Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aset atau Barang Milik Daerah merupakan salah satu unsur penting dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Barang milik daerah
(BMD) merupakan salah satu aset yang paling vital yang dimiliki daerah guna menunjang
operasional jalannya pemerintahan daerah. Hal ini disebabkan dengan adanya barang milik
daerah maka pencapaian pembangunan nasional dapat terlaksana guna kesejahteraan
masyarakat pada umumnya dan masyarakat daerah pada khususnya. Oleh karena itu,
Barang Milik Daerah harus dikelola dengan baik dan benar sehingga terwujud Pengelolaan
Barang Milik Daerah yang transparan, efisien, akuntabel, ekonomis serta menjamin adanya
kepastian nilai. Paradigma baru pengelolaan Barang Milik Daerah juga menekankan pada
penciptaan nilai tambah dari Barang Milik Daerah yang dimiliki dan dikelola.
Aset yang berada dalam pengelolaan pemerintah daerah tidak hanya yang dimiliki
oleh pemerintah daerah saja, tetapi juga termasuk aset pihak lain yang dikuasai pemerintah
daerah dalam rangka pelayanan ataupun pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah daerah.
Pengelolaan aset daerah harus ditangani dengan baik agar aset tersebut dapat menjadi
modal awal bagi pemerintah daerah untuk melakukan pengembangan kemampuan
keuangannya. Namun jika tidak dikelola dengan semestinya, aset tersebut justru menjadi
beban biaya karena sebagian dari aset membutuhkan biaya perawatan atau pemeliharaan
dan juga turun nilainya (terdepresiasi) seiring waktu.
Selain itu, Barang Milik Daerah pada umumnya akan dicantumkan dalam laporan
keuangan khususnya di dalam neraca pemerintah daerah, yang apabila tidak dikelola
dengan efektif dan efisien akan menimbulkan penyimpangan dan penyelewengan akan
merugikan daerah tersebut, sehingga tata kelola (good governance) yang baik dalam unsur
pemerintahan tidak terlaksana. Untuk menunjang tata kelola yang baik, pengelolaan barang
milik daerah harus dilaksanakan dengan baik mulai pada saat perencanaan dan
penganggaran barang milik daerah hingga penatausahaan barang milik daerah itu sendiri.
Dalam menunjang terlaksananya pelayanan terhadap masyarakat melalui program-
program dan kegiatan yang menjadi tujuan pokok dan fungsi pemerintah, baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah memerlukan sarana dan prasarana yang seharusnya dapat
digunakan secara optimal. Hal ini membutuhkan perencanaan yang matang mengenai
kebutuhan apa-apa saja yang diperlukan dalam menjalankan tujuan dan fungsi masing-
masing. Membahas tentang aspek pemerintahan, maka tidak dapat kita lepaskan
keterkaitan kebutuhan sarana yang diperlukan dengan ketersedian anggaran yang
dialokasikan kepada pemerintah.
Barang Milik Negara/Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban APBN/D atau berasal dari perolehan lainnya yang sah, yakni perolehan dari hibah,
pelaksanaan perjanjian/kontrak, ketentuan peraturan perundang-undangan, serta keputusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
merupakan amanat dari bab VII Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Aturan pelaksanaan dari bab VII undang-undang tersebut adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 sebagaimana yang telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah dan regulasi yang terbaru saat ini yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27
tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Hierarki lebih lanjut,
peraturan perundang-undangan yang mengaturnya adalah Peraturan Menteri Keuangan
dan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara sebagai panduan pengelolaan barang
milik negara serta Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagai acuan pengelolaan Barang
Milik Daerah.
Pengelolaan BMN/BMD dilakukan dengan mengadopsi siklus pengelolaan aset tetap
pada umumnya, yakni perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan,
pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, pemusnahan,
penghapusan, penatausahaan, serta pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Kemudian
apa yang menjadi bahasan kali ini akan menitik beratkan pada awal rangkaian siklus
pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yaitu tahap perencanaan dan penganggaran
dengan aturan yang ada saat ini.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah, Perencanaan Kebutuhan adalah kegiatan merumuskan rincian
kebutuhan Barang Milik Negara/Daerah untuk menghubungkan pengadaan barang yang
telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan
yang akan datang. Dapat diartikan bahwa rencana kebutuhan diformulasikan dari barang-
barang apa saja yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga/Daerah/Instansi dikurangi dengan barang-barang apa saja yang saat
itu telah tersedia dan siap digunakan. Gap (kekurangan) antara kebutuhan dan ketersediaan
barang itu lah yang selanjutnya diusulkan untuk dianggarkan dalam APBN/D.
B. Rumusan Masalah

Barang Milik Daerah memiliki fungsi yang sangat strategis dalam penyelenggaraan
pemerintahan tetapi dalam pelaksanaan pengelolaannya sarat dengan potensi konflik
kepentingan. Beberapa permasalahan yang umum ditemukan dalam pengelolaan Barang
Milik Daerah adalah (1) Belum lengkapnya data mengenai jumlah, nilai, kondisi dan status
kepemilikan Barang Milik Daerah. Permasalahan ini terkait dengan identifikasi dan
invetarisasi, (2) Belum tersedianya basis data (database) yang akurat dalam rangka
penyusunan neraca pemerintah daerah. Selain untuk kepentingan penyusunan neraca
daerah, permasalahan ini jug menghambat upaya pemerintah dalam mengukur tingkat
pelayanan yang dapat diberikan oleh BMD yangdimiliki atau dikuasai oleh pemerintah
daerah, dan (3) Terdapatnya perbedaan persepsi diantara pemangku kepentingan
(stakeholders) dalam hal pengelolaan Barang Milik Daerah.
BAB II

LANDASAN TEORETIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

A. Pengertian Aset dan Barang Milik Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


Pasal 1 ayat (39) dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah pasal 1 ayat (2), Barang Milik Daerah adalah barang yang
dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal
dari perolehan lainnya yang sah. Yang dimaksud barang dalam hal ini adalah benda
dalam berbagai bentuk dan uraian, yang meliputi bahan baku, barang setengah jadi,
barang jadi/peralatan, yang spesifikasinya ditetapkan oleh pengguna barang/jasa.
Sedangkan yang dimaksud dengan perolehan lainnya yang sah adalah barang yang
diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis, pelaksanaan dari perjanjian/kontrak,
diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan diperoleh berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Aset yang berada dalam pengelolaan pemerintah daerah tidak hanya yang dimiliki
oleh pemerintah daerah saja, tetapi juga termasuk aset pihak lain yang dikuasai
pemerintah daerah dalam rangka pelayanan ataupun pelaksanaan tugas dan fungsi
pemerintah daerah. Pengelolaan aset daerah harus ditangani dengan baik agar aset
tersebut dapat menjadi modal awal bagi pemerintah daerah untuk melakukan
pengembangan kemampuan keuangannya. Namun jika tidak dikelola dengan
semestinya, aset tersebut justru menjadi beban biaya karena sebagian dari aset
membutuhkan biaya perawatan atau pemeliharaan dan juga turun nilainya
(terdepresiasi) seiring waktu.
Terdapat beberapa alasan mengenai pentingnya pengelolaan Barang Milik Daerah
secara efektif dan efisien. Alasan-alasan tersebut antara lain:
1. Kejelasan Status Barang Milik Daerah,
2. Inventarisasi Kekayaan Daerah Dan Masa Pakai Bmd,
3. Optimalisasi Penggunaan Dan Pemanfaatan Untuk Peningkatan
Pendapatan Asli Daerah(PAD)
4. Antisipasi Kondisi Bmd Dalam Fungsi Pelayanan Publik,
5. Pengamanan Barang Milik Daerah,
6. Dasar Penyusunan Neraca Daerah Dan Pemenuhan Kewajiban Untuk
Melaporkan Kondisi Dan Nilai Bmd Secara Berkala.

Adapun keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan BMD yang baik antara lain
meningkatkan kepengurusan dan akuntabilitas, meningkatkan manajemen layanan,
meningkatkan manajemen risiko dan meningkatkan efisiensi keuangan. Peningkatan
kepengurusan dan akuntabilitas dicapai dengan menunjukkan ke pemilik, pengguna dan
pihak terkait bahwa layanan yang dihasilkan adalah layanan yang efektif dan efisien. Selain
itu dengan menyediakan dasar untuk mengevaluasi keseimbangan kualitas, layanan dan
harga serta meningkatkan akuntabilitas penggunaan sumber daya melalui pelaporan
keuangan dan kinerja. Peningkatan manajemen layanan dicapai dengan cara meningkatkan
pengertian pada kebutuhan layanan dan pilihan-pilhannya, konsultasi formal atau
persetujuan dengan pengguna tentang level layanan untukmeningkatkan kenyamanan
pelanggan dan citra perusahaan. Peningkatan manajemen risiko dapat dilakukan dengan cara
menganalisis kemungkinan dan konsekuensi dari kegagalan aset. Peningkatan efisiensi
keuangan dapat diperoleh dengan meningkatkan keahlian pengambilan keputusan berdasar
pada biaya dan keuntungan dari beberapa alternatif; justifikasi untuk program kerja ke depan
dan kebutuhan pendanaannya; pengenalan semua biaya dari kepemilikan atau pengoperasian
aset melalui masa pakai aset tersebut.

