Anda di halaman 1dari 43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka


Tamimi, dkk., (2016) melakukan penelitian dengan judul Kajian Evaluasi
Sistem Drainase Jalan Srikoyo Kecamatan Patrang Kabupaten Jember.Penelitian
ini didasari oleh kondisi sistem drainase di Jalan Srikoyo yang sudah tidak
memadai sehingga dilakukan evaluasi pada saluran drainase yang ada
menggunakan software SWMM (Storm Water Management Model).Pada
penelitian ini, data-data yang digunakan adalah data primer berupa data dimensi
saluran dan data sekunder berupa data curah hujan, peta situasi, dan peta
topografi.Pengolahan data curah hujan dilakukan untuk menghitung nilai
intensitas hujan pada kala ulang tertentu dengan menggunakan Metode Distribusi
Normal, Log Normal, Gumbel, dan Log Pearson III.Setelah diuji menggunakan
uji probabilitas Chi-Kuadrat dan Smirnov-Kolmogorov, metode distribusi yang
memenuhi syarat adalah Metode Distribusi Log Pearson III.Data-data yang telah
diolah kemudian dimasukkan kedalam pemodelan SWMM untuk memulai
simulasi.Hasil simulasi menunjukkan bahwa semakin tinggi kala ulang hujan yang
digunakan, maka semakin banyak pula jumlah node lokasi banjir yang terjadi.Hal
ini disebabkan oleh intensitas hujan yang semakin meningkat seiring dengan
peningkatan kala ulang hujan.
Zarkani, dkk.,(2016) melakukan penelitian tentang analisis drainase untuk
penanggulangan banjir di Perumahan Mutiara Witayu Kecamatan Rumbai
Pekanbaru menggunakan EPA SWMM. Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi kemampuan kapasitas drainase eksisting sekaligus menentukan
alternatif penangananmasalah banjir yang tepat.Pada penelitian ini, simulasi banjir
dilakukan menggunakan software SWMM.Adapun proses pemodelan yang
dilakukan adalah perhitungan curah hujan rencana, perhitungan intensitas hujan
rencana, dan input data ke dalam SWMM. Perhitungan curah hujan rencana
dilakukan dengan metode Maximum Annual Series (Data Maksimum Tahunan)
yaitu dengan menggunakan data curah hujan harian maksimum setiap tahunnya

6
7

dalam periode ulang 5, 10, dan 20 tahun. Pada perhitungan intensitas hujan
rencana digunakan rumus Mononobe yaitu dengan cara menganalisa grafik
hubungan antara intensitas hujan dengan durasi dan frekuensi hujan. Setelah
dilakukan simulasi, hasilnya menunjukkan bahwa kapasitas drainase yang ada
tidak mampu menampung debit air limpasan yang berasal dari air hujan.Adapun
alternatif penanganan yang disarankan adalah normalisasi kemiringan saluran,
normalisasi dimensi saluran, normalisasi kemiringan sekaligus dimensi saluran,
dan normalisasi menggunakan pompa.
Analisis sistem drainase untuk penanggulangan banjir menggunakan
software SWMM juga pernah dilakukan oleh Suprapto, dkk., (2018). Penelitian
tersebut dilakukan di Kecamatan Magetan bagian utara yang sering mengalami
permasalahan genangan air saat musim penghujan.Adapun analisis yang
dilakukan meliputi perhitungan hujan rancangan, perhitungan frekuensi hujan,
perhitungan intensitas hujan rancangan, dan pembuatan model jaringan drainase.
Data curah hujan berupa data selama 10 (sepuluh) tahun dari tahun 2006 – 2015
diuji kepanggahannya menggunakan metode RAPS (Rescaled Adjusted Partian
Sums). Pada perhitungan analisis frekuensi hujan digunakan Metode Distribusi
kemudian diuji kecocokannya dengan Uji Chi-Kuadrat dan Uji Smirnov-
Kolmorov untuk menentukan metode yang paling tepat.Selanjutnya, dilakukan
perhitungan intensitas hujan rancangan menggunakan Metode Mononobe untuk
mendapatkan data hujan per-jam agar bisa diinput ke dalam SWMM.Hasil
simulasi menunjukkan bahwa kapasitas saluran drainase eksisting cukup baik
namun terdapat 5 (lima) saluran yang melebihi daya tampung debit aliran yang
terjadi. Berdasarkan hasil simulasi tersebut, dilakukan pemilihan konsep
penanganan genangan yang berupa penambahan kapasitas saluran dengan cara
penambahan lebar dan kedalaman saluran.
Penelitian selanjutnyadilakukan oleh Apriyanza, dkk., (2018) yang berjudul
Analisis Kemampuan Saluran Drainase Terhadap Genangan Banjir di Jalan
Gunung Bungkuk Kota Bengkulu dengan Menggunakan Aplikasi EPA SWMM
5.1. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan saluran drainase
eksisting dalam menampung debit aliran yang terjadi. Adapun tahapan analisis
8

yang dilakukan adalah menganalisa data hujan harian maksimal, menentukan


parameter statistik dari data hujan, menganalisis curah hujan rencana melalui
Metode Distribusi, menghitung waktu konsentrasi dengan rumus Kirpich, serta
menganalisis intensitas curah hujan rencana pada kala ulang 5, 10, 20, dan 50
tahun menggunakan rumus Mononobe. Pada pemodelan jaringan drainase
eksisting, kawasan Gunung Bungkuk dibagi menjadi 6 (enam) subcatchments atau
daerah tangkapan air, 10 (sepuluh) junction nodes atau titik pertemuan saluran, 10
(sepuluh) conduits atau saluran, dan 1 (satu) outfall node atau saluran akhir.
Setelah dilakukan simulasi terhadap pemodelan jaringan tersebut, didapatkan hasil
bahwa terdapat 2 (dua) saluran yang tidak dapat menampung limpasan sehingga
menimbulkan genangan.Sementara itu, saluran lainnya tidak mengalami luapan
karena ketinggian aliran maksimum masih lebih kecil dari ketinggian saluran.
Faizal, dkk., (2019) melakukan penelitian dengan judul Evaluasi Sistem
Drainase menggunakan SWMM dalam Mencegah Genangan Air di Kota Tarakan.
Penelitian ini didasari oleh permasalahan genangan yang terus terjadi di Kota
Tarakan terutama pada Kecamatan Tarakan Barat yang memiliki dataran
yanglandai dan kondisi lahan kritis.Tahapan evaluasi yang dilakukan adalah
meliputi analisis curah hujan rencana, analisis frekuensi, analisis intensitas hujan,
dan simulasi menggunakan SWMM. Pada analisis curah hujan rencana, data yang
digunakan adalah data curah hujan harian tahunan untuk menentukan jenis
distribusi yang akan digunakan. Dari hasil perhitungan, metode distribusi yang
memenuhi syarat adalah metode distribusi Log Pearson III. Selanjutnya,
pemodelan sistem drainase dilakukan dengan membagi lokasi penelitian menjadi
15 (lima belas) subcathcment, 16 (enam belas) junction, 5 (lima) outfall, dan 16
(enam belas) conduit. Hasil Simulasi menunjukkanbahwa 10 (sepuluh) saluran
atau conduits yang tergenang.Hal ini disebabkan oleh tebalnya endapan sedimen
yang menutupi saluran drainase.Penanganan yang perlu dilakukan adalah rutin
melakukan pengerukan endapan sedimen yang menutupi saluran drainase.
9

2.2. Landasan Teori


2.2.1. Banjir
Peristiwa banjir merupakan hal yang sering terjadi di daerah perkotaan.Hal
ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang sangat cepat namun tidak
diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai
sehingga pemanfaatan lahan menjadi tidak tertib yang kemudian menimbulkan
persoalan drainase perkotaan menjadi kompleks (Suripin, 2004). Selain itu,
Hasmar (2011) menyatakan bahwa banjir dapat juga diakibatkan oleh beberapa
faktor, antara lain:
1. Banjir akibat air laut pasang
Kondisi ini seringkali terjadi pada kota yang terletak di tepi pantai. Pada
saat air laut pasang, airnya akan meluap dan menggenangi area pantai
termasuk kota tersebut. Apabila sistem drainasenya buruk, air tersebutakan
tertahan di daratan dan mengakibatkan genangan dalam waktu lama.
2. Banjir akibat kota dilanda hujan
a. Jika area kota tepi pantai dilanda hujan dengan curah hujan dan
intensitas hujan sangat tinggi,serta kondisi air laut yang sedang pasang,
maka akan terjadi genangan sementara hingga air laut surut.
b. Jika kota area daratan dilanda hujan dengan curah hujan dan intensitas
hujan sangat tinggi namun tidak didukung dengan sistem drainase yang
baik, maka akan terjadi genangan banjir.
c. Jika kota area tepi pantai atau area daratan dilanda hujan dengan curah
hujan dan intensitas hujan sangat tinggi, sekaligus mendapatkan aliran
air dari sisi hulu dengan dataran yang lebih tinggi, maka akan terjadi
banjir kiriman. Jika kota tersebut tidak dilintasi sungai, maka air kiriman
tersebut akan mengalir melalui area kota.

2.2.2. Definisi Drainase Perkotaan


Drainase (drainage) berasal dari bahasa inggris yang mempunyai arti
mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Secara umum, sistem
drainase dapat diartikan sebagai suatu tindakan teknis yang berfungsi untuk
10

mengalirkan atau membuang kelebihan air yang berasal dari air hujan maupun
sumber lainnya sehingga tidak menimbulkan genangan (Suripin, 2004).Drainase
perkotaan adalah cabang ilmu yang mempelajari tentang kajian drainase pada
kawasan perkotaan yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan kota tersebut.
Drainase perkotaan merupakan sistem pengeringan dan pengaliran air dari
kawasan perkotaan yang meliputi permukiman warga, kawasan industri, sekolah,
rumah sakit, dan fasilitas umum perkotaan lainnya (Hardihardaja, 1997).
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 12/PRT/M/2014 tentang
Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan, definisi sistem drainase perkotaan
adalah kesatuan sistem sarana dan prasarana drainase perkotaan dimana sarana
drainase merupakan bangunan pelengkap yang mengatur dan mengendalikan
aliran air hujan agar mengalir dengan lancar.Prasarana drainase adalah saluran air
di permukaan atau di bawah tanah, baik yang terbentuk secara alami maupun
dibuat oleh manusia, yang berfungsi menyalurkan limpasan air dari suatu
kawasan.

2.2.3. Saluran Drainase


Saluran drainase berfungsi untuk mengalirkan limpasan permukaan ke
pembuangan akhir.Dalam perencanaan saluran drainase, hal yang perlu
diperhatikan adalah merencanakan dimensi dan bentuk saluran yang paling
ekonomis.Dengan begitu, saluran drainase dapat menampung dan mengalirkan
limpasan permukaan serta tidak boros dalam pembangunannya.Hardihardaja
(1997) menyatakan beberapa kriteria dalam perancangan saluran drainase sebagai
berikut:
1. Jenis Material
Material yang digunakan sebagai lapisan dasar dan dinding saluran dapat
dibuat dari beton, pasangan batu kali, pasangan batu merah, aspal, kayu,
beton cor, dan lain-lain. Pemilihan materian bergantung pada tersedianya
bahan, harga bahan, serta cara konstruksi saluran.
11

2. Kemiringan saluran
Kemiringan saluran adalah kemiringan arah memanjang saluran yang
besarnya dipengaruhi oleh kondisi topografi serta tinggi tekanan yang
diperlukan.Kemiringan dasar maksimum yang diperbolehkan adalah sebesar
0,005 – 0,008 tergantung pada bahan saluran yang digunakan.Bagi tanah
lepas, digunakan kemiringan yang lebih curam dari 0,002 dan bagi tanah
padat digunakan kemiringan 0,005.Jenis material juga dapat mempengaruhi
besarnya kemiringan dinding saluran, yaitu seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Kemiringan dinding saluran sesuai bahan material

Bahan Saluran Kemiringan Dinding (m)


Batuan / cadas 0
Tanah lumpur 0,25
Lempung keras/tanah 0,5 – 1
Tanah dengan pasangan batuan 1
Lempung 1,5
Tanah berpasir lepas 2
Lumpur berpasir 3
Sumber: Hardihardaja, 1997

3. Tinggi jagaan (Freeboard)


Tinggi jagaan adalah jarak vertikal dari puncak saluran sampai permukaan
air rencana yang melalui saluran.Tinggi jagaan berfungsi untuk mencegah
luapan air akibat faktor eksternal seperti gerakan angin dan pasang
surut.Besarnya tinggi jagaan direncanakan 5% - 30% dari kedalaman.

4. Kapasitas Penampang Saluran


Secara umum, kapasitas penampang saluran dinyatakan dengan persamaan
kontinuitas, yaitu sebagai berikut.
Q  A  V .................................................................................... (2.1)
dimana,
Q = debit aliran atau kapasitas penampang (m3/det)
12

A = Luas penampang (m2)


V = kecepatan rata-rata aliran (m/det)

5. Bentuk Saluran
Bentuk saluran berpengaruh terhadap besarnya kapasitas penampang
saluran.Parameter yang dipertimbangkan adalah luas penampang dan
keliling basah penampang saluran.parameter tersebut bernilai berbeda
berdasarkan bentuk saluran yang digunakan. Adapun bentuk saluran
drainase yang sering digunakan adalah:
a. Bentuk Trapesium
Bentuk saluran ini membutuhkan ruang yang cukup dan berfungsi untuk
mengalirkan air hujan, air rumah tangga, maupun irigasi.Bentuk ini pada
umumnya terbuat dari pasangan ataupun tanah asli.Potongan melintang
penampang bentuk trapesium dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Sumber: dimodifikasi dari Suripin, 2004


Gambar 2.1 Bentuk Penampang Trapesium

Suripin (2004) menyatakan persamaan dalam menghitung luas


penampang bentuk trapesium A, keliling basah P, serta radius hidraulis
Rsebagai berikut.

A  ( B  m  h)h .................................................................... (2.2)

P  B  2 h m 2  1 ............................................................... (2.3)
13

( B  m  h) h
Rs  ............................................................. (2.4)
B  2h m 2  1

b. Bentuk Persegi
Bentuk saluran persegi tidak banyak membutuhkan ruang.Bentuk ini
biasanya dibuat dari pasangan batu ataupun beton.Potongan melintang
penampang bentuk persegi dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Sumber: dimodifikasi dari Suripin, 2004


Gambar 2.2 Bentuk Penampang Persegi

Dalam menentukan luas penampang A, keliling basah P, dan radius


hidraulis R pada bentuk penampang persegi digunakan persamaan
berikut (Suripin, 2004)

A  B  h ............................................................................... (2.5)

P  B  2h ............................................................................ (2.6)

Bh
R ........................................................................... (2.7)
B  2h

c. Bentuk lingkaran, parabol, dan bulat telor


Saluran drainase bentuk ini berupa saluran dari pasangan atau kombinasi
pasangan dan pipa beton untuk memudahkan aliran pengangkutan
14

sedimentasi maupun limbah.Potongan melintang penampang bentuk ini


dapat dilihat pada Gambar 2.3, Gambar 2.4, dan Gambar 2.5.

d. Bentuk Tersusun
Saluran bentuk tersusun dapat terbuat dari tanah ataupun
pasangan.Saluran bagian bawah berfungsi untuk mengaliran limpasan
tanpa adanya hujan sedangkan saluran bagian atas berfungsi untuk
mengalirkan kelebihan air pada saat terjadinya hujan.Potongan
melintang bentuk penampang tersusun ditunjukkan pada Gambar 2.6.

