Anda di halaman 1dari 85

Defenisi Aset/Kekayaan Negara

Salah satu tujuan Negara Indonesia sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945
adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjabaran lebih lanjut
dari tujuan tersebut ditegaskan alam pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 merupakan
sendi utama bagi tata perekonomian Indonesia yang pada hakekatnya merupakan tata
ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila.

Pengertian Keuangan Negara dalam UU No.17 tahun 2003 adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uangn maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.

Defenisi keuangan negara yang diatur dalam UU No.17 tahun 2003 diderivasi dari teori
negara Kesejahteraan (Welfare State) yang secara eksplisit dianut dalam UUD Negara RI
1945, sejak dari pembukaan hingga pasal-pasalnya . Pembentuk UUD 1945 yang diwarnai
pemikiran negara kesejahteraan (welfare state) mencita-citakan pembentukan suatu
pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan mampu
memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya.

Defenisi keuangan negara dalam Pasal 1 butir 1 UU No.17 tahun 2003 tersebut menggunakan
defenisi yang luas untuk mengamankan kekayaan negara yang bersumber dari uang rakyat
yang diperoleh melalui pajak, retribusi maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Komitmen tersebut terlihat dari defenisi keuangan negara dalam UU No.17 tahun 2003 yang
menggunakan sistem defenisi yang bersifat luas/komprehensif.1

Pengelolaan Aset Menurut Dodi, D. Siregar (2004), pengelolaan aset merupakan suatu proses
perencanaan, pengadaan, pengelolaan dan perawatan, hingga penghapusan suatu sumber daya
yang dimilki individu atau organisasi secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan
individu atau organisasi tersebut.Menurut Nurcholis, (2011:94) pengelolaan kekayaan desa
dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, keterbukaan, efisiensi,
akuntabilitas dan kepastian nilai. Pengelolaan kekayaan desa harus berdayaguna dan
berhasilguna untuk meningkatkan pendapatan desa. Pengelolaan kekayaan desa harus
mendapatkan persetujuan dari BPD. Biaya pengelolaan kekayaan desa dibebankan pada

1
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses dan
tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan
Negara/Daerah dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Penjelasan UU No.17 tahun 2003
butir ke-3 tentang Keuangan Negara
anggaran pendapatan dan belanja desa. Kekayaan desa dikelola oleh pemerintah desa dan
dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan,dan pelayanan masyarakat desa. Lalu Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 Bab
II Pengelolaan Pasal 7, menyebutkan bahwa Pengelolaan aset Desa meliputi: perencanaan,
pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penghapusan,
pemindahtanganan, penatausahaan, pelaporan, penilaian, pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian. Dalam hal ini, pengertian aset desa sama maknanya dengan konsep kekayaan.

Dalam persepektif pembangunan berkelanjutan aset yakni;


1. Sumber daya alam, adalah semua kekayaan alam yang dapat digunakan dan diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan manusia.
2. Sumber daya manusia, adalah semua potensi yang terdapat pada manusia seperti pikiran,
seni, keterampilan, dan sebagainya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan bagi
dirinya sendiri maupun orang lain atau masyarakat pada umumnya.
3. Infrastruktur, adalah sesuatu buatan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana untuk
kehidupan manusia dan sebagai sarana untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam dan
sumber daya manusia dengan semaksimalnya, bik untuk saat ini maupun keberlanjutan
dimasa yang akan datang.

Aset (atau aktiva dalam akuntansi) memiliki pengertian sebagai sumber daya atau kekayaan
yang dimiliki oleh suatu entitas. Aset tersebut diperoleh dari peristiwa di masa lalu dan
diharapkan akan memberikan manfaat dimasa yang akan datang. 2 Aset itu adalah semua hak
yang dapat digunakan dalam operasi perusahaan. Yang dapat dimasukkan ke dalam aset salah
satunya adalah gedung atau bangunan.3 Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam
aset adalah potensi dari aset tersebut untuk memberikan sumbangan, baik langsung maupun
tidak langsung, dalam bentuk arus kas dan setara kas pada perusahaan. Potensi tersebut dapat
berbentuk sesuatu yang produktif dan merupakan bagian dari aktivitas operasional
perusahaan4

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Sistem Akuntansi


Pemerintahan, Aset tetap merupakan aset yang menjadi milik organisasi/perusahaan dan
dipergunakan secara terus-menerus dalam kegiatan menghasilkan barang dan jasa
organisasi/perusahaan. Dalam PSAP No. 07 tentang Akuntansi Aset Tetap menjelaskan
bahwa Aset Tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan
untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum.
Aset tetap merupakan suatu bagian utama aset pemerintah, dan karenanya signifikan dalam
penyajian neraca. Aset tetap diakui pada saat manfaat ekonomi masa depan dapat diperoleh
dan nilainya dapat ditukar dengan handal. Dalam PSAP No. 07 dijelaskan untuk dapat diakui
sebagai aset tetap harus dipenuhi kriteria sebagai berikut:

2
https://bursanom.com/pengertian-aset/
3
https://id.wikipedia.org/wiki/Aset
4
Wawan Zulmawan, Panduan Praktis Kerjasama Aset Pemerintah, TNI & BUMN, Jakarta: Jala Permata Aksara,
2017, hal.4
1. Berwujud
2. Mempunyai masa manfaat lebih dari dua belas bulan
3. Biaya perolehan aset dapat diukur secara andal
4. Tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal entitas; dan
5. Diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk digunakan.

Aset tetap dinilai dengan biaya perolehan. Apabila penilaian aset tetap dengan menggunakan
biaya perolehan tidak memungkinkan maka nilai aset tetap didasarkan pada nilai wajar pada
saat perolehan. Pengukuran dapat dipertimbangkan bila terdapat transaksi pertukaran dengan
bukti pembelian aset yang dikonstruksi/dibangun sendiri, suatu pengukuran yang dapat
diandalkan atas biaya dapat diperoleh dari transaksi pihak eksternal dengan entitas tersebut
untuk perolehan bahan baku, tenaga kerja dan biaya lain yang digunakan dalam proses
konstruksi. Barang berwujud yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai suatu aset tetap
dan dikelompokkan sebagai aset tetap, pada awalnya harus diukur berdasarkan biaya
perolehan. Bila aset tetap diperoleh dengan tanpa nilai, biaya aset tersebut adalah sebesar
nilai wajar pada saat aset tersebut diperoleh.
Suatu aset tetap mungkin diterima pemerintah sebagai hadiah atau donasi. Sebagai contoh,
tanah mungkin dihadiahkan ke pemerintah daerah oleh pengembang dengan tanpa nilai yang
memungkinkan pemerintah daerah untuk membangun tempat parkir, jalan, ataupun untuk
tempat pejalan kaki. Suatu aset juga mungkin diperoleh tanpa nilai melalui
pengimplementasian wewenang yang dimiliki pemerintah Berdasarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016, Barang Milik Daerah adalah semua kekayaan daerah
baik yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun
yang berasal dari perolehan lain yang sah baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak
beserta bagian-bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai,
dihitung, diukur atau ditimbang termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan kecuali uang dan
surat-surat berharaga lainnya.
Menurut M. Yusuf (2010:13 ) Barang Milik Daerah merupakan salah satu unsur penting
dalam rangka penyelanggaran pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat, oleh karena itu
harus dikelola dengan baik dan benar sehingga akan terwujud pengelolaan barang daerah
yang transparan, efisien, akuntabel dan adanya kepastian nilai yang dapat berfungsi sesuai
dengan pokok dan fungsi dari pemerintah daerah.

Salah satu manisfestasi pelaksanaan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance) yang menjadi tuntutan masyarakat adalah terwujudnya suatu sistem pengelolaan
kekayaan daerah yang memadai, informatif, transparan, dan akuntabel (Suwanda, 2015).
Koridor pengelolaan barang milik daerah memberikan acuan bahwa barang milik daerah
harus digunakan semaksimal mungkin mendukung kelancaran tupoksi pelayanan, dan
memberikan manfaat kontribusi penerimaan bagi daerah.
Pengelolaan barang milik daerah masih menjadi permasalahan klasik di berbagai daerah.
Ketidakpedulian terhadap pengelolaan dan pemeliharaan barang milik daerah yang tidak
teratur, tertib dalam melaksanakan ketentuan pengelolaan barang milik daerah dapat terlihat
dari catatan atas opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap keuangan pemerintah
daerah yang hampir setiap tahun masih didominasi masalah penyajian aset tetap.
Permasalahan yang sering terjadi di pemerintah daerah adalah belum diterapkannya secara
benar aturan pengelolaan barang milik daerah yang berakibat pada proses perencanaan
pengangaran pengadaan barang yang tidak sesuai dengan peruntukannya, penggunaan barang
milik daerah yang tidak sesuai penetapan penggunaan, kemudian pemerintah daerah tidak
melakukan kapitalisasi terhadap biaya-biaya yang menambah harga perolehan aset tetap.
Barang-barang yang dibiarkan dan tidak terpelihara diambil alih oleh pihak lain, bahkan aset
tetap/BMD tidak dapat ditelusuri keberadaannya serta kehilagan aset tetap tidak terdeteksi.
Barang yang tidak dikembalikan ke SKPD oleh pejabat yang telah pensiun, dan ada juga aset
warisan daerah Kabupaten induk yang diserahkan kepada daerah yang dimekarkan tidak
didukung dengan rincian data yang informatif dan tidak disertai bukti kepemilikan (Halim,
2013).

Praktik pengelolaan dan penanganannya yang belum optimal, pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 dan Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang
pengelolaan barang milik daerah yang terdiri dari 11 tahapan untuk mengatur dan menjawab
berbagai permasalahan tersebut. Menurut Soleh dan Rochmansjah (2010), dari tahapan-
tahapan pengelolaan barang milik negara/daerah tersebut dapat disederhanakan menjadi: (1)
adanya perencanaan yang tepat, (2) pelaksanaan secara efisien dan efektif dan (3) pembinaan,
pengawasan dan pengendalian

Agenda nasional tentang pembenahan pengelolaan aset negara ini, yang akan melahirkan dan
berhubungan dengan berbagai produk UU, harus didasarkan pada landasan filosofis yang
sama, yaitu tiga ayat pertama dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ayat (1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; ayat (2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Idealnya, dari pasal 33 itulah kemudian diturunkan berbagai produk Undang-Undang di
sektor ekonomi dan keuangan tidak boleh bertentangan dengan spirit yang terkandung di
dalam Pasal 33 UUD 1945.
Dalam konteks agenda nasional pembenahan pengelolaan kekayaan negara, maka dari Pasal
33 UUD 1945 tersebut dapat diturunkan tiga paket UU baru, masing-masing adalah UU
tentang Kekayaan Negara, UU tentang Pertanahan, dan UU tentang Penilai. Kenapa harus
ada tiga paket UU tersebut? Pertama, UU Kekayaan Negara diperlukan karena selama ini
memang belum ada payung hukum yang mengatur masalah kekayaan negara dan
pengelolaannya. Selain itu pengaturan masalah kekayaan negara masih tersebar di berbagai
produk UU yang satu sama lain bisa berbeda atau bertentangan. Sementara itu, dengan aset
dan kekayaan yang demikian besar, Indonesai belum memiliki sistem pengelolaan kekayaan
negara yang baik dan utuh, mulai dari masalah inventarisasi seluruh potensi aset, administrasi
aset, hingga pemanfaatannya. Dengan demikian, sangat banyak aset atau kekayaan negara
yang tidak bertuan, entah berada dimana, entah dikuasai siapa, entah dimanfaatkan siapa.
Kedua, UU Pertanahan diperlukan karena semua aset atau kekayaan negara secara langsung
maupun tidak langsung berhubungan dengan masalah tanah. Dan selama ini, Indonesia juga
belum memiliki sistem yang baik di bidang pengelolaan tanah sebagai aset negara. Upaya
pengadministrasian dan pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
misalnya, tidak akan pernah beres sebelum ada UU Pertanahan yang merupakan amanat dari
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Ketiga, UU Penilai diperlukan karena ia akan menjadi landasan hukum bagi kegiatan
penilaian terhadap seluruh aset atau kekayaan negara. Selama ini, kita masih buta perihal
seberapa besar sebenarnya kekayaan bangsa Indoensia. Bagaimana kita akan melakukan
penilaian terhadapa seluruh kekayaan negara yang tersebar diseluruh penjuru negeri. Semua
potensi aset yang dimiliki bangsa Indonesia tidak akan bisa dimanfaatkan secara maksimal
tanpa terlebih dulu dilakukan penilaian secara benar. Itulah pentingnya negara ini memeiliki
UU Penilai.
Ketiga paket UU tersebut dapat menjadi landasan dan dasar hukum pembenahan dan
pengaturan pengelolaan aset negara. Namun, baik dalam proses penyusunannya maupun
setelahnya, harus dilakukan review, harmonisasi atau sinkronisasi dengan UU lain, terutama
UU untuk bidang ekonomi dan keuangan. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan
akan ada sejumlah revisi atau amandemen terhadap UU yang tidak sinkron. Sebagai contoh,
mesti ada harmonisasi atau sinkronisasi anatar UU Kekayaan Negara dengan UU BUMN,
UU BPK atau UU Keuanagan Negara.5

Mengacu pada potensi yang terkandung dalam harta kekayaan negara berupa bangunan,
tanah, dan kekayaan alam serta berbagai aset lainnya, tentunya, aspek pengelolaan menjadi
hal yang sangat penting. Kepentingan tersebut semakin terasa, di saat kondisi ekonomi
nasional sedang krisis dan sangat membutuhkan dana untuk memutar roda perekonomian.
Selain dari pinjaman luar negeri, kebutuhan pendanaan tersebut ternyata hanya dapat
diandalkan dari penjualan dan pemanfaatan harta kekayaan negara. Berkaitan dengan hal itu,
peran dan kepentingan pengelolaan harta kekayaan negara (asset management) dalam
kerangka reformasi ekonomi nasional sangat penting.

Begitu pentingnya harta kekayaan negara dalam kerangka reformasi ekonomi sangat terkait
dengan berbagai program penyehatan ekonomi yang sedang dijalankan Pemerintah. Adapun
peran dan kepentingan pengelolaan harta kekayaan negara dalam kerangka reformasi
ekonomi nasional adalah :6

- Membantu program penyehatan kondisi makro ekonomi, terutama dalam peningkatan


penerimaan negara melalui arahan privatisasi/penjualan aset dan strategi peningkatan
investasi potensi sumber daya alam (kehutanan, perkebunan dan pertambangan).
Dapat juga dilakukan melalui upaya optimalisasi pemanfaatan aset negara dengan
peningkatan kemampuan teknologi dan inovasi, seperti teknologi untuk inventarisasi
dan pengelolaan aset, teknologi eksploitasi dan pengolahan, maupun teknologi
lainnya. Sebagai contoh, keberadaan suatu Sistem Manajemen Aset Negara (SIMA
Negara) akan sangat membantu dalam strategi investasi untuk pemanfaatan potensi
harta kekayaan negara.
- Adapun kaitannya dengan transparansi kebijakan ekonomi nasional, pengelolaan harta
kekayaan negara dapat menjadi acuan (benchmark) dengan blue print strategi yang
jelas dan menyeluruh (holistic) dalam rangka membentuk transparansi, indepedensi,
dan profesionalitas pengelolaan harta kekayaan negara.

5
Doli D.Siregar,Transformasi Perusahaan Negara Kelas Dunia, Sinergi Manajemen Aset
(SIMA): Jakarta, 2002, hal 74
6
Doli D Siregar, Optimalisasi Pemberdayaan Harta Kekayaan Negara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002,
Hal.171
Dalam strategi pengelolaan harta kekayaan negara, ada beberapa aspek yang perlu dipikirkan
untuk dijadikan agenda penting, yakni:

- Optimalisasi strategi pengelolaan harta kekayaan negara sebagai arahan dan acuan
dalam proses pengelolaan mulai dari identifikasi dan inventarisasi nilai dan potensi
aset, pemberlakuan sistem dan mekanisme pengelolaan yang transfaran, efisien, dan
optimal, serta pengawasan dan penendalian pemanfaatan aset yang transparan,
independen, dan efisien.
- Menunjukkan sikap profesional dalam pengelolaan harta kekayaan negara yang
diwujudkan dengan kemampuan mengelola aset (asset management skill) dan upaya
pelibatan berbagai profesi atau keahlian yang terkait. Dalam hal ini, akan sangat
penting menggunakan jasa keahlian nasional yang mampu menjamin manfaat dan
kepentingan harta kekayaan negara bagi seluruh rakyat. Hal ini semakin penting
dalam berbagai program penyehatan ekonomi pemerintah karena sangat sedikit jasa
keahlian nasional yang dilibatkan, terutama dalam proses penjualan maupun likuidasi
harta kekayaan negara. Keberadaan jasa keahlian nasional ini dapat menjadi counter
opinion untuk menjaga obyektifitas dan keamanan nilai serta potensi harta kekayaan
negara.

Pengertian aset secara umum menurut Siregar (2004: 178) adalah barang (thing) atau
sesuatu barang (anything) yang mempunyai nilai ekonomi (economic value), nilai komersial
(commercial value) atau nilai tukar (exchange value) yang dimiliki oleh badan usaha, instansi
atau individu (perorangan). Istilah properti seringkali melekat dengan istilah lain untuk
memberikan pengertian yang lebih jelas secara hukum, yaitu real estate dan real property
dimana keduanya mempunyai makna yang berbeda meskipun ada juga yang menyebutnya
sebagai sinonim dalam lingkup tertentu. Selanjutnya, Real estate is the physical land and
appurtenances affixed to the land, e.g., structure. Real estate bersifat tidak bergerak
(immobile) dan berwujud (tangibel), yang termasuk dalam pengertian ini adalah tanah, semua
benda yang secara alami sebagai bagian dari tanah, seperti pepohonan dan barang mineral
dan juga segala sesuatu yang dibangun oleh manusia seperti bangunan, jaringan dan lain
sebagainya. Manajemen Aset Daerah Sutaryo, SE, M.Si, Ak-Jurusan Akuntansi FE UNS
Real property merupakan kumpulan atas berbagai macam hak dan interest yang ada
dikarenakan kepemilikan atas satuan real estate, meliputi hak untuk menggunakan,
menyewakan, memberikan kepada orang lain atau tidak. Properti selain sebagai investasi,
juga merupakan aset (Witter et al., 2004). Pengertian aset adalah sesuatu yang memiliki nilai.
Real estate sebagai komponen utama dari aset daerah, oleh pemerintah daerah selanjutnya
harus dapat dimanfaatkan sebagai aset yang produktif dan berguna sehingga berdampak
positif dalam pembangunan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. Dalam neraca
keuangan daerah aset dapat menjadi modal bila dapat menghasilkan pendapatan. Namun
masih banyak daerah yang belum menyadari peran dan potensi pengelolaan aset secara
cermat.

Sasaran akhir atau tujuan utama pengelolaan aset adalah terjadinya optimalisasi dalam
pemanfaatan aset daerah. Kenyataan sampai saat ini aset daerah masih dikelolah seadanya,
sebatas inventarisasi (pencatatan akuntansi). Kondisi pemanfaatan terhadap aset daerah
tersebut membuktikan bahwa aset daerah sebagai sumber daya lokal daerah menunjukkan
utilitasnya yang masih rendah, hal ini terjadi karena di hampir seluruh Pemerintahan di
Indonesia karena belum ada pemahaman pengelolaan aset daerah secara utuh.
Menurut Siregar (2004) bahwa optimalisasi pengelolaan aset itu harus
memaksimalkan ketersediaan aset (maximize asset availability), memaksimalkan penggunaan
aset (maximize asset utilization), dan meminimalkan biaya kepemilikan (minimize cost of
ownership). Untuk mengoptimakan suatu aset dapat dilakukan melalui Highest and Best Use
Analysis, Siregar (2004). Hal ini dapat dilakukan dengan meminimalisasi atau menghilangkan
hambatan atau ancaman atas pengelolaan aset-aset tersebut. Sehingga optimalisasi dari suatu
aset yang berstatus idle capacity bisa dilakukan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa optimalisasi aset bertujuan untuk mengidentifikasi
aset, untuk mengetahui aset yang perlu dioptimalkan dan bagaimana cara mengoptimalkan
aset tersebut. Pada akhirnya diperoleh rekomendasi yang berupa sasaran, strategi, dan
program untuk mengoptimakan aset yang diteliti. Beberapa hal yang menjadi penyebab
kurangnya optimalisasi/pemanfaatan aset daerah adalah:
1. Kurangnya tertib administrasi dalam inventarisasi aset, sehingga pengelola
aset sendiri terkadang tidak mengetahui keberadaan asetnya.
2. Kurang lengkapnya bukti kepemilikian aset, terutama untuk tanah dan atau
bangunan, sehingga ketika akan dikerjasamakan dengan pihak ketiga akan
mempengaruhi minat mitra kerjasama.
3. Kesulitan dalam menilai aset daerah yang akan dikerjasamakan.
4. Regulasi yang mengatur sistem dan prosedur lelang dalam menentukan mitra
kerjasama belum diatur dengan detail. Banyak pengelola aset daerah lebih
memilih aman daripada berurusan dengan penegak hukum karena masih
adanya peraturan lelang yang multi tafsir.
5. Keterbukaan informasi oleh Pemerintah dalam mengoptimalkan aset yang
akan dikerjasamakan belum sepenuhnya dapat menggambarkan informasi
terhadap potensi kerjasama pemanfaatan aset daerah
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa optimalisasi aset merupakan suatu
pelaksanaan kerja manajemen aset dalam rangka penggunaan dan pemanfaatan aset yang
bertujuan untuk mengoptimalkan aset. Untuk dapat mengoptimalkan penggunaan dan
pemanfaatan suatu aset, harus dicari faktor penyebab ketidakoptimalan penggunaan dan
pemanfaatan aset tersebut. Faktor-faktor penyebab ini dapat meliputi berbagai aspek
diantaranya legal, fisik, nilai ekonomi dan faktor lainnya. Optimalisasi aset ini diharapkan
dalam waktu singkat akan menghasilkan penggunaan dan pemanfaatan aset yang efektif dan
efisien.
Potensi aset yang dimiliki oleh daerah sebisa mungkin harus dikembangkan, maka
dari itu Pemerintah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan pengelolaan dan
memanfaatkan aset tetapnya khususnya tanah dan bangunan dengan cara mendayagunakan
potensi aset tetap tersebut dengan menfokuskan pada pemanfaatan aset. Hal ini tentunya
dapat dilakukan sesuai peraturan yang berlaku. Setiap daerah biasanya memiliki aset yang
berada di bawah penguasaannya, namun cukup banyak aset yang belum dioptimalkan dalam
rangka meningkatkan pendapatan Pemerintah.
Kerjasama pemanfaatan dilakukan melalui pelaksanaan tender (lelang) kecuali untuk
keperluan pelaksanaan kegiatan khusus seperti penggunaan tanah milik daerah untuk kebun
binatang (pengembangbiakan dan pelestarian satwa langka). Dalam kata kunci kedua
disebutkan adanya jangka waktu pelaksanaan kerja sama pemanfaatan. Ketentuan jangka
waktu kerja sama pemanfaatan ini memberikan kepastian bahwa setelah perjanjian kerja
sama ini berakhir maka aset daerah (tanah dan bangunan) tersebut harus dikembalikan kepada
Pemerintah

ASET

Dalam dunia pemerintahan, aset dikenal sebagai barang, barang itu milik negara ataupun
milik daerah. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah, barang dibedakan menjadi:

a. Barang Milik Negara, yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lain yang
sah.
b. Barang Milik Daerah, yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) atau berasal dari perolehan lain yang
sah yaitu:
1) Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenisnya
2) Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dai perjanjian/kontrak
3) Barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
atau
4) Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap.

Pemerintah dalam berbagai literatur Hukum Administrasi Negara dikatakan


menyelenggarakan tugas yang istimewa (bestuurszorg), yaitu sebagai wujud konkrit dari
negara yang bertugas menyelenggarakan kesejahteraan rakyat seluas-luasnya. Dalam
kapasitasnya sebagai lembaga yang secara sah mempresentasikan Negara agar fungsi negara
dapat dijelmakan secara konkrit, pemerintah memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai lembaga
hukum publik maupun sebagai hukum privat. Sebagai lembaga hukum publik, pemerintah
berhasil merealisasikan tugas hukum publik negara berdasar aturan-aturan hukum publik.
Sedangkan sebagai lembaga hukum privat, pemerintah berkedudukan hukum seperti subjek
hukum privat (naturlijk/rechts-persoon), bertindak atas dasar hukum privat dan mengikatkan
diri pada konsekuensi-konsekuensi hukum privat yang timbul sebagai akibat perbuatan
hukumnya.7

Menurut pandangan yang dianut di Perancis, Kepunyaan Privat adalah barang-barang yang
dimiliki oleh Negara/Pemerintah seperti: tanah, rumah dinas pegawai, gedung-gedung,
perusahaan negara, dan sebagainya. Hukum yang mengatur privat domein berlaku sama
seperti hukum yang mengatur kepunyaan perdata biasa warga masyarakat (gewone
burgerlijke eigendom). Kepunyaan Publik, adalah barang-barang yang disediakan untuk
dipakai oleh publik, misalnya jalan-jalan umum, lapanga-lapangan, jembatan-jembatan,
pelabuhan, dan sebagainya. Kepunyaan Publik adalah segala barang yang dengan langsung
dipergunakan untuk penyelenggaraan kepentingan publik (voor openbare dienst). Kepunyaan
publik tidak diatur dengan sistem hukum yang berlaku seperti kepemilikan perdata biasa,
tetapi oleh peraturan-peraturan hukum tersendiri/khusus (hukum mengenai domein publik).8

Barang milik Daerah adalah semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau diperoleh atas
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun yang berasal dari
perolehan lain yang sah baik yang bergerak mauoun tidak bergerak, beserta bagian-bagiannya
ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur dan ditimbang
termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya.9

Pengertian Barang Milik Daerah atau aset milik daerah berdasarkan Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Barang Milik Daerah adalah meliputi: barang yang
diperoleh melalui hibah atau sumbangan yang sejenis, barang yang diperoleh sebagai
pelaksanaan dari perjanjian atau kontrak, barang yang diperoleh berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum mengikat.

Dalam lain hal aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh
pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau
sosial dimasa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat,
serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangaan yang diperlukan
untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang diperlihara
karena alasan sejarah dan budaya.10

Menurut Permendagri Nomor 19 tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang
Milik Daerah, Barang Milik Daerah (BMD) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh
atas beban Anggaran Pendapatan Belanja Daerah atau perolehan lainnya yang sah antara lain:
barang yan diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis, barang yang diperoleh sebagai
pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; atau, barang yang diperoleh berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

7
Tjandra Ridwan, Hukum Sarana Pemerintahan, Hal.95
8
Tjandra Ridwan, Op.Cit. Hal 96
9
Badan Diklat Kementerian Dalam Negeri 2013, Hal.3
10
Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), Hal 50
3. GLOBALISASI

Pada era global dewasa ini, sebagian besar negara di dunia mencoba untuk membangun
perekonomiannya dan melakukan ekspansi kegiatan ekonomi ke berbagai negara, khususnya
ke negara berkembang. Dengan melakukan ekspansi bisnis maka negara tersebut dapat terus
eksis dalam kegiatan perkenomian dan perdagangan internasional. Munculnya
kecenderungan globalisasi di bidang ekonomi ataupun perdagangan pada saat ini tidak dapat
dihindarkan lagi. Terjadinya globalisasi ditandai dengan semakin transparannya dunia.
Seolah-olah negara berdaulat menjadi tanpa batas dengan negara berdaulat yang lain di dunia
ini, telah mengubah wajah kehidupan perekonomian di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Globalisasi ekonomi dengan pasar bebasnya mau tidak mau akan menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari dalam waktu dekat. (Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis
Aktual, PT Citra Aditya Bakti,Bandung, 2006, hlm 150)

Perkembangan ekonomi internasional dengan kecenderungan globalisasi, jelas berpengaruh


pada perkembangan hukum nasional. Relevansi hukum nasional dalam menghadapi
perkembangan perekonomian tidak hanya terbatas pada kapasitasnya sebagai perangkat
yuridis-formal, tetapi juga mencakup fungsinya sebagai basis keadilan dan pranata
kedaulatan (Dumairy, 1992:213-214). (POLITIK HUKUM NASIONAL DAN HEGEMONI
GLOBALISASI EKONOMI)

Arus globalisasi yang melanda dunia dewasa ini telah terjadi perubahan dalam seluruh aspek
kehidupan manusia, terutama pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Perubahan yang terjadi itu dengan sendirinya terjadi pula pada perubahan hukum, karena
kebutuhan masyarakat akan berubah secara kuantitatif dan kualitatif. Permasalahan yang
timbuldalam perubahan hukum itu adalah sejauh mana hukum bisa sesuai dengan perubahan
tersebut dan bagaimana tatanan hukum itu agar tidak tertinggal dengan perubahan
masyarakat.

Segala akibat dari arus globalisasi yang melanda dunia dewasa ini ialah perubahan tata nilai
dalam kehidupan masyarakat yag menimbulkan berbagai problematika sehingga perlu diatur
oleh aturan hukum sebagai law making dan perlu penegakan hukum sebagai law enforcement.
Menurut Soerjono Soekanto, perubahan dalam kehidupan masyarakat adalah segala
perubahan yang terjadi dalam institusi-institusi sosial yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola prilaku diantara kelompok-kelompok dalam
masyarakat tersebut.11

11
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1999, hal.12
Globalisasi ekonomi berdampak kepada globalisasi hukum, hukum yang dibuat harus dapat
mengantisipasi kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi. Kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi
dalam era globalisasi akan berdampak pada timbulnya kapitalisme dengan semangat asas
individual. Sudah tentu bertentangan dengan asas kebersamaan dan kekeluargaan yang
tersebut dalam Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena hukum yang harus dilahirkan harus dapat
mengimbangi hukum-hukum yang bersifat liberal yang mengutamakan kemerdekaan
individu, tidak ada diskriminasi, persamaan di muka hukum, perlindungan terhadap individu,
kesejahteraan semua orang sesuai dengan kehidupan yang layak.

Dalam menghadapi arus globalisasi yang terjadi saat ini hendaknya hukum harus berperan
dalam mendukung perkembangan ekonomi yang mampu menciptakan tiga hal, yakni
stability, predictability, dan fairness. Fungsi hukum sebagai stability (stabilitas) merupakan
potensi hukum, hukum untuk mengimbangkan dan mengakomoditas kepentingan, sedangkan
fungsi hukum untuk meramalksn (predictability) ialah akibat dari suatu kebijakan yang
diambil untuk mengantisipasi yang terjadi dimasa yang akan datang. Aspek keadilan
(fairness) menjadi sangat penting guna menghindari pernikahan kepentingan nasional dari
kepentingan-kepentingan negara maju.12

Kesejahteraan
Tingkat kepuasan dan kesejahteraan adalah sebuah hubungan yang tidak dapat dipisahkan
karna saling berkaitan. Yang dimana tingkat kepuasan merujuk kepada individu atau
kelompok, yang mana pada tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan kelompok
masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agrerat dari kepuasan individu – individu.
Menurut Suud (2006), kondisi sejahtera biasanya merujuk kepada kondisi social, sebagai
kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non material. Berdasarkan definisi
kesejahteraan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kesejahteraan social sebagai suatu
keadaan, kesejahteraan sebagai suatu kegiatan atau pelayanan dan kesejahteraan sebagai
ilmu.

Hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam semua aspek
kehidupan, baik dalam aspek kehidupan social, kehidupan politik, budaya, pendidikan dan
yang cukup penting adalah fungsi dan peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi. Dalam
kegiatan ekonomi inilah justru hukum sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi
yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber
ekonomi dilain pihak sehingga konflik antara sesama warga dalam memperebutkan sumber-
sumber ekonomi tersebut akan sering terjadi. Namun demikian berdasarkan pengalaman umat
manusia sendiri, peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif
dan daya kreasi manusia yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi.
Semua perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak mungkin terjadi apabila manusia tidak
mempunyai kesempatan dan keluasan untuk berpikir dan berkreasi. Karenanya diperlukan

12
Abdul Manan, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hal.89
berbagai bentuk aturan yang mengatur bagaimana manusia agar bisa melaksanakan
kegiatannya dengan aman, tidak saling mengganggu atau bahkan saling menghancurkan
sehingga kesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan menjadi terhambat. Dengan
demikian diperlukan peranan hukum yang bertujuan untuk melindungi, mengatur dan
merencanakan kehidupan ekonomi sehingga dinamika kegiatan ekonomi dapat diarahkan
kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Hukum bukan hanya dapat
membatasi dan menekan saja, akan tetapi juga memberi kesempatan bahkan mendorong
masyarakat untuk menemukan berbagai penemuan yang dapat menggerakkan kegiatan
perekonomian suatu negara.
Sebagaimana diketahui bahwa Ilmu hukum adalah ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu
praktis dengan menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu dengan alasan karena
sifatnya sebagai ilmu normatif yang mengandung sifat khas tersendiri. Obyek telaahannya
juga berkenaan dengan tuntutan berprilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak
sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat
dipaksakan oleh kekuatan publik.2 Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi suatu
bangsa merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan keberadaannya. Sehingga sangat jelas,
jika kondisi hukum suatu bangsa itu efektif, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah
untuk dilaksanakan. Namun, sebaliknya jika hukum tidak mampu berperan secara efektif,
maka dapat dipastikan akan berdampak buruk terhadap pembangunan ekonomi.
2 Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007,
hlm.16

Kondisi ini tentu berlaku pula bagi Indonesia sebagai sebuah negara yang sedang giat-giatnya
melakukan pembangunan ekonomi. Apalagi, tatkala Indonesia menyatakan diri dalam
konstitusinya sebagai negara hukum (rechtstaat). Dari sini tersirat pula bahwa Indonesia
menghendaki dua hal; Pertama, hukum diharapkan dapat berfungsi; dan Kedua, dengan
hukum dapat berfungsi, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk direalisasikan.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, jika dikaji dari sisi politik hukum acapkali pembentukan
hukum, khususnya hukum ekonomi tak selalu sinkron dengan harapan-harapan tersebut.
Sebagai faktor yang menjadi pemicu tidak adanya kesinkronan ini karena banyak
kepentingan yang berkembang di seputar pembentukan hukum. Politik hukum yang
berkembang berupa adanya tarik menarik antara kepentingan nasional dan asing, sehingga
hukum yang dapat dijadikan sarana bagi pembangunan ekonomi akan menjadi sia-sia karena
yang dikedepankan justru kepentingan asing yang dominan.
Perkembangan globalisasi ekonomi dan kerjasama ekonomi di dunia internasional sedikit
banyak telah menggambarkan adanya polarisasi dalam artian substansi permasalahan di
bidang hubungan ekonomi sebagai dampak dari upaya pengaturan yang dilakukan oleh
Negara-negara ataupun pelaku ekonomi Negara-negara maju. Upaya pengaturan baik secara
global melalui World Trade Organization (selanjutnya disingkat dengan WTO), regional
melalui berbagai kerjasama sekawasan serta bilateral melalui berbagai kerjasama bilateral
ternyata tidak mengurangi munculnya berbagai penyimpangan dari norma-norma yang telah
disepakati.
Merupakan suatu keharusan bagi suatu negara tatkala merumuskan suatu peraturan
perundang-undangannya senantiasa memperhatikan pada aspek kepentingan nasional
(national interests). Untuk dapat mencapai hal demikian, maka faktor politik hukum akan
sangat menentukan. Bagi beberapa negara pola pemikiran ini menjadi sarana yang cukup
efektif.
Berangkat dari persoalan tersebut di atas, peranan politik hukum dalam konteks hukum
sangat memegang peranan yang sangat strategis. Melalui pendekatan politik hukum, hukum
yang dibentuk pun setidaknya akan banyak Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi
Diane Zaini) 933
memperhatikan kepada kepentingan nasional. Pengertian kepentingan nasional bukan berarti
dimaknai dalam arti yang sempit, namun kepentingan nasional merupakan titik tolak dalam
upaya memasuki dunia global.
Dari prinsip kepentingan nasional pemerintah selanjutnya mengambil langkah strategis dalam
upaya meraup manfaat ekonomi dan manfaat ekonomi tersebut dapat dirasakan oleh bangsa
Indonesia sendiri bukan oleh bangsa lain yang menikmati hasil dari pembentukan hukum
tersebut. Dengan kenyataan tersebut, sudah sewajarnya apabila pemerintah dalam
menjalankan orientasi politik hukum lebih mengedepankan pembentukan instrumen-
instrumen hukum yang terkait dengan permasalahan tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam upaya melakukan perkembangan dalam
pembangunan nasional terutama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, secara
umum dapat dijelaskan bahwa keterkaitan antara regulasi /pengaturan sistem dan pelaksanaan
kegiatan perekonomian di Indonesia sebagai upaya untuk menjaga stabilitas sistem
perekonomian di Indonesia akan berkorelasi pula dengan Hukum Ekonomi secara
keseluruhan. Karena, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia menyangkut pemikiran
hukum dan kaidah-kaidah hukum dalam sistem ekonomi Indonesia yang terarah
(Verwaltungswirtschaft), sedangkan Hukum Ekonomi Sosial Indonesia menyangkut
pemikiran hukum dan kaidah-kaidah hukum yang memikirkan bagaimana dapat
meningkatkan kesejahteraan Warga Negara Indonesia sebagai perseorangan, dan tetap
memelihara harkat dan martabat kemanusiaan manusia Indonesia, serta tetap menjunjung
tinggi hak-hak hidup yang sama dari pihak yang lemah dalam sistem ekonomi yang terarah
tersebut.
Dengan demikian, konsep dasar pemikiran Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia adalah
Ekonomi Indonesia dalam arti pembangunan dan peningkatan ketahanan ekonomi nasional
secara makro, sedangkan dasar pemikiran Hukum Ekonomi Sosial adalah kehidupan
Ekonomi Indonesia yang berperikemanusiaan dan pemerataan pendapatan, dimana setiap
Warga Negara Indonesia berhak atas kehidupan dan pekerjaan yang layak. 934 Jurnal
Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
Dalam hubungan tersebut, maka segala usaha pembangunan ekonomi Indonesia bertujuan
untuk menciptakan kesejahteraan tiap-tiap dan masing-masing Warga Negara Indonesia,
sehingga pembangunan ekonomi Indonesia harus menjunjung tinggi hak-hak hidup manusia
yang asasi.3

3 CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung,
1988, hlm. 50.

6 Lili
Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm.
127. 7 Ibid. 8 Chairijah, Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Makalah
disampaikan pada Pelatihan Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2008. hlm. 4-5. 9 Endang Sutrisno, Opcit, hlm. 104-105.

Indonesia sebagai Negara hukum (Rechtsstaat/the rule of law), sebagaimana yang telah ditegaskan
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen ke 4) bahwa Indonesia adalah Negara Hukum.
Sebagaimana diketahui bahwa ide dasar negara hukum Indonesia tidaklah terlepas dari ide dasar
tentang „rechtsstaat” atau Negara Hukum yang dianut oleh Belanda yang meletakkan dasar
perlindungan hukum bagi rakyat pada asas legalitas, yaitu semua harus bersifat positif, hal tersebut
berarti hukum harus dibentuk secara sadar.8
Dalam suatu rechtsstat yang modern, fungsi peraturan perundang-undangan bukanlah hanya
memberikan bentuk kepada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan hidup dalam masyarakat,
dan Undang-Undang bukanlah hanya sekedar produk fungsi negara di bidang pengaturan.
Selanjutnya, peraturan perundang-undangan adalah salah satu metoda dan instrumen ampuh yang
tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang
diharapkan. Dalam praktik memang demikian yang dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang,
karena saat ini kekuasaan pembentuk Undang-Undang adalah terutama memberikan arah dan
menunjukkan jalan bagi terwujudnya cita-cita kehidupan bangsa melalui hukum yang dibentuknya.9

10 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Pustaka LP3ES
Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 7. 11 Ibid. 12 Khusus dalam hal ekonomi diperjelas lagi dalam Pasal 27 ayat (2)
berbunyi; tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Sedangkan Pasal 33 berbunyi;
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi
oleh Negara;

Sistem ekonomi di Indonesia adalah Sistem Ekonomi Pancasila yang lahir dalam jantung
bangsa yakni Pancasila dan UUD-45 beserta tafsirannya. Karena itu, sistem ekonomi
Pancasila bersumber langsung dari Pancasila khususnya sila kelima, yaitu : Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia dan amanat Pasal 27 ayat (2), Pasal 33-34 UUD-45
(Amandemen ke 4). Sila kelima ini menjelaskan bahwa semua orientasi berbangsa dan
bernegara, politik ekonomi, hukum, sosial dan budaya, adalah dijiwai semangat keadilan
menyeluruh dan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia.12 Dengan
3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional;
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang.
13 Ady Kusnadi, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam
Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem
Hukum Nasional), FH-UNPAD, 2008, hlm. 189. 14 Djuhaendah Hasan, Fungsi Hukum
Dalam Perkembangan Ekonomi Global, Bandung, 2008, hlm. 23.
demikian, keberadaan sistem Ekonomi Pancasila sudah ada dengan Pancasila sebagai
landasan idiilnya dan UUD1945 sebagai landasan konstitusionalnya.
Dalam pembangunan hukum nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap tujuan
yang ingin dicapai, sehingga pembangunan hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat
bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara nasional. Selanjutnya, pembinaan hukum
nasional diarahkan untuk mencapai tujuan terbentuk dan berfungsinya sistem hukum
nasional,13 demikian pula yang terdapat dalam pengaturan hukum ekonomi khususnya yang
berkaitan dengan pengaturan semua kegiatan perekonomian di Indonesia.
Dalam pembangunan ekonomi akan sangat berpengaruh pada perkembangan Hukum dan
Perkembangan bidang ekonomi yang keduanya tidak akan berjalan dengan maksimal tanpa
dilandasi oleh Peraturan Perundangan-undangan yang baik. Pengaturan hukum berkaitan erat
dengan pembangunan pada umumnya dan khususnya bagi pembangunan ekonomi.14
Di Indonesia konsepsi pembaharuan hukum yaitu hukum sebagai sarana pembaharuan dalam
pembangunan masyarakat (Mohtar Kusumaatmadja, yang diilhami oleh konsep “law as a
tool of social engineering” Roscoe Pound) telah memberikan peran penting kepada hukum
dalam pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi. Konsepsi hukum sebagai sarana
pembaharuan dan pembangunan masyarakat, hukum harus tampil di depan dan memberi arah
dalam pembaharuan dan pembangunan. Pembangunan hukum harus dapat mengantisipasi
pembangunan masyarakat 938 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012 ke depan.
Dengan demikian pembaharuan hukum dan pembentukan hukum harus melihat ke depan,
pembentukan hukum tidak boleh hanya untuk kepentingan hari ini tetapi harus memprediksi
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi untuk waktu yang akan datang seiring dengan
perkembangan masyarakat dan teknologi.15 Dalam perkembangannya Hukum Ekonomi
Indonesia kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan Hukum perdagangan
internasional yang merupakan bidang hukum yang berkembang dengan cepat, dan ruang
lingkupnya pun cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat
mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang
atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan dan sejenisnya), hingga hubungan atau
transaksi perdagangan yang kompleks.
15 Ibid, hlm. 24 16 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2005, hlm. 1. 17 Soerjanto Poespowardojo, Pembangunan Nasional Dalam
Perspektif Budaya Sebuah Pendekatan Filsafat, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 1998, hlm. 60.
Kompleksnya hubungan atau transaksi perdagangan internasional disebabkan oleh adanya
jasa teknologi (khususnya teknologi informasi) sehingga transaksi-transaksi dagang semakin
berlangsung dengan cepat, hal tersebut tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi yang
disebut dengan e-commerce. 16
Untuk memahami kegiatan ekonomi sebagai suatu rangkaian pembangunan ekonomi
Indonesia, selain dilihat dari kajian normatif, juga dapat dikaji secara filosofis agar dapat
memberikan penjelasan mengenai gejala-gejala fisik atau sosial yang terjadi atas dasar
pengaturan hukum yang telah dirumuskan dan ditetapkan. Dapat dijelaskan misalnya,
jatuhnya batu, bukan lagi dijelaskan karena hakikat batu yang memang cenderung dan
seharusnya menyatu dengan asalnya yaitu bumi, locus naturalis, melainkan melalui teori-teori
gravitasi yang dibangun dari hukum-hukum yang menguraikan keteraturan-keteraturan dalam
berbagai gejala alam.17 Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 939.
Cara pandang demikian yang kemudian membuat orang terhindar dari penafsiran hukum
secara legalistik. Apa dan bagaimana hukum tersebut seharusnya berlaku, dapat dirumuskan
dengan tingkat keakuratan yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai landasan
Pembangunan Ekonomi. Namun demikian, untuk dapat memahami hakekat hukum yang
semaksimal mungkin dibutuhkan alat penafsiran yang menggunakan metode ilmiah
(scientific method).18
18 Anthony T. Kronman, The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession, Harvard
University Press, Cambridge, 1993, hlm. 229. 19 Richard A. Posner, Economic Analysis of
Law, Little Brown Co, Boston, 1983, hlm. 120. 20 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam
Perspektif, Yayasan Obor Indonesia & LEKNAS-LIPI, Jakarta, 1984, hlm. 4 21 Ahmad
Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi Dan Aksiologi Pengetahuan, PT.
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, hlm. 18.
Menurut Richard Posner, dari keseluruhan ilmu sosial yang metodenya pernah digunakan
untuk menjelaskan hukum, ilmu ekonomilah yang paling menjanjikan, karena universalitas
dan karena ketepatannya, dan dengan menggunakan disiplin ekonomi maka konsep-konsep
hukum dapat dijelaskan secara kualitatif sehingga memiliki akurasi yang lebih maksimal.19
Secara umum keseluruhan yang menjelaskan keterkaitan diantara beberapa konsep dalam
ilmu pengetahuan yang berkembang akan dikembalikan pada pola berfikir yang bertumpu
secara filosofi. Dapat dijelaskan bahwa filsafat dan ilmu tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya, sebab keduanya saling melengkapi serta terkait erat. Ilmu tidak lepas dari peranan
filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat eksistensi filsafat.20 Hubungan antara
filsafat dengan ilmu bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri
tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Adapun ciri-ciri
keilmuan tersebut didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap ketiga pertanyaan
pokok, yaitu : 21
a. Apakah yang ingin kita ketahui? ;
b. Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan?;
c. Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?
940 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
Dapat dianalisis bahwa filsafat mempelajari masalah-masalah tersebut di atas dengan
sedalam-dalamnya dan hasil dari pengkajiannya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu.
Ketiga pertanyaan mendasar tersebut akhirnya berujung pada masalah ontologi yang
membahas mengenai apa yang ingin kita ketahui dan seberapa jauh kita ingin tahu. Kemudian
bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai objek tersebut ? dan untuk
menjawab pertanyaan tersebut maka digunakan pendekatan epistimologi yakni teori
pengetahuan. Akhirnya dalam menjawab pertanyaan ketiga tentang nilai kegunaan dan nilai
pengetahuan tersebut maka digunakan pendekatan axiologi yakni teori tentang nilai.22 Jadi
setiap bentuk pemikiran manuia pada dasarnya dapat dikembalikan dalam dasar-dasar
ontologi, epistimologi serta axiologi dari pemikiran yang bersangkutan. Analisis kefilsafatan
dengan mendasarkan diri pada ketiga landasan tersebut akhirnya dapat membawa pada
hakikat pemikiran manusia, sehingga akan mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak yang
sama guna memperoleh deskripsi yang sedalam-dalamnya.
22 Ibid, hlm. 22-23 23 Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berpikir, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 4 24 Tim Dosen Filsafat Ilmu-Fakultas
Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Penerbit
Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm.7.
Dari sudut gambaran filsafat ilmu terhadap ilmu hukum dapat diketahui bahwa sebagai ilmu
dan dari landasan axiologi, ilmu hukum juga memiliki kemanfaatan untuk kepentingan umat
manusia. Filsafat memiliki banyak makna, akan tetapi filsafat juga dapat diartikan sebagai
suatu cara berfikir yang radikal dan menyeluruh, serta mengupas sesuatu sedalam-
dalamnya.23
Tidak ada satupun dalam hidup ini terlepas dari pengamatan kefalsafahan, sehingga tidak ada
satu pernyataanpun sekalipun sederhana yang diterima begitu saja tanpa pengkajian secara
seksama. Fislsafat mempertanyakan dan mengkaji segala sesuatu dari kegiatan berfikir dari
awal hingga akhir secara mendalam hingga menyentuh pada suatu hal yang paling hakiki
tentang sesuatu.24 Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 941
Filsafat juga dapat berarti pandangan hidup. Sebagai ilmu, filsafat merupakan suatu proses
yang terus bergulir dan tidak pernah mengenal kata selesai. Sebaliknya, Filsafat sebagai
pandangan hidup merupakan suatu produk (nilai-nilai atau sistem nilai) yang diyakini
kebenarannya dan dapat dijadikan pedoman berprilaku oleh suatu individu atau
masyarakat.25 Filsafat Ilmu sendiri merupakan bagian dari cabang filsafat secara
keseluruhan, melalui filsaf ilmu dapat dilakukan telaahan secara filosofi yang berkehendak
untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang hakikat ilmu.26 Filsafat ilmu merupakan
bagian dari epistimologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu
(pengetahuan ilmiah).27
25 Ibid. 26 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Edisi Ke-Dua Diperbaharui), Penerbit
Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm.9 27 Jujun S. Suriasumantri, Filsfat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hlm. 33. 28 Meuwissen, Meuwissen Tentang
Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum (terjemahan B.
Arief Sdharta), Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 55.
Suatu kajian yang mendasarkan pada karakteristik dan kepribadianya, maka Ilmu Hukum
yang memiliki karakter yang khas merupakan Ilmu tersendiri (sui generis). Ilmu Hukum yang
merupakan kajian dogmatik memiliki suatu karakteristik sendiri yang tidak dapat
dibandingkan (diukur dan dinilai) dengan bentuk ilmu lain yang manapun. Ilmu Hukum
memiliki berbagi ciri sebagai berikut :28
a) Ilmu Hukum memiliki suatu sifat empirik analitikal, yang berarti bahwa ia

memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi (dan struktur) dari Hukum yang
berlaku;
b) Ilmu Hukum mensistematisasi gejala-gekala hukum yang dipaparkan dan

dianalisis;
c) Ilmu Hukum menginterpretasi hukum yang berlaku;
d) Ilmu Hukum menilai hukum yang berlaku (relatif bersifat normatif). Hal tersebut
mengandung arti bahwa tidak hanya objeknya terdiri atas kaidah-kaidah, akan tetapi Ilmu
hukum memiliki suatu dimensi pengkaidahan (menetapkan norma). Jadi, dogmatika hukum
bebas nilai, dan secara langsung berkaitan dengan ide hukum (cita hukum), dengan
perwujudan “tujuan” dari hukum. Ilmu Hukum Dogmatik dalam penilaian-penilaian dan
keputusan-keputusannya mau memberikan sumbangan pada realisasi dari tujuan ilmu hukum
yakni keadilan dan kebebasan;
942 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
e) Berkaitan dengan arti praktikal dari Ilmu Hukum Dogmatik, berkaitan erat dengan dimensi
normatif.

Ilmu Hukum sebagai ilmu yang sui generis (tersendiri) dengan kualitas keilmiahannya, cukup
sulit jika dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu, baik cabang ilmu pengetahuan
alam, cabang ilmu pengetahuan sosial maupun cabang ilmu pengetahuan humaniora. Namun
demikian, berdasarkan karakteristik keilmuan, maka menurut Bernard Arief Sidharta, Ilmu
Hukum pada akhirnya termasuk dalam kelompok ilmu praktis yaitu praktis normologis
sebagai Ilmu Normatif.29
29 Ibid, hlm. 113. 30 Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Opcit, hlm. 4. 31 Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, 1982,
hlm. 14.
Selanjutnya, juga dijelaskan oleh Lili Rasjidi, bahwa salah satu pengaruh yang paling
menonjol dari perkembangan Ilmu Hukum adalah dominasi pendekatan mekanis analitis
dalam epistimologi Ilmu Hukum.30 Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa dalam kajian
Ilmu Hukum akibatnya adalah dominannya teori-teori hukum normatif di dalam khasanah
dan ruang lingkup bidang Ilmu Hukum secara keseluruhan.
Sebagai suatu sistem ajaran, disiplin hukum mencakup antara lain : ajaran yang menentukan
apakah yang seharusnya dilakukan (preskriptif); dan ajaran yang senyatanya dilakukan
(deskriptif) di dalam hidup. Selanjutnya unsur-unsur hukum mencakup: unsur Idiil serta
unsur riil, yang keduanya mencakup hasrat susila dan rasio manusia, hasrat susila
menghasilkan asas-asas hukum (rechtsbeginzelen), misalnya : tidak ada hukuman tanpa
kesalahan. Kemudian rasio manusia menghasilkan pengertian-pengertian hukum
(rechtsbegrippen) misalnya : subjek hukum, hak dan kewajiban.31

Prinsip-prinsip hukum berupa kepastian dan keadilan hukum dimaksudkan sebagai nilai-nilai
dasar mengenai apa yang dikehendaki manusia dari keberadaan dan keberlakuan hukum.33
Hukum dengan nilai-nilainya hendak mewujudkan bahwa kehadirannya dimaksudkan untuk
melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dalam konteks
tersebut, nilai-nilai dasar dari hukum dimaksudkan sebagai nilai instrumental, yaitu hukum
tersebut bernilai sebagai sarana untuk mencapai tujuan kebahagiaan dan keadilan dalam
masyarakat.
Hukum merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat, namun demikian
dalam hukum biasanya nilai-nilai tersebut digambarkan sebagai berpasangan, akan tetapi
tidak jarang pula bertentangan. Nilai-nilai tersebut, misalnya : ketertiban dan ketentraman,
kepastian hukum dan kesebandingan, kepentingan umum dan kepentingan individu.34
Dengan demikian, tidak adanya keserasian dan harmonisasi Perspektif Hukum sebagai
Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 945
diantara nilai-nilai tersebut yang terdeskripsikan dalam masyarakat akan mengganggu tujuan
dan jalannya proses penegakkan hukum. Fokus utama dari pertentangan sebenarnya terletak
pada persoalan bagaimana hukum positif dengan jaminan kepastiannya dapat mewujudkan
nilai-nilai moral, khususnya keadilan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan bentuk
keadilan apakah yang diharapkan dan atau seharusnya menjadi landasan dalam hukum buatan
manusia tersebut yang khususnya terdapat dalam hukum positif. Hak mempunyai hubungan
dengan kewajiban sebagai refleksi keseimbangan dalam hidup bermasyarakat, keseimbangan
tersebut yang dapat mewujudkan perpaduan antara keadilan hukum, keadilan sosial dan
keadilan moral terwujud. Jadi keadilan merupakan bagian utama dari cita hukum.
Pandangan tentang keadilan menurut konsep Aristoteles35 , dibedakan antara keadilan
distributif yakni : mempersoalkan bagaimana negara atau masyarakat membagi atau menebar
keadilan kepada orang-orang sesuai dengan kedudukannya, sedangkan keadilan komutatif
merupakan keadilan yang tidak membedakan posisi atau kedudukan orang perorang untuk
mendapatkan perlakukan hukum yang sama. Dimana, kedua bentuk keadilan tersebut tetap
harus mengikuti azas persamaan.
35 Ibid. 36 John Rawls, Teori Keadilan, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2005, hlm. 50-51.
John Rawls mengkonsepsikan keadilan sebagai fairness, yang mengandung azas-azas bahwa
orang yang merdeka dan rasional yang berkeinginan untuk mengembangkan kepentingan-
kepentingan hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya
dan itu merupakan syarat-syarat yang fundamental bagi masyarakat.36
Dengan demikian, keadilan menjadi fairness (wajar, alamiah) apabila tatanan yang ada dapat
diterima oleh semua orang secara adil, melalui penerimaan dengan ikhlas dari semua unsur
golongan, kelompok, ras, etnik, agama tanpa tekanan, yang dapat menciptakan masyarakat
yang berkeadilan. 946 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
Tanpa kelengkapan instrumen hukum dengan cita-cita luhur, keadilan akan menjadi sulit
tercapai. Oleh karenanya hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang melekat pada hukum
pada hakikatnya merupakan komitmen hukum dalam melindungi kepentingan orang per
orang. 2. Peranan Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia.
Pada era global pembangunan hukum ditandai dengan kecenderungan tuntutan kebutuhan
pasar yang dewasa ini semakin mengglobal. Dalam kondisi semacam itu, produk-produk
hukum yang dibentuk lebih banyak bertumpu pada keinginan pemerintah, karena tuntutan
pasar. Tuntutan kebutuhan ekonomi telah mampu menimbulkan perubahan-perubahan yang
amat fundamental baik dalam hal fisik maupun sosial politik dan budaya yang mapu
melampaui pranata-pranata hokum yang ada. Produk hukum yang ada lebih meangarah pada
upaya untuk memberi arahan dalam rangka menyelesaikan konflik yang berkembang dalam
kehidupan ekonomi.37 Pembangunan hukum yang tertuju pada kehidupan perekonomian saat
ini harus mampu mengarah dan memfokuskan pada aturan-aturan hukum yang diharapkan
mampu memperlancar roda dinamika ekonomi dan pembangunan yang tidak melepaskan diri
dari sistem demokrasi ekonomi dengan mengindahkan akses rakyat untuk mencapai efisiensi
dan perlindungan masyarakat golongan kecil.
37 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3IS, Jakarta, 2001, hlm 9. 38 R.L.
Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lectures on Jurisprudence, Liberty Fund,
Indianapolis, 1982, hlm. 9.
Adam Smith (1723-1790) melahirkan ajaran mengenai Keadilan (justice), yang menyatakan
bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian (the end of justice is to secure
from injury).38 Ajaran Smith tersebut menjadi dasar hubungan yang tidak dapat dipisahkan
antara hukum dan ekonomi, dan antara ekonomi dengan politik mempunyai hubungan yang
Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 947
erat, dan kemudian dikenal dengan istilah ekonomi-politik (political economy).39 Adapun
salah satu tujuan dari ekonomi-politik adalah menyediakan sejumlah daya bagi negara atau
pemerintah agar mampu menjalankan berbagai tugas dan fungsinya dengan baik, dimana
ekonomi-politik berusaha untuk merumuskan bagaimana memakmurkan rakyat dan
pemerintah sekaligus. Dalam era global eksistensi hukum dipandang penting, karena
perubahan di berbagai bidang menuntut adanya norma atau rule of law dapat memberikan
arahan pada cita-cita mulia sebagaimana pertama kali ide liberalisasi perdagangan lahir yang
menghendaki adanya pemerataan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat dunia yang
selama ini dianggap tidak adil akibat praktik kolonialisme.
39 Adam Smith, An Inqury into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, Penguin Book,
London, 1979, hlm. 397. 40 David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report : Law and
Economic Development : Critiques and Beyond” disampaikan pada Spring Conference
Harvard Law School, April 13-14 2003, hlm. 1. 41 Ibid.
David M. Trubek (Guru Besar dari University of Wisconsin) menyatakan bahwa “rule of
law” merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan akan memberikan
dampak yang luas bagi “reformasi” sistem ekonomi di seluruh dunia, yang berdasarkan pada
teori apa yang dibutuhkan untuk pembangunan dan bagaimana peranan hukum dalam
perubahan ekonomi.40
Pentingnya dikaji kembali teori hukum sebagai dasar dalam pembangunan dan peranan
hukum dalam pembangunan ekonomi tidak lain karena secara umum pelaku ekonomi dalam
memandang kegiatan perekonomian hanya pada pendekatan satu sisi saja, hal tersebut dapat
dilihat pada kebijakan yang diterapkan oleh International Monetary Fund (IMF) dan Bank
Dunia (World Bank), dirasakan telah mengakibatkan kebijakan ekonomi menjadi tidak
terkontrol yang kemudian terjadinya market shock.41 Liberalisasi pasar keuangan tanpa
disertai peraturan hukum yang efektif dan memadai akan menyebabkan terjadinya instabilitas
ekonomi dan dapat memicu suku 948 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
bunga tinggi yang pada gilirannya akan menyulitkan sektor riil dan pelaku ekonomi
menengah ke bawah.
Selanjutnya Trubek juga menyatakan bahwa pada saat ini setiap negara membutuhkan suatu
upaya yang sistematis untuk memahami keterkaitan antara hukum, sosial, ekonomi dan
politik, jika tidak bisa dilakukan secara komprehensif, konsistensi dan koherensi, akan
berdampak pada terjadinya krisis hukum (crisis of law).42
42 David M. Trubek, “Toward a Social Theory of Law : An Essay on the Study of Law and
Development”, The Yale Law Journal, (Vol. 82, 1 November 2000), hlm. 2. 43 Kartharina
Pistor dan Philip A. Wellon, et al, Asian Development Bank, The Rule of Law and Legal
Institutions in Asian Economic Development 1960-2000, Oxford University Press, New York,
2001, hlm. 25. 44 Soerjanto Poespowardojo, Opcit, hlm. 85
Berdasarkan pendapat tersebut diatas, jika dikaitkan dengan dengan kondisi di Indonesia,
landasan hukum yang digunakan dalam pembangunan ekonomi perlu dikaji kembali, dimana
dalam memerankan hukum untuk pembangunan ekonomi Indonesia ke depan hukum tidak
saja bersifat formalis akan tetapi hukum harus dibuat secara sistematis dan komprehensif (in
concert) agar mempunyai arah dan tujuan yang jelas sesuai dengan apa yang akan dicapai dan
instrumen yang digunakan untuk dapat mencapainya. Hal tersebut sejalan dengan analisis The
European Bank for Reconstruction and Development (EBRD)43 berkenaan dengan
infrastruktur hukum pada negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia serta
transition economies yang menunjukkan korelasi cukup signifikan antara efektifitas sistem
hukum dan pertumbuhan ekonomi. Dalam analisis dan kajian EBRD tersebut memperlihatkan
pula keberhasilan reformasi perekonomian tergantung pada berfungsinya sistem hukum
dengan baik.
Burg’s menyatakan bahwa ada 2 (dua) unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi agar
sistem ekonomi dapat berfungsi dengan maksimal, yakni :44
a. Stabilitas (stability), dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan
mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing;
Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 949
b. Meramalkan/Memprediksi (predictability), berfungsi untuk memprediksi akibat dari suatu
langkah-langkah yang diambil khususnya akan menjadi sangat penting bagi negara yang
sebagian besar rakyatnya memasuki hubungan-hubungan ekonomi yang melampaui
lingkungan sosial dan tradisional.

Berdasarkan konsep tersebut di atas, yakni diantara kedua unsur tersebut harus diperhatikan
juga aspek yang paling penting yaitu “aspek keadilan” (“fairness”) seperti perlakukan yang
sama dan standart pola tingkah laku pemerintah, yang diperlukan untuk menjaga mekanisme
pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.
Setiap Negara membutuhkan landasan filosofis berbangsa dan bernegara. Atas landasan
filosofis tersebut disusunlah visi misi dan tujuan Negara. Bagi Indonesia sendiri, landasan
filosofis negara adalah Pancasila. Untuk itu Pancasila harus dilihat secara utuh sebagai suatu
national guideness serta national standard, norm and principles yang di dalamnya juga
memuat sekaligus human rights dan human responsibility, yang pada sisi lain Pancasila juga
berguna sebagai margin of appreciation45, sebagaimana yang juga harus diimplementasikan
dalam pelaksanaan Hukum Ekonomi di Indonesia. Dengan demikian Hukum Ekonomi di
Indonesa dalam wujud Margin of Appreciation dijadikan tolak ukur bagi pembenaran
terhadap norma-norma hukum yang diberlakukan sehingga nilai utama Pancasila sebagai
Ideologi bangsa yaitu kebersamaan dengan bentuk ideal kebersamaan hidup bermasyarakat,
adalah masyarakat kekeluargaan, sehingga dalam bidang ekonomi, ideologi Pancasila
menghendaki kebersamaan (kekeluargaan Demokrasi Ekonomi Pasal 33 UUD 1945), yang
diwujudkan melalui Negara Kesejahteraan.
45 Muladi, Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia (Seminar
Nasional Dalam Rangka Dies Natalis ke- 40 Universitas Pancasila), Jakarta 7 Desember
2006, hlm. 11-12.
Dalam dunia yang makin menempatkan liberalisme sebagai arus utama pemikiran untuk
mendatangkan kesejahteraan, Indonesia bergerak semakin jauh dari cita-cita membangun
Negara Kesejahteraan, di dunia ini sekarang 950 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember
2012
dan kedepan liberalisme ekonomi dengan cirri ekonomi pasar bebas digunakan semakin luas.
Namun dalam Negara kesejahteraan meskipun prinsi-prinsip ekonomi pasar diberlakukan
kesejahteraan menjadi unsur penting tujuan bernegara. Hal tersebutlah yang membedakan
dengan Negara yang menganut ekonomi pasar murni, dimana kesejahteraan bersama sekedar
menjadi hasil sampingan, bukan tujuan.
Penekanan yang harus mendapatkan perhatian adalah bahwa pengembangan dalam ilmu
hukum Indonesia, pada akhirnya tidak hanya sekedar alih pengetahuan tentang hukum dan
bukan pula sekedar pelatihan ketrampilan untuk menjalankan hukum tetapi juga termasuk di
dalamnya pendidikan nilai-nilai yang menjadi basis sistem hukum nasional yang hendak
dibangun dan bagi Indonesia nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai Pancasila.
Selanjutnya, Pemerintah Indonesia harus berhati-hati dalam memilih dan melaksanakan
strategi pembangunan ekonomi. Ada peringatan “teoritis” bahwa ilmu ekonomi Neoklasik
dari Barat memang cocok untuk menumbuhkembangkan perekonomian nasional, tetapi tidak
cocok atau tidak memadai untuk mencapai pemerataan dan mewujudkan keadilan sosial.
Amanah Pancasila akan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang
seharusnya dijadikan pedoman mendasar dari setiap kebijakan pembangunan ekonomi dan
pengembangan hukum sebagai landasan pembagunan ekonomi. Nilai-nilai Pancasila yang
relevan dan perlu diacu adalah sila terakhir, yakni keadilan sosial. Roda kegiatan ekonomi
bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Ada kehendak kuat warga
masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan
berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial.
Semangat nasionalisme ekonomi dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi
terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri. Demokrasi konomi
berdasar kerakyatan dan kekeluargaan, serta usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku
ekonomi perorangan dan masyarakat. Perspektif Hukum sebagai Landasan.....(Zulfi Diane
Zaini) 951
Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan
desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju
perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana terjadi pemerintah
Orde Baru yang sangat kuat dan stabil, memilih strategi pembangunan berpola
“konglomeratisme” yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi tinggi dan hampir-hampir
mengabaikan pemerataan. Hal inilah yang merupakan strategi yang berakibat pada
“terjadinya krisis moneter” yang terjadi pada Tahun 1997 saat awal reformasi politik,
ekonomi, sosial, dan moral.
Sebagaimana yang dihadapi dunia saat ini, dimana dengan adanya krisis keuangan global saat
ini telah mengakibatkan sistem hukum ekonomi di beberapa negara tidak dapat menjalankan
fungsi dan perannya secara efektif. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan mengancam kesinambungan
perekonomian nasional. Krisis keuangan secara global yang saat ini terjadi di wilayah
Amerika, Eropa maupun Asia pada dasarnya secara khusus bersumber dari masih lemahnya
kualitas sistem keuangan yang ada di secara global di dunia.
Reformasi keuangan yang terjadi pada awal Tahun 1980 an ternyata hanya memberikan
peningkatan kuantitas lembaga-lembaga keuangan dan kuantitas aliran modal yang masuk
(capital inflow) ke suatu Negara. Kondisi seperti ini, juga dilakukan oleh Indonesia pada saat
itu, khususnya jika dikaitkan dengan liberalisasi perbankan yang berawal pada Tahun 1988
dimana kondisi tersebut merupakan salah satu faktor pemicu lemahnya sistem keuangan,
khususnya pada sektor Lembaga Perbankan. Terjadinya gejolak di pasar uang, pasar valas
dan pasar modal serta meningkatnya ketidakpastian (uncertainty) dapat mengabikatkan
semakin memburuknya kinerja Lembaga Keuangan yang pada gilirannya dapat
mengakibatkan runtuhnya kestabilan sektor keuangan.
Secara keseluruhan jika kondisi krisis global yang terjadi pada saat ini tidak segera
diantisipasi dan ditangani secara serius dan komprehensif oleh Pemerintah Indonesia maka
akan berdampak pada krisis keuangan yang 952 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember
2012
semakin mendalam. Selanjutnya, kondisi tersebut tidak saja berdampak pada buruknya aspek
likuiditas perbankan, akan tetapi juga pada solvabilitas dan rentabilitas dari lembaga
perbankan secara nasional, mengingat lembaga perbankan merupakan pasar yang sangat
dominan dalam industri keuangan di Indonesia46, maka secara sistematis sektor keuangan
dapat mengalami kelumpuhan kembali sebagaimana kondisi yang terjadi kurun waktu Tahun
1997-1998 yang lalu. Mepertimbangkan dari dampak dan kerugian yang demikian besar
terhadap kondisi perekonomian suatu Negara sebagai akibat dari instabilitas sistem keuangan
tersebut serta langkah-langkah penyelesaian krisis (crisis resolution) yang juga membutuhkan
waktu cukup lama, maka sudah saatnya stabilitas sistem keuangan fungsinya dioptimalkan
dan perlunya kordinasi yang efektif dan komprehensif baik dari pihak pemerintah dan Bank
Sentral sebagai pengambil kebijakan publik di setiap belahan negara-negara di dunia pada
saat ini, termasuk di Indonesia pasca krisis keuangan dan perbankan Tahun 1997-1998. Akan
tetapi, kondisi yang ada pada saat ini khususnya di Indonesia, belum maksimalnya konsep-
konsep pemikiran secara yuridis maupun institusional (legal and institutional framework)
dari masing-masing instutisi yang bertanggung jawab secara menyeluruh dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam upaya
melakukan perkembangan dalam pembangunan nasional terutama yang berkaitan dengan
pembangunan ekonomi, secara umum dapat dijelaskan bahwa keterkaitan antara regulasi /
pengaturan sistem pengamanan keuangan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan di
Indonesia akan berkorelasi pula dengan peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi
secara keseluruhan. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan
sosial adalah berdaulat di bidang hukum dan politik, mandiri di bidang ekonomi, dan
berkepribadian di bidang budaya.
46 Mengutip pendapat Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, S.H., bahwa Lembaga Perbankan
merupakan jantungnya perekonomian di Indonesia. Perspektif Hukum sebagai
Landasan.....(Zulfi Diane Zaini) 953.
Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi
melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di
bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih
diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi
sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka
yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang
sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.
Pembangunan ekonomi di suatu negara, secara khusus di Indonesia, bahwa hukum memiliki
peranan yang besar untuk memberi peluang pembangunan ekonomi. Pelaksanaan roda
pemerintahan yang demokratis, dengan menggunakan hukum sebagai instrumen yang efektif
dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang komprehensif, akan
membawa negara menuju masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang di cita-citakan.
Bagi Indonesia menciptakan persatuan, menggalakkan pembangunan dan mewujudkan
kesejahteraan harus di lakukan secara bersamaan. Kondisi tersebut, dapat memberi peluang
dalam terciptanya keharmonisan dalam pencapaian tujuan pembangunan ekonomi. Pada
pelaksanaan pembangunan ekonomi harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan UUD 1945, sehingga dapat memberi pengaruh bagi warga negara untuk
bekerja lebih giat lagi, karena prestasi mereka dilindungi dan di jamin oleh hukum, sehingga
dengan sendirinya hasil kerja tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
NEGARA HUKUM

Pengertian negara hukum menurut Wirjono Prodjodikoro, adalah suatu negara yang didalam
wilayahnya terdapat keadaan:

a. semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari


pemerintah, dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling
berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus
memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.

b. semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-
peraturan hukum yang berlaku.Selanjutnya, gagasan negara hukum juga dikemukakan oleh
Immanuel Kant, yang memahami negara hukum sebagai de nachwaker staat atau
nachtwachtherstaat (negara jaga malam), yang tugasnya adalah menjaga ketertiban dan
keamanan masyarakat.

