Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

MATA KULIAH LEADERSHIP AND INNOVATION

KELOMPOK :
1. ZULKIFLI /NPM:
2. RINA /NPM:
3. NOPI RITA /NPM:
4. META LINDA /NPM:
5. MASRISAL / NPM : 22010015010385

DOSEN
Dosen Dr. Dasep Suryanto

MAGISTER MANAGEMENT
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’’lamiin, segala puji besertakan syukur kepada Allah SWT, tiada


Tuhan melainkan Allah dan hanya kepada-Nya lah kita sepatutnya memohon dan berserah
diri. Berkat nikmat kesehatan dan kesempatan dari Allah-lah penulis dapat menyelesaikan
makalah “Manajemen Kinerja” sebagai salah satu tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah
Manajemen Kinerja SDM Magister Manajemen Institut Teknologi dan Bisnis Haji Agus
Salim . Shalawat besertakan salam penulis sampaikan kepada Baginda Rasul kita yaitu
Muhammad SAW yang selalu menjadi idola dan panutan hingga akhir zaman.
Penulis menyadari, bahwa penulisan makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan
dari berbagai pihak. Rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis
sampaikan kepada:
1. Bapak Dr. Tun Huseno, M.Si selaku dosen mata kuliah manajemen Kinerja SDM
Program Magister Manajemen Institut Teknologi dan Bisnis Haji Agus Salim
Bukittinggi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan penulis.
2. Keluarga tercinta yang memberikan motifasi kepada Penulis sehingga Penulis bisa
menyelesaikan makalah ini.

Oleh sebab itu segala nasehat dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun,
penulis terima dengan senang hati, demi kesempurnaan dan kemajuan bersama. Penulis
berharap semoga makalahini berguna dan dapat dimanfaatkan demi kemajuan dan kabaikan
bersama bagi penulis dan pembaca. Amiin.
Bukittinggi,01 Maret 2022
Penulis,

KELOMPOK
XXXXXX
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang


“Effective leadership means effective communication” kata Henry Clay Lindgren
dalam bukunya “Effective Leadership in Human Communication” dalam Drs. Onong
Uchjana Effendy, MA yang berjudul Kepemimpinan dan Komunikasi (1977).
Banyak pemimpin yang gagal dalam kepemimpinannya tidak menyadari, bahwa
kegagalannya itu disebabkan mereka tidak bisa berkomunikasi.
Di negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat, ilmu komunikasi (publisistik)
semakin dikembangkan disertai penelitian yang mendalam dalam segala aspeknya, mengingat
pentingnya ilmu tersebut, bukan saja untuk masyarakat Amerika sendiri, tetapi untuk
hubungan antar bangsa dan antar kebudayaan.
Alhamdulillah, ditanah-air pun dewasa ini semakin tampak kesadaran para pemimpin
dan masyarakat pada umumnya akan pentingnya komunikasi. Memang, bagaimanapun
bagusnya sebuah rencana yang dibuat oleh seorang pemimpin, kalau tidak dilaksanakan,
tidak akan menghasilkan apa-apa. Para pelaksana perlu diberi pengertian dan digerakkan.
Dan ini semua adalah komunikasi. Berhasil tidaknya pelaksanaan itu banyak tergantung dari
komunikasi yang dilakukan para pemimpin, baik pemimpin ditingkat atas, tingkat tengah,
maupun tingkat bawah.
 Dengan demikian sangat penting komunikasi dalam kepemimpinan, maka ditulislah
makalah ini untuk menjelaskan tentang kepemimpinan dan komunikasi, agar dapat membantu
memahami definisi dan hubungan dari masing-masingnya. Bahwa penulisan makalah ini
belum sempurna, kami menyadarinya. Karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari siapapun. Semoga penulisan ini menjadi sumbangan yang berharga bagi
pembaca secara umum dan kami sebagai penyusun khususnya.
BAB II
KEPEMIMPINAN

2.1.  Arti Kepemimpinan


Istilah “kepemimpinan” sebagai terjemahan dari “leadership” seringkali dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari; terdengar dalam percakapan, dalam pertemuan, dari televisi,
radio, atau bacaan dalam surat kabar, buku dan sebagainya.
Apa arti kepemimpinan itu sebenarnya?
Dalam pengertian umum, kepemimpinan menunjukkan proses kegiatan seseorang
dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan, atau
tingkahlaku orang lain. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui suatu karya, seperti buku,
tulisan, dsb., atau melalui kontak pribadi antara seseorang dengan orang lain secara tatap-
muka (face-to-face). Kepemimpinan melalui karangan atau ciptaan yang dituangkan dalam
bentuk buku atau lukisan dapat dikatakan kepemimpinan yang tidak langsung, karena sang
pemimpin dalam usaha mempengaruhinya tidak seketika pada saat ia bergiat. Pemimpin-
pemimpin jenis ini adalah para ilmuwan, seniman, atau sastrawan yang hasil karyanya atau
ide-idenya dapat mempengaruhi orang lain.
Kepemimpinan yang bersifat tatap-muka berlangsung melalui kata-kata secara lisan.
Kepemimpinan jenis ini bersifat langsung, karena sang pemimpin dalam usahanya
mempengaruhi orang lain, bergiat langsung kepada sasarannya. Oleh karena berhadapan
muka, ia mengetahui seketika hasil kegiatannya itu. Berkenaan dengan berkembangnya
teknologi seperti radio, televisi dan handphone, kegiatan kepemimpinan melalui kata-kata
lisan ini dapat lebih efektif dengan memperoleh sasaran yang jumlahnya jauh lebih banyak
daripada kalau berhadapan muka. Jika Socrates dahulu melakukan kegiatan
kepemimpinannya dengan komunikasi antar pribadi (interpersonal communication),
kemudian Demosthenes dengan komunikasi kelompok (group communication), maka
sekarang ini para pemimpin bergiat dengan komunikasi massa (mass communication).
Dari sejarah dapat diperoleh pengetahuan bagaimana Hitler, Musolini, Roosevelt, dan
pemimpin-pemimpin dunia lainnya sukses dalam usaha mempengaruhi rakyatnya melalui
siaran radio. Di Indonesia mungkin masih diingat bagaimana Bung Tomo pada waktu
berrevolusi mengusir Belanda, sukses dalam usahanya membangkitkan elan perjuangan
pemuda-pemuda melalui Radio Pemberontak-nya.
Faktor penting dalam kepemimpinan, yakni dalam mempengaruhi atau mengontrol
pikiran, perasaan, atau tingkah-laku orang lain itu, ialah tujuan. Tujuan ini adalah tujuan
pihak si pemimpin. Kepemimpinan adalah kegiatan si pemimpin untuk mengarahkan tingkah-
laku orang lain ke suatu tujuan tertentu. Jadi tindakan seorang pengemudi bis yang karena
jam-tangannya pecah menyebabkan puluhan pegawai yang dibawanya terlambat datang
dikantornya, tidak bisa dikatakan kepemimpinan, meskipun apa yang ia lakukan
mempengaruhi tingkah-laku orang lain. Si pengemudi bis tidak bermaksud mengontrol
tingkah-laku para penumpangnya; juga apa yang terjadi tidak terarahkan kepada tujuan
tertentu. Andaikata ia dengan sengaja memecahkan jam-tangannya dan merusak jadwal
perjalanannya dengan tujuan agar para penumpangnya marah kepada pemilik perusahaan bis,
ini baru bisa dikatakan kepemimpinan.
Tetapi itu tidak berarti, bahwa kepemimpinan selalu merupakan kegiatan yang
direncanakan dan dilakukan dengan sengaja. Seringkali kepemimpinan berlangsung juga
secara spontan. Meskipun demikian, direncakan atau tidak direncanakan, maksud dan tujuan
selalu ada. (Onong Uchjana Effendy)

2.2.  Fungsi Kepemimpinan


Fungsi seorang pemimpin beserta teknik kepemimpinannya berbeda menurut situasi
dimana sang pemimpin melakukan kegiatannya. Kelompok-kelompok yang satu sama lain
berbeda macamnya, berbeda dasarnya, berbeda sifat pemilihannya, serta berbeda fungsi dan
tujuannya, menghendaki cara kepemimpinan yang berbeda pula. Sifat sang pemimpin beserta
proses kepemimpinannya dalam suatu rapat dewan, dalam suatu bencana kebakaran, atau
dalam suatu konperensi politik, jelas sekali berbeda satu sama lain. Jenis kepemimpinan dan
jenis kepribadian dari orang yang dipilih nyata-nyata berbeda antara kebudayaan yang satu
dengan kebudayaan lainnya, dan antara periode yang satu dengan periode lainnya. Dalam
kepemimpinan tidak ada asas-asas yang universal; yang tampak ialah, bahwa proses-proses
kepemimpinan dan pola-pola hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin mempunyai ciri-
ciri khas dalam setiap jenis kelompoknya.
Fungsi utama kepemimpinan terletak dalam jenis khusus dari perwakilan kelompoknya
(group representation). Seorang pemimpin harus mewakili kelompoknya melalui saluran-
saluran yang khusus direncanakan dan dibuat oleh kelompoknya sendiri. Mewakili
kepentingan kelompoknya mengandung arti, bahwa si pemimpin mewakili fungsi
administrasi secara eksekutif. Ini meliputi koordinasi dan integrasi berbagai aktivitas,
kristalisasi kebijaksanaan kelompok, dan penilaian terhadap macam-macam peristiwa yang
beru terjadi, yang membawakan fungsi kelompok. Lain daripada itu seorang pemimpin juga
merupakan perantara dari orang-orang dalam kelompoknya dengan orang-orang diluar
kelompoknya. (Onong Uchjana Effendy)

