Anda di halaman 1dari 4

Subtema : Masyarakat Kosmopolitan

Kemajuan Teknologi Menyatukan Peradaban Dunia

Daniel Mauli Pahotan Panjaitan

Universitas Negeri Semarang

danielmaulipp@gmail.com

081213294245

Di era yang sangat maju ini, banyak sekali perkembangan teknologi yang
bermunculan di sekitar kita. Teknologi yang mengalami kemajuan tersebut
tentunya akan memudahkan kita melakukan aktivitas kita sehari-hari. Selain itu,
perkembangan teknologi dapat memudahkan kita untuk melakukan komunikasi
dengan orang lain di berbagai tempat.

Dengan saling terhubungnya orang satu dengan yang lainnya di berbagai tempat,
memungkinkan munculnya kesamaan ide atau membuat kesatuan komunitas.
Masyarakat yang saling menyatu inilah memunculkan rasa simpati dan empati
yang erat. Karena, mereka semua merasa adanya konektivitas yang saling
terhubung antar masyarakat satu dengan masyarakat lainnya.

Karena dengan perkembangan teknologi, masyarakat tentunya semakin mudah


untuk menjalin relasi satu dengan yang lain. Semakin berkembangnya era, lama-
kelamaan pola pikir masyarakat hanya berfokus pada modernisasi teknologi yang
ada. Karena itu, masyarakat ingin bergabung kepada satu komunitas dan pada
akhirnya komunitas itu tumbuh dan berkembang menjadi suatu kesatuan yang
terdiri dari seluruh penduduk dunia. Mengapa bisa demikian?
Kosmopolitanisme adalah gagasan bahwa setiap orang adalah anggota komunitas.
Pengikutnya dikenal sebagai kosmopolitan atau kosmopolitan. Kosmopolitanisme
bersifat normatif dan ambisius, meyakini bahwa orang dapat dan harus menjadi
'warga dunia' dalam 'komunitas universal'.

Ide-ide mencakup dimensi dan sarana komunitas yang berbeda, seperti


mempromosikan standar moral universal, membangun struktur politik global, dan
mengembangkan platform untuk ekspresi budaya dan toleransi bersama.

Kosmopolitanisme dalam teori politik adalah keyakinan bahwa semua manusia


berhak atas rasa hormat dan pertimbangan yang sama, tanpa memandang status
kewarganegaraan atau afiliasi lainnya.

Pada awalnya, individu kosmopolitan muncul secara global dan membentuk


masyarakat mereka, karena kemampuan mereka untuk hidup di tempat yang
berbeda dengan budaya lokal yang berbeda. Masyarakat kosmopolitan ini adalah
elit perkotaan atau pekerja kosmopolitan. Kita sering dilihat sebagai individu
kosmopolitan dengan beberapa kemampuan untuk menghargai perbedaan budaya
dan perjalanan; tetapi pada kenyataannya, alam semesta itu sendiri adalah produk
penciptaan, dan komunikasi dalam konteks yang berbeda harus dipahami tidak
secara individual, tetapi secara kolektif, dalam kaitannya dengan dan karena itu
tempatnya dalam sejarah.

Kosmopolitanisme sebagai tesis identitas juga menyangkal bahwa keanggotaan


dalam komunitas budaya tertentu diperlukan bagi seorang individu untuk
berkembang di dunia. Dalam pandangan ini, menjadi bagian dari budaya tertentu
bukanlah faktor penting dalam membentuk atau mempertahankan identitas
seseorang, dan seseorang dapat memilih dari berbagai ekspresi budaya, budaya
atau menolak semuanya demi pilihan budaya.

Dengan demikian, dari perspektif internasional, batas-batas negara hanya


membatasi jangkauan keadilan dan bukan merupakan hambatan yang tidak
semestinya untuk menghormati dan memenuhi tanggung jawab seseorang
terhadap semua orang dalam komunitas global.
Daftar Pustaka

1. Appiah, Kwame. (2006). Cosmopolitanism Ethics in a World of Strangers.


London: Penguin Books.
2. Beck, Ulrich. (2006). The Cosmopolitan Vision. Cambridge: Polity Press.
3. Cheah, P., dan B Robbins (ed.). (1998). Cosmopolitics: Thinking and
Feeling beyond the Nation. Minneapolis and London: University of
Minnesota Press.
4. Nussbaum, M. C. (1997). Kant and Stoic Cosmopolitanism, in The
Journal of Political Philosophy, Volume 5, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai