Anda di halaman 1dari 32

Materi Sejarah Indonesia

Nama : Bagas Putra Prasetya


Kelas : X-RPL 2
No.Absen : 8

Tahun Pelajaran
2018/2019
KEHIDUPAN POLITIK INDONESIA AWAL KEMERDEKAAN
SAMPAI TERPIMPIN
AWAL KEMERDEKAAN (1945-1949)
#1.    Keadaan kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia pada awal kemerdekaan
masih belum stabil.
Ketidak setabilan ini di sebebkan oleh factor-faktor berikut ;
A. Faktor intern (dari dalam), antara lain :
1. Adanya persaingan antar partai politik yang berbeda ideologi untuk menjadi partai
yang paling berpengaruh di indonesia.
2. Adanya gangguan-gangguan keamanan dalam negeri.
3. Bangsa Indonesia masih mencari sistem pemerintahan yang cocok sehingga terjadi
perubahansistem pemerintahan.
B. Factor ekstern (dari luar), antara lain :
1. Kedatangan Sekutu (Inggris) yang di boncengi NICA (Belanda) yang ingin kembali
menjajah Indonesia,menimbulkan pertempuran di berbagai daerah.
2. Jepang masih mempertahankan status quo di wilayah Indonesia sampai Sekutu datang
sehingga sering terjadi peperangan antara rakyat Indonesia dan tentara Jepang.

#2. Pembentukan Lembaga-Lembaga Kelengkapan Negara

a.  Pembentukan Lembaga Kementrian (Departemen)

Dalam UUD 1945 telah dicantumkan bahwa pemerintahan Republik Indonesia


dijalankan oleh presiden dan dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab
kepada presiden. Presiden memiliki hak prerogatif di dalam mengangkat dan
memberhentikan para menterinya. Departemen-departemen yang dibentuk beserta
menteri-menteri yang diangkat adalah sebagai berikut :

·         Departemen Dalam Negeri : R.A.A. Wiranata Kusumah,


·         Departemen Luar Negeri : Mr. Ahmad Subardjo,
·         Departemen Keuangan : Mr. A.A Maramis,
·         Departemen Kehakiman : Prof. Mr. Dr. Soepomo,
·         Departemen Kemakmuran : Ir. Surahman T. Adisurjo,
·         Departemen Keamanan Rakyat : Supriyadi,
·         Departemen Kesehatan : Dr. Buntaran Martoatmodjo,
·         Departemen Pengajaran : Ki Hajar Dewantara,
·         Departemen Penerangan : Mr. Amir Syarifuddin,
·         Departemen Sosial : Mr. Iwa Kusumasumantri,
·         Departemen Pekerjaan Umum : Abikusno Tjokrosujoso,
·         Departemen Perhubungan (a.i) : Abikusno Tjokrosujoso
b.      Pembentukan Komite Nasional Indonesia dan Daerah

Dalam rapat KNIP tanggal 16 Oktober 1945, wakil presiden Republik Indonesia
mengeluarkan Keputusan No.X yang isinya memberikan kekuasaan dan wewenang
legislatif kepada KNIP untuk ikut serta untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) sebelum MPR terbentuk dalam pemilihan umum.
Dalam rapat PPKI tanggal 22 Agustus 1945 Hasil yang dicapai adalah sebagai
berikut :
1)      KNI (Komite Nasional Indonesia) berfungsi sebagai dewan perwakilan rakyat sebelum
dilaksanakannya pemilihan umum (pemilu).
2)      PNI (Partai Nasional Indonesia) dirancang menjadi partai tunggal negara Republik
Indonesia, tetapi dibatalkan.
3)      BKR (Badan Keamanan Rakyat) berfungsi sebagai penjaga keamanan umum pada tiap-
tiap daerah.

Pada tanggal 03 November 1945 pemerintah mengeluarkan Maklumat Politik sebagai


berikut :
1)     Pemerintah menghendaki adanya partai-partai politik,karna partai politik itu dapat
membuka jalan buat semua aliran atau paham yang ada dalam masyarakat.
2)     Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun sebelum di
laksankannya pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946.

Akibat dikeluarkannya maklumat pemerintah 3 november 1945, di Indonesia akhirnya


muncul banyak partai politik, seperti :
-        Majelis Syuro Muslimin Indonesian (Masyumi), dipimpin oleh Dr.Soekiman
Wirdjosandjodjo.
-      Partai Komunis Indonesia , dipimpin oleh Mr. Moh. Yusuf.
-      Partai Buruh Indonesia , dipimpin oleh Njono.
-      Partai Rakyat jelata , dipimpin oleh Sutan Dewanis .
-      Partai Kristen Indonesia , dipimpin oleh Ds. Probowinoto.
-      Partai Sosialis Indonesia , dipimpin oleh Mr. Amir Syarifudin.
-      Partai Rakyat Sosialis, dipimpin oleh Sutan Syahrir.
-      Partai Katolik Indonesia, dipimpin oleh I.J. Kasimo.
-      Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia, dipimpin oleh J.B.Assa.
-      Partai Nasional Indonesia , dipimpin oleh Sidik Djodjosukarto

c. Pembentukan Alat Kelengkapan Keamanan Negara Panitia kecil itu


mengusulkan sebagai berikut :

1)   Rencana pembelaan negara dan Badan Penyelidik Usaha usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang mengandung unsur politik perang, tidak dapat di terima.
2)    Tentara PETA pembela tanah air di Jawa dan Bali Laskar Rakyat di Sumatera
dibubarkan Karena merupakan organisasi buatan Jepang yang kedudukannya di dalam
dunia Internasional tidak memiliki ketentuan dan kekuatan hukum.
Alat Kelengkapan Keamanan Negara
1.    TKR (Tentara Keamannan Rakyat). Yang di pimpin oleh Supriyadi (5 Oktober 1945).
2.    TKR ( Tentara Keamanan Rakyat) (1 januari 1946)
3.    TKR ( Tentara Keselamatan Rakyat) (26 januari 1946)
4.    TNI (Tentara Nasional Indonesia) (7 Juni 1947 )
d. Pembentukan Provinsi di Seluruh Wiayah Indonesia
Pada awalnya wilayah Indonesia dibagi 8 provinsi dan mengangkat Gubernur sebagai
kepala daerah. Gubernur-gubenrur yang diangkat antara lain :

 Provinsi Sumatra, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah,
Provinsi Sunda Kecil ( Nusa Tenggara), Provinsi Maluku, Provinsi Sulawesi, Provinsi
Kalimantan

e. Pembentukan Lembaga Pemerintahan di Daerah

Ø  Lembaga Pemerintah Daerah ; Dipimpin oleh kepala daerah dan tugasnya menjalankan
pemerintahan atas daerah yang dikuasainya.
Ø  Lembaga Komite Nasional Daerah (KNI-D); Tuasnya membantu gubernur menjalankan
tugas dan kepengawasan dalam tugas-tugas gubernur sebelum terbentuknya DPR
melalui pemilihan umum.
Ø  Lembaga Teknis Daerah; lembaga ini disubut dengan Dinas, dan terdiri atas Badan
Penelitian dan Pengembangan, Badan Perencanaan, Lembaga Pengawasan, Badan
Pendidikan dan sebagainya.
Ø  Dinas Daerah; lembaga ini merupakan unsure pelaksana dari pemerintah daerah yang
menyeenggarakan urusan-urusan rumah tangga daerah itu sendiri.
Ø  Wakil Kepala Daerah; merupakan pembantu kepala daerah yang menjalankan tugas dan
wewenangnya sehari-hari.
Ø  Sekaertariat Daerah; Tugasnya membatu Kepala Daerah di dalam menyelenggarakan
pemerintahan atas daerah yang di perintahnya.

#3.Politik Luar Negri

Pada awal kemerdekaan, politik luar negeri Indonesia difokuskan pada


bagaimana memperoleh pengakuan dari negara lain atas kemerdekaannnya. Pada
tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar 1945 disahkan. Pembukaan UUD 1945
alinea ke empat berbunyi “....melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Kemudian mencetuskan politik BEBAS AKTIF.
Bebas yang berarti bahwa Indonesia bebas untuk bertindak menurut dirinya sendiri
dan tidak dipengaruhi oleh pihak manapun dan aktif dimana Indonesia aktif menjaga
perdamaian dunia.
DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959)
1.    Pada masa demokrasi liberal kondisi politik bangsa Indonesia menggalami
ketidakstabilan ( kekacauan ).
A. Ketidakstabilan politik ini disebabkan karena :
a.       Parlemen ( DPR ) tidak mampu menjalankan tugasnya untuk memperjuangkan
kepentingan rakyat. Yang terjadi hanyalah pertarungan antar partai politik untuk
mendapatkan kekuasaan ( berkuasa memimpin pemerintahan /Kabinet ).
b.      Sering terjadi pergantian kabinet. Dalam kurun waktu kurang lebih 9 tahunan telah
terjadi 7 kali pergantian kabinet ( pemerintahan ), ini berarti umur kabinet rata – rata
15 bulan. Akibatnya kehidupan politik menjadi tidak stabil.
c.       Konstituante sebagai badan yang dipilih oleh rakyat dengan tugas membentuk UUD yang
baru ternyata juga mengalami kegagalan. Hal ini desebabkan karena dalam badan
tersebut hanya diisi dengan perdebatan antar partai politik dengan ideologi yang
berbeda – beda ( agama, nasionalis dan komunis ) masing – masing partai ingin
menonjolkan paham / ideologi partainya sendiri - sendiri.
B. Usaha untuk mengatasi ketidakstabilan politik dalam tubuh Dewan Konstituante
tersebut pada bulan Pebruari 1957 Presiden Soekarno mengajukan sebuah gagasan
politik (Konsepsi Presiden) yang berisi :
·       Sistim demokrasi liberal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan menawarkan
perubahan ke arah sistim demokrasi terpimpin
·       Perlu dibentuk Kabinet Gotong Royong yang menampung semua golongan
·       Pembentukan Dewan Nasional yang bertugas memberi nasehat kepada kabinet.

2.    Pemilu
Pemilihan umum pertama di Indonesia setelah kemerdekaan tahun 1945 adalah tahun
1955. Pemilu diadakan dalam dua periode, yaitu pada 29 September masyarakat
memilih anggota DPR, kemudianpada periode kedua pada 15 Desember memilih
anggota Konstituante. Tak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan
perorangan ikut serta mencalonkan diri. Pemilu ini menghasilkan angggota DPR
sebanyak 272 orang, 17 fraksi yang mewakili 28 partai peserta pemilu, organisasi, dan
perkumpulan pemilih. Sedangkan anggota Konstituante berjumlah 542 orang.

3.    Politik Luar Negeri


Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia pada masa demokrasi liberal (Pemerintahan
Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) sejak tahun 1949-1959) adalah sebagai berikut:
Ø  Pada masa cabinet Mohammad Hatta (Kabinet Republik Indonesia Serikat/ RIS) politik
luar negeri Indonesia di titik beratkan pada Negara Asia dan Negara Barat, karena
kepentingan Indonesia masih terkait dengan Eropa. Peranan hasil Indonesia masih
terpusat di negeri Belanda dan Eropa Barat.
Ø  Pada masa Kabinet Sukiman, politik luar negeri Indonesia lebih cenderung memihak
Amerika Serikat. Terbukti dengan ditandatangani kerjasama ekonomi, teknik, dan
persenjataan antara Menteri Luar Negeri yakni Ahmad Soebarjo dengan Duta Besar
Amerika yakni Merle Cochran dalam bentuk “Mutual Security Act” pada tahun 1952.
Kerjasama tersebut mendapat reaksi dari berbagai pihak karena dianggap telah
memasuki Indonesia ke Blok Barat.
Ø  Pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo Pertama, politik luar negeri Indonesia lebih
condong kerjasama dengan Negara Asia dan Negara Afrika. Terbukti dengan
dilaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat.
Ø  Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap sampai lahirnya Dekrit Presiden pada tahun
1959, politik luar negeri Indonesia mulai bersifat bebas aktif terbukti: Pertama,
Indonesia menjalin hubungan baik dengan Negara blok Barat seperti Australia, Inggris,
dan Amerika Serikat. Bahkan pada tahun 1956, Indonesia memperoleh bantuan bahan
makanan dari Amerika Serikat senilai US$96.700.000. dan Presiden Soekarno pada
bulan Maret 1956, berkunjung ke Amerika Serikat atas undangan Presiden John F.
Kennedy. Kedua, Indonesia juga menjalin blok Timur. Pada bulan Agustus 1956,
Presiden Soekarno berkunjung ke Uni Soviet dan mendapat bantuan ekonomi dari Uni
Soviet senilai US$ 100.000.000, selain itu, Presiden Soekarno juga berkunjung ke daerah
bagian Uni Soviet yakni Cekoslowakia, Kuba, dan Republik Rakyat Cina.

4. Kabinet-kabinet pada masa demokrasi liberal :

1.  Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)


·       Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman
·       Konsolidasi dan menyernpurnakain susunan pemerintahan
·       Menyempurnakan organisasi angkatan Perang
·       Mengembangkan dan memperkokoh ekonomi rakyat
·       Memperjuangkan penyelesaian Irian Barat

2.Kabinet Sukiman (27 April 1951 - 3 April 1952)


·       Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai recana untuk menjamin keamanan
dan ketertiban.
·       Mengusahakan kemakmuran rakyat
·       Mempersiapkan pemilihan umum
·       Mempersiapkan undang-undang perburuhan
·       Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
·       Memperjuangkan Irian Barat
3.Kabinet Wilopo (3 April 1952 - 2 Juni 1953)
·       Melaksanakan pemilihan umum
·       Memajukan tingkat penghidupan rakyat
·       Mengatasi keamanan dengan kebijaksanaan sebagai negara
·       Melengkapi undang-undang perburuhan
·       Mempercepat usaha perbaikan dan pembaharuan pendidikan dan pengajaran
·       Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif, menyelesaikan hubungan Uni Indonesia -
Belanda atas dasar negara merdeka dan meneruskan perjuangan pengembalian Irian
Barat
4.Kabinet Ali Sastroamijoyo, 1 adalah sebagai berikut:
·       Program dalam negeri, mencakup soal keamanan, pemilu, kemakmuran dankeuangan,
organisasi negara, dan perundang-undangan.
·       program luar negeri, meliputi pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif dan
pengembalian Irian Barat
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956)
Kabinet Ali I digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dari masyumi, dengan
programnya sebagai berikut :
·       Mengembalikan kewibawaan pemerintah
·       Melaksanakan pemilihan umum
·       Menangani masalah desentralisasi, inflasi dan pemberantasan korupsi
·       Pengembalian Irian Barat
·       Melaksanakan kerja sama Asia - Afrika berdasarkan politik bebas aktif
Prestasi yang menonjol dari kebinet ini adalah:
·       Berhasil melaksanakan pemilu pertama bagi Indonesia
·       Pembubaran Uni Indonesia – Belanda
6.Kabinet Ali Sastroamijoyo 11 (20 Maret - 4 Maret 1957)
Program kabinet Ali Sastroamijoyo 11 adalah sebagai berikut
·       Pembatalan KMB
·       Pengembalian Irian Barat
·       Menjalankan politik luar negeri bebas aktif.
·       Meneruskan kerja sama negara-negara Asia Afrika dan melaksanakan keputusan-
keputusan KAA di Bandung tahun 1955.
·       Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1957 dibentuk Panitia Negara untuk
menyelidiki Organisasi Kementerian-kementerian atau Panitia Organisasi Kementerian
(PANOK) sebagai pengganti Kantor Urusan Pegawai (KUP) serta ikut dibentuk Lembaga
Administrasi Negara (LAN) yang bertugas menyempurnakan administratur negara atau
birokrasi keduanya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada perdana menteri.

7.Kabinet Juanda (9 April 1957 - 5 Juli 1959)


Kabinet A II digantikan oleh Kabinet Juanda. Program Kabinet Juanda dikenal dengan
nama “Panca Karya” antara lain sebagai berikut :
·       Membentuk Dewan Nasional
·       Normalisasi keadaan politik
·       Melancarkan pelaksanaan pembatalan KMB
·       Perjuangan mengembalian Irian Barat
·       Memperingati pembangunan
Kabinet ini berakhlr dengan dikeluarkan Dekrit Presiden 6 Juli 1959.

#4.    Latar belakang keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dalam waktu – waktu yang kritis ketika Konstituante tidak mampu menjalankan
tugasnya, keadaan ketatanegaraan dianggap membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa dan adanya pemberontakan yang ditumpangi intervensi tertutup kekuatan
asing. Presiden Soekarno dan TNI muncul sebagai kekuatan politik yang diharapkan
dapat mengatasi masalah nasional tersebut.
Demi keselamatan Negara dan berdasarkan hukum keadaan bahaya bagi Negara
pada hari Minggu, 5 Juli 1959 jam 17.00 bertempat di Istana Merdeka dalam upacara
resmi Presiden Soekarno mengumumkan sebuah Dekrit Presiden.
Dekrit ini berisi :
a.       Pembubaran Konstituante
b.      Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950
c.       Segera dibentuk MPRS dan DPAS

Dekrit 5 Juli tidak saja mendapat sambutan baik dari masyarkat yang hamper selama
10 tahun dalam kegoncangan Jaman Liberal telah mendambakan stabilitas politik,
melainkan juga dibenarkan dan diperkuat oleh Mahkamah Agung. Dekrit ini juga
didukung oleh jajaran TNI.
DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1966)
1.              Kehidupan politik
Pada masa demokrasi terpimpin kekuasaan presiden sangat besar sehingga cenderung
ke arah otoriter. Akibatnya sering terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945. Berikut
ini beberapa penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yg terjadi semasa
demokrasi terpimpin :
a.   Pembentukan MPRS melalui Penetapan Presiden No. 2/1959.
b.   Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden.
c.   Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu tahun 1955.
d.   GBHN yg bersumber pada pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yg berjudu; ''
Penemuan Kembali Revolusi Kita '' ditetapkan oleh DPA bukan MPRS.
e.   Pengangkat presiden seumur hidup.

2.   Politik Luar Negeri Masa Demokrasi Terpimpin.


     Masa awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, politik luar negeri Indonesia masih
bersifat bebas dan aktif, hal ini dapat dilihat dari:
Ø  Pengiriman pasukan perdamaian Garuda Kedua ke Kongo (Afrika) untuk bergabung
dengan Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni UNOC (United Nations
Operation for Congo).
Ø  Pidato Presiden Soekarno dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tanggal 30 September 1960 yang berjudul “To Bilt The World A New” yang
menguraikan tentang Pancasila, masalah Irian Barat (sekarang: Papua), kolonialisme,
peredaran perang dingin, dan perbaikan struktur organisasi Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
Ø  Indonesia ikut memprakasai berdirinya Gerakan Non Blok tahun 1961
Ø  Indonesia berhasil melaksanakan Asia Games Keempat di Jakarta tahun 1962.
Ø  Indonesia berhasil melaksanakan Ganefo meskipun pemenangnya mayoritas dari blok
Timur (Belanda ikut serta dalam Ganefo tersebut).

Sedangkan pada masa akhir pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, politik luar negeri
Indonesia sangat jelas berpihak ke Blok Komunis, terbukti:
Ø  Indonesia berhubungan akrab dengan Uni Soviet, Republik Rakyat Cina, Kuba, Korea
Utara, Mongolia, dan Negara komunis lainnya.
Ø  Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Malaysia terpilih sebagai
anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kemudian
Indonesia membentuk Blok Baru yang dikenal dengan: Poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-
Peking (Sekarang: Beijing)-Pyongyang.
 a.   Oldefo dan Nefo
       Oldefo ( The Old Estabilished Force ), yaitu dunia lama yg sudah mapan ekonominya,
khususnya negara-negara Barat yg kapitalis.
Nefo ( The New Emerging Forces ) ,yaitu negara-negara baru. Indonesia menjauhkan diri
dari negara-negara kelitalis (Blok Oldefo) dan menjalin kerjasama dengan negara-
negara komunis (Blok Nefo). Hal ini terlihat dengan terbentuknya Poros Jakarta -
Peking (Indonesia-China) dan Poros Jakarta - PnomPenh - Hanoi - Peking - Pyongyang
( Indonesia - Kamboja - Vietnam Utara - Cina - Korea Utara ).
Faktor-faktor yang menjadi penyebab mengapa poros Jakarta-Peking dilaksanakan
antara lain:
1. Konfrontasi dengan Malaysia membuat Indonesia membutuhkan bantuan militer
maupun logistik mengingat Malaysia didukung penuh oleh Inggris sehingga Indonesia
pun harus mencari negara besar yang bisa mendukung Indonesia dan juga bukan sekutu
dari Inggris salah satu negara yang dimaksud adalah China
2. Posisi negara Indonesia sebagai negara yang baru merdeka membuat Indonesia
membutuhkan banyak bantuan modal asing, namun bila menggantungkan diri pada
negara besar seperti USA dan Inggris akan membuat Indonesia semakin sulit karena
besrnya bunga dan persyaratan yang memberatkan sehingga Indonesia perlu mencari
negara donor yang mampu memberikan bantuan dengan persyaratan yang mudah yaitu
China dan Uni Soviet
3. Ketidak adilan PBB terhadap negara-negara yang baru merdeka seperti Indonesia
membuat Indonesia membutuhkan bantuan suara di PBB, sehinggga kerjasama dengan
China dan Uni Soviet yang merupakan Dewan Keamanan PBB akan membuat suara
Indonesia didengar oleh PBB.

Ø Konfrontasi dengan Malaysia.


        Pada tahun 1961 mencul rencana pembentukan negara Federasi Malaysia yg terdiri
dari Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah. Rencana
tersebut di tentang oleh Presiden Soekarno karena diangga sebagai proyek
neokolonialisme yg dapat membahayakan revolusi Indonesia yg belum selesai.
Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1964 Presiden Soekarno mengeluakan Dwi Komando
Rakyat ( Dwikora), isinya :
1).   Perhebat ketahanan revolusi Indonesia, dan
2).   Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaysia,Singapura,Serawak,Sabah, dan Brunei
untuk memerdekakan diri dan menggagalkan negara boneka Malaysia.

        Ditengah situasi konflik Indonesia - Malaysia, Malaysia di calonkan sebagai


anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Masalah ini mendapat reaksi keras dari
Presiden Soekarno. Namun akhirnya Malaysia tetap terpilih sebagai anggota tidak tetap
Dewan Keamanan PBB. Terpilihnya Malaysia tersebut mendorong Indonesia keluar dari
PBB. Secara resmi Indonesia keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965

3.Partai Politik
1.      Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan
kesukuan dan kedaerahan.
2.      partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan
kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi.
3.      partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-
kelompok yang diwakilinya.
4.      Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-
tahun awal Demokrasi Terpimpin.
5.      golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi.
6.      semua partai politik wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada
segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk
yang sesuai dengan doktrin presiden.
7.    Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi
Soekarno.
8.    Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-
Angkatan Darat, dan PKI.
Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat
dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno
untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi
presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di
unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat
perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat
angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal
ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan
memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan hubungan antara Soekarno
dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk
mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui
agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang
permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai
puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965.
Pembubaran tersebut pada umumnya dilakukan dengan cara diterapkannya
Penerapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1959.
Peraturan tersebut menyangkut persyaratan partai, sebagai berikut:
1)      Menerima dan membela Konstitusi 1945 dan Pancasila
2)      Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya
3)      Menerima bantuan luar negeri hanya seizin pemerintah
4)      Partai-partai harus mempunyai cabang-cabang yang terbesar paling sedikit di
seperempat jumlah daerah tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-
kurangnya seperempat dari jumlah daerah tingkat II seluruh wilayah Republik
Indonesia
5)      Presiden berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai
6)      Presiden berhak membubarkan partai, yang programnya diarahkan untuk merongrong
politik pemerintah atau yang secara resmi tidak mengutuk anggotanya partai, yang
membantu pemberontakan
Sampai dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai yang diakui dan dianggap
memenuhi prasyarat di atas. Melalui Keppres No. 128 tahun 1961, partai-partai yang
diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI.
Sedangkan Keppres No. 129 tahun 1961 menolak untuk diakuinya PSII Abikusno, Partai
Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo.
Selanjutnya melalui Keppres No. 440 tahun 1961 telah pula diakui Partai Kristen
Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).

KEHIDUPAN EKONOMI INDONESIA AWAL KEMERDEKAAN


SAMPAI TERPIMPIN
AWAL KEMERDEKAAN (1945-1949)

Perkembangan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan sampai tahun 1950.
Awal kemerdekaan RI kondisi dan keadaan ekonomi sangat kacau, inflasi yang besar,
sumber inflasi disebabkan oleh :

• Beredarnya mata uang rupiah buatan penduduk Jepang secara tak terkendali
• Diedarkannya uang cadangan sebesar 2,3 milyar
• Kas Negara kosong
• Pajak dan bea sangat berkurang, pengeluaran bertambah banyak
• Hasil produksi pertanian dan perkebunan tidak dapat diekspor

Untuk mengatasi keadaan ekonomi


• Pinjaman nasional
• 1946 dikeluarkan UU No.17 tahun 1946 tentang ORI
• melaksanakan konferensi ekonomi, hasilnya :
• Bahan makanan ditangani oleh badan pengawas makanan yang kemudian menjadi
BPBM (Badan Persediaan dan Pembagian Bahan Makanan)
• Untuk meningkatkan produksi perkebunan-perkebunan diawasi secara langsung oleh
pemerintah.
• Dibentuk badan perencanaan ekonomi.
• Menteri persediaan makanan rakyat, IJ. Kasimo membuat rencana produksi 5 tahun
dikenal dengan Kasimo Plan isinya sebagai berikut :
– Memperbanyak kebun bibit dan padi unggul
– Pencegahan penyembelihan hewan pertanian
– Penanaman kembali tanah-tanah kosong
– Pemindahan penduduk sebanyak 20 juta dari Jawa ke Sumatera dalam waktu 10-15
tahun
• Pelaksanaan program rekonstruksi dan rasionalisasi (RERA) angkatan perang guna
mengurangi beban Negara di bidang ekonomi dan meningkatkan efisiensi angkatan
perang dengan cara menyalurkan bekas prajurit ke bidang yang produktif.
• Mendorong para pengusaha swasta ikut dalam pembangunan ekonomi nasional
dengan mengaktifkan kembali persatuan tenaga ekonomi (PTE)
• Penggabungan perusahaan perindustrian dan perusahaan-perusahaan penting : pusat
perusahaan tembakau Indonesia. Gabungan Indonesia Daerah Aceh (GASIDA) diaktifkan
lagi.

PENATAAN KEHIDUPAN EKONOMI


Di awal-awal kemerdekaan, perekonomian kita dalam keadaan yang sangat buruk. Hal
itu dikarenakan oleh beberapa sebab, misalnya :
• Eksploitasi secara besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah pendudukan Jepang
baik fisik maupun sumber daya alam untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya.
• Perjuangan kemerdekaan (revolusi fisik), menyebabkan masalah perekonomian
kurang mendapat perhatian karena konsentrasi potensi bangsa untuk mempertahankan
kemerdekaan, kecuali itu juga menyedot dana yang mestinya digunakan untuk
perbaikan sarana maupun prasarana ekonomi, padahal kas negara kosong sementara
pajak dan lain-lain tidak bisa masuk secara optimal.
• Blokade Ekonomi yang dilakukan oleh Belanda, menyebabkan kita tidak bisa
melakukan aktifitas perdagangan dengan luar negeri yang berbuntut pada merosotnya
devisa.
• Masuknya Sekutu ke Indonesia yang diikuti dengan pemberlakuan mata uang NICA
bulan Maret 1946 menambah kacaunya keadaan karena banyaknya mata uang yang
beredar di wilayah Indonesia saat itu.
• Inflasi yang tinggi
• Disebabkan oleh peredaran mata uang rupiah yang tidak
terkendali/diedarkannya uang cadangan sebesar 2,3 milyar
• Kas negara kosong.

Memperbaiki keadaan perekonomian


– Plan Kasimo
– Gunting Syafrudin
– Sistem Ekonomi Gerakan Benteng,
– Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia
– Sistem Ali Baba,
– Nasionalisasi aset-aset Belanda,
– Program pinjaman nasional jangka panjang yang dicetuskan oleh Mr. AA. Maramis
sebagai Menteri Keuangan RI pada saat itu.
– Konfrensi ekonomi.

Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia


Langkah tersebut didasari oleh kenyataan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan
De Javasche Bank, pemerintah harus minta persetujuan dari pemerintah Belanda di
Nederland, sesuatu yang mustahil mudah diperoleh.
Oleh karena itu melalui UU No. 24/1951 pemerintah menasionalisasi bank swasta
Belanda tersebut dengan memberikan ganti rugi lewat pembelian saham dan sertifikat
De Javasche Bank senilai + Rp. 8,95 juta.

• Diadakannya Konferensi Ekonomi dengan hasil :


• Dibentuk Badan Pengawas Ekonomi
• Dibentuk Badan Perencana Ekonomi
• Program Produksi Lima Tahun oleh IJ Kasimo

Sistem Ekonomi Terpimpin


• Untuk menanggulangi keadaan ekonomi yang semakin suram, pada tanggal 28 Maret
1963 dikeluarkan landasan baru bagi perbaikan ekonomi secara menyeluruh, yaitu
“Deklarasi Ekonomi“ atau “Dekon”, beserta 14 Peraturan pokoknya.
• Tujuan Dekon adalah menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokrasi dan
bebas dari sisa-sisa imperialisme, untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin.
• Pada tanggal 26 Mei 1963 dikeluarkan 14 pokok peraturan, tetapi peraturan-
peraturan itu sendiri dalam pelaksanaannya bertentangan dengan prinsip-prinsip
Dekon. Di dalam prakteknya kesulitan-kesulitan ekonomi bertambah menyolok. Pada
tahun 1961-1962 harga-harga pada umumnya naik menjadi 40 %. Struktur ekonomi
Indonesia mengarah kepada etatisme (perekonomian diatur atau dipegang oleh
negara). Ekonomi Terpimpin ala Dekon lebih bersifat ekonomi peraturan yang
menjurus menjadi ekonomi–anarchi.
• Kondisi politis, yaitu konfrontasi dengan negara-negara Barat dan Malaysia,
melibatkan Indonesia ke dalam situasi perang yang mempercepat proses kemerosotan
ekonomi. Pada tahun 1966 inflasi mencapai 600 %.
• Adapun sebab-sebab pokok kegagalan ekonomi terpimpin yang berlandaskan Dekon
adalah :
– Penanganan masalah ekonomi tidak rasional, lebih bersifat politis dan tidak ada
kontrol.
– Tidak adanya ukuran yang obyektif di dalam menilai sesuatu usaha atau hasil orang.
• Dilihat dalam keseluruhannya, gambaran ekonomi Indonesia pada Demokrasi
Terpimpin merupakan gambaran yang paling suram di dalam sejarah RI.

Perkembangan Politik Bangsa Indonesia Orde Baru -


Reformasi

Pembahasan

     A.     Masa pemerintahan orde baru

Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli
1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan
Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia.
Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam
aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya
diasingkan ke pulau Buru.[8]  Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan
stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional
terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua
macam konsensus nasional, yaitu :

1.    Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk


melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus
pertama ini disebut juga dengan konsensus utama.

2.     Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan


konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus
utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara
pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.

      Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun
dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan
Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967),
lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh
merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.

      Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan
utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya
pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme,
Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia. Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru
dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik
pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid
SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama
Orba telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam
penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres
VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup
mendalam.

      Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam
kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang
(Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal
A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU);
H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum
PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI)

     Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan
yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya
dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program
perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan. Penegasan Politik
GerakanDalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb:

(1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme,
marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama,
segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang
murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen;

(2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain;

(3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan
penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
     Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam
mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga
mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres.
Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut.

     Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk
ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis.
Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif.
Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha
menunjukkan kepalsuannya.

    Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi
penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula.
Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada
Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena,
operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.

      Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang
bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak
kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang
bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau
mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan
yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata
Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan
masuk liang kubur dan muncul authoritarianism.

       Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan
yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak
bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan
kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael
Edwards. Masalah Toleransi Agama, Selain masalah politik, kongres juga merumuskan
pola kerukunan antar umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945
yang menjamin toleransi itu sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan
kondisi daerah serta perasaan penganut agama lain.

     Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan agama
sudah mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana. Akibatnya
timbul isu yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras
pada waktu itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas
Islam maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah-dakwah semakin
di batasi bahkan ada pula yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis
kebijaksanaan di kalangan ABRI yang sangat merugikan partai Islam dan Umat Islam.
Dalam Kongres VII juga menyampaikan memorandum kepada pemerintah mengenai
masalah politik dan ekonomi. Dan isi dari memorandum tak lain adalah manifestasi dari
komitmen terhadap ideology Pancasila.

    B.    Masa Reformasi

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai


tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.Masih adanya
tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa
Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih
belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut
sebagai “Era Pasca Orde Baru”.

Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan
demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa
ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni
harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat.
Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu
menjadi agenda pertama. Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan
pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama,
kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan
suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang
dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN,
mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955,
diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.

Pemerintahan B.J Habibie

       Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh
gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-
kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi,
yang menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya
kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses
pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media
massa dan kebebasan berekspresi.

      Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah


tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas danMuchtar Pakpahan dibebaskan,
tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang.
Tetapi, Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru
dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan
tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas
tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara. Desakan meminta
pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan
karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang olehMahkamah
Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali
duduk dalam jabatan struktural.

      Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol,
pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi.
Walaupun begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan
Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi
Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian penting dalam masa
pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk
mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut
dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata
masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap
sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia. Presiden Habibie segera
membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan
dukungan dariDana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk
program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan
mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.

     Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses
pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan
Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada
indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang
berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima
kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan
oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemeintahan Abdurahman Wahid.

      Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999.PDI
Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputrikeluar menjadi pemenang
pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai
Soeharto – sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya)
memperoleh 22%;Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai
Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada
Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati
sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet
pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan
melakukan reshufflekabinetnya pada Agustus 2000.

      Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan


perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian
ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis
dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang
ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan
yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-
masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan
menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang
meluap-luap.

Pemerintahan Megawati soekarno putri

      Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan
laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari2001, ribuan demonstran menyerbu
MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya
dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen
dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang
memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati
mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono

      Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih
anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan,
yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya
perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati
PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang
Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz),
berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan
meraih 60,95 persen.Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru
Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai
cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada
Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada
awal 2005 yang mengguncang Sumatra.

Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara


pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri
konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi SBY yang di
tanam sejak tahun 2004 telah mengantar beliau naik kembali duduk di kursi presiden
dengan pasanganya pak Budiono pada pemilu tahun 2009, kinerja mereka pun belum
dapat dirasakan dengan maksimal.

Penutup

Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi.


Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) menjadi tiga cabang kekuasaan,
yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai ”Trias
Politica” oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat
untuk masa kerja yang lamanya ditentukan konstitusi. Konsentrasi kekuasaan ada pada
presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam sistem presidensial
para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada
presiden.  Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih
sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin
pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial,dan
sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR
berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi.
Presiden menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai
mandataris MPR. Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegang supremasi
kedaulatan, MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang”
kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian MPR yang menjalankan
kekuasaan legislatif, sedangkan presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan
kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan presiden menyusun undang-undang. DPR
dan presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun
presidensial. Sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara
berasaskan  kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi. Sehingga para
anggota legislatif bisa lebih independent dalam membuat UU karena tidak khawatir
dengan jatuh bangunnya pemerintahan.Sistem presidensial mempunyai kelebihan
dalam stabilitas pemerintahan, demokrasi yang lebih besar dan pemerintahan yang
lebih terbatas. Adapun kekurangannya, kemandekan (deadlock) eksekutif-legislatif,
kekakuan temporal, dan pemerintahan yang lebih eksklusif. Secara konstitusional, DPR
mempunyai peranan untuk menyusun APBN, mengontrol jalannya pemerintahan,
membuat undang-undang dan peranan lain seperti penetapan pejabat dan duta.
Presiden tak lagi bertanggung jawab pada DPR karena ia dipilih langsung oleh rakyat.
DPR tak akan mudah melakukan impeachment lagi karena ada MK.

#. PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PADA MASA


ORDE BARU
Kemudian fase baru dimulai dalam perkembangan Indonesia, yakni masa Orde Baru di
bawah pimpinan Soeharto. Di era Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto, slogan “Politik
sebagai Panglima” berubah menjadi “Ekonomi sebagai Panglima”. Karena pada masa ini,
pembangunan ekonomi merupakan keutamaan, buktinya, kebijakan-kebijakan Soeharto
berorientasi kepada pembangunan ekonomi. Kepemimpinan era Soeharto juga berbanding
terbalik dengan kepemimpinan era Soekarno. Jika kebijakan Soekarno cenderung menutup
diri dari negara-negara barat, Soeharto malah berusaha menarik modal dari negara-negara
barat itu. Perekonomian pada masa Soeharto juga ditandai dengan adanya perbaikan di
berbagai sector dan pengiriman delegasi untuk mendapatkan pinjaman-pinjaman dari negara-
negara barat dan juga IMF. Jenis bantuan asing ini sangat berarti dalam menstabilkan harga-
harga melalui “injeksi” bahan impor ke pasar. Orde Baru berpandangan bahwa Indonesia
memerlukan dukungan baik dari pemerintah negara kapitalis asing maupun dari masyarakat
bisnis internasional pada umumnya, yakni para banker dan perusahaan-perusahaan
multinasional (Mochtar 1989,67). Orde Baru cenderung berorientasi keluar dalam
membangun ekonomi. Langkah Soeharto dibagi menjadi tiga tahap. Pertama, tahap
penyelamatan yang bertujuan untuk mencegah agar kemerosotan ekonomi tidak menjadi
lebih buruk lagi. Kedua, stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi, yang mengendalikan inflasi dan
memperbaiki infrastruktur ekonmi. Ketiga, pembangunan ekonomi. Hubungan Indonesia
dengan negara lain dipererat melalui berbagai kerjasama, Indonesia juga aktif dalam
organisasi internasional, terutama PBB, dan penyelesaian konflik dengan Malaysia. Awalnya
bantuan asing sulit diperoleh karena mereka telah dikecewakan oleh Soekarno, namun
dnegan berbagai usaha dan pendekatan yang dilakukan kucuran dana asing tersebut akhirnya
diterima Indonesia. Ekonomi Indonesia mulai bangkit bahkan akhirnya menjadi begitu kuat.
Sayangnya kekuatan ekonomi itu didapatkan dari bantuan asing yang suka atau tidak harus
dikembalikan. Suntikan bantuan dari Amerika Serikat maupun Jepang cukup berperan besar
dalam perbaikan ekonomi di Indonesia. Begitupun dengan IMF yang dinilai sangat
bermanfaat dalam memperjuangkan Indonesia di hadapan para kreditor asing (Mas’oed,
1989:84). Namun, bantuan tersebut tidak serta merta membuat Indonesia tumbuh dengan
prestasi ekonomi, Indonesia ternyata semakin terjerat keterpurukan perekonomian dalam
negeri akibat syarat-syarat dan bunga yang telah direncanakan negara penyuntik bantuan.
Booth (1999) menjelaskan kegagalan industri dalam negeri dipasar global serta terjun
bebasnya nilai rupiah juga menjadi warisan keterpurukan ekonomi pada Orde Baru yang
berorientasi pada pembangunan ekonomi keluar. Maka, kini hal tersebut menjadi tantangan
pemerintahan reformasi untuk menuntaskan permasalahan ekonomi dalam negeri.
Reformasi ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dan diangkatnya BJ Habibie yang
saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden menjadi Presiden Indonesia. Hal ini disebabkan
oleh tidak mampunya Soeharto mengalami permasalahan ekonomi serta semakin
mewabahnya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Trauma zaman Orde Baru yang mengekang
hak-hak demokrasi warga negara serta kediktatoran Soeharto menyebabkan terjadinya
perubahan menyeluruh dalam tiap aspek kehidupan. Naiknya nilai tukar dollar secara tak
tertahankan pada zaman Orde Baru, menyebabkan naiknya berbagai kebutuhan pokok
Indonesia. Namun, secara perlahan nilai tukar dollar terhadap rupiah ini semakin menurun
hingga saat ini.
Selanjutnya yang menjadi penting yakni orientasi ekonomi yang bagaimana, ke luar atau ke
dalam, yang kemudian dapat dianggap dan diharapkan efektif dan sesuai dengan kondisi
Indonesi saat ini. Orientasi ekonomi ke dalam pada zaman kepemimpinan Soekarno yakni
Orde Lama masih memiliki kekurangan. Begitu pula dengan era Orde Baru dibawah
kekuasaan Soeharto. Kekurangan-kekurangan tersebut yang akhirnya memiliki dampak yang
cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi di Indonesia. Dalam masa kini
perkembangan ekonomi tentu saja lebih baik dari pada dua era tersebut. Sebenarnya
Indonesia tidak perlu terlalu berpacu pada orientasi ke luar atau ke dalam. Orientasi ekonomi
di Indonesia harus lebih fleksibel. Karena dengan hal tersebut maka ekonomi di Indonesia
tidak hanya berpusat di dalam negeri tanpa mau menerima bantuan asing, juga tidak hanya
berkonsentrasi pada bantuan asing tanpa memperhatikan kemampuan yang dimiliki oleh
Indonesia sendiri. Alangkah lebih baiknya jika orientasi ke dalam maupun ke luar dapat
seimbang, sehingga Indonesia yang tentu saja masih memiliki kekurangan dapat menerima
berbagai bantuan luar negeri secara wajar, yang kemudian tidak lupa untuk memaksimalkan
sumber-sumber yang ada di Indonesia sendiri, baik itu SDA maupun SDM di Indonesia.
Pemerintah juga harus dengan bijaksana menentukan berbagai kebijakan mengenai bantuan
maupun investor asing yang akan membantu hingga menanamkan sahamnya di Indonesia.
Sehingga Indonesia tidak menjadi pihak yang dirugikan, serta berbagai bantuan yang datang
dari luar negeri maupun investor asing dapat dibatasi kewenangannya di Indonesia dan
mencegah investor asing untuk mendapatkan keuntungan dan eksploitasi yang berlebihan
terhadap Indonesia.

A. SISTEM PEREKONOMIAN ORDE BARU


Perekonomian Indonesia masa orde baru (1966-1998)
Awal-awal pemerintahan orde baru dihadapkan pada kehancuran ekonomi secara total, hal ini
tergambar dari Inflasi pada tahun 1966 mencapai 650%,dan defisit APBN lebih besar
daripada seluruh jumlah penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar negeri mengalami
defisit yang besar, nilai tukar rupiah tidak stabil” (Gilarso, 1986:221). Maka awal
pemrintahan orde baru ini juga bisa dikatakan sebagai titik balik perekonomian Indonesia.

Pamerintah saat itu benar-benar berusaha kerasa untuk mengubah perekonomian Indonesia
yang terpuruk. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Segala
macam upaya dilakukan mulai dari menurunkan inflasi dan menstabilkan harga.
Kerhasilannya menstabilakan inflasi berdampa positif terhadap stabilitas politik saat itu.
Maka kemudian berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan
adanya IGGI. 
Sejak masa itu yaitu pada tahun 1969, Indonesia memulai menata kehidupan ekonomi secara
lebih terarah dan fokus terhadap prioritas pembangunan. Sehingga dibentuklah Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang kita kenal pada saat itu sebgai REPELITA. Berikut
penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:

1. Repelita I (1 April 1969 hingga 31 Maret 1974)


Titik Berat Repelita I : Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar
keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas
penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
Sasaran Repelita I : Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Tujuan Repelita I : Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-
dasar bagi pembangunan dalam
tahap berikutnya.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari) terjadi pada tanggal 15-16 Januari
1947 bertepatan dengan kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini
merupakan kelanjutan demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak
melakukan dominasi ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak
beredar di Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.

2. Repelita II (1 April 1974 hingga 31 Maret 1979)


Titik Berat Repelita II: Pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah
bahan mentah menjadi bahan baku meletakkan landasan yang kuat bagi tahap selanjutnya.
Sasaran Repelita II: Tersedianya pangan, sandang,perumahan, sarana dan prasarana,
mensejahterakan rakyat dan memperluas kesempatan kerja.
Tujuan Repelita II: Meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan
Madura, di antaranya melalui transmigrasi.
Pelaksanaan Pelita II cukup berhasil pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun.
Pada awal pemerintahan Orde Baru laju inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I laju
inflasi turun menjadi 47%. Selanjutnya pada tahun keempat Pelita II, inflasi turun menjadi
9,5%.

3. Repelita III (1 April 1979 hingga 31 Maret 1984)


Titik Berat Repelita III: Pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan
meningkatkan industri yang mengolah bahan baku menjadi barang selanjutnya. Menekankan
bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor.
Pertumbuhan perekonomian periode ini dihambat oleh resesi dunia yang belum juga berakhir.
Sementara itu nampak ada kecendrungan harga minyak yang semakin menurun khususnya
pada tahun-tahun terakhir Repelita III. Menghadapi ekonomi dunia yang tidak menentu,
usaha pemerintah diarahkan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah, baik dari
penggalakan ekspor mapun pajak-pajak dalam negeri.

4. Repelita IV (1 April 1984 hingga 31 Maret 1989)


Titik Berat Repelita IV: Pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju
swasembada pangan dengan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin- mesin
industri sendiri, baik industri ringan yang akan terus dikembangkan dalm repelita-repelita
selanjutnya meletakkan landasan yanag kuat bagi tahap selanjutnya.
Tujuan Repelita IV: Menciptakan lapangan kerja baru dan industri.
Terjadi resesi pada awal tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan
pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
5. Repelita V (1 April 1989 hingga 31 Maret 1994)
Menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.

Pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan dengan


menekankan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju tercapainya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta
stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Ketiga unsur Trilogi Pembangunan tersebut saling
mengait dan perlu dikembangkan secara selaras, terpadu, dan saling memperkuat. Tujuan dari
Repelita V sesuai dengan GBHN tahun 1988 adalah pertama, meningkatkan taraf hidup,
kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rajyat yang makin merata dan adil; kedua, meletakkan
landasan yang kuat untuk tahap pemangunan berikutnya.

B. KONDISI PEREKONOMIAN ORDE BARU


Di awal Orde Baru, Suharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk,
dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama
memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,” kata Emil
Salim, mantan menteri pada pemerintahan Suharto.
Orang yang dulu dikenal sebagai salah seorang Emil Salim penasehat ekonomi presiden
menambahkan langkah pertama yang diambil Suharto, yang bisa dikatakan berhasil, adalah
mengendalikan inflasi dari 650% menjadi di bawah 15% dalam waktu hanya dua tahun.
Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Suharto membuat kebijakan yang berbeda jauh
dengan kebijakan Sukarno, pendahulunya. Ini dia lakukan dengan menertibkan anggaran,
menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor
ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.

Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan


Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat
kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.

Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan


kemacetan, seperti :
a. Rendahnya penerimaan Negara
b. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara
c. Terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank
d. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi  impor yang sering
kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.

Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian.


Berorientasi pada kepentingan produsen kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:

Mengadakan operasi pajak


Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan menghitung
pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi
yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas. Pemerintah lalu
melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara
periodik lima tahunan yang disebut Pelita(Pembangunan Lima Tahun) yang dengan
melibatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari
negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.
Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal
dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto membuat
Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.

#. PERKEMBANGAN EKONOMI PADA MASA


REFORMASI
A. PEREKONOMIAN DI INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN
REFORMASI
Pada masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian
disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa
ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan
ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami
perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
1.      Masa Kepemimpinan B.J. Habibie
Pada awal pemerintahan reformasi, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor,
termasuk investor asing, menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan
pemerintah untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua
permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN); supremasi hukum; hak asasi manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan
Semanggi I dan II; peranan ABRI di dalam politik; masalah disintegrasi; dan lainnya.
Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter
Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga
melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi.
Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar
antara Rp 10.000 – Rp 15.000. Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah
pertanggungjawabannya ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per
dolar AS nilai yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain itu,
ia juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus mengurusi
perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, BJ
Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
•   Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan BPPN (Badan
Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
•   Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
•   Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
•   Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
•   Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
•   Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
yang Tidak Sehat
•   Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pemerintahan
presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver
yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk
mengendalikan stabilitas politik.

2.      Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)


Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi perekonomian
Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif
walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia
jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan
PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa
kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat tidak
berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan
kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung bersikap
diktator dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang
yang merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun
namanya pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap
presiden tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat
Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan
diturunkan dari jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan
pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang
dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan
sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di
Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan
semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga
pertikaian elite politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan
IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai
Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk
pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya.
Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada
pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada
bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-
negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi
perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus
membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan
jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan
menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan
Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan
memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-
pelaku bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau
menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa
pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan,
lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service mengkonfirmasikan bertambah
buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami
perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya
(seperti Standard & Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke
negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia
akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali
negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will)
untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all.
Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap
persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia,
desentralisasi fiskal,  restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya
berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea
masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan
pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of
crisis terhadap kondisi riil perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi.
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret
2001 menunjukkan growth trend yang negatif.  Dalam perkataan lain, selama periode tersebut
IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan
penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini
mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek
perekonomian Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek indikator kedua yang
menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat terhadap pemerintah
reformasi adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Seperti yang dapat kita
lihat pada grafik di bawah ini, pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar
AS dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan
rupiah, menembus level Rp10.000,- per dolar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut,
Bank Indonesia secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta
dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret 2001, ketika
Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai
tukar rupiah semakin merosot.
Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh Rp12.000,-
per dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai
Presiden Republik Indonesia.
Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut sangat berdampak negatif terhadap roda
perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa
Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh
lebih besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama,
perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang
modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua,
utang luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sektor swasta maupun
pemerintah, sangat besar.
Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit
dan cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar
AS menjadi 28,875 dolar AS.
Rangkuman keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden
Abdurahman Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:
•   Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai
mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan
tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah mulai
stabil.
•   Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang
baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai bank
Indonesia, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri)
dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
•   Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi
enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
•   Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan
lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham
di dalam negeri.
Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang
cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai
persoalan ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN
(Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi,
dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh
presiden Megawati.

3.      Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri


Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak
untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan
yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
•   Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club
ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
•   Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan
politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena
BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi
belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi
membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan
mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang
lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan
perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
4.      Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid I  (Era SBY- JK) = (2004-2009)
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar
belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi
sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke
tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan
yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan
pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta
mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah
diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang
mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi
kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-
undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan
jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Selain itu, pada periode ini pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang
dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya PNPM Mandiri dan
Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan
meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti
agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk
berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa
kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk
miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan
Maret 2006.
Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke
sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga
kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi
pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan
daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya
mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang
kondusif.
Namun, selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada
masa keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada tahun
2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi SBY yang
berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan dengan pro
environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan dari 36,1 juta pada
tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya, hampir sebanyak 6 juta orang telah
lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi
SBY yang pro growth yang mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas dari pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat
yang memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang tentu saja
banyak membuka lapangan kerja baru.
 Memasuki tahun ke dua masa jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya
berupa master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI).
Melalui langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan
Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara UsS
14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS 4,0-4,5
triliun.

B. KRISIS EKONOMI PADA MASA PEMERINTAHAN REFORMASI


Pada pertengahan tahun 1997, krisis moneter melanda negara-negara di kawasan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Krisis moneter di Indonesia dimulai dengan menurunnya nilai
tukar rupiah. Hal itu memicu penurunan produktivitas ekonomi serta munculnya disfungsi
institusi ekonomi dalam mengatasi krisis tersebut. Kelompok masyarakat yang kritis melihat
bahwa krisis ini merupakan kesalahan Orde Baru yang di nilai tidak baik dalam mengurus
pemerintahan. Hal ini kemudian mengarah pada munculnya krisis legitimasi kepercayaan atas
pemerintahan Orde Baru. Masyarakat kampus yang terdiri atas para mahasiswa, dosen, dan
rektor mulai menyuarakan pendapatnya melalui berbagai media, baik itu seminar, diskusi,
mimbar bebas hingga aksi demonstrasi. Permasalahan krisis kepercayaan terhadap
pemerintahan Orde Baru makin meningkat dengan di angkatnya kembali Soeharto sebagai
presiden Republik Indonesia. Berbagai peristiwa bentrokan antara kelompok mahasiswa dan
tentara serta kelompok pendukung Soeharto pun mulai bermunculan.
Dimulai dari krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun 1997, efek domino pun
langsung mendera masyarakat Indonesia di berbagai lini. Penurunan tingkat daya beli,
munculnya krisis sosial, dan meningkatnya pengangguran karena PHK menjadi permasalahan
sosial yang krusial. Krisis politik, krisis sosial, dan krisis legitimasi atas pemerintahan Orde
Baru kemudian bermunculan sebagai reaksi utama.
Berbagai krisis yang melanda Indonesia ini juga dihiasi oleh berbagai peristiwa berdarah dan
politis di dalamnya. Krisis demi krisis yang harus di hadapi oleh Indonesia pada kurun waktu
1997-1998 membuat Indonesia tersadar. Proses nation-state building yang harus di lakukan
oleh Indonesia selepas masa pemerintahan Presiden Soeharto pada 1996, ternyata baru
memasuki tahapan permulaannya. Berbagai manuver politik dan aksi demonstrasi mahasiswa
pun mewarnai berbagai peristiwa pada kurun waktu awal bergulirnya gerakan reformasi yang
di perakarsai oleh mahasiswa dan beberapa tokoh masyarakat di tahun 1998.

a.    Krisis Ekonomi
Krisis Ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997 merupakan sebuah efek domino dari
krisis ekonomi Asia yang melanda berbagai negara, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Disebabkan oleh adanya fundamen ekonomi yang lemah, Indonesia mengalami kesulitan
dalam menata ulang kembali perekonomiannya untuk keluar dari krisis.
Perkembangan ekonomi Indonesia telah mengalami stagnansi sejak tahun 1990-an. Saat itu,
sistem neoliberalisme menjadi norma pengaturan ekonomi dan politik dunia. Barang-barang
produksi Indonesia menjadi tidak berdaya saing apabila dibandingkan dengan barang luar
negri yang secara bebas memasuki pasaran Indonesia. Berdasarkan batasan-batasan yang
telah dicanangkan oleh bank dunia, pembangunan ekonomi tergolong berhasil jika memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh bank dunia. Syarat-syarat tersebut diantaranya adalah
adanya peningkatan investasi dibidang pendidikan, yang ditandai dengan peningkatan sumber
daya manusia, rendahnya tingkat korupsi yang ada di tataran pemerintahan, dan adanya
stabilitas dan kredibilitas politik.
Syarat-syarat yang dikemukakan oleh bank dunia itu semacam acuan bagian negara-negara
berkembang dalam melakukan pembangunan ekonomi, khususnya negara penerima bantuan
luar negri seperti Indonesia. Akan tetapi, pada krisis 1997, kondisi ekonomi Indonesia tidak
merepresentasikan satupun kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh bank dunia tersebut.
Hal yang terjadi di Indonesia justru adanya krisis moneter yang ditandai dengan rendahnya
mutu sumber daya manusia, tingginya tingkat produksi di instansi-instansi pemerintah, dan
kondisi instabilitas politik. Perekonomian Indonesia mengalami penurunan hingga mencapai
0% tahun 1998.
Kemerosotan ekonomi Indonesia ternyata tidak ditanggapi oleh presiden Soeharto dengan
membuat perbaikan dalam hal kebijakan ekonomi, tetapi justru dengan meminta bantuan
dana Monitari Fund (IMF). Pada 15 januari 1988, presiden Soeharto menandatangani 50 butir
letter of intent (Lol) dengan dilaksanakannya oleh direktur IMF Asia, Michael Camdessus,
sebagai sebuah syarat untuk mendapatkan kucuran dana bantuan luar negri tersebut.
Dengan merujuk pada batasan tingkat keberasilan ekonomi suatu bangsa yang dikeluarkan
oleh bank dunia, maka dapat disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia tahun 1997/1998
telah mengalami kehancuran. Dalam hal investasi dan peningkatan modal, Indonesia
mengalami kemunduran yang tajam. Pada investor luar negri beramai-ramai memindahkan
modalnya kenegara lain karena tidak adanya stabilitas dan kredibilitas politik dalam negri.
Angka ekspor-impor Indonesia menurun drastis karena sektor usaha tidak dipercaya oleh
perbankan Indonesia. Tingginya tingkat korupsi ditataran sektor ekonomi dan pemerintahan
dan munculnya kasus kredit macet yang melanda bank-bank utama di Indonesia
mengakibatkan pembayaran letter of credit (L/C) dari sektor-sektor usaha Indonesia tidak
diterima diluar negri. Penanggahan krisis ekonomi Indonesia di tahun 1997/1998 berujung
pada munculnya krisis multidimensi, baik itu politik dan sosial, maupun krisis kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintahan.
b. Dampak Reformasi
1.   Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan (Amandemen) terhadap UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan dari reformasi.
Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakikatnya merupakan tuntutan bagi
adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan perubahan
UUD 1945 dilatarbelakangi antara lain karena sistem perwakilan masa Orde Baru yang
bersifat semu dan pada kenyataannya kekuasaan yang besar berada pada presiden, adanya
pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir, serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang
semangat peyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Perubahan UUD 1945 bertujuan untuk menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara,
kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara
hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 disertai kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD
1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal
sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem
pemerintahan presidensil. Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali
perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR
yaitu sebagai berikut :
a. Perubahan Pertama UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-
21 Oktober 1999.
b. Perubahan Kedua UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-
18 Agustus 2000.
c. Perubahan Ketiga UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 1999, tanggal 1-9
November 2001.
d. Perubahan Keempat UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 1999, tanggal
1-11 Agustus 2002.
Perubahan terhadap UUD 1945 telah menghasilkan beberapa ketentuan baru dalam
penyelenggaraan negara. Hasil amandemen tersebut antara lain memuat aturan tentang
mekanisme pemilihan presiden, dengan adanya pemilihan presiden secara langsung dan
pembatasan masa jabatan presiden.
2. Kebebasan Pers
Pada masa Orde Baru kebebasan pers sangat dibatasi oleh pemerintah. Setiap isi berita yang
disajikan tidak boleh bertentangan dengan pemerintah. Pada saat itu kebebasan pers
cenderung untuk memperkuat status quo, daripada membangun keseimbangan antarfungsi
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol politik.
Adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal
33h merupakan salah satu contoh pembatasan kebebasan pers. Dengan definisi “pers yang
bebas dan bertanggung jawab”. SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan
pembredelan. Media massa yang memuat berita yang mengkritisi pemerintah tidak luput dari
pembredelan seperti yang dialami Tempo, Detik, Editor pada tahun 1994. Pembredelan
merupakan sebuah tindakan otoriter pemerintah Orde Baru yang menekan kebebasan pers.
Hal itu mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers yang bebas dan bertanggung
jawab secara hukum.
Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, kebebasan pers mengalami masa
pencerahan. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi
masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang
publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah
memainkan peran sentral dengan memberikan dan menyebarluaskan informasi untuk
penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini public dalam rangka mencapai
konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan dirasakan dalam kehidupan
pers di era reformasi. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru, baik
media cetak maupun elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers
dalam mengkritik kebijakan pemerintah juga mencari ciri baru pers Indonesia.
3. Restukturisasi ABRI
Sejak reformasi bergulir tahun 1998, ABRI menjadi salah satu institusi yang dipandang perlu
direformasi. Masyarakat menilai perlu adanya perubahan bagi ABRI dalam tataran sikap dan
tindakan. Selama masa Orde Baru ABRI memiliki kecenderungan menempatkan diri sebagai
“mesin politik” untuk menegakkan kekuasaan Orde Baru.
Tuntutan perubahan pada ABRI berujung pada tuntutan penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Dwi
Fungsi ABRI telah membawa konsekuensi panjang dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara selama masa Orde Baru. Dengan dalih menjalankan fungsi sebagai kekuatan
pertahanan dan keamanan serta kelangsungan pemerintahan.
Tuntutan reformasi dalam tubuh ABRI diakomodasi dengan mengadakan perubahan
structural ABRI, yaitu antara lain sebagai berikut :
a. Pemisahan POLRI dan TNI yang semula bersama-sama tergabung dalam ABRI.
b. Pemisahan TNI dan POLRI tersebut juga berakibat pada perubahan Dephankam menjadi
Dephan.
c. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI, likuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI,
penghapusan keberadaan Fraksi TNI/POLRI, serta perubahan doktrin dan organisasi TNI.
Sejak penghapusan Dwi Fungsi ABRI dan diikuti wacana kembalinya lembaga TNI ke barak
serta dipisahkannya TNI dengan POLRI, member harapan baru bagi proses demokratisasi
serta mengobati kekecewaan panjang rakyat terhadap posisi ABRI yang kini menjadi TNI.
4. Otonomi Daerah
Era reformasi ditandai oleh bangkitnya demokrasi peran pemerintah pusat yang besar serta
menjadi titik sentral yang menentukan gerak kehidupan daerah, harus segera diakhiri. Oleh
karena itu, lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dah Daerah.
Undang-undang ini memberikan masyarakat setempat, sesuai dengan prakarsa, aspirasi
masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.
Seiring dengan perjalanan waktu, kebijakan tersebut banyak menuai persoalan. Persoalan-
persoalan yang muncul antara lain masalah koordinasi antar daerah otonom tingkat
provinsidan kabupaten, munculnya “raja-raja kecil” di daerah yang cenderung mengabaikan
nilai etik dalam berpolitik, sulitnya pengawasan daerah otonom dan lain sebagainya.
Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru mengenai Otonomi Daerah, yakni
dengan pemberlakuan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Semangat yang
terkandung dalam Undang-Undang tersebut tidak ditujukan untuk melakukan “resentralisasi”
atas apa yang telah didesentralisasikan, namun lebih ditujukan untuk mengurangi dampak
negatif dan menambah manfaat positif dari otonomi daerah sebagai salah satu agenda utama
reformasi.
5. Munculnya Eurofia Kebebasan
Era reformasi adalah era keterbukaan untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat terhadap
perkembangan politik maupun kritik terhadap kinerja aparatur negara. Orde reformasi telah
memberi peluang yang besar bagi masyarakat untuk ikut serta dalam memberikan tanggapan
kritik terhadap pemerintah. Hal ini disebabkan, karena tidak ada lagi sistem yang mengekang
kebebasan berpendapat dan berbicara, baik secara represif maupun preventif seperti halnya
dalam masa Pemerintahan Orde Baru. Dengan adanya era keterbukaan dan kebebasan
tersebut telah berdampak pada munculnya aksi-aksi unjuk rasa terhadap kinerja pemerintah.
Pada awal reformasi, setiap hari hampir terjadi unjuk rasa. Unjuk rasa itu ditujukan bukan
hanya kepada pemerintah namun juga instansi lainnya yang dianggap tidak dapat dipercaya
dan merugikan kepentingan masyarakat. Namun, disinyalir ada sebagian dari aksi-aksi tidak
murni dilakukan oleh pengunjuk rasa, melainkan hanya merupakan aksi yang mengemban
kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Di antara para pengunjuk rasa tersebut adalah
orang-orang bayaran yang pada umumnya pengangguran yang jumlahnya semakin meningkat
akibat badai krisis moneter yang melanda Indonesia.
Reformasi sebagai era keterbukaan banyak dimaknai oleh masyarakat sebagai kebebasan
yang berlebihan. Masyarakat terjebak oleh euforia kebebasan yang telah menimbulkan
bahaya disintegrasi nasional dan sosial. Konflik-konflik di Ambon, Poso, Sanbas, dan Sampit

Anda mungkin juga menyukai