Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


TUMOR MEDULA SPINALIS DI RUANG MINA 1 RUMAH SAKIT
UMUM DR. ZAINOEL ABIDIN
KOTA BANDA ACEH

Oleh:
Annisa Syakhira, S. Kep
2312501010007

Pembimbing:

Dr. Hajjul Kamil, S. Kp., M. Kep


NIP. 19680307 199002 1 001
Ns. Andara Maurissa, MNS
NIP. 19830223 200901 2 101

KEPANITERAAN KLINIK KEPERAWATAN SENIOR


BAGIAN KEPERAWATAN DASAR
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
TAHUN 2023
KONSEP DASAR TUMOR MEDULA SPINALIS

A. Definisi
Tumor adalah sel yang tumbuh tidak normal pada beberapa bagian
tubuh, dapat tumbuh jinak atau ganas dan tumbuhnya tidak dipengaruhi
jaringan sekitarnya (Kemenkes, 2019).
Tumor Medula Spinalis adalah massa pertumbuhan jaringan yang baru
di dalam medula spinalis, bisa bersifat jinak (benigna) atau ganas (maligna).
(Satyanegara, 2010). Tumor medula spinalis merupakan tumor dapat terjadi
pada semua kelompok usia, tetapi jarang di jumpai sebelum usia 10 tahun
(Muttakin, Arif, 2008).
Tumor medula spinalis adalah tumor yang berkembang dalam tulang
belakang atau isinya dan biasanya menimbulkan gejala – gejala karena
keterlibatan medula spinalis atau akar – akar saraf. Tumor medula spinalis
primer merupakan seperenam tumor otak dan mempunyai prognosis yang
lebih baik karena sekitar 60% adalah jinak. Tumor Medula spinalis tidak
hanya menderita akibat pertumbuhan tumornya saja tapi juga akibat kompresi
yang disebabkan oleh tumor, (Price, 2006).
Tumor medula spinalis adalah tumor yang berkembang dalam tulang
belakang atau isinya dan biasanya menimbulkan gejala akibat terlibatnya
medula spinalis atau radix saraf, (Adril, A. Hakim, 2010).
B. Etiologi
a. Tumor Medula Spinalis  Primer
Penyebab tumor medula spinalis primer sampai saat ini belum diketahui
secara pasti. Beberapa penyebab yang mungkin dan hingga saat ini masih
dalam tahap penelitian adalah virus, faktor genetik, dan bahan-bahan
kimia yang bersifat karsinogenik.
b. Tumor Medula Spinalis Sekunder
Adapun tumor sekunder (metastasis) disebabkan oleh sel-sel kanker yang
menyebar dari bagian tubuh lain melalui aliran darah yang kemudian
menembus dinding pembuluh darah, melekat pada jaringan medula
spinalis yang normal dan membentuk jaringan tumor baru di daerah
tersebut.
C. Klasifikasi
1. Klasifikasi tumor medulla spinalis berdasarkan asal dan sifat selnya
a. Tumor medula spinalis primer
Tumor medula spinalis primer dapat bersifat jinak maupun ganas.
Tumor primer yang bersifat ganas contohnya astrositoma,
neuroblastoma dan kordoma sedangkan yang bersifat jinak contohnya
neurinoma, glioma dan ependimona (neoplasma yang timbul pada
kanalis sentralis medula spinalis).
b. Tumor medula spinalis primer
Tumor medula spinalis sekunder selalu bersifat ganas karena
merupakan metastatis dari proses keganasan di tempat lain seperti
kanker paru-paru, kanker payudara, kelenjar prostat, ginjal, kelenjar
tiroid atau limfoma.
2. Klasifikasi tumor berdasarkan lokasi tumor terhadap dura dan medula
spinalis (Price, 2006)
a. Tumor ekstradural
Tumor ekstradural pada umumnya berasal dari kolumna vertebralis
atau dari dalam ruang ekstradural. Tumor ekstradural terutama
merupakan metastasis dari lesi primer di payudara, prostat, tiroid,
paru-paru, ginjal dan lambung. (Price, 2006)
b. Tumor intardural
Tumor intradural dibagi menjadi :
1) Tumor ekstramedular
Tumor ekstramedular terletak antara dura dan medulla spinalis.
Tumor ini biasanya neurofibroma atau meningioma (tumor pada
meningen). Neurofibroma berasal dari radiks saraf dorsal.
Kadang-kadang neurofibroma tumbuh menyerupai jam pasir yang
meluas kedalam ruang ekstradural. Sebagian kecil neurofibroma
mengalami perubahan sarkomatosa dan menjadi infasis atau
bermetastasis. Meningioma pada umunya melekat tidak begitu erat
pada dura, kemungkinan berasal dari membran araknoid, dan
sekitar 90% dijumpai di regio toraksika. Tumor ini lebih sering
terjadi pada wanita usia separuh baya. Tempat tersering tumor ini
adalah sisi posterolateral medula spinalis. Lesi medula spinalis
ektramedular menyebabkan kompresi medula spinalis dan radiks
saraf pada segmen yang terkena. (Price, 2006)
2) Tumor Intramedular
Tumor intramedular  berasal dari medulla spinalis itu sendiri.
Struktur histologi tumor intramedular pada dasarnya sama dengan
tumor intrakranial. Lebih dari 95% tumor ini adalah glioma.
Berbeda dengan tumor intrakranial, tumor intra medular
cenderung lebih jinak secara histologis. Sekitar 50% dari tumor
intramedular adalah ependimoma, 45% persenya adalah
atrositoma dan sisanya adalah ologidendroglioma dan
hemangioblastoma. Ependimoma dapat terjadi pada semua tingkat
medula spinalis tetapi paling sering pada konus medularis kauda
ekuina. Tumor-tumor intramedular ini tumbuh ke bagian tengah
medula spinalis dan merusak serabut-serabut yang menyilang serta
neuron-neuron substansia grisea, (Price, 2006)
Gambar (A) Tumor intradural-intramedular, (B) Tumor intradural-
ekstramedular, dan (C) Tumor Ekstradural

Macam-macam tumor medula spinalis berdasarkan lokasinya

Intradural Intradural
Ekstra dural
ekstramedular intramedular
Chondroblastoma Ependymoma, tipe Astrocytoma
myxopapillary
Chondroma Epidermoid Ependymoma
Hemangioma Lipoma Ganglioglioma
Lipoma Meningioma Hemangioblastoma
Lymphoma Neurofibroma Hemangioma
Meningioma Paraganglioma Lipoma
Metastasis Schwanoma Medulloblastoma
Neuroblastoma Neuroblastoma
Neurofibroma Neurofibroma
Osteoblastoma Oligodendroglioma
Osteochondroma Teratoma
Osteosarcoma
Sarcoma
Vertebral
hemangioma

D. Manifestasi Klinis
1. Tumor Ekstradural (Price, 2006)
a. Gejala pertama umumnya berupa nyeri yang menetap dan terbatas
pada daerah tumor. Diikuti oleh nyeri yang menjalar menurut pola
dermatom.
b. Nyeri setempat ini paling hebat terjadi pada malam hari dan
menjadi lebih hebat oleh gerakan tulang belakang.
c. Nyeri radikuler diperberat oleh batuk dan mengejan.
d. Nyeri dapat berlangsung selama beberapa hari atau bulan sebelum
keterlibatan medula spinalis.
e. Fungsi medula spinalis akan hilang sama sekali.
f. Kelemahan spastik dan hilangnya sensasi getar.
g. Parestesi dan defisit sensorik akan berkembang cepat menjadi
paraplegia yang ireverssibel.
h. Gangguan BAB dan BAK.
Berdasarkan lokasi tumor, gejala yang muncul adalah
Lokasi Tanda dan Gejala

Foramen Gejalanya aneh, tidak lazim, membingungkan, dan tumbuh lambat


Magnum sehingga sulit menentukan diagnosis. Gejala awal dan tersering
adalah nyeri servikalis posterior yang disertai dengan hiperestesia
dalam dermatom vertebra servikalis kedua (C2). Setiap aktivitas
yang meningkatkan TIK (misal ; batuk, mengedan, mengangkat
barang, atau bersin) dapat memperburuk nyeri. Gejala tambahan
adalah gangguan sensorik dan motorik pada tangan dengan pasien
yang melaporkan kesulitan menulis atau memasang kancing.
Perluasan tumor menyebabkan kuadriplegia spastik dan hilangnya
sensasi secara bermakna. Gejala-gejala lainnya adalah pusing,
disartria, disfagia, nistagmus, kesulitan bernafas, mual dan
muntah, serta atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Temuan neurologik tidak selalu timbul tetapi dapat mencakup
hiperrefleksia, rigiditas nuchal, gaya berjalan spastik, palsi N.IX
hingga N.XI, dan kelemahan ekstremitas.
Servikal Menimbulkan tanda-tanda sensorik dan motorik mirip lesi
radikular yang melibatkan bahu dan lengan dan mungkin juga
menyerang tangan. Keterlibatan tangan pada lesi servikalis bagian
atas (misal, diatas C4) diduga disebabkan oleh kompresi suplai
darah ke kornu anterior melalui arteria spinalis anterior. Pada
umumnya terdapat kelemahan dan atrofi gelang bahu dan lengan.
Tumor servikalis yang lebih rendah (C5, C6, C7) dapat
menyebabkan hilangnya refleks tendon ekstremitas atas (biseps,
brakioradialis, triseps). Defisit sensorik membentang sepanjang
tepi radial lengan bawah dan ibu jari pada kompresi C6,
melibatkan jari tengah dan jari telunjuk pada lesi C7, dan lesi C7
menyebabkan hilangnya sensorik jari telunjuk dan jari tengah.
Torakal Seringkali dengan kelemahan spastik yang timbul perlahan pada
ekstremitas bagian bawah dan kemudian mengalami parestesia.
Pasien dapat mengeluh nyeri dan perasaan terjepit dan tertekan
pada dada dan abdomen, yang mungkin dikacaukan dengan nyeri
akibat gangguan intratorakal dan intraabdominal. Pada lesi torakal
bagian bawah, refleks perut bagian bawah dan tanda Beevor
(umbilikus menonjol apabila penderita pada posisi telentang
mengangkat kepala melawan suatu tahanan) dapat menghilang.
Lumbosakral Suatu situasi diagnostik yang rumit timbul pada kasus tumor yang
melibatkan daerah lumbal dan sakral karena dekatnya letak
segmen lumbal bagian bawah, segmen sakral, dan radiks saraf
desendens dari tingkat medula spinalis yang lebih tinggi.
Kompresi medula spinalis lumbal bagian atas tidak mempengaruhi
refleks perut, namun menghilangkan refleks kremaster dan
mungkin menyebabkan kelemahan fleksi panggul dan spastisitas
tungkai bawah. Juga terjadi kehilangan refleks lutut dan refleks
pergelangan kaki dan tanda Babinski bilateral. Nyeri umumnya
dialihkan keselangkangan. Lesi yang melibatkan lumbal bagian
bawah dan segmen-segmen sakral bagian atas menyebabkan
kelemahan dan atrofi otot-otot perineum, betis dan kaki, serta
kehilangan refleks pergelangan kaki. Hilangnya sensasi daerah
perianal dan genitalia yang disertai gangguan kontrol usus dan
kandung kemih merupakan tanda khas lesi yang mengenai daerah
sakral bagian bawah.
Kauda Menyebabkan gejala-gejala sfingter dini dan impotensi. Tanda-
Ekuina tanda khas lainnya adalah nyeri tumpul pada sakrum atau
perineum, yang kadang-kadang menjalar ke tungkai. Paralisis
flaksid terjadi sesuai dengan radiks saraf yang terkena dan
terkadang asimetris.
E. Komplikasi
7. Kerusakan serabut-serabut neuron
8. Hilangnya sensasi nyeri (keadaan parah)
9. Perdarahan metastasis
10. Kekauan, kelemahan
11. Gangguan koordinasi
12. Menyebabkan kesulitan berkemih atau hilangnya pengendalian terhadap
kandung kemih atau sembelit.
13. Komplikasi pembedahan :
a. Pasien dengan tumor yang ganas memiliki resiko defisit neurologis
yang besar selama tindakan operasi.
b. Deformitas pada tulang belakang post operasi lebih sering terjadi
pada anak-anak dibanding orang dewasa. Deformitas pada tulang
belakang tersebut dapat menyebabkan kompresi medula spinalis.
c. Setelah pembedahan tumor medula spinalis pada servikal, dapat
terjadi obstruksi foramen Luschka sehingga menyebabkan
hidrosefalus.
F. Pathway
G. Pemeriksaan Penunjang
Selain dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis tumor
medula spinalis dapat ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan penunjang
seperti di bawah ini:
1. Laboratorium
Cairan spinal (CSF) dapat menunjukkan peningkatan protein dan
xantokhrom, dan kadang-kadang ditemukan sel keganasan. Dalam
mengambil dan memperoleh cairan spinal dari pasien dengan tumor
medula spinalis harus berhati-hati karena blok sebagian dapat berubah
menjadi blok komplit cairan spinal dan menyebabkan paralisis yang
komplit.
2. Foto Polos Vertebrae
Foto polos seluruh tulang belakang 67-85% abnormal. Kemungkinan
ditemukan erosi pedikel (defek menyerupai “mata burung hantu” pada
tulang belakang lumbosakral AP) atau pelebaran, fraktur kompresi
patologis, scalloping badan vertebra, sklerosis, perubahan osteoblastik
(mungkin terajdi mieloma, Ca prostat, hodgkin, dan biasanya Ca
payudara.
3. CT-scan
CT-scan dapat memberikan informasi mengenai lokasi tumor, bahkan
terkadang dapat memberikan informasi mengenai tipe tumor. Pemeriksaan
ini juga dapat membantu dokter mendeteksi adanya edema, perdarahan
dan keadaan lain yang berhubungan. CT-scan juga dapat membantu dokter
mengevaluasi hasil terapi dan melihat progresifitas tumor.
4. MRI
Pemeriksaan ini dapat membedakan jaringan sehat dan jaringan yang
mengalami kelainan secara akurat. MRI juga dapat memperlihatkan
gambar tumor yang letaknya berada di dekat tulang lebih jelas
dibandingkan dengan CT-scan.
5. Radiologi
Modalitas utama dalam pemeriksaan radiologis untuk mediagnosis
semua tipe tumor medula spinalis adalah MRI. Alat ini dapat
menunjukkan gambaran ruang dan kontras pada struktur medula spinalis
dimana gambaran ini tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan yang lain.
Tumor pada pembungkus saraf dapat menyebabkan pembesaran
foramen intervertebralis. Lesi intra medular yang memanjang dapat
menyebabkan erosi atau tampak berlekuk-lekuk (scalloping) pada bagian
posterior korpus vertebra serta pelebaran jarak interpendikular.
Mielografi selalu digabungkan dengan pemeriksaan CT. tumor
intradural-ekstramedular memberikan gambaran filling defect yang
berbentuk bulat pada pemeriksaan myelogram. Lesi intramedular
menyebabkan pelebaran fokal pada bayangan medula spinalis.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk sebagian besar tumor baik intramedular
maupun ekstramedular adalah dengan pembedahan. Tujuannya adalah untuk
menghilangkan tumor secara total dengan menyelamatkan fungsi neurologis
secara maksimal. Kebanyakan tumor intradural-ekstramedular dapat direseksi
secara total dengan gangguan neurologis yang minimal atau bahkan tidak ada
post operatif. Tumor-tumor yang mempunyai pola pertumbuhan yang cepat
dan agresif secara histologis dan tidak secara total dihilangkan melalui operasi
dapat diterapi dengan terapi radiasi post operasi.
Terapi yang dapat dilakukan pada tumor medulla spinalis adalah :
1. Deksamethason : 100 mg (mengurangi nyeri pada 85 % kasus, mungkin
juga menghasilkan perbaikan neurologis).
2. Penatalaksanaan berdasar evaluasi radiografik
a. Bila tidak ada massa epidural : rawat tumor primer (misalnya dengan
sistemik kemoterapi); terapi radiasi lokal pada lesi bertulang; analgesik
untuk nyeri.
b. Bila ada lesi epidural, lakukan bedah atau radiasi (biasanya 3000-4000
cGy pada 10x perawatan dengan perluasan dua level di atas dan di
bawah lesi); radiasi biasanya seefektif seperti laminektomi dengan
komplikasi yang lebih sedikit.
3. Penatalaksanaan darurat (pembedahan/ radiasi) berdasarkan derajat blok
dan kecepatan deteriorasi
a. bila > 80 % blok komplit atau perburukan yang cepat: penatalaksanaan
sesegera mungkin (bila merawat dengan radiasi, teruskan
deksamethason keesokan harinya dengan 24 mg IV setiap 6 jam
selama 2 hari, lalu diturunkan (tappering) selama radiasi, selama 2
minggu.
b. bila < 80 % blok: perawatan rutin (untuk radiasi, lanjutkan
deksamethason 4 mg selama 6 jam, diturunkan (tappering) selama
perawatan sesuai toleransi.
4. Radiasi
Terapi radiasi direkomendasikan umtuk tumor intramedular yang tidak
dapat diangkat dengan sempurna. Dosisnya antara 45 dan 54 Gy.
5. Pembedahan
Tumor biasanya diangkat dengan sedikit jaringan sekelilingnya dengan
teknik myelotomy. Aspirasi ultrasonik, laser, dan mikroskop digunakan
pada pembedahan tumor medula spinalis.
Indikasi pembedahan :