2.3.  Jenis Kepemimpinan


Berikut ini beberapa jenis kepemimpinan dalam perspektif komunikasi menurut Onong
Uchjana Effendy:
a.      Pemimpin sebagai Eksekutif
Pemimpin eksekutif (executive leader) seringkali disebut pula administrator. Fungsinya
adalah “menterjemahkan” kebijaksanaan yang bersifat lisan menjadi suatu kegiatan. Dia
memimpin dan mengawasi tingkah-laku orang-orang yang menjadi bahwahannya. Dia
membuat keputusan-keputusan dan memerintahkannya untuk dilaksanakan.
Kepemimpinan eksekutif atau kepemimpinan administratif tersebut merupakan
kepemimpinan yang banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat, karena memang
merupakan kebutuhan berbagai bidang dalam masyarakat. Kepemimpinan dalam ketentaraan
dapat dikatakan sebagai jenis kepemimpinan eksekutif. Demikian pula kepemimpinan dalam
cabang-cabang yang bersifat administratif dalam suatu pemerintahan, mulai dari pusat sampai
kedaerah-daerah, memerlukan fungsi eksekutif tersebut.

b.      Pemimpin sebagai Hakim
Pemimpin sebagai hakim atau penimbang atau pelerai sudah dikenal sejak dahulu kala.
Dari berbagai sumber dapat diketahui cerita-cerita atau kisah-kisah dimana seorang
pemimpin bertindak sebagai hakim atau penengah, yang setiap keputusannya dilaksanakan
dengan taat.
Dalam masyarakat modern tanggung-jawab keadilan terletak ditangan para pemimpin
dengan keahliannya yang khusus dan ditunjuk secara khusus. Ini dikenal sebagai pengadilan.
Dalam bidang lainnya, umpamanya dalam bidang olahraga, terdapat korps wasit yang
mempunyai fungsi sebagai hakim.
Pemimpin sebagai hakim adalah seorang otokrat, karena setiap keputusannya adalah
bersifat mutlak.
c.      Pemimpin sebagai Penganjur
Pemimpin sebagai penganjur, sebagai propagandis, sebagai juru-bicara, atau sebagai
“pengarah opini publik (mobilizer of opinion) merupakan orang-orang penting dalam
masyarakat. Mereka ini bergerak dalam bidang komunikasi atau publisistik yang perlu
menguasai ilmu komunikasi.
Penganjur adalah sejenis pemimpin yang memberi inspirasi kepada orang lain.
Seringkali ia merupakan orang yang pandai bergaul dan fasih berbicara. Acapkali ia adalah
pioner dalam bidang sosial dan berjuang untuk perubahan-perubahan. Jika ia dalam
kedudukannya sebagai penganjur itu berada jauh di depan kelompoknya, dia bisa menjadi
lambang penjelmaan ide-ide yang dibawakannya. Pemimpin seperti itu ialah umpamanya:
Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, Gajah Mada, Mahatma Gandhi, Abraham Lincoln,
Martin Luther, dan lain-lain.
Akan tetapi pemimpin-penganjur atau advocate-leader itu tidak hanya dijumpai dalam
kehidupan nasional. Seorang anggota DPRD yang menampilkan ide untuk mengatasi masalah
kesulitan perumahan bagi pegawai negeri, juga dapat dikatakan pemimpin-penganjur; atau
seorang kiai yang menyerukan kepada khalayak untuk hidup damai dengan tetangga.
d.      Pemimpin sebagai Ahli
Pemimpin sebagai ahli, umpamanya seorang instruktur atau seorang juru-penerang,
berada dalam posisi yang khusus dalam hubungannya dengan unit sosial dimana ia bekerja.
Dia lebih terpelajar daripada orang-orang lainnya. Kepemimpinannya hanya berdasarkan
fakta, dan hanya pada bidang dimana terdapat fakta. Termasuk dalam kategori ini ialah, guru,
petugas sosial, dosen, dokter, ahli hukum, dan yang lainnya lagi, yang mencapai dan
memelihara pengaruhnya karena mereka mempunyai pengetahuan untuk diberikan kepada
orang lain. Hal yang membuat seseorang menjadi instructor leader ialah kenyataan, bahwa ia
lebih banyak memiliki pengetahuan berbanding dengan anggota-anggota kelompok lainnya
dan bahwa fungsinya yang penting ialah memberikan penerangan kepada kelompoknya.
Alasan utama bagi eksistensinya ialah, bahwa “ia tahu dan orang lain tidak tahu.” dan ia
mempunyai wewenang.
e.      Pemimpin sebagai Pemimpin-Diskusi
Pemimpin jenis ini dijumpai dalam lingkungan kepemimpinan demokratis dimana
komunikasi memegang peranan yang sangat penting. Seseorang yang secara lengkap
memenuhi kriteria kepemimpinan demokratis ialah orang yang menerima peranannya sebagai
pemimpin diskusi. Jika seorang pejabat melaksanakan metode demokratis, dia bukan lagi
seorang eksekutif, melainkan seorang pemimpin diskusi (discussion leader). Bila seorang
guru melaksanakan metode-metode demokratis, dia bukan lagi seorang pemimpin diskusi.
Diskusi yang bebas adalah satu-satunya proses dimana kelompok secara keseluruhan ikut
berperan dan dimana semua anggota kelompok sama-sama diwakili dalam membuat suatu
keputusan. Adalah melalui diskusi, bahwa seorang pemimpin dapat menampilkan bakat-bakat
kreatif dari anggota-anggota kelompok, membantu mereka memecahkan persoalan, dan
mencapai keputusan yang mereka buat.
BAB III
KOMUNIKASI DALAM KEPEMIMPINAN

3.1.  Pengertian Komunikasi


“Effective leadership means effective communication”, kata Henry Clay Lindgren
dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA.
Bab sebelumnya telah dikemukakan, bahwa kepemimpinan ialah proses kegiatan
seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran,
perasaan, atau tingkah-laku orang lain dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Antara
sang pemimpin dan si pengikut terdapat suatu kesangkut-pautan (relationship) dan kesangkut-
pautan ini bersifat komunikatif. Seorang pemimpin – apakah ia pemimpin sebagai eksekutif,
sebagai hakim atau penengah, sebagai penganjur, sebagai ahli, ataupun sebagai pemimpin
diskusi – pasti terlibat dalam kegiatan komunikasi. Terlebih kalau ia bergiat dalam
kepemimpinan demokratis, ia akan banyak melakukan komunikasi.
Hakekat kepemimpinan ialah apa yang si pemimpin komunikasikan dan bagaimana ia
mengkomunikasikannya. Karena itulah, maka Lindgren mengatakan, bahwa kepemimpinan
yang efektif berarti komunikasi yang efektif. Ini berarti pula, bahwa seseorang yang ingin
menjadi pemimpin harus belajar untuk bisa berkomunikasi dengan efektif. Dan seseorang
yang kini sedang berada dalam tampuk kepemimpinan dan ingin meningkatkan efektivitasnya
harus meningkatkan kemampuannya dalam berkomunikasi.
Apa sebenarnya komunikasi itu?
Komunikasi sudah lama menjadi objek penelitian para ahli disebabkan pentingnya hal
itu, baik bagi kepentingan masyarakat sendiri, maupun untuk hubungan antar bangsa. Charles
Cooley, umpamanya, pada tahun 1909 menampilkan definisi komunikasi yang hingga kini
masih sering disebut-sebut dan acapkali masih dikutip oleh para ahli komunikasi. Cooley
dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA mendefinisikan komunikasi adalah:
Mekanisme yang menyebabkan adanya hubungan antar manusia dan yang
memperkembangkan semua lambang pikiran, bersama-sama dengan alat-alat untuk
menyiarkannya dalam ruang dan merekamnya dalam waktu. Ini mencakup wajah, sikap dan
gerak-gerik, suara, kata-kata tertulis, percetakan, kereta-api, telegrap, telephon, dan apa saja
yang merupakan penemuan mutakhir untuk menguasai ruang dan waktu.
Jika dibandingkan dengan definisi-definisi lainnya, definisi Cooley ini merupakan
definisi yang paling lengkap dan paling menarik di antara sekian banyak definisi. Definisi
tersebut meliputi beberapa unsur. Pertama, ide dari komunikasi sebagai dasar yang hakiki
bagi hubungan manusia. Kedua, komunikasi sebagai proses yang menyebabkan hubungan
tersebut menjadi suatu kegiatan. Akhirnya, dia melihat dalam mekanisme tersebut simbolisasi
(kata-kata, gambar, dsb.) dan alat-alat bagi pengoperan objek-objek dari hubungan tersebut
(informasi, ide, pengalaman, dan sebagainya).
Komunikasi membawa hubungan manusia dari hakekat ke eksistensi, dari non-temporal
ke sejarah. Tanpa komunikasi hubungan manusia adalah bagaikan image yang mencari
bentuk. Bagi hubungan manusia, komunikasi adalah seperti plot dalam drama yang menjadi
action, atau perkembangan menjadi dinamika. Jadi komunikasi dan hubungan manusia tidak
bisa dipisahkan. Dengan demikian, karena kepemimpinan adalah hubungan manusia, maka
komunikasi dan kepemimpinan tidak bisa dipisahkan. Komunikasi dan kepemimpinan
merupakan suatu kesatuan.
Komunikasi dari tahun ke tahun tetap menjadi objek penelitian yang intensif. Setiap
penelitian pada umumnya melakukan kegiatannya berdasarkan rumus Lasswell yang terkenal.
Harold D. Laswell dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA menyatakan, bahwa cara yang
tepat untuk menerangkan komunikasi ialah menjawab pertanyaan-pertanyaan:
-     Siapa (Who)
-     Mengatakan apa (Says what)
-     Melalui saluran apa (In which channel)
-     Kepada siapa (To whom)
-     Dengan efek yang bagaimana (With what effect).
Studi ilmiah mengenai komunikasi cenderung untuk konsentrasi pada satu atau
beberapa pertanyaan tersebut di atas. Para cedekiawan yang mempelajari unsur “siapa”, yakni
komunikator meneropong faktor yang memprakarsai dan membimbing kegiatan komunikasi.
Sub-bagian dari bidang penelitian ini dinamakan analisa pengawasan (control analysis). Para
peneliti yang memfokuskan diri pada “mengatakan apa” bercecimpung dalam analisa isi
(content analysis). Mereka yang terutama menaruh perhatian kepada pers, radio, televisi,
film, dan saluran-saluran komunikasi lainnya melakukan analisa media (media analysis).
Apabila sangkut-paut yang utama adalah orang-orang yang dicapai oleh media, maka ini
sedang berbicara mengenai analisa sasaran komunikasi (audience analysis). Jika
pertanyaannya adalah efek atau pengaruh kepada sasaran komunikasi, masalahnya adalah
analisa efek (effect analysis).

3.2.  Proses Komunikasi


Berdasarkan definisi Cooley dan rumus Lasswell dapat diambil kesimpulan, bahwa
komunikasi adalah suatu proses operan lambang-lambang yang mengandung pengertian
tertentu oleh seseorang kepada orang lain. Dan proses komunikasi tersebut meliputi unsur-
unsur:
-     Komunikator, yakni orang yang menyampaikan atau mengatakan atau menyiarkan pesan
(message).
-     Pesan (message), yaitu ide, informasi, opini, dsb.
-     Saluran (channel, media), ialah alat yang dipergunakan oleh komunikator untuk
menyampaikan pesan.
-     Komunikan (communicant, audience), yaitu orang yang menerima pesan.
-     Efek (effect), yakni efek atau pengaruh kegiatan komunikasi yang dilakukan komunikator
kepada komunikan.
Bagi seorang pemimpin, unsur terakhir dari proses komunikasi tersebut di atas, yakni
“efek”, harus merupakan faktor yang selalu mendapat perhatian. Ia senantiasa harus bertanya
apakah ada efeknya dan sejauh mana efek dari kegiatan komunikasinya itu. Sukses tidaknya
komunikasinya tergantung dari efek dari kegiatan komunikasinya. Sudah tentu ini tergantung
pula dari apa yang ia komunikasikan dan bagaimana ia mengkomunikasikannya.
Apa yang dikomunikasikan oleh seorang pemimpin kepada pengikutnya atau anak-
buahnya, dalam proses komunikasi adalah pesan yang disampaikan komunikator kepada
komunikan. Wilbur Schramm, seorang ahli komunikasi, menampilkan istilah “informasi”
untuk pesan komunikasi tersebut. Ia menyajikan batasan mengenai komunikasi sebagai
“pengikutsertaan suatu orientasi ke dalam isyarat-isyarat yang bersifat informasi” (the sharing
of an orientation toward a set of informational signs).
Informasi dalam pengertian tersebut di atas harus diartikan secara luas. Jelasnya: tidak
terbatas pada berita atau “fakta” atau apa yang terdapat dalam buku atau yang diajarkan
dalam kelas. Informasi adalah setiap isi komunikasi yang mengurangi ketidakpastian atau
kemungkinan-kemungkinan alternatif dalam suatu situasi. Ini dapat mencakup emosi. Dapat
pula meliputi fakta atau opini, bimbingan atau persuasi. Ia tidak harus berbentuk kata-kata;
pengertian yang tersembunyipun atau bahasa bisu (the silent language) adalah informasi yang
penting. Ia tidak harus benar-benar sama pada komunikator dan komunikan.
Pendapat Wilbur Schramm tersebut di atas merupakan perbaikan – untuk tidak
mengatakan sanggahan – bagi teorinya yang ia tuangkan dalam bukunya terdahulu. Ia
selanjutnya menegaskan, bahwa hal ini perasaan ragu-ragu, bahwa pesan komunikasi pernah
sama pada komunikator dan komunikan dan tidak mungkin untuk mengukur kesesuaian
tersebut secara lengkap sekali. Ide yang sudah kuno, yakni ide pengoperan fakta-fakta dari
benak yang satu ke benak yang lain tidak lagi merupakan cara yang sempurna untuk
memikirkan komunikasi manusia. Akan lebih bermanfaat jika memikirkan seseorang atau
sejumlah orang bersangkutan dengan sejemput informasi, masing-masing dengan kebutuhan
dan tujuannya sendiri, masing-masing memahami dan menggunakan informasi dengan
caranya sendiri.
Karena itu, menurut Schramm, komunikasi didasarkan atas kesangkutpautan
(relationship). Kesangkutpautan ini dapat terjadi antara dua orang, atau antara seseorang
dengan sejumlah orang. Hakekat kesangkutpautan ini adalah “setala” (“in tune”) antara satu
sama lainnya, terfokuskan kepada informasi yang sama. Unsur sentral kesangkutpautan
komunikasi tersebut biasanya dipancangkan dalam kesangkutpautan sosial tertentu yang
menunjang penggunaan dan interpretasi terhadap informasi.
Kesangkutpautan tersebut tidak harus berada dalam komunikasi tatap muka (face to
face communication). Definisi Cooley menampilkan alat-alat untuk menyiarkan lambang-
lambang melalui ruang dan merekamnya dalam waktu. Jadi media massa memungkinkan
komunikasi dalam jarak yang sangat jauh; alat-alat tersebut ialah mesin-mesin yang
dipergunakan dalam proses komunikasi untuk melipatkan tulisan orang (mesin cetak) atau
untuk memperluas indera penglihatan dan pendengaran (televisi, film, radio). Demikian juga,
isyarat-isyarat dan lambang-lambang dari zaman dahulu kala dapat dikomunikasikan, seperti
apa yang dikenal sebagai karya orang-orang ternama yang sudah tidak ada. Akan tetapi
tampak jelas bahwa disitu terdapat perbedaan/dalam kualitas antara kesangkutpautan
komunikasi yang dekat dan langsung dengan yang dijauhkan dalam ruang dan waktu. Tak
mungkinlah terdapat komunikasi dua-arah dengan pengarang yang sudah tiada. Akan tetapi
komunikasi jarak jauh ini dapat menimbulkan akibat yang mengandung suatu kekuatan; salah
satu sebab mengapa buku-buku termashur tetap abadi dan media massa tetap hidup ialah
karena adanya kekuatan untuk “mentala” (“tune in”) dengan massa komunikan di tempat
yang jauh.
Demikian mengenai apa yang dikomunikasikan. Sekarang mengenai bagaimana
komunikasi dilangsungkan. Seperti telah disinggung di muka, dalam proses komunikasi
terdapat unsur-unsur komunikator dan komunikan. Komunikator berfungsi sebagai
“encoder”, yakni sebagai orang yang memformulasikan pesan yang kemudian
menyampaikannya kepada orang lain. Orang yang menerima pesan ini adalah komunikan
yang berfungsi sebagai “decoder”, yakni menterjemahkan lambang-lambang pesan kedalam
konteks pengertiannya sendiri. Lalu komunikan ini mereaksi atau memberi tanggapan; dan
jika melakukan secara terbuka (overtly), ia menjadi encoder (komunikator) yang
menyampaikan pesan kepada komunikator yang semula; atau bisa juga kepada orang lain.
Dengan perkataan lain, decoder menjadi encoder bagi pesan yang baru, biasanya pesan balik.
Pesan balik ini, yang disampaikan oleh penerima kembali ke pengirim, biasanya disebut
“umpan balik” atau “feed-back”. Sampainya umpan balik ini kembali ke pengirim pesan yang
semula, bisa berlalu secara langsung atau tertunda.
Umpan-balik langsung terjadi dalam percakapan antar pribadi (interpersonal
conversation) atau percakapan dalam kelompok kecil. Ini bisa terjadi dalam setiap situasi
komunikasi dimana seorang pembicara dapat diinterupsi oleh sebuah pertanyaan.
Umpan-balik yang tertunda terjadi dalam berbagai situasi, tetapi yang sering terjadi
ialah dalam situasi yang bersangkutan dengan komunikasi massa, dimana-umpamanya,
pembaca surat kabar mengirim surat keredaksi mengenai suatu hal yang ia baca, atau
penonton televisi yang menelepon studio mengenai beberapa hal yang ia lihat dalam
programa televisi tersebut.
Dalam bab sebelumnya mengenai arti kepemimpinan ditandaskan, bahwa
kepemimpinan adalah suatu usaha untuk mengarahkan tingkah laku orang lain ke suatu
tujuan tertentu. Oleh karena itu bagi seorang pemimpin kurang sempurnalah definisi Cooley,
yang menyatakan, bahwa komunikasi adalah mekanisme yang menyebabkan adanya
hubungan antar manusia dan yang memperkembangkan semua lambang pikiran, bersama-
sama dengan alat-alat untuk menyiarkannnya dalam ruang dan merekamnya dalam waktu.
Demikian pula kurang sempurnalah definisi William Albig yang menyatakan, bahwa
komunikasi adalah proses pengoperan lambang-lambang yang mengandung pengertian antara
individu-individu (communication is the process of transmitting meaningful symbols between
individuals).
Cooley dan Abig hanya mengatakan, bahwa komunikasi adalah proses penyampaikan
pesan oleh seseorang kepada orang lain. Bagi seorang pemimpin barangkali definisi yang
dikemukakan oleh Carl I. Hovland yang paling tepat untuk dijadikan pegangan dalam
kegiatan komunikasinya. Hovland dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA mendefinisikan
komunikasi:
Sebagai proses dimana seseorang (komunikator) mengoperkan perangsang-perangsang
(biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang
lain (komunikan). (As the process by which an individual (the communicator) transmits
stimuli (usually verbal symbols) to modify the behavior of other individuals
(communicatees).
Dalam definisi Hovland tampak adanya penekanan, bahwa komunikasi adalah bukan
sekedar menyampaikan pesan, tetapi “untuk mengubah tingkah laku orang lain”. Jelas adanya
faktor tujuan (purpose, intention). Dan ini adalah sesuai dengan faktor penting dalam
kepemimpinan, yakni juga tujuan.

3.3.  Tekhnik Berkomunikasi


Menurut Dr. Asmawi Rewansyah, M.Sc dalam perkuliahan Ilmu Administrasi Publik
(2015), tekhnik berkomunikasi adalah cara atau seni menyampaikan pesan sedemikian rupa,
sehingga menimbulkan dampak tertentu pada komunikan atau penerima pesan.
Pada umumnya bahasa yang digunakan untuk menyalurkan pernyataan/pesan tersebut
dan ada juga lambang yang digunakan antara lain gerakan anggota tubuh, gambar, warna dan
sebagainya. Contoh lambang gerakan anggota tubuh seperti melambaikan tangan,
mengedipkan mata, mencibirkan bibir, menggelengkan atau menganggukkan kepala. Pesan
gambar seperti foto, lukisan, sketsa, karikatur, diagram, grafik dan sebagainya. Warna seperti
pada lampu lalu lintas.
Yang terpenting dalam komunikasi adalah bagaimana caranya agar sesuatu pesan
menimbulkan suatu dampak/efek tertentu pada si penerima pesan/komunikan. Dampak yang
ditimbulkan menurut kadarnya yakni:
a.   Dampak kognitif
Yaitu penerima pesan menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya atau mengubah
pikiran diri komunikan.
b.   Dampak afektif
Yaitu penerima pesan tidak hanya tahu, tetapi tergerak hatinya atau menimbulkan
perasaan tertentu, seperti: iba, terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya.
c.   Dampak behavioral/perilaku
Yaitu dampak yang timbul pada perubahan perilaku, tindakan, kegiatan dan ucapan
penerima pesan.

3.4.  Rintangan-Rintangan Komunikasi


1.      Gangguan Mekanik dan Semantik
Pada bab sebelumnya telah dikutip keyakinan Hendy Clay Lindgren, bahwa
kepemimpinan yang efektif adalah komunikasi yang efektif. Dalam bab tersebut dan bab
berikutnya telah dibahas berbagai hal sehubungan dengan komunikasi, mulai dari
pengertiannya dan prosesnya sampai kepada bentuknya dan modelnya. Telah disetujui
pendapat para ahli, bahwa komunikasi efektif adalah komunikasi yang berhasil membina
pengertian, yang berhasil menyampaikan pesan yang membuat komunikan memberikan
tanggapan yang dikehendaki komunikator. Dalam komunikasi efektif suatu pesan dapat
berlaku kepada komunikan dan pengertian yang ada padanya benar-benar sama dengan
pengertian yang terdapat pada komunikator. Tetapi telah ditegaskan pula bahwa bagi seorang
pemimpin, komunikasi efektif bukan hanya keberhasilan dalam membina pengertian yang
sama antara komunikator dan komunikan, tetapi berhasil mengubah tingkah laku komunikan
ke arah yang dikehendaki komunikator.
Untuk mendapatkan komunikasi yang efektif memang tidaklah mudah. Ada banyak
rintangan yang bisa merusak komunikasi. Yang paling penting diantaranya ada dua yang
dalam bahasa asing biasa disebut “noises”, yang diterjemahkan menjadi “gangguan”, yaitu
“mechanical noise” (gangguan mekanik) dan “semantic noise” (gangguan semantik).
a.      Gangguan Mekanik
Yang dimaksudkan dengan gangguan mekanik ialah gangguan disebabkan saluran
komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik. Ini erat hubungannya dengan media-media
atau saluran komunikasi antar-pribadi secara lisan. Sebagai contoh ialah gangguan mekanik
seperti suara dobel dari pesawat radio disebabkan dua pemancar yang berdempetan, gambar
berliuk-liuk atau maju berubah-ubah pada layar televisi, bunyi menggaung pada pengeras
suara atau riuh hadirin pada pidato dalam suatu pertemuan. Dalam media tercetak, contoh
untuk gangguan mekanik ialah huruf yang tidak jelas, jalur huruf yang hilang atau terbalik,
halaman yang sobek, paragraf atau sambungan kisah-berita yang hilang, atau halaman yang
kotor atau basah.
Gangguan mekanik seperti itu bagi seorang pemimpin sering kali merupakan
gangguan yang berada di luar kekuasaannya untuk mengatasinya. Tetapi dengan “approach”
yang baik kepada orang-orang yang berwenang dalam saluran komunikasi, setidak-tidaknya
ia akan dapat memecah terjadinya gangguan yang tidak diingininya itu. Mengapa pesan
Presiden melalui media massa tidak pernah mengalami gangguan mekanik? Ini disebabkan
seluruh perhatian orang-orang yang berwenang dalam media massa ditumpahkan kepada
komunikasi yang sedang dilakukan oleh Presiden itu. Barangkali dengan teknik “human
relation”, seorang pemimpin yang akan menggunakan media massa dapat meminta kepada
pimpinan media massa untuk menaruh perhatian kepadanya.
b.      Gangguan Semantik
Gangguan semantik seperti disebutkan di atas adalah terjemahan dari “semantic
noise”. Istilah “noise” di sini tidak berarti “suara”. Gangguan ini bersangkutan dengan pesan
komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak. Gangguan semantik tersaring ke dalam pesan
melalui penggunaan bahasa. Lebih banyak kekacauan mengenai pengertian suatu istilah atau
konsep yang terdapat pada komunikator, akan lebih banyak gangguan semantik dalam
pesannya. Gangguan semantik terjadi dalam kesalahpengertian. Pada hakikatnya orang-orang
yang terlibat dalam komunikasi menginterpretasikan bahasa yang menyalurkan suatu pesan
dengan berbagai cara; karena itu mereka mempunyai pengertian yang berbeda dalam
benaknya. Seorang komunikan mungkin menerima suatu pesan dengan jelas sekali, baik
secara mekanik maupun secara phonetik – secara fisik berlalu dengan keras dan jelas – tetapi
disebabkan kesukaran pengertian (gangguan semantik) komunikasinya menjadi gagal.
Rintangan-rintangan apa lagi yang cenderung untuk mengganggu atau merusak
komunikasi efektif? Merril dan Lowenstein dalam Drs. Onong Uchjana Effendy, MA
menyajikan suatu daftar sebagai berikut:
-    Latar belakang pelaku komunikasi yang berbeda.
-    Perbedaan pendidikan, formal atau tidak formal.
-    Perbedaan kepentingan dalam pesan yang disampaikan.
-    Perbedaan IQ.
-    Perbedaan taraf dan penggunaan bahasa.
-    Kekurangan rasa saling hormat-menghormati di antara pelaku komunikasi.
-    Perbedaan faktor-faktor seperti umur, kelamin, ras dan kelas.
-    Tekanan mental dan/atau fisik pada waktu berkomunikasi.
-    Kondisi lingkungan pada waktu berkomunikasi.
-    Kekurangan keahlian pada pihak komunikator (penulis atau pembicara yang kurang
mahir).
-    Kekurangan keahlian pada piihak komunikan (pembaca atau pendengar yang kurang
mahir).
-    Kekurangan informasi dalam pesan (pesan yang “kosong”).
-    Kecil atau tidak ada kesamaan dalam pengalaman.
-    Kecil atau tidak ada umpan-balik atau interaksi.
2.      Umpan-Balik
a.   Pengertian Umpan-Balik
Di atas disebutkan, bahwa “kecil atau tidak ada umpan-balik” merupakan rintangan
bagi komunikasi efektif. Umpan balik atau “feedback” ini perlu mendapat pembahasan
tersendiri mengingat pentingnya hal ini dalam proses komunikasi. Suatu umpan balik selain
bisa positif, juga bisa negatif yang perlu diatasi oleh komunikator dalam rangka melakukan
komunikasinya yang efektif.
Apabila seorang komunikator dalam suatu situasi komunikasi antar pribadi mengubah
tingkah laku bicaranya disebabkan menerima tanggapan tertentu dari komunikan, ini dapat
dikatakan bahwa ia menanggapi umpan balik. Drs. Onong Uchjana Effendy, MA dalam
Kepemimpinan dan Komunikasi mengatakan bahwa, “umpan balik adalah pesan baik yang
disampaikan oleh komunikasi kembali kepada komunikator. Dengan mengetahui umpan balik
itu, komunikator bisa menyadari apakah komunikasinya sukses atau gagal. Bila ternyata
gagal, maka ia bisa segera mengubah cara menyampaikan pesannya.”
Istilah feedback yang diterjemahkan menjadi umpan balik berasal dari cybernetic, suatu
cabang dari ilmu bangunan (engineering science) yang berhubungan dengan sistem kontrol.
Sistem ini mengontrol suatu operasi dengan menggunakan informasi mengenai efek. Sebuah
contoh untuk sistem cybernetic yang sederhana ialah termostat (alat peng-imbang panas)
pada sebuah dapur-api. Jika suhu di dalam kamar menurun sampai derajat terendah, termostat
menutup sebuah alat, mengirim isyarat yang menghidupkan tungku-api tadi. Termostat
senantiasa mengontrol suhu kamar; jika maksimum suhu yang diinginkan tercapai, termostat
tersebut membuka alat yang disebutkan tadi, yang mengirimkan isyarat yang mematikan
dapur-api tadi.
b.   Umpan-Balik Positif dan Negatif
Oleh karena saat menggunakan informasi mengenai efek komunikasi untuk mengontrol
sukses tidaknya komunikasi, maka wajarlah untuk memperluas konsep umpan balik ini.
Jika, umpamanya, anggukan hormat seseorang kepada orang asing (tidak saling kenal)
mendapat tanggapan yang menyenangkan, maka mungkin ia meneruskan percakapannya
dengan menyampaikan pesan yang lebih banyak. Ini adalah umpan balik positif. Tetapi jika
pesan pertama menemui perbedaan atau bernada tidak enak, maka percakapan hanya sampai
disitu; ini adalah umpan balik negatif.
Saat ini, oleh karena perkataan “positif” dan “negatif” mempunyai pengertian yang
memiliki nilai tertentu, kedua perkataan itu akan mudah membingungkan apabila dalam
pembicaraan mengenai umpan-balik. Dalam contoh di atas bukan tanggapan komunikan yang
menyenangkan yang membuat umpan balik positif; juga bukan tanggapan yang menunjukkan
keengganan yang membuat umpan balik negatif. Untuk mudahnya adalah suatu pertanyaan
apakah tanggapannya tadi menyebabkan peningkatan atau penurunan dalam beberapa aspek
tingkah laku komunikator. Dengan lain perkataan, pertanyaannya ialah apakah tanggapan
komunikan menyebabkan komunikator memperluas atau mengakhiri percakapan?
Theodore Clevenger, Jr. dan Jack Matthews dalam karyanya “Feedback” dalam Drs.
Onong Uchjana Effendy, MA menegaskan, bahwa tanggapan komunikan yang
menyenangkan sering juga menunjukkan umpan balik negatif; sebaliknya tanggapan yang
tidak menyenangkan dapat menunjukkan umpan balik positif.
“Jika saya menerangkan sesuatu kepada anda dan mengetahui suatu isyarat dari anda
tanpa bentuk kata-kata yang menunjukkan, bahwa anda tidak mengerti apa yang saya katakan
tadi, tanggapan anda dapat dikarakteristikkan sebagai negatif; tetapi umpan balik yang
sampai kepada saya adalah positif jika ia membuat saya mengulangi atau memperluas
penerangan saya. Dalam pada itu, jika anda menunjukkan, bahwa anda mengerti, tanggapan
anda dapat dikatakan positif; tetapi efek kepada tingkah laku saya akan negatif, bila ia
memberi isyarat, bahwa saya harus berhenti memberikan penjelasan.”
Demikian kata Clevenger dan Matthews.
Dengan keterangan di atas jelaskan, bahwa istilah umpan balik tidak menunjuk kepada
setiap tingkah-laku komunikan, melainkan kepada kesangkutpautan (relationship) antara
tingkah laku komunikator, tanggapan komunikan, dan efek tanggapan tersebut kepada
tingkah laku komunikator selanjutnya. Jadi tanggapan komunikan bukanlah umpan balik,
kalau tanggapan tersebut tidak menimbulkan efek pada tingkah laku komunikator
selanjutnya.
c.   Umpan-Balik Langsung dan Tertunda
Umpan balik langsung (immediate feedback) dan umpan balik tertunda (delayed
feedback) telah dibicarakan pada Bab sebelumnya ketika membahas proses komunikasi.
Umpan balik langsung terjadi dalam komunikasi tatap muka antar pribadi (face to face
communication; person to person communication) atau komunikasi dalam kelompok kecil.
Ini bisa terjadi dalam setiap situasi komunikasi dimana si komunikator dalam proses
komunikasinya dapat diinterupsi oleh suatu pertanyaan dari komunikan.
Umpan balik tertunda terjadi dalam berbagai jenis situasi komunikasi, tetapi seringkali
dalam hal yang erat hubungannya dengan komunikasi massa. Sebagai contoh ialah surat
pembaca yang dikirimkan kepada redaksi surat kabar mengenai salah satu hal dari isi surat
kabar, atau telepon yang disampaikan kepada studio televisi oleh penonton mengenai
programa yang telah dilihatnya. Umpan balik tertunda dalam komunikasi massa bersifat
selektif, dan komunikator hanya memperoleh wawasan mengenai bagaimana sebagian kecil
dari komunikannya merasakan tentang pesan yang disampaikannya. Tambahan pula, umpan
balik tertunda ini biasanya masuk sedemikian lambatnya, sehingga komunikator tidak dapat
menggunakannya untuk memperbaiki pesannya. Mungkin pula orang-orang yang
menyampaikan umpan balik itu adalah orang-orang yang “luar biasa”; karena itu
komunikator tidak dapat mempunyai dugaan yang terlalu banyak berdasarkan umpan balik
tertunda itu.
Dalam pada itu, dalam kelompok kecil – komunikasi tatap muka yang memungkinkan
adanya umpan balik langsung – komunikator dapat segera melihat (serempak dengan
pesannya) bagaimana ia sedang melakukannya agar dimengerti; dan jika diperlukan ia dapat
memperbaiki pesannya atau dapat mengulanginya, baik seluruhnya maupun sebagian,
sehingga salah pengertian dapat dihilangkan.
d.   Umpan-Balik Ditentukan dan Dinyatakan
Benjemin Singer dalam bukunya “Feedback and Society” dalam Drs. Onong Uchjana
Effendy, MA mengetengahkan dua jenis umpan balik yang erat hubungannya dengan politik.
Jenis yang pertama ialah umpan balik yang ditentukan (determinative feedback), yang ia
artikan sebagai proses pengikut sertaan politik dengan tujuan yang ditetapkan dalam pikiran
seperti memilih partai, mendapatkan peraturan daerah yang baru, dan sebagainya.
Umpan balik tersebut oleh Singer dipertentangkan dengan jenis yang kedua, yakni
umpan balik yang dinyatakan (expressive feedback); ini mencakup opini terhadap isu-isu.
Jadi poll dan survey, bahkan surat-surat merupakan umpan balik yang dinyatakan, dimana
untuk suatu tujuan tertentu tidak dipergunakan alat-alat dalam bentuk perkakas.
Public opinion poll merupakan metode yang dapat diterima dewasa ini dengan mana
lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat di negara
yang sudah maju menerima berbagai informasi mengenai opini penduduk. Jadi poll seperti itu
menyatakan sikap yang terdapat pada penduduk.
Tetapi poll, disebabkan beberapa alasan tidak merupakan jawaban yang cukup untuk
keperluan mekanisme umpan balik; pada kenyataannya jawaban-jawaban tersebut terbatas
sekali  dalam kemampuannya umpan balik yang benar-benar relevan.
Dalam hubungannya secara konsepsionil antara penggunaan umpan balik yang
dinyatakan yang berbeda satu sama lain, kita juga bisa menemukan jalan dimana struktur
umpan balik bisa dipakai untuk membedakan macam-macam sistem sosial. Benjamin Singer
telah mengutip pendapat Kenneth Boulding yang menyatakan, bahwa dalam sistem politik
yang bersifat otoriter, keputusan “berasal dari pemegang peranan yang lebih tinggi dan
disampaikan kepada pemegang peranan yang lebih rendah sebagai perintah,” sedangkan
informasi “disampaikan oleh pemegang peranan yang lebih rendah kepada pemegang peranan
yang lebih tinggi atas permintaan pemegang peranan yang lebih tinggi.” Dalam model
otoriter, umpan balik ditangani dari atas, bukan dari bawah. Ini tidak bersifat sukarela,
melainkan diminta. Dalam model otoriter, umpan balik berlaku secara tidak langsung dan
dalam banyak hal berada di bawah pengawasan pemegang peranan yang lebih tinggi. Dalam
model demokratis, umpan balik jauh lebih langsung dan mempunyai pengaruh yang lebih
kuat dalam merubah keputusan.

3.5.  Hambatan Dalam Komunikasi (Menurut Dr. Asmawi Rewansyah, M.Sc)


Adapun hambatan, rintangan atau gangguan dalam komunikasi yang lebih ringkas dan praktis
menurut Dr. Asmawi Rewansyah, M.Sc adalah sebagai berikut:
a.   Hambatan sosio-antro-spikologis
Hambatan ini adalah hambatan yang dilihat pada pemerima pesan/komunikan yang memiliki
latar belakang yang berbeda-beda, yakni:
-     Sosiologis
Yaitu hambatan yang terdiri dari pergaulan hidup yang bersifat pribadi seperti dalam
kehidupan rumah tangga; dan pergaulan hidup yang tidak pribadi, dinamis dan rasional
seperti di kantor atau dalam organisasi.
-     Antropologis
Yaitu manusia yang dilahirkan dan ditakdir berbeda-beda: postur, warna kulit, ras, agama dan
kebudayaan termasuk berbeda dalam gaya hidup, norma, kebiasaan dan bahasanya. Misalnya,
lewat media televisi, masakan daging babi lezat sekali. Sebagian pemirsa (komunikan) hanya
menerimanya secara accepted/rohani dan tidak secara received/inderawi.
-     Psikologis
Yaitu hambatan yang disebabkan komunikator tidak mengkaji keadaan diri komunikan.
Biasanya sulit berhasil apabila si penerima/komunikan sedang sedih, bingung, marah, merasa
kecewa, iri hati dan kondisi psikologis lainnya. Komunikan/penerima pesan bisa saja
menaruh prasangka (prejudice) kepada komunikator.
b.   Hambatan semantik
Hambatan sosio-antro-psikologis terdapat pada komunikan/penerima pesan, sedangkan
hambatan semantik terdapat pada komunikator. Yaitu bahasa yang digunakan komunikator
tidak tepat/pas/jelas, karena mungkin terlalu cepat berbicara/penyampaiannya sehingga
menimbulkan salah pengertian yang berakibat salah pengertian (miscommunication).
Misalnya: maksudnya mengatakan kedelai terucap keledai; maksudnya demokrasi terlontar
demonstrasi; maksudnya partisipasi terlontar/terdengar partisisapi.
Gangguan semantik disebabkan pula oleh aspek antropologis: kata-kata yang sama tulisan
maupun ucapannya tetapi berbeda artinya, misalnya: rampung (bagi orang sunda dan orang
jawa memiliki arti yang berbeda masing-masingnya); atos (antara orang jawa dan sunda);
bujang (antara orang sunda dan sumatra).
c.   Hambatan mekanis/teknis
Hambatan yang pada umumnya terdapat pada media yang diguanakan, seperti telepon,
televisi, radio, surat kabar yang tidak mungkin dapat diatasi oleh komunikator maupun
komunikan.
d.   Hambatan ekologis
Hambatan yang terjadi disebabkan oleh gangguan lingkungan pada saat proses
berlangsungnya komunikasi, seperti: suara bising, hujan, petir, suara pesawat dan sebagainya.

BAB IV
PERAN PEMIMPIN DALAM KOMUNIKASI

4.1.  Pemimpin Sebagai Komunikator


Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, keberhasilan seorang pemimpin banyak
tergantung dari keberhasilannya dalam kegiatan komunikasi. Seseorang tidak mungkin
menjadi pemimpin tanpa punya pengikut. Lebih tinggi kedudukannya sebagai pemimpin,
akan lebih banyak pengikutnya. Akan tetapi tidak mungkin ia dapat menaiki anak tangga
kepemimpinannya tanpa kemampuan membina hubungan komunikatif dengan pengikut-
pengikutnya dan bakal pengikut-pengikutnya.
Telah disinggung di awal bahwa yang sangat penting bagi seorang pemimpin dalam
kegiatannya sebagai komunikator ialah adanya faktor “daya tarik komunikator” (source
attractivenes) dan faktor “kepercayaan pada komunikator” (source credibility).
Seorang komunikator akan mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan sikap,
pendapat dan tingkah laku komunikan melalui mekanisme daya tarik jika pihak komunikan
merasa bahwa komunikator ikut serta dengannya; dengan kata lain pihak komunikan merasa
ada kesamaan antara komunikator dengannya, sehingga dengan demikian komunikan
bersedia untuk taat pada isi pesan yang dipersuasikan komunikator.
Sikap komunikator yang berusaha menyamakan diri dengan komunikan ini akan
menimbulkan simpati komunikan pada komunikator.
Hubungan pentingnya usaha membangkitkan perhatian dalam rangka melaksanakan persuasi.
Dalam hubungan ini perlu diingat agar dalam rangka menumbuhkan perhatian itu (attention
arousing) dihindarkan munculnya appeal yang negatif. Appeal yang negatif bukan attention
arousing, melainkan anxiety atousing, atau menumbuhkan kegelisahan. William J. McGuire,
seorang ahli komunikasi ternama, menegaskan bahwa “anxiety arousing communication”
menimbulkan efek ganda. Di satu pihak ia membangkitkan rasa takut akan bahaya sehingga
mempertinggi motivasi untuk melakukan tindakan preventif. Di lain pihak rasa takut tersebut
juga menimbulkan tanggapan-tanggapan yang umum disebut “flight and fight”, yang dalam
kasus komunikasi persuasi dapat berbentuk permusuhan pada komunikator atau tidak
menaruh perhatian sama sekali.
Faktor kedua ialah “kepercayaan pada komunikator” (source credibility). Kepercayaan
komunikan pada komunikator ditentukan oleh keahlian komunikator dalam bidang tugas
pekerjaannya dan dapat tidaknya ia dipercaya. Seorang ahli hukum akan mendapat
kepercayaan apabila ia berbicara mengenai masalah hukum. Demikian pula seorang dokter
akan memperoleh kepercayaan kalau yang ia bahas adalah soal kesehatan.
Kepercayaan pada komunikator mencerminkan bahwa pesan yang disampaikan kepada
komunikan dianggap olehnya sebagai benar dan sesuai dengan kenyataan empiris.
Dalam pada itu secara umum diakui pula bahwa keahlian seorang komunikator – apakah
keahliannya itu khas atau bersifat umum seperti timbul dari pendidikan yang lebih baik atau
status sosial yang lebih tinggi atau jabatan profesi yang lebih tinggi – akan membuat pesan
yang dikomunikasikannya mempunyai daya pengaruh yang besar. Akan tetapi hal ini terjadi
apabila si komunikator mahir dalam mengkomunikasikan pesannya.
Sehubungan dengan itu, maka berikut ini adalah beberapa faktor yang perlu diperhatikan
apabila seorang pemimpin tampil sebagai komunikator:
1.   Kerangka Referensi
Seorang pemimpin akan berhasil dalam komunikasinya apabila pesan yang ia sampaikan
cocok dengan kerangka referensi (frame of reference) komunikan.
Kerangka referensi seseorang dibentuk sebagai hasil dari pengalaman, pendidikan dan
pengertian-pengertian yang diperoleh dari kelompoknya atau dari orang lain. Kereangka
referensi seorang anak murid SD tidak sama dengan murid SMP, apalagi dengan murid SMA,
lebih-lebih lagi dengan seorang mahasiswa. Jelas bahwa meskipun umurnya sama, tetapi
kalau pendidikan dan pengalamannya berlainan, kerangka referensi orang yang satu dengan
orang lainnya tidak akan sama. Kerangka referensi seorang petani tidak sama dengan seorang
dokter, juga dengan seorang perwira tentara.
Seorang manajer perusahaan dapat saja menyampaikan pesan yang sama kepada wakilnya
dan kepada sopirnya, tetapi formulasinya harus sesuai dengan kerangka referensi kedua orang
tersebut. Kerangka referensi wakil manajer tidak akan sama dengan kerangka referensi
seorang sopir.
Dengan memahami kerangka referensi orang yang menjadi lawan bicara, setidak-tidaknya
akan dapat diduga sikap dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan.
Dalam situasi komunikasi antar pribadi mudah untuk menjajaki kerangka referensi
komunikan, juga dalam situasi komunikasi kelompok dengan komunikan yang sedikit
jumlahnya dan homogen sifatnya. Yang sulit ialah menjajaki kerangka referensi komunikan
dalam kelompok besar (macro group) atau kalau komunikasi dilakukan melalui media massa.
Dalam situasi komunikasi seperti itu, komunikator biasanya mengambil ukuran kerangka
referensi secara rata-rata dalam derajat pendidikan. Maka bahasa yang digunakan adalah
bahasa yang umum dimengerti, dengan kata-kata yang lazim dan sederhana, sedang pesannya
sendiri dikaitkan dengan kepentingan umum.
2.   Situasi dan Kondisi
Situasi dan kondisi sangat berpengaruh pada berhasilnya kelangsungan komunikasi.
Yang dimaksudkan dengan situasi di sini ialah suasana pada saat suatu pesan komunikasi
akan disampaikan kepada seseorang. Pesan politik yang akan dilancarkan sudah tentu harus
diperhitungkan dengan situasi politik. Akan tetapi pesan komunikasi tidak selalu
bersangkutan dengan masalah politik. Hari Minggu, bulan Puasa (Ramadhan) atau hari Tahun
Baru mungkin merupakan situasi yang kurang menyenangkan bagi orang-orang tertentu
untuk diajak berkomunikasi, untuk diberi pesan komunikasi apapun, sekalipun mereka berada
dalam keadaan bahagia sehat walafiat.
Yang dimaksud dengan kondisi dalam hubungannya dengan komunikasi, ialah “state of
personality” dari komunikan. Dia mungkin berada dalm kondisi yang tidak atau kurang
menyenagkan untuk menerima suatu pesan, umpamanya sedang sakit, sedih, marah, lapar,
bingung, dan lain sebagainya, baik kondisi jasmaniah maupun kondisi rokhaniah.
Komunikasi yang dilancarkan dalam situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan
komunikan, tidak akan fungsional (functional), melainkan akan disfungsional (disfunctional),
bahkan mungkin akan menjadi bumerang kepada komunikator, artinya bukan saja
komunikasi tidak berhasil, malahan komunikan menjadi benci kepada komunikator.
3.   Konotasi
Konotasi menyangkut kata-kata sebagai alat untuk mengekspresikan “isi kesadaran”
(Bewusstseinsinhalte; istilah Dr. Walter Hagemann) atau “gambaran dalam benak” (picture in
our head; istilah Walter Lippmann), yakni pikiran dan perasaan. Jadi pesan komunikasi,
apakah itu merupakan ide, informasi, motivasi atau opini, adalah pikiran atau perasaan
komunikator yang dengan menggunakan “kendaraan” bahasa sampai kepada benak
komunikan.
Dalam memilih kata-kata untuk menyatakan pikiran atau perasaan perlu disadari bahwa
lambang kata yang sama mungkin mengandung pengertian yang berbeda bagi setiap orang.
Kata-kata mempunyai dua jenis pengertian, yakni pengertian denotatif dan pengertian
konotatif. Pengertian denotatif adalah pengertian biasa sebagaimana diartikan dalam kamus
(dictionary meaning) yang diterima secara umum oleh kebanyakan orang dengan bahasa dan
kebudayaan yang sama. Pengertian konotatif adalah pengertian emosional atau mengandung
penilaian tertentu (emotional or evaluative meaning) disebabkan latar belakang dan
pengalaman seseorang.
Perkataan “anjing” dalam pengertian denotatif sama saja bagi setiap orang, yakni binatang
berkaki empat, berbulu dan mempunyai daya cium yang tajam. Dalam pengertian konotatif
anjing bagi seorang kiai yang fanatik mungkin merupakan binatang yang harus dihindari
untuk bersentuh, bagi seorang polisi merupakan kawan penyusur lacak pencuri, dan bagi
seorang bintang film Amerika menjadi kawan tidur di saat kesepian; mereka ini berbeda
pandangannya terhadap seekor anjing. Perkataan “demokrasi” dalam pengertian denotatif
adalah pemerintahan rakyat; dalam pengertian konotatif, demokrasi tidak sama artinya bagi
seorang Amerika, bagi seorang Rusia dan bagi seorang Indonesia.
“Kata-kata dapat merupakan dinamit” kata Cutlip dan Center dalam bukunya “Effective
Public Relations”. Dikatakannya, terdapat bukti bahwa kesalahan dalam menterjemahkan
sebuah pesan oleh pemerintah Jepang dalam Perang Dunia II, telah menggetarkan Hirosima
dengan dihancurkannya dengan bom atom.
Perkataan “mokusatsu” yang dipergunakan Jepang sebagai tanggapan terhadap ultimatum
Amerika agar menyerah, telah diterjemahkan oleh Domei menjadi “ignore”, padahal arti
sebenarnya dalam bahasa Inggris adalah “withholding comment until a decision has been
made.” Demikian pula krisis yang pernah terjadi antara Amerika dan Panama adalah
disebabkan kesulitan semantik antara bahasa Inggris “negotiate” dengan bahasa Spanyol
“negociar”. Orang-orang Panama mengartikan “negotiate” dalam bahasa Inggris sebagai
“commitment to negotiate a new treaty”, sedang bagi Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat tidak mengandung pengertian “to discuss”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa bagi seorang pemimpin – lebih-lebih tokoh politik –
pemakaian bahasa dan pemilihan kata-kata untuk menyampaikan pesan komunikasinya perlu
dilakukan dengan seksama untuk menghindarkan terjadinya salah pengertian dan salah tafsir.
Terutama hal ini sangat penting bagi seorang diplopat, karena erat sekali hubungannya
dengan nuansa-nuansa (nuances). Justru nuansalah yang menjadi darah daging profesi
diplomasi.

