Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi

Demam adalah salah satu gejala yang dapat membedakan apakah seorang itu

sehat atau sakit. Demam adalah kenaikan suhu badan di atas 38oC. Hiperpireksia

adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41,1oC atau 106oF (suhu

rectal).

B. Etiologi

29-59% demam berhubungan dengan infeksi, 11-20% dengan penyakit kolagen,

6-8% dengan neoplasma, 4% dengan penyakit metabolik dan 11-12% dengan

 penyakit lain.

Penyebab hiperpireksi ialah : infeksi 39%, infeksi dengan kerusakan pusat

 pengatur suhu 32%, kerusakan pusat pengatur suhu saja 18%, dan pada 11% kasus

disebabkan oleh Juvenille Rheumatoid Arthritis, infeksi virus dan reaksi obat. Dari

28 penderita hiperpireksia terdapat 11 penderita (39%) disebabkan oleh infeksi

diantaranya 7 penderita disebabkan oleh kuman gram negatif yang mengenai

traktus urinaria 4 penderita, intraabdominal 2 penderita dan 1 penderita pada paru.

Sedang 9 penderita (32%) disebabkan oleh gabungan antara infeksi dan

kerusakan pusat

 pengatur suhu. Selain itu 5 penderita (18%) disebabkan oleh kerusakan pusat

 pengatur suhu. Tiga penderita (11%) tidak diketahui penyebabnya.

Sesuai dengan patogenesis, etiologi demam yang dapat mengakibatkan

hiperpireksia dapat dibagi sebagai berikut:


1. Set point hipotalamus meningkat

a. Pirogen endogen

- infeksi

- keganasan

- alergi

- panas karena steroid

- penyakit kolagen

 b. Penyakit atau zat

- kerusakan susunan saraf pusat

- keracunan DDT

- racun kalajengking

- penyinaran

- keracunan epinefrin

2. Set point hipotalamus normal

a. Pembentukan panas melebihi pengeluaran panas


- hipertermia malignan

- hipertiroidisme

- hipernatremia

- keracunan aspirin

 b. Lingkungan lebih panas daripada pengeluaran panas

- mandi sauna berlebihan

- panas di pabrik

- pakaian berlebihan

c. Pengeluaran panas tidak baik (rusak)

- displasia ektoderm

- kombusio (terbakar)

- keracunan phenothiazine

- heat stroke

3. Rusaknya pusat pengatur suhu

a. Penyakit yang langsung menyerang set point hipotalamus:


- ensefalitis/ meningitis

- trauma kepala

- perdarahan di kepala yang hebat

- penyinaran2

C. Patofisiologi Pengaturan Suhu Tubuh

Manusia ialah makhluk yang homeotermal, artinya makhluk yang dapat

mempertahankan suhu tubuhnya walaupun suhu di sekitarnya berubah. Yang

dimaksud dengan suhu tubuh ialah suhu bagian dalam tubuh seperti viscera, hati,

otak. Suhu rectal merupakan penunjuk suhu yang baik. Suhu rectal diukur dengan

meletakkan thermometer sedalam 3  –   4 cm dalam anus selama 3 menit sebelum

dibaca. Suhu mulut hampir sama dengan suhu rectal. Suhu ketiak biasanya lebih

rendah daripada suhu rectal. Pengukuran suhu aural pada telinga bayi baru lahir

lebih susah dilakukan dan tidak praktis. Suhu tubuh manusia dalam keadaan

istirahat

 berkisar antara 36oC  –  37oC, yang dapat dipertahankan karena tubuh mampu

mengatur keseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran panas.

Panas dapat berasal dari luar tubuh seperti iklim atau suhu udara di sekitarnya

yang panas. Panas dapat berasal dari tubuh sendiri. Pembentukan panas oleh tubuh

(termogenesis) merupakan hasil metabolisme tubuh. Dalam keadaan basal tubuh

membentuk panas 1 kkal/ kg BB/ jam. Jumlah panas yang dibentuk alat tubuh,

seperti hati dan jantung relative tetap, sedangkan panas yang dibentuk otot rangka

 berubah-ubah sesuai dengan aktifitas. Bila tidak ada mekanisme pengeluaran panas,
dalam keadaan basal suhu tubuh akan naik 1oC/ jam, sedang dalam aktivitas normal

suhu tubuh akan naik 2oC/ jam.

Pengeluaran panas terutama melalui paru dan kulit. Udara ekspirasi yang

dikeluarkan paru jenuh dengan uap air yang berasal dari selaput lendir jalan nafas.

Untuk menguapkan 1 ml air diperlukan panas sebanyak 0,58 kkal. Pengeluaran

 panas melalui kulit dapat dengan dua cara yaitu:

a. Konduksi  –   konveksi : pengeluaran panas melalui cara ini bergantung kepada

 perbedaan suhu kulit dan suhu udara sekitarnya.

 b. Penguapan air : air keluar dari kulit terutama melalui kelenjar keringat. Dapat

 juga melalui perspirasi insensibilitas, difusi air melalui epidermis.

Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus melalui sistem umpan balik yang rumit.

Hipotalamus karena berhubungan dengan talamus akan menerima seluruh impuls

eferen. Saraf eferen hipotalamus terdiri atas saraf somatik dan saraf otonom.

Karena itu hipotalamus dapat mengatur kegiatan otot, kelenjar keringat, peredaran

darah dan ventilasi paru. Keterangan tentang suhu bagian dalam tubuh diterima

oleh reseptor di hipotalamus dari suhu darah yang memasuki otak. Keterangan

tentang suhu dari bagian luar tubuh diterima reseptor panas di kulit yang

diteruskan melalui sistem aferen ke hipotalamus. Keadaan suhu tubuh ini diolah

oleh thermostat hipotalamus yang akan mengatur set point hipotalamus untuk

membentuk panas atau untuk mengeluarkan panas.

Hipotalamus anterior merupakan pusat pengatur suhu yang bekerja bila

terdapat kenaikan suhu tubuh. Hipotalamus anterior akan mengeluarkan impuls

eferen sehingga akan terjadi vasodilatasi di kulit dan keringat akan

dikeluarkan,
selanjutnya panas lebih banyak dapat dikeluarkan dari tubuh. Hipotalamus

posterior merupakan pusat pengatur suhu tubuh yang bekerja pada keadaan dimana

terdapat

 penurunan suhu tubuh. Hipotalamus posterior akan mengeluarkan impuls eferen

sehingga pembentukan panas ditingkatkan dengan meningkatnya metabolisme dan

aktifitas otot rangka dengan menggigil (shivering), serta pengeluaran panas akan

dikurangi dengan cara vasokonstriksi di kulit dan pengurangan keringat.  1

D. Manifestasi Klinis

1. Ranjatan atau Hipovolemia

2. Gangguan fungsi jantung

3. Gangguan fungsi koagulasi

4. Gangguan fungsi ginjal

5.  Nekrosis Hepatosellular

6. Hiperventilasi, yang dapat menyababkan hipokapnea, alkalosis, dan tetani

E. Penatalaksaan Hiperpireksia

Dalam menanggulangi hiperpireksia ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu

(1) menurunkan suhu tubuh secara simptomatis, (2) pengobatan penunjang dan (3)

mencari dan mengobati penyebab.

1. Menurunkan suhu tubuh secara simptomatis

Dalam menurunkan suhu tubuh secara simptomatik ada 2 hal tindakan yang

 perlu dipisahkan, yaitu: a) mengeluarkan panas tubuh secara fisik dan b)

menggunakan obat-obat.
a) mengeluarkan panas tubuh secara fisik, ialah:

- Menempatkan penderita dalam ruangan yang dingin dengan aliran udara

yang baik, misalnya dengan kipas angin agar sirkulasi udara bertambah

- Membuka baju penderita

- Surface cooling yaitu kompres secara intensif pada seluruh bagian tubuh

dengan es, air es atau dengan selimut hipotermik

- Menggunakan alkohol untuk mendinginkan tubuh harus hati-hati karena

gas yang turut terisap dapat menyebabkan hipoglikemia dan koma.

- Memakai air es untuk membilas lambung atau enema atau infus sukar

dilakukan dan terdapat gejala sampingan yang tidak baik untuk

penderita.2

Cara mengeluarkan panas tubuh secara fisik ini dapat digunakan untuk

golongan demam yang disebabkan oleh set point hipotalamus yang meningkat, set

point hipotalamus yang normal dan pada kerusakan pusat pengatur suhu. Tetapi

bila hanya cara ini saja yang dipergunakan untuk set point hipotalamus yang

meningkat, terjadi perangsangan pembentukan panas lebih banyak lagi dan akan

mempertinggi metabolisme, suhu hanya sebentar saja turun dan timbul gejala

menggigil. Oleh sebab itu pada keadaan set point hipotalamus yang meningkat

dibutuhkan tambahan obat yang dapat menurunkan set point di hipotalamus.

Pengeluaran panas secara fisik dapat dilakukan dengan cara external cooling dan

internal cooling :
a. External Colling (Surface Cooling)

Dilakukan dengan mengompres seluruh tubuh dengan air, air es atau

dengan memakai hypothermic matress, yaitu suatu alat berupa selimut

yang suhunya dapat diatur dengan mesin. Bila memakai es, jangan

meletakkan es pada satu tempat lebih lama dari satu menit.

Pemakaian alkohol untuk mendinginkan kulit, harus dilakukan dengan

hati-hati, karena dapat menimbulkan koma, hipoglikemi dan hipothermi

karena inhalasi alkohol yang menguap, lebih-lebih bila ruangan

perawatan sempit dengan ventilasi tidak baik.

 b. Internal cooling

Dilakukan dengan membilas lambung dan rektum dengan larutan

garam fisiologik yang dingin. Dapat juga dengan memakai cairan infus

yang sedingin es. Internal cooling sukar melakukannya dan masih

merupakan cara yang kontroversal. 1

 b) menggunakan obat-obatan

Obat-obatan yang dipakai adalah antipretik yang tujuannya untuk

menurunkan set point hipotalamus. Obat ini bekerja melalui inhibisi

 biosintesis prostaglandin E, sehingga mencegah atau menghambat pengaruh

 pirogen endogen. Bila set point diturunkan, pembentukan panas dikurangi


dan

 pengeluaran panas tubuh akan meningkat, sehingga suhu tubuh akan menurun

dan bahkan pada panas yang tak terlalu tinggi kompres es/ selimut hipotermik
tidak diperlukan. Untuk mencegah menggigil karena vasodilatasi di kulit dan

 pengeluaran keringat, penderita dapat diselimuti. Obat antipiretik yang

dipakai misalnya aspirin. Dosis aspirin adalah 60 mg/ tahun/ kali, sehari

diberikan 3 kali atau untuk bayi di bawah 6 bulan diberikan 10 mg/ bulan/

kali, sehari diberikan 3 kali. Kadar maksimal dalam darah tercapai dalam 2

 jam pemberian oral, tetapi half life meningkat dengan menaikkan dosis

sehingga ada bahaya akumulasi sebagai akibat pemberian yang sering unutk

memberantas demam. Gejala sampingan aspirin yang perlu diketahui adalah

 perdarahan saluran pencernaan, memberatkan asma dan mengganggu fungsi

sel-sel trombosit.2

Bila set point normal, pemberian aspirin untuk mengubah set point adalah

tindakan salah dan dapat menyebabkan keracunan. 2

Kadang-kadang mekanisme patogenesis demam pada seorang penderita

lebih dari pada satu atau merupakan kombinasi, misalnya pada penyakit

diare dan hipernatremia. Diare mungkin disebabkan oleh infeksi, demam

oleh karena pirogen dapat diturunkan dengan antipiretik sedang

hipernatremia yang menyebabkan metabolisme panas yang meningkat,

dapat dihilangkan dengan mengeluarkan panas secara fisik.2

Penderita hiperpireksi sebaiknya dirawat di bangsal khusus dimana dapat

dilakukan pengawasan klinik dan laboratorik terus-menerus. Aliran udara

diatur, sehingga pertukaran udara menjadi lebih baik. Kalau dapat, suhu

ruangan perawatan diturunkan. Di bangsal emergensi, keadaan respirasi,


sirkulasi dan metabolik yang pertama sekali harus distabilkan. Ventilasi

harus terjamin. Saluran pernafasan harus terbuka. Bila banyak lendir harus

dibersihkan dengan menghisapnya dari hidung dan tenggorok. Untuk

mencegah lidah terdorong ke belakang, yang akan menyempitkan jalur nafas

dipasang oropharyngeal airway. Bila perlu dilakukan intubasi endotrakheal.

Kadar oksigen udara pernafasan diatur sehingga mencukupi kebutuhan.

Oksigen dapat diberikan melalui kateter nasofaring, oropharyngeal airway

atau dengan masker. Bila terdapat kegagalan pernafasan, dipergunakan

respirator. 1

Pada setiap penderita hiperpireksi dilakukan intra-venous fluid drips

untuk memberikan cairan dan kalori serta untuk mengkoreksi setiap

gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit. Bila terdapat asidosis

diberikan natrium bikarbonat atau cairan yang mengandung base-corrector

seperti cairan Ringer Laktat. 1

Bila penderita hiperpireksi merasa dingin, terdapat piloerection dan

menggigil sedangkan ekstremitas dingin dan keringat sedikit atau tidak ada

sama sekali, berarti hiperpireksi disebabkan oleh peninggian set point

hipothalamus, pembentukan panas meningkat, pengeluaran panas berkurang.

Kepada penderita ini diberikan obat yang dapat merendahkan set-point

hipothalamus seperti aspirin atau acetaminophen, yang bersifat antagonik

terhadap endogenous pyrogen di hipothalamus. Pembentukan panas akan

dikurangi, pengeluaran panas akan ditingkatkan dengan vasodilatasi di kulit

dan pengeluaran keringat. Untuk mencegah menggigil, penderita diselimuti.


Largaktil dapat diberikan untuk vasodilatasi di kulit dan untuk mencegah

menggigil. Pengeluaran panas secara fisik tanpa menurunkan set-point

hipothalamus, akan merangsang pembentukan panas lebih banyak lagi. Bila

 penderita gelisah dapat diberikan sedative. Aktivitas penderita yang gelisah

dapat menambah pembentukan panas.  1

Hiperpireksi dengan set-point hipothalamus normal, berarti pengeluaran

 panas baik, penderita merasa ekstremitas panas tidak ada menggigil dan

 piloerection serta keringat ada, diobati dengan pengeluaran panas secara fisik.

Pemberian antipiretik dalam hal ini tidak berguna, malah mungkin berbahaya.
1

Bila pada operasi timbul Malignant Hyperthermia, hentikan pemakaian

halothese. Anestesi dilanjutkan dengan N2O –   O2 50-50%, tiopental dan d-

tubokurarin. Berikan prokain-amid 1 mg/kg BB. Bila suhu tubuh lebih dari
40

C dan operasi dilakukan pada rongga dada atau perut lakukan irigasi pada

rongga dada atau perut dengan larutan garam fisiologik yang steril dan

dingin. Bila rongga badan tidak dioperasi, sedangkan suhu tubuh lebih dari

42,2 C,

 buka rongga perut dan lakukan irigasi seperti di atas.  1

Penanganan Heat Stroke:

1. Dinginkan pasien secepatnya dengan air es atau dingin, kipas angin atau

agen pendingin lainnya


2. Berikan oksigen 100%. Jika pasien unresponsive, awasi jalan nafasnya

3. Berikan infuse cairan isotonic cristaloid untuk hipotensi, dextrose 5%

untuk tekanan darah yang normal dan untuk maintenance. Monitor CVP

(Central Venous Pressure)

4. Tempatkan monitor, dan cek temperature per rectal berkelanjutan dan

 pasang kateter Folley serta NGT

5. Pemeriksaan laboratorium meliputi: pemeriksaan darah rutin, elektrolit

meliputi: glukosa, kreatinin, protrombin time dan partial tromboplastin

time (PT dan PTT), keratin kinase, fungsi hati, AGD, urinalisis dan

serum kalsium, magnesium dan fosfat.

6. Rawat di ICU khusus untuk anak.

F. Pengobatan Penunjang

Pengobatan penunjang harus segra dan bersamaan dengan menurunkan suhu

tubuh secara simptomatis. Hal ini bergantung pada gejala yang timbul, tetapi

meskipun demikian kita harus waspada sebab sewaktu-waktu gejala yang

memberatkan penderita akan timbul. Penatalaksanaan terdiri atas:

- Mengusahakan jalan napas yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau perlu

dilakukan intubasi atau trakeotomi


- Pasanglah dan pertahankan infus untuk menjamin pemasukan cairan secara

teratur dan mempertahankan keseimbangan elektrolit.

- Bila penderita gelisah dapat diberikan sedativa karena kegelisahan dapat

menambah pembentukan panas

- Bila terjadi keadaan menggigil dapat diberikan klorpromazin dengan dosis


2 –  4 mg/ kg BB dibagi dalam 3 dosis. Pada heat stroke kecuali pengobatan

penurunan

suhu secara fisik, dapat diberikan klorpromazin untuk mencegah vasokonstriksi

 pembuluh darah kulit akibat bendungan yang terlalu cepat karena tindakan

secara fisik tersebut.

- Bila terdapat kejang segera hentikan kejangnya

- Bila timbul DIC (disseminated intravascular coagulation) tanggulangi secepatnya.

Sebenarnya DIC tidak memerlukan pengobatan bila penyebabnya diobati

dengan tepat, tetapi pada anak bila terjadi perdarahan hebat dapat diberikan

heparin dengan dosis 25 unit per kg BB dalam 1 jam di dalam infuse secara

kontinu atau 100 unit per kg BB tiap 4 –  6 jam sekali secara intravena.

- Bila terjadi hipoksia yang dapat mengakibatkan edema otak dapat diberikan

kortison dengan dosis 20 -30 mg/ kg BB dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya

dexamethasone ½ - 1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.


DAFTAR PUSTAKA

1. Darlan Darwis. (2005). Penatalaksanaan Kegawatan Pediatrik, Beberapa

Masalah dan Penanggulangan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta.

2. H. Sofyan Ismail. (2007). Hiperpireksia. Kedaruratan dan Kegawatan Medik,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.


3. Richard C. Dart, MD, PhD. (2007). Chapter 12: Poisoning. Current Pediatric

Diagnosis & Treatment, Eighteenth Edition, the McGraw-Hill Companies; by

Appleton & Lange.

4. F. Keith Battan, MD, FAAP, Glenn Faries, MD. (2007). Chapter 11:

Emergencies & Injuries. Current Pediatric Diagnosis & Treatment, Eighteenth

Edition, the McGraw-Hill Companies; by Appleton & Lange.

5. Todd J. Kilbaugh Jimmy W. Huh Mark A. Helfaer. (2006). Chapter 34:


Disorders of Temperature Control. Current Pediatric Therapy, 18th

ed.Saunders, An Imprint of Elsevier.

6. Rudolph, Colin D.; Rudolph, Abraham M.; Hostetter, Margaret K.; Lister,

George; Siegel, Norman J. (2009). Chapter 4: The Acutely Ill Infant and Child.

Rudolph's Pediatrics, 21st Edition, McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai