1. Para pihak, yaitu pihak yang memiliki piutang (Transferor) dan pihak yang akan
menerima pengalihan piutang (transferee);
2. Pernyataan pengalihan piutang oleh Transferor kepada Transferee dan
pernyataan penerimaan pengalihan piutang tersebut oleh Transferee dari
Transferor;
3. Syarat adanya pemberitahuan dari Transferor kepada pihak yang berhutang dan
penegasan si berhutang ini bahwa ia menerima pengalihan hutangnya (atau
piutang si Transferor) kepada Transferee.
Akta cessie biasanya dibuat dalam hubungan dengan perjanjian hutang piutang biasa
dalam konteks perdagangan (pembelian dan penjualan barang dagangan secara cicilan),
perjanjian pinjaman (kredit), dan anjak piutang (factoring).
Dalam konteks perjanjian hutang piutang, baik untuk tujuan perdagangan maupun
pinjaman (kredit), biasanya pengalihan hak kebendaan (tak bertubuh) tersebut
dilakukan untuk tujuan pemberian jaminan atas pelunasan hutang. Dalam konteks ini,
isi akta cessie yang bersangkutan sedikit berbeda dengan isi akta cessie biasa. Akta
cessie yang bersifat khusus ini dibuat dengan pengaturan adanya syarat batal. Artinya,
akta cessie akan berakhir dengan lunasnya hutang/pinjaman si berhutang. Sementara
akta cessie biasa dibuat untuk tujuan pengalihan secara jual putus (outright) tanpa
adanya syarat batal.
Akta cessie yang bersifat khusus tersebut dilaksanakan dalam praktik sebagai respon
dari tidak adanya bentuk hukum pemberian jaminan tertentu yang memungkinan si
pemberi jaminan untuk tetap menggunakan barang jaminan yang diberikan sebagai
jaminan. Sebagai contoh, apabila stok barang dagangan diberikan oleh si berhutang
kepada krediturnya sebagai jaminan, maka tentu si berhutang tidak dapat
menggunakan stok barang tersebut. Sementara stok barang tersebut sangat penting
bagi si berhutang untuk kelangsungan usahanya, tanpanya tentu usahanya tidak dapat
berjalan.
Untuk itu, diciptakanlah skema pengalihan hak si berhutang atas barang dagangan
tersebut kepada kreditur. Sementara itu stok barang tersebut tetap berada pada si
berhutang. Perlu dicatat bahwa yang dialihkan hanyalah "hak atas barang dagangan",
sementara penguasaan (hak untuk menggunakan stok barang tersebut) tetap ada pada
si berhutang. Untuk menjamin bahwa nilai stok barang yang dijaminkan senantiasa
dalam jumlah yang sama, dalam akta cessie disebutkan bahwa yang dijaminkan adalah
hak atas stok barang yang "dari waktu ke waktu" merupakan milik si berhutang.
Untuk tujuan pengawasan oleh kreditur, si berhutang wajib senantiasa menunjukkan
daftar stok barang miliknya agar kreditur dapat memastikan bahwa jumlah minimal
yang dijaminkan selalu sama guna meng-cover jumlah 'hak atas stok barang' tersebut
yang dijaminkan kepada kreditur.
Perlu diingat, akta cessie khusus ini bukanlah bentuk jaminan yang diatur secara hukum
melalui peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, kreditur yang memegang
jaminan yang diperoleh berdasarkan akta cessie khusus ini tidak memiliki hak untuk
diutamakan (privilege) dari kreditur lain dalam hal si berhutang jatuh pailit. Dalam hal
ini, haknya atas stok barang yang dicontohkan di atas akan terbagi bersama-sama
kreditur lainnya dari si berhutang yang pailit tersebut. Dengan demikian, jaminan ini
cukup beresiko tinggi dari sudut hukum.
Sebagai catatan, akta cessie khusus untuk tujuan pemberian jaminan tersebut tidak lagi
digunakan sejak diberlakukannya Undang-undang tentang jaminan fidusia. Dengan
undang-undang ini, pemberian hak atas kebendaan (dalam hal ini benda bergerak, baik
bertubuh maupun tak bertubuh) menjadi dimungkinkan. Dan resikonyapun lebih
rendah dari sudut hukum karena kreditur pemegang jaminan fidusia memiliki hak
keutamaan (privilege) atas barang yang dijaminkan tersebut terhadap kreditur lainnya.