Sumber: dimodifikasi dari Hardihardaja, 1997


Gambar 2.3 Bentuk Penampang Lingkaran

Sumber:dimodifikasi dari Hardihardaja, 1997


Gambar 2.4 Bentuk Penampang Parabol
15

Sumber: dimodifikasi dariHardihardaja, 1997


Gambar 2.5 Bentuk Penampang Bulat Telor

Sumber :dimodifikasi dariHardihardaja, 1997


Gambar 2.6 Bentuk Penampang Tersusun

6. Kecepatan minimum yang diizinkan


Besarnya nilai kecepatan secara umum adalah sebesar 0,60 – 0,90 m/det.
Selain itu, Hasmar (2011) menyatakan beberapa cara dalam menentukan
kecepatan aliran air pada saluran, sebagai berikut.
a. Hubungan antara kemiringan saluran dan kecepatan aliran
Nilai Kecepatan aliran berdasarkan kemiringan saluran drainase dapat
dilihat pada Tabel 2.2.
16

Tabel 2.2 Kecepatan rata-rata aliran berdasarkan kemiringan saluran


Kemiringan Saluran Kecepatan rata-rata
(%) V (m/det)
<1 0,40
1–2 0,60
2–4 0,90
4–6 1,20
6 – 10 1,50
10 – 15 2,40
Sumber: Hasmar, 2011

b. Hubungan antara bahan saluran dan kecepatan aliran


Nilai kecepatan aliran dapat ditentukan berdasarkan jenis bahan dinding
dan dasar saluran seperti pada Tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3 Kecepatan aliran izin berdasarkan jenis bahan saluran


Kecepatan Aliran Izin
Jenis Bahan
(m/det)
Pasir halus 0,45
Lempung kepasiran 0,50
Lanau alluvial 0,60
Kerikil halus 0,75
Lempung keras/kokoh 0,75
Lempung padar 1,10
Kerikil kasar 1,20
Batu-batu besar 1,50
Beton-beton bertulang 1,50
Sumber: Hasmar, 2011

c. Perhitungan Kecepatan Aliran


Kecepatan rata-rata aliran dapat dihitung menggunakan rumus-rumus
empiris.Chezy merumuskan kecepatan untuk aliran pada saluran
drainase sebagai berikut.
V  C R s S ......................................................................... (2.8)

dimana
V= kecepatan aliran air di saluran (m/det)
Rs= radius hidraulik (m)
17

S= kemiringan saluran, tergantung pada bahan saluran


C = nilai koefisien Chezy

Nilai koefisien Chezy dapat dihitung menggunakan beberapa rumus


pendekatan empiris.Salah satu rumus empiris yang sering digunakan
pada perhitungan saluran drainase adalah rumus Manning.Manning
menyarankan rumus empiris koefisien Chezy sebagai berikut.

R1 6
C ................................................................................ (2.9)
n

Rumus koefisien Chezy pada perrsamaan (2.9) kemudian disubstitusikan


kedalam persamaan (2.8) sehingga diperoleh rumus Manning berikut.

1 23 12
V  R s S ...................................................................... (2.10)
n

dimana:
V = kecepatan aliran air di saluran (m/det)
n = koefisien kekasaran dinding, tergantung jenis dan bahan saluran
Rs= radius hidraulik (m)
S = kemiringan saluran, tergantung pada bahan saluran (lihat Tabel 2.4)

Tabel 2.4 Kemiringan dinding saluran berdasarkan bahan saluran


Jenis Bahan Kemiringan Dinding Saluran (%)
Tanah 0-5
Kerikil 5 – 7,5
Pasangan 7,5
Sumber: Hasmar, 2011

7. Koefisien kekasaran Manning (n)


Rossman (2015) memberikan tipikal nilai koefisien kekasaran Manning
nberdasarkan jenis permukaan yang dilaluiseperti terdapat pada Tabel 2.5
berikut.
18

Tabel 2.5 Nilai n-Manning berdasarkan jenis permukaan

Permukaan n
Aspal 0,011
Beton 0,012
Lapisan beton 0,013
Kayu 0,014
Bata dengan semen mortar 0,014
Lempung 0,015
Besi 0,015
Pipa logam bergelombang 0,024
Permukaan puing semen 0,024
Tanah kuning kemerah-merahan 0,050
Tanah pertanian
Permukaan residu < 20% 0,060
Permukaan residu > 20% 0,170
Alami 0,130
Rumput
Pendek, padang rumput 0,150
Lebat 0,240
Rumput Bermuda 0,410
Hutan
Semak belukar 0,40
Semak belukar lebat 0,80
Sumber: Rossman, 2015

2.2.4. Pemodelan Sistem Drainase pada Storm Water Management Model


(SWMM)
Storm Water Management Model (SWMM) adalah model dinamik simulasi
hujan-aliran (rainfall-runoff) yang digunakan untuk simulasi kuantitas maupun
kualitas limpasan permukaan terutama dari daerah perkotaan (Al-Amin,
2020).Limpasan permukaan yang dihasilkan berasal dari daerah tangkapan air
yang menerima hujan.Beban limpasan permukaan tersebut kemudian dialirkan
melalui sistem saluran pipa, saluran terbuka, tampungan, pompa, dan sebagainya.
Rossman (2015) menjelaskan pengaplikasian SWMM yang umum dilakukan
adalah sebagai berikut:
a. Mendesain dan menilai komponen sistem drainase untuk pengendalian banjir
b. Menilai fasilitas penahanan dan perlengkapannya untuk pengendalian banjir
dan pemeliharaan kualitas air
19

c. Pemetaan dataran banjir untuk sistem saluran alami


d. merancang strategi kontrol untuk meminimalkan luapan saluran pembuangan
gabungan
e. Mengevaluasi dampak aliran masuk dan infiltrasi pada saluran air limbah
f. Menghasilkan pencemaran sumber non-point untuk studi alokasi beban limbah
g. Mengevaluasi efektivitas BMP (Best Management Practice)untuk mengurangi
muatan polutan

Al-Amin (2020) menjelaskan komponen utama SWMM yaitu atmosfer,


permukaan tanah, bawah permukaan tanah, dan jaringan drainase adalah sebagai
berikut:
a. Bagian atmosfer, untuk merepresentasikan hujan sebagai input bagi sistem
drainase. Hujan tersebut direpresentasikan dalam objek rain gage.
b. Bagian permukaan tanah, yang merepresentasikan daerah tangkapan air yang
menerima hujan dari bagian atmosfer kemudian mengalirkannya dalam bentuk
infiltrasi ke bagian bawah permukaan tanah dan juga limpasan permukaan
untuk bagian jaringan drainase. Bagian ini memodelkan menggunakan objek
subcatchment.
c. Bagian bawah permukaan tanah, yang menerima infiltrasi dari bagian
permukaan tanah dan mengalirkannya sebagai aliran dasar bagi bagian jaringan
drainase.
d. Bagian jaringan drainase, terdiri dari saluran drainase, pompa dan regulator,
serta unit tampungan yang mengalirkan air menuju saluran buangan. Aliran
masuk dari bagian ini dapat berasal dari limpasan permukaan, aliran dasar (air
tanah), dan aliran masuk lainnya. Komponen dari bagian ini dimodelkan dalam
objek junction, conduits, dan outfall.

Objek-objek dalam setiap bagian diatas digambarkan secara visual dalam


bentuk peta dalam pemodelan SWMM seperti yang ditunjukkan dalam Gambar
2.7 berikut.
20

Sumber: dimodifikasi dari Rossman, 2015


Gambar 2.7 Komponen Objek dalam Pemodelan SWMM 5.1

Penjelasan lebih detail mengenai bagian-bagian pada Gambar 2.7 adalah sebagai
berikut (Rossman, 2015):
1. Rain Gage
Pada objek Rain Gages,diinput data curah hujan untuk satu atau lebih
daerah tangkapan air hujan di wilayah studi. Data curah hujan tersebut dapat
diinput secara langsung pada SWMM berupa deret waktu yang ditentukan
pengguna atau dapat pula berasal dari file eksternal. Komponen data yang
diinput pada bagian objek Rain Gage adalah:
a. Name : Nama stasiun penakar curah hujan
b. Description : Berisi penjelasan tentang informasi tambahan mengenai
curah hujan yang digunakan
c. Rain Format : Berisi pilihan jenis data input yang diinput, yaitu
 Intensity untuk data berupa intensitas curah hujan
rata-rata dalam in/jam atau mm/jam
 Volume untuk data input berupa volume curah
hujan dalam in atau mm
 Cumulative untuk data input berupa nilai curah
hujan kumulatif dalam in atau mm
21

d. Rain Interval : Interval waktu curah hujan dalam format decimal-jam


atau jam-menit.
e. Data Source : Berisi pilihan metode input data hujan yang
digunakan,yaitu pilihan Time Series untuk metode input
manual dan pilihan File untuk memasukkan data hujan
dari sumber eksternal.

2. Subcatchments
Subcatchmentsadalah bagian objek yang mewakili Daerah Tangkapan Air
(DTA) hujan.Dalam penggambaran DTA, pengguna harus membagi studi
area menjadi beberapa area.Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam
mengidentifikasi titik outlet (saluran pembuangan) dari setiap area.Area
DTA dibagi menjadi pervious (meresapkan air) dan impervious (kedap air).
Komponen data yang diinput pada bagian objek Subcatchment adalah:
a. Name : Nama daerah tangkapan air atau subcatchment.
b. Rain Gage : Nama stasiun penakar curah hujan pada subcatchment
bersangkutan.
c. Outlet : Nama saluran pembuangan atau saluran yang menerima
dan menampung aliran air hujan dari subcatchment
bersangkutan.
d. Area : Nilai luas area subcatchment dalam akre atau hektar
e. Width : Nilai Width diberikan dari rata-rata panjang maksimum
aliran. Panjang maksimum aliran adalah panjang aliran
dari titik drainase terjauh pada DTA sebelum aliran
tersebut masuk ke saluran pembuangan. Panjang aliran
maksimum dari beberapa kemungkinan aliran yang
terjadi tersebut dirata-ratakan untuk mendapatkan nilai
Width.
f. % Slope : Nilai rata-rata kemiringan lahan pada subcatchment
g. % Imperv : Persentase luas daerah kedap air terhadap luas total
h. N-Imperv : Nilai koefisien kekasaran n Manning untuk aliran yang
22

melewati area kedap air (impervious). Nilai ini dapat


dilihat pada Tabel 2.5.
i. N-Perv : Nilai koefisien kekasaran n Manning untuk aliran yang
melewati area tidak kedap air impervious). Nilai ini
dapat dilihat pada Tabel 2.5.
j. Dstore- : Kedalaman cekungan yang dapat menampung air di
Imperv permukaan tanah yang kedap air (impervious). Nilai ini
diambil berdasarkan jenis permukaan tanah, seperti
yang terdapat pada Tabel 2.6
k. Dstore-Perv : Kedalaman cekungan yang dapat menampung air di
permukaan tanah yang tidak kedap air (pervious). Nilai
ini diambil berdasarkan jenis permukaan tanah, seperti
yang terdapat pada Tabel 2.6
l. Subarea : Pilihan rute yang dilalui aliran limpasan pada
Routing subcatchment, yaitu:
 Imperv : aliran dari area tidak kedap air (pervious)
mengalir ke area kedap air (impervious)
 Perv : aliran dari area kedap air (impervious)
mengalir ke area tidak kedap air (pervious)
 Outlet : aliran langsung mengalir ke saluran
pembuangan

Tabel 2.6 Hubungan jenis permukaan dan kedalaman cekungan


Jenis Permukaan Kedalaman Cekungan (in)
Permukaan Kedap Air 0,05 – 0,10
Rumput 0,10 – 0,20
Padang Rumput 0,20
Hutan 0,30
Sumber : Rossman, 2015

3. Junction Node
Junction Node adalah bagian objek yang mewakili titik pertemuan antara
dua saluran drainase.Secara fisik, junction node dapat berupa pertemuan
23

saluran biasa, bak kontrol, atau perpipaan. Komponen data yang diinput
pada bagian objek Junction Node adalah sebagai berikut:
a. Name : Penamaan masing-masing titik pertemuan dua atau
lebih saluran drainase
b. Inflows : Aliran yang masuk ke junction node
c. Invert El. : Beda tinggi atau kedalaman tambahan pada junction
node dalam satuan ft atau m. Deskripsi mengenai invert
elevation dapat dilihat pada Gambar 2.8
d. Max. Depth : Kedalaman maksimum junction dalam ft atau m. Jika
kedalaman sama dengan kedalaman saluran, maka
dimasukkan nilai nol.
e. Initial Depth : Kedalaman air awal dalam junction saat simulasi
dimulai, dalam ft atau m.

4. Conduits
Conduits adalah bagian objek yang mewakili saluran pengaliran air.
Komponen data yang diinput pada bagian objek Conduits adalah sebagai
berikut:
a. Name : Nama saluran drainase oleh pengguna
b. Inlet Nodes : Nama titik junction pada ujung saluran bagian hulu
c. Outlet Nodes : Nama titik junction pada ujung saluran bagian hilir
d. Shape : Bentuk penampang saluran, lihat Tabel 2.7
e. Max. Depth : Kedalaman maksimum penampang saluran, ft atau m
f. Length : Panjang saluran drainase, dalam ft atau m
g. Roughness : Nilai kekasaran n Manning berdasarkan jenis
permukaan saluran. Nilai ini dapat dilihat pada Tabel
2.5
h. Inlet Offset : Kedalaman tambahan pada junction bagian hulu
saluran, dalam ft atau m. Deskripsi mengenai inlet offset
dapat dilihat pada Gambar 2.8
i. Outlet Offset : Kedalaman tambahan pada junction bagian hilir saluran,
24

dalam ft atau m. Deskripsi mengenai outlet offset dapat


dilihat pada Gambar 2.8
j. Flap Gate : Pilihan mengenai keberadaan pintu air pada saluran.
 Yes : apabila terdapat pintu air
 No : apabila tidak terdapat pintu air

Tabel 2.7 Jenis penampang saluran drainase


Nama Parameter Bentuk Nama Parameter Bentuk

Gorong-
Kedalaman
Lingkaran Kedalaman gorong
kekasaran
lingkaran

Persegi Persegi
Kedalaman, Kedalaman,
(saluran (saluran
lebar lebar
terbuka) tertutup)

Kedalaman,
Kedalaman, lebar atas,
Segitiga Trapesium
lebar atas kemiringan
samping

Elips Kedalaman, Elips Kedalaman,


vertikal lebar maks. horizontal lebar maks.

Kedalaman,
Kedalaman, Persegi- lebar atas,
Parabola
lebar atas segitiga ketinggian
segitiga

Sumber : dimodifikasi dari Rossman, 2015


25

Sumber: Rossman, 2015


Gambar 2.8 Kedalaman Tambahan (Invert) pada Junction Node

5. Outfall
Outfall merupakan saluran pembuangan akhir dari suatu sistem
drainase.Oufall dapat berupa saluran buatan berupa saluran drainase, pipa,
atau dapat pula berupa saluran alami seperti sungai.Komponen data yang
diinput pada bagian objek Outfall adalah sebagai berikut:
a. Name : Nama saluran pembuangan atau outfall
b. Inflows : Sumber aliran yang masuk kedalam saluran
pembuangan.
c. Invert El. : Kedalaman saluran terhadap saluran utama dalam ft
atau m. Apabila kedalaman outfall sama dengan
kedalaman saluran utama, maka dimasukkan nilai nol
d. Tide Gate : Memilih pilihan Yes apabila terdapat pintu air pada
saluran outfall, dan pilihan No apabila tidak ada pintu
air.

2.2.5. Konsep Analisis Hidrologi pada Simulasi ModelStorm Water


Management Model (SWMM)
Aspek hidrologi yang digunakan dalam pemodelan sistem drainase meliputi
curah hujan (precipitation), Infiltrasi (infiltration), Evaporasi (evaporation), Debit
26

aliran limpasan (runoff), dan kondisi daerah tangkapan air


(subcatchment)(Rossman, 2015). Skema pemodelan hidrologi pada SWMM dapat
dilihat pada Gambar 2.9.

Sumber: Rossman, 2015.


Gambar 2.9.Skema pemodelan hidrologi pada SWMM 5.1

Gambar 2.9.diatas menjelaskan pengolahan data hujan pada pemodelan


menggunakan SWMM. Aliran masuk yang berasal dari hujanakan mendapatkan
beberapa respon dari subcatchment, yaitu sebagian akan meresap kedalam tanah
(infiltration), sebagian lagi akan menguap (evaporation) dan sisanya akan menjadi
aliran limpasan permukaan (runoff). Selain itu, subcatchment yang memiliki
permukaan yang tidak datar akan memungkinkan adanya tampungan air sedalam
ds. Besarnya kedalaman aliran d per satuan waktu t dapat dinyatakan oleh
persamaan berikut (Rossman, 2015):
d
 i  e  f  q ....................................................................... (2.11)
t
dengan:
i = curah hujan (ft/s)
e = nilai evaporasi (ft/s)
f = nilai infiltrasi (ft/s)
q = debit aliran limpasan permukaan (ft/s)
27

1. Hujan (Precipitation)
Hujan rencana adalah hujan dengan periode ulang tertentu yang
diperkirakan akan terjadi di suatu daerah pengaliran (Kamiana, 2011).
Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai
atau dilampaui (Suripin, 2004).Tujuan dari analisis frekuensi data hujan
adalah mencari hubungan antara besarnya kejadian ekstrim terhadap
frekuensi kejadian dengan menggunakan distribusi probabilitas (Triatmodjo,
2009). Suripin (2004) menyebutkan bahwa ada dua macam seri data yang
dipergunakan dalam analisis frekuensi, yaitu:
a. Data Maksimum Tahunan (Annual Maximum Series)
Pada seri data ini, tiap tahun diambil hanya satu besaran maksimum
yang dianggap berpengaruh pada analisis selanjutnya.Menurut
Triatmodjo (2009), metode ini digunakan apabila tersedia data hujan
minimal 10 tahun data runtutan waktu.Kamiana (2011) menyatakan
bahwa seri data ini memiliki kekurangan yaitu data terbesar kedua
dalam satu tahun yang lebih besar nilainya dari data terbesar tahun
lainnya menjadi tidak diperhitungkan dalam analisis.
b. Seri Parsial (Partial Maximum Series)
Penggunaan seri ini adalah dengan menetapkan suatu besaran tertentu
sebagai batas bawah, selanjutnya semua besaran data yang lebih besar
dari batas bawah tersebut diambil dan dijadikan bagian seri
data.Menurut Triatmodjo (2009), Metode ini digunakan apabila
jumlah data kurang dari 10 tahun data runtut waktu.Kamiana (2011)
menjelaskan bahwa kekurangan dari seri data ini adalah kemungkinan
diambilnya lebih dari satu data dalam tahun yang sama sedangkan
pada tahun lainnya tidak ada data yang diambil karena data yang
tersedia berada kurang dari batas bawah.

Triatmodjo (2009) menjelaskan tentang pengukuran parameter statistik yang


sering digunakan dalam analisis data hidrologi meliputi pengukuran
tendensi sentral (central tendency) dan disperse (dispersion).
28

a. Tendensi Sentral (Central Tendency)


Nila rerata (average), merupakan nilai yang cukup representatif dalam
suatu distribusi.Nilai rerata dapat digunakan untuk pengukuran suatu
distribusi, dan memiliki bentuk seperti berikut ini.
1 n
x  x i ....................................................................... (2.12)
n i 1
dengan:
𝑥̅ = Nilai rerata
𝑥 = Variabel random
𝑛 = jumlah data

b. Dispersi
Tidak semua varian dari variable hidrologi sama dengan nilai rerata-
nya, tetapi ada yang lebih besar atau lebih kecil. Besarnya derajat
sebaran varian disekitar nilai reratanya disebut varian (variance) atau
penyebaran (disperse, dispersion). Penyebaran data dapat diukur
dengan deviasi standar (standard deviation) dan varian.
1. Varian, dapat dihitung dengan persamaan berikut:
1 n
s2   ( xi  x) 2 ....................................................... (2.13)
n  1 i 1
2. Deviasi standar, dapat dihitung dengan persamaan berikut:

1 n
s  ( xi  x) 2 ...................................................... (2.14)
n  1 i 1
3. Koefisien varian, dapat dihitung dengan persamaan berikut:
s
Cv  .............................................................................. (2.15)
x
4. Kemencengan (skewness), dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
n
n
a 
(n  1)(n  2) i 1
( xi  x) 3 ............................................ (2.16)

5. Koefisien kemencengan, dapat dihitung dengan persamaan berikut:


29

a
Cs  ............................................................................. (2.17)
s3
6. Koefisien kurtosis, dapat dihitung dengan persamaan berikut:
n2 n
Ck 
(n  1)(n  2)(n  3) s 4
 (x
i 1
i  x) 4 ........................... (2.18)

Selanjutnya, untuk mengolah data-data yang ada tersebut menjadi besaran


yang diperlukan seperti data debit banjir, dimulai dari debit banjir terbesar
dan berakhir dengan debit banjir terkecil, ataupun sebaliknya, dapat
dilakukan dengan menggunakan Distribusi. Dalam ilmu statistik dikenal
beberapa macam distribusi frekuensi dan empat jenis distribusi yang banyak
digunakan dalam bidang hidrologi adalah (Suripin, 2004):
a. Distribusi Normal
Distribusi normal atau kurva normal disebut pula distribusi Gauss.
Adapun rumus-rumus yang biasa digunakan dalam distribusi normal
adalah sebagai berikut:
X T  x  K T S ................................................................... (2.19)

XT  X
KT  ................................................................... (2.20)
s
dengan:
XT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-
tahunan
𝑋 = nilai rata-rata hitung varian
S = deviasi standar nilai varian
KT= faktor frekuensi
Nilai KT bergantung dari periode ulang yang digunakan. Nilai faktor
frekuensi KT yang umumnya disebut sebagai tabel nilai variabel
reduksi Gauss (variable reduce gauss) dapat dilihat pada Lampiran
Tabel A.1.

b. Distribusi Log Normal


30

Jika variabel acak Y = log X terdistribusi secara normal, maka X


dikatakan mengikuti distribusi Log Normal. Persamaan distribusi log
normal juga dapat didekati oleh model matematika dengan persamaan:
YT  Y  K T S .................................................................... (2.21)

YT  Y
KT  ..................................................................... (2.22)
s
dengan:
YT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-
tahunan
𝑌= nilai rata-rata hitung varian
S = deviasi standar nilai varian
KT= faktor frekuensi (Lampiran Tabel A.1)

c. Distribusi Log Person III


Person telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang
dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris.
Tidak seperti konsep yang melatarbelakangi pemakaian distribusi log
normal untuk banjir puncak, maka distribusi probabilitas ini hampir
tidak berbasis teori. Distribusi ini masih tetap dipakai karena
fleksibilitasnya.Salah satu distribusi yang dikembangkan Person yang
menjadi perhatian ahli sumberdaya air adalah Log-Person Type III
(LP III). Tiga parameter penting dalam LP III, yaitu:
(i) harga rata-rata;
(ii) simpangan baku;
(iii) koefisien kemencengan.

Berikut adalah langkah-langkah penggunaan distribusi Log-Person


Type III:
1. Ubah data dalam bentuk logaritmis, X = log X
2. Hitung harga rata-rata:
31

 log x i
log x  i 1
.......................................................... (2.23)
n
3. Hitung harga simpangan baku:
0, 5
 n 2 
  (log xi  log x) 
s   i 1  ........................................... (2.24)
 n2 
 
 
4. Hitung koefisien kemencengan:
n
n (log xi  log x) 3
G i 1
............................................. (2.25)
(n  1)(n  2) s 3
5. Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T dengan
rumus:
log X T  log x  K .s ..................................................... (2.26)
dimana K adalah variable standar untuk X yang besarnya tergantung
koefisien kemencengan G. Nilai K untuk berbagai nilai kemencengan
Gdapat dilihat pada Lampiran Tabel A.2.

d. Distribusi Gumbel
Gumbel menggunakan harga ekstrim untuk menunjukkan bahwa
dalam deret harga-harga ekstrim X1,X2, X3………….. Xnmempunyai
fungsi distribusi eksponensial ganda.

 a ( x b )
P( x)  e e ................................................................... (2.27)

Jika diambil Y = a(X-b), dengan Y disebut reduce varied, maka


persamaan (2.28) dapat ditulis:

Y
P ( x)  e  e ....................................................................... (2.28)

dimana e = bilangan alam = 2,7182818…


32

Namun, persamaan tersebut jarang digunakan. Adapun persamaan


umum yang sering digunakan dalam analisis frekuensi adalah sebagai
berikut:
x  x  sK ........................................................................ (2.29)

