Tahun Pelajaran
2018/2019
KEHIDUPAN POLITIK INDONESIA AWAL KEMERDEKAAN
SAMPAI TERPIMPIN
AWAL KEMERDEKAAN (1945-1949)
#1. Keadaan kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia pada awal kemerdekaan
masih belum stabil.
Ketidak setabilan ini di sebebkan oleh factor-faktor berikut ;
A. Faktor intern (dari dalam), antara lain :
1. Adanya persaingan antar partai politik yang berbeda ideologi untuk menjadi partai
yang paling berpengaruh di indonesia.
2. Adanya gangguan-gangguan keamanan dalam negeri.
3. Bangsa Indonesia masih mencari sistem pemerintahan yang cocok sehingga terjadi
perubahansistem pemerintahan.
B. Factor ekstern (dari luar), antara lain :
1. Kedatangan Sekutu (Inggris) yang di boncengi NICA (Belanda) yang ingin kembali
menjajah Indonesia,menimbulkan pertempuran di berbagai daerah.
2. Jepang masih mempertahankan status quo di wilayah Indonesia sampai Sekutu datang
sehingga sering terjadi peperangan antara rakyat Indonesia dan tentara Jepang.
Dalam rapat KNIP tanggal 16 Oktober 1945, wakil presiden Republik Indonesia
mengeluarkan Keputusan No.X yang isinya memberikan kekuasaan dan wewenang
legislatif kepada KNIP untuk ikut serta untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) sebelum MPR terbentuk dalam pemilihan umum.
Dalam rapat PPKI tanggal 22 Agustus 1945 Hasil yang dicapai adalah sebagai
berikut :
1) KNI (Komite Nasional Indonesia) berfungsi sebagai dewan perwakilan rakyat sebelum
dilaksanakannya pemilihan umum (pemilu).
2) PNI (Partai Nasional Indonesia) dirancang menjadi partai tunggal negara Republik
Indonesia, tetapi dibatalkan.
3) BKR (Badan Keamanan Rakyat) berfungsi sebagai penjaga keamanan umum pada tiap-
tiap daerah.
1) Rencana pembelaan negara dan Badan Penyelidik Usaha usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang mengandung unsur politik perang, tidak dapat di terima.
2) Tentara PETA pembela tanah air di Jawa dan Bali Laskar Rakyat di Sumatera
dibubarkan Karena merupakan organisasi buatan Jepang yang kedudukannya di dalam
dunia Internasional tidak memiliki ketentuan dan kekuatan hukum.
Alat Kelengkapan Keamanan Negara
1. TKR (Tentara Keamannan Rakyat). Yang di pimpin oleh Supriyadi (5 Oktober 1945).
2. TKR ( Tentara Keamanan Rakyat) (1 januari 1946)
3. TKR ( Tentara Keselamatan Rakyat) (26 januari 1946)
4. TNI (Tentara Nasional Indonesia) (7 Juni 1947 )
d. Pembentukan Provinsi di Seluruh Wiayah Indonesia
Pada awalnya wilayah Indonesia dibagi 8 provinsi dan mengangkat Gubernur sebagai
kepala daerah. Gubernur-gubenrur yang diangkat antara lain :
Provinsi Sumatra, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah,
Provinsi Sunda Kecil ( Nusa Tenggara), Provinsi Maluku, Provinsi Sulawesi, Provinsi
Kalimantan
Ø Lembaga Pemerintah Daerah ; Dipimpin oleh kepala daerah dan tugasnya menjalankan
pemerintahan atas daerah yang dikuasainya.
Ø Lembaga Komite Nasional Daerah (KNI-D); Tuasnya membantu gubernur menjalankan
tugas dan kepengawasan dalam tugas-tugas gubernur sebelum terbentuknya DPR
melalui pemilihan umum.
Ø Lembaga Teknis Daerah; lembaga ini disubut dengan Dinas, dan terdiri atas Badan
Penelitian dan Pengembangan, Badan Perencanaan, Lembaga Pengawasan, Badan
Pendidikan dan sebagainya.
Ø Dinas Daerah; lembaga ini merupakan unsure pelaksana dari pemerintah daerah yang
menyeenggarakan urusan-urusan rumah tangga daerah itu sendiri.
Ø Wakil Kepala Daerah; merupakan pembantu kepala daerah yang menjalankan tugas dan
wewenangnya sehari-hari.
Ø Sekaertariat Daerah; Tugasnya membatu Kepala Daerah di dalam menyelenggarakan
pemerintahan atas daerah yang di perintahnya.
2. Pemilu
Pemilihan umum pertama di Indonesia setelah kemerdekaan tahun 1945 adalah tahun
1955. Pemilu diadakan dalam dua periode, yaitu pada 29 September masyarakat
memilih anggota DPR, kemudianpada periode kedua pada 15 Desember memilih
anggota Konstituante. Tak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan
perorangan ikut serta mencalonkan diri. Pemilu ini menghasilkan angggota DPR
sebanyak 272 orang, 17 fraksi yang mewakili 28 partai peserta pemilu, organisasi, dan
perkumpulan pemilih. Sedangkan anggota Konstituante berjumlah 542 orang.
Dalam waktu – waktu yang kritis ketika Konstituante tidak mampu menjalankan
tugasnya, keadaan ketatanegaraan dianggap membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa dan adanya pemberontakan yang ditumpangi intervensi tertutup kekuatan
asing. Presiden Soekarno dan TNI muncul sebagai kekuatan politik yang diharapkan
dapat mengatasi masalah nasional tersebut.
Demi keselamatan Negara dan berdasarkan hukum keadaan bahaya bagi Negara
pada hari Minggu, 5 Juli 1959 jam 17.00 bertempat di Istana Merdeka dalam upacara
resmi Presiden Soekarno mengumumkan sebuah Dekrit Presiden.
Dekrit ini berisi :
a. Pembubaran Konstituante
b. Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950
c. Segera dibentuk MPRS dan DPAS
Dekrit 5 Juli tidak saja mendapat sambutan baik dari masyarkat yang hamper selama
10 tahun dalam kegoncangan Jaman Liberal telah mendambakan stabilitas politik,
melainkan juga dibenarkan dan diperkuat oleh Mahkamah Agung. Dekrit ini juga
didukung oleh jajaran TNI.
DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1966)
1. Kehidupan politik
Pada masa demokrasi terpimpin kekuasaan presiden sangat besar sehingga cenderung
ke arah otoriter. Akibatnya sering terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945. Berikut
ini beberapa penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yg terjadi semasa
demokrasi terpimpin :
a. Pembentukan MPRS melalui Penetapan Presiden No. 2/1959.
b. Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden.
c. Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu tahun 1955.
d. GBHN yg bersumber pada pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yg berjudu; ''
Penemuan Kembali Revolusi Kita '' ditetapkan oleh DPA bukan MPRS.
e. Pengangkat presiden seumur hidup.
Sedangkan pada masa akhir pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, politik luar negeri
Indonesia sangat jelas berpihak ke Blok Komunis, terbukti:
Ø Indonesia berhubungan akrab dengan Uni Soviet, Republik Rakyat Cina, Kuba, Korea
Utara, Mongolia, dan Negara komunis lainnya.
Ø Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Malaysia terpilih sebagai
anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kemudian
Indonesia membentuk Blok Baru yang dikenal dengan: Poros Jakarta-Pnompenh-Hanoi-
Peking (Sekarang: Beijing)-Pyongyang.
a. Oldefo dan Nefo
Oldefo ( The Old Estabilished Force ), yaitu dunia lama yg sudah mapan ekonominya,
khususnya negara-negara Barat yg kapitalis.
Nefo ( The New Emerging Forces ) ,yaitu negara-negara baru. Indonesia menjauhkan diri
dari negara-negara kelitalis (Blok Oldefo) dan menjalin kerjasama dengan negara-
negara komunis (Blok Nefo). Hal ini terlihat dengan terbentuknya Poros Jakarta -
Peking (Indonesia-China) dan Poros Jakarta - PnomPenh - Hanoi - Peking - Pyongyang
( Indonesia - Kamboja - Vietnam Utara - Cina - Korea Utara ).
Faktor-faktor yang menjadi penyebab mengapa poros Jakarta-Peking dilaksanakan
antara lain:
1. Konfrontasi dengan Malaysia membuat Indonesia membutuhkan bantuan militer
maupun logistik mengingat Malaysia didukung penuh oleh Inggris sehingga Indonesia
pun harus mencari negara besar yang bisa mendukung Indonesia dan juga bukan sekutu
dari Inggris salah satu negara yang dimaksud adalah China
2. Posisi negara Indonesia sebagai negara yang baru merdeka membuat Indonesia
membutuhkan banyak bantuan modal asing, namun bila menggantungkan diri pada
negara besar seperti USA dan Inggris akan membuat Indonesia semakin sulit karena
besrnya bunga dan persyaratan yang memberatkan sehingga Indonesia perlu mencari
negara donor yang mampu memberikan bantuan dengan persyaratan yang mudah yaitu
China dan Uni Soviet
3. Ketidak adilan PBB terhadap negara-negara yang baru merdeka seperti Indonesia
membuat Indonesia membutuhkan bantuan suara di PBB, sehinggga kerjasama dengan
China dan Uni Soviet yang merupakan Dewan Keamanan PBB akan membuat suara
Indonesia didengar oleh PBB.
3.Partai Politik
1. Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan
kesukuan dan kedaerahan.
2. partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan
kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi.
3. partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-
kelompok yang diwakilinya.
4. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-
tahun awal Demokrasi Terpimpin.
5. golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi.
6. semua partai politik wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada
segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk
yang sesuai dengan doktrin presiden.
7. Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi
Soekarno.
8. Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-
Angkatan Darat, dan PKI.
Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat
dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno
untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi
presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di
unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat
perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat
angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal
ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan
memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan hubungan antara Soekarno
dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk
mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui
agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang
permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai
puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965.
Pembubaran tersebut pada umumnya dilakukan dengan cara diterapkannya
Penerapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1959.
Peraturan tersebut menyangkut persyaratan partai, sebagai berikut:
1) Menerima dan membela Konstitusi 1945 dan Pancasila
2) Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya
3) Menerima bantuan luar negeri hanya seizin pemerintah
4) Partai-partai harus mempunyai cabang-cabang yang terbesar paling sedikit di
seperempat jumlah daerah tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-
kurangnya seperempat dari jumlah daerah tingkat II seluruh wilayah Republik
Indonesia
5) Presiden berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai
6) Presiden berhak membubarkan partai, yang programnya diarahkan untuk merongrong
politik pemerintah atau yang secara resmi tidak mengutuk anggotanya partai, yang
membantu pemberontakan
Sampai dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai yang diakui dan dianggap
memenuhi prasyarat di atas. Melalui Keppres No. 128 tahun 1961, partai-partai yang
diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI.
Sedangkan Keppres No. 129 tahun 1961 menolak untuk diakuinya PSII Abikusno, Partai
Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo.
Selanjutnya melalui Keppres No. 440 tahun 1961 telah pula diakui Partai Kristen
Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).
Perkembangan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan sampai tahun 1950.
Awal kemerdekaan RI kondisi dan keadaan ekonomi sangat kacau, inflasi yang besar,
sumber inflasi disebabkan oleh :
• Beredarnya mata uang rupiah buatan penduduk Jepang secara tak terkendali
• Diedarkannya uang cadangan sebesar 2,3 milyar
• Kas Negara kosong
• Pajak dan bea sangat berkurang, pengeluaran bertambah banyak
• Hasil produksi pertanian dan perkebunan tidak dapat diekspor
Pembahasan
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli
1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan
Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia.
Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam
aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya
diasingkan ke pulau Buru.[8] Pada masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan
stabilitas nasional dalam program politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional
terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua
macam konsensus nasional, yaitu :
Setelah Kabinet Ampera terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun
dicanangkan UU Penanaman Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan
Kekuasaan Pemerintah RI dari Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967),
lalu disusul pelantikan Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh
merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor.
Luapan kegembiraan itu tercermin dalam Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan
utusan yang hadir seolah tak kuat membendung kegembiraan atas runtuhnya
pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya PKI dan diharamkanya komunisme,
Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia. Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru
dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan kecewa terhadap perkembangan politik
pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid
SH, bahwa setelah mulai rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama
Orba telah mulai melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam
penumpasan G-30 S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres
VII, dengan demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup
mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam
kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang
(Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal
A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua PBNU);
H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan Ketua Umum
PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan Menteri Agama RI)
Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk menjawab segala persoalan
yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan dalam kongres akhirnya
dikelompokan menjadi tiga tema pokok: (1) penyempurnaan organisasi; (2) program
perjuangan gerakan; dan (3) penegasan politik gerakan. Penegasan Politik
GerakanDalam kongres ini juga merumuskan Penegasan Politik Gerakan sbb:
(1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa persyaratan: (a). membasmi komunisme,
marxisme, dan leninisme. (b) menolak kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama,
segala bentuk dalam manifestasinya. (c) mempertahankan kehidupan demokrasi yang
murni dan (d) mempertahankan eksistensi Partijwezen;
(2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-penganut agama lain;
(3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti penjajahan dan
penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam
mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga
mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan kongres.
Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII tersebut.
Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk
ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan strategis.
Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan korektif.
Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha
menunjukkan kepalsuannya.
Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi
penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula.
Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada
Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu karena,
operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang
bakal timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak
kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang
bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau
mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin Pemerintahan
yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat. Seperti kata
Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa kecenderungan di Asia, akan
masuk liang kubur dan muncul authoritarianism.
Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan
yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak
bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan
kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira Michael
Edwards. Masalah Toleransi Agama, Selain masalah politik, kongres juga merumuskan
pola kerukunan antar umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada UUD 1945
yang menjamin toleransi itu sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus memperhatikan
kondisi daerah serta perasaan penganut agama lain.
Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan agama
sudah mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana. Akibatnya
timbul isu yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang paling keras
pada waktu itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai daerah ormas
Islam maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah-dakwah semakin
di batasi bahkan ada pula yang terpaksa di larang. Terakhir, malah dikeluarkan garis
kebijaksanaan di kalangan ABRI yang sangat merugikan partai Islam dan Umat Islam.
Dalam Kongres VII juga menyampaikan memorandum kepada pemerintah mengenai
masalah politik dan ekonomi. Dan isi dari memorandum tak lain adalah manifestasi dari
komitmen terhadap ideology Pancasila.
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan
demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa
ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni
harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat.
Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu
menjadi agenda pertama. Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan
pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama,
kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan
suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang
dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN,
mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955,
diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.
Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai Presiden, ditentang oleh
gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di Jakarta dan di kota-
kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi Semanggi,
yang menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya
kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses
pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media
massa dan kebebasan berekspresi.
Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol,
pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi.
Walaupun begitu Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan
Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi
Semanggi II yang menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian penting dalam masa
pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk
mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut
dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata
masyarakat sehingga hingga kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap
sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah Indonesia. Presiden Habibie segera
membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan
dukungan dariDana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk
program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan
mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses
pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan
Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada
indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang
berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima
kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan
oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemeintahan Abdurahman Wahid.
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999.PDI
Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputrikeluar menjadi pemenang
pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai
Soeharto – sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya)
memperoleh 22%;Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai
Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada
Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati
sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet
pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan
melakukan reshufflekabinetnya pada Agustus 2000.