B. Aspek Teori Pengelolaan Barang Milik Daerah

Secara harfiah, istilah pengelolaan merupakan terjemahan dari kata management


bahasa inggris. Kata ini berasal dari kata to manage yang artinya mengurus, mengatur,
melaksanakan, memperlakukan dan mengelola. Saat ini kata manajemen dan pengelolaan
sudah umum digunakan dan sering dipakai secara bergantian (interchangeable). Menurut
Ensikolopi Administrasi Indonesia, manajemen adalah segenap kekuatan menggerakkan
sejumlah orang yang mengerahkan fasilitas dalam suatu upaya kerjasama untuk mencapai
tujuan tertentu.
Dikutip dari Modul Pengelolaan Barang Milik Daerah oleh DJPK Depkeu tahun 2014,
menurut George R.Terry dalam bukunya Principles of Management, menyatakan fungsi
manajemen adalah:
1) Planning atau perencanaan,
2) Organizing atau Pengorgnisasian
3) Actuating atau menggerakkan
4) Controlling atau pengendalian
Fungsi-fungsi manajemen tersebut lazimnya disingkat POAC.

Dari kutipan yang sama, Lather Hasley Guliek dalam bukunya Papers on the Science
of Administration mengemukakan aktivitas manajemen/pengelolaan yang lebih luas.
Aktivitas-aktivitas tersebut adalah:

1. Planning atau perencanaan


2. Organizing atau Pengorganisasian
3. Staffing atau penyusunan staf
4. Directing atau bimbingan/pengarahan
5. Coordinating atau pengkorrdinasian
6. Budgeting atau penganggaran
Dari perspektif yang tidak jauh berbeda, Hemat Dwi Nuryanto (2008) menyatakan
bahwa pada mendatang, manajemen aset itu terbagi menjadi lima tahapan kerja yang satu
sama lainnya saling berkaitan dan terintegrasi. Tahap yang pertama adalah Inventarisasi
Aset. Terdiri atas dua aspek yaitu inventarisasi fisik dan yuridis atau legal. Aspek fisik
terdiri atas bentuk, luas, lokasi, volume/jumlah, jenis, alamat dan lain-lain. Kemudian, yang
dimaksud aspek yuridis adalah status penguasaan, masalah legal yang dimiliki, batas akhir
penguasaan dan lain-lain. Proses kerja yang dilakukan dalam tahapan pertama adalah
pendataan, kodifikasi atau labelling, pengelompokan dan pembukuan.
Tahapan kedua adalah Legal Audit, merupakan satu lingkup kerja manajemen aset
yang berupa inventarisasi status penguasaan aset, sistem dan prosedur penguasaan atau
pengalihan aset, identifikasi dan mencari solusi atas permasalahan legal. Juga strategi untuk
memecahkan berbagai permasalahan legal yang terkait dengan penguasaan ataupun
pengalihan aset.
Tahapan Ketiga adalah Penilaian Aset. Merupakan satu proses kerja untuk melakukan
penilaian atas aset yang dikuasai. Biasanya ini dikerjakan oleh konsultan independen. Hasil
dari nilai aset tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk mengetahui nilai kekayaan maupun
informasi untuk penetapan harga bagi aset yang ingin dijual maupun untuk disewakan,
dimanfaatkan, maupun dikerjasamakan dengan pihak ketiga.
Tahapan keempat adalah Optimalisasi Aset. Merupakan proses kerja dalam
manajemen aset yang bertujuan untuk mengoptimalkan (potensi fisik, lokasi, nilai,
jumlah/volume, legal dan ekonomi) yang terkandung dalam aset tersebut. Dalam tahapan
ini, aset-aset yang dikuasai Pemda diidentifikasi dan dikelompokan atas aset yang memiliki
potensi dan tidak memiliki potensi. Aset yang memiliki potensi dapat dikelompokan
berdasarkan sektor-sektor unggulan yang menjadi tumpuan dalam strategi pengembangan
ekonomi daerah, baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Tentunya
kriteria untuk menentukan hal tersebut harus terukur dan transparan. Sedangkan aset yang
tidak dapat dioptimalkan, harus dicari faktor penyebabnya. Apakah faktor permasalahan
legal, fisik, nilai ekonomi yang rendah ataupun faktor lainnya. Hasil akhir dari tahapan ini
adalah rekomendasi yang berupa sasaran, strategi dan program untuk mengoptimalkan aset
yang dikuasai.
Tahapan yang kelima adalah Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Aset
sebagai wahana untuk pengawasan dan pengendalian aset. Melalui wahana tersebut
transparansi dalam pengelolaan aset dapat terjamin, sehingga setiap penanganan terhadap
suatu aset dapat termonitor secara jelas. Mulai dari lingkup penanganan hingga siapa yang
bertanggung jawab menanganinya.
Sementara itu, M .Yusuf (2010) menyatakan bahwa agar Barang Milik Daerah dapat
dikelola dengan baik maka perlu disusun langkah-langkah strategis dalam pengelolaan
Barang Milik Daerah. Ia mengusulkan 8 (delapan) langkah stretegis, yaitu:
1. Kenali laporan keuangan Pemerintah Daerah dan Opini Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK)
2. Kenali Karakteristik Aset/BMD Daerah
3. Pelajari administrasi aset/BMD daerah
4. Lakukan perencanaan pengadaan aset/BMD dengan tepat
5. Catat aset tetap sesuai dengan karakteristiknya
6. Catat persediaan barang dan aset lainnya
7. Optimalisasi penggunaan aset/BMD
8. Gabungkan semua menjadi satu.