4.2.  Pemimpin Sebagai Negosiator


Sebagai negosiator dalam situasi perundingan, seorang pemimpin bertindak bukan saja
sebagai komunikator tetapi sekaligus sebagai komunikan. Dalam situasi itu ia menyampaikan
pesan persuasinya tetapi pada saat itu pula ia pada gilirannya menerima pesan persuasi dari
lawannya, apakah lawannya itu sendirian ataupun lebih dari satu orang. Berikut ini adalah
beberapa faktor yang perlu diperhatikan bagi pemimpin sebagai negosiator:
1.   Ethos
Dalam suatu perundingan penting, seorang pemimpin akan sukses apabila ia berhasil
menunjukkan “source credibility”, artinya ia mendapat kepercayaan dari lawannya.
Timbulnya kepercayaan disebabkan adanya “ethos” pada dirinya, yaitu apa yang pernah
dikatakan oleh Aristoteles dan yang hingga kini tetap dijadikan pedoman, yakni “good sense,
good moral character and good will” dan oleh para cendikiawan modern diterjemahkan
menjadi “itikad baik (good intentions), dapat dipercaya (trustworthiness) dan kecakapan atau
kemampuan (competence or expertness).
Jadi selagi menjadi negosiator, seorang pemimpin perlu menunjukkan bahwa dirinya
mempunyai itikad baik, dapat dipercaya dan memang mempunyai kecakapan atau keahlian.
Austin J. Freeley dalam bukunya “Argumentation and Debate” menganjurkan agar seorang
negosiator menampilkan ethosnya kepada komunikan dengan jalan mengadakan pilihan.
Sebagai contoh, jika dalam pilihannya ia mengambil cara mengemukakan hal-hal yang tidak
menyenangkan dalam hubungannya dengan situasi, atau bila ia dalam pilihannya
mengemukakan kekurangan lawan, maka ethosnya menjadi menurun. Sebaliknya, apabila ia
menampilkan rasa pekanya terhadap kebahagiaan masyarakat atau menunjukkan kejujuran
dan keramahannya terhadap lawan, maka dalam pandangan komunikan ethosnya menjadi
naik.
Freeley selanjutnya menyarankan agar seorang negosiator memperhatikan apa yang ia sebut
“ethical standards” sebagai berikut:
1)   Hendaknya menguasai subjeknya; hendaknya melakukan persiapan secara matang; dan
hendaknya mendasarkan kasusnya pada bukti dan argumen yang sebaik-baiknya.
2)   Hendaknya menyajikan fakta dan opini secara seksama.
3)   Hendaknya menyebutkan sumber informasi.
4)   Hendaknya menyambut setiap perbedaan paham dengan baik, dan kendaknya memelihara
dan membina perdebatan sebagai sarana pengambilan keputusan yang rasional.
Demikianlah hendaknya seorang pemimpin manakalah ia dalam suatu perundingan
mengemban misi untuk membawakan suatu pesan dengan harapan dapat menghasilkan
keputusan yang menyenangkan kedua belah pihak.
2.   Peranan Mendengarkan
Dalam suatu perundingan, terutama perundingan politik yang hasil keputusannya
menyangkut kepentingan negara dan rakyat, peranan seorang pemimpin bukan saja
membawakan pesan dan mempersuasikannya kepada lawan, tetapi juga sebagai pendengar.
Mungkin misinya gagal disebabkan ia tidak memperhatikan peranannya sebagai pendengar,
sehingga bukannya ia mampu mempersuasikan pesannya, melainkan ia sendiri menjadi
sasaran persuasi lawan.
Dalam hubungan dengan peranan mendengarkan ini, Harold P. Zelko dalam artikelnya yang
berjudul “An Outline of the Role of Listening in Communication”, diantaranya memberikan
saran sebagai berikut:
1)   Dengarkan semua peserta, jangan yang hanya anda sukai saja.
2)   Konsentrasikan perhatian ada pada pembicaraan orang. Tataplah dia.
3)   Pikirkan mengapa dia mengetengahkan suatu point khusus.
4)   Dalam menjawab atau menyangkal, hormatilah pendapatnya.
5)   Hubungkanlah dan nilailah jalannya perundingan.
6)   Hindarkanlah prasangka pribadi.
7)   Bersikaplah objektif. Hindarkanlah argumen yang panas.
Sebagai pendengar yang baik dalam suatu perundingan menurut Zelko, seorang negosiator
akan dapat:
a)   membedakan fakta dari opini
b)   mengerti, menilai kesimpulan dan melakukan pertimbangan
c)   meneliti prasangka dan propaganda
d)   merekonstruksi pembahasan yang samar sehingga menjadi jelas.
Tetapi dalam suatu perundingan – juga termasuk jumpa pers atau dengar pendapat – bukan
tidak mungkin seorang pembicara terpojokkan sehingga kehilangan akal. Kalau ini terjadi,
maka ethosnya akan menurun. Dalam situasi seperti ini, hendaknya dipergunakan “metode
red-heering” yaitu mengelakkan argumentasi dari bagian-bagian yang lemah untuk kemudian
mengalihkannya sedikit demi sedikit ke bagian yang kuat dan dikuasai. Cara ini disebut juga
“mengkanalisasikan argumentasi (canalizing of argumentation)”.
Lain lagi dengan saran Bettinghause. Ia menganjurkan agar dalam situasi seperti itu
membawa persoalannya ke alam yang lebih abstrak. Katanya: “Lebih abstrak sebuah istilah,
lebih kecil kemungkinannya bagi benak komunikan untuk memperoleh gambaran yang tepat
atau gambaran yang dimaksud (the more abstract a term is, the less likely it is to elicit an
accurate picture or an intended picture in the mind of a receiver).
Yang dimaksudkan dengan “more abstract” oleh Bettinghause dalam contoh yang
dikemukakannya, mempunyai makna “lebih luas”. Demikianlah, maka berdasarkan pendapat
Bettinghause itu, buah lebih luas dari pada mangga, tubuh lebih luas daripada hidung,
manusia lebih luas daripada orang, karyawan lebih luas daripada jurutulis, politik lebih luas
daripada demokrasi, dan sebagainya.
4.3.  Pemimpin Sebagai Monitor
Yang dimaksud dengan pemimpin sebagai monitor di sini ialah fungsi seorang pemimpin
mengobservasi dan meneliti gejala-gejala yang muncul di masyarakat yang mungkin
menimbulkan pengaruh pada dirinya, pada kelompoknya atau organisasi yang diwakilinya;
kalau ia seorang diplomat, maka pengaruh ini adalah terhadap negara dan rakyat yang
diwakilinya.
Gejala tersebut bisa timbul akibat kegiatan komunikasi yang pernah dilancarkannya atau
muncul tanpa diduga dan tidak diketahui sebab-sebabnya. Di sini sang pemimpin bersikap
dan bertindak sebagai komunikan.
Berdasarkan hal itu, ditinjau dari segi komunikasi, seorang pemimpin sebagai monitor dalam
kegiatannya tidak jauh berbeda dengan “inteligen terbuka” (open intelligence), yakni
inteligen yang dilakukan secara terang-terangan, misalnya:
-     membaca dan mempelajari berita-berita dalam surat kabar harian atau majalah berkala
seperti mingguan dan bulanan.
-     mendengarkan, mencatat dan mempelajari siaran-siaran radio/televisi luar negeri dan
dalam negeri, pemerintah maupun swasta, juga radio gelap.
-     membaca, mempelajari dan mengikuti secara terus-menerus pengumuman-pengumuman
resmi pemerintah negara-negara lain.
-     membaca dan mempelajari dokumen-dokumen, statistik-statistik, dan lain sebagainya.
-     membaca dan mempelajari buku-buku dan kesusasteraan mengenai soal-soal tersebut.
-     melihat, memperhatikan dan mempelajari dengan tajam segala sesuatu yang dialami pada
waktu mengadakan peninjauan di suatu tempat atau daerah.
BAB V
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, dapat diketahui kesimpulan bahwa:


5.1.  Kepemimpinan merupakan kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing,
mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan, atau tingkahlaku orang lain. Kegiatan
tersebut dapat dilakukan melalui suatu karya, seperti buku, tulisan, dsb., atau melalui kontak
pribadi antara seseorang dengan orang lain secara tatap-muka (face-to-face). Fungsi seorang
pemimpin beserta teknik kepemimpinannya berbeda menurut situasi dimana sang pemimpin
melakukan kegiatannya. Kelompok-kelompok yang satu sama lain berbeda macamnya,
berbeda dasarnya, berbeda sifat pemilihannya, serta berbeda fungsi dan tujuannya,
menghendaki cara kepemimpinan yang berbeda pula. Dengan demikian fungsi kepemimpinan
diklasifikasikan dalam 4 macam yaitu pemimpin sebagai eksekutif, pemimpin sebagai hakim,
pemimpin sebagai penganjur, pemimpin sebagai ahli, dan pemimpin sebagai pemimpin-
diskusi.
5.2.  Komunikasi merupakan mekanisme yang menyebabkan adanya hubungan antar manusia
dan yang memperkembangkan semua lambang pikiran, bersama-sama dengan alat-alat untuk
menyiarkannya dalam ruang dan merekamnya dalam waktu. Ini mencakup wajah, sikap dan
gerak-gerik, suara, kata-kata tertulis, percetakan, kereta-api, telegrap, telephon, dan apa saja
yang merupakan penemuan mutakhir untuk menguasai ruang dan waktu. Kemudian
komunikasi terdiri atas unsur, siapa (who), mengatakan apa (says what), melalui saluran apa
(in which channel), kepada siapa (to whom) dan dengan efek yang bagaimana (with what
effect).
5.3.  Komunikasi merupakan bagian terpenting yang perlu mendapat perhatian ekstra bagi
pemimpin ketika ingin mempengaruhi orang lain untuk mau mengerjakan perintahnya
ataupun dalam proses pengambilan keputusan. Keberhasilan pemimpin sangatlah ditentukan
dalam keterampilan berkomunikasi. Meskipun komunikasi bukan sebagai panasea (obat
mujarab) untuk menyelesaikan persoalan atau konflik itu, karena persoalan atau konflik
tersebut mungkin berkaitan dengan masalah struktural. Namun paling tidak, dengan adanya
komunikasi kepemimpinan yang baik dan yang menyenangkan, diharapkan benturan-
benturan psikologis dan konflik-konflik antara kepentingan pribadi dan kepentingan
organisasi yang sering terjadi, baik antara manajer atau pemimpin dengan karyawan,
karyawan dengan karyawan, yang mengganggu jalannya roda organisasi dalam mencapai
tujuannya bisa dihindari.
5.4.  Komunikasi kepemimpinan merupakan aktifitas penyampaian pesan, informasi, dan
tugas (secara verbal ataupun non verbal) melalui media tertentu yang dilakukan oleh seorang
pemimpin kepada bawahannya, dengan tujuan tertentu. Inti komunikasi kepemimpinan
sesungguhnya adalah bagaimana memberikan instruksi atau tugas yang jelas dan mudah
dipahami oleh bawahan, bagaimana mengkomunikasikan kebijakan organisasi atau
perusahaan kepada semua unsur di dalamnya, bagaimana frekuensi komunikasi pemimpin
dengan bawahan dan bagaimana memotivasi pada bawahan, membangkitkan motif bawahan
atau karyawan, menggugah daya gerak mereka untuk bekerja lebih giat.


DAFTAR PUSTAKA

Onong, Uchjana Effendy, Drs. MA. 1977. Kepemimpinan Dan Komunikasi. Bandung:
Penerbit Alumni.
Abdullah Masmuh, Drs. M.Si. 2008. Komunikasi Organisasi dalam Perspektif Teori dan
Praktek. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.
Asmawi, Rewansyah, Dr. MSc. 2012. Kepemimpinan Dalam Pelayanan Publik. Jakarta
Timur: PT. Rizky Grafis.

Anda mungkin juga menyukai