6
7
dalam periode ulang 5, 10, dan 20 tahun. Pada perhitungan intensitas hujan
rencana digunakan rumus Mononobe yaitu dengan cara menganalisa grafik
hubungan antara intensitas hujan dengan durasi dan frekuensi hujan. Setelah
dilakukan simulasi, hasilnya menunjukkan bahwa kapasitas drainase yang ada
tidak mampu menampung debit air limpasan yang berasal dari air hujan.Adapun
alternatif penanganan yang disarankan adalah normalisasi kemiringan saluran,
normalisasi dimensi saluran, normalisasi kemiringan sekaligus dimensi saluran,
dan normalisasi menggunakan pompa.
Analisis sistem drainase untuk penanggulangan banjir menggunakan
software SWMM juga pernah dilakukan oleh Suprapto, dkk., (2018). Penelitian
tersebut dilakukan di Kecamatan Magetan bagian utara yang sering mengalami
permasalahan genangan air saat musim penghujan.Adapun analisis yang
dilakukan meliputi perhitungan hujan rancangan, perhitungan frekuensi hujan,
perhitungan intensitas hujan rancangan, dan pembuatan model jaringan drainase.
Data curah hujan berupa data selama 10 (sepuluh) tahun dari tahun 2006 – 2015
diuji kepanggahannya menggunakan metode RAPS (Rescaled Adjusted Partian
Sums). Pada perhitungan analisis frekuensi hujan digunakan Metode Distribusi
kemudian diuji kecocokannya dengan Uji Chi-Kuadrat dan Uji Smirnov-
Kolmorov untuk menentukan metode yang paling tepat.Selanjutnya, dilakukan
perhitungan intensitas hujan rancangan menggunakan Metode Mononobe untuk
mendapatkan data hujan per-jam agar bisa diinput ke dalam SWMM.Hasil
simulasi menunjukkan bahwa kapasitas saluran drainase eksisting cukup baik
namun terdapat 5 (lima) saluran yang melebihi daya tampung debit aliran yang
terjadi. Berdasarkan hasil simulasi tersebut, dilakukan pemilihan konsep
penanganan genangan yang berupa penambahan kapasitas saluran dengan cara
penambahan lebar dan kedalaman saluran.
Penelitian selanjutnyadilakukan oleh Apriyanza, dkk., (2018) yang berjudul
Analisis Kemampuan Saluran Drainase Terhadap Genangan Banjir di Jalan
Gunung Bungkuk Kota Bengkulu dengan Menggunakan Aplikasi EPA SWMM
5.1. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan saluran drainase
eksisting dalam menampung debit aliran yang terjadi. Adapun tahapan analisis
8
mengalirkan atau membuang kelebihan air yang berasal dari air hujan maupun
sumber lainnya sehingga tidak menimbulkan genangan (Suripin, 2004).Drainase
perkotaan adalah cabang ilmu yang mempelajari tentang kajian drainase pada
kawasan perkotaan yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan kota tersebut.
Drainase perkotaan merupakan sistem pengeringan dan pengaliran air dari
kawasan perkotaan yang meliputi permukiman warga, kawasan industri, sekolah,
rumah sakit, dan fasilitas umum perkotaan lainnya (Hardihardaja, 1997).
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 12/PRT/M/2014 tentang
Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan, definisi sistem drainase perkotaan
adalah kesatuan sistem sarana dan prasarana drainase perkotaan dimana sarana
drainase merupakan bangunan pelengkap yang mengatur dan mengendalikan
aliran air hujan agar mengalir dengan lancar.Prasarana drainase adalah saluran air
di permukaan atau di bawah tanah, baik yang terbentuk secara alami maupun
dibuat oleh manusia, yang berfungsi menyalurkan limpasan air dari suatu
kawasan.
2. Kemiringan saluran
Kemiringan saluran adalah kemiringan arah memanjang saluran yang
besarnya dipengaruhi oleh kondisi topografi serta tinggi tekanan yang
diperlukan.Kemiringan dasar maksimum yang diperbolehkan adalah sebesar
0,005 – 0,008 tergantung pada bahan saluran yang digunakan.Bagi tanah
lepas, digunakan kemiringan yang lebih curam dari 0,002 dan bagi tanah
padat digunakan kemiringan 0,005.Jenis material juga dapat mempengaruhi
besarnya kemiringan dinding saluran, yaitu seperti pada Tabel 2.1.
5. Bentuk Saluran
Bentuk saluran berpengaruh terhadap besarnya kapasitas penampang
saluran.Parameter yang dipertimbangkan adalah luas penampang dan
keliling basah penampang saluran.parameter tersebut bernilai berbeda
berdasarkan bentuk saluran yang digunakan. Adapun bentuk saluran
drainase yang sering digunakan adalah:
a. Bentuk Trapesium
Bentuk saluran ini membutuhkan ruang yang cukup dan berfungsi untuk
mengalirkan air hujan, air rumah tangga, maupun irigasi.Bentuk ini pada
umumnya terbuat dari pasangan ataupun tanah asli.Potongan melintang
penampang bentuk trapesium dapat dilihat pada Gambar 2.1.
P B 2 h m 2 1 ............................................................... (2.3)
13
( B m h) h
Rs ............................................................. (2.4)
B 2h m 2 1
b. Bentuk Persegi
Bentuk saluran persegi tidak banyak membutuhkan ruang.Bentuk ini
biasanya dibuat dari pasangan batu ataupun beton.Potongan melintang
penampang bentuk persegi dapat dilihat pada Gambar 2.2.
A B h ............................................................................... (2.5)
P B 2h ............................................................................ (2.6)
Bh
R ........................................................................... (2.7)
B 2h
d. Bentuk Tersusun
Saluran bentuk tersusun dapat terbuat dari tanah ataupun
pasangan.Saluran bagian bawah berfungsi untuk mengaliran limpasan
tanpa adanya hujan sedangkan saluran bagian atas berfungsi untuk
mengalirkan kelebihan air pada saat terjadinya hujan.Potongan
melintang bentuk penampang tersusun ditunjukkan pada Gambar 2.6.
dimana
V= kecepatan aliran air di saluran (m/det)
Rs= radius hidraulik (m)
17
R1 6
C ................................................................................ (2.9)
n
1 23 12
V R s S ...................................................................... (2.10)
n
dimana:
V = kecepatan aliran air di saluran (m/det)
n = koefisien kekasaran dinding, tergantung jenis dan bahan saluran
Rs= radius hidraulik (m)
S = kemiringan saluran, tergantung pada bahan saluran (lihat Tabel 2.4)
Permukaan n
Aspal 0,011
Beton 0,012
Lapisan beton 0,013
Kayu 0,014
Bata dengan semen mortar 0,014
Lempung 0,015
Besi 0,015
Pipa logam bergelombang 0,024
Permukaan puing semen 0,024
Tanah kuning kemerah-merahan 0,050
Tanah pertanian
Permukaan residu < 20% 0,060
Permukaan residu > 20% 0,170
Alami 0,130
Rumput
Pendek, padang rumput 0,150
Lebat 0,240
Rumput Bermuda 0,410
Hutan
Semak belukar 0,40
Semak belukar lebat 0,80
Sumber: Rossman, 2015
Penjelasan lebih detail mengenai bagian-bagian pada Gambar 2.7 adalah sebagai
berikut (Rossman, 2015):
1. Rain Gage
Pada objek Rain Gages,diinput data curah hujan untuk satu atau lebih
daerah tangkapan air hujan di wilayah studi. Data curah hujan tersebut dapat
diinput secara langsung pada SWMM berupa deret waktu yang ditentukan
pengguna atau dapat pula berasal dari file eksternal. Komponen data yang
diinput pada bagian objek Rain Gage adalah:
a. Name : Nama stasiun penakar curah hujan
b. Description : Berisi penjelasan tentang informasi tambahan mengenai
curah hujan yang digunakan
c. Rain Format : Berisi pilihan jenis data input yang diinput, yaitu
Intensity untuk data berupa intensitas curah hujan
rata-rata dalam in/jam atau mm/jam
Volume untuk data input berupa volume curah
hujan dalam in atau mm
Cumulative untuk data input berupa nilai curah
hujan kumulatif dalam in atau mm
21
2. Subcatchments
Subcatchmentsadalah bagian objek yang mewakili Daerah Tangkapan Air
(DTA) hujan.Dalam penggambaran DTA, pengguna harus membagi studi
area menjadi beberapa area.Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam
mengidentifikasi titik outlet (saluran pembuangan) dari setiap area.Area
DTA dibagi menjadi pervious (meresapkan air) dan impervious (kedap air).