YTr  Yn
K ..................................................................... (2.30)
Sn
dengan:
Yn = reduced mean yang tergantung jumlah sampel/data n
(Lampiran Tabel A.3)
Sn = reduced standard deviation yang juga tergantung pada jumlah
sampel/data n (Lampiran Tabel A.4)
𝑌 = reduced variate, hubungan antara reduced variate dengan
periode ulang dapat dilihat pada Lampiran Tabel A.5

Substitusikan persamaan (2.30) ke dalam persamaan (2.29), maka


akan didapatkan persamaan berikut:
YTr  Yn
X Tr  x  S .......................................................... (2.31)
Sn

Yn S YTr
X Tr  x   .......................................................... (2.34)
Sn Sn
1
X Tr  b  YT ................................................................... (2.35)
a r

dimana:
Sn
a .............................................................................. (2.36)
s
Yn S
b x ............................................................................ (2.37)
Sn
Distribusi frekuensi sampel data yang telah diolah tersebut selanjutnya perlu
diuji kecocokannya terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan
dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Suripin
33

(2004) menjelaskan beberapa penguji parameter yang sering dipakai adalah


sebagai berikut:
a. Uji Chi-Kuadrat
Uji Chi-Kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan
distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel
data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan
parameter χ2, yang dapat dihitung dengan rumus berikut:

G
(Oi  Ei ) 2
h 
2
.......................................................... (2.38)
i 1 Ei
dengan:
𝜒 = parameter chi-kuadrat terhitung
G = jumlah sub kelompok
Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i
Ei = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i

Prosedur uji Chi-kuadrat adalah sebagai berikut:


1. Urutkan data pengamatan (dari besar ke kecil atau sebaliknya)
2. Kelompokkan data menjadi, G sub-grup yang masing-masing
beranggotakan minimal 4 data pengamatan
3. Jumlahkan data pengamatan sebesar Oi tiap-tiap sub-grup
4. Jumlahkan data dari persamaan distribusi yang digunakan sebesarEi
5. Pada tiap sub-grup hitung nilai
( )
(𝑂 − 𝐸 ) dan

( )
6. Jumlah seluruh G sub-grup nilai untuk menentukan nilai

Chi-Kuadrat hitung,
7. Tentukan derajad kebebasan dk = G – R – 1 (nilai R = 2 untuk
distribusi normal dan binomial)

8. Menentukan nilai  cr yang berdasarkan nilai dk, nilainya dapat


2

dilihat pada Lampiran Tabel A.7.


34

9. Apabila nilai  2   cr , maka hasil perhitungan dapat diterima.


2

b. Uji Smirnov-Kolmogorov
Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov sering disebut juga uji
kecocokan non parametrik, karena pengujiannya tidak menggunakan
fungsi distribusi tertentu. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai
berikut:
1. Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan
besarnya peluang dari masing-masing data tersebut
X1 = P(X1)
X2 = P(X2)
X3 = P(X3), dan seterusnya.
2. Urutkan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil
penggambaran data (persamaan distribusinya)
X1 = P’(X1)
X2 = P’(X2)
X3 = P’(X3), dan seterusnya.
3. Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesarnya
antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis.
Dmaksimum = maksimum (P(Xn) - P(Xn))
4. Tentukan nilai Do, nilainya dapat dilihat pada Lampiran Tabel A.6.
5. Apabila diperoleh nilai D maksimum  D 0 , maka hasil perhitungan
dapat diterima

Adapun parameter statistik yang berlaku dalam pemilihan jenis


distribusi frekuensi yg tepat dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Parameter statistik untuk menentukan jenis distribusi


No. Distribusi Parameter
35

1 Normal ( x ± s) = 68,27%

( x ± 2s) = 95,44%

Cs  0

Ck  3
2 Log Normal 3
C s  C v  3C v
8 8 4 2
C k  C v  6C v  15C v  16C v  3

3 Gumbel C s  1,14

C k  5,40

4 Log- Pearson Type


Selain dari nilai diatas
III
Sumber: Triatmodjo, 2009

Metode distribusi yang telah memenuhi syarat selanjutnya digunakan


dalam perhitungan intensitas hujan yang merupakan data input pada
pemodelan menggunakan SWMM. Intensitas hujan adalah tinggi atau
kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum hujan adalah makin
singkat hujan berlangsung, maka intensitasnya cenderung makin tinggi dan
makin besar periode ulangnya makin besar pula intensitasnya (Suripin,
2004). Besarnya intensitas hujan dapat dihitung menggunakan Rumus
Mononobe, sebagai berikut:
2/3
R  24 
I  24   .......................................................................... (2.39)
24  tc 
dimana,
I = intensitas hujan (mm)
R24 = curah hujan maksimum harian selama 24 jam (mm)
tc = lamanya hujan atau waktu konsentrasi (jam)

Waktu konsentrasi dapat dihitung dengan menjumlahkan dua komponen


waktu pengaliran, yaitu sebagai berikut:
36

t c  t 0  t d .................................................................................. (2.40)
dengan:
2 n
t0   3,28  L  ................................................................ (2.41)
3 S
Ls
td  ................................................................................. (2.42)
60  V
dimana,
tc = waktu konsentrasi (jam)
n = angka kekasaran manning
L = panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m)
Ls = Panjang lintasan aliran di dalam saluran (m)
V = kecepatan aliran dalam saluran (m/det)

Waktu konsentrasi juga bisa dihitung menggunakan rumus Kirpich:


0 , 385
 0,87  L2 
t c    .................................................................... (2.43)
 1000  S 
dimana,
tc = waktu konsentrasi (jam)
L = panjang lintasan air dari titik terjauh sampai titik tinjau (km)
S= kemiringan rata-rata daerah lintasan air

2. Evaporasi (Evaporation)
Evaporasi atau penguapan adalah peristiwa berubahnya air dari permukaan
menjadi uap dan bergerak ke udara. Faktor yang mempengaruhi evaporasi
adalah suhu udara, kelembapan, kecepatan angina, tekanan udara, sinar
matahari dan faktor lainnya yag saling berhubungan satu sama lain
(Sosrodarsono, 2003). Evaporasi pada pemodelan SWMM berlaku untuk
penguapan air pada permukaan subcatchment, air bawah tanah, aliran air
pada saluran terbuka, serta air yang tertampung pada lubang permukaan
tanah. Nilai evaporasi dalam SWMM dapat dinyatakan dalam beberapa
bentuk (Rossman, 2015):
a. Nilai tunggal yang tetap.
37

b. Nilai rata-rata evaporasi bulanan


c. Nilai seri data harian evaporasi yang diinput manual oleh pengguna
d. Nilai evaporasi harian dari data eksternal
e. Nilai evaporasi harian yang dihitung berdasarkan nilai temperatur harian
dari data eksternal

Data temperatur harian yang dimasukkan kedalam pemodelan SWMM akan


dihitung menggunakan Metode Hargreaves sehingga menghasilkan nilai
evaporasi. Persamaan umum yang digunakan meliputi:

E  0,0023Ra  Tr Ta  17,8 ................................................ (2.44)


12

dimana:
E = Laju penguapan (mm/hari)
Ra = Ekuivalen air dari radiasi luar angkasa yang masuk (MJM-2d-1)
Tr = Rentang suhu/temperatur harian rata-rata (˚C)
Ta = Suhu/temperatur harian rata-rata (˚C)
λ = konstanta kalor laten penguapan (MJkg-1)
= 2,50 – 0,002361Ta

Nilai Ra atau ekuivalen air dari radiasi luar angkasa yang masuk dapat
dihitung menggunakan persamaan:

Ra  37,6d r ws sin  sin   cos  cos  sin ws  ........................... (2.45)


dimana:
J = angka Julian (1 sampai 365)
ws = sudut matahari tenggelam (radian)
φ = sudut lintang (radian)
dr = jarak relatif antara bumi dan matahari
 2J 
= 1  0,033 cos 
 365 
δ = sudut deklinasi matahari (radian)
 2 284  J  
= 0,4093 sin  
 365 
38

3. Infiltrasi (Infiltration)
Infiltrasi dapat diartikan sebagai proses masuknya air hujan kedalam lapisan
permukaan tanah hingga mencapai muka air tanah. Besarnya infiltrasi
sangat bergantung pada kondisi tanah (Sosrodarsono, 2003).Berdasarkan
kapasitas maksimum infiltrasi-nya, tanah dibagi menjadi 4 (empat) tipe
seperti dijelaskan pada Tabel 2.9.Rossman (2015) menjelaskan beberapa
metode yang digunakan dalam komputasi data infiltasi dalam SWMM,
adalah sebagai berikut:

Tabel 2.9 Klasifikasi tanah berdasarkan kapasitas infiltrasi


Tipe Tanah Deskripsi
A Tanah tipe ini memiliki tingkat infiltrasi yang tinggi
bahkan ketika seluruh bagiannya telah basah.
Contohnya: pasir dan kerikil.
B Tanah jenis ini memiliki tingkat infiltasi sedang.
Contohnya: tanah lempung berpasir (sandy loam)
C Tanah jenis ini memiliki laju infiltasi yang lambat.
Contohnya: tanah liat lempung (clay loams) dan
lempung berpasir dangkal (shallow sandy loam)
D Tanah jenis ini memiliki laju infiltrasi yang sangat
lambat. Ciri-ciri tanah ini adalah terdapat lapisan
tanag liat pada permukaan tanah dan tanah dangkal
diatas material yang kedap air.
Sumber: Rossman, 2015

a. Metode Horton
Metode Horton merupakan persamaan empiris yang juga dikenal sebagai
“Persamaan Infiltrasi”.Metode ini dapat diaplikasikan pada kejadian
dimana intensitas hujan selalu melebihi kapasitas infiltrasi.Beberapa
parameter input pada metode Horton adalah:

Kapasitas Minimum Infiltrasi (f∞)


39

Nilai f∞pada dasarnya sama dengan nilai koefisien konduktivitas jenuh


Ksdimana f∞ ≈ Ks. Nilai f∞juga merupakan nilai batas infiltrasi ketika air
tergenang di permukaan, yang besarnya ditentukan berdasarkan kondisi
tanah. Nilai f∞dapat ditentukan berdasarkan tabel 2.10 berikut.

Koefisien Peluruhan (kd)


Nilai kddipengaruhi oleh penurunan kapasitas infiltrasi hingga ke
kapasitas minimum, seperti pada tabel 2.11. Jika tidak ada data
pendukung, maka dapat digunakan nilai kdperkiraan yaitu 4 jam-1.
Penggunaan nilai ini didapatkan dari asumsi bahwa kapasitas infiltrasi
akan menurun sebanyak 98% pada jam pertama.

Kapasitas Maksimum Infiltasi (f0)


Besarnya nilai kapasitas maksimum infiltrasi tergantung dari jenis tanah,
kadar air awal, dan kondisi penutup atau vegetasi permukaan. Nilai f0
tercantum pada Tabel 2.12.

Koefisien Regenerasi (kr)


Besarnya koefisien regenerasi selama simulasi diolah dari SWMM
melalui waktu pengeringan Tdry yang ditentukan menggunakan
persamaan:

3.125
Tdry  ........................................................................... (2.46)
Ks

dimana, Ksmerupakan koefisien konduktivitas jenuh Ks yang ditentukan


berdasarkan Tabel 2.13.

Tabel 2.10 Nilai f∞berdasarkan tipe tanah


Tipe Tanah f∞ (in/hr)
A 0,45 – 0,30
40

B 0,30 – 0,15
C 0,15 – 0,05
D 0,05 – 0
Sumber: Rossman, 2015

Tabel 2.11 Nilai kdberdasarkan penurunan kapasitas infiltrasi


Persen Penurunan Kapasitas
kd
Infiltrasi hingga Mencapai f∞
(jam-1)
setelah 1 jam
2 76
3 95
4 98
5 99
Sumber: Rossman, 2015

Tabel 2.12 Nilai f0 berdasarkan tipe tanah


A. Tanah Kering (dengan sedikit atau tidak ada vegetasi)
Tanah Berpasir: 5 in/jam
Tanah Lempung: 3 in/jam
Tanah Liat: 1 in/jam
B. Tanah Kering (vegetasi lebat)
Nilainya sama dengan nilai pada A dikalikan 2
C. Tanah Lembab
Tanah yang telah terdrain namum tidak kering: bagi nilai dari A
dan B dengan 3
Tanah yang mendekati jenuh : pilih nilai mendekati nilai f∞
Tanah yang kering sebagian : bagi nilai A dan B dengan 1,5-2,5
Sumber: Rossman, 2015

b. Metode Modifikasi Horton


41

Metode Modifikasi Horton menggunakan parameter yang sama dengan


Metode Horton, namun metode ini menganalisis berdasarkan volume
infiltrasi kumulatif yang melebihi laju infiltrasi minimum. Metode ini
mengasumsikan bahwa sebagian air yang terinfiltrasi akan meresap ke
tanah yang lebih dalam (perkolasi) yang memiliki kapasitas infiltrasi
minimum. Oleh karena itu, hasil perhitungan dapat memberikan
perkiraan infiltrasi yang lebih akurat ketka curah hujan rendah.Parameter
input data metode modifikasi Horton sama dengan metode Horton,
yaitukapasitas minimum infiltrasi (f∞), koefisien peluruhan (kd), kapasitas
maksimum infiltasi (f0), dan waktu pengeringan (Tdry).

c. Metode Green-Ampt
Metode Green-Ampt mendeskripsikan proses infiltrasi yang terjadi
adalah air bergerak secara vertikal dari permukaan tanah ke lapisan tanah
jenuh seperti pada Gambar 2.10.

Sumber: Rossman, 2015


Gambar 2.10 Proses Infiltrasi pada Metode Green Ampt

Koefisien Konduktivitas JenuhKs


Nilai koefisien konduktivitas jenuh Ks merupakan nilai kisaran yang
ditentukan berdasarkan jenis tanah. Nilai Ks hampir sama dengan nilai
42

kapasitas infiltrasi minimum f∞pada Metode Horton. Pada Metode Green-


Ampt, nilai Ks tercantum pada Tabel 2.13.

Tegangan Kapilaritas Ψs
Nilai tegangang kapilaritas merupakan parameter yang paling sulit untuk
diukur secara langsung.Oleh karena itu, pada analisis menggunakan
Metode Green-Ampt, digunakan perkiraan nilai tegangan kapilaritas
Ψsseperti tercantum pada Tabel 2.13.

Tabel 2.13 Parameter Green-Ampt untuk beberapa tipe tanah


koefisien
Tegangan Konduktivitas
Tipe Tanah
Kapilaritas Ψs (in) Jenuh
Ks (in/jam)
Pasir (sand) 1,95 4,74
Pasir lempung
2,41 1,18
(loamy sand)
Lempung kepasiran (sandy
4,33 0,43
loam)
Lempung (loam) 3,50 0,13
Lempung kelanauan (silt loam) 6,57 0,26
Lempung tanah liat kepasiran
8,60 0,06
(sandy clay loam)
Tanah liat lempung (clay loam) 8,22 0,04
Lempung tanah liat kelanauan
10,75 0,04
(silty clay loam)
Tanah liat kepasiran (sandy
9,41 0,02
clay)
Tanah liat kelanauan (silty clay) 11,50 0,02
Tanah liat (clay) 12,45 0,01
Sumber: Rossman, 2015
43

Kadar air maksimum (θdmaks)


Kadar air maksimum didefinisikan sebagai perbedaan kadar air keadaan
jenuh dan awal simulasi. Parameter ini sangat berpengaruh terhadap
parameter yang digunakan pada perkiraan limpasan daerah lolos air
(pervious area). Nilai θdmaksditentukan berdasarkan tekstur tanah seperti
tercantum pada Tabel 2.14

Tabel 2.14. Nilai θdmaksuntuk berbagai tipe tanah


Tipe Tanah θdmaks
Pasir (sand) 0,34
Lempung kepasiran (sandy loam) 0,33
Lempung kelanauan (silt loam) 0,32
Lempung (loam) 0,31
Lempung tanah liat kepasiran
0,26
(sandy clay loam)
Lempung tanah liat (clay loam) 0,24
Tanah liat (clay) 0,21
Sumber: Rossman, 2015

d. Metode Curve Number


Metode Curve Numbermerupakan metode kombinasi yang tidak hanya
memperhitungkan kehilangan air akibat infiltrasi air hujan tetapi juga
mengenai kehilangan air akibat intersepsi dan penyimpanan
depresi.SWMM menerapkan metode Curve Number modifikasi yang
hanya memperhitungkan infiltrasi air hujan.Parameter input dalam
metode Curve Number adalah nilai CN (curve nuuber) yang dapat
ditentukan berdasarkan jenis penutup lahan, seperti tercantum pada
Lampiran A.8. Selain itu, nilai waktu pengeringan (Tdry) seperti pada
metode Horton persamaan 2.46 juga digunakan sebagai data input pada
metode ini.
44

4. Debit Limpasan Permukaan (Runoff)


Metode perhitungan debit limpasan permukaan sangat beragam dan dapat
digunakan sesuai dengan ketersediaan data yang dimiliki. Salah satu metode
perhitungan debit yang sangat terkenal dan sering digunakan hingga saat ini
adalah Metode Rasional. Penggunaan metode ini hanya terbatas untuk
daerah pengaliran yang kecil.Menurut Goldman (1986) dalam Suripin
(2004), Metode Rasional hanya berlaku untuk daerah pengaliran dengan
luas kurang dari 300 Ha.

Pada analisis saluran drainase, daerah pengaliran dibagi menjadi beberapa


subcathment sesuai dengan arah aliran yang terjadi.Hal ini mengakibatkan
luasan daerah pengaliran yang ada menjadi semakin kecil dan terbatas.Oleh
karena itu, Metode Rasional dinilai sangat cocok digunakan dalam
perhitungan debit rancangan pada analisis saluran drainase. Kamiana (2011)
menyatakan perhitungan debit rencana menggunakan Metode Rasional
sebagai berikut :

Q  0,278  C  I  A ...................................................................... (2.47)

dimana:
Q = debit puncak/banjir limpasan permukaan (m3/det)
A = luas daerah pengaliran (km2)
I = intensitas curah hujan (mm/jam)
C = koefisien pengaliran

Hardihardaja (1997) menyarankan nilai koefisien pengaliran C berdasarkan


kondisi lahan seperti pada Lampiran Tabel A.9.

Pada kondisi lapangan, daerah pengaliran bersifat heterogen yaitu terdiri


dari beberapa jenis lahan yang berbeda, sehingga nilai koefisien C jugaakan
beragam. Oleh karena itu, nilai C perlu dirata-ratakan sesuai dengan jenis
lahan dan luasan daerah pengaliran A, menggunakan rumus berikut:
45

C A
i 1
i i
C rata  rata  n
...................................................................... (2.48)
A
i 1
i

Apabila persamaan (2.48) disubstitusikan kedalam persamaan (2.47), maka


akan diperoleh persamaan Metode Rasional modifikasi untuk daerah
pengaliran dengan beragam jenis lahan, seperti berikut.

n
Q  0,278  I   C i Ai ................................................................. (2.49)
i 1

Selain metode diatas, SWMM juga mengaplikasikan persamaan Manning


dalam menghitung debit aliran limpasan permukaan. Pemodelan pada
SWMM mengasumsikan aliran permukaan pada subcatchment sebagai
aliran seragam dalam suatu saluran dengan lebar W (ft), kedalaman d –
dsdan kemiringan S. Persamaan Manning digunakan untuk menyatakan
besarnya debit aliran Q(ft3/d) sebagai berikut:

1,49 1 2
WS d  d s  ........................................................... (2.50)
5/ 2
Q
n

2.2.6. Konsep Analisis Hidraulik pada Simulasi ModelStorm Water


Management Model (SWMM)
SWMM menerapkan analisis hidraulik dalam menyelesaikan persamaan
aliran satu dimensi dan aliran untuk menentukan ketinggian air, debit aliran serta
kedalaman aliran di setiap saluran drainase. Secara umum, persamaan yang
digunakan adalah persamaan diferensial kekekalan massa dan momentum yang
dikenal sebagai persamaan St. Venant. SWMM memberikan 2 (dua) alternatif
metode analisis yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan tersebut,
yaitu Analisis Aliran Dinamis (Dynamic Wave Analysis) dan Analisis Aliran
Kinematis (Kinematic Wave Analysis) (Rossman, 2015).
46

1. Analisis Aliran Dinamis (Dynamic Wave Analysis)


Analisis aliran dinamis menyelesaikan persamaan St. Venant secara
keseluruhan sehingga memberikan hasil yang paling akurat secara teori.
Metode ini dapat menghitung kapasitas tampungan saluran, efek aliran balik
(back water effect), kehilangan aliran masuk dan aliran keluar, debit aliran
gorong-gorong, dan aliran bertekanan. Oleh karena itu, metode analisis ini
dapat diterapkan untuk semua jenis jaringan drainase. Persamaan yang
berlaku adalah:

Persamaan Kontinuitas

A Q
  0 .............................................................................. (2.51)
t x

Persamaan Momentum



Q  Q 2 / A
 gA
H 
 gAS f  0 ......................................... (2.52)
t x x

dimana:
x = jarak (ft)
t = waktu (detik)
A = luas penampang (ft2)
Q = debit aliran (ft3/det)
Z = elevasi invert saluran (ft)
Y = kedalaman air saluran (ft)
H = kedalaman total air dalam saluran (ft) = Z + Y
g = percepatan gravitasi (ft/det2)
Sf = kemiringan gesek saluran

Nilai kemiringan gesek saluran dapat dinyatakan dengan persamaan


Manning, sebagai berikut:

2
 n  QU
Sf   43
.................................................................. (2.53)
 1,486  AR
47

dimana:
n = koefisien kekasaran Manning (det/m1/3)
R = radius hidraulik (ft)
U = kecepatan aliran (ft/det) = Q/A

Persamaan (2.62) dan persamaan (2.64) disubstitusikan kedalam persamaan


momentum (2.63) sehingga menghasilkan persamaan debit aliran tiap satuan
waktu, sebagai berikut:

Q A A H
 2U U 2  gA  gAS f ...................................... (2.54)
t t x x

2. Analisis Aliran Kinematis (Kinematic Wave Analysis)


Analisis aliran kinematis menggunakan bentuk persamaan St. Venant yang
telah disederhanakan, yaitu dengan menggabungkan persamaan kontinuitas
dengan persamaan aliran seragam.Oleh karena itu, metode analisis ini tidak
dapat menghitung efek aliran balik (back water), kehilangan aliran masuk
atau aliran keluar, dan aliran bertekanan seperti pada metode analisis aliran
dinamis.Metode ini dapat digunakan untuk saluran yang memiliki
kemiringan curam dengan aliran dangkal dan kecepatan tinggi.Besarnya
debit aliran menggunakan metode analisis aliran kinematis dinyatakan oleh
persamaan berikut (Rossman, 2015):
AR 2 3 S 0
Q ........................................................................... (2.55)
n

denganQ adalah debit aliran (ft3/det), A adalah luas penampang saluran (ft2),
S0 adalah kemiringan dasar saluran, dan n adalah koefisien kekasaran
Manning.

Adapun beberapa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing metode


analisis aliran tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.15.Hal tersebut dapat digunakan
sebagai dasar pemilihan metode analisis aliran pada simulasi menggunakan
SWMM.
48

Tabel 2.15. Parameter Analisis pada Metode Analisis Aliran


Analisis Aliran Dinamis Analisis Aliran
Parameter (Dynamic Wave Kinematis (Kinematic
Analysis) Wave Analysis)
Bercabang dan
Topologi Jaringan Hanya bercabang
berhubungan
Dengan flow
Pembagian Aliran Ya
dividernodes
Evaporation Ya Ya
Analisis Culvert Ya Tidak
Efek Aliran Balik (Back
Ya Tidak
Water Effect)
Aliran Bertekanan Ya Tidak
Kehilangan Aliran
Ya Tidak
Masuk dan Keluar
Saluran yang memiliki
kemiringan curam
Penerapan pada Tipe Semua jenis saluran
dengan aliran dangkal
Saluran drainase
dan kecepatan tinggi

Sumber: Rossman, 2015

Anda mungkin juga menyukai