Konsep negara hukum di Eropa Kontinental yang dikemukakan oleh Immanuel Kant tersebut,
dikenal pula sebagai negara hukum liberal (Padmo Wahjono, “Konsep Yuridis Negara
Hukum Indonesia”, makalah, hlm 2, September 1998 sebagimana dikutip dalam Muhammad
Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada
Media, Jakarta, Cetakan Kedua, September 2004, hlm 89.) Dikatakan negara hukum liberal
karena konsep Kant bernafaskan paham liberal yang menentang kekuasaan absolut para raja
pada waktu itu. Sedangkan pendapat yang dikemukakan Frederich Julius Stahl adalah bahwa
negara hukum ditandai oleh 4 (empat) unsur pokok yaitu:1. pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia;2. negara didasarkan pada prinsip atau teori trias politica;3.
pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); dan4. adanya
peradilan administrasi negara yang bertugas menangani perbuatan melanggar hukum oleh
pemerintah (onrechmatige overheidsdaad). Konsep atau gagasan negara hukum yang
dikemukakan oleh Stahl tersebut dinamakan sebagai negara hukum formil, karena lebih
meneankan pada keberadaan aspek pemerintahan yang berdasarkan undang-
undang.18Konsep negara hukum mempunyai kaitan erat dengan perwujudan adanya hukum
sebagai suatu sistem yang menjadi tulung punggung (back bone) sekaligus mata rantai atau
benang merah yang mengatur segala hak dan kewajiban termasuk batasan tugas dan
kewenangan dari setiap institusi kenegaraan dan juga yang menyangkut warga negara atau
masyarakatnya.

RULE OF LAW

Negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan konstitusionalisme terhadap sistem kekuasaan
yang absolut. Negara Hukum dalam kepustakaan Indonesia sering diterjemahkan rechtsstaat
atau the rule of law. Paham rechtsstaat mulai populer di Eropah sejak Abad XIX, meskipun
pemikiran tentang itu sudah lama ada.3 Sedangkan paham the rule of law populer setelah
diterbitkan buku Albert Venn Dicey pada tahun 1885, dengan judul Introduction to Study of
the Law of the Constitution.4 Paham rechtsstaat lahir karena menentang absolutisme, yang
sifatnya revolusioner, dan bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut civil law.
Walaupun demikian, perbedaan keduanya dalam perkembangannya tidak dipersoalkan lagi
karena mengarah pada tujuan yang sama, yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia.5
3 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang
Prinsipprinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan peradilan Umum dan
Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, (Surabaya: Bina Ilmu, , 1987), hlm.72.
4 Ibid.

5 Ibid.

Selanjutnya, Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan bukan
atas kekuasaan belaka (machtstaat). Negara hukum adalah negara yang di dalam
penyelenggaraannya berdasarkan pada hukum atau aturan-aturan yang ditetapkan oleh
penguasa, sedangkan dalam arti material adalah negara juga turut serta secara aktif untuk
kesejahteraan rakyatnya (welfare state),13 atau dikenal dengan nama negara kesejahteraan
yang kemudian dikenal dengan nama verzorgingsstaat, atau disebutnya sociale rechtsstaat
(negara hukum sosial). Dalam pengertian modern, pemerintah dituntut untuk mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

The Rule of Law dalam referensi yang ada memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda
dengan Negara Hukum. Demikian juga dalam kepustakaan Indonesia, istilah Negara Hukum
merupakan penterjemahan langsung dari Rechstaat.13

Rule of Law juga memiliki pengertian yang sama dengan negara hukum. Hal ini
dikemukakan oleh Sunaryati Hartono dengan ungkapan sebagai berikut:”Oleh sebab itu, agar
supaya tercipta suatu negara hukum yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang
bersangkutan, penegakan The Rule Of Law itu harus diartikan dalam arti yang materiil. “

Satjipto Raharjo mengemukakan pandangan dari Friedman tentang Rule of Law sebagai
berikut :

a. Secara formil rule of law dirumuskan sebagai berikut :


“.....dimaksudkan sebagai kekuasaan publik yang terorganisasi, yang berarti bahwa
setiap sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada hoerarki, perintah merupakan rule
of law”
b. Secara materiil, rule of law dirumuskan :
“.....dalam arti materil atau ideologi mencakup ukuran-ukuran tentang hukum yang
baik dan kurang baik.

13
Pernyataan ini dikuatkan dengan pendapat para pakar hukum Indonesia : Dengan timbulnya gagasan-
gagasan pokok yangdirumuskan dalam konstitusi-konstitusi dari abad IX itu, maka timbul juga istilah Negara
Huku (Rechstaat). O.Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, hlm.31. Yang sudah kita kenal lebih lama adalah
pengertian Rechstaat atau negara hukum atau untuk enain kata-kata dala Penelasan Undang-Undang Dasar
1945, negara yag berdasarkan atas hukum. Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridi Normatif tentang
Unsur-Unsurnya, Hal.31
Definisi negara kesejahteraan (welfare state) sangatlah luas dan beragam. Di satu sisi defi nisi
negara kesejahteraan adalah keterlibatan negara dalam menyediakan pekerjaan penuh bagi
rakyat. Pekerjaan adalah sumber pendapatan rakyat, jika negara dapat menyediakan pekerjaan
secara penuh maka kemiskinan rakyat akan berkurang dan rakyat akan sejahtera. Secara
etimologis istilah negara kesejahteraan ini dapat dimaknai sebagai suatu negara yang
memberikan jaminan berupa tunjangan sosial (social security benefi ts) yang luas seperti
pelayanan kesehatan oleh negara, pensiun atau tunjangan hari tua, tunjangan sakit dan
pengangguran, dan lain sebagainya (Pass dan Lowes, tt).
Secara singkat, istilah negara kesejahteraan didefinisikan sebagai suatu negara yang mana
pemerintahan negara dianggap bertanggung jawab menjamin standar kesejahteraan hidup
minimum bagi setiap warga negaranya (Husodo, 2006). Negara kesejahteraan ini merupakan
sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui
pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial
secara universal dan komprehensif kepada warganya. Negara yang dimaksud di sini adalah
suatu agency (alat) yang mengatur suatu masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk
mengatur hubunganhubungan antar manusia.
Menurut Esping-Andersen, negara kesejahteraan bukanlah suatu konsep yang menggunakan
pendekatan baku. Negara kesejahteraan pada umumnya diidentikkan dengan ciri-ciri yang
mengikutinya yakni pelayanan dan kebijakan sosial yang disediakan oleh negara kepada
warganya, seperti pelayanan kesehatan, tunjangan pensiun, pengurangan kemiskinan, transfer
pendapatan. Sehingga keduanya antara negara kesejahteraan dan kebijakan sosial sering
diidentikkan bersama. Akan tetapi pada dasarnya kuranglah tepat karena kebijakan sosial
tidaklah mempunyai relasi biimplikasi dengan negara kesejahteraan. Kebijakan sosial bisa
diterapkan dengan tanpa adanya negara kesejahteraan, sedangkan negara kesejahteraan akan
selalu membutuhkan kebijakan sosial untuk mendukung keberadaannya (Esping-Andersen,
1990)
Suatu negara bisa digolongkan sebagai negara kesejahteraan apabila terdapat empat pilar
utama, yaitu: 1) social citizenship; 2) full democracy; 3) modern industrian relation systems;
serta 4) rights to education and the expansion of modern mass education systems. Keempat
pilar tersebut harus diupayakan terdapat dalam negara kesejahteraan karena negara wajib
memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai penganugerahan hak-hak sosial kepada
warganya yang berdasarkan atas basis kewarganegaraan dan bukan atas dasar kinerja atau
kelas sosial (Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Dengan syarat-syarat ekonomi, sosial dan
politik tersebut di atas, tidak semua negara dengan penduduk yang berpendapatan tinggi tidak
dapat dianggap sebagai negara kesejahteraan.
Negara kesejahteraan mengacu pada peran pemerintah yang bertanggungjawab dalam
mengelola dan mengorganisasikan perekonomian. Dengan demikian, negara diharapkan
mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan
kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya (Esping-Andersen, 1990;
Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan
kebijakan sosial sebagai “penjaminan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada
warganya (Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Semua perlindungan sosial yang dibangun dan
didukung negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifi tas
ekonomi yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi
sumber daya manusia (human investment) yang terencana dan melembaga.
Konsep ini dipandang sebagai bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan
rakyat setelah mencuatnya bukti-bukti empirik mengenai kegagalan pasar (market failure)
pada masyarakat kapitalis dan kegagalan negara (state failure) pada masyarakat sosialis
(Husodo, 2006). Oleh karena itu, meskipun menekankan pentingnya peran negara dalam
pelayanan sosial, negara kesejahteraan pada hakekatnya bukan merupakan bentuk dominasi
negara. Melainkan, wujud dari adanya kesadaran warga negara atas hak-hak yang dimilikinya
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Negara diberi mandat untuk melaksanakan
kewajibannya dalam memenuhi hak-hak warga negara.

Dalam perspektif politik, negara kesejahteraan adalah suatu negara atau pemerintahan yang
mempromosikan kesejahteraan umum (public welfare) melalui berbagai macam program
seperti kesehatan, pendidikan, kompensasi pengangguran, jaminan pensiun, perumahan, dan
lain-lain. Sedangkan dalam perspektif ekonomi, negara kesejahteraan adalah suatu sistem
ekonomi yang mengkombinasikan keunggulan-keunggulan kapitalisme dan sosialisme
dalam model penguasaan kepemilikan pribadi yang dipraktekkan suatu pemerintah untuk
membuat suatu perundang-undangan tentang program yang luas mengenai kesejahteraan
sosial dan masyarakat

Negara Indonesia ialah negara hukum, ketentuan ini dijamin dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRITahun1945),pada Pasal 1 ayat (3).
Sebagai negara hukum Indonesiamemilikikewajibanuntukmelindungi segenap rakyat
Indonesia, termasuk mengatur kemanfaatan semuaaspek kehidupan agar mampu memberikan
kemakmuran bagi seluruh rakyatIndonesia.Negara hukum Indonesia didasarkan pada konsep
negara kesejahteraan(walfare state),yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Hal ini merupakan amanah konstitusipada Pasal 33 ayat (3)yang menyatakanbahwa,”bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat”.

Tujuan negara kesejahteraan(welfarestate) untuk menjamin hak-hak warga negara pada era
modern sekarang ini,memiliki ketergantungan pada ketersediaan sumber daya alam. Kondisi
ketersediaan sumber daya alam menjadi faktor yang menentukan dalam memenuhi hak-hak
dasar warga negara.Salah satu sumber daya alam yang sangat penting dalam
menjaminkesejahteraan dalam negara hukum Indonesia di era globalisasi sekarang ini adalah
tanah.Keberadaan tanah menjadi sumber daya alam yang penting bagi negara Indonesia, yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA), padaPasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa,“semua tanah dalam wilayah
Negara Indonesia adalah tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia”.Selanjutnya
dalamPasal 6 UUPAmenyatakanbahwa, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Pasal tersebut selanjutnya dinyatakan sebagai salah satu asas hukum tanah yangdiistilahkan
asas fungsi sosial hak atas tanah. Keberadaan asas fungsi sosial hakatas tanah dalam hukum
tanah menjadi landasan fundamental bagi terwujudnya tanah yang bermanfaat bagi sebesar-
besar kemakmuran rakyat di negara kesejahteraan.

WELFARE STATE
Negara Indonesia ialah negara hukum, ketentuan ini dijamin dalam Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Pasal 1 ayat (3). Sebagai negara
hukum Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi segenap rakyat Indonesia, termasuk
mengatur kemanfaatan semua aspek kehidupan agar mampu memberikan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia. Negara hukum Indonesia didasarkan pada konsep negara
kesejahteraan (walfare state), yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal
ini merupakan amanah konstitusi pada Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa, ”bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Tujuan negara kesejahteraan (welfarestate) untuk menjamin hak-hak
warga negara pada era modern sekarang ini, memiliki ketergantungan pada ketersediaan
sumber daya alam. Kondisi ketersediaan sumber daya alam menjadi faktor yang menentukan
dalam memenuhi hak-hak dasar warga negara.

Tujuan Negara Indonesia terdapat pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945), yaitu :

“.....melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial....”14

Rumusan Pembukaan UUD 1945 tersbut menyampaikan bahwa salah satu tujuan negara
Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum. Ini menunjukkan jika para pendiri negara
(the founding Fathers) mencita-citakan negara Indonesia menjadi negara kesejahteraan
(Welfare State).

Sesuai dengan perencanaan pembangunan nasional, pembangunan nasional mencakup semua


bidang kehidupan dalam wilayah negara Republik Indonesia, termasuk agama, ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan. Dalam kaitannya dengan
tujuan negara mewujudkan kesejahteraan rakyat, pembangunan nasional di bidang ekonomi
sangat penting karena berdampak langsung pada upaya meningkatkan taraf hidup rakyat
melalui penciptaan lapangan kerja dan menekan angka pengangguran. Dalam pembangunan
ekonomi, peranan negara sangat penting dan bahkan di berbagai tempat pembangunan
ekonomi bisa hampir identik dengan kegiatan Pemerintah dalam pembangunan.15

Supaya pembangunan ekonomi memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan


rakyat, maka pelaksanaannya harus berpedoman pada UUD 1945 sebagai landasan
konstitusional perekonomian nasional. Menurut Jimly Asshiddiqie, Pasal 33 UUD 1945

14
Tujuan bernegara yang pertama dan keempat bersifat eksternal yang mencakup tujuan eksternal pasif dan
defensif, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan tujuan yang
bersifat eksternal aktif, yaitu ikut melaksanakan ketertiban duniaberdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Sedangkan tujuan yang bersifat internal adalah tujuan kedua dan ketiga, yaitu
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
Ekonomi, Jakarta : Penerbit buku Kompas, 2010, hal.10
15
M. Dawam Rahardjo, Nasionalisme Sosialisme dan Pragmatisme; Pemikiran ekonomi Politik Sumitro
Djodjohadikusumo, Jakarta, LP3ES, 2017, hal.89
adalah landasan konstitusional perekonomian dan merupakan dasar demokrasi ekonomi.16
Jimly Asshiddiqie juga mengingatkan bahwa semua haluan konstitusional mengenai
perekonomian nasional haruslah dibaca dalam persfektif kesejahteraan sosial mengingat
negara Republik Indonesia adalah Negara Kesejahteraan (Welfare State).

Politik Hukum di Bidang Ekonomi dan Pelembagaan Konsepsi Welfare State di dalam
Undang-Undang Dasar 1945.

Konsepsi negara kesejahteraan diadopsi di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tepatnya di dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945,
dengan menempatkan frase ‘memajukan kesejahteraan umum’ sebagai salah satu cita negara
Republik Indonesia. Setelah mengalami perubahan, UUD 1945 mengamanatkan
implementasi demokrasi ekonomi, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 33 ayat (4) UUD
1945. Di dalam demokrasi ekonomi tersebut diperkenalkan sebuah asas efisiensi-berkeadilan
yang ditengarai sebagai senyawa sistem ekonomi kapitalis yang mengusung jiwa
neoliberalisme. Dari analisis yang dilakukan penulis, penulis menemukan bahwa beberapa
unsur neoliberalisme telah larut ke dalam kebijakan-kebijakan hukum di bidang ekonomi
Indonesia, yaitu privatisasi, aturan pasar, deregulasi, dan pemotongan pengeluaran publik

Welfare State

Kunci pokok dalam negara kesejahteraan adalah isu mengenai jaminan kesejahteraan rakyat
oleh negara. Mengenai hal ini, Jurgen Habernas berpendapat bahwa jaminan kesejahteraan
seluruh rakyat merupakan hal pokok bagi negara modern. Selanjutnya menurut Habernas,
jaminan kesejahteraan seluruh rakyat yang dimaksud diwujudkan dalam perlindungan atas
the risk of unemployment, accident, ilnes, old age, and death of the breadwinner must be
covered lagerly through welfare provisions of the state.17

Dalam hakekatnya, Negara kesejahteraan dapat digambarkan keberadaannya sebagai


pengaruh dari hasrat manusia yang mengharapkan terjaminnya rasa aman, ketentraman dan
kesejahteraan agar tidak jatuh kedalam kesengsaraan. Alasan tersebut dapat digambarkan
sebagai motor penggerak sekaligus tujuan bagi manusia untuk senantiasa mengupayakan
berbagai cara demi mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Sehingga ketika keinginan
tersebut telah dijamin dalam konstitusi suatu negara, maka keinginan tersebut harus dijamin
dan negara wajib mewujudkan keinginan tersebut. Dalam konteks ini, negara ada dalam
tahapan sebagai negara kesejahteraan.

16
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal.137.
17
Gianfranco Poggi, The Developments of the modern state “sosiological Introduction, California: Standford
University Press, 1992, Hal.126
Negara Kesatuan republik indonesia juga menganut faham Negara Kesejahteraan. Hal ini
ditegaskan oleh para perintis kemerdekaan dan para pendiri negara Kesatuan republik
Indonesia . Prinsip Welfare State dalam UUD 1945 dapat ditemukan rinciannya dalam
beberapa pasal, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi.

Dengan masuknya perhal kesejahteraan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945, Indonesia dapat dikatakan sebagai konstitusi ekonomi (economic
constitution) dan bahkan konstitusi sosial (social constitution) sebagaimana juga terlihat
dalam konstitusi Negara Rusia, Cekoslowakia, Albania, Italia, Belarusia, Iran, Suriah dan
Hongaria. Sejauh menyangkut corak muatan yang diatur dalam UUD 1945, nampak
dipengaruhi oleh corak penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada negara-negara sosialis.18

Di dalam UUD 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab XIV yang didalamnya
memuat pasal 33 tentang sistem perekonomian dan pasal 34 tentang kepedulian negara
terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak terlantar) serta sistem jaminan sosial. Ini
berarti Kesejahteraan Sosial sebenarnya merupakan flatform sistem perekonomian dan sistem
sosial di Indonesia. Sehingga sejatinya Indonesia dalah negara yang menganut faham welfare
state.

Negara Hukum

Latar belakang pencantuman pernyataan negara Indonesia dalah Negara Hukum dalam
batang tubuh UUD 1945 merupakan buah kesepakatan fraksi-fraksi di MPR bahwa salah satu
prinsip yang dijadikan pegangan bersama untuk dicapaikan kesepakatan mengenai agenda
perubahan UUD 1945 adalah bahwa penjelasan UUD 1945 ditiadakan dari naskah konstitusi
dan prinsip-prinsip dan norma yang terdapat didalamnya dimuat menjadi rumusan pasal-pasal
dalam UUD 1945. Prinsip negara hukum dalam penjelasan UUD 1945 dimuat menjadi
rumusan Pasal 1 ayat (3) karena sifatnya yang sangat mendasar dan fundamental.19

Konsepsi negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman
Yunani Kuno. Plato dalam bukunya the statesman dan the law mengatakan bahwa untuk
mewujudkan negara yang ideal maka perlu menempatkan supremasi hukum. Sejalan dengan
plato, konsepsi negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri diatas hukum
yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. 20

Dalam tataran negara hukum modern, konsep negara hukum di negara Eropa Kontinental
dikenal dengan istilah “rechtsstaat” yang dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant,
Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte. Menurut Stahl, konsep negara hukum mencakup 4
(empat) elemen penting, yaitu:

1. Perlindungan Hak Asasi Manusia


2. Pembagian kekuasaan
18
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, Hal.124

19
Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta;
Sinar Grafika, 2009, hal. 12-13
20
Moh. Kusnadi dan Bintan R.Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008, hal.131
3. Pemerintah berdasarkan Undang-Undang; dan
4. Adanya peradilan tata usaha negaraq atau administrasi21

Sementara itu di Negara Anglo Saxon, konsepsi negara hukum dipelopori oleh A.V. Dicey
yang mengetengahkan konsep “the rule of law” dalam bukunya “An Introduction to the study
of the law of the constitution” yang diterbitkan tahun 1985. Dicey mengungkapkan 3 (tiga)
arti dari “the rule of law”, yaitu:

“....we mean the first place that no man is punishable or can lawfully be made to suffer in
body or good except for a district breach of law established in the ordinary legal manner
before the ordinary courts of the land.....We mean in the second place, when we speak of “the
rule of law” as a characteristic of our country, not only that with us no man is above the law,
but (which is different thing) that here, every man, whatever be his rank or conditions, is
subject to the ordinary law of the realm and amenable to jurisdiction of ordinary
tribunals.....There remains yet a third and a different sense in which “rule of law” or the
predominance of the legal spirit may be described as a special attribute of English
institutions. We may say that the constitution is pervaded by the rule of law on the ground
that the general principles of the constitution (as for the example the right to personal liberty,
or the right of public meeting) are with us teh result of judicial decisions determining the
rights of private persons in particular cases brought before the courts; whereas under many
foreign constitutions the security (such as it is) given to the rights of individuals results, or
appears to result, from the general principles of the constitution.”22

Konsep the rule of law yang dikemukakan Dicey tersebut, para ahli hukum menyimpulkan 3
(tiga) ciri penting the rule of law, yaitu:

1. Supremasi Hukum (supremacy of law) dalam arti semua masalah diselesaikan dengan
hukum sebagai pedoman tertinggi
2. Persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan (equality before
the law); dan
3. Segal tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan (due
process of law)

Konsep negara hukum menurut pandangan Muhammad Yamin adalah negara yang
menjalankan pemerintahan tidak menurut kemauan orang-orang yang memegang kekuasaan,
melainkan menurut aturan yang tertulis dan dibuat oleh badan-badan perwakilan dengan
secara jalan sah.23
Sementara itu menurut Subekti, sebagai suatu negara hukum berarti negara Republik
Indonesia:
a. Menjunjung tinggi HAM dan menjamin segala warga negaranya bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; dan

21
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi. Op.Cit, hal.130
22
Tom Bingham, The Rule Of Law, london: Penguin Books, 2011, hal.3-4
23
Muhammad Yamin, Prokklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, tanpa kota : Djambatan, 1969, hal.74
b. Menjunjung tinggi asas peradilan yang bebas, dalam arti tidak tunduk kepada
kekuasaan lain yang manapun24

Salah satu ciri negara hukum adalah adanya perlindungan terhadap warga negaranya. Di
negara Indonesia hal itu tercermin dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang
berbuni:

“....membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa


Indonesia.”

Selanjutnya dalam Pasal 28D UUD 1945 (setelah amandemen kedua) disebutkan hak setiap
orang untuk mendapatkan perlindungan, yang selengkapnya berbunyi sebagai barikut:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”

Rumusan Pasal 28D UUD 1945 tersebut merupakan hasil dari amandemen UUD 1945
dimana menurut Bagir Manan, konsepsi perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)
menjadi lebih impresif dengan perumusan aturan-aturan baru mengenai HAM dalam Pasal
28A hingga Pasal 28J pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. 25 Walaupun Undang-
Undang Dasar 1945 tidak menyebutkan secara eksplisit perlindungan terhadap nasabah

Sementara itu, Lawrence Freidman menyebut lima fungsi dari sistem hukum. Pertama,
sebagai sistem kontrol. Dengan kata lain, sistem hukum berkaitan dengan perilaku yang
mengontrol. Kedua, fungsi hukum sebagai penyelesaian sengketa (dispute settlement).
Dengan kata lain sistem hukum adalah agen pemecah konflik dan juga agen penyelesaian
sengketa. Ketiga, fungsi redistribusi (redistributive function) atau fungsi rekayasa sosial
(social engineering).
Fungsi ini mengarahkan penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang
berencana yang ditentukan oleh pemerintah. Keempat, hukum berfungsi sebagai pemelihara
sosial (social maintenance). Kelima, hukum berfungsi mengawasi penguasa itu sendiri.26

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat selalu berkembang (berubah), karena hal tersebut
merupakan fenomena yang wajar dalam masyarakat. Perubahan sosial hanya bisa diamati,
diketahui, atau dikemukakan oleh seseorang melalui pengamatan mengenai susunan, struktur,

24
R.Subekti, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP, Jakarta: Pradnya Paraminta, 1984, hal.10
25
Menurut Bair Manan dan Susi Dwi Harijanti, ketentuan-ketentuan HAM dalam UUD 1945 pasca amandemen
memperlihatkan beberapa kelemahan dari berbaai aspek, termasuk jenis-jenis HAM. Secara teori, terdapat dua
jenis HAM, yaitu hak-hak substantif (substantive rights) dan hak-hak prosedural (procedural rights).
Pengaturan HAM yang ada dalam UUD 1945 sebagian besar berkaitan dengan hak-hak substantif. Sedangkan
hak-hak prosedural belum terlihat padahal pengaturan hak-hak prosedural dipandang perlu karena pemenuhan
hak-hak substantif sangat tergantung pada pemenuhan hak-hak prosedural. Lihat Bagir Manan & Susi Dwi
Harijanti, Memahami Konstitusi: Makna dan Aktualisasi, Jakarta : Rajawali Pers, 2014, hal. 248-249
26
Lawrence Friedman, 2001, American Law an Introduction, Second Edition, diterjemahkan oleh Wishnu
Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, PT Tata Nusa, Jakarta, hal. 11-18.
dan institusi suatu perikehidupan tertentu dimasa lalu, dan sekaligus membandingkannya
dengan susunan, struktur, dan institusi suatu perikehidupan di masa kini, tidak ada
masyarakat yang tidak berubah, semua masyarakat bersifat dinamis, hanya laju
dinamikanyalah yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, walau dikenal juga
masyarakat statis dan masyarakat dinamis.27

Perkembangan (perubahan) masyarakat biasanya diidentikkan dengan pembangunan.


Umumnya orang beranggapan bahwa pembangunan adalah kata benda netral yang
maksudnya adalah suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha untuk
meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur masyarakat, dan sebagainya.
Dengan pemahaman seperti itu, pembangunan disejajarkan dengan kata “perubahan sosial”.28

Hukum yang berkembang dalam masyarakat bukanlah hukum yang statis melainkan hukum
yang dinamis. Sesungguhnya sistem hukum bukanlah semata cuma seperangkat aturan statis
melainkan refleksi yang senantiasa berubah-ubah dari perkembangan terutama hubungan
keragaman karakteristik sosial yang hidup dalam masyarakat baik masyarakat tradisional
maupun masyarakat modern, baik perubahan secara cepat maupun perubahan secara lambat.
Sejalan dengan pemikiran bahwa hukum adalah reflektif dari keragaman karakterisitik sosial,
maka tidak ada hukum yang tidak mengalami perubahan dan perubahan itu senantiasa produk
konflik.29

Perumusan kebijakan tata ruang kota sangat penting untuk dapat menentukan arah pengaturan
penggunaan lahan daerah perkotaan sesuai dengan pendekatan ekonomi yang digunakan
untuk masing-masing ukuran kota optimal. Untuk kota-kota yang pengukuran optimalnya
berdasarkan prinsip biaya minimum maka pola tata guna lahan yang diperlukan harus
dilakukan dengan cara sangat efisien agar biaya pengelolaan kota menjadi minimum. Akan
tetapi, untuk kota optimal yang pengukurannya berdasarkan prinsip maksimum keuntungan
bersih maka penggunaan lahan juga harus diarahkan pada perwujudan lingkungan perumahan
dan fasilitas pelayanan sosial yang menyenangkan. Sedangkan untuk kota-kota optimal yang
pengukurannya didasarkan pada prinsip keuntungan masksimum, pola penggunaan lahan
yang diperlukan seharusnya sesuai dengan keperluan bisnis, baik di bidang industri,
perdagangan dan jasa. (Analisis Ekonomi Regional dan Penerapannya di Indoensia; Sjafrizal;
Rajawali Pers, Depok; 2018; hal 354)

Tidak dapat disangkal bahwa pembangunan ekonomu kota merupakan unsur penting dalam
pembangunan wilayah. Alasannya jelas karena kota umumnya merupakan pusat kegiatan
ekonomi sektor modern, yaitu industri, perdagangan dan jasa. Kegiatan ini mempunyai kaitan
yang erat dengan sektor pertanian, baik sebagai penyedia bahan baku maupun sebagai pasar.
Ini berarti terdapat kaitan yang erat antara perekonomian kota dengan wilayah yang
umumnya merupakan daerah pertanian. Karena itu, mengikuti pemikiran Francois Perroux
tidak salah kiranya bila banyak literatur ilmu ekonomi regional mengatakan bahwa kota
disamping pusat pelayanan, juga berfungsi sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) yang

27
Sabian Utsman. Dasar-dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat. Pustaka
Pelajar Yokyakarta. 2009. H. 201. Lihat juga Abdulsyani. Sosiologi Skematika Teori dan Terapan . Bumi
Aksara. Jakarta. H. 162 yang mengemukakan bahwa perubahan-perubahan akan nampak setelah tatanan sosial
dan kehidupan masyarakat yang lama dapat dibandingkan dengan tatanan dan kehidupan masyarakat yang baru
28
Mansour Fakih. Runtuhnya Teori Pembangunan dan globalisasi. Insist Press. Yokyakarta. 2009. H. 9
29
Sabian Utsman. Op. Cit. h.188
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah tertentu (Friedman and alonso, 1976, dan
Benjamin Higgins and Donald J.Savoie, 1995, Bab 6) ((Analisis Ekonomi Regional dan
Penerapannya di Indoensia; Sjafrizal; Rajawali Pers, Depok; 2018; hal 374)
Sama halnya dengan kabupaten dalam era otonomi kota diberikan kewwenangan yang sangat
besar untuk menggali dan mengelola potensi ekonomi yang dimilikinya. Dalam hal ini,
pembangunan ekonomi kota harus mengacu kepada fungsinya baik sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi maupun pusat pelayanan masyarakat, tidak hanya bagi warga kota,
tetapi juga penduduk bagi wilayah sekitarnya. Ini berati bahwa perumusan kebijaksanaan
pembangunan kota perlu disusun secara tekait dan terpadu dengan memperhatikan arah dan
kebijaksanaan pembangunan kabupaten sekitarnya dan provinsi dimana kota itu berada.
Dibandingkan dengan pembangunan kabupaten, aspek tata ruang dan pengaturan penggunaan
tanah (land use) menjadi sangat penting dalam pembangunan kota. Alasannya jelas karena
luas tanah yang tersedia di kota unumunya relatif kecil, sementara jumlah penduduknya
cukup besar sehingga kepadatan penduduk menjadi sangat tinggi. Dalam situasi yang
demikian, penataan ruang dan pengaturan penggunaan lahan menjadi hal yang sangat penting
dan strategis. Disampung aspek transportasi, perumahan dan lingkungan hidup juga
merupakan suatu hak cukup serius dalam pembangunan kota. Karena itulah, strategi dan
kebijaksanaan pembangunan kota perlu dibedakan dengan kebijaksanaan pembangunan
kabupaten.

4. PEMANFAATAN BMN
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Optimalisasi adalah berasal dari kata dasar
optimal yang berarti terbaik, tertinggi, paling menguntungkan, menjadikan paling
baik, menjadikan paling tinggi, pengoptimalan proses, cara, perbuatan
mengoptimalkan (menjadikan paling baik, paling tinggi, dan sebagainya) sehingga
optimalisasi adalah suatu tindakan, proses, atau metodologi untuk membuat sesuatu
(sebagai sebuah desain, sistem, atau keputusan) menjadi lebih/sepenuhnya sempurna,
fungsional, atau lebih efektif. Menurut Machfud Sidik berkaitan dengan Optimalisasi
suatu tindakan/kegiatan untuk meningkatkan dan Mengoptimalkan. Untuk itu
diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan. Dalam
jangka pendek kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah dengan
melakukan intensifikasi terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah yang sudah
ada terutama melalui pemanfaatan teknologi informasi. Dengan melakukan efektivitas
dan efisiensi sumber atau obyek pendapatan daerah, maka akan meningkatkan
produktivitas PendapatanAsli Daerah (PAD) tanpa harus melakukan perluasan sumber
atau obyek pendapatan baru yang memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang.
Dukungan teknologi informasi secara terpadu guna mengintensifkan pajak mutlak
diperlukan dari sistem pelayanan pajakyang dilaksanakan cenderung tidak optimal,
Masalah ini tercermin pada sistem dan prosedur. Perlu adanya batasan waktu dan
penentuan tata cara pelaksanaan.

Dalam rangka perbaikan proses bisnis organisasi yang diperlukan secara terus menerus
untuk memberikan kontribusi nyata mewujudkan kesejahteraan rakyat, diperlukan
akselerasi/percepatan menciptakan konsep mekanisme meningkatkan Pendapatan Negara
Bukan Pajak (PNBP) yang dapat beriringan dengan bisnis proses pengelolaan Barang Milik
Negara (BMN) sehubungan pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga Negara
(K/L) selaku pengguna BMN dibawah kebijakan dan binaan, pengawasan dan pengendalian
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku Pengelola Barang.

Terhadap BMN tanah dan/atau bangunan tersebut secara umum dan BMN yang
menghasilkan PNBP tersebut, telah dilakukan pengelolaan dengan baik dan mempunyai
dasar hukum yang memadai, dalam konteks ini adalah terkait penggunaan BMN yang efektif
dan efisien menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71/PMK.06/2016 tentang
Tata Cara Pengelolaan BMN Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan
Fungsi K/L, dan BMN yang dapat menghasilkan PNBP melalui pelaksanaan ketentuan
pemanfaatan BMN misalnya terkait sewa BMN dalam PMK Nomor 57/PMK.06/2016.
Kontrol terhadap penggunaan dan pemanfaatan BMN sehubungan pelaksanaan tugas dan
fungsi pemerintahan oleh K/L, terkait PMK tersebut dititikberatkan pada BMN yang
dilakukan pemanfaatan karena tidak digunakan untuk operasional dan/atau BMN Idle yakni
“BMN tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan menyelenggarakan tugas dan fungsi
K/L” dan “BMN tanah dan/atau bangunan yang digunakan tidak sesuai tugas dan fungsi
K/L”. BMN idle berasal dari BMN terindikasi idle yang diketahui saat diterbitkan Surat
Permintaan Klarifikasi Tertulis dari Pengelola Barang kepada Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang mengenai adanya BMN terindikasi idle. Surat dimaksud bergantung pada
pada adanya sumber informasi BMN terindikasi idle sebagaimana ditentukan PMK tersebut
Pasal 7 yaitu “laporan pengawasan dan pengendalian (wasdal), informasi tertulis/laporan
semesteran dan tahunan dari Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang, laporan hasil
pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), laporan hasil pengawasan oleh Aparat
Pengawas Intern Pemerintah (APIP), informasi dari media masa, dan laporan masyarakat”.
Terhadap BMN Idle dimaksud dapat dioptimalkan dengan cara penggunaan oleh K/L lain
atau dilakukan pemanfaatan untuk menambah PNBP (misal sewa BMN).

Pada tanggal 28 Desember 2011, Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri


Keuangan Nomor 250/PMK.06/2011 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara
Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian
Negara/Lembaga. Peraturan tersebut merupakan jawaban dari banyaknya aset negara berupa
tanah dan/atau bangunan yang tidak atau belum digunakan secara optimal.

Barang Milik Negara (BMN) idle menurut peraturan ini adalah BMN berupa tanah dan/atau
bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga (K/L). Adapun kriteria dari BMN idle, meliputi:
1. BMN yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi K/L dalam
jangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun sejak terindikasi idle.

2. BMN yang digunakan, tetapi tidak sesuai dengan tugas dan fungsi K/L.

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku pelaksana fungsional atas kewenangan
dan tanggung jawab Menteri Keuangan selaku Pengelola BMN dapat membantu
meringankan beban belanja negara sekaligus menambah pendapatan negara bukan pajak
(PNBP) dari pengelolaan BMN idle tersebut.

Penggunaan BMN idle oleh K/L yang membutuhkan tanah dan/atau bangunan merupakan
salah satu cara meringankan beban belanja negara. Sebagai contoh, di wilayah kerja suatu
KPKNL terdapat aset yang terindikasi idle karena tidak digunakan dalam penyelenggaran
tugas dan fungsi dengan nilai sebesar Rp10 milyar. Sedangkan menurut data LBMN-KD,
pada suatu KPKNL terdapat mutasi tambah pada akun tanah adalah sebesar Rp100 milyar.
Bila proses pengelolaan BMN idle tersebut dilaksanakan dengan tertib, pengeluaran belanja
modal untuk penambahan tanah dapat dihemat sebesar nilai BMN idle pada daerah tersebut
sehingga negara hanya perlu mengalokasikan dana sebesar Rp90 milyar.

BMN idle yang telah diserahkan kepada Pengelola Barang dapat memberikan kontribusi
pendapatan negara dari PNBP melalui mekanisme pemanfaatan BMN. DJKN yang memiliki
instansi vertikal dapat menambah pendapatan negara dengan cara memasang tanda
penguasaan atas tanah yang berisi informasi Kanwil DJKN/KPKNL yang menguasai tanah
idle tersebut dan tanda yang berisi peluang untuk dimanfaatkan oleh pihak ketiga. Dengan
cara itu, tanah yang menganggur tersebut tidak akan membebani APBN dengan biaya
pengamanan dan pemeliharaannya sekaligus memberikan kontribusi Pendapatan Negara
Bukan Pajak.

Pada peraturan ini diatur juga mengenai sanksi bagi Pengguna Barang yang tidak
menyerahkan BMN yang ditetapkan sebagai BMN idle berupa:

1. Pembekuan dana pemeliharaan BMN atas tanah dan/atau bangunan yang telah ditetapkan
sebagai BMN idle.

Ketentuan ini perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bersama antara DJKN selaku
Pengelola Barang dan DJPBN selaku Pengelola Anggaran sehingga dapat diimplementasikan
oleh KPKNL dan KPPN selaku Kuasa Pengelola Barang/Anggaran.

2. Penundaan penyelesaian atas usulan pemanfaatan, pemindahtanganan, atau penghapusan


BMN yang diajukan oleh Pengguna Barang.

Di samping peraturan mengenai pembekuan dana pemeliharaan BMN, diperlukan juga


keseragaman prosedur kerja dan bentuk surat yang berkaitan dengan pengelolaan BMN idle
seperti Laporan Pelaksanaan Investigasi atau Penelitian. Selain itu, untuk efisiensi
pelaksanaan peraturan ini, wewenang dan tanggung jawab dari Pengelolaan BMN idle yang
dipegang oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara dapat didelegasikan kepada instansi
vertikal, berdasarkan wilayah kerja maupun berdasar nilai BMN yang terindikasi idle, seperti
memberikan kewenangan pengelolaan BMN idle sampai dengan lima milyar rupiah ke
KPKNL, sampai dengan sepuluh milyar rupiah ke Kanwil DJKN.
Dengan demikian, Pengelolaan BMN idle secara tepat, efektif, dan optimal untuk
penyelenggaran tugas dan fungsi K/L, dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat melalui penghematan belanja negara dan memberikan kontribusi
pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Pola optimalisasi penerimaan negara melalui pengelolaan aset dapat dilakukan melalui skema
sewa, kerja sama pemanfaatan, bangun guna serah, bangun serah guna, dan lainnya.
Sementara pola optimalisasi penghematan belanja dapat dilakukan dengan skema pengalihan
aset idle pada suatu Kementerian/Lembaga kepada instansi lain yang membutuhkan baik
untuk pelaksanaan tugas dan fungsi maupun mendukung program prioritas pemerintah.
Pengelolaan aset negara memiliki peran yang semakin strategis dalam mendukung
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan secara
serius sedang berupaya untuk mengoptimalkan peran tersebut, sehingga aset negara tidak lagi
dipandang sebagai sumber daya pasif, namun secara produktif dapat dikelola dan
dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Strategi yang akan digunakan untuk
mewujudkan hal tersebut adalah dengan melakukan pembangunan basis data aset yang aktual
dan akurat, serta menjalankan strategi pengelolaan aset berbasis prinsip the highest and best
use. Harapannya, setiap nilai aset yang dimiliki oleh negara ini dapat memberikan imbal
balik/return yang positif sesuai dengan potensi terbaik atas aset tersebut.

Kementerian Keuangan adalah memastikan bahwa aset negara telah digunakan secara
optimal. Indikator kinerja “rasio utilisasi aset terhadap total aset tetap” merupakan indikator
yang dipilih untuk memantau utilisasi/penggunaan atas aset negara. Selain bertujuan untuk
memastikan tertib administrasi/pencatatan aset, indikator ini juga dapat memberikan
informasi tentang seberapa nilai aset yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas
dan fungsi Kementerian/Lembaga, nilai aset yang under capacity sehingga dapat
dimanfaatkan/dikerjasamakan dengan pihak ketiga, nilai aset yang diserahkan kepada pihak
lain dalam rangka pelaksanaan progam pemerintah (hibah), atau nilai aset yang digunakan
sebagai penyertaan modal negara. Artinya, melalui indikator ini, pertumbuhan portofolio nilai
aset berikut utilisasinya senantiasa dipantau.

Kementerian Keuangan mulai mengukur kinerja pengelolaan aset ditinjau dari seberapa besar
manfaat ekonomi yang diperoleh dari pengelolaan aset negara. Manfaat ekonomi tersebut
diukur dari nilai penerimaan negara dan nilai penghematan belanja yang dihasilkan dari
kegiatan pengelolaan aset. Melalui pengukuran ini, diharapkan aset yang dimiliki oleh negara
tidak hanya sebatas pada penggunaan, namun juga dikelola secara optimal dan profesional
sehingga nantinya juga berkontribusi dalam mendukung kapasitas keuangan negara. Pola
optimalisasi penerimaan negara melalui pengelolaan aset dapat dilakukan melalui skema
sewa, kerja sama pemanfaatan, bangun guna serah, bangun serah guna, dan lainnya.
Sementara pola optimalisasi penghematan belanja dapat dilakukan dengan skema pengalihan
aset idle pada suatu Kementerian/Lembaga kepada instansi lain yang membutuhkan baik
untuk pelaksanaan tugas dan fungsi maupun mendukung program prioritas pemerintah.

Pengelolaan aset negara memiliki peran yang semakin strategis dalam mendukung pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan secara serius sedang berupaya
untuk mengoptimalkan peran tersebut, sehingga aset negara tidak lagi dipandang sebagai sumber
daya pasif, namun secara produktif dapat dikelola dan dikembangkan untuk kepentingan
masyarakat. Strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan
melakukan pembangunan basis data aset yang aktual dan akurat, serta menjalankan strategi
pengelolaan aset berbasis prinsip the highest and best use. Harapannya, setiap nilai aset yang
dimiliki oleh negara ini dapat memberikan imbal balik/return yang positif sesuai dengan potensi
terbaik atas aset tersebut.
(Ditulis untuk memenuhi bahan masukan Laporan Kinerja Kementerian Keuangan Tahun 2016)Editor:
Andar Ristabet HesdaDiolah dari berbagai sumber

aset bersejarah dikarenakan kepentingan budaya, lingkungan, dan


sejarah.67

Secara yuridis-normatif, Barang Milik Negara terbagi atas tiga, yaitu: 1.


Yang dikelola sendiri oleh pemerintah disebut Barang Milik Negara,
misalnya tanah dan bangunan Kementerian/Lembaga, mobil milik
Kementerian/Lembaga. 2. Dikelola pihak lain disebut kekayaan negara
dipisahkan, misalnya penyertaan modal negara berupa saham di BUMN,
atau kekayaan awal di berbagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN)
yang dinyatakan sebagai kekayaan terpisah berdasarkan
UUpendiriannya. 3. Dikuasai negara berupa kekayaan potensial terkait
dengan bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya yang dikuasai negara selaku organisasi tertinggi, misalnya,
tambang, batu bara, minyak, panas bumi, aset nasionalisasi eks asing,
dan cagar budaya. 2. Pengelolaan Barang Milik Negara
67.Peraturan Menteri Keuangan No.171/PMK.05/2007. Tentang Sistem Akuntansi Dan
Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat

Optimal 1

Era baru dalam pengelolaan Barang Milik Negara mulai nampak antara lain setelah
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara, yang diiringi dengan dibentuknya unit kerja baru
yakni Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang khusus menangani pengelolaan
Barang Milik Negara di bawah kendali Kementerian Keuangan Republik Indonesia, sehingga
dalam rangka menjamin terlaksananya tertib administrasi dan tertib pengelolaan Barang
Milik negara diperlukan adanya kesamaan persepsi dan langkah secara integral dan
menyeluruh dari unsur-unsur yang terkait dalam pengelolaan Barang Milik Negara.

Oleh karena itu, pengelolaan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam PP. No.27
Tahun 2014 Pasal (3), dilaksanakan berdasarkan asas-asas sebagai berikut: 30

1. Asas Fungsional Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-masalah di bidang


pengelolaan Barang Milik Negara dilaksanakan oleh pengelola dan/atau pengguna Barang
Milik Negara sesuai fungsi, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing.

30
Pasal 3 ayat (1) PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara.
2. Asas Kepastian hukum Pengelolaan Barang Milik Negara harus dilaksanakan berdasarkan
hukum dan peraturan perundang-undangan serta asas kepatutan dan keadilan.

3. Asas Transparansi menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan
yang sedang berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang dalam
rangka pencapaian efisiensi dan efektifitas pengelolaan Barang Milik Negara. Hasil
perencanaan kebutuhan tersebut merupakan salah satu dasar dalam penyusunan neraca
anggaran pada kementerian/ lembaga. Perencanaan anggaran yang mencerminkan kebutuhan
riil Barang Milik Negara selanjutnya menentukan pencapaian tujuan pengadaan barang yang
di perlukan dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah.

Bentuk pemanfaatan Barang Milik Negara berdasarkan Pasal 27


PP. No. 27 Tahun 2014 adalah berupa:781. Sewa 2. Pinjam Pakai
3. Kerja sama Pemanfaatan 4. Bangun guna serah/bangun serah
guna;atau 5. Kerja sama penyediaan infrastruktur Kriteria
pemanfaatan Barang Milik Negara adalah sebagai berikut:791.
Pemanfaatan Barang Milik Negara berupa tanah dan/ atau
bangunan dilaksanakan oleh Pengelola Barang. 2. Pemanfaatan
Barang Milik Negara berupa tanah dan/ atau bangunan yang
diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi Kementerian/ Lembaga dilakukan oleh Pengguna Barang
dengan persetujuan pengelola Barang3. Pemanfaatan Barang
Milik Negara selain tanah dan/ atau bangunan di laksanakan oleh
Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang.
Pengertian Pemanfaatan Barang Milik Negara
Pemanfaatan sebagaimana yang diatur dalam PP. No. 27 Tahun 2014 adalah pendayagunaan
BMN/D yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
kementrian/lembaga dan/atau optimalisasi barang milik negara dengan tidak mengubah status
kepemilikan. Istilah pendayagunaan barang milik negara terkandung makna bahwa tujuan
pemanfaatan barang milik negara adalah optimalisasi pemanfaatan barang milik negara guna
mendorong peningkatan peningkatan penerimaan negara31.
Pemanfaatan yang dimaksud harus sesuai dengan kriteria pemanfaatan sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 26 PP. No .27 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:32
1. Pemanfaatan Barang Milik Negara/ Daerah dilaksanakan oleh: a. Pengelola Barang, untuk
Barang Milik Negara yang berada dalam penguasaannya; b. Pengelola Barang dengan
persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota, untuk Barang Milik Daerah yang berada dalam
penguasaan Pengelola Barang; c. Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang,
untuk Barang Milik Negara yang berada dalam penguasaan Pengguna barang; d. Pengguna
Barang dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk Barang Milik Daerah berupa sebagian

31
Andi Prasetiawan Hamzah dan Arvan Carlo Djohansjah.2010. Modul Pemanfatan
Barang Milik Negara. Departemen Keuangan RI, Badan Pendidikan Dan Pelatihan
Keuangan Pusdiklat Kekayaan Negara Dan Perimbangan Keuangan, Jakarta. Hlm.5
32
.PP.No.27 Tahun 2014 op.cit Pasal 26
tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang, dan selain tanah
dan/atau banguan.
2. Pemanfaatan Barang Milik Negara/ Daerah dilaksanakan berdasarkan pertimbangan
tekhnis dengan memperhatikan kepentingan negara/ daerah dan kepentingan umum. Bentuk-
bentuk pemanfaatan barang milik negara/daerah dapat dilakukan dengan cara33:
a. Sewa, yaitu pemanfaatan BMN/BMD oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan
menerima imbalan uang tunai.
b. Pinjam Pakai, yaitu penyerahan penggunaan barang antara Pemerintah pusat dengan
Pemerintah Daerah dan antarPemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima
imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir di serahkan kembali kepada Pengelola
Barang.
c. Kerjasama Pemanfaatan, yaitu pendayagunaan BMN/BMD oleh pihak lain dalam jangka
waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan Negara bukan pajak.
d. Bangun Guna Serah, yaitu pemanfaatan BMN/BMD berupa tanah ke pihak lain dengan
cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian di dayagunakan
oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah di sepakati, untuk selanjutnya
diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah
berakhirnya jangka waktu.
e. Bangun Serah Guna, yaitu pemanfaatan BMN/BMD berupa tanah oleh pihak lain dengan
cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai
pembangunannya diserahkan untuk di dayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka
waktu tertentu yang telah di sepakati. Pemanfaatan Barang milik negara melalui sewa
dilaksanakan terhadap Barang Milik Negara yang berada pada Pengelola Barang, Pengguna
Barang, dan Barang Milik Negara yang sudah di serahkan oleh Pengguna Barang kepada
Pengelola Barang. Pertimbangan untuk menyewakan barang milik negara adalah untuk
mengoptimalkan pemanfaatan barang milik negara yang belum/tidak dipergunakan dalam
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan, menunjang pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, atau mencegah penggunaan barang milik
negara oleh pihak lain secara tidak sah.

Negara dalam menjalankan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan (TEORI


KESEJAHTERAAN) bagi rakyatnya dengan berperan sebagai aparat pemerintah, sangatlah
memerlukan sarana dan prasarana dalam berbagai aktivitas demi menunjang terlaksananya
roda pemerintahan. Sarana dan prasarana yang dimaksudkan salah satunya adalah gedung
perkantoran, karena dari situlah segala aktivitas pemerintahan dalam rangka pemberian
pelayanan pada masyarakat dilakukan mulai dari membuat perencanaan program kerja
sampai kepada pertanggungjawaban kenerja yang telah dilakukannya. Namun tidak semua
Kementrrian/ Lembaga tersebut mempunyai gedung perkantoran tetap sehingga terkadang
Kementerian /Lembaga tersebut terpaksa harus menyewa atau menumpang pada instansi lain.

Mengantisipasi hal tersebut, Kementerian/ Lembaga diperkenankan untuk mengusulkan


pembangunan gedung perkantoran kepada pemerintah melalui Kementerian/lembaga masing-
masing. Dan apabila disetujui, langkah selanjutnya adalah mengajukan proposal dengan
Rincian Anggaran Biaya (RAB) yang dibuat oleh konsultan perencanaan dan diketahui oleh
Dinas Pekerjaan Umum (PU) sebagai unsur tekhnis yang mengerti dan mengetahui tentang

33
Pemanfaatan Barang Milik Negara diperoleh dari http//barang-milik-
negara.blogspot.com/2012/04/pemanfaatan-barang-milik-negara
seluk beluk suatu perencanaan pembangunan. Pengadaan sarana perkantoran untuk
Kementerian/Lembaga dilakukan sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-masing, karena
tidak sedikit kantor yang sudah terbangun dengan biaya yang cukup tinggi namun pada
kenyataannya tidak dipergunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
Kementrrian/Lembaga, hal ini terjadi karena adanya perencanaan yang kurang matang dan
boleh jadi akibat adanya rasionalisasi pegawai dan bahkan merger (penggabungan) dua
kantor menjadi satu, sehingga apabila pengadaan sarana perkantoran tersebut tidak tepat
sasaran dan tidak dilakukan secara hati-hati serta tidak memperhatikan tingakat kebutuhan
masing-masing Kementerian/lembaga maka akan menjadi mubadzir dan pada akhirnya akan
membebani APBN baik dari segi pengadaannya maupun pada segi pemeliharaannya. Karena
pembangunan sarana dan prasarana perkantoran dilakukan dengan menggunakan dana
APBN, maka hal tersebut dikategorikan sebagai Barang Milik Negara menurut ketentuan
Pasal 1 angka 10 UU.No.1 Tahun 2004 jo Pasal 1 angka 1 PP.No.27 Tahun 2014 yang berada
di bawah penguasaan negara dan dikelola oleh pemerintah melalui Kementerian/Lembaga.
Namun karena sarana dan prasarana perkantoran tersebut belum atau tidak dipergunakan
dalam rangka tugas pokok Kementerian/ Lembaga maka dapat dimanfaatkan baik oleh
Kementrian/ Lembaga yang bersangkutan maupun pihak ketiga dalam bentuk sewa.
Pemanfaatan yang dimaksud adalah pendayagunaan Barang Milik Negara (BMN) yang
belum atau tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Kementerian/
Lembaga atau optimalisasi Barang Milik Negara dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Salah satu bentuk pemanfaatan yang dimaksud adalah dengan cara sewa menyewa yaitu
pemanfaatan Barang Milik Negara oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima
imbalan uang tunai. Peraturan hukum yang mengatur mengenai pemanfaatan Barang Milik
Negara adalah UU.No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara jo PP. No. 27 Tahun
2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagai petunjuk pelaksana, dan
sebagai petunjuk tekhnis Menteri Keuangan sebagai Pejabat yang berwenang dalam
melakukan pengelolaan terhadap Barang Milik Negara menerbitkan Peraturan Menteri
Keuangan No.57/PMK.06/2016 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara,
dan Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan
Barang Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi
Kementerian/ Lembaga. Pasal 4 PP.No.27 Tahun 2014, memberi kewenangan kepada
Menteri Keuangan selain menjadi Bendahara Umum Negara juga sebagai Pengelola Barang
Milik Negara, yang berwenang dan bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan,
mengatur dan menetapkan pedoman Pengelolaan Barang Milik Negara, namun kewenangan
dan tanggung jawab tersebut sebagian di delegasikan kepada Pengguna Barang dan Kuasa
Pengguna Barang. sehingga segala kebijakan yang menyangkut pemanfaatan Barang Milik
Negara ada pada Pengelola Barang, Pengguna Barang, dan Kuasa Pengguna Barang, dan
secara tekhnis di laksanakan oleh kantor operasional Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
(DJKN). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, terdapat sejumlah variabel yang
berpengaruh terhadap Pemanfaatan Barang Milik Negara melalui Sewa. Variabel-variabel
tersebut perlu diketahui dan ditata sedemikian rupa sehingga jelas substansinya. Dari
penataan itu dapat diketahui berbagai variabel yang ada seperti variabel bebas (independent
variabel) dan variabel terikat (dependent variabel). Sejumlah variabel bebas memiliki
pengaruh secara langsung terhadap variabel terikat, yakni terwujudnya pemanfaatan Barang
Milik Negara yang transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, semua variabel bebas perlu
diuraikan secara tegas dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Hakikat pemberian kesempatan kepada pengguna barang atas rencana pemanfaatan Barang
Milik Negara idle sebelum 3 tahun sejak dinyatakan terindikasi idle, sebagai variabel bebas
pertama dalam penelitian ini, di latar belakangi oleh suatu pemikiran bahwa tujuan
pemanfaatan Barang Milik Negara melalui sewa dilakukan untuk mengoptimalisasi
pemanfaatan Barang Milik Negara yang belum atau tidak di pergunakan sesuai tugas pokok
dan fungsi Kementerian/lembaga, memperoleh fasilitas yang diperlukan dalam rangka
menunjang tugas dan fungsi instansi pengguna barang, dan mencegah penggunaan barang
milik negara oleh pihak lain secara tidak sah. Akan tetapi tujuan tersebut di batasi oleh Pasal
3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan
Barang Milik Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi
(Idle) Kementerian/Lembaga yang mengatur bahwa; “meskipun BMN telah masuk dalam
kriteria idle namun belum dapat di serahkan kepada Pengelola Barang sebelum 3 tahun sejak
terindikasi idle. Hal inilah yang mengakibatkan Barang Milik Negara berpotensi untuk di
salahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan Barang
Milik Negara di luar dari tujuan yang sebenarnya, sehingga berakibat pada kerugian negara.
Indikator pemberian kesempatan kepada pengguna barang adalah efektivitas pemanfaatan
barang milik negara, efisiensi pengeluaran keuangan negara, dan optimalisasi penerimaan
keuangan negara.
2. Bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk
sewa. Variabel bebas kedua yang memiliki peranan yang cukup menentukan dalam
Pemanfaatan Barng Milik Negara idle adalah bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan
pemanfaatan barang milik negara idle. Bentuk pengawasan yang dilakukan terhadap
pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa adalah pengawasan internal, yaitu
pengawasan yang dilakukan oleh pejabat yang berada dalam organisasi itu sendiri dalam arti
eksekutif. Artinya yang melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara
dalam bentuk sewa adalah pengelola barang, pengguna barang/kuasa pengguna barang. Oleh
karena pengelola barang, pengguna barang/ kuasa pengguna barang juga pengguna barang
milik negara, maka objektifitasnya sangat diragukan, sehingga keberadaan pengawas
eksternal sangat diharapkan. Indikator bentuk pengawasan terhadap pemanfaatan barang
milik negara adalah pengawasan internal, pengawasan eksternal dan strategi pengawasan
terhadap pemanfaatan barang milik negara.
3. Tanggung jawab pengguna barang dan pengelola barang terhadap indikasi penyimpangan
atas pemanfaatan barang milik negara idleyang dapat merugikan keuangan negara,
ditempatkan sebagai variabel bebas ketiga dengan pertimbangan bahwa barang milik negara
adalah barang yang diperoleh atas biaya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
sehingga harus dikelola dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, karena hasil dari
pemanfaatan tersebut merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Oleh karena itu,
apabila terjadi penyimpangan atas pemanfaatan tersebut yang berakibat pada kerugian negara
maka seharusnyapenyimpangan tersebut dipertanggungjawabkan. Indikator tanggung jawab
pengguna barang dan pengelola barang atas indikasi penyimpangan pemanfaatan barang
milik negara adalah tanggung jawab menurut hukum Administrasi, tanggung jawab menurut
Hukum Perdata, dan tanggung jawab menurut hukum Pidana. 4. Terwujudnya Pemanfaatan
BMN yang transparan dan akuntabel. Mengenai hubungan variabel secara keseluruhan dapat
dilihat dalam bagan kerangka fikir sebagai berikut: Terwujudnya pemanfaatan Barang Milik
Negara yang transparan dan akuntabel ditempatkan sebagai variabel terikat. Hal ini dilandasi
oleh pemikiran bahwa apabila pemanfaatan Barang dapat dilaksanakan dengan baik maka
tentunya dapat mewujudkan pemanfaatan Barang Milik negara yang transparan dan
akuntabel.
Pemanfaatan Optimalisasi pemanfaatan aset merupakan optimalisasi terhadap penggunaan
aset disamping meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, menghasilkan pendapatan
dalam bentuk uang dan juga dapat mensejahterakan masyrakat. Pemanfaatan aset dalam
struktur pendapatan desa termasuk dalam rincian objek hasil pemanfaatan atau
pendayagunaan kekayaan desa yang tidak dipisahkan. Dalam pemanfaatan atau
pendayaagunaan aset –aset yang ada di DesaKrayan Bahagia tersebut belum dikatakan
maksimal. Karena dalam hal ini kurang dimanfaatkannya aset –aset desa yang ada, kurang
ada pembinaan secara khusus kepada aparat desa yang bertugas untuk mendampingi
masyrakatnya. Jika dapat dilihat secara kasat mata, manfaat dari tanah kas desa ini dapat
mendapatkan pendapatan desa dan dapat membantu perekonomian masyarakat desa. Dan
pemerintah desa juga tidak melakukan sebuah pembinaan terhadap masyarakat –masyarakat
di desa untuk mengatahui apa saja aset desa. Sehingga pemerintah desa dan masyarakat desa
bisa saling berkesinambungan untuk bekerja sama dalam pemanfaatan aset desa tersebut guna
untuk menambah pendapat di desa yang bertujuan untuk menunjung kebutuhan desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Barang Milik Daerah
(BMD) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.Peraturan Pemerintah Nomor 71
Tahun 2010 menyebutkan bahwa aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau
dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat
ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah
maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, sosial, maupun politik
Bagi pengguna informasi akuntansi, nilai BMD/aset yang tersaji dalam laporan keuangan
pemerintah akan digunakan untuk menganalisa kondisi keuangan pemerintah. Jika BMD/aset
yang sudah rusak dan tidak digunakan lagi atau BMD yang sudah hilang dan tidak
dihapuskan namun masih tetap dilaporkan dalam laporan keuangan, maka pengambilan
keputusan yang didasarkan pada informasi tersebut tentu tidak tepat. Berkaitan dengan BMD
yang sudah rusak atau hilang, salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah
terkait dengan permasalahan tersebut adalah tindakan penghapusan BMD (Conway, et.al
2006).

Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) masih menjadi permasalahan klasik di lingkungan
Instansi Pemerintah. Ketidakpedulian atas pentingnya pengelolaan dan pemeliharaan aset
yang belum efektif, dapat terlihat dari catatan atas opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
yang hampir setiap tahun masih didominasi oleh masalah pengelolaan BMD.
Permasalahan yang sering ditemukan BPK berdasarkan elemen siklus pengelelolaan BMD
antara lain: 1) belum komprehensifnya kerangka kebijakan, 2) persepsi tradisional yang tidak
mengedepankan potensi pemanfaatan aset publik bagi pemasukan daerah, 3) inefisiensi, 4)
keterbatasan data, 5) keterbatasan SDM (Mardiasmo, et.al 2012).

Mengingat pentingnya Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD) bagi pemerintah daerah
serta besarnya pengeluaran Negara terkait dengan pengelolaan BMD tersebut, maka sudah
menjadi keharusan bagi Pemerintah untuk melakukan pengelolaan aset/ barang milik daerah
secara professional, efektif dan mengedepankan aspek-aspek ekonomis agar pengeluaran
biaya-biaya dapat tepat sasaran, tepat penggunaan, tepat penerapan dan tepat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan BMD sebetulnya merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Manajemen Keuangan dan secara umum terkait dengan
adiministrasi pembangunan daerah khususnya yang berkaitan dengan nilai aset, pemanfaatan
aset, pencatatan nilai aset dalam neraca, maupun dalam penyusunan prioritas dalam
pembangunan.Permasalahan aset menjadi permasalahan yang harus segera diatasi, dimana
aset Negara maupun daerah adalah tanggung jawab bersama pemerintah selaku pengelola dan
masyarakat sebagai stakeholder (Kaganova & Mckelllar 2006).34

Pemanfaatan barang milik daerah dilaksanakan oleh pengelola barang dengan persetujuan
Gubernur/Bupati/Walikota untuk barang milik daerah yang berada dalam penguasaan
pengelola barang dan pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang untuk barang
milik daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna
barang, dan selain tanah dan/atau bangunan.
Pemanfaatan barang milik daerah dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan
tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintah daerah.
Biaya pemeliharaan dan pengamanan barang milik daerah serta biaya pelaksanaan yang
menjadi objek pemanfaatan dibebankan pada mitra pemanfaatan.
Pendapatan daerah dari pemanfaatan barang milik daerah merupakan penerimaan daerah
yang wajib disetorkan seluruhnya ke rekening kas umum daerah.
Barang milik daerah yang menjadi objek pemanfaatan dilarang dijaminkan atau digadaikan.
Barang milik daerah yang merupakan objek retribusi daerah tidak dapat dikenakan sebagai
objek pemanfaatan barang milik daerah. Bentuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
1) Sewa
Barang milik darah yang dapat disewakan berupa:
a) Tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang
kepada Gubernur/Bupati/Walikota.
b) Sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna
barang.
c) Selain tanah dan/atau bangunan.
2) Pinjam pakai
Pinjam pakai barang milik darah dilaksanakan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah rangka penyelenggara
pemerintah. Objek pinjam pakai meliputi barang milik daerah berupa sebagian atau
keseluruhan tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan yang
berbeda pada pengelola barang/pengguna barang.
3) KSP (Kerja Sama Pemanfaatan)
KSP atas barang milik daerah dilaksanakan apabila tidak tersedia atau tidak cukup
tersedia dana dalam APBD untuk memenuhi biaya operasional, pemeliharaan,
dan/atau perbaikan yang diperlukan terhadap barang milik daerah yang

34
JIBEKA
Jurnal Ilmiah Bisnis dan Ekonomi Asia
ISSN 2620-875X (Online) ISSN 0126-1258 (Print)
http://jurnal.stie.asia.ac.id
55 |JIBEKA
Hal. 53-65
dikerjasamakan. Mitra KSP ditetapkan melalui tender, kecuali untuk barang milik
daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung. Pihak yang
dapat menjadi mitra KSP barang milik darah meliputi:
a) Badan usaha milik negara
b) Badan usaha milik daerah
c) Swasta, kecuali perorangan.
4) BGS (Barang Guna Serah) atau BSG (Barang Serah Guna)
Pihak yang dapat melakukan BGS/BSG adalah pengelola barang. Pihak yang dapat
menjadi mitra BGS/BSG meliputi: badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, swasta kecuali perorangan, dan/atau badan hukum lainnya. Objek
BGS/BSG meliputi:
a) Barang milik daerah berupa tanah yang berada pada pengelola barang.
b) Barang milik daerah berupa tanah berada pada pengguna barang.
5) KSPI (Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur)
Objek KSPI atas barang milik daerah meliputi:
a) Tanah dan/atau bangunan.
b) Sebagian tanah dan/atau bangunan masih digunakan.
c) Selain tanah dan/atau bangunan.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik


Negara/Daerah adalah peraturan termuktahir untuk pengelolaan barang sebagai pengganti
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
berikut dengan peraturan perubahannya, dan merupakan ketentuan umum yang
ditindaklanjuti pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Peraturan
ini adalah peraturan terbaru yang mengganikan peraturan-peraturan yan ada sebelumnya dan
dihapus serta dinyatakan tidak lagi berlaku dengan kelahiran peraturan ini.

Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) adalah pendayagunaan BMN/D yang


tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga/Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan/atau optimalisasi BMN/D dengan tidak mengubah
status kepemilikan dan dilaksanakan oleh:

a. Pengelola Barang, untuk BMN yang berada dalam penguasaannya


b. Pengelola Baran dengan persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota, untuk BMD yang
berada dalam penguasaan Pengelola Barang
c. Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk BUMN yang berada
dalam penguasaan Pengguna Barang, atau
d. Pengguna Barang dengan persetujuanPengelola Barang untuk BMD berupa sebagian
tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang, dan selain
tanah dan/atau bangunan.
Pemanfaatan BMN/D ini dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan
memperhatikan kepentingan negara/daerah dan kepentingan umum. Selain itu tentunya juga
harus mempertimbangkan manfaat dari pemanfaatan itu sendiri termasuk manfaat buat dunia
usaha dan masyarakat.35

Adapun bentuk-bentuk pemanfaatan BMN/D ini adalah :

a. Sewa
b. Pinjam Pakai
c. Kerjasama Pemanfaatan
d. Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna
e. Kerjasama Penyediaan Infrastruktur

Demikian pula yang terjadi dalam implementasi kebijakan pemanfaatan Barang Milik Negara
(BMN) saat ini, walaupun beberapa peraturan yang mendukung implementasi kebijakan
pemanfaatan BMN telah lama dikeluarkan, namun masih banyak pemanfaatan BMN yang
belum dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang ada.
Sesuai peraturan yang berlaku, untuk melaksanakan pemanfaatan BMN harus terlebih dulu
ada penetapan status penggunaan barang yang diajukan oleh pengguna barang/kuasa
pengguna barang.
Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan pemanfaatan BMN tentu
tidak bisa lepas dari peran aktif pengguna barang/kuasa pengguna barang, karena inisiatif
untuk melaksanakan pemanfaatan BMN berawal dari pengguna barang/kuasa pengguna
barang yang paling mengetahui terhadap aset yang dikuasainya. adanya keterbatasan
kewenangan yang dimiliki oleh pengelola barang untuk memberikan sanksi terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pemanfaatan BMN, maka prinsip-prinsip
utama good governance yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat perlu
untuk ditingkatkan, karena bisa menjadi pendukung utama terhadap keberhasilan
implementasi kebijakan pemanfaatan BMN. Selama ini, pengguna barang/kuasa pengguna
barang kurang begitu tanggap jika ada surat permintaan konfirmasi pemanfaatan BMN dari
pengelola barang, namun mereka akan langsung bereaksi secara cepat jika terdapat temuan
dari pemeriksa eksternal (BPK dan BPKP) dan pemeriksa internal (Itjen). Menurut penulis,
setelah dilaksanakannya inventarisasi dan penilaian oleh Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara pada tahun 2007 sampai dengan 2009, setidaknya Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara di daerah telah memiliki gambaran awal tentang aset negara mana saja yang belum/
tidak digunakan secara optimal. Implementasi kebijakan tentang pemanfaatan BMN akan
efektif apabila ada transparansi tentang kebijakan, baik dari pembuat kebijakan maupun
pelaksana kebijakan kepada masyarakat. Penerapan transparansi akan mendorong partisipasi
dari masyarakat untuk ikut serta maupun melakukan pengawasan terhadap kebijakan,
sehingga implementasinya lebih akuntabel. Keterbukaan dalam implementasi kebijakan
memudahkan bagi pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan maupun masyarakat untuk saling
berinteraksi ataupun melakukan sosialisasi. Perlu dibuat aturan yang mewajibkan pengguna
barang/ kuasa pengguna barang untuk mengumumkan secara terbuka kepada masyarakat

35
Wawan Zulmawan, Panduan Praktis Kerjasama Aset Pemerintah, TNI & BUMN, Jakarta: Jala Permata Aksara,
2017, hal.6
melalui media cetak ataupun elektronik mengenai BMN yang bisa disewa beserta tarif
sewanya. Dan jika diperlukan, khusus untuk aset yang terletak di lokasi yang strategis bisa
dilakukan dengan cara lelang untuk menetapkan penyewa dengan tarif sewa tertinggi,
sehingga dapat dihasilkan penerimaan negara yang lebih optimal. Transparansi dan
akuntabilitas adalah dua hal yang saling terkait, jika implementasi kebijakan pemanfaatan
BMN dilaksanakan secara transparan, maka secara otomatis implementasi akan berjalan lebih
akuntabel. Transparannya pemanfaatan BMN akan mendorong masyarakat untuk ikut serta
mengawasi proses pemanfaatan BMN, sehingga mendorong bagi pengelola barang maupun
pengguna barang/kuasa pengguna barang untuk bekerja lebih akuntabel. Akuntabilitas dalam
implementasi kebijakan pemanfaatan BMN menuntut adanya keterbukaan yang akan
mendorong adanya partisipasi dan berakibat pada kejelasan transmisi informasi komunikasi
mengenai kebijakan yang dijalankan.
Partisipasi dapat membangun komunikasi yang baik, karena kebijakan akan dapat
diimplementasikan secara efektif ketika pelaksana kebijakan mengerti dan memahami
terhadap suatu kebijakan. Ketika partisipasi berjalan dengan baik maka tuntutan masyarakat
agar kebijakan berjalan secara efektif akan berpengaruh langsung maupun tidak langsung
kepada struktur birokrasi untuk bisa memberikan pelayanan yang lebih baik. Demikian pula
dengan penerapan akuntabilitas dalam pelaksanaan kebijakan, akan berdampak pada
perbaikan organisasi untuk lebih efektif dalam bekerja dengan pertanggungjawaban yang
jelas baik kepada pembuat kebijakan maupun kepada mayarakat.

Optimalisasi pemanfaatan aset desa merupakan optimalisasi terhadap penggunaan aset


disamping meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, menghasilkan pendapatan dalam
bentuk uang dan juga dapat mensejahterakan masyrakat. Pemanfaatan aset dalam struktur
pendapatan desa termasuk dalam rincian objek hasil pemanfaatan atau pendayagunaan
kekayaan desa yang tidak dipisahkan. Dalam pemanfaatan atau pendayaagunaan aset – aset
yang ada di Desa Krayan Bahagia tersebut belum dikatakan maksimal. Karena dalam hal ini
kurang dimanfaatkannya aset – aset desa yang ada, kurang ada pembinaan secara khusus
kepada aparat desa yang bertugas untuk mendampingi masyrakatnya. Jika dapat dilihat secara
kasat mata, manfaat dari tanah kas desa ini dapat mendapatkan pendapatan desa dan dapat
membantu perekonomian masyarakat desa. Dan pemerintah desa juga tidak melakukan
sebuah pembinaan terhadap masyarakat – masyarakat di desa untuk mengatahui apa saja aset
desa. Sehingga pemerintah desa dan masyarakat desa bisa saling berkesinambungan untuk
bekerja sama dalam pemanfaatan aset desa tersebut guna untuk menambah pendapat di desa
yang bertujuan untuk menunjung kebutuhan desa.

mengalokasikan BMN Idle kepada Kementerian/Lembaga yang membutuhkan dan meminta


kepada pengguna barang agar BMN yang tidak digunakan dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi kementerian/ lembaga untuk segera diserahkan kepada pengelola barang.142 Sebagai
contoh, di wilayah kerja Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) terdapat
BMN yang terindikasi idle karena tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga dengan nilai Rp.10 milyar, sedangkan menurut Data Laporan Barang
Milik Negara (LBMN) di wilayah KPKNL yang lain terdapat kebutuhan pengadaan
tanah/bangunan sebesar Rp.100 milyar. Apabila proses pemanfaatan BMN idle tersebut
dilaksanakan dengan tertib, maka pengeluaran belanja modal untuk pengadaan
tanah/bangunan dapat dihemat sebesar nilai BMN idle pada daerah tersebut sehingga negara
hanya perlu mengalokasikan dana sebesar Rp.90 milyar.143 Demikian pula jika BMN idle
tersebut dimanfaatkan dengan cara disewakan kepada pihak ketiga, maka negara dapat
diuntungkan dalam dua hal yaitu; mendapatkan hasil sewa sebagai Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) dan penghematan biaya karena negara tidak perlu lagi mengeluarkan dana
untuk pemeliharaan terhadap gedung/bangunan yang sudah ada.144Disinilah peran dan
tanggung jawab Menteri Keuangan selaku pejabat yang diberi mandat oleh presiden selain
sebagai bendahara umum negara 142 . Hasil Penelitian pada Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang Makassar, tanggal 18 Mei 2016. 143 .Hasil wawancara dengan KASI
Pengelolaan Kekayaan Negara, KPKNL Makassar, tanggal 12 Mei 2016 144 .Ibid Profil
DJKN...
135 juga sebagai pengelola Barang Milik Negara yang berwenang dan bertanggung jawab
untuk merumuskan kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan Barang
Milik Negara, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara (DJKN) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 Tentang perubahan
keempat atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Unit Organisasi Dan Tugas
Eselon I Kementerian Keuangan Republik Indonesi yang memberikan tugas kepada
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang kekayaan negara, piutang negara dan lelang. Tugas tersebut
merupakan pelimpahan sebagian kewenangan Menteri Keuangan selaku pengelola barang
kepada Direktoran Jenderal Kekayaan Negara sebagai unit organisasi yang khusus menangani
Barang Milik Negara dibawah kendali Kementerian keuangan.145 Kriteria BMN idle
sebagaimana diatur dalam PMK .No. 250/PMK .06/2011 adalah BMN yang sedang tidak
digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, atau BMN yang
digunakan tetapi tidak sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, dan BMN yang
termasuk dalm kriteria idle inilah yang dapat dimanfaatkan oleh pengelola barang
untukKementerian/Lembaga yang belum mempunyai tanah dan bangunan dalam rangka
menyelenggarakan tugas pokok dan fungsinya maupun 145 .Media kekayaan Negara,
Pengelolaan BMN Idle, Edisi No.07 Tahun III/2012.hal.20
136 dimanfaatkan oleh pihak ketiga dalam bentuk sewa. Namun apabila Kementerian/
Lembaga telah memiliki atau menyusun perencanaan untuk menggunakan atau
memanfaatkan BMN yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga (idle)sebelum berakhirnya tahun ketiga dan perencanaan
pemanfaatannya telah ada sebelum berakhirnya tahun kedua terhitung sejak BMN terindikasi
sebagai BMN idle maka BMN tersebut tidak termasuk sebagai BMN idle, dan kepada
pengelola barang harus memberikan kesempatan kepada pengguna barang untuk
memanfaatkan BMN tersebut sebelum berakhirnya tahun ketiga sejak BMN tersebut
dinyatakan idle.146Hakikat pemberian kesempatan kepada pengguna barang untuk
memanfaatkan Barang Milik Negara idle dimaksudkan agar dapat: 1. mengefektifkan
pemanfaatan Barang Milik Negara dalam arti seluruh BMN idle digunakan sepenuhnya untuk
mendukung pelayanan pemerintah kepada masyarakat; 2. mengefisiensi pengeluaran
keuangan negara baik dari biaya pengadaan maupun biaya pemeliharaan serta pengamanan;
3. mengoptimalisasi penerimaan keuangan negara dari pemanfaatan BMN idle dalam bentuk
sewa. Hal ini sangat diperlukan guna menjamin bahwa sumber daya yang terbatas dapat
dimanfaatkan secara maksimal dengan menekan biaya-biaya yang timbul seminimal
mungkin, sehingga pemanfaatan barang milik negara tersebut dapat 146
.PMK.No.250/PMK.06/2011, Pasal.3
137 memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi negara dan meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Maksud tersebut di atas didukung oleh Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.
27 Tahun 2014 Tentang pengelolaan Barang Milik Negara yang mengatur bahwa;
“pengelolaan Barang Milik Negara meliputi perencanaan kebutuhan dan penganggaran,
pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian,
pemindahtanganan, pemusnahan, penghapusan, penatausahaan, dan pembinaan, pengawasan
dan pengendalian, yang dilaksanakan ber dasarkan asas fungsional, kepastian hukum,
transparansi, efisiensi, akuntabilitas dan kepastian nilai”. Untuk mencapai tujuan tersebut di
atas, pengguna barang wajib melaporkan dan menyerahkan Barang Milik Negara idle kepada
pengelola barang agar pengelola barang dapat memanfaatkan Barang Milik Negara tersebut
untuk pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang membutuhkan atau
memanfaatkannya dalam bentuk sewa kepada pihak ketiga.147 Kewajiban pengguna barang
untuk menyerahkan Barang Milik Negara idle dikecualikan apabila pengguna barang
mempunyai rencana untuk menggunakan BMN idle tersebut sebelum berakhirnya tahun
ketiga dan dinyatakan melalui permohonan tertulis yang diajukan oleh pengguna
147.PMK.No.250/PMK.06/2011.Pasal 2
138 barang kepada pengelola barang terhitung sejak BMN tersebut terindikasi sebagai BMN
idle.148Pengecualian tersebut perlu diatur mengingat bahwa tidak semua tanah/bangunan
yang tidak digunakan pada saat ini adalah BMN idle, ada kemungkinan bahwa pengguna
barang karena telah memiliki rencana pemanfaatan atas BMN tersebut maka BMN yang
sebenarnya idle ikemudian dinyatakan oleh pengguna barang sebagai BMN tidak idle dan
mengusulkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian/Lembaga atau
memasukkannya dalam Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) dengan
tujuan agar tetap memperoleh anggaran pemeliharaan dari pemerintah ataupun karena
kewenangannya pengguna barang tidak melaporkan adanya BMN idle di
Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, sehingga pengguna barang dapat bebas
memanfaatkan BMN tersebut dengan cara menyewakannya kepada pihak ketiga tanpa
sepengetahuan pengelola barang. Kondisi tersebut di atas, sebagaimana yang dkemukakan
oleh Nur Huseng149 (Kepala seksii Pengelolaan BMN Kantor Pelayanan Kekayaan Negara
dan Lelang Jakarta IV) bahwa: “Meskipun Menteri Keuangan bertanggung jawab atas
pengelolaan Barang Milik Negara, namun penatapan status BMN pada
Kementerian/Lembaga apakah termasuk kategori idle atau bukan merupakan kewenangan
pengguna barang atas BMN di Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, sehingga ada
kemungkinan karena telah direncanakan untuk dimanfaatkan maka BMN tersebut dinyatakn
idle oleh pengguna barang, meskipun sebenarnya tidak idle”. 148 ,ibid
PMK.No.250/PMK.06/2011.Pasal 3 (2). 149.Hasil wawancara pada tanggal 8 Februari 2016.
139 Oleh karena Kementerian Keuangan selaku pengelola barang tidak mempunyai
kewenangan untuk menetapkan status BMN pada Kementerian/Lembaga apakah termasuk
dalam kategori idle atau bukan, dengan alasan bahwa tidak ada peraturan yang mengaturnya,
maka sebagai pengelola barang yang bertanggung jawab atas pengelolaan Barang Milik
Negara tidak mampu berbuat banyak apabila pengguna barang tidak melaporkan bahwa di
Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya terdapat BMN dalam kategori idle, sehingga
pengguna barang dapat dengan bebas memanfaatkan BMN idle tersebut, padahal dalam Pasal
2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 250/PMK. 06/2011 jelas diatur bahwa pengguna
barang wajib menyerahkan barang milik negara idle kepada pengelola barang. Artinya,
barang milik negara idle hanya boleh dimanfaatkan oleh pengguna barang setelah diserahkan
atau dilaporkan kepada pengelola barang. Salah satu alasan yang menyebabkan pengguna
barang tidak melaporkan dan menyerahkan BMN idle tersebut kepada pengelola barang,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad Nur, (Kepala bidang Tata Usaha
Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan150adalah: “Karena pengguna barang pada
saat sekarang belum membutuhkan penggunaan BMN idle dalam pelaksanaan tugas pokok
dan fungsinya, namun akan menggunakan BMN idle tersebut dalam pelaksanaan tugas pokok
dan fungsinya dimasa yang akan datang, sehingga apabila dilaporkan atau diserahkan ke
pengelola barang maka status penggunaan 150 . Hasil wawancara, tanggal 2 Mei 2017
140 akan dialihkan ke pengguna barang lain atau dimanfaatkan dalam bentuk sewa kepada
pihak ketiga, dan ditakutkan di masa depan akan sulit untuk mengadakan barang yang
dibutuhkan”. Pernyataan serupa dikemukakan oleh Hamdan, (Kasubag Umum Dinas
Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan)151 bahwa; “jika pengguna barang melaporkan atau
menyerahkan BMN idle kepada pengelola barang, maka pengguna barang akan kehilangan
kesempatan untuk menggunakan sendiri BMN idle tersebut jika sewaktu-waktu akan
digunakan”. Banyaknya jumlah BMN yang teridikasi idle namun tidak diserahkan kepada
pengelola barang dinyatakan oleh Sigit (staf Pengelolaan Barang Milik Negara, Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta IV) bahwa:152“Terdapat banyak BMN idle
namun tidak dilaporkan oleh pengguna barang, sehingga pengelola barang tidak dapat
memanfaatkan BMN tersebut baik terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga maupun dimanfaatkan oleh pihak ketiga dalam bentuk sewa, karena
BMN yang dapat dimanfaatkan adalah BMN idleyang telah diserahkan kepada pengelola
barang”. Data mengenai BMN idle yang tidak dilaporkan kepada pengelola barang dapat
dilihat pada tabel 1 berikut ini. 151 . Hasil wawancara, tanggal 11 Mei 2017 152 .Hasil
wawancara, tanggal 9 Februari 2016

141 Tabel 1 : Data BMN Idle yang tidak dilaporkan kepada pengelola barang Pada 5 (lima)
Kementerian/Lembaga.153NOKementerian/ Lembaga Jenis BMN IDLE Luas 1
Kemen.Pendidikan dan Kebudayaan 4 bidangTanah 20.874 m2 2 Mahkamah Agung 2
bidangTanah/bgn 14.287 m2/ 8 3 Kemen.Perum.Rakyat 6 bidangTanah 32.572 m2 4
Kemen.Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 3 bidangTanah 18.427 m2
5 Badan Pengkajian dan penerapan Tekhnologi 6 bidang Tanah/bgn 42,81 m2/ 6 Sumber :
Laporan Barang Milik Negara (LBMN) pada 5 (lima) Kementerian/Lembaga Tahun 2010-
2015, diolah oleh Kementerian Keuangan Data pada tabel tersebut di atas, menunjukkan
bahwa BMN idlemenurut Laporan Barang Milik Negara (LBMN) pada 5 (lima)
Kementerian/Lemabag, sebanyak 15 bidang tanah seluas 128.97 m2 dan 14 unit bangunan,
dan semuanya belum dilaporkan kepada pengelola barang. Data tersebut belum termasuk
BMN yang terindikasi idle pada aplikasi Sistem Informasi Manajemen Akuntansi Terpadu
(SIMANTAP) sebanyak 554 bidang tanah, dan yang tidak diinput statusnya sampai dengan
31 Desember 2016 sebanyak 5.263 bidang tanah seluas 298.444.199,00 m2.154 BMN idle
yang sudah tercatat dalam Laporan Barang Milik Negara (LBMN) pada 5 (lima)
Kementerian/Lembaga, seharusnya sudah dimanfaatkan oleh pengelola barang untuk
Kementerian/Lembaga yang 153 .Laporan Barang Milik Negara (LBMN) pada 5 (lima)
Kementerian/Lembaga Tahun 2010-2015. 154 .Data diperoleh dari Hasil Penelitian pada
Kantor Pusat DJKN Jakarta, tanggal 16 Februar

143 yang dimilikinya untuk memanfaatkan BMN idle berdasarkan peraturan yang telah ada,
sepertidari hasil inventarisasi dan identifikasi BMN idle yang meliputi hasil pelaksanaan
pengawasan dan pengendalian oleh pengelola barang, laporan dari pengguna barang/kuasa
pengguna barang, hasil penertiban BMN, laporan barang pengguna/kuasa pengguna
semesteran dan tahunan, laporan rekapitulasi hasil inventarisasi dari Kementerian/Lembaga,
laporan hasil audit aparat pengawas fungsional pemerintah, informasi dari media massa, baik
cetak maupun elektronik, dan/atau laporan masyarakat,156 namun demikian, kewenangan
tersebut belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh pengelola barang untuk menetapkan adanya
BMN idle, karena selama ini DJKN sebagai pelaksana fungsional atas sebagian kewenangan
Menteri Keuangan dalam pengelolaan BMN baru menggunakan laporan pengguna
barang/kuasa pengguna barang untuk menetapkan status BMN idle, sehingga tidak
mengetahui apakah semua pengguna barang telah melaporkan BMN idle kepada pengelola
barang.157 Agar kewenangan tersebut di atas, dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh
pengelola barang dalam menetapkan adanya BMN idle, maka menurut hemat penulis
seharusnya pengelola barang menindaklanjutinya dengan melakukan konfirmasi tertulis,
pemantauan, penelitian, dan apabila diperlukan dapat melakukan investigasi. Apabila hasil
konfirmasi menunjukkan bahwa BMN tersebut benar adalah BMN idle maka 156 .Op. Cit.
PMK. 250/PMK.06/2011. Pasal 6 157 . Hasil Penelitian Pada Kanwil DJKN Sulselbartra,
tanggal 4 April 2016
144 dilakukan penetapan yang ditindaklanjuti dengan serah terima BMN antara pengguna
barang dan pengelola barang, namun apabila hasil konfirmasi menyimpulkan bahwa BMN
tersebut bukan dikategorikan sebagai BMN idle, maka harus disampaikan kepada pengguna
barang. Prosedur tersebut di atas juga telah diatur dalam Pasal 4 (2) PMK No .250/PMK
.06/2011, yang memberi kewenangan dan tanggung jawab kepada pengelola barang untuk
menindaklanjutu segala sumber informasi terkait BMN idle dalam hal:158a. meminta
klarifikasi tertulis terhadap pengguna barang/kuasa pengguna barang. b. melakukan
investigasi terhadap penggunaan dan pemanfaatan BMN yang terindikasi sebagai BMN idle.
c. melakukan penelitian terhadap informasi dan klarifikasi tertulis pengguna barang/kuasa
pengguna barang d. menetapkan BMN sebagai BMN idle. e. melakukan pengecekan
administratif dan pengecekan fisik atas BMN idle yang akan diserahkan oleh pengguna
barang. f. mengenakan dan mencabut sanksi kepada pengguna barang. g. melakukan
penatausahaan BMN idle h. melakukan pengawasan, pengendalian, pengamanan dan
pemeliharaan terhadap BMN idle yang telah diserahkan oleh pengguna barang. i. menyusun
dan mengelola anggaran pengamanan dan pemeliharaan BMN idle. j. melakukan penetapan
status penggunaan, pemanfaatan, atau pemindahtanganan atas BMN idle;dan k. melakukan
penghapusan BMN idle. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian penulis, kewenangan
dan tanggung jawab pengelola barang terhadap BMN idle belum terlaksana dengan baik,
karena selain belum memanfaatkan segala sumber informasi yang ada terkait adanya BMN
idle, pengelola barang 158 .OP.Cit.PMK.N0.250/PMK.06/2011.Pasal 4 (2)
145 seringkali tidak menindaklanjuti adanya laporan dari pengguna barang mengenai adanya
BMN idle. Alasannya adalahi tidak ada ketentuan yang mengatur secara tegas pengelola
barang untuk lebih proaktif dalam mengidentifikasi BMN idle. Selain itu belum ada
ketentuan yang mengatur pengguna barang untuk melakukan inventarisasi BMN idle, belum
ada monitoring dari pengelola barang, demikian pula sampai saat ini tidak pernah
diberlakukan sanksi bagi pengguna barang apabila tidak melaporkan adanya BMN idle pada
Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, padahal Pasal 27 PMK No. 250/PMK. 06/2011
dengan jelas mengatur mengenai sanksi bagi pengguna barang yang tidak menyerahkan BMN
yang ditetapkan sebagai BMN idle berupa:1591. Pembekuan dana pemeliharaan BMN atas
tanah dan/atau bangunan yang telah ditetapkan sebagi BMN idle. 2. Penundaan penyelesaian
atas usul pemanfaatan BMN yang diajukan oleh pengguna barang. Kenyataan tersebut di atas,
menurut hemat penulis menunjukkan bahwa Kementerian Keuangan sebagai pengelola
barang hanya pasif dalam hal pemanfaatan Barang Milik Negara idle sehingga ada
kecenderungan pemanfaatan Barang Milik Negara tidak efektif, hal ini nampak terhadap
banyaknya jumlah BMN idle yang tidak diserahkan oleh Kementerian/Lembaga kepada
pengelola barang seperti yang diuraikan 159.op.cit, PMK.No.250/PMK.06/2011. Pasal 27
146 pada tabel 1 (satu) di atas. Kondisi tersebut dipertegas oleh Hariyanto, (Kasi Penilaian
BMN, KPKNL Makassar) bahwa;160” “Pemanfaatan BMN idle belum efektif dilaksanakan,
karena selain adanya kewenangan yang begitu luas bagi pengguna barang untuk menentukan
sendiri status BMN yang ada dalam penguasaannya, juga jumlah BMN yang terlalu banyak,
sementara Kementerian Keuangan selaku pengelola barang belum merampungkan
inventarisasi seluruh jumlah BMN yang ada di seluruh Kementerian/Lembaga”. Padahal
sebagai pengelola barang Menteri Keuangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
PP. No. 27 Tahun 2014 berwenang dan bertanggung jawab dalam hal :161a. Merumuskan
kebijakan, mengatur, dan menetapkan pedoman pengelolaan Barang Milik Negara; b.
Meneliti dan menyetujui rencana kebutuhan Barang Milik negara; c. Menetapkan status
penguasaan dan penggunaan Barang Milik Negara; d. Mengajukan usul pemindahtanganan
Brang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan yang memerlukan persetujuan Dewan
perwakilan Rakyat. e. Memberikan keputusan atas usul pemindahtanganan Barang Milik
Negara yang berada pada pengelola Barang yang tidakmemerlukan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat sepanjang dalam batas kewenangan menteri Keuangan. f. Memberikan
pertimbangan dan meneruskan usul pemindahtanganan Barang Milik Negara yang tidak
memerlukan persetujuan Dewan perwakilan Rakyat kepada Presiden; g. Memberikan
persetujuan atas usul pemindahtanganan Barang Milik Negara yang berada pada pengelola
barang yang tidakmemerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sepanjang dalam batas
kewenangan Menteri Keuangan; h. Menetapkan penggunaan, pemanfaatan, atau
pemindahtanganan Barang Milik Negara yang berada pada pengelola barang; 160 . Hasil
wawancara, Tanggal 2 April 2016 161 .Op.Cit.PP.No.27 Tahun 2014.
147 i. Memberikan persetujuan atas usul pemanfaatan Barang Milik Negara yang berada pada
pengguna barang; j. Memberikan persetujuan atas usul pemusnahan dan penghapusan Barang
Milik Negara; k. Melakukan kordinasi dalam pelaksanaan Inventarisasi Barang Milk Negara
dan menghimpun hasil Inventarisasi; l. Menyusun laporan Barang Milik Negara; m.
Melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan Barang Milik
Negara, dan n. Menyusun dan mempersiapkan laporan rekapitulasi Barang Milik
Negara/Daerah kepada presiden. Kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan kepada
Menteri Keuangan, ternyata tidak membawa dampak yang signifikan terhadap pemanfaatan
BMN idle khususnya pemanfaatan yang berupa sewa menyewa, karena dalam
pelaksanaannya pemanfaatan BMN idle berupa tanah dan bangunan bagi
Kementerian/Lembaga yang membutuhkan baru sekitar 10% dari total BMN idle dan BMN
yang teridentifikasi idle dan telah diserahkan kepada pengelola barang.162 Demikian pula
dalam hal pemanfaatan BMN idle dalam bentuk sewa, dalam berbagai kasus seringkali
mengabaikan prosedur sewa menyewa sebagaimana yang diatur dalam PMK.
No.57/PMK.06/2016.. Kondisi tersebut menurut hemat penulis mengharuskan PP. No. 27
Taun 2014 Jo Peraturan Menteri Keuangan No. 250/PMK .06/2011 Tentang Tata Cara
Pengelolaan Barang Milik Negara Idle didukung dari sisi kebijakan dengan tidak
memberikan kewenangan yang begitu luas kepada pengguna barang untuk memanfaatkan
sendiri BMN yang berada dalam penguasaannya, 162 . Hasil Penelitian Pada Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Makassar, tanggal 10 April 2016
148 melainkan menjadi suatu keharusan bagi pengguna barang untuk segera memberi laporan
secara tertulis mengenai adanya BMNidle kepada pengelola barang. Sebaliknya pengelola
barang harus lebih aktif memonitoring dan menginventarisir seluruh BMN yang ada pada
Kementerian/Lembaga, dengan demikian keberadan BMN idle lebih mudah diketahui oleh
pengelola barang. 2.Efisiensi Pengeluaran Keuangan Negara. Dalam rangka akuntabilitas
penataan keuangan negara, maka penyusunan keuangan negara harus mengacu pada norma
dan prinsip efisiensi pengeluaran keuangan negara. Efisiensi pengeluaran keuangan negara
dimaknai bahwa dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat
menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan
masyarakat.163 Pengertian efisiensi menurut Mulyamah dalam Arifin P.Soeria Atmadja,164
adalah merupakan suatu ukuran dalam membandingkan rencana penggunaan masukan
dengan penggunaan yang direalisasikan. Sedangkan menurut SP.Hasibuan,165efisiensi
adalah perbandingan yang terbaik antara input (masukan) dan output (hasil antara keuntungan
dengan sumber-sumber yang dipergunakan), seperti halnya juga hasil optimal yang dicapai
dengan penggunaan sumber yang terbatas. 163 .www.stialan.ac.id > artikel.Akuntabilitas
Keuangan Negara- STIA LAN Jakarta. 164 .Arifin P.Soeria Atmadja.(2013). Keuangan
Publik dalam Perspektif Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.3 165 .ibid.Arifin
P.Soeria Atmadja, hal.5
149 Sedangkan pengertian efisiensi yang penulis maksudkan dalam desertasi ini adalah tidak
untuk membandingkan antara input dan output, akan tetapi lebih pada berkurangnya atau
ditiadakannya alokasi atau realisasi pembiayaan negara melalui APBN, namun seluruh
kegiatan tersebut tetap dapat direalisasikan, artinya efisiensi pembiayaan yang semula
dibebankan kepada negara melalui APBN menjadi beban pihak lain, seperti dalam
pemanfaatan BMN idle yang tidak dipergunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga kemudian dialihkan kepada Kementerian/Lembaga yang
membutuhkan sehingga dapat mengurangi anggaran pada pos-pos pengeluaran APBN, seperti
pada biaya pengadaan BMN baru. Demikian pula efisiensi terhadap biaya pemeliharaan dan
biaya pengamanan BMN dialihkan kepada pihak ketiga selaku mitra pemerintah melalui
bentuk-bentuk pemanfaatan BMN idle dengan cara sewa, sehingga pemerintah tidak perlu
lagi menganggarkan dana untuk biaya pemeliharaan, biaya pengamanan, maupun biaya
renovasi karena biaya-biaya itu sudah menjadi tanggung jawab pihak ketiga sebagai
penyewa. Prinsif efisiensi pengeluaran keuangan negara harus mempertimbangkan dua hal
yaitu:1661. Accountability, akuntabilitas pengeluaran keuangan negara adalah kewajiban
pemerintah untuk memberikan pertanggungjawaban, 166.Mc Kinney, Jerome B.1986.
Effektive Financial Management In Public an Non Profit Agencia A Pratical and Integrated
Approach. Connecticut:Greenwood Press Inc.hlm.224
150 menyajikan dan melaporkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait atas penggunaan
uang publik kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut (DPR dan masyarakat luas). Aspek penting yang harus
dipertimbangkan oleh para manajer pemerintah adalah:a) Aspek legalitas pengeluaran negara
yaitu setiap transaksi pengeluaran yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas legalnya; b)
Pengelolaan (stewardship) atas pengeluaran negara yang baik, perlindungan aset fisik dan
finansial, mencegah terjadinya pemborosan dan salah urus. Adapun prinsip-prinsip
akuntabilitas pengeluaran negara adalah: 1) Adanya sistem akuntansi dan sistem kemampuan
negara yang dapat menjamin bahwa pengeluaran negara dilakukan secara konsisten sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) Pengeluaran negara yang dilakukan
dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan; dan, 3)
Pengeluaran negara yang dilakukan dapat berorientasi pada pencapaian visi, misi, hasil dan
manfaat yang akan diperoleh. 2. Value for Money, pengeluaran negara harus berdasarkan
konsep value for maney, yaitu: a) Ekonomi, adalah praktek pembelian barang dan jasa pada
kualitas yang diinginkan dan pada harga terbaik yang memungkinkan. Sesuatu kegiatan
operasional dikatakan ekonomis bila dapat menghilangkan atau mengurangi biaya yang
dianggap tidak perlu; b) Efisiensi, yaitu rasio yang membandingkan antara output yang
dihasilkan terhadap input yang digunakan. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan
dilakukan secara efisien apabila suatu target kinerja tertentu dapat dicapai dengan
menggunakan sumber daya dan biaya yang serendah-rendahnya; dan, c) efektivitas. Yaitu
merupakan kaitan atau hubungan antara keluaran suatu pusat pertanggungjawaban dengan
tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Efektivitas dalam pemerintahan dapat diartikan
penyelesaian kegiatan tepat pada waktunya dan di dalam batas anggaran yang tersedia. Kedua
prinsip tersebut di atas menurut hemat penulis berkaitan erat dengan apa yang telah diatur
dalam Pasal 3 ayat (1) PP. No .27 Tahun 2014 bahwa; “Pengelolaan Barang Milik Negara
dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi,
akuntabilitas dan kepastian nilai. Artinya, bahwa setiap pengadaan barang milik negara sudah
pasti akan menyerap anggaran yang begitu besar, dan tentunya anggaran tersebut berasal dari
APBN, sehingga pengadaan tersebut harus jelas peruntukannya, transparan dari segi
pengadaannya serta mempunyai aspek legalitas dari segi hukum. Demikian pula terhadap
aspek ekonomis atas pengadaan barang milik negara tentunya harus tetap diperhatikan agar
jangan sampai membebani keuangan negara. Misalnya, gedung atau bangunan yang telah
dibangun seharusnya dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk tugas pokok Kementerian/
Lembaga, dan jika tidak digunakan oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan maka
seharusnya dialihkan untuk Kementerian/Lembaga 153 yang tidak dikelola secara profesional
sebagaimana dijumpai dalam manajemen sektor swasta, sehingga ada keinginan untuk
memasukkan kerangka kerja sektor swasta ke dalam sektor publik di mana nilai-nilai
akuntabilitas, profesionalisme, transparansi, dan economic of scalemenjadi kerangka kerja
utmanya Setiap tahun trilyunan rupiah disediakan untuk pengadaan barang dan jasa yang
akan digunakan untuk menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga.168
Namun berapa BMN hasil dari pengadaan barang dan jasa yang dapat dimanfaatkan secara
efisien dan efektif, serta apakah BMN tersebut sudah bermanfaat atau tidak dalam rangka
menunjang pelaksanaan tugas pokok Kementerian/Lembaga.169 Pertanyaan tersebut di atas
merupakan gambaran umum yang ada pada Kementerian/Lembaga yang kurang
memerhatikan dan menganalisis kemanfaatan dari suatu pengadaan Barang Milik Negara,
padahal Barang Milik Negara yang kurang maksimal dalam penggunaannya akan menjadi
suatu pemborosan karena membebani negara baik dari segi pengadaan maupun pemeliharaan.
Kondisi tersebut semakin terasa ketika negara melakukan penghematan di berbagai bidang
untuk membiayai roda pemerintahan yang membutuhkan anggaran yang besar dari tahun ke
tahun. Untuk menghindari pemborosan perlu diadakan pembatasan-pembatasan kebutuhan
terhadap pengadaan barang dan jasa dengan menentukan secara tepat mengenai tipe dan
spesifikasi barang atau jasa yang dibutuhkan oleh 168 .Media Keuangan Negara,
Transparansi Informasi Kebijaka Fiskal, Voume VIII No. 71/ Juli 2013, Hal.10 169 .Ibid

154 suatu Kementerian/Lembaga melalui suatu perencanaan kebutuhan dan penganggaran,


disamping mengoptimalkan pemanfaatan Barang Milik Negara yang teridikasi idle.
Perencanaan kebutuhan dan penganggaran sebagai salah satu siklus pengelolaan Barang
Milik Negara yang memegang peranan penting dalam rangka menghindari pemborosan
keuangan negara adalah:170 kegiatan merumuskan rincian kebutuhan Barang Milik Negara
untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang
berjalan sebagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang dalam rangka pencapaian
efisiensi dan efektifitas pengelolaan Barang Milik Negara. Hasil perencanaan kebutuhan
tersebut merupakan salah satu dasar dalam penyusunan neraca anggaran pada kementerian
/lembaga. Perencanaan anggaran yang mencerminkan kebutuhan riil Barang Milik Negara
selanjutnya menentukan pencapaian tujuan pengadaan barang yang diperlukan dalam rangka
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintah171. Pasal 9 ayat (1) PP.No.27 Tahun
2014 mengatur bahwa;172” Perencanaan kebutuhan Barang Milik Negara disusun dalam
neraca kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja setelah memperhatikan
ketersediaan barang milik negara yang ada dengan berpedoman pada standar barang, standar
kebutuhan, dan standar harga 170 .Op.Cit. PP.No 27 Tahun 2014, Pasal 1 Ayat (8) 171
.Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara. 172 .Pasal 9 ayat (1) PP .No. 27 Tahun 2014
155 yang ditetapkan oleh pengelola barang setelah berkordinasi dengan instansi atau dinas
tekhnis terkait”. Sedangkan dalam Pasal 10 ayat (1) PP.No.27 Tahun 2014 mengatur
bahwa;173 “Pengguna barang menghimpun usul rencana kebutuhanbarang yang diajukan
oleh kuasa pengguna barang yang berada di bawah lingkungannya, dan selanjutnya
menyampaikan usul rencana kebutuhan barang milik negara kepada pengelola barang”.
Selanjutnya Pasal 10 ayat (2) PP. No. 27 Tahun 2014 mengatur bahwa;174 “Pengelola barang
beserta pengguna barang membahas usul tersebut dengan memerhatikan data barang pada
pengguna barang dan/atau pengelola barang untuk ditetapkan sebagai Rencana Kebutuhan
Barang Milik Negara (RKBMN). Perencanaan kebutuhan dan penganggaran BMN
merupakan hal yang sangat penting, karena perencanaan ini memungkinkan
Kementerian/Lembaga melakukan efisiensi belanja pemeliharaan dan belanja modal serta
optimalisasi penerimaan melalui identifikasi potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) dari pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN idle. Namun DJKN yang merupakan
salah satu unit eselon satu pada Kementerian Keuangan yang diberi wewenang untuk
mengelola Barang Milik Negara baru memulai perannya sebagai pengelola barang pada
lingkup penggunaan Barang Milik Negara, sementara dalam lingkup perencanaan kebutuhan
dan penganggaran, serta pengadaan, sampai saat ini DJKN tidak diberi wewenang apapun
173. Pasal 10 ayat (1) PP.No.27 Tahun 2014 174 . Pasal 10 ayat (2) PP. No.27 Tahun 2014
156 untuk intervensi. Hal ini berarti DJKN sama sekali tidak dilibatkan dalam proses
perencanaan dan penganggaran barang milik negara yang mengakibatkan DJKN tidak
mengetahui berapa barang milik negara yang dibutuhkan oleh kementerian/lembaga, dan
berapa jumlah barang milik negara yang telah dimanfaatkan oleh Kementerian/Lembaga yang
bersangkutan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan pemborosan keuangan negara baik dari
segi pengadaan maupun pemeliharaan. Proses perencanaan kebutuhan dan penganggaran
Barang Milik Negara selama ini dirumuskan sendiri oleh pengguna barang (dalam hal ini
adalah Kementerian/Lembaga masing-masing), dan persetujuan penganggarannya dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan. Implikasinya, tidak ada
mekanisme kontrol yang memadai terhadap Kementerian/ Lembaga dalam merumuskan
barang apa saja yang memang benar-benar Kementerian/ Lembaga itu butuhkan. Kondisi ini
mengakibatkan adanya Kementerian/ Lembaga yang memiliki tanah/bangunan yang berlebih
(idle) dan tidak digunakan untuk tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga, sementara terdapat
pula Kementerian/ Lembaga yang masih menyewa ruang kerja kepada pihak ketiga. Hal ini
tentu saja akan berdampak pada terjadinya inefektivitas, inefisiensi, dan tidak optimalnya
pengelolaan Barang Milik Negara. Alokasi anggaran dan realisasi belanja modal dan belanja
barang mengalami peningkatan selama kurung waktu 5 (lima) tahun terakhir. Belanja modal
mengalami peningkatan dari Rp.29,17 (11,10%) triliun pada
157 tahun anggaran 2010 menjadi Rp. 75,87 (28,88%) trilyun pada tahun anggaran 2015.
Sedangkan belanja barang juga menunjukkan peningkatan dari Rp. 32.89 (10,76%) trilyun
pada tahun anggaran 2010 menjadi Rp. 80,67 (26,40%) trilyun pada tahun anggaran 2015.
Peningkatan tersebut mengharuskan Kementerian/Lembaga melakukan efisiensi angaran
pemeliharaan dan pengadaan BMN, dengan mengoptimalkan potensi penerimaan negara
melalui pemanfaatan BMN idle yang ada pada pengguna barang.175 Pemanfaatan Barang
Milik Negara sebagai cara lain untuk mengefisiensi pengeluaran negara dilakukan terhadap
Barang Milik Negara idle. Pemanfaatan tersebut dapat dilakukan dengan cara
menyewakannya kepada pihak ketiga atau dimanfaatkan oleh Kementerian/Lembaga yang
membutuhkan, karena pada faktanya terdapat Kementerian/Lembaga yang mempunyai BMN
berlebih (idle), namun terdapat pula Kementerian/Lembaga yang masih menyewa ruang kerja
kepada pihak ketiga. Untuk hal ini, pengelola barang harus menempatkan posisinya dalam
mengalokasikan BMN idle kepada Kementerian/ Lembaga yang membutuhkan, sehingga
Kementerian/ Lembaga yang bersangkutan tidak perlu mengalokasikan dana untuk
pembangunan gedung baru. Hal ini tentu saja dapat berdampak terhadap efisiensi
pengeluaran, karena selain mengurangi biaya pemeliharaan juga dapat meminimalisir
pembangunan gedung baru. 175 .Hasil Penelitian Pada Kantor Pusat DJKN Jakarta, Tanggal
11 Februari 2016.
158 Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian awal
penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun pengelola barang telah mengetahui mengenai
adanya BMN idle, namun pengelola barang belum dapat memanfaatkan BMN idle tersebut
baik dalam bentuk sewa maupun memberikannya pada Kementerian/Lembaga yang
membutuhkan karena pengguna barang belum melaporkannya sebagai BMN idle, atau
pengguna barang telah melaporkan kepada pengelola barang namun karena pengguna barang
sudah mempunyai rencana pemanfaatan terhadap BMN idle tersebut sebelum berakhirnya
tahun ketiga sejak dinyatakan terindikasi idle, maka pengelola barang harus memberikan
kesempatan tersebut kepada pengguna barang. Kondisi ini tentu saja belum bisa
mengefisiensi pengeluaran negara karena selain BMN idle tersebut masih membutuhkan
biaya pemeliharaan, juga alokasi anggaran untuk pembangunan gedung baru tidak dapat
dihindarkan. Menurut Marwan Hamdal (Kasi Pengelolaan BMN, Kantor Pelayanan Kekayan
Negara Dan Lelang Makassar) bahwa:176“Seandainya pengguna barang tidak mempunyai
rencanapemanfaatan terhadap BMN idle, maka pengelola barang dapat memanfaatkan BMN
tersebut untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang membutuhkan,
sehingga dari pemanfaatan tersebut negara dapat menghemat biaya pemeliharaan dan belanja
modal untuk pembangunan gedung baru. Hal serupa juga dikemukakan oleh Edi Sugianto,
(Kepala Seksi Penilaian, KPKNL Makassar) bahwa:177176 .Hasil wawancara ,Tanggal 11
Maret 2016. 177 .Hasil wawancara , Tanggal 13 Maret 2016.
159 “ Pengguna barang yang telah mempunyai rencana pemanfaatan BMN idle seharusnya
mengoptimalkan pemanfaatan BMN tersebut agar dapat menghemat anggaran pemeliharaan
dan belanja modal untuk pembangunan gedung baru bagi Kementerian/Lembaga yang status
masih menyewa”. Data mengenai BMN idle berupa tanah dan bangunan yang sudah
dilaporkan oleh pengguna barang yang ada pada 5 Kementerian/lembaga namun tidak
dimanfaatkan untuk pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Kementerian/Lembaga, dapat dilihat
pada tabel 2 berikut ini:178Tabel 2: Data BMN Idle yang telah dilaporkan oleh Pengguna
Barang kepada pengelola barang pada 5 (lima) Kementerian/Lembaga NoK./L Jns Bmn idle
Letak Lokasi Luas/ Unit Nilai dlm RP 1 Pertahanan (AU) Tanah Jl.U.Sumiharjao 50.000 m2
5 M 2 Hkm & Ham Tnh/Bgn L.P Kls I Mks/ Jl.S.Alauddin 30.000 m2/52.4M/1.5M 3
Kesehatan Tnh/Bgn RS.Haji/ JL.A.Kadir 15.000 m2/31.2M/900.Jt 4 Agama Tnh/Bgn Kanwil
Kemen. Agama 500 m2/2 1M/300 Jt 5 Perhubungan (Perhub Darat)
Tanah/BgnJl.P.Kemerdekaan1000 m2/3 2 M/300 Jt Total 96.500 m2/1311.6M2/ 2.9 M
Sumber: LBMN 5 Kementerian 2012-2015, diolah oleh Kementerian Keuangan Data pada
tabel 2 (dua) tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 3 tahun hanya ada 5
Kementerian yang telah melaporkan adanya BMN idle, masing-masing Kementerian
Pertahanan (Angkatan 178 .Sumber data, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) Makassar.

160 Udara) yang memiliki BMN idle berupa tanah dengan nilai Rp 5 miliar, Kementerian
Hukum Dan HAM memiliki BMN idle berupa tanah/bangunan dengan nilai Rp. 3,9 miliar,
Kementerian Kesehatan memiliki BMN idle berupa tanah/bangunan dengan nilai Rp. 2,1
miliar, Kementerian Agama yang memiliki BMN idle dengan nilai Rp.1,3 miliar,
Kementerian Perhubungan (Perhub.Darat) memiliki BMN idle dengan nilai Rp.2,3 miliar.
Total BMN idle berupa tanah yang ada pada 5 Kementerian adalah 96,500 m2 dengan nilai
Rp.11,6 miliar, dan BMN idle berupa bangunan sebanyak 13 unit dengan nilai Rp. 2,9 miliar.
Keseluruhan BMN idle tersebut masih dikuasai oleh pengguna barang, karena meskipun telah
dilaporkan idle namun pengguna barang telah mempunyai rencana pemanfaatan atas BMN
idle tersebut, sehingga dengan rencana itu pengelola barang tidak memasukkannya sebagai
kriteria BMN idle dan memberi kesempatan kepada pengguna barang untuk
memanfaatkannya sampai berakhirnya tahun ketiga sejak dinyatakan idle oleh pengguna
barang dan perencanaan itu sudah ada 1 Tahun sejak dinyatakan idle. Rencana pemanfaatan
yang dimaksudkan sebagaimana yang dikemukakan oleh Didin Ardiansyah, (Kasubag Umum
Dinas Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan)179 adalah untuk kebutuhan kantin dan
koperasi bagi pegawai Kementerian Perhubungan.

Kondisi tersebut di atas sebenarnya tidak perlu terjadi, apabila DJKN sebagai pelaksana
fungsional atas sebagian kewenangan Menteri Keuangan selaku pengelola barang
melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4
ayat (2) huruf b PMK No. 250/PMK. 06/2011 bahwa;36 “Pengelola barang berwenang dan
bertanggung jawab untuk melakukan investigasi terhadap penggunaan dan pemanfaatan
BMN yang terindikasi sebagai BMN idle.” Selanjutnya Pasal 9 ayat (1) PMK .No. 250/PMK.
06/2011 mengatur bahwa:37 “Pengelola barang melakukan pemantauan terhadap realisasi
pelaksanaan perencanaan pemanfaatan sesuai klarifikasi tertulis pengguna barang/kuasa
pengguna barang”. Pemantauan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) PMK.
NO. 250/PMK. 06/2011, lebih lanjut diatur pada ayat (2) huruf a dan b bahwa pemantauan
antara lain dilakukan melalui cara:
a. Meminta laporan perkembagan realisasi pelaksanaan perencanaan, termasuk dokumen
terkait yang diperlukan.
b. Melakukan pemantauan secara langsung dalam bentuk peninjauan lapangan. Faktanya
adalah, pengelola barang telah memberikan kewenangan dan tanggung jawab sepenuhnya
kepada pengguna barang atas rencana pemanfaatan BMN idle yang dilaporkan oleh pengguna
barang, sehingga dengan kewenangan tersebut pengguna barang seolah-olah memiliki
kekuasan penuh atas pemanfaatan BMN idle yang ada pada Kementerian/Lembaga
bersangkutan, sementara monitoring dan pengawasan dari pengelola barang tidak berjalan
sebagaimana mestinya, serta tidak ada peraturan yang mengatur mengenai keharusan bagi
pengguna barang untuk melaporkan segala hal yang menyangkut pemanfaatan BMN idle,
sehingga rencana pemanfaatan BMN idle banyak disalahgunakan oleh pengguna barang
seperti:
(1) Menyewakan BMN idle tersebut kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan pengelola
barang. Misalnya, BMN idle berupa tanah dengan luas 20.000 m2 milik Kementerian
Pertahanan (AU) yang letaknya di JL Perintis kemerdekaan 18 Makassar,di sewakan kepada
pedagang kaki lima. Demikian pula BMN idle berupa tanah dan bangunan di lingkungan eks
Asrama Haji Kanwil Kementerian Agama Jl. Perintis Kemerdekaan 16 Makassar Provinsi
Sulawesi Selatan, disewakan kepada Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Furqan milik
Kementerian Agama.
(2) Menetapkan tarif sewa yang jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari tarif yang
ditetapkan dalam prosedur sewa menyewa sebagaimana yang diatur dalam PMK .No.
57/PMK. 06/2016 Tentang Tata Cara Sewa Menyewa Barang Milik Negara, misalnya, tarif
sewa BMN ditetapkan sebesar Rp. 42.000.000,00, sementara tarif sewa berupa tanah yang
ada di lokasi penyewaan BMN tersebut sekitar 50-55 juta pertahun dengan luas yang sama.

36
Op.Cit.PMK No.250/PMK.06/2011. Pasal 4 Ayat (2) huruf b
37
Ibid.Pasal 9 Ayat (1). 184 .Ibid.ayat (2) huruf a dan b.
Artinya tarif BMN yang ditetapkan jauh lebih rendah dari harga pasar, sehingga potensi
kerugian negara sangat mungkin terjadi karena penetapan harga sewa yang rendah. Atau
sebaliknya menetapkan harga sewa yang jauh lebih tinggi dari harga pasar, seperti harga sewa
BMN ditetapkan sebesar Rp. 100.000.000, sementara harga pasaran yang ada di lokasi
penyewaan BMN tersebut sekitar 70-80 juta pertahun dengan luas yang sama, sehingga
potensi kerugian negara sangat mungkin terjadi, dimana tidak ada orang yang akan menyewa
karena harga sewanya jauh lebih tinggi dari harga pasar. Idealnya adalah penetapan tarif sewa
seharusnya menggunakan data pasar sebagai data pembanding, dengan tetap memperhatikan
situasi dan kondisi daerah, serta kelayakan BMN yang akan disewakan.
(3) Menggunakan biaya pemeliharaan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, sehingga
BMN idle yang rusak berat dibiarkan tanpa dilakukan perbaikan. Misalnya ada biaya
pemeliharaan yang dianggarkan untuk BMN idle pada Kementerian/Lembaga, tetapi biaya
pemeliharaan tersebut direvisi atau dipergunakan untuk kepentingan lain, seperti belanja
barang atau belanja tak terduga lainnya. Kondisii tersebut menyebabkan kerugian negara
yang sangat besar, karena selain BMN tersebut tidak dapat berkontribusi pada penerimaan
negara bukan pajak, juga tidak mampu mengefisiensi pengeluaran keuangan negara, bahkan
BMN idle tersebut tetap membebani negara dari segi pemeliharaan.

Menurut hemat penulis, seharusnya pengelola barang tidak lagi memberi kesempatan kepada
pengguna barang untuk merencanakan sendiri pemanfaatan BMN idle yang telah
dilaporkannya, akan tetapi pengelola barang mengambil alih BMN idle tersebut untuk
dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya seperti mengalihkan BMN idle
kepada Kementerian/ Lembaga yang membutuhkan, ataumemanfaatkan dalam bentuk sewa
kepada pihak ketiga, karena apabila pengguna barang masih diberi kesempatan untuk
merencanakan sendiri atas pemanfaatan BMN idle maka pengelola barang akan kesulitan
dalam melakukan kontrol terhadap BMN idle tersebut, hal ini disebabkan pengguna barang
tidak transparan dalam melakukan pemanfaatan BMN idle, demikian pula jika BMN idle
tersebut di sewakan kepada pihak ketiga hasilnya tidak dimasukkan ke kas negara sebagai
Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan juga apabila BMN idle telah habis masa
perencanaannya, ada kecenderungan pengelola barang kurang tegas untuk menarik kembali
BMN idle tersebut.

Optimalisasi Penerimaan Keuangan Negara


Pengertian optimal dalam disertasi ini dimaksudkan, semakin banyaknya penerimaan negara
yang dapat dihasilkan dari pengelolaan BMN sebagai implikasi dari optimalisasi pemanfaatan
BMN yang tidak digunakan atau sedang tidak digunakan untuk pelaksanaan pelayanan tugas
dan fungsi suatu Kementerian/Lembaga. Namun demikian, tidak berarti bahwa negara secara
nyata mengkomersialisasi BMN, melainkan mengoptimalkan penggunaan BMN yang sudah
ada dan sedang tidak digunakan dalam pelaksanaan pelayanan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga dengan sekaligus mengurangi beban negara dalam memelihara dan
mengamankan BMN, karena pada dasarnya efisiensi pengeluaran maupun optimalisasi
penerimaan negara yang dihasilkan dalam pengelolaan BMN merupakan refleksi dari
pelaksanaan fungsi pelayanan dan fungsi budgeter pengelolaan BMN. Pemanfaatan BMN
idle sebagai bagian dari pengelolaan BMN sebagaimana yang diatur dalamt PP .No. 27
Tahun 2014 dimaknai sebagai pendayagunaan BMN yang tidak dipergunakan sesuai dengan
tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, baik dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama
pemanfaatan, bangun serah guna, dan bangun guna serah dengan tidak mengubah status
kepemilikan. Hal penting yang perlu diketahui dalam definisi tersebut adalah terbukanya
suatu opsi bagi pemerintah dalam hal ini Kementerian/Lembaga selaku pengguna barang
untuk dapat meningkatkan potensi penerimaan negara melalui salah satu bentuk pemanfaatan
BMN tersebut. Sewa menyewa BMN sebagai salah satu bentuk pemanfaatan BMN yang akan
memberikan kontribusi besar bagi penerimaan negara merupakan suatu model dalam
pelaksanaan kemitraan bisnis antara pemerintah dengan pihak swasta. Kemitraan ini ditinjau
dari aspek ekonomi akan menguntungkan negara, selain berkurangnya biaya pemeliharaan
atas BMN, pemerintah juga diuntungkan dengan adanya kontribusi dalam bentuk sewa, juga
kontribusi dalam bentuk fasilitas sebagai hasil dari pelaksanaan sewa menyewa. Keuntungan
pemerintah apabila BMN disewakan kepada pihak ketiga selain adanya pemasukan negara
dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak, juga negara tidak perlu lagi mengeluarkan
biaya pemeliharaan atas BMN yang bersangkutan karena seluruh biaya pemeliharaan dan
pengamanan BMN akan ditanggung oleh pihak penyewa, hal ini telah diatur dalam Pasal 9
huruf c PMK.No.57/PMK.06/2016 bahwa; “Penyewa/ calon penyewa memiliki tanggung
jawab untuk melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN yang disewa selama jangka
waktu sewa.” Selanjutnya Pasal 45 ayat (3) PMK.No.57/PMK.06/2016 mengatur bahwa;”
Seluruh biaya pemeliharan termasuk biaya yang timbul dari pemakaian dan pemanfaatan
BMN menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pihak penyewa.” Demikian pula adanya
keuntungan bagi pemerintah dari segi kontribusi yang diberikan oleh penyewa berupa
fasilitas sebagai hasil dari pelaksanaan sewa BMN, karena tidak menutup kemungkinan
penyewa mengubah bentuk atau menambah bangunan BMN yang disewa sesuai dengan
selera atau keinginan penyewa, sehingga BMN yang semula bentuknya sangat sederhana bisa
menjadi lebih mewah, dan tentunya nilai ekonomis dari BMN tersebut akan bertambah, dan
perubahan atau tambahan bangunan yang dilakukan oleh penyewa menjadi BMN.
Ketentuan mengena hal tersebut diatur dalam Pasal 46 ayat (1) PMK. No. 57/PMK. 06/2016
bahwa; “Selama jangka waktu sewa, penyewa atas persetujuan pengelola barang/ pengguna
barang dapat mengubah bentuk BMN tanpa mengubah konstruksi dasar bangunan, dengan
ketentuan bagian yang ditambahkan pada bangunan tersebut menjadi BMN.”
Selanjutnya Pasal 46 ayat (2) PMK. No.57/PMK .06/2016 mengatur bahwa; “ Dalam hal
pengubahan bentuk BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan adanya
penambahan, bagian yang ditambahkan tersebut disertakan dalam Berita Acara Serah Terima
pada akhir sewa untuk ditetapkan menjadi BMN.” Pemberian kesempatan atas pemanfaatan
BMN idle kepada Kementerian/ Lembaga sebelum berakhirnya 3 tahun sejak dinyatakan idle,
bertujuan agar Kementerian/Lembaga sebagai pengguna barang dapat mengoptimalkan
pemanfaatan BMN idle tersebut, karena hasil dari pemanfaatan tersebut akan menjadi
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Namun pada saat ini, optimalisasi penerimaan
negara melalui pemanfaatan BMN idle belum menjadi perhatian utama bagi Kementerian/
Lembaga, penyebabnya tidak terlepas dari belum adanya keinginan dari para pengurus BMN
di tingkat Kementerian/Lembaga untuk melakukan penataan BMN idle melalui pengajuan
permohonan persetujuan atas pemanfaatan BMN idle yang ada di lingkungannya kepada
Menteri Keuangan dalam hal ini DJKN selaku pengelola barang.

“Tidak optimalnya penerimaan negara bukan pajak dari hasi sewa BMN, disebabkan
eksistensi DJKN sebagai pengelola barang milik negara masih relatif baru yang memulai
perannya sebagai pengelola barang milik negara masih dalam tahap inventarisasi dan
penilaian terhadap barang milik negara yang ada pada Kementerian atau lembaga.” Demikian
pula mekanisme penetapan BMN idle dan upaya pemanfaatannya masih belum optimal,
penyebabnya adalah BMN idle harus diserahkan kepada pengelola barang untuk dilakukan
upaya pengelolaan lebih lanjut. Namun, tidak semua Kementerian/Lembaga mematuhi
ketentuan ini.

Seringkali terdapat BMN yang secara de facto memang idle, namun oleh
Kementerian/Lembaga diklaim masih dibutuhkan untuk kegiatan operasional. Akibatnya
tentu saja BMN yang sesungguhnya idle terpaksa tidak didayagunakan oleh pengelola barang
secara optimal dalam bentuk apapun. Bahkan dengan adanya pemanfaatan BMN idle justru
dapat menimbulkan masalah bagi Kementrian/Lembaga yang telah melakukan pemanfaatan
BMN idle tanpa persetujuan DJKN selaku pengelola barang, karena dinilai tidak memberikan
kontribusi yang maksimal bagi negara serta tidak adanya kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan yang ada dibidang pengelolaan BMN.

Diketahui bahwa rata-rata Kementerian/Lembaga memiliki realisasi PNBP pemanfaatan


BMN-nya tidak konkruen dengan total aset tanah dan bangunan yang dimiliki, bahkan
cenderung realisasi PNBP-nya kecil padahal aset tanah dan gedungnya besar. Rendahnya
keuntungan yang secara langsung diperoleh dari pemanfaatan BMN idle oleh pemerintah
menunjukkan bahwa pemanfaatan BMN idle dengan cara sewa belum dapat memberikan
kontribusi yang optimal terhadap penerimaan negara bukan pajak.

Belum optimalnya PNBP dari aktivitas pemanfaatan BMN idle dengan cara sewa disebabkan
oleh karena “Kementerian/Lembaga tidak taat terhadap ketentuan perundang-undangan yang
berlaku, karena seringkali Kementrrian/Lembaga menyewakan BMN idle dengan tarif atau
prosedur yang tidak semestinya. Serta DJKN selaku pengelola barang terkesan bersifat
menunggu permohonan”.

“Salah satu hambatan utama dalam pemanfaatan BMN idle adalah tidak koperatifnya
Kementerian/Lembaga untuk menyerahkan BMN idle kepada pengelola barang.
Kementerian/Lembaga seringkali berupaya untuk menahan aset idle tersebut agar tetap
berada dalam penguasaannya, dampaknya peluang untuk dilakukannya upaya pemanfaatan
menjadi kecil, karena Kementerian/Lembaga dalam praktek memiliki kontrol yang amat
besar terhadap pemanfaatan BMN yang ada dalam kekuasaannya, sementara pengelola
barang bersifat cenderung pasif yakni baru akan bertindak apabila ada permohonan dari
Kementerian/lembaga.” Dominannya Kewenangan Kementerian/Lembaga selaku pengguna
barang dalam pemanfaatan BMN idle membutuhkan kontrol dan pengawasan yang memadai
dari pengelola barang. Dalam mengendalikan sistem tersebut, maka salah satu alternatif agar
kontrol dan pengawasan dapat berjalan adalah melalui upaya pemeriksaan secara rutin dan
kontinyu, karena dari semua tahap dalam siklus pengelolaan BMN, tahap pembinaan,
pengawasan, dan pengendalian merupakan hal yang paling tepat untuk menjaga agar
Kementerian/Lembaga benar-benar mengoptimalkan BMN yang ada dalam kekuasaannya.
Oleh karena itu, agar dapat mengoptimalisasi penerimaan negara, pemanfaatan BMN tidak
cukup apabila hanya mengedepankan aspek tertib hukum, tertib administrasi, dan tertib fisik
saja, tetapi harus mampu menunjang APBN,38 artinya BMN yang ada mampu memberikan
pendapatan sehingga berkontribusi pada pos penerimaan dalam APBN.
Peraturan tentang pemanfaatan BMN memang telah mengakomodir beberapa alternatif
pemanfaatan aset seperti sewa, bangun guna serah, bangun serah guna, dan kerjasama
pemanfaatan. Namun demikian, alternatif itu masih belum dilakukan secara optimal karena
DJKN selaku pengelola barang terkesan bersifat menunggu permohonan. Hal yang sangat
diharapkan adalah meningkatkan keuntungan dari pemanfaatan BMN idle, paling tidak,
keuntungan tersebut tidak terlalu tertinggal dari sektor komersil. Oleh karena itu, menurut
hemat penulis langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengoptimalkan PNBP adalah;
pertama memastikan agar Kementerian/lembaga aktif dan secara patuh mendayagunakan
BMN yang dimilikinya secara optimal melalui kegiatan pembinaan, pengawasan, dan

38
Media Kekayaan Negara, Mengukur Kinerja BMN Bangunan dan Gedung, Edisi No.06
Tahun II/2015. Hlm.22.
pengendalian oleh DJKN. Kedua, intensifikasi fungsi pengelolaan terhadap BMN idle,
dimana DJKN rutin melakukan pemeriksaan dokumen dan fisik BMN sehingga mempertajam
perannya dalam menetapkan BMN idle. Selain itu, hal lain yang perlu dilakukan adalah
komersialisasi BMN idle yang memiliki manfaat ekonomi, seperti dengan menerbitkan
portofolio BMN yang akan disewa, merumuskan target PNBP dari pemanfaatan BMN yang
juga dapat menjadi acuan Kementerian/Lembaga dalam penetapan indikator kinerja
pengelolaan BMN, serta secara aktif berupaya mendayagunakan BMN, seperti membuat
papan iklan atau pengumuman untuk BMN yang akan dimanfaatkan. Keempat penghapusan
BMN yang tak lagi memiliki nilai guna melalui pemindahtanganan atau pemusnahan.
Berdasarkan pembahasan dan hasil penelitian tersebut di atas, maka teori kebijakan publik
yang dikemukakan oleh Thomas Dye yang menyatakan bahwa kebijakan publik sebagai
sebuah pilihan yang diambil oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu, menurut hemat penulis tidak dapat dijadikan sebagai pisau analisis dalam
memecahkan rumusan masalah pertama, karena teori kebijakan publik yang dikemukakan
oleh Thomas Dye seolah-olah memberi kesan keraguan dan ketidakseriusan pemerintah
dalam melaksanakan pemanfaatan terhadap barang milik negara, dimana pemerintah masih
diberi pilihan untuk mengambil kebijakan atau tidak mengambil kebijakan, sementara dalam
faktanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemanfaatan barang milik
negara belum mampu mengakomodir segala persoalan yang muncul di lapangan, sehingga
mengharuskan pemerintah untuk segera mengambil kebijakan dalam mengatasi persoalan
yang ada karena barang milik negara merupakan salah satu sektor yang sangat potensial
dalam menyumbang APBN, sehingga pemerintah harus mempunyai kesungguhan, ketegasan
dan keyakinan dalam mengurusnya. Akan tetapi apabila teori kebijakan publik beriorentasi
pada sebuah keputusan dari berbagai aktor yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan
sebagaimana yang dikemukakan oleh William Jenkins, maka menurut hemat penulis teori
tersebut tepat untuk dijadikan sebagai pisau analisis, karena Kementerian Keuangan selaku
pengeloa barang dan pimpinan Kementerian/Lembaga selaku pengguna barang seharusnya
mempunyai misi dan visi yang sama dalam melaksanakan pemanfaatan terhadap barang milik
negara, dimana hasil dari pemanfaatan barang milik negara tersebut merupakan Penerimaan
Negara Bukan pajak yang dapat disumbangkan kedalam APBN.
B. Bentuk pengawasan Terhadap Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara dalam
Bentuk Sewa Menyewa.
1. Pengawasan Intenal Salah satu kegiatan pengelolaan barang milik negara adalah
pemanfaatan barang milik negara yang berkaitan erat dengan opini wajar tanpa pengecualian
(WTP) Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga maupun Laporan Keuangan pemerintah
pusat dan juga daerah, sehingga aspek-aspek yang terkait dalam pengelolaan barang milik
negara sudah seharusnya menjadi perhatian penting baik bagi instansi pemerintah pusat
maupun instansi pemerintah daerah.39 Terkait dengan hal tersebut, aspek pengawasan
terhadap pemanfaatan barang milik negara sebagai salah satu siklus dalam pengelolaan
barang milik negara memegang fungsi strategis dan urgen dalam mengoptimalisasi
pemanfaatan barang milik negara sebagai bagian dari keuangan negara.
Pasal 3 PP.N0.27 Tahun 2014 Tentang pengelolaan Barang Milik Negara mengatur bahwa
kegiatan pengelolaan barang milik negara meliputi kegiatan perencanaan kebutuhan dan
penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, penghapusan, pemindahtanganan,
penatausahaan, pembinaan dan pengawasan. Dari berbagai kegiatan tersebut beberapa
kegiatan sudah memiliki aturan pelaksanaan atau aturan tekhnis yang disusun oleh

39
Makalah Pengelolaan Barang Milik Negara, disampaikan dalam RAKERNAS Ke-2
Kementerian Keuangan RI, Di Bali Tanggal 25-29 Januari 2016.hlm.4
pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Keuangan. Aturan tekhnis tersebut berbentuk
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang memiliki lingkup mengatur instansi Pemerintah
Pusat. Khusus mengenai pengawasan pemanfaatan barang milik negara diatur dalam PMK.
Nomor 244/PMK.06/2012 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Barang Milik negara, yang
merupakan penjabaran dari Pasal 90 sampai dengan Pasal 95 PP. No .27 Tahun 2014 yang
mengatur masalah pengawasan dan pengendalian barang milik negara. Arti dari kegiatan
pengawasan tidak bisa didapatkan dari Peraturan Menteri Keuangan tersebut, sehingga arti
kata pengawasan hanya dapat diketahui dari beberapa referensi terkait dengan pengelolaan
keuangan maupun pengelolaan barang milik negara. Pengawasan barang milik negara
mengandung pengertian proses penetapan ukuran keberhasilan dan pengambilan tindakan
yang mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan berdasarkan aturan yang berlaku dalam rangka terwujudnya manajemen aset yang
baik. Intinya adalah bahwa kegiatan pengawasan merupakan proses untuk menetapkan
ukuran kinerja dan mengambil tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang
diharapkan sesuai dengan kinerja yang yang telah ditetapkan.
Pengertian pengawasan barang milik negara sebagaimana yang dikemukakan di atas
mengandung dua hal penting yakni sasaran pengawasan BMN dan substansi dari tujuan
pengawasan BMN. Sasaran pengawasan BMN yaitu “proses penetapan ukuran keberhasilan
BMN serta pengambilan tindakan yang mendukung pencapaian hasil yang diharapkan”,
sedangkan substansi dari tujuan pengawasan BMN yaitu “tercapainya tujuan pengelolaan
BMN yang telah ditetapkan sesuai dengan aturan yang berlaku dalam rangka terwujudnya
manajemen aset”. Kegiatan pelaksanaan pengawasan barang milik negara berdasarkan
PMK.Nomor 244/PMK .06/2012 dilaksanakan terhadap pengelolaan barang milik negara dan
terhadap pejabat/pegawai yang melakukan pengelolaan/pengurusan barang milik negara,
sehingga di dalam PMK ini dibedakan menjadi dua garis besar terkait pelaksanaan
pengawasan, yaitu pelaksanaan pengawasan dalam lingkup wewenang pengelola barang,
serta pelaksanaan pengawasan dalam lingkup wewenang dan kewajiban sebagai pengguna
barang/kuasa pengguna barang, Kedua pelaksanaan pengawasan inilah yang dimaksud dalam
disertasi ini sebagai bentuk pengawasan internal, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh
aparat dalam organisasi itu sendiri, dalam hal pemanfaatan barang milik negara maka
pengelola barang/ dan pengguna barang/kuasa pengguna barang sebagai pihak pengawas
internal yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pemanfaatan barang milik negara,
serta pengawas internal pemerintah yang berasal dari Inspektorat Jenderal (IRJEN) masing-
masing Kementerian/lembaga. a. Pengawasan oleh Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna
Barang Pengguna barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang milik
Negara. Menteri/Pimpinan lembaga selaku pimpinan Kementerian/Lembaga adalah pengguna
barang milik negara berwenang dan bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan atas
penggunaan barang milik negara yang berada dalam penguasaannya. Kuasa Pengguna Barang
adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk
menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya dan
selanjutnya disebut sebagai pengawas internal dalam hal pemanfaatan barang milik negara
dilakukan terhadap barang milik negara yang digunakan oleh pengguna barang/kuasa
pengguna barang milik negara dan yang digunakan sementara oleh pengguna barang lainnya,
serta barang milik negara yang dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan
pelayanan umum sesuai tugas dan fungsi pengguna barang. Pelaksanaan pemantauan atas
pemanfaatan barang milik negara yang dilakukan pengguna barang/kuasa penguna barang
setelah mendapatkan persetujuan dari pengelola barang, serta telah dilaksanakan sesuai
dengan persetujuan dari pengelola barang. Sedangan kegiatan penertiban barang milik negara
yang dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang merupakan tindakan lanjutan
dari kegiatan pemantauan apabila diketahui adanya ketidaksesuaian antara pelaksanaan
pemantauan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta adanya surat permintaan
penertiban barang milik negara dari pengelola barang, terkait dengan kondisi dan situasi yang
didapati dalam setiap kegiatan pemanfaatan barang milik negara. Apabila saat pemantauan
pengguna barang/kuasa pengguna barang mendapati kondisi-kondisi yang mengharuskan
untuk melakukan tindakan yang diperlukan, maka sesegera mungkin pengguna barang/kuasa
pengguna barang melaksanakan tindakan lanjutan dari pemantauan tersebut, yaitu melakukan
tindakan penertiban atas kondisi yang ditemukan. Misalnya, apabila pengguna barang/kuasa
pengguna barang dalam pelaksanaan pemantauan atas pemanfaatan barang milik negara
menemukan kondisi seperti; bentuk pemanfaatan yang tidak sesuai dengan persetujuan
pengelola barang, jenis usaha untuk sewa tidak sesuai dengan keputusan pengguna barang
atau tidak sesuai dengan kontrak yang dilakukan oleh pihak ketiga, atau apabila pengguna
barang menemukan bahwa pemanfaatan yang dilakukan belum mendapat persetujuan
pengelola barang, maka hasil pemantauan tersebut, pengguna barang diharuskan untuk
melakukan penertiban sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku, dengan kata lain
bahwa kegiatan penertiban dilaksanakan apabila pengguna barang mendapatkan
ketidaksesuaian antara kegiatan pemanfatan barang milik negara dengan peraturan yang ada
saat kegiatan pemantauan.
Ada 4 (empat) tujuan utama penertiban barang milik negara, yaitu:
(1) melakukan pemutakhiran pembukuan barang milik negara pada Sistem informasi
Manajemen Keuangan Barang Milik Negara (SIMAK BMN),
(2) mewujudkan penatausahaan Barang Milik Negara di seluruh satuan kerja (Satker) instansi
Pemerintah Pusat,
(3) menyajikan koreksi nilai aset tetap pada laporan keuanagan Kementerian/Lembaga, dan
(4) melakukan tindak lanjut penatausahan dan pengelolaan Barang Milik Negara yang tertib
dan optimal.
Termasuk dalam objek penertiban barang milik negara saat ini adalah aset yang dikuasai oleh
Kementerian/Lembaga, termasuk yang berada pada satker Badan Layanan Umum (BLU),
seperti aset yang berasal dari dana Dekonsentrasi dan Tugas pembantuan, aset eks BPPN,
aset Bank dalam Likuidasi, aset bekas milik asing/Cina, aset eks Kontraktor Kontrak
Kerjasama (KKKS), dan aset lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
ditetapkan sebagai barang milik negara.
Arah penertiban barang milik negara adalah agar pemanfaatan barang milik negara di setiap
pengguna barang menjadi lebih akuntabel dan transparan, sehingga barang milik negara
tersebut mampu dioptimalkan pemanfaatannya untuk menunjang fungsi pelayanan kepada
masyarakat, dan dimungkinkan fungsi budgeter dalam pemanfaatan barang milik negara agar
dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan keuangan negara. Oleh karena itu,
pemanfaatan barang milik negara harus diawasi dan dikendalikan secara ketat agar tidak
terjadi salah urus, kehilangan dan tidak termanfaatkan, sehingga untuk meningkatkan fungsi
pengawasan tersebut peran pengawas interen pemerintah sangat penting. Tindakan
selanjutnya yang dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang atas hasil
pemantauan dan penertiban adalah meminta aparat pengawasan interen pemerintah dalam hal
ini Inspektorat Jenderal (IRJEN) masing-masing Kementerian/Lembaga sebagai pengguna
barang atau Badan Pengawas Keuangan Dan Pembangunan(BPKP) untuk melakukan audit
atas hasil pemantauan dan penertiban berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku jika ditemukan adanya penyimpangan dalam hal pemanfaatan barng milik negara,
dan bahkan bisa melakukan upaya hukum apabila hasil audit terbukti terdapat penyimpangan
yang melibatkan pengguna barang/kuasa pengguna barang dan pengelola barang serta pihak
ketiga.
c. Pengawasan oleh Pengelola Barang. Pengawasan barang milik negara oleh pengelola
barang yang selanjutnya juga disebut sebagai pengawas internal atas pemanfaatan
barang milik negara dilaksankan oleh Direktur jenderal, Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Kekayan Negara (Kanwil DJKN), dan Kepala Kantor Pelayanan
Kekayan Negara dan lelang (KPKNL) Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Pengelola barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan
kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan barang milik negara. Apabila
pelaksanaan pengawasan barang milik negara yang ada pada ranah pengguna barang
lebih bertumpu pada kuasa pengguna barang, maka pengawasan dalam lingkup
pengelola barang, peran Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)
sangat besar, karena KPKNL merupakan unit pengelola barang yang dalam
pelaksanaan tugasnya berinteraksi langsung dengan kuasa pengguna barang masing-
masing Kementerian/lembaga. Khusus untuk pemanfaatan barang milik negara, yang
telah mendapatkan surat penetapan/persetujuan/keputusan dari pengelola barang,
maka pengawasan dilakukan oleh pihak pengelola barang yang mengeluarkan surat
penetapan/persetujuan/keputusan dimaksud. Sebagaimana telah disebutkan di atas
bahwa pengawasan yang dilakukan oleh pengelola barang atas pemanfaatan barang
milik negara berupa pemantauan dan investigasi. Pemantauan oleh pengelola barang
atas pemanfaatan barang milik negara terdiri atas pemantauan priodik yang
dilaksanakan minimal 1 tahun sekali, serta pemantauan insidentil yang dilaksanakan
sewaktu-waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah diterima laporan tertulis dari
masyarakat atau informasi dari media massa. Investigasi dapat dilakukan oleh
pengelola barang, apabila dari hasil pemantauan terdapat indikasi adanya
penyimpangan, investigasi tersebut dilakukan untuk mengumpulkan barang bukti atau
informasi yang dapat membuat terang dan jelas mengenai suatu permasalahan untuk
dilakukan penyelesaian dan penertiban, dan apabila dari hasil investigasi terdapat
indikasi kerugian negara, maka Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan dapat
meminta aparat pengawas interen Pemerintah untuk melakukan audit. Mekanisme
pengawasan mengenai pemanfaatan barang milik negara sebagaimana yang diatur PP.
No.27 Tahun 2014 jo PMK.No.244/PMK.06/2012 bahwa pengelola barang, pengguna
barang/ kuasa pengguna barang adalah pihak yang berwenang melakukan pengawasan
terhadap pemanfaatan barang milik negara yang ada pada kementerian/ lembaga yang
dipimpinnya, dan kedua peraturan tersebut jelas mengatur mengenai kewenangan
masing-masing dalam hal melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik
negara. Akan tetapi pengawasan yang dimaksud dalam kedua peraturan tersebut
hanya pengawasan internal dan bukan pengawasan eksternal, yakni pengawasan yang
dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang dan pengelola barang,
namun sepertinya pengawasan yang dilakukan oleh pengelola barang dan pengguna
barang/kuasa pengguna barang sebagai pengawas internal terhadap pemanfaatan
barang milik negara tidak efektif.

Pengelola barang dan pengguna barang/ kuasa pengguna barang sebenarnya


merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas pengawasan pemanfaatan
barang milik negara, karena merekalah yang paling dekat dan paling mengetahui
mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan barang milik negara yang ada
pada Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya, sehingga dengan alasan itu pula
undang-undang memberi kewenangan kepada pengelola barang dan pengguna
barang/kuasa pengguna barang untuk melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan
barang milik negara. Akan tetapi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa
pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara yang dilakukan oleh
pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang tidak efektif, oleh
karena pengguna barang sebagaimana yang diatur dalam PMK 244/PMK.06/2012
hanya sebatas melakukan pemantauan dan penertiban terhadap pemanfaatan barang
milik negara, sementara pengelola barang hanya berwenang melakukan investigasi
atas hasil pemantauan dan penertiban yang dilakukan oleh pengguna barang/kuasa
pengguna barang tanpa adanya sanksi dan alur pertanggung jawaban yang jelas
apabila hasil investigasi tersebut ternyata merugikan keuangan negara, apalagi
keduanya merupakan pengguna barang milik negara sekaligus sebagai pengawas
dalam pelaksanaan pengawasan atas pemanfatan barang milik negara, dimana
objektivitas keduanya sangat sulit untuk dipertanggunjawabkan.
Terkait dengan hal tersebut, Arifin P.Soeria Atmadja menyatakan bahwa; 40“apabila
dilihat dari perspektif prinsip akuntansi yang harus berpegang teguh pada asas
inkompatible , maka fungsi pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab
dalam satu instansi atau lembaga akan berdampak negatif dan kontra produktif
terhadap objektivitas dan efektivitas hasil pemeriksaan yang dapat mengarah pada
Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme (KKN)”. Kelemahan lain terkait dengan pelaksanaan
pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara menurut Andi Rivai (Kasi
Pengelolaan Kekayaan Negara KPKNL Makassar) adalah: “Kelemahan dalam
Pengawasan dan Pengendalian pemanfaatan barang milik negara disebabkan oleh dua
hal yaitu;
(1) belum adanya Surat Keputusan (SK) bagi pengawas pengelola BMN yang
didukung oleh Standar Operasional Prosedur (SOP) pembukuan BMN, dan standar
operasional prosedur pemanfaatan BMN.
(2) alur pertanggung jawaban tidak memberikan kepastian karena laporan hasil
pemantauan dan penertiban yang dilakukan pengguna barang serta laporan hasil
pemantauan dan investigasi yang dilakukan oleh pengelola barang pada akhirnya
dilaporkan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola barang, dimana Menteri
Keuangan tidak lain adalah sebagai pengguna barang sekaligus sebagai pengelola
barang, dan juga sebagai pengawas atas pemanfaatan barang milik negara.”

Alternatif lain yang dapat ditempuh agar pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik
negara berjalan secara efektif adalah dengan menerapkan model pengawasan berjenjang.
Tujuan dari penerapan model pengawasan berjenjang ini adalah untuk menghilangkan segala
bentuk inefisiensi dan inefektivitas dalam pelaksanaan pengawasan, karena pemeriksaan yang
terlalu luas menimbulkan rentang kendali yang terlalu sulit dijangkau, meskipun dilengkapi
dengan sumber daya manusia yang andal dan profesional.

Akibatnya, pengawasan dan pertanggungjawabannya kemungkinan besar akan tidak efektif


apalagi optimal.247 Selanjutnya kelebihan penerapan mekanisme pengawasan berjenjang
adalah: 1. menjadikan pengawasan lebih efektif dan efisien

Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan


penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai, melalui pengawasan
diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai
tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan melalui pengawasan
tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai
sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan dapat juga mendeteksi
sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang

40
Arifin P.Soeria Atmadja. 2000. Kedudukan Dan Fungsi BEPEKA Dalam Struktur
Ketatanegaraan RI,PEMERIKSA,Majalah Triwulan BEPEKA,Jakarta, Maret 2000 No.46
hlm 11.
terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut. Oleh karena itu teori Pengawasan sebagaimana yang
dikemukakan oleh George R Tery yang menyatakan pengawasan adalah proses penentuan
apa yang harus dicapai, dan apa yang sedang dilakukan untuk perbaikan dalam pelaksanaan
pekerjaan agar selaras dengan standar dapat dijadikan sebagai pisau analisis dalam membantu
mengkaji permasalahan mengenai bentuk pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik
negara, karena pengawasan sesungguhnya bertujuan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan
berjalan sesuai dengan rencana yang digariskan dan apa kesulitan serta kelemahan-kelemahan
dalam bekerja, kemudian mencari jalan keluar untuk menyelesaikannya. Kegiatan
pengawasan pada umumnya dilaksanakan oleh pimpinan secara terus menerus atau berkala
dalam rangka melakukan pemantauan, pemeriksaan, penilaian dan perbaikan agar bawahan
dapat bekerja secara efektif, efisien, dan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Untuk
mendapatkan hasil yang optimal dari pelaksanaan pengawasan tentunya dibutuhkan suatu
tekhnik yang benar. Adapaun tekhnik pengawasan yang dapat dilakukan meliputi: 41 (1)
pemantauan, (2) pemeriksaan, (3) penilaian, (4) perbaikan. Hasilnya harus dapat
menunjukkan sampai dimana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan
penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam kaitannya dengan pemanfaatan barang milik
negara, pengawasan merupakan salah satu cara untuk menjaga agar barang milik negara
dapat dimanfaatkan secara efektif, efisien dan optimal sehingga tidak terjadi pemborosan
keuangan negara. Peran pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang
dalam melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara sangat menentukan
karena keduanya yang paling dekat dan sangat mengetahui mengenai segala sesuatu yang
berkaitan dengan pemanfaatan barang milik negara, namun karena posisi keduanya selain
sebagai pengawas juga sebagai pengguna barang milik negara, sehingga objektifitas dan
independensinya tidak dapat menjamin untuk dapat melakukan pengawasan secara optimal.
Harapan satu-satunya yang masih dapat dijamin objektifitas dan independensinya adalah
pengawas eksternal. Namun karena BPK merupakan satu-satunya pengawas eksternal
pemerintah yang melakukan pemeriksaan terhadap tanggung jawab dan pengelolaan
keuangan negara yang mempunyai jangkauan dan wewenang yang begitu luas, maka
menurut hemat penulis tidak mungkin akan menghasilkan pemeriksaan atau pengawasan
yang efektif dan efisien, meskipun BPK dilengkapi sumber daya manusia yang begitu
banyak. Dan sejatinya pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari
penyelewenagan dan penyimpangan atas tujuan yang ingin dicapai akan sangat sulit untuk
dilaksanakan.

C. Tanggung Jawab Pengelola Barang dan Pengguna Barang atas Indikasi Penyimpangan
Terhadap Pemanfaatan Barang Milik Negara dalam Bentuk Sewa Menyewa Tanggung Jawab
yang akan dibahas dalam disertasi ini adalah tanggung jawab pengelola barang dan pengguna
barang/ kuasa pengguna barang atas indikasi penyimpangan yang dilakukan terhadap
pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa. Sebagaimana telah
dikemukakan bahwa untuk menguji apakah ada atau tidak penyalahgunaan kewenangan yang
dilakukan oleh pengelola barang dan pengguna barang/ kuasa pengguna barang adalah Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang baik terutama larangan penyalahgunaan kewenangan.
Pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang adalah pejabat yang diberi
kewenangan berdasarkan delegasi untuk melakukan pengelolaan barang milik negara dengan
cara pemanfaatan dalam bentuk sewa menyewa, sehingga dengan kewenangan yang
diberikan, pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang dibebani tanggung

41
www. teori pengawasan.unicom.ac.id
jawab, baik berupa tanggung jawab jabatan maupun tanggung jawab pribadi apabila dalam
melaksanakan kewenangannya ternyata menimbulkan kerugian terhadap pihak lain termasuk
kerugian pada negara. Adanya tanggung jawab jabatan disebabkan jabatan dilekati fungsi,
tugas, dan kewenangan, sehingga dengan fungsi, tugas, dan kewenangan tersebut, maka
pemikul tanggung jawab adalah jabatan (instansi) dan bukan pejabat. Pejabat berdasarkan
ketentuan hukum hanya menjalankan tugas dan wewenang, dan atas dasar wewenang yang
diberikan, pejabat tersebut dapat melakukan tindakan hukum, yakni tindakan-tindakan yang
berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu. Sedangkan tanggung jawab
pribadi dimungkinkan apabila tindakan hukum pejabat itu mengandung unsur
penyalahgunaan wewenang atau sewenang-wenang sehingga akibat hukum yang timbul dari
tindakan hukum tersebut merugikan pihak lain atau subjek hukum lain, atas dasar itu maka
kepada pejabat yang merugikan pihak lain dibebani tanggung jawab. Selanjutnya, asas yang
mendasari tanggung jawab pemerintah adalah bahwa negara dan pemerintah berkewajiban
menjamin dan melindungi hak-hak warga negara, sedangkan asas yang mendasari pemberian
ganti rugi oleh pemerintah adalah bahwa pemerintah tidak boleh melakukan tindakan yang
merugikan warga negara.

Pengecualian dari asas ganti rugi ini adalah misi publik yang diemban pemerintah, dalam arti
pemerintah tidak dibebani kewajiban memberikan ganti rugi ketika tindakan yang dilakukan
itu dalam rangka melaksanakan tugas-tugas publik atau kepentingan umum yang didalamnya
tidak ada peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pemberian ganti rugi dalam
pelaksanaan tugas-tugas tersebut. Sedangkan tanggung jawab pribadi dimungkinkan ketika
pejabat yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas dan wewenang jabatan menyimpang
atau bertentangan dengan norma hukum tertulis atau norma hukum tidak tertulis, atau bahkan
secara sadar telah melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) karena
dipengaruhi oleh berbagai faktor dan kepentingan baik kepentingan sendiri, keluarga,
korporasi, maupun kepentingan lainnya yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau
pihak lain, sehingga atas dasar perbuatan melanggar hukum itu menimbulkan hak gugat bagi
pihak yang dirugikan.

Dalam hal pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa, pengelola barang
dan pengguna barang/kuasa pengguna barang sebagai pejabat yang diberi kewenangan
berdasarkan peraturan perundang-undangan diindikasikan telah menyalahgunakan
kewenangannya dalam melakukan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa
menyewa yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Adanya kerugian negara sebagai
akibat penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh pengelola barang dan pengguna
barang/kuasa pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan barang milik negara tampak
jelas bahwa yang dimanfaatkan adalah barang milik negara yang perolehannya berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan yang melakukan pemanfaatan adalah
pejabat negara dalam hal ini adalah pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna
barang sebagai wakil pemerintah yang diberi kewenangan untuk melakukan pemanfaatan
terhadap barang milik negara.

Sedangkan kerugian negara itu sendiri sebagaimana yang diaturi Pasal 1 angka 22 UU .No. 1
Tahun 2004 adalah;”kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Oleh
karena itu, apabila pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguna barang melakukan
penyalahgunaan kewenangan dan bertindak secara subjektif dengan maksud menguntungkan
diri sendiri, kelompok atau golongan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, maka
kepadanya dibebankan tanggung jawab pribadi karena telah melakukan perbuatan melanggar
hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1365 BW bahwa;”Setiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”Bahkan dalam Pasal 99 ayat (1) dan
(2) PP.No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa;

(1) Setiap kerugian negara akibat kelalaian, penyalahgunaan atau pelanggaran hukum atas
pengelolaan barang milik negara diselesaikan melalui tuntutan ganti rugi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap pihak yang mengakibatkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI)


terhadap laporan hasil pemeriksaan atas pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa
menyewa Tahun Anggaran 2010 sampai dengan semester 1 Tahun 2014, ditemukan Indikasi
penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan pengelola barang dan pengguna barang/kuasa
pengguna barang dalam pelaksanaan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa
menyewa dengan kasus sebagai berikut:

1. Pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa atas aset tetap yang telah
dicatat oleh Sekertaris Jenderal Kementerian Agama (Setjen Kemenag) berupa bangunan
koperasi seluas 144 m2 senilai Rp.38.200.000,00,- dan bangunan kantin seluas
Rp.606.000.000,00,- yang terletak di JL. Inspeksi kali Ciliwung dan bukan merupakan aset
Kementerian Agama. Kedua bangunan tersebut telah dimanfaatkan untuk kegiatan usaha,
yaitu koperasi dan kantin, namun tidak dilengkapi dengan perjanjian sewa menyewa atas
pemanfaatan barang milik negara tersebut. Hasil pemanfaatan atas biaya sewa bangunan
ditarik oleh Koperasi Pegawai Kementerian Agama dari pihak-pihak penyewa dan tidak
disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

2. Pemanfaatan barang milik negara melalui sewa menyewa atas aset tetap berupa
gedung/bangunan tahun 2014 milik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Syarif
Hidayatullah) pada 16 lokasi untuk keperluan kantin, cafetaria, koperasi, dan usaha foto copy.
Pemanfaatan barang milik negara tersebut diikat dengan surat perjanjian sewa yang berlaku
Januari sampai dengan Desember 2013. Hasil cek fisik tanggal 11 September 2014
menunjukkan bahwa dari 16 lokasi yang disewakan, 15 lokasi yang belum didukung surat
perpanjangan perjanjian sewa tahun 2014 dengan nilai sewa pertahun sebesar
Rp.45.000.000,00,- dan diantaranya terdapat 13 lokasi yang biaya sewanya belum dibayar
oleh penyewa sehingga belum disetorkan ke kas negara sebagai PNBP.

3. Perjanjian sewa tanah untuk Anjungan Tunai Mandiri (ATM) BNI seluas 92 m2 pada
Kantor Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Makassar, Sulawesi Selatan dengan nilai sewa
per tahun senilai Rp.45.000.000,-. Perjanjian sewa tersebut tidak di dukung dengan perjanjian
sewa antara pengguna barang dalam hal ini Kementerian 208 terlalu rendah, PNPB dari
pemanfaatan tidak disetor ke Kas Umum Negara. Sehingga total kerugian negara mencapai
Rp.109,33 miliar. 7. Hasil Pemanfaatan terhadap Gedung Balai Sudirman yang terletak di
JL.Dr.Saharjo Jakarta Selatan dan Lapangan Golf oleh Denma Mabes TNI-Ad tidak disetor
ke Kas Umum Negara sebagai PNBP 8. Pemanfaatan barang milik negara berupa sewa
terhadap tanah seluas 316 m2 untuk usaha futsal oleh Mabes TNI Jl.Warung Buncit Raya
No.301 Jakarta Selatan yang tidak didukung dengan perjanjian sewa, dan hasil sewa tidak
masuk ke Kas Umum Negara sebagai PNBP. Rekomendasi BPK kepada pengguna barang
atau pengelola barang atas hasil temuannya adalah sebaga berikut: 1. BPK memerintahkan
agar pengguna barang dalam melaksanakan kewenangan dan tanggung jawabnya dalam
pengajuan permohonan penyewaan barang milik negara kepada Menteri Keuangan melalui
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Dan penerbitan keputusan pelaksanaan sewa barang
milik negara setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan selaku pengelola barang.
2. BPK memerintahkan para petugas yang ditunjuk oleh pengguna barang dalam pemanfaatan
barang milik negara supaya memedomani ketentuan tentang pemanfaatan barang milik
negara, termasuk dalam pemanfaatan PNBP hasil penyewaan barang milik negara yang
digunakan langsung oleh pengelola barang sebesar Rp.2.271.966.612,00,- miliar serta
memungut dan menyetorkan PNBP sebesar Rp.388.558.000,00,- ke Kas Umum Negara.
Hasil temuan BPK, kemudian diikuti dengan pemberian rekomendasi oleh BPK kepada
pengelola barang atau pengguna barang, karena kondisi tersebut di atas sangat tidak sesuai
dengan PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara khususnya Pasal
4,6, dan 7

209 yang mengatur tentang tanggung jawab dan kewenangan pengelola barang dan pengguna
barang/kuasa pengguna barang. Juga kejadian tersebut di atas, telah melanggar Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.06/16 Tentang Tata Cara Sewa
Barang Miik Negara antara lain Pasal 8 yang mengatur tentang kewenangan dan tanggung
jawab Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pengguna barang. Selain itu, pemanfaatan barang
milik negara dalam bentuk sewa menyewa yang dilakukan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga
selaku pengguna barang, juga melanggar Peraturan Menteri Keuangan Nomor
250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara Yang Tidak
Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi Kementerian/ Lembaga. Adanya
pelanggaran terhadap ketiga peraturan tersebut di atas, Jika diklasifikasi maka setidaknya ada
4 jenis temuan yang menjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pengguna barang dalam
melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara. Pelanggaran tersebut adalah sebagai
berikut: 1. Kesalahan dalam melakukan pencatatan barang milik negara.Kementerian Agama
melalui Sekertaris Jenderal Kementerian Agama sebagai pengguna barang, telah mencatat
aset yang diakui miliknya dalam daftar inventaris barang berupa bangunan koperasi seluas
144 m2 dengan nilai Rp. 38.200.000,00,- dan bangunan kantin seluas 300 m2 senilai Rp.
606.000.000,00,-. Namun ternyata aset tersebut bukan
210 aset dari Kementerian Agama berdasarkan hasil investigasi dari Kementerian Keuangan
selaku pengelola barang melalui bidang pengelolaan Barang Milik Negara.256Kondisi
tersebut diakui oleh Kepala Seksi Pengelolaan Barang Milik Negara Kantor Pelayanan
Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta IV Sigit Wibowo yang menyatakan bahwa;

”Kesalahan yang sering terjadi pada Kementerian/Lembaga terhadap pencatatan barang milik
negara dalam daftar inventarisasi barang, karena adanya informasi yang salah mengenai jenis,
jumlah, dan status barang milik negara.257 Kondisi tersebut, juga menyebabkan para
Menteri/ Pimpinan Lembaga sering salah dalam mengambil keputusan dan perlakuan yang
menyimpang. Menurut Suryanto, mantan Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistim
Informasi (PKNSI), sebagaimana dilansir oleh Koran tempo,19 Juli 2015
menyatakan;258“Pengambilan keputusan yang salah terjadi karena Menteri/Pimpinan
Lembaga menerima informasi yang tidak akurat mengenai barang milik negara yang berada
dalam penguasaannya sehingga menimbulkan proses pengambilan keputusan menjadi tidak
tepat. Ketidak akuratan informasi tersebut bisa bersumber dari bottom level management
dimana informasi yang diberikan kepada top level management tidak benar, informasi yang
tidak benar itu dapat menyangkut jenis, jumlah, dan status aset. Sedangkan perlakuan
menyimpang muncul karena keinginan menguasai barang milik negara untuk dijadikan milik
pribadi. Informasi atas barang milik negara dibuat tidak benar dengan cara merekayasa
informasi seperti barang milik negara yang tidak tercatat atau tercatat tapi status dan
kondisinya dilaporkan tidak benar, sehingga membuka peluang bagi oknum-oknum tertentu
untuk mengambil alih barang milik negara tersebut. Kondisi ini bisa lebih diperparah jika
pimpinan tidak mengambil langkah-langkah strategis dan tepat dalam pengamanan barang
milik negara, lebih ironis lagi jika oknum pimpinan ikut terliabt di dalamnya”. 256 .Hasil
Penelitian Pada Kantor KPKNL Jakarta, tanggal, 10 Februari 2016 257 .ibid.Hasil Penelitian
258 .Koran Tempo,19 Juli 2015
211 Pemberian informasi yang salah mengenai jenis, jumlah, dan status barang milik negara,
sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pengguna barang taat pada ketentuan mengenai
pengelolaan barang milik negara, seperti yang diatur dalam Pasal 84 ayat (2) PP.No 27 Tahun
2014 bahwa;259“Pengguna barang/kuasa pengguna barang harus melakukan pendaftaran dan
pencatatan barang milik negara yang status penggunaannya berada pada pengguna barang/
kuasa pengguna barang ke dalam daftar barang pengguna/daftar barang kuasa pengguna
menurut penggolongan dan kodefikasi barang.” Selanjutnya dalam Pasal 85 ayat (1)
PP.No.27 Tahun 2014 diatur bahwa; “pengguna barang melakukan Inventarisasi barang Milik
Negara paling sedikit 1 (kali) dalam 5 (lima) tahun”. Sementara ayat (2)mengatur bahwa; “
pengguna barang menyampaikan laporan hasil Inventarisasi kepada pengelola barang paling
lama 3 (tiga) bulan setelah selesainya inventarisasi”.260 Jadi tujuan dilakukannya
pendaftaran dan inventarisasi adalah, agar pengguna barang/kuasa pengguna barang
mengetahui jenis, jumlah, dan status barang milik negara terutama yang menjadi kewenangan
dan penguasaannya. Oleh sebab itu, menurut Sigit Wibowo (Kasi Pengelolaan Barang Milik
Negara KPKNL Jakarta IV) bahwa261; ”agar tidak terjadi kesalahan informasi, maka setiap
pengguna barang/kuasa pengguna barang hendaknya selalui memperbaharui data mengenai
jenis, jumlah, dan status barang milik negara yang berada dalam penguasaannya, karena jika
terjadi kesalahan data, akibatnya akan 259 . Pasal 84 ayat (2) PP.No.27 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara i260 .Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2) PP.No.27 Tahun 2014.
261 .Hasil wawancara, tanggal 27 April 2015
212 berpengaruh pada pengambilan keputusan dalam pemanfaatan barang milik negara dalam
bentuk apapun”. 2. Barang Milik Negara yang dimanfaatkan dalam bentuk sewa tidak
termasuk dalam kriteria barang milik negara idle. Yang dimaksud barang milik negara idle
menurut Pasal 1 angka 2 PMK.No.250/PMK.06/2011 adalah; Barang Milik Negara yang
tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang
berupa tanah dan/ atau bangunan.262Selanjutnya kriteria barang milik negara idle
sebagaimana yang diatur oleh Pasal 3 PMK.No.250/PMK.06/2011 adalah; barang milik
negara yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga, atau barang milik negara yang digunakan tetapi tidak sesuai dengan
tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, sehingga apabila dalam suatu
Kementerian/Lembaga terdapat barang milik negara yang masuk dalam kriteria barang milik
negara idle,sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 tersebut di atas, maka pengguna barang
wajib menyerahkan barang milik negara idle tersebut kepada pengelola barang untuk
ditetapkan mengenai status penggunaan, pemanfaatan, atau pemindahtanganan atas barang
milik negara idle tersebut. Jadi barang yang dapat dimanfaatkan dalam bentuk sewa adalah
barang milik negara yang termasuk dalam kriteria barang milik 262 .Pasal 1 angka 2
PMK.No.250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara Yang
Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi Kementerian/Lembaga.
213 negara idle, dan telah diserahkan kepada pengelola barang. Adapun terhadap barang
milik negara yang telah dimanfaatkan dalam bentuk sewa oleh pengguna barang, menurut
Sigit Wibowo (Kepala Seksi Pengelolaan Barang Milik Negara Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang Jakarta IV), bahwa;263“jika memang barang milik negara yang telah
dimanfaatkan dalam bentuk sewa oleh pengguna barang masuk dalam kriteria idle, maka
sudah pasti tercatat dalam laporan rekapitulasi hasil inventarisasi dari Kementerian/Lembaga
yang disampaikan kepada pengelola barang, akan tetapi hasil temuan BPK tersebut setelah
dilakukan pemantauan dan investigasi oleh pengelola barang, diketahui belum tercatat pada
laporan rekapitulasi hasil inventarisasi pengelola barang, dan juga belum ada bukti berita
acara serah terima antara pengelola barang dan pengguna barang mengenai barang milik
negara yang telah dimanfaatkan oleh Kementerian yang bersangkutan”. Jadi barang milik
negara yang telah dimanfaatkan dalam bentuk sewa oleh Kementerian berdasarkan hasil
temuan BPK, bukan termasuk kriteria barang milik negara idle, dan tidak seharusnya
dimanfaatkan oleh pengguna barang dalam bentuk apapun seperti sewa menyewa, kerja sama
pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna. 3. Pengguna barang telah
melakukan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa tanpa persetujuan pengelola
barang. Barang milik negara yang akan dimanfaatkan oleh pengguna barang dalam bentuk
sewa harus dengan persetujuan pengelola barang. Oleh karena itu, apabila pengguna barang
hendak melakukan pemanfaatan barang milik negara yang ada dalam penguasaannya, maka
harus 263 .Op. Cit. Hasil wawancara.
214 memperhatikan ketentuan Pasal 8 ayat (1) PMK.No.57/PMK.06/2016 Tentang Tata Cara
Sewa Barang Milik Negara bahwa:264(1) Menteri/ Pimpinan Lembaga selaku pengguna
barang memiliki kewenangan dan tanggung jawab: a. mengajukan permohonan persetujuan
sewa BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan atau BMN selain tanah dan/atau
bangunan kepada pengelola barang; b. menerbitkan keputusan pelaksanaan sewa BMN
berupa sebagian tanah dan/atau bangunan atau BMN selain tanah dan/atau bangunan, setelah
mendapat persetujuan dari pengelola barang; c. melakukan sewa BMN berupa sebagian tanah
dan/atau bangunan atau BMN selain tanah dan/atau bangunan, setelah mendapat persetujuan
dari pengelola barang; d. menandatangani perjanjian sewa BMN berupa sebagian tanah dan/
atau bangunan atau selain tanah dan/atau bangunan, setelah mendapat persetujuan pengelola
barang; e. melakukan pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan sewa
berupa sebagian tanah dan/ atau bangunan atau selain tanah dan/ atau bangunan; f. melakukan
penatausahaan BMN yang disewakan; g. melakukan penyimpanan dan pemeliharaan
dokumen pelaksanaan sewa; h. menetapkan ganti rugi dan denda yang timbul dalam
pelaksanaan sewa BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan atau BMN selain tanah
dan/atau bangunan; i. melakukan penatausahaan atas hasil dari sewa BMN; Fakta dari hasil
temuan BPK menunjukkan bahwa ternyata pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan
barang milik negara dalam bentuk 264 .Op.Cit. Pasal 8

