Anda di halaman 1dari 27

RINGKASAN

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Globalisasi hadir membawa tantangan baru bagi seluruh negara (bangsa) di


dunia. Globalisasi telah menyatukan dunia melalui berbagai interaksi dalam seluruh
aspek kehidupan seperti teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, perdagangan,
bisnis, budaya, dan informasi (Gaffar, 2012: 127). Dampak dari keadaan ini adalah
munculnya tuntutan akan kemampuan suatu negara dalam persaingan dengan
negara lainnya. Keterbukaan peluang untuk dapat masuk ke Negara lain menjadi
nilai positif sekaligus tantangan tersendiri. Oleh karena itu, daya saing sumber daya
manusia (SDM) suatu bangsa menjadi penentu keberhasilannya dalam memasuki
persaingan pada era globalisasi.

Pendidikan tinggi, penelitian dan inovasi pada hakekatnya memainkan


peran penting dalam mendukung kohesi sosial, pertumbuhan ekonomi dan terutama
daya saing global (global competitiveness) suatu bangsa (ESG, 2015:6). Perubahan
dunia yang dinamis mendorong perguruan tinggi untuk senantiasa meningkatkan
mutu (penyelenggara pendidikan tinggi) secara berkelanjutan (continuous quality
improvement). Terkait dengan itu, Noronha (2002: 14) berpandangan bahwa mutu

1
perguruan tinggi dapat meningkat secara berkelanjutan jika budaya mutu telah
terbangun dengan baik dan mendukung terciptanya kinerja PT. Artinya sejalan
dengan perkembangan dunia saat ini beserta kompleksitasnya, maka sebuah
perguruan tinggi harus mampu melakukan reformasi dengan melakukan perubahan
sistem manajerial dari tradisional menuju pendekatan yang lebih modem. Dimana
dalam konteks organisasi modem, pendekatan yang digunakan lebih menekankan
pada pendekatan mutu sebagai core value nya.

Berkenaan dengan persoalan mutu perguruan tinggi, pemerintah melalui


berbagai regulasi baik berupa Undang-Undang (UU), Peraturan Presiden (PP)
maupun Peraturan Menteri (Permen) berusaha meningkatkan mutu
penyelenggaraan muapun layanan pendidikan tinggi. Hal tersebut telah dituangkan
dalan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012 pasal 51 ayat 2,
secara implisit menyebutkan bahwa pemerintah.

menyelenggarakan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi untuk


mendapatkan pendidikan bermutu. Dalam merealisasikan Undang-Undang tersebut
Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) mengeluarkan peraturan
menteri No. 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang
diajadikan acuan dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Tri Dharma
PT). Selain itu, pemerintah dalam mengawal penyelenggaraan pendidikan tinggi
yang bermutu (sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi) secara ekstemal
dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan tinggi (BAN-PT) merupakan
wujud dari implentasi dari Permenristek Dikti Nomor 32 Tahun 2016 tentang
Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi. Beberapa kebijakan terkait
penyelenggaraan pendidikan tinggi tersebut pada intinya adalah bertujuan untuk
menjamin penyelenggaraan layanan pendidikan yang bermutu guna mendukung
tumbuhnya daya saing bangsa di kancah intemasional. Berbagai upaya tersebut
bertujuan untuk mendorong perguruan tinggi secara terns menerus
mengembangkan/meningkatkan (continuous improvement) kinerjanya guna
menghasilkan output yang bermutu tinggi,
Berbagai fakta terkait input, proses, output maupun outcome perguruan
tinggi yang ada menunjukan bahwa problem merosotnya kinerja PT menjadi titik
sentral dan sernakin serius ditunjukkan dengan tidak mampunya perguruan tinggi

2
melakukan perubahan manajerial penyelenggaraan PT dalam menghadapi era
globalisasi. Oleh sebab itu, kinerja pendidikan tinggi di Indonesia terkait dengan
upaya menciptakan output SDM yang bermutu dan berdaya saing global dapat
dikatakan belum mampu memenuhi diharapkan bangsa (masih rendah). Kondisi ini
diindikasikan oleh berbagai fakta-fakta berikut;

1. Rendahnya Daya Saing Bangsa


Daya saing suatu bangsa Indek pengembangan sumber daya manusia
Indonesia masih termasuk dalam kategori rendah, hal ini ditunjukkan oleh
posisiindonesia berdasarkan data survei yang dirilis UNDP (United Nation
Development Program) tahun 2012 menempatkan Indonesia pada posisi 121 dari
186 Negara. Masih dibawah Negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia,
Thailand, Brunei serta Singapura,
Sedangkan terkait Daya saing bangsa yang dirilis pada tahun 2015 oleh
www.imd.ch secara peringkat menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke
42 dari 61 negara dengan nilai 59,906 (rentang 0-100), mengalami penurunanjika
dibandingkan dengan tahun 2014 yang menempati peringkat 37 dari 60 negara,
masih jauh tertinggal dari singapura yang menempati peringkat 3 (94,95) dan
Malaysia peringkat 14 (84,113).

Selain itu Global Competitiveness Report (GCR) tahun 2014-2015


menempatkan Indonesia pada posisi ke-34. Ini adalah posisi terbaik Indonesia
sejak
20 IO dimana ketika itu berada di posisi ke-44 dan sempat memburuk di tahun
2012-
2013 dimana Indonesia berada pada peringkat 50. Namun demikian, Indonesia
masih berada di bawah Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (peringkat ke-20),
bahkan Thailand (peringkat ke-31) (Rencana Strategis Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi Tahun 2015 - 2019, 2015: 13-14). Dari data
beberapa lembaga yang rnelakukan survey tersebut jelas menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia belum mampu bersaing dengan Negara lain di dunia bahkan di
Asia Tenggara.

3
2. Rendabnya Mutu Perguruan Tinggi

Sejalan dengan rendahnya peringkat daya samg bangsa di atas, daya samg
perguruan tinggi dalam kategori rendah, hal ini ditunjukkan dengan tidak
mampunya Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia bersaing dengan PT di luar negeri.

Dimana Word Economic Forum menyebutkanjumlah perguruan tinggi Indonesia


yang masuk daftar dunia hanya berjumlah 2 (ITB dan UI,jauh dari tarjet
pemerintah yakni 11 PT), artinya perguruan tinggi yang jum]ahnya ribuan
belum mampu bersaing pada level dunia (sumber: http://www.gresnews.com).
Sejalan dengan kondisi tersebut, beberapa persoalan internal lembaga PT
melengkapi gagalnya pendidikan tinggi dalam memberikan layanan yang bermutu
kepada stakeholdernya. Persoalan tersebut diantaranya:

a. Akreditas PT masih rendah

Mutu pendidikan tinggi masih relatif rendah baik dalam konteks institusi
(Perguruan Tinggi) maupun program studi yang diindikasikan oleh mayoritas
Perguruan Tinggi hanya berakreditasi C dan masih sangat sedikit yang
berakreditasi A atau B (Resnstra Kemristekditi, 2015:15). Data nasional
menunjukkan bahwa hampir 483 program studi di Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
yang mendapatkan nilai "tidak terakreditasi", artinya, mendapatkan nilai di bawah
akreditasi C dengan poin di bawah 200. Dari seluruh Perguruan Tinggi yang ada,
total Prodi (Program Studi) yang sudah diakreditasi oleh BAN PT hingga akhir
tahun 2014 adalah sebanyak 18.568 prodi yang ada di seluruh Indonesia.
Jumlah tersebut hanya sebagian dari 22.306 prodi yang diajarkan
(SubditKetenagaan, 2017).

b. Kualifikasi dan Muto Dosen Masih Rendah

Problem pendidikan tinggi di Indonesia menjadi semakin serius dengan fakta


minimnya jumlah guru besar. Data menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk
sekitar 200 juta jiwa, Indonesia baru memiliki 5.097 orang professor dari 23.074
Program Studi yang ada. Rasio perbandingan guru besar dengan mahasiswa
menurut Sofian Efendi belum ideal sekitar 1: 1.000. padahal para guru besar
dibutuhkan untuk mengembangkan keilmuan dan riset yang dapat berkontribusi
meningkatkan pembangunan. (diakses dari http://print.kompas.com tanggal
30/5/2016). Kondisi ini tentu didukung oleh rendahnya kinerja dosen dalam
4
menjalankan tri darma PT. Bahkan Tilaar (2009: 61) mengatakan bahwa para Rektor
dan Guru-guru Besar dari perguruan tinggi yang ada tidak tahan tergoda oleh
kesempatan-kesempatan terbuka untuk menjadikan kepakarannya sebagai mesin
uang.

Sejalan dengan beberapa fakta di atas, dosen secara keilmuan dalam bentuk
publikasi ilmiah atau jumlah karya ilmiah publikasi dapat dikatakan masih minim.
Dimana publikasi ilmiah internasional dosen di Indonesia masih berada di bawah
Malaysia. Selain itu publikasi yang dilakukan masih banyak mengandung unsur
plagiasi. Secara matematis, dari 10 universitas terbesar di Indonesia masih kalah
publikasi dengan satu universitas di Malaysia (sumber: http://www.gresnews.com).

c, Rendahnya Daya Serap Lulusan PT (Output PT)

Daya serap lulusan PT oleh dunia kerja masih rendah. Hal ini didukung oleh
fakta bahwa angka pengangguran terdidik masih cukup tinggi, hal ini
mengindikasikan bahwa relevansi dan daya saing pendidikan tinggi masih rendah
dan adanya ketidakselarasan antara Perguruan Tinggi dan dunia kerja.
Pengangguran terdidik memberi indikasi bahwa program-program studi yang
dikembangkan di Perguruan Tinggi mengalarni kejenuhan karena peningkatan
jumlah lulusan tidak sebanding dengan pertumbuhan pasar kerja. Tilaar (2009:61)
secara tegas mengatakan bahwa Pendidikan yang harusnya menghasilkan
manusia-manusia kreatif tetapi sebaliknya menghasilkan
pengangguranpengangguran yang akhimya menjadi beban masyarakat.

Bagi lulusan Perguruan Tinggi yang terserap di pasar kerja, sebagian besar
(60%) bekerja di bidang pekerjaan yang termasuk kategori white collar jobs
(manajer, profesional) yang menuntut keahlian/keterampilan tinggi dan penguasaan
ilmu khusus (insinyur, dokter, guru). Namun, sebagian dari mereka (30%) juga ada
yang bekerja di bidang pekerjaan yang bersifat semi terampil (tenaga administrasi,
sales) bahkan ada juga yang berketerampilan rendah sehingga harus bekerja di
bagian produksi (bluecollar jobs). kondisi ini menunjukkan bahwa kurikulum yang
dikembangkan di Perguruan Tinggi kurang relevan dengan kebutuhan dunia usaha
atau dunia industri (Kementerian Riset, 2015: 19-20)

5
3. Perlunya meningkatkan Kinerja PT
Dari sederet tantangan dan kondisi di atas, Gaffar (2012: 132) berpandangan
bahwa pendidikan tinggi perlu beradaptasi pada tuntutan barn, tantangan barn, dan
harus memiliki kapasitas untuk memberikan respon yang tepat terhadap seluruh
pertanyaan, masalah dan tantangan. Respon pendidikan tinggi dapat diwujudkan
dengan upaya perbaikan kinerja secara berkelanjutan. Sejalan dengan itu, Abu•
jarad, Yusof, & Nikbin (2010:28) berpandangan bahwa kinerja organisasi telah
menjadi isu penting untuk setiap organisasi baik profit maupun non profit (seperti
perguruan tinggi). Dengan demikian kinerja organisasi menjadi salah satu variabel
penting dalam penelitian manajemen (Gravea dkk, 2011:287).

Evan M. Berman (Berman, 2006:5) memberikan makna pada kata


performance (kinerja) sebagai efektifitas dan efisiensi menggunakan sumber untuk
mencapai hasil. Artinya kinerja sebuah lembaga atau organisasi ditentukan oleh
usaha efektif dan efisien manajemennya. Dalam perkembangannya dunia
manajemen modem telah melahirkan manajemen berbasis mutu menjadi solusi
organisasi dalam meningkatkan mutu dan kinerjanya. Salah satu contohnya adalah

manajemen mutu atau TQM (Total Quality Management) merupakan usaha barn
dalam meningkatkan kinerja, yang pertama kali popular tahun 1980an, berkaitan
dengan peningkatan layanan pelanggan dan mutu layanan (Berman, 2006: 12).

Penelitian terkait implementasi TQM pernah dilakukan oleh Ghnaim


Hmaoud Al Tasheh (2013:209) menemukan bahwa dalam implementasi TQM di
perguruan tinggi beberapa menghadapi beberapa faktor yang menjadi penghambat
diantaranya; kurangnya dukungan dan komitmen pemimpin, beban besar pada
aplikasi TQM, minimnya professional dalam bidang mutu. Melihat rendahnya daya
saing bangsa Indonesia di kancah iternasional, jika dikaitkan dengan basil riset
tersebut, dalam upaya meningkatkan mutunya perguruan tinggi masih terkendala
oleh belum mampunyai Sistem Penjaminan Mutu Internal PT (SPMIPT) yang
mampu memastikan penyelenggaraan PT dijaga mutunya dengan baik atau dengan
kata lain Penjaminan Mutu Internal PT belum efektif.

6
.. ·-·· ---�-- -- -- ----
Kinerja perguruan tinggi juga merupakan gambaran nyata dari kemampuan
pemimpinnya. Pada hakekatnya seorarang pemimpin merupakan pusat
keberhasilan sebuah lembaga, dimana dengan kekuatan legitimasinya dapat
mempengaruhi seluruh personal dalam sebuah lembaga guna secara bersamasama

Mewujudkan visi dan misinya. Peran pemimpin PT dalam tugasnya sebagai leader
berupaya menggerakkan seluruh fungsi yang ada menuju mutu lembaga yang lebih
baik (Kleijnen, 2012: 28). Tugas pemimpin perguruan tinggi adalah bagaimana
meyakinkan terselenggaranya pembelajaran yang bermutu (Campbell & Massie,
2010:4). Namun, pemimpin perguruan tinggi sebagaimana dikemukakan oleh
Tilaar (2009:61) bukanlah seorang manajer yang dibekali kemampuan managerial,
mereka hanyalah dosen dalam bidang (mata pelajaran) tertentu. Tentu hal ini
menjadi persoalan serius dalam upaya perguruan tinggi meningkatkan mutu dan
kinerjanya. Sebab tanpa kepemimpinan mutu, sulit untuk meningkatkan mutu
sebuah lembaga (Usman, 2011:380).

Dalam meningkatkan kinerja organisasinya, PT tidak hanya membutuhkan


sistem yang menjamin mutu serta pemimpin yang konsen pada mutu
(kepemimpinan mutu) ansich, akan tetapi juga membutuhkan komitmen dari
personel maupun stakeholder yang ada guna meningkatkan kinerja dan mutu
lembaganya.. Komitmen organisasi menurut Griffin (Darmawati, Hidayati, &
Herlina S., 2013: 12) adalah sejauh mana seorang individu mengenal dan
terikat pada organisasinya.

Komitmen merupakan faktor penting yang menentukan perilaku kerja


karyawan dalam organisasi (Meyer, Stanley, Herscovitch dan Topolnytsky, 2002;
Meyer dan Herscovich, 2001; Nowday, Steers dan Potter, 1979 dalam Yahya,
2014 :310). Lebih Janjut, penelitian yang telah dilakukan oleh Chen, Silverthore dan
Hung (Yahya, 2014:310) menunjukkan hasil bahwa komitmen terkait atau
berhubungan dengan kinerja organisasi. Adapun dalam konteks organisasi yang
menjadikan mutu sebagai tujuan utamanya maka dibutuhkan komitmen mutu yang
kuat dari setiap anggota organisasi guna mencapai tujuan tersebut, Secra tegas
Usman (2011:380) menyatakan bahwa komitmen terhadap mutu (komitmen mutu)
harus menjadi peran utama setiap orang dalam lembaga (pemimpin dan anggota)

7
untuk meningkatkan mutu, sebab mutu merupakan urusan setiap orang (quality is
verybody's business). Deming (1982) berargumen bahwa tanpa komitemen
terhadap mutu, usaha mutu tidak akan berhasil (Howard & Foster, 1999:5). Oleh
karenanya, komitmen mutu dalam komunitas perguruan tinggi merupakan isu
penting sejak awal/dulu (Campbell & Massie, 2010:4).

Selain dari pada ketiga faktor yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi
di atas budaya organsiasi dalam hal ini budaya mutu menjadi faktor penting yang
tidak dapat diabaikan. Dalam konteks organisasi bisnis, Budaya organisasi tidak
hanya sebuah faktor penting dari organiasi; akan tetapi merupakan pemegang
peranan utama dari kinerja bisnis superior (Abu-jarad et al., 2010:27). Selain
daripada itu, banyak penelitian-penelitian telah menemukan hubungan positif
antara budaya (corporate culture) dengan kinerja. Salah satu contohnya, antara
tahun 1990- 2007, lebih dari 60 penelitian terhadap 7619 perusahaan dan unit-unit
bisnis kecil dari 26 negara menemukan bahwa budaya (market culture) dan kinerja
(business performance) berhubungan kuat (Abu-jarad et al., 2010:27).

Dari beberapa kajian teoritis dan praktis di atas beberapa faktor atau variabel
yang berhubungan dengan kinerja organsisasi mulai dari penjaminan mutu internal,
kepemimpinan mutu, komitmen mutu dan budaya mutu tentu antara satu dengan
lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam penelitian ini
kesatuan dari beberapa variabel tersebut disebut peneliti dengan istilah model
manajemen mutu. Keterkaitan beberapa variabel tersebut secara bagian-bagian
telah dibuktikan oleh beberapa peneliti terdahulu meskipun dalam menyebut
variabel risetnya tidak sama persis akan tetapi masih dalam satu konsep teoritis
yang sama. Misalnya penelitian yang telah dilakukan oleh Faihan Alotaibi dan
Rabiul Islam (2013:2642) membuktikan bahwa terdapat hubungan positif antara
TQM (Total Quality Management) atau manajemen mutu dengan budaya mutu
serta daya saing organisasi. Lebih spesifik, Hamdatu, Siddiek, & Al-Olyan
(2013: 106) membuktikan bahwa penjaminan mutu internal berhubungan langsung

dengan kinerja organisasi. Secara berbeda Mojtahedzadeh dan Arumugam


(2011:24-25) melihat kontribusi penjaminan mutu internal terhadapa kinerja
organisasi melalui variabel antara (intervening variable) yaitu budaya mutu.

8
Sedangkan Timothy dkk. (2011: 100) dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa kepemimpinan baik kepemimpinan transaksional maupun transformasional
berpengaruh positif terhadap kinerja. Mendukung hasil tersebut, Morales dkk.
(Garcia-morales, Jimenez-barrionuevo, & Gutierrez-gutierrez, 2012: 1040)
membuktikan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap
kinerja organisasi. Kepemimpinan transformasional disebut oleh Bush dan
Coleman (2012: 183) sebagai kepemimpinan yang relevan dalam konteks mutu.
Lebih lanjut Saeed, Gelaidan, dan Ahmad (2013: 1460-1467) menjelaskan bahwa

kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap komitmen organisasi.


Artinya, kepemimpinan transformasional selain berkaitan dengan kinerja juga
memiliki keterkaitan langsung dengan komitmen organisasi.

Penelitian terkait komitmen (komitmen organisasi) yang berhubungan


dengan kinerja dilakukan oleh Chen, Silverthore dan Hung (Yahaya, Chek,
Samsudin, & Jizat, 2014:310) dan prestasi kerja (Meyer dan Allen dalam Jaros,
2007:8-25). Tongsamsi dkk (2012:21) melihat komitmen mutu memiliki
keterkaitan dengan budaya mutu. Dimana komitmen mutu berpengaruh signifikan
terhadap budaya mutu. Sehingga dapat dikatan bahwa budaya mutu merupakan
variabel antara (intervening variable) pengaruh komitmen mutu terhadap kinerja
organisasi.
Dari beberapa riset di atas, budaya mutu menjadi variabel antara dalam
menjelaskan hubungan dengan kinerja organisasi. Namun, secara berbeda
Lunenburg (2011 :2) melihat budaya mutu memiliki keterkaitan (hubungan)

dengan komitmen. Hal ini sejalan dengan pendapat Harvey (Loukkola & Zhang,
2010: 16) bahwa kajian dalam bidang mutu dan penjaminan mutu pendidikan tinggi
menghasilkan kesepakatan untuk mempromosikan budaya mutu.

Peneliti melihat betapa pentingnya daya saing SOM suatu bangsa sebagai
output dari perguruan tinggi guna menghadapai era globalisasi, oleh sebab itu
dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana keterkaitan (hubungan kausal) antara
beberapa faktor (variabel) penting dalam kaitannya dengan kinerja PT.
Faktorfaktor tersebut berdasarkan beberapa kajian di atas, diantaranya penjaminan
mutu internal (system), kepemimpinan mutu (leader), komitmen mutu (people)
danbudaya mutu (culture) dilihat pengaruhnya dengan kinerja organisasi PT.

9
B. ldentifikasi Masalah
Rendahnya daya saing SDM diyakini disebabkan oleh rendahnya mutu
pendidikan yang ada. Peran pendidikan dalam meningkatkan mutu SDM tidak
hanya terletak pada mutu input akan tetapi juga mutu prosesnya. Dalam hal ini,
proses penyelenggaraan pendidikan yang efektif dipercaya hanya dapat diwujudkan
dengan kinerja organisasi yang tinggi. Adapun untuk dapat mewujudkan mutu
pendidikan melalui kinerja organisasi tersebut · perlu didukung implementasi atau
praktik manajemen mutu yang efektif Oleh karenanya sistem yang menjamin mutu
proses internal atau yang dikenal dengan sistem penjaminan mutu internal (SPMI)
diterapkan secara massif hampir diseluruh perguruan tinggi di Indonesia.

Selain dari pada implementasi SPMI, setiap perguruan tinggi untuk dapat
menciptakan kinerja organisasinyajuga membutuhkan sosok kepemimpinan mutu

yang diharapkan mampu mengarahkan mutu proses internal yang ada. SPMI
maupun Kepemimpinan mutu juga membutuhkan dukungan dari semua pihak atau
stakeholder perguruan tinggi guna bersama-sama menjaga mutu pendidikan. Oleh
sebab itu, dibutuhkan pula komitmen mutu dari semua pihak sehingga sistem
penjaminan mutu internal dan kemimpinan mutu dapat efektif dan efisien dalam
mencapai kinerja organisasi yang tinggi guna mewujudkan mutu output pendidikan
atau daya saing bangsa.

Selain daripada ketiga variabel penting di atas, variabel budaya mutu


menjadi faktor krusial yang dapat menjaga keberlangsungan peningkatan mutu
proses secara berkelanjutan. Artinya dengan terbentuknya budaya mutu dalam
organisasi upaya-upaya perubahan untuk menuju pada perbaikan mutu tidak akan
mengalami hambatan. Hal ini desebabkan oleh adanya keyakinan bahwa mutu
bukan sesuatu yang bersifat stagnan tetapi bersifat dinamis sejalan dengan tuntutan
pelanggan, kesempumaan atau nol cacat (zero defects).

10
C. Rumusan Masalab
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas penelitian
ini akan membahas beberapa persoalan sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran kinerja organisasi pada Perguruan Tinggi Vokasi Negeri
di Sulawesi Utara?
2. Bagaimana gambaran penjaminan mutu internal pada Perguruan Tinggi Vokasi
Negeri di Sulawesi Utara?
3. Bagaimana gambaran kepemimpinan mutu pada Perguruan Tinggi Vokasi
Negeri di Sulawesi Utara?
4. Bagaimana gambaran komitmen mutu pada Perguruan Tinggi Vokasi Negeri di
Sulawesi Utara?
5. Bagaimana gambaran budaya mutu pada Perguruan Tinggi Vokasi Negeri di
Sulawesi Utara?
6. Adakah pengaruh signifikan penjaminan mutu internal terhadap kinerja
organisasi pada Perguruan Tinggi Vokasi Negeri di Sulawesi Utara?
7. Adakah pengaruh signifikan kepemimpinan mutu terhadap kinerja organisasi
pada Perguruan Tinggi Vokasi Negeri di Sulawesi Utara?
8. Adakah pengaruh pengaruh signifikan komitmen mutu terhadap kinerja
organisasi pada Perguruan Tinggi Vokasi Negeri di Sulawesi Utara?
9. Adakah pengaruh signifikan budaya mutu terhadap kinerja organisasi pada
Perguruan Tinggi Vokasi Negeri di Sulawesi Utara?
10. Adakah pengaruh signifikan penjaminan mutu internal terhadap kinerja
organisasi melalui budaya mutu pada Perguruan Tinggi Vokasi Negeri di
Sulawesi Utara?
11. Adakah pengaruh signifikan komitmen mutu terhadap kinerja organisasi
melalui budaya mutu pada Perguruan Tinggi Vokasi Negeri di Sulawesi Utara?
12. Adakah pengaruh signifikan budaya mutu terhadap kinerja organisasi melalui
komitmen mutu pada Perguruan Tinggi Vokasi Negeri di Sulawesi Utara?
13. Adakah pengaruh signifikan kepemimpinan mutu terhadap kinerja organisasi
melalui komitmen mutu pada Perguruan Tinggi Vokasi Negeri di Sulawesi
Utara?
14. Adakah pengaruh signifikan penjaminan mutu internal, kepemimpinan mutu,
komitmen mutu dan budaya mutu secara bersama-sama terhadap kinerja
organisasi?
15. Bagaimanakah model hipotetik (fit model) dari pengaruh penjaminan mutu
internal, kepemimpinan mutu, komitmen mutu, dan budaya mutu terhadap
kinerja organisasi perguruan tinggi?

11
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini secara spesifik memiliki
tujuan utama:

1. Terdeskripsikannya variabel penjaminan mutu internal, kepemimpinan mutu,


komitmen mutu, budaya mutu dan kinerja organisasi pada Perguruan Tinggi
Vokasi Negeri di Sulawesi Utara.

2. Teranalisanya pengaruh langsung maupun tidak langsung antara variabel


penjaminan mutu internal, kepemimpinan mutu, komitmen mutu, dan budaya
mutu, terhadap kinerja organisasi perguruan tinggi.

3. Teranalisanya model pengaruh antara variabel dependen penjaminan mutu


internal, kepemimpinan mutu, komitmen mutu, budaya mutu dengan variabel
dependen kinerja organisasi perguruan tinggi.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi:

1. Pengembangan keilmuan: dapat memperkaya khasanah penelitian dalam


bidang penjaminan mutu internal, kepemimpinan mutu, komitmen mutu,
budaya mutu dan kinerja organisasi pada perguruan tinggi.

2. Institusi PT: dapat dijadikan informasi guna peningkatan kinerja organisasi


dalam konteks peningkatan mutu dengan mempertimbangkan variabel•
variabel penting seperti penjaminan mutu internal, kepemimpinan mutu,
komitmen mutu dan budaya mutu.

3. Pemerintah: dapat dijadikan informasi perbaikan sistem penjaminan mutu


perguruan tinggi guna meningkatkan daya saing bangsa atau global
competitiveness.

4. Peneliti selanjutnya: diharapkan dapat dijadikan dasar dalam mengkaji lebih


mendalam terkait kinerja organisasi PT melalui pendekatan kualitatif guna
menemukan faktor-faktor pendukungnya.

12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

A.Latar Belakang.

Perubahan paradigma masyarakat terhadap pendidikan yang semakin kuat


mengarah pada pendidikan sebagai investasi kini telah mengkondisikan semua
sektor pendidikan harus menjadi lernbaga yang rnarnpu rnernberikan nilai balik
ekonomi yang rnenguntungkan. Perguruan tinggi harus rnampu rnenjadikan lulusan
yang handal berkornpetisi, dapat memberikan penguatan secara individual untuk
penyebaran ilmu pengetahuan, sehingga lernbaga pendidikan harus proaktif dan
menjadi lembaga yang efisien dan efektif (Soematri, B. Satriyo. 2004: l ).

Untuk rnerealisasi status perguruan tinggi yang mampu kornpetisi dan


rnarnpu rnenjadi turnpuan investasi rnasyarakat, rnaka kehadiran penjarninan rnutu
pendidikan tinggi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat selaku stakeholders
menjadi sangat penting, begitu pentingnya bahkan Asia Development Bank pun
mendorongnya rnelalui surnbangan anggaran untuk peningkatan rnutu (S.A.
Chowdhury. 2004 : 1 ).

Menurut Sallis, Edward (1993: 7) sikap terhadap penjaminan rnutu sangat


beragam karena ada perguruan tinggi yang mulai sadar untuk melakukan perbaikan
penyelenggaraan pendidikan ada yang belurn mernerlukannya.

Perbedaan sikap terhadap penyelenggaraan penjarninan mutu karena adanya


perbedaan persepsi atas hakikat kualitas itu sendiri, sebab gambaran tentang mutu
banyak orang mempunyai kesimpulan yang berbeda bahkan berlawanan. Kualitas
seringkali menjadi sulit diukur. Kualitas dianggap sebagai konsep enigmatic yaitu
konsep yang wujud dan pelaksanaan menurut pemahaman dan tafsir orang perorang
( Sallis, Edward. 200 l: 1 ). Selama ini kualitas selalu dianggap sarna dengan produk
(Harvey L dan Green D. 1993: 177) dan dalarn hal ini kualitas dipersepsikan sebagai
mutu lulusan. Fokus penjaminan mutu di banyak perguruan tinggi mengarah pada
aspek pembelajaran.(Degeng.1997: 10).

Dalam perspektif manajemen pendidikan, penjaminan rnutu memiliki nilai


penting yang signifikan karena penjaminan mutu bersifat spesifik dan eksistensinya
sangat tergantung pada sistem tempat berlakunya jaminan mutu berada, sehingga
dapat berbeda antara perencanaan desain dengan pendekatan yang diterapkan.

13
Dalam hal ini jaminan mutu sebagaimana diklasifikasikan oleh Ellis, Roger dapat
diposisikan dalam posisi latent, radical atau sebagai development (1993: 7).
Kedudukan penjaminan mutu sangat dipengaruhi oleh bagaimana situasional
kelembagaan itu sendiri. Robin, Stephen (200 l: 24) memberikan penggambaran
bahwa dalam tingkat sistem implementasi kebijakan kelembagaan seperti
penjaminan mutu selalu melibatkan budaya organisasi, struktur kelembagaan
maupun penataan kerja organisasi sehingga dalam kebijakan yang sama bisa saja
kelembagaannya, tata kerjanya berlainan.

B.Pemaknaan Muto dalam konteks Penjaminan Muto Pembelajaran.

Mutu dimaknakan sebagai standar dan keunggulan, sehingga unsur utama


kualitas dalam penjaminan mutu difahami sebagai proses adanya kepastian bahwa
telah terdapat standar yang spesifik dan secara terus menerus diupayakan dicapai
untuk sebuah produk atau layanan yang unggul. Dengan demikian jika mutu
diterapkan dalam pembelajaran menunjuk: pada tinggi rendahnya pembelajaran
dibandingkan dengan standar. Ditegaskan oleh Ellis, Roger (1993: 1) bahwa
pemikiran tentang bentuk: kualitas dalam pembelajaran yang penting bahwa kualitas
selalu terkait dengan kepuasaan konsumen atau pelanggan ,yang dalam hal ini
primary customer yaitu mahasiswa.

Bagi J. Arcaro (1995: 55) kualitas dipandang sebagai proses sehingga


kualitas dimaknakan sebagai proses yang tersusun untuk peningkatan output yang

dihasilkan. Dengan demikian basil akhir dari kualitas adalah produk:. Lain lagi bagi
Djagal, W. Marsono. (2004 : 2), menyatakan bahwa kualitas merupakan kondisi
yaitu merupakan sekumpulan sifat khas suatu barang atau jasa yang harus sesuai
dengan keinginan pengguna. Dalam konteks ini Marsono menegaskan bahwa untuk
menghasilkan sebuah jasa pendidikan yang berkualitas harus diperjelas lebih
dahulu apa dan seperti apa kualitas yang diinginkan oleh pengguna.

Mutu kini semakin populer karena dianggap sebagai langkah terbaik untuk:
membantu memperoleh sistem pendidi�an yang efektif dan efisie�. Jika didalami
lebih jauh maka sesungguhnya fokus pendidikan yang efektif dan efisien intinya
adalah pembelajaran. Penjaminan mutu dalam pembelajaran (quality assurance in
teaching) dalam proses pelaksanaannya dipengaruhi oleh sumber-sumber mutu

14
pendidikan berawal dari:

1. Pemahaman dari dosen


2. Nilai moral tinggi
3. Hasil ujian yang unggul
4. Dukungan orang tua dan masyarakat sekitar
5. Kecukupan sumber dukungan
6. Penerapan teknologi mutakhir
7. Kekuatan dan tujuan pemimpin
8. Berperhatian terhadap siswa
9. kurikulum yang menantang. (Middlehurst, Robin. 2001: 16)

Tentu saja apabila ke sembilan aspek di atas direalisasikan dalam perguruan tinggi

maka mutu dapat terlahir dalam lembaga perguruan tinggi yang sedang dikelola.
Roger Ellis (1995: 8) sebagai tokoh yang menekuni penjaminan mutu pendidikan

memberikan ciri adanya penjaminan mutu sebagai berikut :

. 1. Adanya standar yang khas atas layanan yang ingin dihasilkan.

2. Adanya identifikasi atas fungsi-fungsi kritis dan atas prosedur yang


diperlukan untuk mencapai standar

3. Adanya kegiatan melakukan eek pada konsumen dan monitor untuk


pencapaian standar

4. Adanya dokumen yang menyimpan semua kegiatan yang telah berlangsung.

5. Melibatkan semua pihak yang terkait dan komitmen untuk berkembang.

Untuk negara Inggris penyelenggaraan pendidikan yang sudah menerapkan


jaminan mutu harus terikat dengan keharusan menerapkan standar yang dikeluarkan
oleh The National Council for Accreditation of teacher education sehingga lembaga
pendidikan tinggi memiliki standar y�g terjamin dan diketahui

oleh masyarakat umum (Vergari, Sandra. 2002: 2). Di Indonesia standar untuk
penjaminan mutu masih dalam penggarapan karena PP 19/2006 belum lengkap
aturannya.

15
Lain halnya dengan standar mutu yang dikemukakan Direktorat Jenderal
Perguruan tinggi Indonesia yang dirangkum dalam Pedoman Penjaminan mutu
Perguruan tinggi (2003: 9) bahwa suatu penyelenggaraan pendidikan di Perguruan

tinggi dipandang berkualitas apabila:

a. Perguruan tinggi tersebut mampu menetapkan dan mewujudkan visinya melalui


pelaksanaan misinya (aspek deduktif)

b. Perguruan tinggi tersebut mampu memenuhi kebutuhan stakeholders terutama


kepentingan mahasiswa dan industri (aspek induktif) yang berupa :

1. Kebutuhan kemasyarakatan

2. Kebutuhan dunia kerja

3. Kebutuhan profesional.

Inti dari ciri di atas adalah bahwa lembaga pendidikan tinggi mutlak untuk
melakukan relasi dengan stakeholder untuk mengukur seberapa mutu layanan
pendidikan tinggi yang harus diselenggarakan. Dalam hal ini external criterium
yang dijadikan pegangan ada tidaknya peningkatan kualitas. Mengacu pada
pencirian ini maka ada penegasan bahwa dalam implementasi jaminan mutu
diperlukan adanya pergeseran paradigma tentang standard yaitu replacing the whole
thing bukan hanya piecemeal change. Dalam paradigma yang mengutamakan mutu
ini khususnya dalam pembelajaran (teaching) harus dihindari adanya tinkering yaitu
mengerjakan sesuatu tanpa keahlian yang memadai atau sekedar melakukan.

Suatu kegiatan penyelenggaraan pendidikan dipandang berkualitas apabila


pendidikan tinggi mampu menyediakan peluang pembelajaran yang terbaik yang
dapat dimanfaatkan untuk membelajarkan mahasiswa mencapai tujuan. Dengan
demikian kualitas akademik menyangkut kepastian tentang kesesuaian dan
pembelajaran yang efektif, dukungan, penilaian dan pemberian peluang belajar bagi
mahasiswa (The Quality Assurance Association. 2004: 1).

Penjaminan mutu dalam pemak.naan yang lebih bercorak transformatif,


dapat dimaknakan sebagai perubahan kualitatif dan terus menerus berlangsung
secara meningkat. Untuk menuju kualitas dalam pengertian ini, maka dalam
penerapannya dalam sektor pendidikan tinggi, penjaminan mutu membutuhkan dua

16
hal yaitu adanya pemberdayaan bagi pihak yang turut serta dalam proses pendidikan
dan juga peningkatan pelaksana pendidikan. Atas dasar itu maka kualitas lulusan
dari sebuah perguruan tinggi seharusnya mempunyai kemampuan bukan sekedar
nilai tambah/keunggulan tetapi mempunyai cakupan area yang lebih luas yang
menyangkut: pengetahuan, kemampuan untuk selalu belajar, ketangguhan dalam
keintelektualan, kemampuan kerja didalam organisasi atau lembaga yang modern,
ketrampilan interpersonal dan juga kemampuan berkomunikasi secara efektif dan
persuasif (Harvey, Lee. 1996: I ).

Menurut batasan Departemen Pendidikan Nasional (Sukamto. 2002: 5)


mutu sebuah perguruan tinggi sangat dipengaruhi faktor internal maupun ekternal
seperti struktur dan isi kurikulum, kebijakan institusi, kualifikasi staf pengajar,
iklim akademik, standarisasi proses dan mutu, dukungan komunitas, jaminan
pembiayaan dan dukungan institusional. Atas dasar hal tersebut mutu diartikan
sebagai kesesuaian dengan maksud/isi yang diharapkan dari sisi pengguna jasa atau
produk, sedangkan jaminan mutu adalah keseluruhan aktivitas dan sistem untuk
menjamin agar semua produk danjasa selalu konsisten dengan kualitasnya. Dalam
pemahaman konsep ini ditegaskan bahwa mutu suatu produk atau jasa pendidikan
selalu menempatkan pelanggan sebagai ukuran baik buruknya kualitas produk atau
layanan pendidikan yang dihasilkan.

Apabila konsep mutu ini diterapkan dalam pendidikan tinggi berarti bahwa
penentu kualitas adalah pihak stakeholder bukan perguruan tinggi bersangkutan.
Dengan demikian penilai seberapa kualitas layanan pendidikan tinggi penentunya
adalah pihak ekternal. Pelanggan menjadi penentu dan informasi mengenai tingkat
kepuasaan akan dijadikan petunjuk tingkat kualitas layanan pendidikan yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Dalam hubungannya dengan indikator
yang disampaikan oleh stakeholder tentang mutu, maka sangat penting bagi
setiap perguruan tinggi selalu melibatkan ekternal dalam perencanaan maupun
evaluasi pelaksanaan. Pentingnya langkah kerjasama dan partnership dengan
ekternal perguruan tinggi.

17
Berdasarkan pada program operasional pengembangan Pendidikan tinggi,
maka ada tiga program operasional yang di kedepankan untuk menanggapi
perkembangan dan perubahan orientasi yang mengarah pada kepuasaan pelanggan

(Sukamto. 2002:3). Dalam upaya pengembangan pendidikan tinggi dilakukan


program penataan sistem pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta
perluasaan dan pemerataan akses pendidikan tinggi. Masing-masing program
operasional dilengkapi dengan indikator keberhasilan sehingga akan lebih jelas
tolok ukur ketercapaiannya.

C. Model - Model Penjaminan Muto di Pendidikan tinggi.

Salah satu model penjaminan mutu yang mencakup proses pembelajaran


yang telah melibatkan pihak ektemal antara Jain yang dikembangkan pada
gambaran di bawah ini. Keterlibatan ektemal antara Jain nampak dalam bentuk
keterlibatan /intervensi dalam penilaian kelayakan perguruan tinggi melalui
tindakan akreditasi. Dalam model penjaminan mutu perguruan tinggi ini secara
ideal menegaskan bahwa pelaksana akreditasi adalah pihak yang otonom serta
bukan dari lingkungan perguruan tinggi bersangkutan.

· Dalam model penjaminan mutu yang dikembangkan oleh Lewis,


penjaminan mutu diterapkan dalam tiga domain yaitu input, proses dan output.
Dalam domain input, penjaminan mutu dilaksanakan dengan menerapkan
akreditasi yang dikenakan terhadap tuj uh aspek dalam cakupan input. Dalam
kerangka ini misalnya akan dinilai bagaimana sumber pendanaan, apakah akan
terjadi disalokasi dana dalam pelaksanaan pendidikan di perguruan tinggi,
bagaimana kelayakan dan kecukupan fasilitas pokok dan pendukungnya,
sedangkan dalam proses, selalu dilakukan peningkatan secara terus menerus baik
dalam disain input, sistem penyajian materi dan sebagainya. Dalam domain input
penjaminan mutu, diterapkan pengukuran pada beberapa aspek melalui asesmen
atas pencapaian akademik mahasiswa, lulusan dan seterusnya.

Ketersediaan berbagai pilihan standar mutu telah menempatkan lembaga


pendidikan tinggi untuk melakukan pilihan sesuai dengan kondisi internal maupun
misi dan visi yang diembannya. Berbagai persepsi yang berkembang pada

18
pengelola institusi mempunyai andil besar terhadap pemaknaan penjaminan mutu
baik atas kerangka kerja, misi yang dikembangkan maupun status kelembagaan
yang dibangun. Ini semua akhirnya menyebabkan model kerja penjaminan mutu
yang diselenggarakan berbeda satu dengan lainnya. Memang ada sesungguhnya
mekanisme maupun kerangka kerja yang telah dikembangkan oleh para ahli
sehingga dalam mekanismenya dapat melakukan benchmarking maupun juga
melakukan pengambilalihan atas model kerangka kerja yang telah tersedia.

Dalam strategi mendorong penerapan penjaminan mutu di Indonesia


Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi menempuh jalan stimulatif berupa
memberikan ancangan sebagai inspirasi bagi pengembangan model penjaminan di
perguruan tinggi dengan menyesuaikan kemampuan dan ketersediaan daya dukung
setempat. Bagi Dikti pelaksanaan penjaminan mutu sangat membutuhkan
komitmen sehingga strategi yang diterapkan adalah sebagai berikut : a. Dengan
melalui pedoman penjaminan mutu diharapkan perguruan tinggi segera
menanggapi untuk melakukan penjaminan mutu.

b. Perguruan tinggi menggalang komitmen untuk menjalankan penjaminan


mutu pendidikan tinggi yang diselenggarakannya.

c. Perguruan tinggi memilih dan menetapkan sendiri standar mutu


pendidikan tinggi yang diselenggarakan untuk setiap program studi.

d. Perguruan tinggi menetapkan dan menjalankan organisasi beserta


mekanisme kerja penjaminan mutu pendidikan tinggi.

e. Perguruan tinggi melakukan benchmarking mutu pendidikan tinggi


secara berkelanjutan.

Model di atas merupakan model yang fungsi pokoknya memfokus pada


student learning. Dalam model ini terdapat dua pendekatan untuk mengukur
kualitas di perguruan tinggi yaitu melalui akreditasi dan pengukuran lulusan.
Namun demikian untuk implementasi model ini dalam perguruan tinggi swasta
tentunya harus dimodifikasi terutama dalam penanganan dan pelaksanaan
akreditasi pada input. Mengapa harus dimodifikasi dalam aspek input ? sebab telah
diketahui oleh umum bahwa perguruan tinggi swasta tidaklah mungkin apabila
input terlalu ketat diberlakukan standarisasi. Pengketatan standar pada penerimaan

19
mahasiswa baru dikawatirkan dapat berakibat fatal pada perguruan tinggi swasta
yaitu tidak memperoleh atau setidaknya berkurang penerimaan calon mahasiswa
dan pada gilirannya membahayakan eksistensinya. Demikian juga standarisasi
dosen atau sarana prasrana, apabila diperketat maka dapat menyulitkan perguruan
tinggi swasta untuk mendapatkan dosen pendukung apalagi untuk perguruan tinggi
swasta di daerah.

Masih banyak perguruan tinggi swasta yang berpandangan bahwa


pelaksanaan seleksi yang ketat justru merugikan perguruan tinggi yang
bersangkutan. Pandangan ini diperkuat kesimpulan yang dibuat oleh Chowdhury,
S.A. (2004) yang memberikan penegasan bahwa kebanyakan perguruan tinggi di
Indonesia lebih berorientasi pada efisiensi saja. Sebagai imbangan dari kekurang
ketatan dalam kualitas mutu maka pada fase proses penyelenggaraan pembelajaran
justru akan diperkuat agar output yang dihasilkan maksimal.

Khusus menyangkut penjaminan mutu dalam fokus pembelajaran, maka


sistem penjaminan mutu meliputi tujuh aspek sebagai variabel yang berpengaruh.
Penjaminan mutu dalam bidang pembelajaran ini menjadi fokus beberapa
perguruan tinggi karena dipandang pembelajaran sebagai inti kegiatan di perguruan
tinggi (Henson, T. Kenneth. 1999: 197). Pandangan ini menunjukkan bahwa
kegiatan pembelajaran merupakan porsi terbesar kegiatan dalam penyelenggaraan
perguruan tinggi serta bagian yang paling nampak clan diterima layanannya oleh
stakeholders.

Menurut konsep penjaminan mutu Dikti, aspek sebagaimana dikemukan di atas


belumlah cukup, harus diperluas lagi skopenya sehingga cakupan yang dikenai
standar mutu meliputi :

1. Kurikulum program studi


2. Sumber daya manusia
3. Mahasiswa
4. Proses pembelajaran
5. Prasarana dan sarana
6. Suasana akademik
7. Keuangan

20
8. Penelitian dan publikasi
9. Pengabdian masyarakat
10. Tata pamong
11. Manajemen lembaga
12. Sistem informasi
13. Kerjasama ektemal.( Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi. 2003: 12)

Aspek utama di atas tentunya dalam implementasinya sangat terpengaruh


oleh lingkungan lokal dalam hal ini situasi dan keadaan perguruan tinggi
bersangkutan sebab diakui bahwa pengaruh lokal punya andil dalam pembentukan
kualitas. Itulah sebabnya kualitas perguruan tinggi bersifat khas. Signifikansi
pengaruh lokal ini sejak awal telah diidentifikasi oleh Hoy, Charles. (2000: 72)
berpeluang sangat mewamai model dan karakteristik penjaminan mutu sehingga
memungkinkan tumbuhnya model penge]olaan kua1itas dengan caranya sendiri
maupun tipe evaluasi menuju tercapainya kernajuan. Fenomena ini dipertegas lagi
oleh Owens, G. Robert. (1995: 206) bahwa lingkungan setempat seperti nilai
budaya serta keadaan sosial merupakan aspek yang kuat sebagai faktor dinamik
perubahan yang membentuk corak khas suatu produk masyarakat termasuk di
dalarnnya sistem pendidikan.

D. Unsur-Unsur Yang Dikenai Penjaminan Mutu.

Menurut hasil pengkajian bersama antara JICA, Direktorat Jenderal


Pendidikan tinggi dan Universitas Gadjah Mada (200 I) dalam kerangka
pening• katan mutu dikembangkan peningkatan lima aspek yang terkait langsung
dengan aspek pembelajaran. Lima aspek tersebut merupakan hal yang utama
sebagai wahana dan upaya peningkatan mutu melalui dimensi pembelajaran.
Adapun rincian aspek pembelajaran menurut JICA adalah sebagai berikut :

a. Peningkatan lingkungan pembelajaran)

I. Memberikan penghargaan tinggi atas upaya pembaharuan dalam


pembelaj aran.

2. Memperkuat pedoman untuk penilaian pengajaran

21
3. Menyelenggarakan mekanisme yang efek:tif yang dapat
mengaksesinformasi diseminasi dan prak:tek pembaharuan pembelajaran
khususnya dalam pemanfaatan teknologi pendidikan.

4. Mengembangkan studi melalui modul yang dapat dilaksanakan dengan


sajian yang luwes

5. Mempertimbangkan isu pengembangan staf dalam kebijakan universitas.

6. Menggali lebih luwes pengalokasian waktu dalam pembelajaran untuk


dimungkinkan lebih memusatkan pada pembelajaran.

7. Mengembangkan kebijakan untuk memastikan bahwa kesepakatan


penerimaan dana oleh fakultas dialokasikan untuk mendukung
pembelajaran.

8. Mengajukan proposal guna peningkatan pusat-pusat pendukungfakultas


bersama pengguna.

b.Perbaikan pembelajaran mahasiswa)

Peningkatan keluwesan dalam pengajaran.

9. Mengidentifikasi kesesuaian area dengan : a) perbaikan fleksibilitas


dalam mengajar mata kuliah dan corak pembelajaran untuk
menyesuaikan kebutuhan mahasiswa dan untuk peningkatan kualitas
karyawan berinteraksi dengan mahasiswa, b) membuat rekomendasi
tindakan dan rancangan pengembangan.

