namun, terdapat buku teks yang keterbacaannya tidak
sesuai dengan jenjang peserta didik. Maka dari itu, penting bagi seorang guru untuk memperhatikan
tingkat keterbacaan buku teks agar sesuai dengan kemampuan siswa karena faktor keterbacaan
buku teks sangat mempengaruhi pemahaman, motivasi belajar, dan pencapaian akademik siswa.
Menurut Laksono (2008: 44), keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai atau
tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu yang dilihat dari tingkat kesukaran atau kemudahan
wacananya. Untuk mengukur tingkat keterbacaan suatu teks terdapat beberapa formula yang dapat
digunakan seperti formula Flesch, Fog Index, Grafik Fry, grafik Raygor, SMOG, dan BI.
Pada penelitian ini penulis menggunakan formula keterbacaan grafik Raygor dan Fry untuk
mengetahui tingkat keterbacaan buku teks “Cerdas Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk
SMA/SMK Kelas X”.
Grafik Raygor dinilai berdasarkan panjang atau pendeknya kata dan kalimat. Pertama kali
formula grafik Raygor dicetuskan oleh Alton Raygor. Grafik Raygor berbalik dengan grafik Fry
tetapi, keduanya memiliki prinsip yang sama. Garis-garis penyekat tingkatan kelas pada grafik
Raygor nampak memancar ke atas sedangkan, pada grafik Fry menghadap menghadap ke bawah.
Grafik Raygor posisi kalimat yang terpendek terletak pada bagian samping. Bagian bawah terdapat
jumlah suku kata yang digunakan untuk menyatakan kata-kata panjang atau “jumlah kata sulit”,
yang dimaksud kata sulit ialah kata yang diterdiri oleh enam buah huruf atau lebih. Grafik Raygor
memakai jumlah sampel dan cara menganalisisnya sama dengan Grafik Fry (Sulistyorini, 2006:
31).
3
Gambar 1.1 Grafik Raygor
Keterangan:
Average number of 6+ character per 100 word = rata-rata jumlah kata sulit. Average number
of sentences per 100 word = rata-rata jumlah kalimat 100 kata. Dari grafik Raygor di atas, Angka
3.2, 3.4, 3.6, dan selanjutnya menyatakan rata-rata panjang kalimat. Angka 6, 8, 12, dan selanjutnya
menyatakan rata-rata jumlah kata sulit. Angka-angka yang ada pada bagian tengah grafik yang
berada diantara garis-garis penyekat dari grafik Raygor menyatakan perkiraan tingkat keterbacaan
wacana yang diukur. Angka 3 menyatakan wacana tersebut sesuai untuk pembaca pada tingkat
kelas 3 sekolah dasar (Arif dkk, : 2010: 318). Angka 4 menyatakan wacana tersebut sesuai untuk
pembaca pada tingkat kelas 4 sekolah dasar (Arif dkk, : 2010: 318). Angka 5 menyatakan wacana
tersebut sesuai untuk pembaca pada tingkat kelas 5 sekolah dasar. Demikian itu seterusnya, sampai
dengankelas profesional yang ditunjukkan dengan angka 14. Adapun, daerah di bawah level 3 dan
di atas level profesional merupakan daerah invalid (Arif dkk, : 2010: 318).
Cara penggunaan grafik Raygor adalah sebagai berikut.
1) Menghitung kata dalam wacana hingga mencapai 100 kata.
2) Menghitung jumlah kalimat dari 100 kata tersebut. Jika terdapat kalimat yang tidak
lengkap karena jumlah katanya sudah mencapai 100, maka kata yang lebih tetap
dihitung dalam decimal. Missal kata terakhir dari wacana bernilai 16 kata, sedangkan
mencapai 100 kata berhenti di kata ke-8, maka cara menghitungnya yaitu 8/16 = 0,5
kalimat.
3) Menghitung rata-rata jumlah kata sulit perseratus buah perkataan, kata sulit yaitu kata
yang terbentuk dari enam huruf atau lebih. Kriteria tingkat kesulitan suatu kata
ditentukan oleh panjang dan pendeknya kata tersebut. Kata yang tergolong dalam
kriteria sulit yaitu kata yang terdiri atas enam huruf atau lebih. Setelah itu kalikan
dengan 0,6.
4) Menentukan titik temu dari hasil yang telah diperoleh dari langkah kedua dan ketiga
dalam grafik Raygor (Mashar & Caromalela, 2010: 55).
4
Sedangkan, formula Fry merupakan cara yang efektif pula jika digunakan untuk
mengukur keterbacaan teks bahasa Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sulastri
(2010) bahwa formula Fry merupakan suatu metode pengukuran yang cocok digunakan untuk
menentukan tingkat keterbacaan wacana tanpa melibatkan pembacanya serta dapat
menentukan kelayakan sebuah wacana bagi jenjang tertentu dilihat dari sudut keterbacaannya.
Formula Fry mendasarkan kajiannya pada dua faktor utama, yaitu (1) panjang-pendek kalimat
dan (2) tingkat kesulitan kata. Berdasarkan kedua faktor tersebut, langkah-langkah dalam
menggunakan formula fry adalah sebagai berikut.
1. Menghitung kata dalam wacana hingga mencapai 100 kata.
2. Menghitung jumlah kalimat dari 100 kata tersebut. Jika terdapat kalimat yang tidak
lengkap karena jumlah katanya sudah mencapai 100, maka kata yang lebih tetap
dihitung dalam decimal. Missal kata terakhir dari wacana bernilai 16 kata, sedangkan
mencapai 100 kata berhenti di kata ke-8, maka cara menghitungnya yaitu 8/16 = 0,5
kalimat.
3. Menghitung jumlah suku kata dalam 100 kata yang telah dipilih tersebut. Yang
dimaksud suku kata di sini adalah bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan
nafas. Misalnya, kata makan dihitung sebagai dua suku kata. kata pulau dihitung
sebagai dua suku kata sebab terdapat diftong au yang cara pengucapannya menjadi
satu, yaitu pu-lau. Hal tersebut juga berlaku untuk diftong yang lain, seperti ai pada
pan-dai dan oi pada am-boi . Jika terpaksa terdapat singkatan dan angka dalam teks,
setiap unsur singkatan dan angka tersebut dihitung sebagai satu suku kata. Misalnya,
FKIP dihitung 4 suku kata dan 2016 ditung 4 suku kata. Untuk teks berbahasa
Indonesia, hasil perhitungan suku kata tersebut harus dikali 0,6.
4. Menerapkan hasil perhitungan kalimat dan suku kata dalam grafik fry. Grafik fry
dapat dilihat pada gambar 1.2.
5
Angka-angka yang berderet vertikal di sebelah kiri merupakan jumlah perhitungan kalimat
per 100 kata yang dimulai dari 3,6 hingga 25,0. Angka-angka yang berderet diagonal di sebelah
atas merupakan jumlah perhitungan suku kata per 100 kata yang dimulai dari 108 hingga 172.
Garis pertemuan antara perhitungan kalimat dan suku kata tersebut menunjukkan tingkatan
keterbacaan dari sebuah teks. Angka yang berderet di bagian tengah yang dibatasi sekat-sekat
merupakan tingkatan kelas mulai kelas 1 hingga perguruan tinggi (college). Daerah yang diarsir
pada pojok kanan atas dan pojok kiri bawah adalah daerah invalid. Artinya, jika hasil perhitungan
kalimat dan suku kata bertemu pada daerah itu, tingkat keterbacaannya tidak diketahui atau teks
tersebut merupakan teks yang kurang baik.
Selanjutnya, jika sudah diketahui tingkat keterbacaannya atau hasil pertemuan antara kalimat
dan suku kata, tambahkan dan kurangi tingkat kelas tersebut. Misalnya, jika hasil perhitungan
jatuh pada kelas 7 berarti kelas yang cocok untuk teks tersebut adalah 6, 7, dan 8. Terkait dengan
hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterbacaan buku teks “Cerdas
Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk SMA/SMK Kelas X”. Perhitungan keterbacaan
tersebut penting dilakukan agar guru dapat mengetahui keterbacaan teks-teks yang terdapat dalam
buku teks “Cerdas Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia untuk SMA/SMK Kelas X”. Dengan
diketahuinya keterbacaan di setiap teks, guru dapat menyelaraskan teks tersebut dengan daya baca
siswa.
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
1. Analisis Formula Raygor
- Rata-rata kalimat per seratus kata
(Jumlah kalimat dengan kata lengkap + Jumlah kata dalam kalimat terakhir yang
masuk ke-100 kata : Jumlah keseluruhan kata pada kalimat terakhir)
= 5 + 17 : 26
= 5 + 0,65
= 5,65
b. Jumlah Silabel
(Jumlah suku kata x 0,6)
= 279 x 0,6
= 167,4
8
Berdasarkan hasil rata–rata analisis tersebut, kemudian diplotkan ke dalam grafik Fry
ternyata titik temu dari persilangan ke dua data tersebut jatuh pada wilayah 13.
Artinya tingkat keterbacaan buku “Cerdas Cergas Berbahasa dan Bersastra Indonesia
untuk SMA/SMK Kelas X” dengan wacana “Kunang-Kunang yang Perlahan
Menghilang” berdasarkan formula keterbacaan grafik Fry lebih cocok untuk tingkat
12, 13, dan 14. Sehingga dapat disimpulkan bahwa teks ini tidak sesuai tingkat
keterbacaanya untuk kelas 10 dikarenakan banyaknya kalimat yang panjang dan
tingkat kesulitan kata yang tinggi.
9
BAB III
PENUTUP
1
1
DAFTAR PUSTAKA
Sari, V.I., 2017. Tingkat Keterbacaan Buku Teks Bahasa Indonesia Jenjang SMP
Menggunakan Teori Fry. Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia, 2(3).
Fatin, I., 2017. Keterbacaan buku teks bahasa Indonesia kelas X kurikulum 2013 edisi
revisi 2016 dengan formula FRY. BELAJAR BAHASA: Jurnal Ilmiah Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 2(1).
Pebriana, P.H., 2021. Analisis keterbacaan buku teks siswa kelas IV pada tema I dengan
menggunakan grafik fry. Jurnal Pendidikan Dan Konseling (JPDK), 3(1), pp.28-35.
Ginanjar, A.A., 2020. Analisis tingkat keterbacaan teks dalam buku ajar bahasa
indonesia. Literasi: Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pembelajarannya, 4(2),
pp.158-163.
SIREGAR, S.A., LUBIS, F. and Barus, F.L., 2016. Keterbacaan Buku Teks Bahasa
Indonesia Kurikulum 2013 Kelas VII dengan Grafik Raygor. Jurnal Bahas
Unimed, 27(4), p.76162.
Saroni, N., Widodo, H.S. and Mudiono, A., 2016, September. Analisis Keterbacaan Teks
pada Buku Tematik Terpadu Kelas V SD Berdasarkan Grafik Fry. In Prosiding Seminar
Nasional KSDP Prodi S1 PGSD: Konstelasi Pendidikan Dan Kebudayaan Indonesia Di
Era Globalisasi.
1
2