215 sewa belum mendapat persetujuan dari pengelola barang. Hal ini dapat dibuktikan
adanya kejanggalan yang terjadi di lapangan seperti, pelaksanaan sewa yang tidak didukung
dengan perjanjian sewa secara tertulis antara pengguna barang dan pihak penyewa, padahal
dalam Pasal 11 ayat (1 ) huruf b PMK.No.57/PMK.06/2016 mengatur bahwa;265”penyewaan
barang milik negara dituangkan dalam perjanjian yang ditandatangani oleh penyewa dan
pengguna barang untuk BMN berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang status
penggunaannya berada pada pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola
barang”. Selanjutnya dalam Pasal 29 ayat (8) PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara mengatur bahwa;266’Sewa barang milik negara dilaksanakan
berdasarkan perjanjian, yang sekurang-kurangnya memuat: a. Para pihak yang terikat dalam
perjanjian; b. Jenis, luas, atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka waktu; c. Tanggung
jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu sewa; d. Hak
dan kewajiban para pihak. Selain itu, uang sewa tidak dibayarkan sekaligus oleh penyewa
kepada pengguna barang sebagai pihak penyewa, melainkan diangsur sesuai dengan
kesepakatan, padahal dalam Pasal 12 ayat (1) PMK. No.57/PMK.06/2016 jelas mengatur
mengenai pembayaran sewa 265 .Pasal 11 ayat (1) huruf b PMK.NO.57/PMK.06/2016 266
.Pasal 29 ayat (8) PP.No.27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara

bahwa;”pembayaran uang sewa dilakukan secara sekaligus paling lambat 2 (dua) hari kerja
sebelum penandatanganan perjanjian”.267 Artinya, uang sewa tidak boleh diangsur dan harus
langsung di setor ke kas umum negara. 4. Hasil Pembayaran uang sewa tidak disetorkan ke
Kas Umum Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pasal 29 ayat (9)
PP.No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa;268”Hasil sewa barang milik negara merupakan
penerimaan negara dan seluruhnya wajib disetorkan ke rekening Kas Umum Negara”.
Selanjutnya Pasal 29 ayat (10) PP. No.27 Tahun 2014 mengatur bahwa;269”Penyetoran uang
sewa harus dilakukan sekaligus secara tunai paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum
ditandatanganinya perjanjian sewa barang milik negara”.Artinya ada 2 (dua) syarat yang
harus dipenuhi oleh pihak penyewa sebelum menandatangani perjanjian sewa, yaitu” (1)
menyetor uang sewa sekaligus secara tunai ke Kas umum negara, (2) penyetoran uang
tersebut dilakukan paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum penandatanganan perjanjian
sewa. Keharusan untuk menyetorkan uang sewa tersebut ke Kas Umum Negara sebagai
Penerimaan Negara Bukan Pajak diatur pula dalam UU.No.20 Tahun 1997 Tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak Pasal 4 bahwa;270“ Seluruh Penerimaan Negara 267 .Pasal
12 ayat (1) PMK.No.57/PMK.06/2016. 268268 .Pasal 29 ayat (9) PP.No.27 Tahun 2014 269
.ibid ayat (9) 270 .Pasal 4 UU.No.20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukann Pajak.
217 Bukan Pajak wajib disetor ke Kas Negara.” Jadi ada 2 (dua) pelanggaran dalam
pelaksanaan pemanfaatan barang milik negara yang dilakukan oleh pengguna barang, yaitu
tidak menyetorkan hasil sewa barang milik negara ke Kas negara sebagai penerimaan negara
bukan pajak dan menerima hasil sewa tidak sekaligus secara tunai dari penyewa. Adanya
temuan BPK terhadap indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh pengguna barang dalam
memanfaatkan barang milik negara dalam bentuk sewa apabila ditinjau dari norma
pemerintahan dan norma perilaku aparat mengandung cacat hukum. Cacat hukum apabila
ditinjau dari norma pemerintahan karena tidak sesuai dengan prosedur, dimana tindakan yang
dilakukan oleh pengguna barang melanggar berbagai peraturan perundang-undangan
berkenaan dengan pemanfaatan barang milik negara. Sedangkan cacat hukum apabila ditinjau
dari norma prilaku aparat karena mengandung unsur maladministrasi yang berupa
penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir), mencakup diskriminasi yang tidak
adil, tindak kekerasan, menyesatkan warga masyarakat mengenai hak-haknya, tidak
memberitahukan secara layak tentang hak-haknya atau tidak menjelaskan alasan-alasan yang
mendasari keputusan, kesewenang-wenangan, dan penyalahgunaan kewenangan”.271
Sedangkan cacat hukum karena tidak sesuai dengan prosedur dapat diartikan sebagai suatu
ketidaksempurnaan atau 271 .S.A De.Smith.1973 Constitutional And Administrative Law,
Second Edition, Penguin Education, England. Hlm.629.
218 ketidaklengkapan hukum, baik suatu peraturan, perjanjian, kebijakan atau suatu hal
lainnya.272 Oleh karena itu menurut hemat penulis, tindakan atau perbuatan pemerintah yang
mengandung cacat hukum karena kesalahan prosedur sehingga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, ataupun cacat hukum karena mengandung unsur
maladministrasi berupa penyalahguaan kewenangan membawa konsekuensi tanggung jawab
pribadi yang dapat melahirkan hak gugat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Secara
hukum, Terdapat 3 (tiga) bentuk tanggung jawab pengelola barang dan pengguna
barang/kuasa pengguna barang atas dugaan penyimpangan yang dilakukan dalam
melaksanakan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa menyewa yang
diindikasikan sebagai kerugian pada keuangan negara. Tanggung Jawab tersebut adalah;
Tanggung Jawab menurut hukum administrasi, Tanggung Jawab menurut hukum perdata, dan
Tanggung Jawab menurut hukum pidana. 1. Tanggung Jawab menurut Hukum Administrasi
Pemanfaatan barang milik negara adalah pendayagunaan barang milik negara yang tidak
digunakan untuk penyelenggaran tugas dan fungsi Kementerian/lembaga atau optimalisasi
barang milik negar dengan tidak mengubah status kepemilikan. Salah satu bentuk
pemanfaatan barang 272 . Yahya Harahap.2006, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm.16
219 milik negara adalah dalam bentuk sewa, yaitu, pemanfaatan barang milik negara oleh
pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.273 Pemanfaatan
barang milik negara dalam bentuk sewa hanya dapat dilakukan terhadap barang milik negara
idle, yaitu barang milik negara yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas
dan fungsi Kementerian/Lembaga, atau barang milik negara yang digunakan tetapi tidak
sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerin/Lembaga.274 Kegiatan pemanfaatan barang
milik negara idledalam bentuk sewa yang terkait langsung dengan bidang hukum administrasi
adalah mengenai prosedur dan tata cara pelaksanaan sewa barang milik negara yang intinya
mengatur tugas pengelola barang dan pengguna barang selaku pejabat yang diberi
kewenangan untuk melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara, serta hak dan
kewajiban pihak penyewa. Oleh karena prosedur dan tata cara sewa melibatkan dua pihak,
yakni pengelola barang/ pengguna barang dan pihak penyewa, maka hukum administrasi
negara mengatur hubungan hukum keduanya mulai dari proses pengajuan sewa oleh penyewa
kepada pengelola barang dan pengguna barang/kuasa pengguan barang sampai dengan
menetapkan keputusan pelaksanaan penyewaan oleh pengelola barang. Dalam proses
tersebut, pengelola barang dan pengguna barang bertindak sebagai pejabat negara yang
mewakili negara sebagai badan hukum, dan bukan mewakili negara sebagai individu atau 273
.Pasal 1 ayat (10) dan (11) PP.No 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara.
274 .Pasal 3 PMK.No.250/PMK.06/2011 Tentang Tata Cara pengelolaan Barang Milik
Negara Yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas Dan Fungsi
Kementerian/Lembaga.
220 pribadi, sehingga semua keputusan yang dikeluarkan dalam proses tersebut merupakan
keputusan pejabat negara atau publik. Mengingat bahwa keputusan pengelola barang dan
pengguna barang merupakan keputusan pejabat negara, maka apabila ada pihak yang
dirugikan seperti pihak penyewa atau masyarakat, akibat dikeluarkannya keputusan tersebut,
maka dapat mengajukan gugatan pembatalan secara tertulis atas keputusan tersebut melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi atau
rehabilitasi, sebagaimana diatur dalam pasal 53 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
Tentang Peradilan Tata Usaha negara, yaitu: “Seseorang atau badan hukum perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi”. Jadi apabila mengacu pada Pasal 53 UU.No.9 Tahun
2004, pihak yang memikul tanggung gugat terhadap gugatan atas perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan pengelola barang dan pengguna barang sebagai pejabat negara dalam
kapasitas selaku wakil badan hukum ditujukan pada badan hukumnya, yaitu badan hukum
pemerintah. Dengan kata lain, badan hukum dibebani tanggung gugat atas hal yang dilakukan
organ-organnya, bilamana organ dalam kedudukannya sebagai organ itu telah melakukan
perbuatannya demi menunaikan tugas yang diberikan
221 kepadanya, atau dalam lingkungan formil dari wewenangnya.275Akan tetapi organ yang
melakukan perbuatan yang melanggar hukum dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi,
bilamana organ tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan statuta atau
peraturan rumah tangga badan hukum, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan sikap
kecermatan yang seharusnya dilakukan terhadap pihak yang dirugikan.276 Terhadap temuan
BPK yang mengandung indikasi kerugian negara yang dilakukan oleh pengelola barang dan
pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa,
secara administrasi dapat mengacu pada UU.No.15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa
Keuangan dan UU.No 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara. Pasal 10 ayat (1) UU.No.15 Tahun 2006 mengatur bahwa; “Badan
Pemeriksa Keuangan menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan
oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara,
pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan
keuangan negara”. Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (2) mengatur bahwa; “penilaian kerugian
keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK”. Sedangkan Pasal
10 ayat (3) 275 .Ridwan HR,2014, Diskresi Dan Tanggung Jawab Pemerintah, FH UII Press,
Yogyakarta, hlm.170 276. Ibid Ridwan HR, hlm 171
223 rekomendasi yang telah ditindaklanjuti tersebut, tentunya BPK tidak perlu lagi
melakukan pemeriksaan investigatif untuk mengungkap lebih jauh adanya unsur pidana di
dalamnya, dan tentunya BPK tidak perlu lagi melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum
untuk selanjutnya dilakukan penyidikan.277 Kecuali dalam waktu 60 hari ternyata
rekomendasi BPK tidak ditindaklanjuti dalam bentuk pengembalian kerugian negara oleh
para pihak sebagaimana disebutkan dalam rekomendasi BPK, Maka berlaku Pasal 64 ayat (1)
UU.No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara yang menyebutkan; ”Bendahara,
pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti
kerugian negara dapat dikenakan sanksi adminstratif dan/atau sanksi pidana”. Berarti jika
lewat batas waktu 60 hari tidak selesai ditindak lanjuti maka BPK akan melakukan
pemeriksaan investigatif dan hasilnya dilaporkan kepada penegak hukum. 2. Tanggung Jawab
menurut Hukum Perdata Hukum perdata mengatur hubungan hukum antara pengguna barang
dengan pihak penyewa sejak penandatanganan surat perjanjian sewa sampai dengan
berakhirnya perjanjian sewa. Dalam proses ini pihak yang menyewakan barang milik negara
adalah negara yang diwakili oleh pemerintah dalam hal ini pengguna barang atau pengelola
barang, sedangkan pihak penyewa adalah; Badan Usaha Milik Negara, Badan 277 . Pasal 8
ayat (3),(4) UU.No.15 Tahun 2006 Tentang BPK.
224 Usaha Milik Daerah, Swasta, Unit penunjang kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan/negara, dan Badan Hukum lainnya. Pengertian sewa menyewa berdasarkan
Pasal 1548 BW adalah; “Suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri
untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu,
dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu.” Sedangkan
sewa barang milik negara menurut Pasal 1 angka 11 PP.No.27 Tahun 2014 dan Pasal 1 angka
7 PMK.No.57/PMK.06/2016 adalah;”pemanfaatan barang milik negara oleh pihak lain dalam
jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai”. Berdasarkan definisi tersebut,
maka jelas terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, dimana pihak yang satu dan pihak
yang lainnya setuju untuk melaksanakan sesuatu seperti yang telah diperjanjikan. Atas dasar
perjanjian itu pula, membuat para pihak merasa diikat satu sama lain, sehingga menimbulkan
hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak untuk memenuhi janji tersebut. Apabila
mencermati prosedur dan tata cara sewa barang milik negara sebagaimana yang diatur dalam
PP.No. 27 Tahun 2014 dan PMK.No.57/PMK.06/2016, maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan antara sewa barang milik negara dengan sewa menyewa pada umumnya,
karena sewa menyewa pada umumnya para pihak bebas menentukan kehendakanya,
sedangkan pada sewa menyewa barang milik negara terdapat prosedur baku yang akan
menentukan sah
225 atau tidaknya perjanjian yang dilakukan oleh pengelola barang atau pengguna dengan
pihak penyewa, dan syarat baku itu harus ditaati oleh keduanya, seperti pada penyewaan
barang milik negara yang ada pada pengelola barang, penyewaan baru dapat dilaksanakan
apabila pengelola barang telah melakukan penelitian mengenai kemungkinan penyewaan
barang milik negara yang ada dalam pengelolaannya yang didasarkan pada kebutuhan
pengelola barang untuk melakukan penyewaan, dan kemungkinan kelayakan penyewaan
berdasarkan permintaan pihak penyewa. Sedangkan penyewaan barang milik negara yang ada
pada pengguna barang baru dapat dilaksanakan apabila telah diketahui dan disetujui oleh
pengelola barang. Demikian pula terhadap penyewa, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi
seperti; membayar uang sewa secara sekaligus paling lambat 2 hari kerja sebelum
ditandatanganinya surat perjanjian sewa, membayar seluruh biaya-biaya yang timbul dari
perjanjian termasuk biaya pemeliharaan, biaya yang timbul dari pemakaian dan pemanfaatan,
serta penyewa bersedia untuk tidak menggunakan barang milik negara yang disewakan untuk
peruntukan selain dari yang telah ditetapkan pengelola barang atau pengguna barang sesuai
dengan perjanjian sewa. Yang pasti adalah bahwa keduanya harus tunduk pada ketentuan
yang mengatur mengenai sewa menyewa barang milik negara, dan keduanya harus
mengetahui dan memahami mengenai syarat-syarat baku yang telah ditetapkan, sehingga
keduanya pun tidak salah dalam melakukan kesepakatan, karena tujuan
226 dilakukannya penyewaan adalah tidak lain hanya untuk mengoptimalkan pemanfaatan
barang milik negara yang belum atau tidak dipergunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
penyelenggaraan pemerintahan negara, serta mencegah penggunaan barang milik negara oleh
pihak lain secara tidak sah. Oleh karena itu, penyewaan barang milik negara dilakukan
sepanjang tidak merugikan negara dan tidak mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsi
penyelenggaraan pemerintahan negara. Jadi intinya adalah, baik pengguna barang atau
pengelola barang sebagai pihak yang menyewakan maupun siapa saja yang bertindak sebagai
pihak penyewa wajib melakukan pengamanan dan pemeliharaan terhadap barang milik
negara yang disewakan agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang dalam pemanfaatan
maupun penggunaan barang milik negara. Selain syarat baku yang telah disebutkan di atas,
kedua belah pihak yakni pengelola barang atau pengguna barang sebagai pihak yang
menyewakan dengan pihak penyewa, juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 1320 BW
yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, yang intinya harus memuat mengenai
adanya kesepakatan, kecakapan, hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Khusus syarat
kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti bahwa tidak
adanya kesepakatan para pihak, maka tidak terjadi perjanjian. Akan tetapi, walaupun terjadi
kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat kemungkinan bahwa
kesepakatan yang
227 telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak
sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa
dirugikan oleh perjanjian tersebut.278 Perjanjian sewa menyewa merupakan suatu perbuatan
hukum yang menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang telah mengikatkan dirinya dalam
perjanjian tersebut, akibat hukum yang dimaksud adalah hak dan kewajiban antara keduanya,
atau dengan kata lain apa yang menjadi hak bagi penyewa akan menjadi kewajiban bagi yang
menyewakan, demikian pula sebaliknya apa yang menjadi kewajiban penyewa tentunya akan
menjadi hak bagi pihak yang menyewakan. Oleh karena itu, agar hak dan kewajiban tersebut
dapat diakui secara hukum, maka harus pula dilaksanakan sesuai dengan hukum. Terkait
dengan fakta dari hasil temuan BPK atas pelaksanaan sewa menyewa barang milik negara,
apabila hendak mengetahui mengenai pihak yang bertanggung jawab apabila ada kerugian
negara, dan apakah penyewa mempunyai hak untuk menggugat atas kerugian yang
dideritanya berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata atau dengan alasan onrechtmatige
overheidsdaad yang dilakukan oleh pengguna barang selaku pihak yang menyewakan jika
tiba-tiba dilakukan pemutusan perjanjian. Untuk mengetahui hal itu, maka yang pertama
harus dinilai adalah apakah ketika dilakukan perjanjian pengguna barang bersama dengan
pihak penyewa telah melaksanakan standar baku yang berlaku atas penyewaan barang milik
negara, dan 278 .Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak & Perancangan Kontarak, PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm.17
228 apakah keduanya telah mematuhi syarat sah perjanjian sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 1320 BW. Jika menganalisis fakta dari hasil temuan BPK sebagaimana yang
telah diuraikan di atas, nampak bahwa pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan
barang milik negara dalam bentuk sewa tidak mematuhi prosedur dan tata cara sewa barang
milik negara sebagaimana yang diatur dalam PP.No.27 Tahun 2014 dan
PMK.No.57/PMK.06/2016. Terhadap penyewaan tersebut, selain melanggar prosedur dan
tata cara sewa barang milik negara, juga telah melanggar Pasal 1320 BW tentang syarat sah
perjanjian khususnya pada syarat objektif, dan sebagai konsekuensinya pelaksanaan
perjanjian yang dilakukan oleh pengguna barang dengan pihak penyewa menjadi batal demi
hukum, artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, dengan demikian pihak penyewa
tidak dapat menuntut pengguna barang sebagai pihak yang menyewakan atas kerugian yang
dideritanya, baik dalam kapasitas pengguna barang sebagai wakil dari badan hukum maupun
dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Akan tetapi tuntutan ganti rugi terhadap pengguna
barang atas penyimpangan yang dilakukan tetap harus diproses, dan jika terbukti melakukan
kesalahan maka pengguna barang harus bertanggung jawab untuk mengembalikan seluruh
kerugian negara berdasarkan Pasal 1365 BW. Selain tuntutan ganti rugi sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1365 BW, Penyelesaian kerugian negara diatur pula dalam Pasal 59 ayat
(2)
229 dan (3) UU. No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 59 ayat (2)
mengatur; “bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat laian yang karena
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya
secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut”
Selanjutnya, Pasal 52 ayat (3) mengatur; Setiap pimpinan kementerian negara/ lembaga/
kepala satuan kerja perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah
mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang
bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun. Pengaturan mengenai
penyelesaian ganti kerugian tersebut diatur lebih lanjut oleh Pasal 62 ayat (1), dan Pasal 63
UU.No1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 62 ayat (1) mengatur;
pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan, dan Pasal 63 mengatur; pengenaan ganti kerugian negara/daerah
terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/ pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota. 3. Tanggung Jawab menurut Hukum Pidana. Dalam
hukum pidana, parameter tanggung jawab pidana adalah asas kesalahan, yaitu tidak dipidana
jika tidak ada kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld).279 Dalam doktrin, untuk adanya
kesalahan harus melakukan perbuatan hukum, mampu bertanggung jawab, perbuatan itu 279
.Amiruddin,2010, Korupsi Dalam Pengadaan Barang Dan jasa, Genta Publishing,
Yogyakarta, hlm.94.

230 dilakukan dengan sengaja atau kealpaan, dan tidak ada alasan pemaaf.280Namun dalam
praktik, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa
konstruksi, parameter ini tidak mutlak harus terpenuhi semua, seperti unsur mampu
bertanggung jawab. Oleh sebab itu, parameter untuk adanya tanggung jawab pidana dalam
pengadaan barang dan jasa adalah melakukan perbuatan melawan hukum dan melakukan
penyalahgunaan wewenang, dan penyalahgunaan wewenang ini hanya dapat dilakukan oleh
pejabat atau badan pemerintah.281 Paket undang-undang tentang keuangan negara, yaitu UU.
No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan UU.No.1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara, serta UU.No.15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
tanggung Jawab Keuangan Negara, mengatur dengan jelas mengenai sanksi pidana terhadap
penyimpangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Pasal 34 ayat (1) dan (2)
UU.No.17 Tahun 2003 mengatur: (1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota
yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-
undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan
denda sesuai ketentuan undang-undang. (2) Pimpinan unit organisasi Kementerian
Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat daerah yang terbukti melakukan penyimpangan
kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang 280 . ibid., hlm 96 281
.Russel Butarbutar,2015, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi
Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah,Gramata Publishing, Bekasi, hlm.174.

232 menegaskan; ”apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera
melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi, ketentuan tersebut disyaratkan adanya terlebih dahulu
pemeriksaan investigatif oleh BPK yang menemukan adanya indikasi pidana terhadap
perbuatan yang merugikan keuangan negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13
UU.No.15 Tahun 2004, dan terhadap ketentuan Pasal 13 tersebut terdapat pertentangan
dengan Pasal 8 ayat (3) UU.No.15 Tahun 2006 Tentang BPK, yang mengatur bahwa; “dalam
hal pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang
berwenang paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut, dan ayat
(4) mengatur, laporan BPK tersebut dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang
berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya tidak diperlukan
pemeriksaan lain berupa pemeriksaan investigatif jika ternyata hasil pemeriksaan BPK
ditemukan adanya indikasi pidana terhadap kerugian keuangan negara, karena pemeriksaan
investigatif dilakukan berkenaan adanya dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur
dalam UU. No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan UU. No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU. No. 31 Tahun
1999. Adanya pertentangan dari bunyi pasal kedua undang-undang tersebut di atas,
berdampak pada kebijakan yang berkaitan dengan
233 pengembalian kerugian negara. Hal ini diakui oleh Ngakan Putu Tagel, Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Sulawesi Selatan, Barat, Dan Tenggara
(KANWIL DJKN SULSEBARTRA), berdasarkan hasil wawancara, Tanggal 4 April 2016
mengatakan;283“selama ini yang ditempuh oleh DJKN dalam menyikapi laporan hasil
pemeriksaan BPK apabila ada indikasi kerugian negara akibat adanya penyimpangan yang
dilakukan oleh pengguna barang maupun pengelola barang adalah fokus pada pengembalian
kerugian negara, disamping pemberian hukuman disiplin berat yaitu pemberhentian, dan
untuk sanksi pidana, sampai saat ini belum ada yang diproses ke pengadilan. salah satu
alasannya adalah adanya multitafsir dalam UU.No.1 Tahun 2004, UU.No.15 Tahun 2004,
dan UU,No,15 Tahun 2006 dalam hal pemberian sanksi. Selain ketiga paket undang-undang
tentang keuangan negara yang disebutkan di atas, tanggung jawab pidana terhadap kerugian
keuangan negara juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
diantaranya Pasal 423 KUHP mengatur; “Seorang pejabat dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya,
memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran
dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan
pidana penjara paling lama enam tahun”. Selanjutnya dalam Pasal 345 KUHP mengatur;
“Seorang pejabat yang dengan langsung maupun tidak langsung sengaja turut serta dalam
pemborongan, penyerahan atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk
seluruh atau sebagian, dia ditugaskan untuk mengurus dan mengawasinya, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak delapan belas
ribu rupiah”. 283 .Hasil wawancara dengan Ka.Kanwil Sulselbartara, Tanggal 4 April 2016
234 Masih terkait dengan sanksi pidana atas kerugian negara sebagai akibat dari
penyimpangan yang dilakukan oleh pengelola barang atau pengguna barang atas pemanfaatan
barang milik negara dalam bentuk sewa berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
TentangTindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR), BAB II Pasal 2 ayat (1) mengatur;284”setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat )
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Selanjutnya
Pasal 3 UU. No. 31 Tahun 1999 mengatur;285“Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 4 UU. No .31 Tahun 1999 mengatur;
”pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3. Adanya
berbagai aturan yang mengatur mengenai sanksi pidana atas kerugian negara sebagai akibat
adanya indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh pengelola barang atau pengguna barang,
dapat dijadikan 284 .Pasal 2 Ayat (1) UU.No.31 Tahun 1999. Tentang Tindak Pidana Koripsi
285 .Pasal 3 UU.No.31 Tahun 1999
235 sebagai pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk melakukan bebagai tindakan baik
berupa pengamanan, pengusutan, maupun penyelidikan atas adanya indikasi penyimpangan
terhadap pemanfaatan barang milik negara. Ketiga bentuk pertanggungjawaban yang telah
dikemukakan di atas, apabila dikaitkan dengan tanggung jawab pengelola barang dan
pengguna barang atas indikasi penyimpangan terhadap pemanfaatan barang milik negara
pada faktanya cenderung tidak terlaksana dengan baik terutama dalam hal tanggung jawab
pidan, karena sampai saat ini Indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh pengelola barang
dan pengguna barang dalam melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara dalam
bentuk sewa belum ada yang diproses sampai ke pengadilan. Hal ini disebabkan kewajiban
administrasi pengelola barang dan pengguna barang yang diindikasikan melakukan
penyimpangan atas pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa dianggap sudah
selesai apabila yang bersangkutan telah menindaklanjuti rekomendasi dari laporan hasil
pemeriksaan BPK berupa pengembalian kerugian keuangan negara. Demikian pula terhadap
pertanggungjawaban perdata, jika pengelola barang telah mengembalikan seluruh kerugian
keuangan negara akibat penyimpangan yang dilakukan berdasarkan Pasal 1365 BW, Pasal 59
ayat (2) dan (3) UU. No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, maka dianggap
pertanggung jawaban perdatanya telah selesai, sehingga dengan terlaksananya kedua
236 pertanggungjawaban tersebut, maka kepada pengelola barang dan pengguna barang tidak
perlu lagi dilaporkan atas dugaan melakukan tindak pidana korupsi. Jika mengacu pada 3
paket undang-undang tentang keuangan Negara, yakni UU. No. 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara, UU. No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan UU. No. 15
Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan tanggung Jawab keuangan Negara, serta
peraturan lain seperti Pasal 345, dan Pasal 423 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), UU. No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU. No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU .No. 31 Tahun 1999, maka
tidak ada alasan bagi aparat penegak hukum untuk tidak memproses secara pidana terhadap
indikasi penyimpangan yang dilakukan oleh pengelola barang dan pengguna barang atas
pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk sewa, karena dalam praktek yang dilakukan
selama ini adalah jika yang bersangkutan telah mengembalikan kerugian keuangan negara,
maka kewajibannya dianggap telah selesai, dan kepada yang bersangkutan tidak dilaporkan
lagi kepada pihak yang berwenang (aparat Penegak hukum). Padahal pengembalian keuangan
negara merupakan pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk memproses lebih lanjut
mengenai ada atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan oleh pengelola barang atau
pengguna barang sebagai pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan pemanfaatan
barang milik negara dalam bentuk sewa.
237 Teori tanggung jawab hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisis tentang
kesediaan dari subjek hukum atau pelaku tindak pidana untuk memikul biaya atau kerugian
atau melaksanakan pidana atas kesalahannya maupun karena kealpaannya. Teori ini
dikembangkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa seorang bertanggung jawab secara
hukum atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum berarti bahwa
dia bertanggung jawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan. Teori tanggung
jawab hukum dijadikan sebagai pisau analisis dalam membahas rumusan masalah ketiga
dalam disertasi ini, atas dasar pembagian tanggung jawab yang dikemukakan oleh Hans
Kelsen dalam teori tradisionalnya yang membagi pertanggung jawaban menjadi dua yaitu
pertanggung jawaban individu dan pertanggung jawaban kolektif. Menurut Hans Kelsen
pertanggung jawaban individu adalah pertanggung jawaban terhadap pelanggaran yang
dilakukan sendiri, sedangkan pertanggung jawaban kolektif berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. Terhadap
pembagian pertanggungjawaban seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam teori
tradisionalnya, jika dikaitkan dengan pertanggung jawaban atas penyimpangan terhadap
pemanfaatan barang milik negara yang dapat merugikan keuangan negara dapat dibebankan
kepada pengguna barang dan pengelola barang secara pribadi dalam kapasitasnya sebagai
pejabat negara yang diberi kewenangan untuk
238 melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara jika dalam pelaksanaan
pemanfaatan barang milik negara tersebut telah melakukan tindakan diluar dari
kewenangannya. Akan tetapi tindakan pengelola barang dan pengguna barang dapat
dipertanggungjawabkan oleh jabatannya jika telah melakukan tindakan sesuai dengan
kewenangan yang diberikan.
239 BAB VPENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka
dapat disimpulkan bahwa: 1. Pemberian kesempatan kepada pengguna barang atas rencana
pemanfaatan BMN idle sebelum 3 (tiga) tahun sejak dinyatakan terindikasi idle belum
efektif, efisien, dan optimal, sehingga belum dapat berkontribusi terhadap Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal tersebut disebabkan oleh karena pengelola barang
memberikan kewenangan penuh atas rencana pemanfaatan barang milik negara idle kepada
pengguna barang, sehingga dengan kewenangan tersebut pengguna barang memiliki
kekuasaan penuh atas barang milik negara yang ada pada Kementerian/ Lembaga yang
dipimpinnya, disamping itu tidak ada peraturan yang mengatur mengenai keharusan bagi
pengguna barang untuk melaporkan adanya barang milik negara idle, karena sampai saat ini
Kementerian Keuangan selaku pengelola barang masih fokus pada inventarisasi barang milik
negara sehingga terkesan mengabaikan pemanfaatannya. Teori kebijakan publik tidak dapat
dijadikan sebagai pisau analisis dalam memecahkan rumusan masalah pertama, karena 241
sebagai pisau analisis dalam membantu mengkaji permasalahan mengenai bentuk
pengawasan terhadap pemanfaatan barang milik negara, karena pengawasan sesungguhnya
bertujuan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan berjalan sesuai dengan rencana yang
digariskan dan apa kesulitan serta kelemahan-kelemahan dalam bekerja, kemudian mencari
jalan keluar untuk menyelesaikannya 3. Paket Undang-Undang tentang Keuangan Negara dan
berbagai peraturan perundang-undangan lainnya telah cukup untuk memproses pengguna
barang dan pengelola barang terhadap indikasi penyimpangan atas pemanfaatan barang milik
negara idle yang dapat merugikan keuangan negara, sehingga tanggung jawab keduanya
dapat dilakukan dalam tiga bentuk yaitu; tanggung jawab menurut hukum administrasi,
tanggung jawab menurut hukum perdata, dan tanggung jawab menurut hukum pidana. Teori
tanggung jawab hukum dijadikan sebagai pisau analisis dalam membahas rumusan masalah
ketiga dalam disertasi ini, atas dasar pembagian tanggung jawab yang dikemukakan oleh
Hans Kelsen dalam teori tradisionalnya yang membagi pertanggung jawaban menjadi dua
yaitu pertanggung jawaban individu dan pertanggung jawaban kolektif B. Saran 1. Agar
pemanfaatan barang milik negara idle dapat efektif, efisien, dan optimal, hendaknya
kewenangan pengguna barang atas

242 rencana pemanfatan BMN idle dibatasi, karena dengan kewenangan tersebut pengguna
barang memiliki kekuasaan penuh atas pemanfaatan barang milik negara,
mengakibatkanKementerian Keuangan sebagai pengelola barang kehilangan fungsinya untuk
melakukan pemanfaatan terhadap barang milik negara. 2. Oleh karena luasnya jangkauan dan
kewenangan yang dimiliki BPK dalam melakukan pemeriksaan dan pengawasan
terhadappemanfaatan BMN sebagai bagian dari tanggung jawab pemeriksaan dan
pengelolaan keuangan negara, Hendaknya BPKP dan IRJEN diberi kewenangan khusus
sebagai pengawas eksternal yang independen dalam melakukan pengawasan
terhadappemanfaatan BMN. 3. Hendaknya aparat penegak hukum lebih aktif menindak
pejabat yang diduga melakukan penyimpangan atas pemanfaatan barang milik negara, karena
paket Undang-Undang tentang Keuangan Negara dan peraturan perundang-undangan lainnya
telah cukup dijadikan sebagai payung hukum untuk memproses adanya indikasi
penyimpangan atas pemanfaatan barang milik negara.

Anda mungkin juga menyukai