10. Penyesuaian kebijakan akademik sebagai cerminan komitmen yang


lebih berpusat pada pembelajaran yang fleksibel bagi mahasiswa.
Pengembangan program yang fleksibel, artikulasi dan percepatan
pilihan studi

11. Mempertimbangkan struk:tur pengembangan bahan ajar

12. Memperluas kesempatan untuk percepatan studi. Perbedaaan bentuk


sajian pengajaran)

13. Memperluas kendali sajian pengajaran dan pendidikanjarakjauh

22
14. Mengembangkan rancangan untuk kombinasi model sapan
Pengembangan diseminasi baru dan teknologi pendidikan yang sesuai).

15. Memastikan bahwa teknologi pendidikan digunakan telah sesuai dengan


kepentingan perbaikan belajar mahasiswa.

16. Fasilitas/mendukung /mendorong pembelajaran yang fleksibel dengan


menggunakan teknologi pendidikan.

17. Menumbuhkan kesadaran atas potensi teknologi baru pendidikan untuk


perbaikan mutu lulusan dan penggunaan lebih fleksibel pembelajaran
mahasiswa.

18. Diseminasi informasi dalam teknologi pendidikan. Peningkatan


informasi teknologi dan sistem pendukung.)

19. Mengidentifikasi kebutuhan pengembangan karyawan melalui jalur


pelatihan informasi teknologi.

20. Meningkatkan dan mendukung IT dalam mendorong fasilitas


pembelajaran.

21. Peningkatan akses IT Perbaikan dukungan pembelajaran mahasiswa.)

22. Meningkatkan dan memperluas dukungan layanan mahasiswa

23. Meningkatkan dan memperluas program transisi

c. Peningkatan Kurikulum

1. Pengembangan kemandirian lulusan dan ketrampilan belajar sepanjang


hidup, a) komunikasi lesan dan tertulis serta riset, b) berfikir kritis dan
ketrampilan anaJisis pemecahan masalah c) kerjasama d) melek informasi e)
penggunaan teknologi secara efektif.

2. Menyelenggarakan dan menjaga kegiatan reviu, perencanaan untuk


meningkatkan beberapa hal yang terkait dengan : a) efektifitas dan kesesuaian
penggunaan IT dan b) masyarakat dan penempatan ternpat kerja serta projek. 3.
Memastikan pengukuran dalam kerangka mendukung dimensi utama
pembelajaran, pemahaman, belajar sepanjang hidup, pekerjaan, pembaharuan
dan intemasionalisasi dan berpusat pada mahasiswa serta belajar fleksibel.

23
4. Pengembangan dan peninjauan tingkat keterkaitan dengan industri, profesi,
tenaga kerja dan masyarakat melalui penyelenggaraan perencanaan untuk: a)
Tim bahan kuliah (dan/atau disiplin lingkup ilmu) (b) relevansi tempat kerja atau
projek yang dipadukan dalam

materi kuliah, c) keterlibatan program layanan masyarakat dan d) kecocokan materi


kuliah yang dikembangkan dalam kerjasama dengan industri atau tenaga kerja.

5. Memastikan relevansi kurikulum dengan mengacu peninjauan pedoman


akademik: a) Kekinian dan relevansi kurikulum khususnya dalam wilayah
penerapan c) Keseimbangan dalam multi keilmuan dalam dokumen bahan kuliah
d) menjaga pembelajaran selalu menggunakan hasil riset terbaru masa kini.

6. Memastikan kurikulum mempersiapkan lulusan untuk bekerja dalam lingkup


nasional dan lingkungan internasional.

7. Memperluas peluang belajar lebih luas.

E Model dan Proses Penjaminan mutu

. Secara umum memang ada proses dan model dasar yang dijalankan dalam
penjaminan mutu namun demikian tidak semuanya perguruan tinggi sesuai dengan
model yang dasar sehingga adakalanya ada yang lebih condong pada quality control
maupun quality audit. Masing-masing pihak acapkali mengembangkan model
penjaminan mutu berbeda-beda akibat kepentingan dan tujuan yang berlainan.
Perbedaan tersebut bukan hanya karena semata akibat unsur yang ingin dijaminkan,
maupun dosen pelaksana penjaminan mutu itu tetapi juga karena debat tentang
standar mutu itu sendiri masih berlangsung sampai sekarang. Menurut Middlehurst,
Robin ( 1996 : 11) perdebatan mengenai standar

sangat terkait dengan empat kunci yaitu :

a. Kesesuaian yaitu terkait


Keterkaitan yang menyangkut standar dan penjamman mutu akhirnya
membawa pada pembedaan model pelaksanaan penjaminan mutu sebagaimana
terlihat di Inggris. Pada praktek di Inggris memperlihatkan bahwa penjaminan mutu
dibedakan atas dasar perbedaan prosedur sehingga ada penjaminan mutu internal

24
-----·-------�--··-···--··· - ----- - .
dan penjaminan mutu ekternal. Kedua model pelaksanaan ini mempunyai prosedur
yang sendiri-sendiri. Walaupun mengandalkan model pengendalian internal dalam
penjaminan mutu namun tetap diperlukan lembaga pengelolaan penjaminan mutu
sendiri, yang kehadirannya difungsikan sebagai sebagai pengontrol (Anonim.
2004: 3).

Adakalanya, penyelenggaraan penjaminan mutu lebih banyak didorong dari


internal pendidikan tinggi karena akibat perubahan dan lingkungan organisasi itu
sendiri. Dorongan untuk mencari dan menciptakan cara terbaik sistem pendidikan
yang efektifdan efisien antara lain menjadi faktor penentu utama keniscayaan untuk
menyelenggarakan penjaminan mutu. Penelitian yang dilakukan oleh Johm, Daniel.
(2002: 25) menyimpulkan bahwa secara umum munculnya upaya penyelenggaraan
penjaminan mutu akibat keinginan menutup kesenjangan antara apa yang
dihasilkan di perguruan tinggi (belajar dan lulusan) dengan persyaratan yang
dituntut oleh dunia industri. Dari sinilah kemudian ada model adaptasi dengan
tuntutan dunia industri dalam bentuk penjaminan mutu misalnya adanya need
assessment.

Hal yang sama juga dilakukan pada masyarakat Canada dan Amerika pada
tahun 90 an dengan mengadakan kerjasama industri untuk meningkatkan mutu
lulusan. Upaya yang dirintis dalam gerakan Making the Link ini sengaja dilakukan
untuk menemukan kesesuaian antara kemarnpuan ketrampilan yang bisa disediakan
oleh perguruan tinggi dengan tuntutan kebutuhan ketenagakerjaan di lapangan
pekerjaan. Kondisi ini akhirnya juga mendorong munculnya model penjaminan
mutu di Perguruan tinggi di berbagai wilayah. (Evers, T. Rederick. 1998: IX).
Untuk memberikan gambaran mengenai model penjaminan mutu selanjutnya
dikemukakan beberapa model yang dikembangkan pada beberapa negara rnaupun
para pakar.

25

Anda mungkin juga menyukai