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan
laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari2001, ribuan demonstran menyerbu
MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya
dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen
dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang
memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati
mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih
anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan,
yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya
perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati
PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang
Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz),
berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan
meraih 60,95 persen.Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru
Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai
cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada
Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada
awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Penutup
Pamerintah saat itu benar-benar berusaha kerasa untuk mengubah perekonomian Indonesia
yang terpuruk. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi ekonomi. Segala
macam upaya dilakukan mulai dari menurunkan inflasi dan menstabilkan harga.
Kerhasilannya menstabilakan inflasi berdampa positif terhadap stabilitas politik saat itu.
Maka kemudian berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan
adanya IGGI.
Sejak masa itu yaitu pada tahun 1969, Indonesia memulai menata kehidupan ekonomi secara
lebih terarah dan fokus terhadap prioritas pembangunan. Sehingga dibentuklah Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang kita kenal pada saat itu sebgai REPELITA. Berikut
penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
a. Krisis Ekonomi
Krisis Ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997 merupakan sebuah efek domino dari
krisis ekonomi Asia yang melanda berbagai negara, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Disebabkan oleh adanya fundamen ekonomi yang lemah, Indonesia mengalami kesulitan
dalam menata ulang kembali perekonomiannya untuk keluar dari krisis.
Perkembangan ekonomi Indonesia telah mengalami stagnansi sejak tahun 1990-an. Saat itu,
sistem neoliberalisme menjadi norma pengaturan ekonomi dan politik dunia. Barang-barang
produksi Indonesia menjadi tidak berdaya saing apabila dibandingkan dengan barang luar
negri yang secara bebas memasuki pasaran Indonesia. Berdasarkan batasan-batasan yang
telah dicanangkan oleh bank dunia, pembangunan ekonomi tergolong berhasil jika memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh bank dunia. Syarat-syarat tersebut diantaranya adalah
adanya peningkatan investasi dibidang pendidikan, yang ditandai dengan peningkatan sumber
daya manusia, rendahnya tingkat korupsi yang ada di tataran pemerintahan, dan adanya
stabilitas dan kredibilitas politik.
Syarat-syarat yang dikemukakan oleh bank dunia itu semacam acuan bagian negara-negara
berkembang dalam melakukan pembangunan ekonomi, khususnya negara penerima bantuan
luar negri seperti Indonesia. Akan tetapi, pada krisis 1997, kondisi ekonomi Indonesia tidak
merepresentasikan satupun kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh bank dunia tersebut.
Hal yang terjadi di Indonesia justru adanya krisis moneter yang ditandai dengan rendahnya
mutu sumber daya manusia, tingginya tingkat produksi di instansi-instansi pemerintah, dan
kondisi instabilitas politik. Perekonomian Indonesia mengalami penurunan hingga mencapai
0% tahun 1998.
Kemerosotan ekonomi Indonesia ternyata tidak ditanggapi oleh presiden Soeharto dengan
membuat perbaikan dalam hal kebijakan ekonomi, tetapi justru dengan meminta bantuan
dana Monitari Fund (IMF). Pada 15 januari 1988, presiden Soeharto menandatangani 50 butir
letter of intent (Lol) dengan dilaksanakannya oleh direktur IMF Asia, Michael Camdessus,
sebagai sebuah syarat untuk mendapatkan kucuran dana bantuan luar negri tersebut.
Dengan merujuk pada batasan tingkat keberasilan ekonomi suatu bangsa yang dikeluarkan
oleh bank dunia, maka dapat disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia tahun 1997/1998
telah mengalami kehancuran. Dalam hal investasi dan peningkatan modal, Indonesia
mengalami kemunduran yang tajam. Pada investor luar negri beramai-ramai memindahkan
modalnya kenegara lain karena tidak adanya stabilitas dan kredibilitas politik dalam negri.
Angka ekspor-impor Indonesia menurun drastis karena sektor usaha tidak dipercaya oleh
perbankan Indonesia. Tingginya tingkat korupsi ditataran sektor ekonomi dan pemerintahan
dan munculnya kasus kredit macet yang melanda bank-bank utama di Indonesia
mengakibatkan pembayaran letter of credit (L/C) dari sektor-sektor usaha Indonesia tidak
diterima diluar negri. Penanggahan krisis ekonomi Indonesia di tahun 1997/1998 berujung
pada munculnya krisis multidimensi, baik itu politik dan sosial, maupun krisis kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintahan.
b. Dampak Reformasi
1. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan (Amandemen) terhadap UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan dari reformasi.
Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakikatnya merupakan tuntutan bagi
adanya penataan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan perubahan
UUD 1945 dilatarbelakangi antara lain karena sistem perwakilan masa Orde Baru yang
bersifat semu dan pada kenyataannya kekuasaan yang besar berada pada presiden, adanya
pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir, serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang
semangat peyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Perubahan UUD 1945 bertujuan untuk menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara,
kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara
hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 disertai kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD
1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal
sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem
pemerintahan presidensil. Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali
perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR
yaitu sebagai berikut :
a. Perubahan Pertama UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-
21 Oktober 1999.
b. Perubahan Kedua UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-
18 Agustus 2000.
c. Perubahan Ketiga UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 1999, tanggal 1-9
November 2001.
d. Perubahan Keempat UUD 1945 dilaksanakan dalam sidang Tahunan MPR 1999, tanggal
1-11 Agustus 2002.
Perubahan terhadap UUD 1945 telah menghasilkan beberapa ketentuan baru dalam
penyelenggaraan negara. Hasil amandemen tersebut antara lain memuat aturan tentang
mekanisme pemilihan presiden, dengan adanya pemilihan presiden secara langsung dan
pembatasan masa jabatan presiden.
2. Kebebasan Pers
Pada masa Orde Baru kebebasan pers sangat dibatasi oleh pemerintah. Setiap isi berita yang
disajikan tidak boleh bertentangan dengan pemerintah. Pada saat itu kebebasan pers
cenderung untuk memperkuat status quo, daripada membangun keseimbangan antarfungsi
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol politik.
Adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sesuai dengan Permenpen 01/1984 Pasal
33h merupakan salah satu contoh pembatasan kebebasan pers. Dengan definisi “pers yang
bebas dan bertanggung jawab”. SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan
pembredelan. Media massa yang memuat berita yang mengkritisi pemerintah tidak luput dari
pembredelan seperti yang dialami Tempo, Detik, Editor pada tahun 1994. Pembredelan
merupakan sebuah tindakan otoriter pemerintah Orde Baru yang menekan kebebasan pers.
Hal itu mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers yang bebas dan bertanggung
jawab secara hukum.
Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998, kebebasan pers mengalami masa
pencerahan. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi
masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang
publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah
memainkan peran sentral dengan memberikan dan menyebarluaskan informasi untuk
penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini public dalam rangka mencapai
konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan dirasakan dalam kehidupan
pers di era reformasi. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru, baik
media cetak maupun elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers
dalam mengkritik kebijakan pemerintah juga mencari ciri baru pers Indonesia.
3. Restukturisasi ABRI
Sejak reformasi bergulir tahun 1998, ABRI menjadi salah satu institusi yang dipandang perlu
direformasi. Masyarakat menilai perlu adanya perubahan bagi ABRI dalam tataran sikap dan
tindakan. Selama masa Orde Baru ABRI memiliki kecenderungan menempatkan diri sebagai
“mesin politik” untuk menegakkan kekuasaan Orde Baru.
Tuntutan perubahan pada ABRI berujung pada tuntutan penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Dwi
Fungsi ABRI telah membawa konsekuensi panjang dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara selama masa Orde Baru. Dengan dalih menjalankan fungsi sebagai kekuatan
pertahanan dan keamanan serta kelangsungan pemerintahan.
Tuntutan reformasi dalam tubuh ABRI diakomodasi dengan mengadakan perubahan
structural ABRI, yaitu antara lain sebagai berikut :
a. Pemisahan POLRI dan TNI yang semula bersama-sama tergabung dalam ABRI.
b. Pemisahan TNI dan POLRI tersebut juga berakibat pada perubahan Dephankam menjadi
Dephan.
c. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI, likuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI,
penghapusan keberadaan Fraksi TNI/POLRI, serta perubahan doktrin dan organisasi TNI.
Sejak penghapusan Dwi Fungsi ABRI dan diikuti wacana kembalinya lembaga TNI ke barak
serta dipisahkannya TNI dengan POLRI, member harapan baru bagi proses demokratisasi
serta mengobati kekecewaan panjang rakyat terhadap posisi ABRI yang kini menjadi TNI.
4. Otonomi Daerah
Era reformasi ditandai oleh bangkitnya demokrasi peran pemerintah pusat yang besar serta
menjadi titik sentral yang menentukan gerak kehidupan daerah, harus segera diakhiri. Oleh
karena itu, lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dah Daerah.
Undang-undang ini memberikan masyarakat setempat, sesuai dengan prakarsa, aspirasi
masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.
Seiring dengan perjalanan waktu, kebijakan tersebut banyak menuai persoalan. Persoalan-
persoalan yang muncul antara lain masalah koordinasi antar daerah otonom tingkat
provinsidan kabupaten, munculnya “raja-raja kecil” di daerah yang cenderung mengabaikan
nilai etik dalam berpolitik, sulitnya pengawasan daerah otonom dan lain sebagainya.
Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan baru mengenai Otonomi Daerah, yakni
dengan pemberlakuan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Semangat yang
terkandung dalam Undang-Undang tersebut tidak ditujukan untuk melakukan “resentralisasi”
atas apa yang telah didesentralisasikan, namun lebih ditujukan untuk mengurangi dampak
negatif dan menambah manfaat positif dari otonomi daerah sebagai salah satu agenda utama
reformasi.
5. Munculnya Eurofia Kebebasan
Era reformasi adalah era keterbukaan untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat terhadap
perkembangan politik maupun kritik terhadap kinerja aparatur negara. Orde reformasi telah
memberi peluang yang besar bagi masyarakat untuk ikut serta dalam memberikan tanggapan
kritik terhadap pemerintah. Hal ini disebabkan, karena tidak ada lagi sistem yang mengekang
kebebasan berpendapat dan berbicara, baik secara represif maupun preventif seperti halnya
dalam masa Pemerintahan Orde Baru. Dengan adanya era keterbukaan dan kebebasan
tersebut telah berdampak pada munculnya aksi-aksi unjuk rasa terhadap kinerja pemerintah.
Pada awal reformasi, setiap hari hampir terjadi unjuk rasa. Unjuk rasa itu ditujukan bukan
hanya kepada pemerintah namun juga instansi lainnya yang dianggap tidak dapat dipercaya
dan merugikan kepentingan masyarakat. Namun, disinyalir ada sebagian dari aksi-aksi tidak
murni dilakukan oleh pengunjuk rasa, melainkan hanya merupakan aksi yang mengemban
kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Di antara para pengunjuk rasa tersebut adalah
orang-orang bayaran yang pada umumnya pengangguran yang jumlahnya semakin meningkat
akibat badai krisis moneter yang melanda Indonesia.
Reformasi sebagai era keterbukaan banyak dimaknai oleh masyarakat sebagai kebebasan
yang berlebihan. Masyarakat terjebak oleh euforia kebebasan yang telah menimbulkan
bahaya disintegrasi nasional dan sosial. Konflik-konflik di Ambon, Poso, Sanbas, dan Sampit