Anda di halaman 1dari 39

HAKIKAT PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN

(PEDAGOGIS, ANDRAGOGIS, HEUTAGOGI) BAGI MANUSIA


DAN AZAS-AZAS PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN DI ABAD 21

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Landasan dan Problematika Pendidikan Sains Biologi
Yang diampu Oleh:

Dr. Ibrohim, M.Si

Oleh :
Offering B 2022
Kelompok I

Rendi Fransisco : 220341801852


Anisa Firmandanur Sinta : 220341802528
Hadira. R : 220341802396

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN BIOLOGI
SEPTEMBER 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Hakikat Pendidikan dan Pembelajaran (Pedagogis, Andragogis,
Heutagogi) Bagi Manusia dan Azas-Azas Pendidikan dan Pembelajaran di
Abad 21” tanpa adanya suatu halangan. Tak lupa sholawat serta salam semoga
tetap tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Landasan dan Problematika Pendidikan Sains Biologi yang dibimbing oleh beliau
Dr. Ibrohim, M.Si serta menambah wawasan tentang pembuatan karya tulis yang
benar. Makalah ini merupakan hasil dari proses observasi dan studi literatur.
Dengan terselesaikannya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr. Ibrohim, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah Landasan dan
Problematika Pendidikan Sains Biologi yang telah memberikan saran, kritik,
bantuan, dan arahan selama penyusunan dan penyelesaian makalah ini.
2. Teman-teman offering B S2 Pendidikan Biologi
Kami menyadari makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Untuk itu kami membutuhkan saran dan kritik yang
membangun dan relevan demi kesempurnaaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.

Malang, 10 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i


KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 3
C. Tujuan..................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Hakikat Pendidikan dan Pembelajaran .................................... 4
B. Pembelajaran (Pedagogis, Andragogis, Heutagogi) Bagi Manusia ...... 7
C. Azas-Azas Pendidikan dan Penerapannya .......................................... .. 14
D. Implementasi Pembelajaran Abad 21 dalam Pembelajaran Sains . ....... 25

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................ 31
B. Saran ....................................................................................................... 32

DAFTAR RUJUKAN ....................................................................................... 33

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan di Indonesia saat ini telah mengalami berbagai macam
permasalahan, terbukti dari banyaknya fenomena yang terjadi belakangan ini
dalam konteks pendidikan menandakan bahwa pendidikan di negara kita
sekarang sedang melalui masa kritis. Seiring dengan perkembangan
zaman, pendidikan mulai muncul dalam berbagai macam bentuk dan paham
yang berbeda. Saat ini telah memasuki abad ke-21, pendidikan di indonesia
akan dihadapkan dengan berbagai macam tantangan dan peluang yang
tentunya akan berbeda dari jaman-jaman sebelumnya. Maka dari itu harus
selalu mengantisipasi agar dapat menyesuaikan diri diberbagai perubahan
yang akan terus berlangsung di abad ke-21 ini.
Memasuki abad ke 21 kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang pesat sehingga membawa perubahan pada kurikulum dengan
perbaikan sistem pendidikan. Pada abad ke 21 penanaman pendidikan karaker
dalam diri peserta didik menjadi tantangan tersendiri. Pendidikan di Indonesia
saat ini disesuaikan dengan prinsip pengetahuan dan keterampilan abad 21
yang dapat menceak generasi unggul. Upaya menciptakan sumber daya
manusia yang unggul dapat dicapai melalui peningkatan dalam kualitas
keberhasilan pendidikan (Rizkita, 2020).
Keberhasilan pendidikan suatu bangsa sangat ditentukan oleh
pendekatan yang dipergunakan oleh pendidik atau guru dalam menyampaikan
materinya kepada peserta didik, Dewasa ini telah banyak pendekatan yang
dikembangkan oleh para ahli, baik dengan sasaran anak-anak maupun orang
dewasa. Pendekatan yang dimaksud disini adalah pedagogi dan adragogi,
yang dewasa ini dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat seperti
adanya HP dan sebagainya munculah pendekatan baru yang dikenal dengan
istilah heutagogi (Suharto, 2014).

1
Secara konsep heutagogi merupakan kepanjangan dari pedagogi dan
andragogi. Pedagogi menekankan hubungan guru dan peserta didik.
Andragogi lebih digunakan pada proses pembelajaran orang dewasa. Pada
pendidikan formal andragogi biasa digunakan pada level menengah.
Sementara pendekatan heutagogi sebagai perkembangan dari andragogi bisa
digunakan untuk jenjang menengah sampai pendidikan tinggi. Dimana untuk
peserta didiknya lebih dewasa dan sedikit membutuhkan kontrol dari guru.
Meskipun demikian dalam penerapan konsep, pendekatan heutagogi pada
pelaksanaan pembelajaran tidak mesti mutlak pada bentuk, satuan tingkat dan
level pendidikan (Hiryanto, 2017).
Pendidkan merupakan aspek kesiapan yang harus dimiliki peserta
didiknya. Oleh karena itu guru harus cermat melihat potensi yang di ada
dalam diri masing-masing peserta didik. Kondisi peserta didik pada dasarnya
bisa diasumsikan sebagai orang dewasa yang memiliki kemampuan aktif
dalam merencanakan arah belajar, memiliki bahan, dan berpikir cara terbaik
untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mengambil manfaat dari
belajar. Apabila secara kondisi psikologis sebuah kelas telah siap untuk
menggunakan pendekatan heutagogi tidak ada salahnya untuk dicoba di
dalam pendidikan (Danan, 2021)
Pendidikan sebagai usaha dasar yang sistematis-sistemik selalu
bertolak dari sejumlah asas tertentu. Asas-asas tersebut sangat penting karna
pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan
masyarakat tertentu. Khusus untuk pendidikan indonesia, terdapat sejumlah
asas pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan
pendidikan itu. Diantara asas tersebut, yaitu asas tut wuri handayani, asas
belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian dalam belajar. Ketiga asas itu
dianggap sangat relevan dengan upaya pembinaan dan pengembangan
pendidikan nasional, baik masa kini maupun masa datang. (Hamzah, 2012).
Dari permasalahan-permasalahan inilah penulis memfokuskan
makalah ini dalam pembahasan tentang Hakikat Pendidikan dan
Pembelajaran (Pedagogis, Andragogis, Heutagogi) Bagi Manusia dan Azas-

2
Azas Pendidikan dan Pembelajaran di Abad 21 dalam bentuk maupun isi
yang sangat sederhana.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang makalah ini yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana Konsep Hakikat Pendidikan dan Pembelajaran?
2. Bagaimana definisi Pembelajaran (Pedagogis, Andragogis, Heutagogi)
bagi Manusia?
3. Bagaimana definisi Azas-Azas Pendidikan dan penerapannya?
4. Bagaimana Implementasi Pembelajaran Abad 21 dalam Pembelajaran
Sains?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebagai
berikut:
1. Unuk Mengetahui dan Mendeskripsikan Konsep Hakikat Pendidikan dan
Pembelajaran.
2. Unuk Mengetahui dan Mendeskripsikan definisi Pembelajaran
(Pedagogis, Andragogis, Heutagogi) bagi Manusia.
3. Unuk Mengetahui dan Mendeskripsikan definisi Azas-Azas Pendidikan
dan penerapannya.
4. Unuk Mengetahui dan Mendeskripsikan Implementasi Pembelajaran
Abad 21 dalam Pembelajaran Sains.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Hakikat Pendidikan dan Pembelajaran


Secara harfiah, Pendidikan berasal dari kata didik. Namun demikian,
secara istilah Pendidikan kerap diartikan sebagai “upaya”. Sedangkan,
menurut W.J.S Poerwadarminta, Pendidikan secara letterlijk berasal dari kata
dasar didik dan diberi awalan men yaitu kata kerja yang artinya memelihara
dan memberi latihan (ajaran). Pendidikan sebagai kata benda berarti proses
perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Istilah
“pendidikan” secara terminologi didefinisikan secara berbeda-beda oleh para
ahli pendidikan.
Ada yang melihat dari kepentingan atau aspek yang diembannya, dari
proses ataupun dilihat dari aspek yang terkandung di dalam pendidikan, dan
dari fungsi pendidikan. Pendidikan dalam arti luas merupakan proses
pertumbuhan dan perkembangan sebagai hasil interaksi individu dengan
lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak
manusia lahir. Pendidikan merupakan usaha secara sadar untuk mewujudkan
sesuatu pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain (Abd
Rahman, 2022).
Dalam sejarahnya, pendidikan kerap diungkap berasal dari istilah
“pedagogi” (paedagogie, bahasa Latin) yang berarti pendidikan. Kata
pedagogia (paedagogik) berarti ilmu pendidikan yang berasal dari Bahasa
Yunani. Pedagogia terdiri dari dua kata, yaitu paedos (anak) dan agoge yang
berarti “saya membimbing”, “memimpin anak”. Sedangkan, paedagogos
ialah seorang pelayan atau pemuda pada zaman Yunani Kuno yang
pekerjaannya mengantar dan menjemput anak-anak (siswa) ke dan dari
sekolah.
Kata paedagogos yang semula berkonotasi rendah (pelayan,
pembantu), kemudian dipakai sebagai nama pekerjaan mulia, yaitu

