Anda di halaman 1dari 3

Cinta Di Bawah Hujan

Cerpen Karangan: Muhammad Ibnu Zuhair


Kategori: Cerpen Cinta Dalam Hati (Terpendam), Cerpen Remaja, Cerpen Romantis
Lolos moderasi pada: 30 July 2023

“Hai!” seseorang menyapaku tiba-tiba sambil menawarkan payungnya. Aku langsung tahu,
itu Ghifari. Pria tampan yang selalu menjadi perbincangan di antara siswi-siswi sekolah,
termasuk aku. Aku sering memotretnya sebagai koleksi foto pribadiku. Oi, siapa juga yang
tak terjerat pesona dirinya?

Aku ragu apakah harus menerima tawarannya atau tidak. Terutama karena hujan semakin
deras, membuatku terjebak dan harus menunggu hujan reda. Tapi bagaimana dengan Ghifari?
Apakah dia tidak memikirkan bagaimana ia akan pulang?

“Pakai saja, tidak apa-apa. Aku bisa menunggu hujan ini reda,” katanya, seolah-olah sudah
tahu apa yang ada di pikiranku. Lalu aku menolak tawarannya, mungkin dia punya urusan
yang lebih penting.

“Kenapa? Kamu tidak percaya bahwa aku bisa menunggu hujan ini?” tanyanya.

“Maaf, bukan itu maksudku. Tapi aku sebentar lagi akan dijemput oleh orangtuaku,”
jawabku, mencoba menghindari situasi yang bisa menimbulkan spekulasi di antara siswi
lainnya. Tapi untunglah, saat itu semua orang sudah pulang dan aku tinggal berdua dengan
Ghifari, serta Satpam Sekolah yang sepertinya sedang pergi ke toilet.

Akhirnya, aku memilih duduk di bangku terdekat berpura-pura tenang, berharap bahwa ada
yang akan menjemputku atau hujan akan segera reda. Tapi hasilnya tetap nihil. Ghifari malah
memilih duduk di sebelahku daripada pergi meninggalkanku.

Situasinya semakin rumit.

Sepuluh menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit. Dia tetap bertahan di tempat duduknya
itu. Akhirnya, aku memutuskan untuk berkeliling sekolah sambil memotret setiap sudut
sekolah yang menarik, dengan suasana hujan yang menjadi latar belakangnya. Mungkin foto-
foto ini bisa aku jadikan tugas tengah semester di klub fotografi.

“Kamu ikut klub fotografi ya? Atau hanya hobi? Kenapa kamu selalu membawa kamera ke
sekolah?” tanya Ghifari, mengagetkanku. Ternyata, sejak tadi dia selalu mengikutiku dari
belakang. Apa maksudnya? Kenapa dia seperti tertarik padaku?

“Oh, aku ikut klub fotografi. Aku selalu membawa kamera ini agar bisa mengabadikan
momen-momen penting yang tak boleh terlewatkan. Dan bisa juga nanti untuk tugas di klub
fotografi,” jawabku, agak gugup. Aku mulai berkeringat dingin. Aku khawatir bagaimana
jika aku sering tak pandai dalam memotret. Apa yang harus kukatakan padanya?

Ghifari, menunjuk ke salah satu dinding yang dihiasi dengan gambar-gambar oleh klub seni
rupa. Ghifari sendiri yang membuat salah satu gambarnya. “Sekali-kali aku ingin berfoto
dengan karyaku sendiri. Selain itu, aku juga belum pernah berfoto sendiri selain waktu kecil.
Hahaha.”
Aku menurutinya. Sepertinya dia belum tahu bahwa selama ini aku selalu memotretnya. Aku
mengambil beberapa foto dengan beberapa pose yang membuat kami tertawa. Entah
mengapa, aku mulai menikmati kebersamaan dengannya.

“Coba lihat fotonya!” ujarnya. Aku memberikan kameraku padanya. Dia menggeser-geser
foto yang sudah aku ambil. Kadang dia tersenyum, kadang tidak. Tapi tiba-tiba dia berhenti
di satu foto. Lalu, dia berkata tentang foto itu padaku, “Kirimkan foto ini padaku nanti ya!”

Aku melihat foto tersebut. Tunggu. Aku terkejut. Itu bukan foto yang baru saja aku ambil! Itu
adalah foto diam-diam yang kuperoleh, di mana Ghifari sedang bermain basket.

Mungkin dia tersinggung melihat foto itu. Aku segera berlari menjauhinya, mencoba
menghilang darinya. Tapi itu sia-sia, sejauh apapun aku berlari, dia bisa mengejarku.
Akhirnya aku menyerah karena jalan yang aku pilih adalah jalan buntu. “Maaf, maaf, maaf.
Aku tidak sengaja memotomu saat melihatmu bermain basket,” mohonku, sambil
membungkuk di depannya.

“Tidak apa-apa. Aku tidak marah kok-” Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan
senyum mencurigakan, merencanakan sesuatu yang jahil. “Hmm, aku akan memaafkanmu
jika kamu mengirim semua fotomu yang ada padaku.”

Aku mempertimbangkannya berkali-kali. Dia pasti akan menganggapku sebagai seorang


stalker. “Ba-baik,” jawabku.

Dia mengelus-elus rambutku, mencoba menenangkan suasana. Pipiku memerah. Hatiku


berdegup kencang. Entah mengapa, hatiku berharap hari ini tidak berakhir terlalu cepat. Sial,
pikirku dalam hati.

“Baiklah, maafkan aku juga ya. Sepertinya aku membuatmu salah paham. Hehehe,” katanya
sambil tersenyum kepadaku. “Ngomong-ngomong, apakah ada foto-foto selain yang ada di
kamera?”
“Ada, di komputerku.”

“Hei! Kalian berdua masih di sini saja! Cepat pulang! Seharusnya pintu gerbang sudah
ditutup. Tapi sayangnya, aku sakit perut. Cepat!” seru satpam sekolah, yang tiba-tiba muncul
dari toilet sekolah.

“Aduh, bagaimana ini? Aku tidak membawa payung,” kataku cemas.

“Sudah, pakai payungku saja. Kita bisa menggunakan satu payung bersama. Lalu, kita akan
ke rumahmu, sambil melihat foto-foto milikmu,” ucapnya, memberi harapan padaku yang
terjebak dalam hujan ini.

Aku melihat sekeliling sekolah. Sepertinya, tidak ada orang selain satpam. “Baiklah,”
jawabku. Oi, siapa pula yang tidak ingin berbagi payung dengan pria yang ia kagumi?


Sejak hari itu, kami sering bertemu setelah sekolah meskipun aku berusaha menghindarinya.
Seperti magnet, entah kenapa kami selalu terikat untuk bertemu kembali. Aku berharap
hubungan ini akan berlanjut dengan baik tanpa ada halangan.

Anda mungkin juga menyukai