Anda di halaman 1dari 2

Empat Tingkatan Taubat Menurut Ghazali

Senin, 29 Mei 2017 - 12:59 WIB


Seseorang yang suka mendekati keburukan dan menjauhi kebaikan dikhawatirkan
berujung pada su-ul khatimah.
MAM Al-Ghazali mengungkapkan bahwa orang yang melakukan taubat itu dapat ditilik
dari keadaan taubatnya dan sikapnya dalam empat tingkatan:
Pertama, seorang yang bertaubat dan terus tetap bertaubat hingga akhir usianya. Di
dalam hatinya ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan dosanya lagi. Tentu saja hal
ini dikecualikan atas kesalahan yang menurut kebiasaan manusia tidak dapat
menghindarinya. Inilah yang disebut istiqamah, kemantapan dalam taubatnya.
Taubat semacam ini dinamakan taubat nasuha, taubat yang mampu menasehati dirinya
sendiri. Untuk selanjutnya tidak membuat pelanggaran lagi dengan keinsyafan yang
sebenar-benarnya. Orang yang bertaubat seperti itu adalah orang yang memiliki jiwa
yang tenang nafsul mutmainah.
Kedua, orang yang bertaubat tetapi belum dapat melepaskan diri dari berbagai dosa yang
menghinggapinya. Dalam hatinya sama sekali tidak terketuk untuk berbuat dosa. Namun
keadaan memaksa ia terjebak dosa. Saat dosa menghampirinya, saat itu pula ia bertaubat,
dan benar-benar menyesalinya.
Jiwa orang semacam ini tergolongan nafsu lawwamah, jiwa penyesalan; jiwa yang selalu
menyesal atas dosa yang dilakukannya. Padahal dosa itu sendiri bukan dorongan hati dan
tidak ada kesengajaan sama sekali.
Taubat semacam ini tergolong taubat yang nilainya tinggi, tetapi lebih rendah mutunya
dari taubat yang pertama. Dan taubat ini umumnya dilakukan oleh kebanyakan orang.
Pelakunya berhak diberi janji baik dari Allah:
“Orang-orang yang mendapatkan kebaikan yaitu orang yang menjauhi dosa-dosa besar
dan beberapa kemaksiatan, kecuali yang hanya merupakan lintasan dalam hati.
Sesungguhnya Tuhanmu adalah amat luas pengampunannya.” (QS. An-Najm: 31-32)
Oleh karena itu, maka segala yang terlintas dalam hati dianggap dosa kecil, yang bukan
keinginannya sendiri. Kesalahan semacam ini dapat dimaafkan. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang memperoleh kebahagiaan ialah orang-orang yang apabila
melakukan keburukan atau menganiaya dirinya sendiri, maka mereka segera mengingat
pada Allah, kemudian memohon ampunan dari dosa-dosanya.” (QS. Ali-Imran: 135)
Dalam hadist disebutkan:
“Setiap mukmin tentu terkena dosa yang menimpanya pada setiap waktu.” (HR. Thabrani
dan Baihaqi)
Keterangan ini sebagai dalil bahwa kadar dosa yang demikian itu tidak merusak taubat
yang sudah diikrarkan dan orang yang melakukannya tidak termasuk yang mengekalkan
kemaksiatan.
Ketiga, seseorang yang bertaubat namun pada saat-saat tertentu ia dikalahkan oleh nafsu
syahwatnya dengan melakukan beberapa macam kemaksiatan. Dan ia sadar bahwa
kemaksiatan yang dilakukannya sengaja, karena memang tidak mampu mengekang nafsu
syahwatnya.
Dalam waktu yang sama ia tetap melaksanakan ketaatan dan sebagian dosa-dosa besar
ditinggalkan. Dalam hatinya ia berkeinginan agar mampu menghindari dorongan nafsu
syahwatnya. Malahan saat selesai melaksanakan kemaksiatan, ia menyesali dirinya
sendiri. Namun kekuatan nafsunya terkadang berimbang dengan iman.
Jiwa yang demikian itu dinamakan nafsu musawwalah; jiwa yang memerintah diri.
Mereka ini tergolong orang yang disinggung oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam
firmannya:
“Ada pun orang-orang lain yang sudah mengakui dosa-dosanya, tetapi mereka itu suka
mencampurkan amalan baiknya dengan amalan buruknya.” (QS. At-Taubah: 102)
Keempat, seorang yang bertaubat dengan waktu yang terbatas untuk selanjutnya ia
kembali menjerumuskan dirinya dalam berbagai perbuatan dosa. Orang semacam ini
sama sekali tidak menyesali perbuatan dosanya itu dan tidak ada keinginan segera
bertaubat.
Jiwa yang demikian itu disebut nafsu amarah bissuui, yaitu jiwa yang mengajak pada
kejahatan. Indikasinya ia suka mendekati keburukan dan menjauhi kebaikan.
Taubat ketiga dan keempat ini dikhawatirkan berujung pada su-ul khatimah, yakni
penghabisan yang buruk.

Anda mungkin juga menyukai