4
paedagoog (pendidik atau ahli didik atau guru). Dari sudut pandang ini,
pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan seseorang dalam membimbing
dan memimpin anak menuju ke pertumbuhan dan perkembangan secara
optimal agar dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab.
Adapun definisi pendidikan yang disandarkan pada makna dan aspek
serta ruang lingkupnya, dapat dilihat dari definisi yang dikemukakan oleh
Ahmad D. Marimba, “Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara
sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani peserta didik
menuju terbentuknya kepribadian utama.” Pendidikan digunakan semacam
salah satu cara yang teratur untuk memperoleh tingkatan kehidupan yang
semakin baik (Inri, 2021).
Kemudian, terdapat pula yang mendefinisikan pendidikan sebagai
suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari keterikatannya dengan fitrah
manusia. Sebagai contoh, ketika pendidikan diartikan sebagai rangkaian
bimbingan dan pengarahan hidup manusia, yaitu berupa kemampuan –
kemampuan dasar (potensi fitrah) dan kemampuan ajar (intervensi) sehingga
terjadi perubahan di dalam kehidupan pribadinya, baik dalam statusnya
sebagai makhluk individu, sosial, maupun hubungannya dengan alam
sekitarnya tempat ia hidup.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan
usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan terencana (bertahap)
dalam meningkatkan potensi diri peserta didik dalam segala aspeknya menuju
terbentuknya kepribadian dan akhlak mulia dengan menggunakan media dan
metode pembelajaran yang tepat guna melaksanakan tugas hidupnya sehingga
dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya
(Creswell, 2019).
Sedangkan Pembelajaran yang diidentikkan dengan kata “mengajar”
berasal dari kata dasar “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada
orang supaya diketahui (diturut) ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran
“an menjadi “pembelajaran”, yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar
atau mengajarkan sehingga anak didik mau belajar. Pembelajaran adalah

5
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Pembalajaran merupakan bantuan yang diberikan
pendidikan agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan,
penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan
pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk
membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta
dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai
pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi
yang berbeda. Dalam konsteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta
didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu
objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan
sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta
didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu
pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya
interaksi antara guru dengan peserta didik. Pembelajaran adalah suatu system
yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian
peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan
mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal.
Istilah pembelajaran memiliki hakikat perencanaan atau perancangan
(desain) sebagai upaya untuk membelajarkan siswa. Itulah sebabnya dalam
belajar, peserta didik tidak hanya berinteraksi dengan guru sebagai salah satu
sumber belajar, tetapi mungkin berinteraksi dengan keseluruhan sumber
belajar yang dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.
Istilah sistem berasal dari Bahasa Yunani “systema” yang berarti
sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur
dan merupakan suatu keseluruhan. Pengertian sistem tidak lain adalah suatu
keseluruhan. Pengertian sistem tidak lain adalah suatu kesatuan unsur-unsur
yang saling berinteraksi secara fungsional yang memperoleh masukan
menjadi keluaran. Jadi, pembelajaran sebagai suatu sistem adalah proses
interaksi yang dilakukan antara peserta didik dengan pendidik dalam suatu

6
lingkungan belajar dengan susunan, dan terjadi umpan balik diantara
keduanya (Djamaluddin, 2019).

B. Pembelajaran (Pedagogis, Andragogis, Heutagogi) Bagi Manusia


1. Pedagogi
Pedagogis berasal dari Bahasa Yunani, padi (anak-anak) dan
agogos (memimpin) sehingga pedagogis memiliki arti pemimpin anak-
anak. Pada perkembangan selanjutnya diartikan secara khusus sebagai
suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak. Menurut J. Hoogveld
(Belanda) yang dikutip oleh Sadulloh mengatakan bahwa pedagogik
adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing anak ke arah tujuan
tertentu, yaitu supaya ia kelak mampu secara mandiri menyelesaikan
tugas hidupnya. Berdasarkan pendapat ini, pedagogik adalah teori yang
membahas tentang apa dan bagaimana mendidik anak sebaik-baiknya
sehingga terjadi perubahan perilaku. Pengajar hendaknya memiliki
kemampuan ini agar output anak didiknya akan lebih baik dan maksimal.
Dalam sebuah pendidikan dan pembelajaran, kualitas pengajar
merupakan faktor penting dalam menentukan pencapaian prestasi peserta
didik, bahkan pengajar harus memperhatikan karakteristik peserta diidk
sebelumnya dan latar belakang keluarga. Indikator kualitas pengajar
biasanya memasukkan faktor-faktor seperti ukuran kelas, sertifikasi, jenis
kualifikasi, tingkat penerimaan, atau pengalaman bertahun-tahun.
Indikator kualitas pengajar lainnya, yang kurang dipelajari, adalah
pengetahuan pedagogis tentang pengajar. Pedagogical knowledge is the
specialised knowledge of teachers for creating effective teaching and
learning environments for all student (Mustadi dkk, 2018).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi
pedagogik sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 Pasal 10 Ayat (1) adalah kemampuan mengelola
pembelajaran peserta didik. Sedangkan menurut penjelasan dalam
Standar Nasional Pendidikan Pasal 28 ayat (3) butir a dikemukakan:

7
“Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimilikinya”.
2. Andragogi
Andragogi dalam bahasa Yunani berasal dari kata “andra dan
agogos”. Andra yang berarti dewasa dan agogos berarti memimpin atau
membimbing, sehingga andragogi dapat diartikan ilmu tentang cara
membimbing orang dewasa dalam proses belajar. Mendukung pernyataan
tersebut Knowles (1975) menyatakan bahwa “andragogy as the art and
science to helping adult to learner”. Dari pernyataan tersebut dapat
didefinisikan bahwa andragogi sebagai pendidikan orang dewasa.
Pendidikan orang dewasa merujuk pada kondisi peserta didik yang sudah
dianggap dewasa, dilihat dari segi fisik, hukum, dan psikologis. Istilah
dewasa didasarkan pada kelengkapan kondisi fisik juga usia dan
kejiwaan. Selain itu juga orang dewasa dapat berperan sesuai dengan
tuntutan tugas dari status yang dimilikinya.
Merriam (2001) menyebutkan bahwa kedewasaan pada diri
seseorang meliputi: age, phychological maturity, and social roles.
Dewasa menurut usia adalah setiap orang yang menginjak 21 tahun
(meskipun belum menikah). Kemudian dewasa dari segi psikologis dapat
dibedakan dalam tiga kategori, yaitu: dewasa awal dari usia 16 sampai 20
tahun, dewasa tengah dari 20 sampai pada 40 tahun dan dewasa akhir
dari 40 tahun sampai 60 tahun. Pada psikologi dewasa lebih ditujukan
pada kematangan seorang individu. Kematangan seorang individu dapat
pula menjadi patokan dewasaaan secara social. Hal ini dapat dicermati
dari kesiapannya dalam menerima tanggung jawab, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas-tugas pribadi dan sosialnya terutama untuk
memenuhi kebutuhan belajarnya (Hiryanto, 2017).

8
Kematangan dalam kondisi dewasa dan matang ditandai oleh
kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya, memanfaatkan
pengalamannya dan mengidentifikasi kesediaan belajar. Ketika
kemampuan belajar tentang masalah kehidupannya meningkat, maka
maka sikap ketergantungan kepada orang lain akan semakin berkurang.
Peserta didik andragogi yang dianggap telah dewasa dianggap memiliki
keunggulan, yaitu memilki kematangan psikologis, bertanggung jawab,
memilki hasrat dan motivasi kuat untuk belajar dan mampu mengarahkan
dirinya. Mereka dapat belajar dan mempelajari sesuatu dalam skala yang
lebih luas dan memilih strategi belajar yang lebih baik, lebih efektif, dan
lebih terarah serta mampu mengarahkan diri (self directing). Dari
perspektif waktu dan orientasi belajar, orang dewasa memandang belajar
itu sebagai suatu proses pemahaman, penemuan masalah dan pemecahan
masalah (problem finding and problem solving), baik berhubungan
dengan masalah kini maupun masalah kehidupan di masa depan. Orang
dewasa lebih mengacu pada tugas atau masalah kehidupan (task or
problem oriented). Sehingga orang dewasa akan belajar mengorganisir
pengalaman hidupya (Hiryanto, 2017).
Istilah andragogi seringkali dijumpai dalam proses pembelajaran
untuk orang dewasa (adult learning), baik dalam proses pendidikan
formal atau nonformal. Kedua jenis pendidikan ini menggunakan prinsip
andragogi sebagai landasan dalam proses pembelajaran pada berbagai
satuan, bentuk dan level pendidikan. Dalam pendidikan formal level
pendidikan yang menggunakan prinsip andragogi adalah level pendidikan
menengah ke atas. Namun demikian dalam menerapkan konsep andagogi
tidak mutlak harus berdasar pada satuan, bentuk dan tingkat pendidikan.
Hal yang paling penting dan utama adalah berdasarkan kesiapan peserta
didik untuk belajar (Hiryanto,2017).
Kesiapan peserta didik didasarkan bahwa semua peserta didik
adalah orang dewasa yang memilki kemampuan yang aktif dalam
merencanakan arah belajar, memiliki bahan ajar, memikirkan cara terbaik

9
untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil
manfaat dari belajar atau dari sebuah proses pendidikan. Penerapan
konsep Androgogi diharapkan dapat diterapkan pada pendidikan jenjang
atas yang telah dianggap sebagai orang dewasa dan mampu
mengimplementasikan dengan baik.
Fungsi guru dalam hal ini hanya sebagai fasilitator, bukan
menggurui, sehingga rekasu antara guru dan peserta didik lebih bersifat
multicommunication (Knowles, 1975). Oleh karena itu, andragogi adalah
suatu bentuk pembelajaran yang mampu menghasilkan lulusan yang
dapat mengarahkan dan mampu menjadi pengajar bagi dirinya sendiri.
Berdasarkan kondisi-kondisi dan konsep andragogi, istilah pendidikan
orang dewasa dapat diartikan sebagai Pendidikan yang ditujukan untuk
peserta didik yang telah dewasa atau berumur 18 tahun ke atas atau telah
menikah dan memiliki kematangan dan untuk memenuhi tuntutan tugas
tertentu dalam kehidupannya. Pendidikan orang dewasa juga merupakan
suatu aktifitas pendidikan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam
kehidupan sehari-hari yang hanya menggunakan sebagian waktu dan
tenaganya untuk mendapatkan tambahan intelektual. Selain itu juga,
pendidikan orang dewasa adalah upaya yang dilakukan oleh individu
dalam rangka pengembangan diri, dimana dilakukan dengan tanpa
paksaan (Hiryanto, 2017).
3. Heutagogi
Heutagogi berdasarkan bahasa Yunani memilki arti “diri”.
Didefinisikan oleh Hase dan Kenyon pada tahun 2013 sebagai studi
pembelajaran yang ditentukan sendiri (mandiri). Heutagogi menerapkan
pendekatan holistik untuk mengembangan kemampuan peserta didik,
dengan belajar sebagai proses aktif dan proaktif. Seperti pendekatan
andagogi, pengajar memfasilitasi proses pembelajaran dengan
memberikan bimbingan dan sumber daya, tetapi sepenuhnya pemilihan
jalur pembelajaran, proses dan menentukan apa yang akan dipelajari dan

10
bagaimana hal itu akan dipejajari adalah hak dari peserta didik (Hase and
Kenyon, 2013).
Konsep penting dalam heutagogi adalah double-loop learning dan
self reflective. Dalam double-loop learning, peserta didik
mempertimbangkan masalah (problem), tindakan yang diambil (action),
serta hasil (outcome). Kemudian dilakukan self reflective yang akan
mempertanyakan serta menjabarkan apa yang dibutuhkan dalam
pembelajaran dan hal itu pada akhirnya akan mempengaruhi keyakinan
dan tindakan peserta didik (Gambar 1).

Gambar 1. Double-loop learning (Eberle, 2009).

Adanya double-loop learning ini menjadikan pendekatan


heutagogi tidak hanya berbicara mengenai keterampilan, namun juga
memberikan peserta didik untuk refleksi dan akhirnya mengetahui apa
yang mereka butuhkan, bagaimana memperolehnya, sehingga dapat
mengambil tindakan yang efektif.
4. Perbedaan Pembelajaran Pedagogis, Andragogis, Heutagogi
Menurut Blaschke (2012) pendekatan heutagogical merupakan
perkembangan dari pedagogi ke andragogi untuk heutagogi. Peserta didik
menjadi lebih maju dalam kedewasaan. Peserta didik yang telah dewasa
hanya membutuhkan sedikit controlling dari pengajar dan dapat lebih
mandiri dalam belajar. Sementara peserta didik anak-anak membutuhkan
lebih banyak bimbingan pengajar dalam pendekatan pedagogi (Gambar
2).

11
Gambar 2. Perkembangan dari pedagogi ke andragogi dan
berlajut heutagogi (Canning, 2010).

Berdasarkan gambar 2 heutagogi terletak pada piramida bagian


atas (level 3). Dari gambar piramida, dapat dilihat bahwa heutagogi
menekankan pada realisasi, dengan menekankan keterlibatan peserta
didik sebagai fokus utama yang memiliki otonomi penuh dalam
pembelajarannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa heutagogi adalah
level teratas dari pembelajaran. Sementara itu, andragogi adalah fase
tengah dimana masih membutuhkan controlling dari pengajar namun
telah mampu berfikir dan mencari cara untuk belajar yang tepat untuk
dirinya sendiri.
Tabel 1. Perbedaan Andragogi dan Heutagogi (Blaschke, 2012)

12
Perbedaan antara andragogi dengan heutagogi (Blaschke, 2012)
yaitu; andragogi atau biasa dikenal dengan istilah self directed yang
memiliki ciri-ciri yaitu single-loop learning, pengembangan kompetensi,
desain linier dan pendekatan pembelajaran, instructor learner directed,
dan membuat peserta didik belajar konten (isi). Sedangkan heutagogi
memiliki ciri-ciri seperti double loop learning, pengembangan
kemampuan, desain non linier dan pendekatan pembelajaran, learner
directed, dan membuat peserta didik memahami bagaimana mereka
belajar (menekankan pada proses) (Tabel 1).
Tabel 2. Perbedaan penting antara Pedagogi, Andragogi dan
Heutagogy (Bansai et al, 2020)

Perbedaan antara pedagogi, andragogi dan heutagogi menurut


Richardson et al (2018) dan Bansai et al (2020) adalah sebagai berikut:
a. Pedagogi (pembelajaran dipimpin oleh pendidik)
Pembelajaran bergantung, dipercayakan atau diolah oleh
pengajar. Peran peengajar adalah mendesain pembelajaran, serta
mengidentifikasi materi pembelajaran dan sumber belajar. Peserta
didik tergantung pada pengajar, dan hanya sedikit memiliki tanggung
jawab dalam belajar. Pembelajaran dilakukan secara linier serta
sekuensial. Pembelajaran berfokus pada materi dan harus memenuhi

13
kurikulum tertentu. Adapun motivasi belajar peserta didik bersifat
ekstrinsik, seperti orang tua, pendidik dan lain-lainnya.
b. Andragogi (pembelajaran yang mandiri)
Peserta didik memiliki otonom dalam proses pembelajaran
mereka sendiri. Peserta didik berusaha menerima lebih banyak
tanggung jawab dalam belajar, sehingga peserta didik mencari
bimbingan dalam belajar. Adapun fokus pembelajarannya yaitu
berfokus pada ketercapaian tujuan belajar. Pembelajaran mendorong
pada pemikiran lintas disiplin dan otonom. Motivasi belajar peserta
didik berasal dari dalam diri mereka sendiri (intrinsik), dimana
peserta didik menyukai peningkatan harga diri yang datang dari
pembelajaran. Sedangkan pendidik hanya berfungsi sebagai
fasilitator yang menetapkan tugas-tugas sehingga mendorong peserta
didik untuk menggunakan berbagai cara atau jalan dalam
mengidentifikasi solusi.
c. Heutagogi (pembelajaran yang ditentukan sendiri)
Peserta didik adalah pencari masalah dan menyambut
tantangan, sehingga belajar tidak linier dan tidak berurutan. Peserta
didik yang bertanggung jawab penuh atas kegiatan belajar mereka,
sehingga fokus pembelajaran didasarkan pada inkuiri, dan proses
belajar dipandang untuk jangka panjang. Adapun motivasi peserta
didik mengalir dan tahu bagaimana cara mereka belajar. Selain itu
peserta didik mencari situasi yang tidak biasa sebagai sumber belajar
untuk memperoleh kompetensi yang adaptif. Sedangkan fungsi atau
peran pengajar adalah membina upaya untuk menyatukan peluang,
konteks, relevansi, dan kompleksitas untuk mendorong kolaborasi
dan keingintahuan.

C. Asaz-Asaz Pendidikan dan Penerapannya


Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar
atau tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan

14
pendidikan. Khusus di Indonesia, terdapat beberapa asas pendidikan yang
memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Asas-asas
tersebut bersumber baik dari kecenderungan umum pendidikan didunia
maupun yang bersumber baik dari pemikiran dan pengalaman sepanjang
sejarah upaya pendidikan di Indonesia. Pendidikan itu mempunyai asas-asas
tempat ia tegak dalam materi, interaksi, inovasi dan cita-citanya (Saihu,
2019).
Diantara asas tersebut, ada tiga asas yang diuraikan secara mendetail,
yaitu; Asas Tut Wuri Handayani, Asas Belajar Sepanjang Hayat, dan Asas
Kemandirian dalam Belajar. Ketiga asas itu dianggap sangat relevan dengan
upaya pembinaan dan pengembangan pendidikan nasional, baik masa kini
maupun masa datang. Oleh karena itu, setiap tenaga kependidikan harus
memahami dengan tepat ketiga asas tersebut agar dapat menerapkannya
dengan semestinya dalam penyelenggaraan pendidikan sehari-hari (Hamzah,
2012).
1. Asas Tut Wuri Handayani
Asas ini merupakan gagasan yang mula-mula dikemukakan oleh
Ki Hajar Dewantara seorang perintis kemerdekaan dan pendidikan
nasional. Tut Wuri Handayani mengandung arti pendidik dengan
kewibawaan yang dimiliki mengikuti dari belakang dan memberi
pengaruh, tidak menarik-narik dari depan, membiarkan anak mencari
jalan sendiri, dan bila anak melakukan kesalahan baru pendidik
membantunya. Gagasan tersebut dikembangkan Ki Hajar Dewantara
pada masa penjajahan dan masa perjuangan kemerdekaan. Dalam era
kemerdekaan gagasan tersebut serta merta diterima sebagai salah satu
asas pendidikan nasional Indonesia
Asas Tut Wuri Handayani yang kini menjadi semboyan
Depdikbud (sekarang Kementerian Pendidikan Nasional), pada awalnya
merupakan salah satu dari asas 1922 yakni tujuh buah asas dari
Perguruan Nasional Taman Siswa (didirikan 3 Juli 1922). Ketujuh asas
Perguruan Nasional Taman Siswa yang merupakan asas perjuangan

15
untuk menghadapi Pemerintah kolonial Belanda sekaligus untuk
mempertahankan kelangsungan hidup bangsa. Ketujuh asas tersebut yang
secara singkat disebut ”Asas 1922” adalah sebagai berikut (Aziz, 2019):
a. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri
denganmengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum.
b. Bahwa pengajaran harus member pengetahuan yang berfaedah, yang
dalam arti lahir dan batin dapat memerdekakan diri.
c. Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan
sendiri.
d. Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau
kepada seluruh rakyat.
e. Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya
lahir maupun batin hendaknya diusahakan dengan kekuatan sendiri,
dan menolak bantuan apapun dan dari siapapun yang mengikat baik
berupa ikatan lahir maupun ikatan batin.
f. Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka
mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan.
g. Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan
batin untuk mengorbankan segala kepentingan pribadi demi
keselamatan dan kebahagiaan anak- anak.
Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari
sistem among dari perguruan itu. Asas maupun semboyan tutwuri
handayani yang dikumandangkan oleh kihajar dewanatara itu mendapat
tanggapan positif dari Drs. R.M.P Sustra Kartono (filsafat dan ahli baha
sa), yakni ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan
asas, yakni:
a. Ing Ngrasa Sung Tulada (jika didepan, menjadi contoh)
Adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak maupun
pertimbangan guru. Di bagian depan, seorang guru akan membawa
buah pikiran para muridnya itu ke dalam sistem ilmu pengetahuan
yang lebih luas. Ia menempatkan pikiran atau gagasan atau pendapat

16
para muridnya dalam cakrawala yang baru, yang lebih luas.
Dalam posisi ini ia membimbing dan memberi teladan. Penerapan
Ing Ngarso Sung Tuladha ternyata juga memberikan sejumlah
manfaat. Penerapan Ing Ngarso Sung Tuladha bermanfaat dalam
meningkatkan profesionalisme guru serta membangun akhlak siswa
agar selaras dengan visi dan misi sekolah (Ki B. Boentarsono, 2012:
33).
b. Ing Madya Mangun Karsa (jika ditengah-tengah, membangkitkan
kehendak, hasrat adalah motivasi)
Diterapkan dalam situasi ketika anak didik kurang bergairah
atau ragu-ragu untuk mengambil keputusan atau tindakan, sehingga
perlu diupayakan untuk memperkuat motivasi. Dan, guru maju ke
tengah-tengah (pemikiran) para muridnya. Guru mungkin
mengajukan pertanyaan, atau mungkin mengajukan gagasan atau
argumentasi tandingan. Penerapan Ing Madya Mangun Karsa di
sekolah tertentu ternyata juga memberikan sejumlah manfaat.
Penerapan Ing Madya Mangun Karsa bermanfaat dalam memotivasi
guru agar mendukung tercapainya visi dan misi sekolah. Guru juga
merasa mendapatkan penghargaan dari kepala sekolah karena telah
berkontribusi bagi kemajuan sekolah (Wenny, 2019).
c. Tut Wuri Handayani (jika dibelakang, mengikut dengan asas)
Asas ini memberi kesempatan anak didik untuk melakukan
usaha sendiri, dan ada kemungkinan melakukan kesalahan, tanpa ada
tindakan (hukuman) pendidik. Hal itu tidak menjadikan masalah,
karena menurut Ki Hajar Dewantara, setiap kesalahan yang
dilakukan anak didik akan membawa pidananya sendiri, karena tidak
ada pendidik sebagai pemimpin yang mendorong datangnya
hukuman tersebut. Dengan demikian, setiap kesalahan yang dialami
peserta didik bersifat mendidik.
Dari sisi lain, pendidik setiap saat siap memberi uluran tangan
apabila diperlukan anak, ing ngarsa ing tulodo (di depan memmberi

17
contoh) adalah hal yang baik melihat kebutuhan anak maupun
pertimbangan guru. Ing madya mangun karsa (ditengah membangkitkan
kehendak) diterapkan dalam situasi kurang bergairah adalah ragu-ragu
untuk mengambil keputusan atau tindakan, sehingga perlu di upayakan
untuk motivasi, ketiga semboyan tersebut sebagi satu kesatuan asas (ing
ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani)
telah menjadi asas penting dalam pendidikan.
Rubino (2003: 33) menjelaskan bahwa jika dikaitan penerapan
asas Tut Wuri Handayani, dapat dikemukakan beberapa keadaan yang
ditemui sekarang, yakni:
a. Peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan dan
ketrampilan yang diminatinya disemua jenis, jalur, dan jenjang
pendidikan yang disediakan oleh pemerintah sesuai peran dan
profesinya dalam masyarakat.
b. Peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan
kejuruan yang diminatinya agar dapat mempersiapkan diri untuk
memasuki lapangan kerja bidang tertentu yang diinginkannya.
c. Peserta didik yang memiliki kelainan atau cacat fisik atau mental
memperoleh kesempatan untuk memilih pendidikan dan ketrampilan
sesuai dengan cacat yang disandang agar dapat bertumbuh menjadi
manusia yang mandiri.
d. Peserta didik di daerah terpencil mendapat kesempatan untuk
memperoleh pendidikan dan ketrampilan agar dapat berkembang
menjadi manusia yang memiliki kemampuan dasar yang memadai
sebagai manusia yang mandiri.
Dengan berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia dan
untuk menghadapi tantangan persaingan global, gagasan pemikiran
pendidikan Ki Hajar harus dimunculkan kembali (Putu, 2017). Sistem
pendidikan yang telah dimunculkan oleh Ki Hajar Dewantara merupakan
sistem yang unggul untuk menghadapi persaingan dalam dunia
pendidikan. Berbagai ide, gagasan, dan pemikiran Ki Hajar Dewantara

18
tentang pendidikan dapat dijadikan pedoman dan upaya untuk mengatasi
permasalahan dalam dunia pendidikan.
Memasuki abad ke 21 kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang pesat sehingga membawa perubahan pada kurikulum dengan
perbaikan sistem pendidikan (Yanuarti, 2018). Pendidikan dengan sistem
among yang telah digagas oleh Ki Hajar Dewantara sebelumnya
membawa pembaruan pada pendidikan abad ke 21. Pembelajaran abad
ke 21 peserta didik dituntut mampu merancang dan mengembangkan
pengalaman belajar baik secara manual maupun digital untuk mendorong
peserta didik agar memiliki keterampilan berpikir kreatif.
Relevansi pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara pada abad
ke 21 tercermin dalam kurikulum 2013. Pembelajaran pada kurikulum
2013 berbasis kreativitas dengan proses pembelajaran mengamati,
menanya, mencoba, menalar, mencipta dan mengkomunikasikan
(Kurniasih, 2014). Hal ini berkaitan dengan sistem among yang
memberikan suatu kemerdekaan atau kebebasan berpikir kepada peserta
didik untuk mengembangkan pola pikir, kreatifitas, kemampuan, dan
bakat yang ada dalam dirinya (Jou, 2019).
Pada abad ke 21 penanaman pendidikan karakter dalam diri
peserta didik menjadi tantangan tersendiri. Seiring dengan kemajuan
zaman menuntut peserta didik untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang semakin canggih, akan tetapi ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut tidak dapat menumbuhkan watak dan karaktek dalam
diri peserta didik. Oleh karena itu pendidikan karakter harus
diintegrasikan dalam mata pelajaran disekolah. Pendidikan karakter yang
diajarkan pada peserta didik saat ini antara lain: religius atau keagamaan,
kejujuran, sikap toleransi, kedisiplinan , kerja keras, mandiri, kreatif,
demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, semangat kebangsaan,
komunikatif, menghargai prestasi, cinta damai, peduli sosial, peduli
lingkungan, dan bertanggungjawab (Utami, 2017).

19
2. Asas Belajar Sepanjang Hayat
Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut
pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (long life
education). Istilah pendidikan seumur hidup erat kaitannya dan kadang-
kadang digunakan saling bergantian dengan makna yang sama dengan
istilah belajar sepanjang hayat. Kedua istilah ini memang tidak dapat
dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan istilah “belajar” adalah
perubahan perilaku (kognitif/afektif/psikomotor) yang relatif tetap
karena pengaruh pengalaman (Hamzah, 2012).
Sedangkan istilah “pendidikan” menekankan pada usaha sadar
dan sistematis untuk penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan
pengaruh pengalaman tersebut lebih efisien efektif, dengan kata lain,
lingkungan yang membelajarkan subjek didik. Pendidikan sepanjang
hayat atau pendidikan seumur hidup, dalam proses belajar mengajar di
sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya dua hal pokok,
yaitu; pertama; membelajarkan peserta didik dengan efisien dan efektif,
dan kedua; meningkatkan kemauan dan kemampuan belajar mandiri
sebagai basis dari belajar sepanjang hayat.
Ditinjau dari segi kependidikan, perlunya merancang suatu
program atau kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar
sepanjang hayat dengan memperhatikan dua dimensi, yaitu; Pertama,
Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan
kesinambungan antar tingkatan persekolahan dan keterkaitan dengan
kehidupan peserta didik di masa depan. Kedua, Dimensi horisontal dari
kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara pengalaman belajar di
sekolah dengan pengalaman di luar sekolah. Untuk mencapai integritas
pribadi yang utuh sebagaimana gambaran manusia Indonesia seutuhnya
sesuai dengan nilai-niai Pancasila, Indonesia menganut asas pendidikan
sepanjang hayat. Pendidikan sepanjang hayat memungkinkan tiap
warga negara Indonesia:

20
a. Mendapat kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri dan
kemandirian sepanjang hidupnya.
b. Mendapat kesempatan untuk memanfaatkan layanan lembaga-
lembaga pendidikan yang ada di masyarakat. Lembaga pendidikan
yang ditawarkan dapat bersifat formal, informal, non formal.
c. Mendapat kesempatan mengikuti program-program pendidikan
sesuai bakat, minat, dan kemampuan dalam rangka pengembangan
pribadi secara utuh menuju profil Manusia Indonesia Seutuhnya
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan
mendapat kesempatan mengembangkan diri melalui proses
pendidikan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu sebagaimana
tersurat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003.
Sesuai dengan uraian di atas, mengindikasikan bahwa
pemerintah secara lintas sektoral telah mengupayakan usaha-usaha
untuk menjawab tantangan asas pendidikan sepanjang hayat dengan
cara pengadaan sarana dan prasarana, kesempatan serta sumber daya
manusia yang menunjang.
Hasbullah, (2008) Menuliskan empat konsep kunci pendidikan
sepanjang hayat (life long education) yaitu:
a. Konsep pendidikan sepanjang hayat (life long education) sebagai
suatu konsep, yang diartikan sebagai tujuan atau ide formal untuk
pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman pendidikan.
b. Konsep belajar sepanjang hayat; berarti pebelajar belajar karena
respon terhadap keinginan yang didasari untuk belajar dan angan-
angan pendididkan menyediakan kondisi-kondisi yang membantu
belajar.
c. Konsep pebelajar sepanjang hayat; pebelajar seumur hidup
dimaksudkan adalah orang-orang yang sadar tentang diri mereka
sebagai pebelajar seumur hidup. Melihat belajar baru sebagai cara
yang logis untuk mengatasi problema dan terdorong tinggi sekali

21
untuk belajar diseluruh tingkat usia dan menerima tantangan dan
perubahan seumur hidup sebagai pemberi kesempatan untuk belajar
baru.
d. Kurikulum pendidikan sepanjang hayat (life long education);
kurikulum dalam hubungan ini didesain atas dasar prinsip
pendidikan sepanjang hayat (life long education) betul-betul telah
menghasilkan pelajar seumur hidup yang secara berurutan
melaksanakan belajar seumur hidup.
Dalam kaitan asas belajar sepanjang hayat dapat dikemukakan
beberapa keadaan yang ditemui sekarang:
a. Usaha pemerintah memperluas kesempatan belajar telah mengalami
peningkatan, terbukti dengan semakin banyaknya peerta didik dari
tahun ke tahun yang dapat ditampung baik dalam lembaga
pendidikan formal, non formal dan informasi berbagai jenis
pendidikan dan berbagai jenjang pendidikan dari TK sampai
perguruan tinggi.
b. Usaha pemerintah dalam pengadaan dan pembinaan guru dan tenaga
kependidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang agar mereka dapat
melaksanakan tugsnya secara proporsional. Dan pada gilirannya
dapat meningkatkan kualitas hasil pendidikan di seluruh tanah air.
Pembinaan guru dan tenaga guru dilaksanakan baik didalam negeri
maupun diluar negeri.
c. Usaha pembaharuan kurikulum dan pengembangan kurikulum dan
isi pendidikan agar mampu memenuhi tantangan pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas melalui pendidikan.
d. Usaha pengadaan dan pengembangan sarana dan prasarana yang
semakin meningkat: ruang belajar, perpustakaan, media pengajaran,
bengkel kerja, sarana pelatihan dan ketrampilan, sarana pendidikan
jasmani.
e. Pengadaan buku ajar yang diperuntukan bagi berbagai program
pendidikan masyarakat yang bertujuan untuk: 1) meningkatkan

22
sumber penghasilan keluarga secara layak dan hidup bermasyarakat
secara berbudaya melalui berbagai cara belajar, 2) menunjang
tercapainya tujuan pendidikan manusia seutuhnya.
f. Usaha pengadaan berbagai program pembinaan generasi muda:
kepemimpinan dan ketrampilan, kesegaran jasmani dan daya kreasi,
sikap patriotisme dan idealisme, kesadaran berbangsa dan bernegara,
kepribadian dan budi luhur.
g. Usaha pengadaan berbagai program pembinaan keolahragaan dengan
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anggota
masyarakat untuk melakukan berbagai macam kegiatan olahraga
untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran serta prestasi di
bidang olahraga.
h. Usaha pengadaan berbagai program peningkatan peran wanita
dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam upaya
mewujudkan keluarga sehat, sejahtera dan bahagia; peningkatan
ilmu pngetahuan dan teknologi, ketrampilan serta ketahanan mental.
Sesuai dengan uraian di atas, maka secara singkat pemerintah
secara lintas sektoral telah mengupayakan usaha-usaha untuk menjawab
tantangan asas pendidikan sepanjang hayat dengan cara pengadaan
sarana dan prasarana, kesempatan serta sumber daya manusia yang
menunjang.
3. Asas Kemandirian dalam Belajar
Kemandirian dalam belajar diartikan sebagai aktifitas belajar yang
berlangsung lebih didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri, dan
tanggung jawab sendiri dari pembelajaran. Pengertian tantang belajar
mandiri sampai saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli. Ada
beberapa pandangan tentang belajar mandiri yang diutarakan oleh para
ahli (Abdullah, 2001) seperti dipaparkan sebagai berikut:
a. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik
tanggung jawab dari proses pelajaran mereka sendiri. Belajar
Mandiri mengintegrasikan self-management (manajemen konteks,

23
menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-
monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi
belajarnya).
b. Peran kemauan dan motivasi dalam belajar mandiri sangat
penting di dalam memulai dan memelihara usaha siswa.
c. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser
dari para guru ke siswa. Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk
memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang hendak dicapai dan
bermanfaat baginya.
Haris Mujiman (2009) mencoba memberikan pengertian belajar
mandiri dengan lebih lengkap. Menurutnya belajar mandiri adalah
kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk
menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah. Di sini
belajar mandiri lebih dimaknai sebagai usaha siswa untuk melakukan
kegiatan belajar yang didasari oleh niatnya untuk menguasai suatu
kompetensi tertentu.
Belajar mandiri dapat diartikan sebagai usaha individu untuk
melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan
orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu materi
pembelajaran. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan
menempatkan guru dalam peran utama sebagai fasilitator dan motifator.
Implementasi dari asas kemandirian dalam belajar merupakan suatu
wujud manifestasi Asas Kemandirian dalam Belajar yang bukan hanya
dalam berbentuk kurikulum KTSP, namun juga dalam bentuk kurikuler
dan ekstra kurikuler sedang dalam lingkup perguruan tinggi terwujud
dalam kegiatan tatap muka dan kegiatan terstruktur dan mandiri.
Penerpan asas kemandirian dalam belajar di indonesia SMP
terbuka merupakan bagian dari sistem pendidikan formal yang ditujukan
bagi anak didik usia sekolah SMP yang oleh karena sesuatu hal tidak
dapat menempuh pendidikannya. Penyelenggaraan program ini
didasarkan pada satu premise bahwa untuk mencapai hasil yang sama

24
pada peserta didik yang kondisi berbeda maka diperlukan perlakuan yang
berbeda pula. Kurikulum SMP Terbuka ini sama dengan kurikulum SMP
Reguler.
Kemandirian dalam aspek pelaksanaan belajar dalam hal memilih
strategi untuk mempelajari bahan ajar sesuai dengan pilihan masing-
masing siswa. Bahan belajar dikembangkan dengan mengacu pada pola
dasar kegiatan belajar mengajar dan garis besar isi program media. bahan
belajar dikemas dalam modul, dengan didukung fasilitas belajar lainnya
seperti siaran radio, kaset, gambar ketika mengikuti pembelajaran sains
seperti IPA. proses belajar dilakukan secara mandiri dengan
menggunakan modul, dalam kelompok “Tempat Kegiatan Belajar”.
Proses belajar dibimbing oleh guru bina, dan setiap satu minggu sekali
dilakukan pertemuan untuk membahas materi belajar.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tahun 1996. SMP
Terbuka ini memiliki beberapa keuntungan yaitu mengatasi hambatan
geografis, mengoptimalkan sumber belajar lokal, mengatasi kekurangan
ruang kelas dan guru, inklusif, mengembangkan kemampuan belajar
mandiri da mengembangkan konsep belajar sepanjang hayat di samping
keuntungan tersebut, secara kuantitatif SMP Terbuka mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 1990 baru ada 15 tempat di
9 propinsi, dan pada tahun 1996 sudah mencapai 956 di 27 Propinsi
dengan jumlah siswa 172.082 orang (Arief, 1996).

D. Implementasi Pembelajaran Abad 21 dalam Pembelajaran Sains


1. Persepsi mahasiswa tentang pedagogi, andragogi, dan heutagogi
sebagai metode belajar mengajar pada mahasiswa pendidikan
kedokteran
Tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh Bansai (2020) ini
adalah untuk mempelajari persepsi dari mahasiswa tentang pedagogi,
andragogi dan heutagogi sebagai metode belajar mengajar di level
sarjana pada mahasiswa pendidikan kedokteran. Adapun metode

25
penelitian yang digunakan adalah comparative experimental. Mahasiswa
tingkat dua (semester 3-4) Bachelor of Medicine, Bachelor of Surgery
(MBBS) dari Sawai Man Singh (SMS), Jaipur dipilih secara acak untuk
menjadi partisipan. Kriteria yang ditentukan adalah mahasiswa MBBS
tingkat dua dan yang setuju mengikuti eksperimen ini.
Eksperimen diawali dengan memberikan pertanyaan kepada
mahasiwa yang menjadi partisipan. Kelas yang menjadi kelas eksperimen
terdiri dari lecture-based pedagogy, problem-based self-directed
andragogy, dan keyboard technology-based heutagogy. Mahasiwa yang
bergabung menjadi partisipan diberikan topik yang sama yaitu anticancer
drugs.
Pembelajaran dengan pegagogi dijelaskan semua oleh dosen.
Kemudian untuk andagogi mahasiwa diberikan masalah dan mereka
secara mandiri belajar dari masalah tersebut. Peran dosen disini sebagai
pembimbing dan fasilitator dimana aktif dalam diskusi dan memberikan
sumber-sumber bahan acuan. Pembelajaran heutagogi dilakukan oleh
mahasiswa untuk menemukan, mengamati dan berinteraksi dengan
pasien kanker ketika mereka pergi ke rumah sakit atau komunitas.
Mereka juga membaca dan membagikan pesan serta video dari pasien
secara online kepada mahasiswa lainnya.
Peneliti memilih ketiga jenis pembelajaran yang mana pedagogi
untuk praktik pembelajaran secara luas, andragogi mengadopsi
kompetensi pendidikan dokter, dan heutagogi disebabkan oleh fakta
bahwa rumah sakit, komunitas, dan digital platform menjadi tempat kerja
dimasa depan yang secara otomatis menjadi tempat masalah muncul.
Hasil yang didapatkan dari eksperimen ini adalah heutagogi
sebagai pembelajaran pemicu brainstorming pada mahasiswa. Para
mahasiswa menjadi lebih percaya diri dengan kemampuannya
dibandingkan dengan dua jenis pembelajaran lainnya. Ketika peserta
didik memiliki kapabilitas yang tinggi maka keterampilan dan
pengetahuan dapat meningkat pada saat masalah muncul disaat yang

26
tidak terduga. Mereka dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan
kreatifitas mereka masing-masing.
2. Pembelajaran Biologi SMA Abad ke-21 Berbasis Potensi Lokal:
Review Potensi di Kabupaten Nunukan-Kalimantan Utara.
Sejalan dengan tuntutan itu, pembelajaran biologi perlu
mendayagunakan potensi dan ruang lingkup lokal (Asikin, 2016).
Biologi haruslah relevan dengan kehidupan dan kebutuhan
peserta didik (Chamany, 2008). Implementasi pembelajaran yang
mendayagunakan potensi dan keunggulan lokal dimungkinkan mampu
meningkatkan kemampuan konten, konteks, dan proses sains peserta
didik. Upaya tersebut harus terus digalakkan, karena jumlahnya masih
terbatas dan belum merata (Abrori, 2017).
Oleh karena itu berdasarkan review dari jurnal yang diulis oleh
Ismiati (2020) dengan tujuan mendeskripsikan kontek pembelajaran
biologi di jenjang SMA pada abad ke-21 berbasis potensi daerah
Kepulauan Nunukan-Kalimantan Utara. Review ini memberikan
gambaran awal untuk penelitian dan pengembangan pembelajaran biologi
pada jenjang SMA di daerah terluar, terdepan, maupun daerah yang
membutuhkan perhatain lebih seperti salah satunya adalah Kabupaten
Nunukan.
Berdasarkan hasil analisis jurnal yang bahwasannya potensi
biologi lokal yang ada di Kabupaten Nunukan yang dapat digunakan
sebagai sumber belajar perlu disesuaikan dengan tuntutan pembelajaran
bioligi abad ke-21. Menurut (Ramdiah, 2020) pembelajaran biologi dapat
dikembangkan dengan mengandalkan keunikan dan potensi kelimpahan
suatu daerah, termasuk budaya dan teknologi lokal (tradisional).
Pengembangan alat pembelajaran yang terintegrasi dengan kearifan lokal
diharapkan dapat mengembangkan potensi masing-masing daerah dan
meningkatkan kreativitas dan karakter siswa. Penekanan pada kearifan
lokal sebagai ilmu adat dalam pembelajaran biologi dianggap sangat
diperlukan. Pemanfaatan konten kearifan lokal dalam pembelajaran,

27
selain mampu menyelamatkan pengetahuan kearifan lokal juga dapat
membantu siswa dalam belajar biologi dengan pembelajaran kehidupan
nyata, yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Selain itu, belajar dengan kearifan lokal dapat meningkatkan
hubungan siswa dengan masyarakat sekitar dan dapat menghubungkan
pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern. Ini tentu saja sejalan
dengan konsep bahwa hasil yang diharapkan dari pembelajaran biologi
adalah agar siswa memiliki literasi sains dan lingkungan. Ini
menunjukkan bahwa konteks lingkungan tidak dapat dipisahkan dalam
pembelajaran biologi. Kegiatan pembelajaran yang cenderung monoton,
hanya didominasi ceramah, minim praktik, dan jauh dari realitas
keseharian mereka akan menyebabkan peserta didik merasa bosan.
Mereka pun akan sulit memahami materi biologi yang disampaikan guru.
Hal ini tentu dapat berdampak buruk bagi peserta didik karena tujuan
belajar dan kompetensi yang telah ditetapkan tidak akan tercapai
Ketidaktercapaian dan ketidakpuasan peserta didik terhadap
hasil yang mereka peroleh seharusnya menjadi tantangan bagi guru untuk
terus-menerus memperbaiki permasalahan yang dihadapi proses
pembelajaran (Rahmida, 2011). Dalam konteks ini, maka guru sudah
semestinya mulai melirik dan mengangkat potensi lokal. Apabila
perbaikan pembelajaran tidak dilakukan maka akan berpengaruh pada
memberikan pemahaman konsep siswa dan selanjutnya pada hasil belajar
(Arnetis, 2013).
3. Pembelajaran Biologi Abad 21 dalam Desain, Strategi dan
Menjawab Tantangan Pendidikan Global
Sebenarnya kerisauan mengenai perlunya pendidikan global
sudah lama disadari (Global Education Guidelines, 2008). Kerisauan itu
muncul sebagai akibat kemajuan pesat di bidang teknologi komunikasi &
transportasi yang dirasakan dunia semakin sempit, batas negara menjadi
buram, proses universalisasi melanda berbagai aspek kehidupan,
masyarakat lokal menjadi anggota masyarakat dunia. Intensitas interaksi

28
dan kompetisi meningkat. Kerisauan juga muncul sebagai akibat adanya
”ketidakpastian” tentang “apa” yang diperlukan di masa depan. Dampak
ikutan ketidakpastian itu adalah sulitnya menetapkan arah dan merancang
apa yang harus dilakukan untuk menyiapkan siswa yang akan hidup pada
masa itu.
Pendidikan global mengembangkan pengertian pada siswa bahwa
keberadaan mereka membentuk masyarakat dunia dan mereka
merupakan anggota masyarakat manusia yang menghuni planet bumi,
dan kehidupannya tergantung pada planet bumi tersebut. Oleh karena itu
pendidikan global harus menyadarkan mereka betapa pentingnya mampu
hidup secara bijaksana dan bertanggung jawab, sebagai individu, umat
manusia, penghuni planet bumi, dan sebagai anggota masyarakat global.
Globalisasi yang ditandai dengan abad 21 memiliki karakteristik
perubahan berlangsung amat cepat sehingga menimbulkan gejolak dan
ketidakpastian terjadi perubahan pradigma yang memberi penekanan
pada pengembangan potensi siswa, sehingga menghasilkan siswa-siswa
dengan keunggulan-keunggulan, mengembangkan kemampuan berpikir
dan rasa ingin tahu. Konten mata pelajaran tidak lagi cukup melainkan
diperlukan bagaimana memperoleh konten itu. Sumber informasi tidak
lagi hanya pada guru dan sekolah, tetapi di mana-mana: alam, google,
pergaulan, perilaku dan pengalaman orang, pusat-pusat informasi dan
dokumentasi, jurnal, web, dunia usaha, jejaring social dan sebagainya.
Sementara itu di sisi lain terdapat banyak sekali muncul masalah
lingkungan seperti efek rumah kaca, perubahan iklim, polusi, dan
eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Pertanyaan yang muncul
bagaimana mengurangi konsekwensi negatif dan memaksimalkan
konsekwensi positip. Tantangan berikut memunculkan usaha untuk
mengubah perilaku dengan mengarahkan pembelajaran agar tercapai
tujuan akhir terbentuknya manusia berkarakter, memiliki ketahanan
moral, pembelajar mandiri (self regulated learner) yang berjiwa
Entrepreneur.

29
Tantangan berikutnya adalah pendidik menghadapi
ketidakpastian. Di satu sisi pendidik bertugas menyiapkan siswa agar
berhasil hidup di masa depan, sementara di sisin lain masa depan itu
masih tidak pasti. Sebagai guru setiap kita bertugas:
1. Menyiapkan siswa/mahasiswa untuk bisa bekerja pada suatu
lapangan kerja, padahal boleh jadi pada saat sekarang pekerjaan itu
belum ada, belum ditemukan.
2. Menyiapkan siswa/mahasiswa untuk menggunakan teknologi yang
boleh jadi pula, teknologi yang dimaksud belum ditemukan.
3. Menyiapkan siswa/mahasiswa untuk terampil menyelesaikan
masalah yang boleh jadi masalahnya belum ada pada saat sekarang
atau tidak sama dengan masalah yang dihadapi pada masa sekarang.
A Vision of Student Today (2012) memperkuat pandangan 21st
Century Skills, Education, Competitiveness. Partnership for 21st Century
(2008) menyatakan bahwa pendidikan yang dilaksanaan pada situasi
dunia yang berubah dengan cepat memunculkan permasalahn-
permasalahan baru sekaligus juga peluang baru. Oleh karena itu siswa
harus diberdayakan dengan memfasilitasi mereka menguasai content
knowledge, keahlian, dan literasi sebagai fondasi. Mereka juga harus
diberdayakan dengan berbagai keterampilan dan pengetahuan penting
lainnya (Gambar 3)
Gambar 3 Kecakapan Abad 21

30
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan
terencana (bertahap) dalam meningkatkan potensi diri peserta didik dalam
segala aspeknya menuju terbentuknya kepribadian dan akhlak mulia.
Sedangkan Pembalajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidikan
agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan
kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada
peserta didik.
2. Pedagogi adalah cara pembelajaran dimana pengajar masih menjadi pusat
dari pembelajaran. Biasanya pembelajaran ini dilakukan untuk peserta
didik yang masih kanak-kanak, kemudian andragogi adalah pembelajaran
yang sudah tidak terpusat ke pengajar saja namun juga peserta didik aktif
dalam pembelajaran, meskipun pengajar masih mendampingi dan
memberikan sumber-sumber pembelajaran. Pembelajaran andragoni
ditujukan untuk jenjang SMA/SMK. Yang terakhir adalah pembelajaran
heutagogi dimana pembelajaran ini adalah pembelajaran yang berpusat
pada peserta didik.
3. Asas-asas pendidikan terdiri dari Tut wuri handayani, belajar
sepanjang hayat, dan belajar mandiri. Asas-asas tersebut terdapat
perbedaan yang mencolok walaupun asas asas tersebut merupakan
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Asas tut wuri handayani
menekankan pada peran pendidik dan anak didik dalam kegiatan belajar
Asas belajar sepanjang hayat menekankan pada peran anak didik dalam
belajar, anak didik dalam asas belajar sepanjang hayat bukan berarti anak
didik yang selalu membutuhkan pendidik dalam belajar, melainkan semua
orang yang ingin belajar seumur hidupnya. Sedangkan asas kemandirian

31
dalam belajar menekankan pada proses belajar yang harus mandiri dan
tidak selalu tergantung dengan orang lain.
4. Implementasi pembelajaran abad 21 ialah sistem blended learning yang
merupakan penggabungan antara ilmu pengetahuan, teknologi,
kemampuan pemecahan masalah serta penelitian. Pendidikan abad 21
dituntut agar mampu membekali siswa. Keterampilan abad 21 atau yang
dikenal dengan 4C meliputi keterampilan, berpikir kritis dan penyelesaian
masalah, kreativitas, inovasi, komunikasi dan kolaborasi.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas, saran-saran yang
dapat diberikan penulis adalah:
1. Hendaknya mampu mengetahui perbedaan mendasar antara kata
pendidikan dengan pembelajaran serta hubungan pendidikan yang
berkaitan erat dengan belajar dan pembelajaran.
2. Pembelajaran heutagogi dirasa menjadi pembelajaran yang tepat di era
abad 21 ini dikarenakan sumber materi serta kasus yang dapat dipelajari
secara mandiri dan dapat diaplikasikan dengan masalah yang terjadi
sehari-hari.
3. Hendaknya ketiga asas-asas pendidikan terdiri dari Tut wuri handayani,
belajar sepanjang hayat, dan belajar mandiri selalu dijadikan acuan untuk
menerapkan sistem pendidikan yang tepat bagi bangsa ini dan terus
menjunjung tinggi kebudayaan nasional daripada kebudayaan asing.
4. Pendidikan abad 21 diharapkan dapat menghasilkan sumber daya
manusia yang memiliki keterampilan berpikir kritis, kreatif, komunikatif
dan kolaboratif. Sistem pendidikan di Indonesia harus mampu berdaptasi
untuk membekali siswa dengan kompetensi yang dibutuhkan

32
DAFTAR RUJUKAN

Abd Rahman, Sabhayati, A, M, Andi, F, Yuyun, K, Y, Pengertian Pendidikan,


Ilmu Pendidikan dan Unsur-Unsur Pendidikan. Al Urwatul Wutsqa: Kajian
Pendidikan Islam. Vol 2, No 1, Juni 2022
https://journal. unismuh.ac.id/index.php/alurwatu

Abrori, F. M. 2017. Kajian folk taxonomy tumbuhan bumbu dan rempah di daerah
Guluk-guluk Sumenep Madura sebagai booklet bagi masyarakat. JPBI
(Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia). Vol 3, No 1, 55-63. Retrieved from
10.22219/jpbi.v3i1.3964.

Arief, S, David, S & Raphael, R. 1996. SMP Terbuka: Studi Kasus Indonesia
Jakarta: Unisco Kerja Sama dengan Pustekkom Depdikbud.

Arnetis, A., Suryawati, E., & Anggraini, S. F. 2013. Korelasi Hasil Belajar
Mahasiswa Pada Mata Kuliah Struktur Hewan Dengan Perkembangan
Hewan Di Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UR 2012/2013. Jurnal
Biogenesis. Vol 10, No 1, 33-43.

Aziz, A., & Saihu, S. 2019. Interpretasi Humanistik Kebahasaan: Upaya


Kontekstualisasi Kaidah Bahasa Arab. Arabiyatuna Jurnal Bahasa Arab.
Vol 3, No 2, 299-214.

Bansai, A., Jain, S., Sharma, L., Sharma, N., Jain, C., Madaan, M. 2020. Students’
perception regarding pedagogy, andragogy, and heutagogy as teaching-
learning methods in undergraduate medical education. Journal of
Education and Health Promotion.9.1-7. doi : 10.4103/jehp.jehp_221_20.

Blaschke, L.M. 2012. Heutagogy and lifelong learning: A review of heutagogical


practice and self determined learning. International Review of Research in
Open and Distance Learning. Vol 13, No 1, 56-71.
Bourn, Douglas. 2014. The Theory and Practice of Global Learning.Research
Paper No. 11, London: The Development Education Research Centre
Institute of Education.

Canning, N. 2010. Playing with heutagogy:Exploring strategies to empower


mature learners in higher education. Journal of Futher and Higher
Education. Vol 34, No 1. 59-71.

Chamany, K., Allen, D., & Tanner, K. 2008. Making biology Learning Relevant
To Students: Integrating People, History, And Context Into College
Biology Teaching. Cbe-Life Sciences Education. Vol 7, 267–278.
https://doi.org/10.1187/cbe.08–06–0029

33
Danan, T, 2021. Heutagogi: Sebuah alternatif dalam pembelajaran IPS pada masa
pandemi covid-19. Jurnal Teori dan Praksis Pembelajaran IPS. Vol 6, No.
2, Tahun 2021, 92-102.

Eberle, J. 2009. Heutagogy: What your mother didn’t tell you about pegagogy and
the conceptual age. In Proceedings from the 8th Annual European
Conference on e-Learning. October 29-30.2009.Bari, Italy.

Glen. 2009. Global Education Guide. Global Education Network.

Hamzah, J. 2012. Sumber, Azas dan Landasan Pendidikan (Kajian


Fungsionalisasi Secara Makro dan Mikro Terhadap Rumusan Kebijakan
Pendidikan Nasional). Jurnal UIN Alauddin Makassar Sulesana. Vol 7 No
2, 84-102.

Hasbullah. 2005. Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grasindo


Persada.

Hase, S., & Kenyon, C. 2013. Self-Determined Learning, Heutagogy in Action.


London: Bloomsbury Academic.

Hiryanto. 2017. Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi Serta Implikasinya Dalam


Pemberdayaan Masyarakat. Dinamika Pendidikan. Vol 22, No 1, 65-71.

Ibrahim, Muslimin, Wahyu Sukartiningsih. 2012, 2013, dan 2014. Pemberdayaan


Siswa Sekolah Dasar Untuk Berperilaku Positif Dan Berkemampuan
Berpikir Melalui Pengembangan Perangkat Dan Diseminasi
Pembelajaran Berorientasi Pemaknaan. Penelitian Hibah Bersaing
Pascasarjana Dibiayai oleh Dir. Litabmas Depdikbud.

Idris, Zahara. 1992. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo.

Ihsan, Fuad. 2008. Dasar Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Jou, A., Of, N. A. L., Medical, G., Feb, S., & Modeling, F. 2019. Pemikiran Ki
Hadjar Dewantara. Jurnal Pendidikan. Vol 3, No 1, 3-5.

Ki B. Boentarsono. 2012. Taman siswa: Badan perjuangan kebudayaan dan


pembangunan masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media.

Knowless, M. 1975. Self-directed learning: A guide for learners and teachers.


United States of America: Cambridge Adult Education.

Kurniasih, I., & Sani, B. 2014. Implementasi Kurikulum 2013 Konsep dan
Penerapan. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

34
Merriam, S.B. 2001. The New Update on Adult Learning Theory. San Fransisco:
Jossey Bass.

Mudjiman, Haris, 2009. Belajar Mandiri. Surakarta: Universitas Sebelas


Maret Press.

Mustadi, A., Fauzani, R.A., & Rochmah, K. 2018. Landasan Pendidikan Sekolah
Dasar. Yogyakarta: UNY Press.

Neolaka, A, Grace A. & Neolaka, 2017. Landasan Pendidikan “Dasar


Pengenalan Diri Sendiri Menuju Perubahan Hidup”. Jakarta: Kencana.

Nurmala, R. S., Priantari, I. 2017. Meningkatkan keterampilan komunikasi dan


hasil belajarkognitif melalui penerapan discovery learning. Jurnal Biologi
dan Pembelajaran Biologi. Vol 2, No 1, 1–10.

Ramdiah, S., Abidinsyah, A., Royani, M., Husamah, H., & Fauzi, A. 2020. South
Kalimantan Local Wisdom-Based Biology Learning Model. European
Journal of Educational Research. Vol , No 2, 639-653.
https://doi.org/10.12973/eu-jer.9.2.639

Rahmida, M. 2011. Meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sistem gerak
manusia melalui model pembelajaran kooperatif tipe teams-games-
tournaments (TGT). Quantum: Jurnal Inovasi Pendidikan Sains. Vol 2, No
2, 101–112.

Richardson, L.P., McGowan, C.G., & Styger, L.E.J. 2018. A quality approach to
masters education using an Australian case study. A reflection. Universal
Journal of Educational Research. Vol 6, No 8. 1837-1847.
https://doi.org/10.13189/ujer.2018.060829

Rizkita, K, & Saputra, B. R. 2020. Benuk penguatan pendidikan karaker pada


pesera didik dengan penerapan reward dan punishmnet. Jurnal Ilmu
Pendidikan, Vol 2,No 1, 69-73.

Rubiyanto, Rubino, dkk, 2003. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah


University Press.

Rusawandi, U, dkk, 2009. Landasan Pendidikan. Bandung: Insan Mandiri.

Saihu, S. 2019. Rintisan Peradaban Profetik Umat Manusia Melalui Peristiwa


Turunnya Adam As Ke-Dunia. Mumtaz. Jurnal Studi Al-Quran dan
Keislaman. Vol 3, No 2, 268-279.

35
Suharto, E. 2014. Membangun Masyarakat. Memberdayakan Rakyat. Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial.
Bandung: Refika Aditama.

Swandi, A., Amin, B. D., & Muin, F. 2018. 21 th century physics learning in
senior high school through interactive computer simulation to enhance
students achievement. International Conference on Mathematics and
Science Education. Vol 3, No 1, 130–135. Retrieved from
http://science.conference.upi.edu/ proceeding/index.php /ICMScE/ article/
view/57

Tirtarahardja, U, & La Sulo. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT


Rineka Cipta.

Torkar, G., & Kubiatko, M. 2017. Editorial. Center for Educational Policy Studies
Journal. Vol 7, No 1, 5-8.

Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

Uwes, S. 2003. Visi dan Pondasi Pendidikan. Jakarta: Logos

Utami, P. N. 2017. Konsep Pendidikan Karakter Menurut KI. Hajar Dewantara.


Skripsi. Iain Salatiga: Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

Putu Ayub, I. D. 2017. Pandangan dan Konsep Pendidikan Ki Hadjar. Prosiding


Seminar Nasional Dan Bedah Buku, May.

Wenny, W. 2019. Implementasi Trilogi Kepemimpinan (Ki Hadjar Dewantara) di


Madrasah Tsanawiyah. Jurnal Media Manajemen Pendidikan. Vol 2, No. 2
Oktober, 181-192.

Yanuarti, E. 2018. Pemikiran Pendidikan Ki. Hajar Dewantara dan Relevansinya


dengan Kurikulum 13. Jurnal Penelitian. Vol 11, No 2, 237–266.

36

Anda mungkin juga menyukai