a. Tumor dan jaringan tidak dapat didiagnosis (pertimbangkan biopsi


bila lesi dapat dijangkau). Catatan: lesi seperti abses epidural dapat
terjadi pada pasien dengan riwayat tumor dan dapat disalahartikan
sebagai metastase.
b. Medula spinalis yang tidak stabil (unstable spinal).
c. Kegagalan radiasi (percobaan radiasi biasanya selama 48 jam, kecuali
signifikan atau terdapat deteriorasi yang cepat); biasanya terjadi
dengan tumor yang radioresisten seperti karsinoma sel ginjal atau
melanoma.
d. Rekurensi (kekambuhan kembali) setelah radiasi maksimal.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TUMOR MEDULA SPINALIS

A. Pengkajian

1. Data umum pasien :

Data umum pasien yang perlu dikaji diantaranya:

a) Data demografi meliputi: Nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat


rumah.

b) Pekerjaan : jelaskan aktivitas sehari-hari pasien, jenis pekerjaan.

c) Lingkungan: apakah terekpos pencemaran lingkungan seperti bahan kimia,


listrik, polusi udara, dll.

d) Tingkat intelektual : riwayat pendidikan, pola komunikasi

e) Status emosi: ekspresi wajah, perasaan tentang dirinya, keluarga pemberi


pelayanan kesehatan, penerimaan stres dan koping mekanisme.

f) Riwayat pengobatan: obat-obatan yang pernah diberikan (nama,


penggunaan, dosis, berapa lama), keadaan setelah pengobatan, alergi obat dan
makanan. Kebiasaan minum alkohol, obat-obatan, rokok.

g) Pelayanan kesehatan puskesmas, klinik, dokter praktek.

2. Keluhan utama

a) Trauma: urutan kejadian, waktu kejadian, siapa yang menangani,


pengobatan yang diberikan, keadaan trauma.

b) Infeksi akut: kejadian, tanda dan gejala kejang, tempat infeksi, sumber
infeksi, penanganan yang sudah diberikan dan responya.

c) Kejang: urutan kejadian, karakter dari gejala kejang, kemungkinan faktor


pencetus, riwayat kejang, penggunaan obat kejang.
d) Nyeri: lokasi, kualitas, intensitas, lamanya, menetap atau tidak penanganan
sebelumnya.

e) Gaya berjalan: seimbang, kaki diseret, gangguan aktivitas.

f) Vertigo: kejadian, faktor pencetus, mual dan muntah, tinitus, perubahan


kognitif, perubahan penglihatan, nyeri dada.

g) Kelemahan: kejadian, lamanya, reflek menelan, adakah batuk, bagaimana


jika menelan air atau lebih padat

3. Riwayat kesehatan yang lalu

a) Apakah ada trauma : kepala, tulang belakang, spinal cord, trauma lahir,
trauma saraf.

b) Apakah ada kelainan kongenital, deformitas/kecacatan.

c) Adakah penyakit stroke.

d) Adakah enchephalitis dan meningitis.

e) Adakah gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aneurisma, disritmia,


pembedahan jantung, tromboenboli.

4. Riwayat keluarga

Epilepsi dan kejang, Nyeri kepala, Retardasi mental, Stroke, Gangguan


psikiatri, Penggunaan alkohol, rokok, dan obat-obatan terlarang, Penyakit
keturunan : DM, muskular distropi.

5. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui kelainan dari fungsi neurologi.

Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi : tanda vital, status mental,


pemeriksaan kepala, leher dan punggung, saraf kranial, saraf sensorik, saraf
motorik, refleks dan sistem sarafotonom.

6. Statsus mental

GCS
Respon Membuka Mata Nilai

Spontan 4

Terhadap bicara 3

Terhadap nyeri 2

Tidak ada respon 1

Respon Verbal Nilai

Terorientasi 5

Percakapan membingungkan 4

Penggunaan kata-kata yang tidak sesuai 3

Suara menggumam 2

Tidak ada respon 1

Respon Motorik Nilai

Mengikuti perintah 6

Menunjuk tempat rangsangan 5

Menghindar dari stimulus 4

Fleksi abnormal (dekortikasi) 3

Ektensi abnormal 2

Tidak ada respon 1


Berikut beberapa penilaian GCS dan interpretasinya terhadap tingkat
kesadaran:

- Nilai GCS (15-14) : Composmentis

- Nilai GCS (13-12) : Apatis

- Nilai GCS (11-10) : Delirium

- Nilai GCS (9-7) : Somnolen


- Nilai GCS (6-5) : Sopor

- Nilai GCS (4) : Semi-coma

- Nilai GCS (3) : Coma

Kekuatan otot

Respon Nilai

Tidak ada kontraksi otot. 0


Ada tanda dari kontraksi. 1
Bergerak tapi tak mampu menahan gaya gravitasi. Bergerak 2
melawan gaya gravitasi tetapi tidakdapat melawan tahanan otot 3
pemeriksa.
Bergerak dengan lemah terhadap tahanan dari ototpemeriksa 4
Dapat menahan tahan dari otot periksa
Kekuatan dan rangsangan yang normal.
5
7. Pemeriksaan fungsi refleks

a) Refleks Bisep

1) Pasien duduk dilantai

2) Lengan rileks, posisi antara fleksi dan ekstensi dan sedikit pronasi,
lengan diletakkan diatas lengan pemeriksa

3) Stimulus: ketokan pada jari pemeriksa pada tendon

4) Biceps brachii, posisi lengan setengah ditekuk pada sendi siku.

5) Respon: fleksi lengan pada sendi siku.

b) Refleks Trisep

1) Pasien duduk dengan rileks

2) Lengan pasien diletakan diatas lengan pemeriksa

3) Pukul tendon trisep melalui fosa olekrani


4) Stimulus: ketukan pada tendon otot triceps brachii, posisi lengan
fleksi pada sendi siku dan sedikit pronasi.

5) Respon: ekstensi lengan bawah disendi siku.

c) Refleks Patella

1) Pasien duduk santai dengan tungkai menjuntai

2) Raba daerah kanan-kiri tendon untuk menentukan daerah yang


tepat.

3) Tangan pemeriksa memegang paha pasien

4) Ketuk tendon patella dengan palu refleks menggunakan tangan yang

lain.

5) Respon: pemeriksa akan merasakan kontraksi otot kuadrisep,


ekstensi tungkai bawah

6) Stimulus: ketukan pada tendon patella

7) Respon: ekstensi tungkai bawah karena kontraksim quadrisep


femoris.

d) Refleks Babinski

Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui
sisi lateral. Orang normal akan memberikan respon fleksi jari-jari dan
penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon jempol
kaki akan dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau
membuka.
Normal pada bayi masih ada.

e) Refleks Achilles

Ketukan pada tendon Achilles. Respon: plantar fleksi longlegs karena


kontraksi m.gastroenemius.

f) Refleks Kornea
Dengan cara menyentuhkan kapas pada limbus, hasil positif bila
mengedip (N IV & X).

g) Refleks Faring

Faring digores dengan spatel, reaksi positif bila ada reaksimuntahanm


(N IX & X)

B. Diagnosa Keperawatan

Menurut PPNI (2016) diagnosa keperawatan yang muncul sebagai berikut:

1) Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan kelemahan otot 


pernapasan
2) Ketidakefektifan perfusi perifer berhubungan dengan gangguan  aliran
darah sekunder (arteri) akibat hipotensi
3) Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah
4) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi akibat tumor
5) Gangguan pola tidur berhubungan dengan  sering terbangun akibat nyeri
6) Resiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi sensori
7) Gangguan eliminasi urine (inkotenensia urine) berhubungan dengan
gangguan pada saraf
8) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular
9) Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan
Rencana Asuhan Keperawatan
DIAGNO RENCANA KEPERAWATAN
SA
(SDKI) TUJUAN & HASIL INTERVENSI (SIKI)
KRITERIA HASIL (SLKI)

Ketidak Frekuensi nafas yang efektif dan Manajemen Pola Pernafasan


efektifa mengalami adanya pertukaran gas (I.01011)
n pola pada paru, Setelah dilakukan Observasi
pernafa tindakan  keperawatan 5x24 1.Monitor pola nafas (frekuensi,
san jam  diharapkan frekuensi nafas kedalaman, usaha nafas)
(D.0005) meningkat dengan Kriteria  hasil : 2.Monitor bunyi nafas tambahan
- RR 16-20x/menit 3.Monitor sputum (jumlah, warna,
- HR 60-100x/menit aroma)
Teraupetik
-Retraksi dinding dada ringan
4.Pertahankan kepatenan jalan nafas
- Tidak meggunakan otot bantu dengan head-tilt dan chin-lift (jaw-
pernafasan thrust jika curiga trauma servikal
5.Posisika semi-fowler atau fowler
6.Berikan minum hangat
7.Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
8.Lakukan penghisapan lender
kurang dari 15 detik
9.Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal
10. Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsep McGill
11. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
12. Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak kontraindikasi
13. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
14. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
Nyeri akut Tingkat Nyeri (L.08066)  Setelah Manajemen Nyeri
(D. 0077) dilakukan Tindakan  keperawatan 3x24 (I.08238)
jam  diharapkan tingkat nyeri  Observasi
menurun, dengan kriteria 1. Identifikasi lokasi,
hasil: karakteristik, durasi,
- Keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas,
- Pasien tidak meringis `intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
- Gelisah menurun
3. Identifikasi respon nyeri 
- Frekuensi nadi membaik
non verbal
- Pola napas membaik
4. Identifikasi factor yang 
(16-20x/menit)
Meringankan dan  
- Tekanan darah membaik  (110-
Memperberat nyeri
120/70- 80 mmhg)
5. Monitor efek samping 
keberhasilan terapi  
komplementer yang
sudah  diberikan
6. Monitor efek samping 
penggunaan analgetic
Terapeutik
7. Berikan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(Terapi kompres
hangat/dingin, terapi
imajinasi terbimbing,
terapi relaksasi)
8. Kontrol lingkungan yang 
memperberat rasa nyeri  
(suhu ruang, pencahayaan, 
kebisingan)
9. Fasilitasi istirahat dan tidur
10. Fasilitasi istirahat dan
tidur 11. Pertimbangkan jenis
dan  sumber nyeri
dalam  pemilihan
strategi  meredakan nyeri

Edukasi
12. Jelaskan penyebab,  periode,
dan pemicu nyeri
13. Jelaskan
strategi Meredakan nyeri
14. Anjurkan monitor
nyeri  secara mandiri
15. Anjurkan
menggunakan  analgetic
secara tepat
16. Ajarkan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
17. Kolaborasi
pemberian  analgesic bila perlu

Defisit Status Nutrisi (L.06053)  Manajemen Nutrisi


nutrisi Setelah dilakukan tindakan  (I.03119)
(0019) keperawatan selama 3x24  jam Observasi
diharapkan status 1. Identifikasi status
nutrisi adekuat/membaik  nutrisi
dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi alergi dan 
- Porsi makan dihabiskan  meningkat intoleransi makanan
- Berat badan membaik 3. Identifikasi makanan  yang
- Frekuensi makan  membaik disukai
- Nafsu makan membaik 4. Identifikasi kebutuhan 
- Bising usus membaik kalori dan jenis nutrien
- Membran mukosa  membaik 5. Identifikasi perlunya  
penggunaan selang   nasogastrik
6. Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil laboratorium
Teraupetik
9. Lakukan oral hygine   sebelum
makan jika perlu
10. Fasilitasi melakukan  
pedoman diet
11. Sajikan makanan secara 
menarik
12. Berikan makanan
tinggi  serat
13. Berikan makanana tinggi 
kalori dan tinggi protein
Edukasi
14. Ajarkan diet sesuai yang 
diprogramkan
15. Anjurkan posisi duduk, 
jika mampu
Kolaborasi
16. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan
17. Kolaborasi dengan
ahli  gizi untuk
menentukan  jumlah kalori
dan jenis  Nutrein yang
dibutuhkan

Gangguan Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan mobilisasi


mobilitas Setelah dilakukan (I.05173)
fisik perawatan 5x24 jam Observasi
(D.0054) diharapkan mobilitas fisik  1. Identifikasi adanya nyeri 
meningkat, dengan kriteria  hasil: atau keluhan fisik lainnya
- PergerakanEkstremitas  2. Identifikasi toleransi  Fisik
meningkat melakukan pergerakan
- Kekuatan otot  meningkat 3. Monitor frekuensi  jantung dan
- Rentang Gerak (ROM)  meningkat tekanan  darah sebelum
- Gerakan terbatas  menurun dan  setelah mobilisasi
- Kelemahan fisik  menurun 4. Monitor kondisi umum 
selama mobilisasi
Terapeutik
1.Fasilitasi aktivitas  mobilisasi
dengan alat  bantu (mis.
Pagar tempat  tidur)
2. Fasilitasi melakukan 
pergerakan, bila perlu
3. Libatkan keluarga untuk 
membantu pasien
dalam  meningkatkan  perge
rakan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi dini
4. Ajarkan mobilisasi
5. Sederhana yang harus 
dilakukan

DAFTAR PUSTAKA 
Brunner & Suddart, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Vol 3, Edisi 8,
Penerbit RGC, Jakarta.
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition,
IOWA Intervention Project, Mosby.
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification (NIC) second
Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.
Muttakin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan denngan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika
Price, A. S., Wilson M. L., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Alih Bahasa: dr. Brahm U. Jakarta: EGC
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf. Edisi IV. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama

Anda mungkin juga menyukai