Jika dikaitkan dengan pengelolaan Barang Milik Daerah, maka fungsi-fungsi dan
tahapan-tahapan tersebut ditunjukkan oleh siklus pengelolaan Barang Milik Daerah.
1. Siklus Pengelolaan Barang Milik Daerah

Siklus pengelolaan Barang Milik Daerah tidak dapat lagi mengacu kepada Peraturan
Pemerintah (PP) No.6 tahun 2006 sebagaimana dirubah dengan PP No.38 tahun 2008,
namun harus mengacu kepada PPNo. 27 tahun 2014. Perbandingan cakupan pengelolaan
Barang Milik Daerah menurut kedua regulasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel.1

Perbandingan Siklus Pengelolaan BMD

Demikin juga, Siklus Pengelolaan BMD berdasarkan PP. No.38 tahun 2008 yang
lebih kompleks daripada pengaturan berdasarkan PP No. 6 tahun 2006 pun tidak lagi
dijadikan acuan. Menurut PP No.38 tahun 2008, pengelolaan BMD meliputi:
a. Perencanaan Kebutuhan Dan Penganggaran
b. Pengadaan
c. Penerimaan, Penyimpanan Dan Penyaluran
d. Penggunaan
e. Penatausahaan
f. Pemanfaatan
g. Pengamanan Dan Pemeliharaan
h. Penilaian
i. Penghapusan
j. Pemindahtanganan
k. Pengawasan Dan Pengendalian
l. Pembiayaan
m. Tuntutan Ganti Rugi Dan Sanksi

Salah satu perubahan penting yang dimasukkan dalam PP No.27 tahun 2014 adalah
penambahan kegiatan pemusnahan dalam siklus Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan Barang Milik
Negara/Daerah. Kegiatan pemusnahan ini tidak diakomodasi dalam peraturan sebelumnya.
Munculnya kegiatan pemusnahan mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi
pengelolaan BMN/D sekaligus meningkatkan akuntabilitas pengelola maupun pengguna
BMN/D. Dengan adanya kegiatan pemusnahan maka kegiatan penghapusan otomoatis
menjadi akhir (ending point) dari siklus pengelolan BMN/D. Siklus Pengelolaan BMD
menurut PP No. 27 tahun 2014 dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Siklus Pengelolaan BMN/D

Sumber: Modul Pelatihan Peserta Diklat Pengelolaan Keuangan

Jika dikaitkan dengan aktivitas perencanaan kebutuhan BMD dan akuntansi,


pengelolaan Barang Milik Daerah dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Pengelolaan Ase


Dari gambar 2 di atas tercermin bahwa dengan memperhatikan perencanan
kebutuhan aset baik dari aset yang telah ada maupun aset potensial, maka tingkat
pelayanan yang ingin dicapai dapat dirumuskan. Kemudian, dari tingkat pelayanan yang
ingin dicapai tersebut dilakukanlah perencanan pengelolaan/manajemen aset.
Pengelolaan aset yang baik akan sangat mendukung pelaporan keuangan yang baik dan
akuntabel. Dalam kaitannya dengan akuntansi terlihat bahwa pengadaan BMD
merupakan belanja modal bagi pemerintah, yang pada saat bersamaan dapat
menciptakan aset berupa aset tetap atau investasi. Selanjutnya terlihat pemeliharan dan
perbaikan akan menimbulkan belanja operasional, sementara pemanfaatannya akan
menciptakan pendapatan bagi daerah. Gambar 2 tersebut juga memperlihatkan
keterkaitan perencanaan kebutuhan dengan penganggaran, pelaksanaan dan
penatausahaan dan pelaporan dan pengevaluasian.
BAB III
PEMBAHASAN

Pada Dasarnya Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah. Selain Itu Sudah di tempatkan pada Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 142. Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah No. 28 tahun
2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Telah mendapat tempat dalam Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6523. Agar setiap orang mengetahuinya.

Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara


melalui Pasal 49 ayat (6) mengamanatkan Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah di
atur dalam Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya, Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014


tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, yang menjadi dasar bagi
Kementerian/Lembaga dan juga Pemerintah Daerah. Khususnya dalam melaksanakan
pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Seiring dengan perkembangannya,
pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah menjadi semakin kompleks, sehingga perlu
mendapat perawatan secara optimal, efektif, dan juga efisien.

Selain itu, pengaturan mengenai Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah


sebagaimana tercatat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Belum sepenuhnya mengakomodir beberapa
kebutuhan pengaturan dalam pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Sehingga perlu
untuk kita melakukan perubahan. Dan juga Perubahan terhadap Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah merupakan
penyempurnaan terhadap ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tersebut.

PP 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas PP 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan


Barang Milik Negara / Daerah mengubah PP 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara / Daerah karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan
pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah.
Ada 36 Perubahan dalam PP 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas PP 27 tahun
2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah ada yang dihapus, penambahan
dan penyisipan pasal-pasal. Seiring dengan perkembangannya, pengelolaan Barang Milik
Negara /Daerah menjadi semakin kompleks, sehingga perlu dikelola secara optimal,
efektif, dan efisien.
PP 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas PP 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara / Daerah menyempurnakan pengaturan pada Bab V mengenai
Penggunaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah, berupa penambahan pengaturan mengenai "Pengelola
Barang" sebagai subjek yang dapat melaksanakan Penggunaan Sementara Barang Milik
Negara/Daerah.
PP 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas PP 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara / Daerah mendorong percepatan pembangunan infrastruktur dalam
hal pemanfaatan barang milik negara / daerah yaitu dengan kerja sama terbatas untuk
pembiayaan infrastruktur.
PP 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas PP 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara / Daerah mendorong penerimaan negara melalui sektor pemanfaatan
barang milik negara / daerah diantaranya dengan:
a. jenis sewa yang penyetorannya dapat dilakukan secara bertahap yaitu untuk Barang
Milik Negara/Daerah dengan karakteristik / sifat khusus ;
b. jangka waktu Pinjam Pakai dapat dilakukan perpanjangan;
c. penambahan pihak yang dapat ditunjuk langsung sebagai Mitra Kerja Sama
Pemanfaatan, yaitu anak perusahaan badan usaha milik negara yang diperlakukan
sama dengan badan usaha milik negara sesuai ketentuan peraturan pemerintah yang
mengatur mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada
badan usaha milik negara dan perseroan terbatas; dan
d. Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna Barang Milik Negara yang dapat
dilakukan oleh Pengguna Barang setelah memperoleh persetujuan Pengelola
Barang.

PP 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas PP 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan


Barang Milik Negara/Daerah menambah entitas Desa sebagaimana diamanatkan dalam
UU 6 tahun 2014 tentang Desa untuk bisa menjadi pihak yang dapat melakukan proses
Tukar Menukar dan Hibah untuk Barang Milik Negara / Daerah.
PP 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas PP 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah melakukan penyederhanaan proses Pemindahtanganan
Barang Milik Negara dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah Pusat yang dari awal
pengadaannya direncanakan untuk menjadi Penyertaan Modal Pemerintah Pusat
menggunakan nilai realisasi anggaran yang telah direviu oleh aparat pengawasan intern
pemerintah, yaitu:
a. perencanaan pengadaan Barang Milik Negara dibahas bersama dengan badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum lainnya yang dimiliki
negara calon penerima Penyertaan Modal Pemerintah Pusat;
b. tidak dilakukan Penetapan Status Penggunaan; dan
c. usulan penetapan sebagai Penyertaan Modal Pemerintah Pusat dilakukan paling
lama 1 (satu) tahun sejak akhir tahun anggaran pengadaan Barang Milik Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
ditetapkan Presiden Joko Widodo di Jakarta pada tanggal 8 Juni 2020. Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juni 2020 oleh Menkumham Yasonna H. Laoly.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 142.
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6523. Agar setiap orang mengetahuinya.
Permendagri Nomor 47 Tahun 2021 adalah sebuah peraturan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Dalam Negeri untuk meningkatkan efisiensi pemerintahan daerah di
Indonesia. Peraturan ini menjadi penting karena pemerintahan daerah memiliki peran
yang sangat vital dalam pembangunan nasional. Dalam Pendahuluan ini, akan dijelaskan
mengenai latar belakang dikeluarkannya Permendagri Nomor 47 Tahun 2021 tentang
Peningkatan Efisiensi Pemerintahan Daerah.
Pertama, permendagri ini disusun sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien. Dalam beberapa tahun
terakhir, pemerintah telah mengidentifikasi adanya permasalahan dalam manajemen
pemerintahan daerah yang menyebabkan kurangnya efisiensi. Oleh karena itu, peraturan
ini dirancang untuk memberikan landasan hukum yang jelas dalam mengoptimalkan
kinerja pemerintah daerah.

Kedua, permendagri ini juga memiliki tujuan untuk meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas pemerintah daerah. Salah satu aspek yang menjadi fokus dalam peraturan ini
adalah pengelolaan keuangan daerah. Dengan adanya ketentuan yang lebih ketat
mengenai pengelolaan keuangan dan pelaporan keuangan daerah, diharapkan akan
tercipta tata kelola keuangan yang lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ketiga, permendagri ini juga memberikan arahan lebih detail mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang pemerintah daerah. Hal ini penting untuk menghindari tumpang
tindih dan konflik antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dengan adanya
pedoman yang jelas, diharapkan akan tercipta koordinasi yang lebih baik antara
pemerintah pusat dan daerah.

Keempat, permendagri ini juga memperkuat peran masyarakat dalam pengawasan


terhadap pemerintah daerah melalui mekanisme partisipasi publik. Dalam peraturan ini,
ditekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan
pelaksanaan program pemerintah daerah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
akuntabilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.

Kelima, peraturan ini juga memperkenalkan inovasi dalam penggunaan teknologi


informasi dalam pemerintahan daerah. Dalam permendagri ini, diatur mengenai
penggunaan teknologi informasi dalam pengelolaan data dan layanan publik pemerintah
daerah. Hal ini akan mempercepat dan mempermudah akses masyarakat terhadap layanan
publik pemerintah daerah.

Keenam, permendagri ini juga memberikan orientasi baru dalam pengelolaan


sumber daya manusia di pemerintahan daerah. Dalam peraturan ini, ditekankan
pentingnya pengembangan kompetensi aparatur pemerintah daerah melalui pendidikan
dan pelatihan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik daerah
serta meminimalisir praktek nepotisme dan korupsi yang sering terjadi.

Ketujuh, penerapan permendagri ini akan dilakukan secara bertahap dan berjenjang.
Pemerintah daerah diberikan waktu untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan
baru dalam peraturan ini. Selain itu, pemerintah daerah juga akan diberikan dukungan
teknis dan non-teknis dalam mengimplementasikan peraturan ini.

Lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 merupakan perubahan


atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. Perubahan Perpres ini merupakan respon atas telah diterbitkannya Undang-
Undang (UU) Cipta Kerja, yang resmi disahkan pada tanggal 02 November Tahun 2020.
UU Cipta Kerja sangat erat kaitannya dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM). Di satu sisi, UMKM sangat erat kaitannya dengan proses pengadaan
barang/jasa, dalam hal ini adalah pengadaan barang/jasa yang bersumber dari dana
APBN/APBD. Oleh karena itu, perubahan Perpres ini dilakukan guna melakukan
beberapa penyesuaian terkait dengan pengaturan penggunaan produk Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah (UMKM) dan pengaturan pengadaan jasa konstruksi. Dengan adanya
Perpres baru ini diharapkan semakin memudahkan masyarakat untuk membuka usaha
baru dan pengembangan usaha. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan
adanya perubahan Perpres ini, khususnya bagi para pengelola keuangan di instansi
pemerintahan, para penyedia barang/jasa, serta pihak-pihak lain yang menjalankan fungsi
pengawasan. Oleh karena itu, sekiranya perlu dilakukan sosialisasi terkait Perpres baru
ini.

Seperti halnya sebuah peraturan yang senantiasa mengalami perubahan dan


perbaikan, aturan terkait pemanfaatan BMN juga banyak mengalami perubahan dari masa
ke masa. Aturan terkait pemanfaatan BMN mulai muncul pada tahun 1994 melalui
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 470/KMK.01/1994 tentang Tata Cara Penghapusan
dan Pemanfaatan Barang Milik Negara/Kekayaan Negara. Dalam keputusan ini, bentuk
pemanfaatan yang berlaku sesuai keputusan tersebut hanya ada tiga, yaitu disewakan,
bangun guna serah, dan dipinjamkan.
Pada tahun 2007, diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor
96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan,
Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara yang mencabut KMK Nomor
470/KMK.01/1994. Aturan ini lebih merinci tata cara pengelolaan dan penatausahaan
BMN. Terdapat tambahan dan perubahan nomenklatur pada pasal bentuk pemanfaatan,
yaitu sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan serta bangun guna serah dan bangun
serah guna.