Komponen data yang diinput pada bagian objek Subcatchment adalah:
a. Name : Nama daerah tangkapan air atau subcatchment.
b. Rain Gage : Nama stasiun penakar curah hujan pada subcatchment
bersangkutan.
c. Outlet : Nama saluran pembuangan atau saluran yang menerima
dan menampung aliran air hujan dari subcatchment
bersangkutan.
d. Area : Nilai luas area subcatchment dalam akre atau hektar
e. Width : Nilai Width diberikan dari rata-rata panjang maksimum
aliran. Panjang maksimum aliran adalah panjang aliran
dari titik drainase terjauh pada DTA sebelum aliran
tersebut masuk ke saluran pembuangan. Panjang aliran
maksimum dari beberapa kemungkinan aliran yang
terjadi tersebut dirata-ratakan untuk mendapatkan nilai
Width.
f. % Slope : Nilai rata-rata kemiringan lahan pada subcatchment
g. % Imperv : Persentase luas daerah kedap air terhadap luas total
h. N-Imperv : Nilai koefisien kekasaran n Manning untuk aliran yang
22
3. Junction Node
Junction Node adalah bagian objek yang mewakili titik pertemuan antara
dua saluran drainase.Secara fisik, junction node dapat berupa pertemuan
23
saluran biasa, bak kontrol, atau perpipaan. Komponen data yang diinput
pada bagian objek Junction Node adalah sebagai berikut:
a. Name : Penamaan masing-masing titik pertemuan dua atau
lebih saluran drainase
b. Inflows : Aliran yang masuk ke junction node
c. Invert El. : Beda tinggi atau kedalaman tambahan pada junction
node dalam satuan ft atau m. Deskripsi mengenai invert
elevation dapat dilihat pada Gambar 2.8
d. Max. Depth : Kedalaman maksimum junction dalam ft atau m. Jika
kedalaman sama dengan kedalaman saluran, maka
dimasukkan nilai nol.
e. Initial Depth : Kedalaman air awal dalam junction saat simulasi
dimulai, dalam ft atau m.
4. Conduits
Conduits adalah bagian objek yang mewakili saluran pengaliran air.
Komponen data yang diinput pada bagian objek Conduits adalah sebagai
berikut:
a. Name : Nama saluran drainase oleh pengguna
b. Inlet Nodes : Nama titik junction pada ujung saluran bagian hulu
c. Outlet Nodes : Nama titik junction pada ujung saluran bagian hilir
d. Shape : Bentuk penampang saluran, lihat Tabel 2.7
e. Max. Depth : Kedalaman maksimum penampang saluran, ft atau m
f. Length : Panjang saluran drainase, dalam ft atau m
g. Roughness : Nilai kekasaran n Manning berdasarkan jenis
permukaan saluran. Nilai ini dapat dilihat pada Tabel
2.5
h. Inlet Offset : Kedalaman tambahan pada junction bagian hulu
saluran, dalam ft atau m. Deskripsi mengenai inlet offset
dapat dilihat pada Gambar 2.8
i. Outlet Offset : Kedalaman tambahan pada junction bagian hilir saluran,
24
Gorong-
Kedalaman
Lingkaran Kedalaman gorong
kekasaran
lingkaran
Persegi Persegi
Kedalaman, Kedalaman,
(saluran (saluran
lebar lebar
terbuka) tertutup)
Kedalaman,
Kedalaman, lebar atas,
Segitiga Trapesium
lebar atas kemiringan
samping
Kedalaman,
Kedalaman, Persegi- lebar atas,
Parabola
lebar atas segitiga ketinggian
segitiga
5. Outfall
Outfall merupakan saluran pembuangan akhir dari suatu sistem
drainase.Oufall dapat berupa saluran buatan berupa saluran drainase, pipa,
atau dapat pula berupa saluran alami seperti sungai.Komponen data yang
diinput pada bagian objek Outfall adalah sebagai berikut:
a. Name : Nama saluran pembuangan atau outfall
b. Inflows : Sumber aliran yang masuk kedalam saluran
pembuangan.
c. Invert El. : Kedalaman saluran terhadap saluran utama dalam ft
atau m. Apabila kedalaman outfall sama dengan
kedalaman saluran utama, maka dimasukkan nilai nol
d. Tide Gate : Memilih pilihan Yes apabila terdapat pintu air pada
saluran outfall, dan pilihan No apabila tidak ada pintu
air.
1. Hujan (Precipitation)
Hujan rencana adalah hujan dengan periode ulang tertentu yang
diperkirakan akan terjadi di suatu daerah pengaliran (Kamiana, 2011).
Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai
atau dilampaui (Suripin, 2004).Tujuan dari analisis frekuensi data hujan
adalah mencari hubungan antara besarnya kejadian ekstrim terhadap
frekuensi kejadian dengan menggunakan distribusi probabilitas (Triatmodjo,
2009). Suripin (2004) menyebutkan bahwa ada dua macam seri data yang
dipergunakan dalam analisis frekuensi, yaitu:
a. Data Maksimum Tahunan (Annual Maximum Series)
Pada seri data ini, tiap tahun diambil hanya satu besaran maksimum
yang dianggap berpengaruh pada analisis selanjutnya.Menurut
Triatmodjo (2009), metode ini digunakan apabila tersedia data hujan
minimal 10 tahun data runtutan waktu.Kamiana (2011) menyatakan
bahwa seri data ini memiliki kekurangan yaitu data terbesar kedua
dalam satu tahun yang lebih besar nilainya dari data terbesar tahun
lainnya menjadi tidak diperhitungkan dalam analisis.
b. Seri Parsial (Partial Maximum Series)
Penggunaan seri ini adalah dengan menetapkan suatu besaran tertentu
sebagai batas bawah, selanjutnya semua besaran data yang lebih besar
dari batas bawah tersebut diambil dan dijadikan bagian seri
data.Menurut Triatmodjo (2009), Metode ini digunakan apabila
jumlah data kurang dari 10 tahun data runtut waktu.Kamiana (2011)
menjelaskan bahwa kekurangan dari seri data ini adalah kemungkinan
diambilnya lebih dari satu data dalam tahun yang sama sedangkan
pada tahun lainnya tidak ada data yang diambil karena data yang
tersedia berada kurang dari batas bawah.
b. Dispersi
Tidak semua varian dari variable hidrologi sama dengan nilai rerata-
nya, tetapi ada yang lebih besar atau lebih kecil. Besarnya derajat
sebaran varian disekitar nilai reratanya disebut varian (variance) atau
penyebaran (disperse, dispersion). Penyebaran data dapat diukur
dengan deviasi standar (standard deviation) dan varian.
1. Varian, dapat dihitung dengan persamaan berikut:
1 n
s2 ( xi x) 2 ....................................................... (2.13)
n 1 i 1
2. Deviasi standar, dapat dihitung dengan persamaan berikut:
1 n
s ( xi x) 2 ...................................................... (2.14)
n 1 i 1
3. Koefisien varian, dapat dihitung dengan persamaan berikut:
s
Cv .............................................................................. (2.15)
x
4. Kemencengan (skewness), dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
n
n
a
(n 1)(n 2) i 1
( xi x) 3 ............................................ (2.16)
a
Cs ............................................................................. (2.17)
s3
6. Koefisien kurtosis, dapat dihitung dengan persamaan berikut:
n2 n
Ck
(n 1)(n 2)(n 3) s 4
(x
i 1
i x) 4 ........................... (2.18)
XT X
KT ................................................................... (2.20)
s
dengan:
XT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-
tahunan
𝑋 = nilai rata-rata hitung varian
S = deviasi standar nilai varian
KT= faktor frekuensi
Nilai KT bergantung dari periode ulang yang digunakan. Nilai faktor
frekuensi KT yang umumnya disebut sebagai tabel nilai variabel
reduksi Gauss (variable reduce gauss) dapat dilihat pada Lampiran
Tabel A.1.
YT Y
KT ..................................................................... (2.22)
s
dengan:
YT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-
tahunan
𝑌= nilai rata-rata hitung varian
S = deviasi standar nilai varian
KT= faktor frekuensi (Lampiran Tabel A.1)
log x i
log x i 1
.......................................................... (2.23)
n
3. Hitung harga simpangan baku:
0, 5
n 2
(log xi log x)
s i 1 ........................................... (2.24)
n2
4. Hitung koefisien kemencengan:
n
n (log xi log x) 3
G i 1
............................................. (2.25)
(n 1)(n 2) s 3
5. Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T dengan
rumus:
log X T log x K .s ..................................................... (2.26)
dimana K adalah variable standar untuk X yang besarnya tergantung
koefisien kemencengan G. Nilai K untuk berbagai nilai kemencengan
Gdapat dilihat pada Lampiran Tabel A.2.
d. Distribusi Gumbel
Gumbel menggunakan harga ekstrim untuk menunjukkan bahwa
dalam deret harga-harga ekstrim X1,X2, X3………….. Xnmempunyai
fungsi distribusi eksponensial ganda.
a ( x b )
P( x) e e ................................................................... (2.27)
Y
P ( x) e e ....................................................................... (2.28)
YTr Yn
K ..................................................................... (2.30)
Sn
dengan:
Yn = reduced mean yang tergantung jumlah sampel/data n
(Lampiran Tabel A.3)
Sn = reduced standard deviation yang juga tergantung pada jumlah
sampel/data n (Lampiran Tabel A.4)
𝑌 = reduced variate, hubungan antara reduced variate dengan
periode ulang dapat dilihat pada Lampiran Tabel A.5
Yn S YTr
X Tr x .......................................................... (2.34)
Sn Sn
1
X Tr b YT ................................................................... (2.35)
a r
dimana:
Sn
a .............................................................................. (2.36)
s
Yn S
b x ............................................................................ (2.37)
Sn
Distribusi frekuensi sampel data yang telah diolah tersebut selanjutnya perlu
diuji kecocokannya terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan
dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Suripin
33
G
(Oi Ei ) 2
h
2
.......................................................... (2.38)
i 1 Ei
dengan:
𝜒 = parameter chi-kuadrat terhitung
G = jumlah sub kelompok
Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i
Ei = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i
( )
6. Jumlah seluruh G sub-grup nilai untuk menentukan nilai
Chi-Kuadrat hitung,
7. Tentukan derajad kebebasan dk = G – R – 1 (nilai R = 2 untuk
distribusi normal dan binomial)
b. Uji Smirnov-Kolmogorov
Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov sering disebut juga uji
kecocokan non parametrik, karena pengujiannya tidak menggunakan
fungsi distribusi tertentu. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai
berikut:
1. Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan
besarnya peluang dari masing-masing data tersebut
X1 = P(X1)
X2 = P(X2)
X3 = P(X3), dan seterusnya.
2. Urutkan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil
penggambaran data (persamaan distribusinya)
X1 = P’(X1)
X2 = P’(X2)
X3 = P’(X3), dan seterusnya.
3. Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesarnya
antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis.
Dmaksimum = maksimum (P(Xn) - P(Xn))
4. Tentukan nilai Do, nilainya dapat dilihat pada Lampiran Tabel A.6.
5. Apabila diperoleh nilai D maksimum D 0 , maka hasil perhitungan
dapat diterima
1 Normal ( x ± s) = 68,27%
( x ± 2s) = 95,44%
Cs 0
Ck 3
2 Log Normal 3
C s C v 3C v
8 8 4 2
C k C v 6C v 15C v 16C v 3
3 Gumbel C s 1,14
C k 5,40
t c t 0 t d .................................................................................. (2.40)
dengan:
2 n
t0 3,28 L ................................................................ (2.41)
3 S
Ls
td ................................................................................. (2.42)
60 V
dimana,
tc = waktu konsentrasi (jam)
n = angka kekasaran manning
L = panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m)
Ls = Panjang lintasan aliran di dalam saluran (m)
V = kecepatan aliran dalam saluran (m/det)
2. Evaporasi (Evaporation)
Evaporasi atau penguapan adalah peristiwa berubahnya air dari permukaan
menjadi uap dan bergerak ke udara. Faktor yang mempengaruhi evaporasi
adalah suhu udara, kelembapan, kecepatan angina, tekanan udara, sinar
matahari dan faktor lainnya yag saling berhubungan satu sama lain
(Sosrodarsono, 2003). Evaporasi pada pemodelan SWMM berlaku untuk
penguapan air pada permukaan subcatchment, air bawah tanah, aliran air
pada saluran terbuka, serta air yang tertampung pada lubang permukaan
tanah. Nilai evaporasi dalam SWMM dapat dinyatakan dalam beberapa
bentuk (Rossman, 2015):
a. Nilai tunggal yang tetap.
37
dimana:
E = Laju penguapan (mm/hari)
Ra = Ekuivalen air dari radiasi luar angkasa yang masuk (MJM-2d-1)
Tr = Rentang suhu/temperatur harian rata-rata (˚C)
Ta = Suhu/temperatur harian rata-rata (˚C)
λ = konstanta kalor laten penguapan (MJkg-1)
= 2,50 – 0,002361Ta
Nilai Ra atau ekuivalen air dari radiasi luar angkasa yang masuk dapat
dihitung menggunakan persamaan:
3. Infiltrasi (Infiltration)
Infiltrasi dapat diartikan sebagai proses masuknya air hujan kedalam lapisan
permukaan tanah hingga mencapai muka air tanah. Besarnya infiltrasi
sangat bergantung pada kondisi tanah (Sosrodarsono, 2003).Berdasarkan
kapasitas maksimum infiltrasi-nya, tanah dibagi menjadi 4 (empat) tipe
seperti dijelaskan pada Tabel 2.9.Rossman (2015) menjelaskan beberapa
metode yang digunakan dalam komputasi data infiltasi dalam SWMM,
adalah sebagai berikut:
a. Metode Horton
Metode Horton merupakan persamaan empiris yang juga dikenal sebagai
“Persamaan Infiltrasi”.Metode ini dapat diaplikasikan pada kejadian
dimana intensitas hujan selalu melebihi kapasitas infiltrasi.Beberapa
parameter input pada metode Horton adalah:
3.125
Tdry ........................................................................... (2.46)
Ks
B 0,30 – 0,15
C 0,15 – 0,05
D 0,05 – 0
Sumber: Rossman, 2015
c. Metode Green-Ampt
Metode Green-Ampt mendeskripsikan proses infiltrasi yang terjadi
adalah air bergerak secara vertikal dari permukaan tanah ke lapisan tanah
jenuh seperti pada Gambar 2.10.
Tegangan Kapilaritas Ψs
Nilai tegangang kapilaritas merupakan parameter yang paling sulit untuk
diukur secara langsung.Oleh karena itu, pada analisis menggunakan
Metode Green-Ampt, digunakan perkiraan nilai tegangan kapilaritas
Ψsseperti tercantum pada Tabel 2.13.
dimana:
Q = debit puncak/banjir limpasan permukaan (m3/det)
A = luas daerah pengaliran (km2)
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
C = koefisien pengaliran
C A
i 1
i i
C rata rata n
...................................................................... (2.48)
A
i 1
i
n
Q 0,278 I C i Ai ................................................................. (2.49)
i 1
1,49 1 2
WS d d s ........................................................... (2.50)
5/ 2
Q
n
Persamaan Kontinuitas
A Q
0 .............................................................................. (2.51)
t x
Persamaan Momentum
Q Q 2 / A
gA
H
gAS f 0 ......................................... (2.52)
t x x
dimana:
x = jarak (ft)
t = waktu (detik)
A = luas penampang (ft2)
Q = debit aliran (ft3/det)
Z = elevasi invert saluran (ft)
Y = kedalaman air saluran (ft)
H = kedalaman total air dalam saluran (ft) = Z + Y
g = percepatan gravitasi (ft/det2)
Sf = kemiringan gesek saluran
2
n QU
Sf 43
.................................................................. (2.53)
1,486 AR
47
dimana:
n = koefisien kekasaran Manning (det/m1/3)
R = radius hidraulik (ft)
U = kecepatan aliran (ft/det) = Q/A
Q A A H
2U U 2 gA gAS f ...................................... (2.54)
t t x x
denganQ adalah debit aliran (ft3/det), A adalah luas penampang saluran (ft2),
S0 adalah kemiringan dasar saluran, dan n adalah koefisien kekasaran
Manning.