Dalam rangka menyikapi perkembangan kondisi tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance), PMK 96/PMK.06/2007 dipecah menjadi beberapa aturan tersendiri
sesuai dengan jenis pengelolaan BMN. Pemanfaatan sendiri terpecah menjadi tiga, yakni
PMK Nomor 78/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik
Negara, PMK Nomor 33/PMK.06/2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang
Milik Negara yang telah diubah menjadi PMK Nomor 57/PMK.06/2016, serta PMK
Nomor 164/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik
Negara dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur yang telah diubah menjadi PMK Nomor
65/PMK.06/2016.

Pada tahun 2020, terbitlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.06/2020


tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara sebagai simplifikasi seluruh peraturan terkait
pemanfaatan BMN hingga saat ini.

Sesuai dengan PMK Nomor 115/PMK.06/2020, karakteristik dan penjelasan terkait


bentuk-bentuk pemanfaatan BMN dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. SEWA

Definisi : Pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan
menerima imbalan uang tunai.
Subjek : Pihak yang dapat menyewa antara lain Badan Usaha Milik
Negara/Daerah/Desa, Perorangan, Unit penunjang kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan/negara dan badan usaha lainnya.
Objek : BMN berupa tanah dan/atau bangunan serta selain tanah dan/atau bangunan,
baik itu seluruhnya maupun sebagian.
Jangka waktu : Paling lama 5 (lima) tahun sejak dilakukan penandatanganan perjanjian
dengan periode jam, hari, bulan maupun tahun dan dapat
diperpanjang.
Kontribusi : Nilai sewa.
Contoh : Sewa ruangan ATM, sewa Aula Dhanapala Kementerian Keuangan, dll.
2. PINJAM PAKAI

Definisi : Pemanfaatan BMN melalui penyerahan penggunaan BMN dari Pemerintah


Pusat ke Pemerintah Daerah atau Pemerintah Desa dalam Jangka
Waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu
tersebut berakhir, diserahkan kembali kepada Pengelola
Barang/Pengguna Barang.
Subjek : Pihak yang dapat meminjam pakai adalah Pemerintah Daerah dan Pemerintah
Desa.
Objek : BMN berupa tanah dan/atau bangunan serta selain tanah dan/atau bangunan,
baik itu seluruhnya maupun sebagian.
Jangka Waktu : Paling lama 5 (lima) tahun sejak dilakukan penandatanganan
perjanjian dan dapat diperpanjang.
Kontribusi : Manfaat ekonomi dan/atau sosial Pemerintahan Daerah atau Pemerintahan
Desa.
Contoh : Pinjam Pakai Kendaraan Dinas, Pinjam Pakai Gedung Kantor, dll.
3. KERJA SAMA PEMANFAATAN (KSP)

Definisi : Pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam
rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber
pembiayaan lainnya.
Subjek : Pihak yang menjadi mitra KSP adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan/atau swasta kecuali
perorangan.
Objek : BMN berupa tanah dan/atau bangunan serta selain tanah dan/atau bangunan,
baik itu seluruhnya maupun sebagian.
Jangka Waktu : Paling lama 30 (tiga puluh) tahun, untuk KSP Penyediaan infrastruktur
paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak penandatanganan perjanjian
dan dapat diperpanjang.
Kontribusi : Kontribusi tetap dan pembagian keuntungan.
Contoh : KSP Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya, dll.
4. BANGUN GUNA SERAH (BGS)/BANGUN SERAH GUNA (BSG)

Definisi : BANGUN GUNA SERAH adalah pemanfaatan BMN berupa tanah oleh
pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam
jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Selanjutnya diserahkan
kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya
setelah berakhirnya jangka waktu.
BANGUN SERAH GUNA adalah pemanfaatan BMN berupa tanah oleh pihak lain
dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya, setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu
yang disepakati.
Subjek : Pihak yang menjadi mitra BGS/BSG adalah BUMN, BUMD, Swasta kecuali
perorangan atau Badan Hukum Lainnya.
Objek : BMN berupa tanah
Jangka Waktu : Paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak penandatanganan perjanjian
dan tidak dapat diperpanjang.
Kontribusi : Kontribusi tahunan dan hasil BGS/BSG
Contoh : BGS Kompleks Tanah yang dikelola Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora
Bung Karno (PPGBK) Senayan, DKI Jakarta, dll.
5. KERJA SAMA PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR (KSPI)

Definisi : Pemanfaatan BMN melalui kerja sama antara pemerintah dan badan usaha
untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Subjek : Pihak yang menjadi mitra KSPI adalah Badan Usaha Swasta berbentuk PT,
Badan Hukum asing, BUMN, BUMD, Anak perusahaan BUMN, dan
Koperasi.
Objek : BMN berupa tanah dan/atau bangunan serta selain tanah dan/atau bangunan,
baik itu seluruhnya maupun sebagian.
Jangka Waktu : Paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak penandatanganan perjanjian
dan dapat diperpanjang.
Kontribusi : Barang hasil KSPI dan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback).
Contoh : KSPI Pelabuhan Patimban, Subang, Jawa Barat, dll.

6. KERJA SAMA TERBATAS UNTUK PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR


(KETUPI)
Definisi : Pemanfaatan BMN melalui optimalisasi BMN untuk meningkatkan fungsi
operasional BMN guna mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan
infrastruktur lainnya.
Subjek : Pelaksana KETUPI adalah Penanggung Jawab Pemanfaatan BMN (PJPB) dan
Badan Layanan Umum (BLU) dengan mitra BUMD, Swasta
berbentuk PT, Badan Hukum Asing atau Koperasi.
Objek : BMN berupa tanah dan/atau bangunan beserta fasilitasnya.
Jangka Waktu : Paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak penandatanganan perjanjian
dan dapat diperpanjang.
Kontribusi : Pembayaran dana di muka (upfront payment) dan Aset hasil KETUPI
Contoh : Pembangunan Jalan Tol, Bendungan dan Pelabuhan yang dikelola oleh Badan
Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara (BLU LMAN)
melalui skema KETUPI, dll.

Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 48 ayat (2)
dan Pasal 49 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Ruang lingkup peraturan ini meliputi Ketentuan Umum, Pejabat Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah, Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran, Pengadaan,
Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan Pemeliharaan, Penilaian, Penghapusan,
Pemindahtanganan, Penatausahaan, Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian,
Ketentuan Lain-lain, Ganti Rugi dan Sanksi, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan
Penutup.
Barang milik negara/daerah meliputi : barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
APBN/D dan barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.

Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa pengelolaan barang milik negara/daerah


dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan
keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. Menteri Keuangan selaku
bendahara umum negara adalah pengelola barang milik negara. Sedangkan
Gubernur/Bupati/Walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah.
Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah disusun dalam rencana kerja dan
anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah setelah
memperhatikan ketersediaan barang milik negara/daerah yang ada dan berpedoman pada
standar barang,
Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Untuk status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut : barang
milik negara oleh pengelola barang sedangkan barang milik daerah oleh
Gubernur/Bupati/Walikota. Dalam hal pemanfaatan barang milik negara berupa tanah
dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengelola barang. Adapun bentuk-bentuk
pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa : sewa, pinjam pakai, kerjasama
pemanfaatan, dan bangun guna serah dan bangun serahguna.

Pengelola barang, pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib


melakukan pengamanan barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaannya.
Barang milik negara/daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah
Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan. Penilaian barang milik
negara/daerah dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah,
pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah. Penetapan nilai barang
milik negara/daerah dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah dilakukan
dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Sedangkan
penghapusan barang milik negara/daerah meliputi : penghapusan dari daftar barang
pengguna dan/atau kuasa pengguna dan penghapusan dari daftar barang milik
negara/daerah. Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tindak lanjut atas penghapusan
barang milik negara/daerah meliputi : penjualan, tukar-menukar, hibah, dan penyertaan
modal pemerintah pusat/daerah.

Setiap kerugian negara/daerah akibat kelalaian, penyalahgunaan/pelanggaran hukum


atas pengelolaan barang milik negara/daerah diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan setiap pihak yang mengakibatkan
kerugian negara/daerah tersebut diatas dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau
sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Luasnya lingkup muatan materi yang akan diatur dalam Peraturan Daerah ini yang
meliputi ketentuan mengenai perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan,
penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan,
pemusnahan, penghapusan, penatausahaan serta pembinaan, pengawasan dan pengendalian
terhadap Barang Milik Daerah. Rancangan Peraturan Daerah tentang Barang Milik Daerah
ini diperlukan untuk untuk mengamankan Barang Milik Daerah, Menyeragamkan langkah-
langkah dan tindakan dalam pengelolaan Barang Milik Daerah dan memberikan jaminan
atau kepastian hukum.

B. Saran

Agar pelaksanaan penyusunan perencanaan dan kebutuhan Barang Milik Daerah


dapat dilaksanakan dengan baik, maka diperlukan mekanisme dan prosedur yang
transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai