1 PB
1 PB
https://journal.uny.ac.id/index.php/geomedia/index
e-mail: geomedia@uny.ac.id
Riwayat Aktivitas Gunung Merapi: Potensi dan Ancamannya Bagi Sektor Pariwisata
dilakukan identifikasi sejarah letusan Merapi, permukaan bumi ke eksterior dan penciptaan fitur
memetakan distribusi objek pariwisata di KRB permukaan permukaan sebagai akibatnya.
Merapi, jumlah penduduk, dan upaya mitigasi Gunungapi adalah gunung atau bukit yang
bencana yang dapat dilakukan pada objek terbentuk dengan cara tersebut (Gabler et al.,
pariwisata di KRB Merapi. 2009: 382). Vulkanisme terjadi ketika magma
keluar menuju permukaan Bumi (Plummer,
Telaah Pustaka Carlson, & Hammersley, 2016: 78).
Gunungapi dan Vulkanisme Aktivitas vulkanisme gunungapi
Letusan gunungapi di seluruh dunia dipengaruhi oleh dapur magma dibawahnya.
mengingatkan kita akan energi internal bumi. Intesitas, kekuatan dan intensitas proses
Gunungapi terbentuk di ujung ventilasi atau pipa vulkanisme juga dipengaruhi material vulkanik
tengah yang naik dari astenosfer dan mantel atas yang dikeluarkan dari dapur magma. Secara
menembus kerak menjadi gunung berapi umum tingkat status aktivitas gunungapi
(Christopherson, 2009: 386). Vulkanisme mengacu ditunjukkan oleh (Gambar 1).
pada ekstrusi materi batuan dari bawah
sejarah 11 letusan besar telah terjadi sejak 3000 intensitas, kekuatan dan arah luncuran yang
tahun yang lalu di gunung Merapi (Andreastuti et berbeda. Sebagai upaya pencegahan terhadap
al., 2006: 201). Letusan merapi berupa aliran awan dampak letusan Merapi, pemerintah telah
panas, lontaran batu pijar dan hujan abu memetakan zona-zona Kawasan Rawan Bencana
(Bardintzeff, 1984: 432). Letusan Merapi sampai Merapi (KRB) dengan tingkat status KRB I, KRB II,
saat ini masih terus terjadi, meskipun memiliki dan KRB III yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian survei- Merapi, dengan pengambilan sampel secara acak.
deskriptif dengan pendekatan geografi Pengumpulan data dilakukan dengan cara
kelingkungan, karena terdapat interaksi manusia observasi, dokumentasi, dan studi pustaka.
terhadap lingkungannya. Jenis survei yang Hubungan antara variabel yang diamati, teknik
digunakan adalah survei normatif. Pengukuran pengumpulan data, dan instrumen atau sumber
dan pengamatan lapangan dilakukan di KRB data ditunjukkan oleh Tabel 1.
Analisis data yang digunakan untuk waktu ketika tenaga dari perut bumi mencukupi.
menjawab permasalahan adalah analisis deskriptif Interval kejadian letusan Merapi paling sering
dengan memperhatikan aspek potensi bencana yaitu lima tahun. Interval kejadian letusan Merapi
Merapi, distirbusi onjek pariwisata di Kawasan paling cepat yaitu satu tahun. Interval kejadian
Rawan Bencana (KRB) Merapi, ancaman letusan letusan Merapi paling lama yaitu 70 tahun. Rata-
Merapi di masa yang akan datang dan upaya rata interval kejadian letusan Merapi yaitu 5.8
mitigasi yang dapat dilakukan. tahun dari 75 kejadian. Jumlah korban selama
catatan letusan Merapi yaitu 5103 jiwa, jumlah ini
Hasil dan pembahasan tentunya bisa bertambah atau berkurang karena
Sejarah Letusan Merapi dalam waktu kejadian belum tentu semua korban
Gunung Merapi memiliki sejarah letusan dapat tercatat secara baik dalam arsip pemerintah.
dengan periode pengulangan waktu berbeda, Gunung Merapi kembali menunjukkan
intensitas berbeda, dan menimbulkan korban jiwa aktivitasnya pada tahun 2018 terjadi beberapa kali
dengan jumlah berbeda. Letusan Merapi dapat letusan freatik. Kronologi dari tanggal 11 mei 2018
menyebabkan peristiwa letusan besar atau letusan sampai 1 juni 2018. Suara gemuruh disertai gempa
kecil yang tidak dipedulikan sehingga dapat tremor dirasakan sampai jarak 8 km dari puncak
menimbulkan bencana yang belum pernah terjadi Merapi. Gunung Merapi periode letusannya tidak
sebelumnya dalam sejarah Merapi (Voight et al., menentu, terbukti pada tahun 2018 terjadi letusan
2000: 69). Oleh karena itu pemerintah dan kembali. Kejadian letusan Merapi pada tahun 2018
masyarakat perlu adanya koordinasi yang intensif ditunjukkan oleh Gambar 3. Gambar 3A
supaya terjalin integritas dalam menyikapi letusan menujukkan awan panas yang membumbung
Merapi. tinggi dari puncak Merapi, pada saat tersebut
Ancaman letusan dari dulu sudah disertai dengan suara gemuruh dan gempa tremor
mengancam dan akan terus mengancam selama yang dirasakan sampai jarak 8 Kilometer dari
Merapi meiliki tenaga dari perut bumi untuk puncak Merapi. Gambar 3B menunjukkan awan
menciptakan sebuah letusan. Berdasarkan catatan panas sesaat setelah terjadi letusan efusif Merapi,
sejarah letusan terbesar yaitu pada tahun 1872- kemudian tertiup angin yang mengarah ke barat
1873 dan tahun 2010. Letusan tersebut mencapai dan barat laut. Arah awan panas tersebut
Volcanic Explosivity Index (VEI) 4 dari lever menutupi langit di atas permukiman dan ladang
terendah 1 (Voight et al., 2000; Bourdier & masyrakat. Belum ada 30 menit sejak letusan,
Abdurachman, 2001: 313-315; Wilson et al., 2006; hujan abu sudah turun di permukiman dan ladang
BNPB, 2010; Gertisser et al, 2012; Preece et al., masyarakat. Gambar 3C menginformasikan
2014, Dibyosaputro et al., 2016: 3; Analisis 2018). persebaran abu vulkanik Merapi, yang dari citra
Letusan Merapi tahun 2010 menyebabkan 367 satelit milik BMKG. Gambar 3D merupakan kondisi
orang meninggal dan menyebabkan bandara Adi setelah hujan abu akibat letusan Merapi,
Sucipto di tutup selama 15 hari (BNPB, 2010 & permukiman dan tanaman budidaya masyarakat
Jousset, 2010). Letusan Merapi pada tahun 2010 terselimuti oleh abu vulkanik Merapi. Abu vulkanik
merupakan sebuah kejadian letusan eksplosif yang yang menyelimuti permukiman dan tanaman
besar sejak tahun 1872 (Drignon et al., 2016: budidaya masyarakat bertahan sekitar dua
11.595). minggu, sebelum diguyur hujan. Abu vulkanik
Rentang waktu letusan Merapi yang Merapi tersebut tidak mengganggu aktivitas
mencapai Volcanic Explosivity Index (VEI) 4 yaitu masyarakat.
138 tahun, rentan ini tidak pasti artinya Volcanic
Explosivity Index (VEI) 4 dapat terjadi sewaktu-
A B
C D
Gambar 3. Kronologi letusan Merapi Tahun 2018 (Sumber: Data Lapangan, 2018 & Dokumentasi, 2018)
Status gunung Merapi tercatat mulai tanggal tanpa khawatir terhadap status Merapi yang
21 mei 2018, berada pada level II yaitu “Waspada” berada pada level II “Waspada”. Berdasarkan
(BNPB, 2018; PVMBG, 2018). Jarak 3 kilometer dari pengalaman tersebut, letusan freatik yang masih
puncak Merapi dikosongkan atau tidak ada dianggap aman oleh pemerintah maka dapat
aktivitas masyarakat. Jarak jangkauan 3 kilometer menjadi sebuah pengalaman baru wisatawan pada
secara buffer dari puncak Merapi tidak terdapat kawasan objek pariwisata. Pengunjung objek
pemukiman tetapi terdapat tegalan. Status pariwisata di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III,
gunung Merapi pada level II sehingga aktivitas diharapkan tidak panik apabila tiba-tiba terjadi
pendakian ditutup, oleh karena itu masyarakat letusan freatik tersebut. Aktivitas Merapi terus
calon pendaki diharapkan mematuhi peraturan berlangsung, seperti tumbuhnya kubah lava dan
yang ada. Letusan Merapi pada tanggal 1 juni disertai luncuran awan panas (Gambar 4).
2018, tidak mempengaruhi aktivitas masyarakat.
Masyarakat Merapi tetap beraktivitas seperti
kehidupan biasa sehari-hari. Masyarakat yang
mayoritas petani, tetap menanam sayuran seperti
cabai, tomat, kobis, sawi, daun bawang dan jagung
Gambar 4. Pertumbuhan Kubah Lava Merapi. a) Pengamatan visual melalui kamera Stasiun Deles & Kali
Tengah Lor, b) Pengamatan kubah lava melalui Stasiun CCTV Puncak (Sumber: BPPTKG, 2018 & 2019).
Gunung Merapi setelah mengalami letusan Potensi Pariwisata di Kawasan Rawan Bencana
beberapa kali, saat ini sudah memasuki fase Merapi
Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan
letusan magmatik. Letusan magmatik ditandai
wisata yang didukung oleh berbagai fasilitas serta
dengan adanya pertumbuhan kubah lava di
layanan yang disediakan oleh masyarakat,
puncak Merapi. Volume kubah lava per volume
pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah
kubah lava per 13 Desember 2018 sebesar 359.000
(Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang
m3 dengan laju pertumbuhan rata-rata 2.200
Kepariwisataan). Tujuan pariwisata yaitu untuk
m3/hari, relatif sama dari minggu sebelumnya. mencapai kehidupan yang menyenangkan dan
Saat ini kubah lava masih stabil dengan laju memperkaya kehidupan (Pramono & Ashari, 2015:
pertumbuhan yang masih rendah <20.000 9). Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi memiliki
m3/hari, lebih tinggi dari minggu sebelumnya. potensi untuk dijadikan objek pariwisata.
Saat ini kubah lava masih stabil dengan laju Pariwisata sudah ada yang berkembang dan
pertumbuhan yang masih rendah (<20.000 berpotensi dikembangkan di Kawasan Rawan
m3/hari) (BPPTKG, 2018). pada tanggal 29 januari Bencana (KRB) Merapi. Disisi lain, Potensi bencana
2019 terjadi guguran lava disertai awan panas dapat terjadi sewaktu-waktu pada kawasan
sehingga menyebabkan hujan abu di beberapa pariwisata tersebut. Meskipun lokasinya berada di
Kecamatan di Kabupaten Boyolali (BPPTKG, 2019). Kawasan Rawan Bencana (KRB), wisatawan tetap
akan datang untuk berkunjung meski area
Kemungkinan perkembangan lava akan terus
pariwisata berpotensi terdampak bencana karena
bertambah. Guguran lava Merapi saat ini
wisatawan termotivasi untuk mengetahui dampak
mengarah ke hulu sungai Gendol. Informasi
bencana dan upaya untuk pemulihan pasca
Merapi dapat diakses di Web atau sosial media,
bencana (Rittichainuwat, 2008). Berbagai tujuan
tetapi tidak semua masyarakat dapat
wisata lebih atau kurang rentan terhadap jenis
mengaksesnya oleh karena itu perlu adanya bencana alam tertentu daripada yang lain
sosialiasi dari pintu ke pintu. (Faulkner, 2001). Sepanjang sejarah, bencana alam
merenggut banyak korban meninggal dan
Geomedia : Majalah Ilmiah dan Informasi Kegeografian |27
Riwayat Aktivitas Gunung Merapi: Potensi dan Ancamannya Bagi Sektor Pariwisata
penderitaan (Noji, 2005: 29). Bencana alam yang pariwisata ditemukan berada di KRB III. Kawasan
sering melanda destinasi wisata Indonesia adalah Rawan Bencana (KRB) III berpotensi terdampak
serangkaian peristiwa yang menciptakan tingginya letusa Merapi seperti: lontaran batu pijar, gas
tingkat ketidakpastian dan ancaman (Kurniasari, beracun dan aliran piroklastik yang berkecepatan
2017: 178). Salah satu bencana alam yang paling tinggi (>100km/jam) dan bertemperatur tinggi
mengancam di Indonesia adalah letusan (>300°celcius) (BPPTKG, 2018). Potensi bahaya
gunungapi (Setyawati, Hadi, & Ashari, 2013: 139). tersebut merupakan ancaman bahaya serius bagi
Pariwisata di Kawasan Rawan Bencana (KRB) penduduk lokal, pelaku pariwisata dan
Merapi semakin berkembang, tetapi aktivitasnya pengunjung. Beberapa objek pariwisata di KRB
belum memperhatikan upaya mitigasi bencana. Merapi ditunjukkan pada (Tabel 2).
Hasil survei lapangan dan telaah penelitian
terdahulu beberapa objek pariwisata dan komplek
Distribusi objek pariwisata tersebut rata-rata lahar juga pernah menyebabkan meninggalnya
berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III tiga wisatawan pada tahun 2012 di kedung kayang
(Gambar 5). Berdasarkan survei di beberapa (Kompasiana, 2012). Selain itu, jurang jero ada di
pariwisata belum ditemukan rambu-rambu peralihan lereng dengan kaki gunungapi
evakuasi pada saat terjadi bencana. selain belum (Setyawati & Ashari, 2017), sedangkan candi asu
adanya rambu-rambu evakuasi, di beberapa objek ada di kaki gunungapi (Ashari, 2013). Bentuklahan
pariwisata memiliki kondisi morfologi serta akses yang berbeda memiliki potensi bahaya yang
yang berbeda. Seperti akses di air terjun Kedung berbeda karena faktor jarak dari pusat erupsi dan
Kayang lebih sulit dibandingkan komplek objek kemiringan lereng (Ashari, 2017). Dari segi akses,
pariwisata Kaliurang. Sebagai contoh kawasan kondisinya juga sangat bervariasi. Padahal faktor
objek pariwisata Kedung Kayang berpotensi infrastruktur sangat menentukan untuk evakuasi
terdampak lahar (Widodo, 2017: 92). Selain itu (Nurhadi, Ashari, & Suparmini, 2017).
Gambar 5. Peta Distribusi objek Pariwisata di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi
Ancaman Letusan di Masa yang Akan Datang Kecamatan yang berada di KRB II & III
Ancaman letusan Merapi semakin besar meliputi sepuluh dari empat Kabupaten. Kecamatan
ketika jumlah penduduk semakin banyak. Jumlah Musuk memiliki jumlah penduduk tertinggi yaitu
penduduk semakin meningkat di Merapi. Semakin 57303 jiwa. Kecamatan Cangkringan memiliki
banyak jumlah penduduk maka pertambahan jumlah penduduk terendah yaitu 29456 jiwa.
bangunan permukiman juga meningkat. Jumlah Penduduk semakin bertambah dan akan terus
penduduk yang semakin meningkat menjadi
bertambah kedepannya. Masyarakat tinggal secara
faktor selain letusan Merapi. Keberadaan
turun temurun di Merapi dengan berbagai
penduduk yang semakin meningkat disebabkan
ancaman besarnya letusan. Orang jawa dan
sumber daya alam Merapi yang melimpah. tetapi,
masyarakat Merapi diajar bukan untuk menguasai
disamping menghasilkan potensi sumberdaya
alam, tetapi bagaimana menyesuaikan dirinya
alam Merapi juga menyimpan potensi bencana
yang cukup besar (Sutikno et al., 2007: 20-30). dengan kehidupan alam yang serba gaib dan
menitikberatkan bagaimana menjaga keselarasan
Tabel 3. Jumlah penduduk di Kawasan Rawan atau harmoni dengan alam (Triyoga, 2010: 10).
Bencana II & III Gunung Merapi Kepercayaan tersebut membuat secara turun
Jumlah Penduduk
No Kecamatan Kabupaten tahun 2017 temurun masyarakat bertahan di Merapi.
1 Selo Boyolali 29736 Kepercayaan masyarakat mengenai hal gaib
2 Cepogo 56890
di Merapi mulai berkurang, karena perkembangan
3 Musuk 57303
4 Kemalang Klaten 36394 rasional masyarakat. Tetapi, masyarakat yang
5 Dukun Magelang 46018 mempercayai keberadaan hal gaib di Merapi masih
6 Sawangan 57287
banyak. Masyarakat Merapi yang masih percaya
7 Srumbung 49080
8 Cangkringan Sleman 29456 dengan keberadaan “mbah Merapi” terkadang
9 Pakem 38806 menjadi tidak setuju untuk dilakukan relokasi ke
10 Turi 34361
Jumlah 435331
tempat aman, sehingga bertentangan dengan
program pemerintah. Masyarakat Merapi sudah
Sumber : Kabupaten Boyolali dalam Angka tahun 2018;
memiliki sistem peringatan dini lewat tanda-tanda
Kabupaten Klaten dalam Angka tahun 2018; Kabupaten
Magelang dalam Angka tahun 2018; Kabupaten Sleman dalam alam ketika terjadi letusan, Masyarakat juga
Angka tahun 2018 memiliki pandangan bahwa aktivitas Merapi
berhubungan dengan tiga jenis dewa supra alami: akibat letusan gunungapi, maka perlu dilakukan
roh gunung, roh segoro kidul (laut selatan), dan roh berbagai usaha penanggulangan bencana
nenek moyang (Rokib, 2013: 11). Oleh karena itu Gunungapi, baik berupa fisik maupun non fisik
masyarakat dan pemerintah harus sepaham dalam (Sutikno et al., 2007: 36). Mitigasi struktural
upaya penangan bencana Merapi, supaya terjalin didefinisikan sebagai usaha pengurangan risiko
integritas yang baik. yang dilakukan melalui pembangunan atau
Jumlah penduduk yang banyak sebenarnya perubahan lingkungan fisik melalui penerapan
sudah dilakukan upaya mitigasi. Mitigasi bencana solusi yang dirancang (Kusumari, 2014: 23). Fasilitas
yang sudah dilakukan yaitu mitigasi secara seperti jalan, jalur evakuasi, rambu-rambu evakuasi,
struktural dan non struktural. Kejadian bencana jembatan dan tempat evakuasi akhir yang bagus
yang beragam menumbuhkan kesadaran Nasional akan mendukung upaya mitigas secara struktural.
tentang pentingnya mengurangi risiko bencana Menurut Nurjanah et al., (2013: 54) mitigasi non-
(Lestari, Prabowo, & Wibawa, 2012: 173). Letusan struktural misalnya membuat peraturan, tata ruang,
gunung Merapi akan menyebabkan kerusakan yang pelatihan, dan menambahkan mitigasi spiritual
parah di provinsi Jawa Tengah (Pramitasari & yang dilakukan melalui pendekatan kegiatan
Buchori, 2018: 1). Gunungapi dengan segala keagamaan. Dalam krisis gunung berapi,
aktivitasnya akan berpengaruh terhadap segala kemampuan masyarakat untuk melakukan evakuasi
fenomena alamiah dan buatan kawasan memiliki peran penting untuk mengurangi risiko
disekitarnya. Untuk mengurangi dampak bencana (Jumadi, Carver, & Quincey, 2016: 402).
a) b)
c) d)
Gambar 6. Kegiatan mitigasi bencana yang telah dilakukan, a) Kondisi cek Dam sebagai jembatan penghubung antar
Desa, pada sungai Apu Desa Klakah, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Fungsi cek Dam untuk menghambat laju
material akibat dari letusan Merapi. b) Kontruksi jembatan gantung dibangun karena, pada letusan tahun 2010, lahar
menghanyutkan banyak jembatan di sungai-sungai yang berhulu dari Merapi. Foto diambil di Desa Jrakah,
Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. c) Mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Negeri Yogyakarta dan peserta
sedang mengidentifikasi jenis bahaya yang ada di lingkungan panti asuhan yatim dan dhuafa “umar bin khotob”
Kecamatan Srumbung. d) Dosen Pendidikan Geografi Universitas Negeri Yogyakarta melakukan pengabdian
masyarakat dengan tujuan memberikan informasi mitigasi bencana (Sumber: Dokumentasi Pribadi 2013, 2015, &
2017).
Rekomendasi Mitigasi Bencana pada objek objek pariwisata di kawasan Merapi. Oleh karena
pariwisata di Kawasan Rawan Bencana (KRB) itu, perlu adanya Standar Operasional Prosedur
Merapi (SOP) dan peta jalur evakuasi dari objek-objek
Saat ini aksesibilitas menuju kawasan pariwisata menuju kawasan aman, dari ancaman
pariwisata di KRB Merapi sudah ada upaya mitigasi letusan Merapi. Standar Operasional Prosedur
bencana. Jembatan sudah dibuat gantung, rambu- (SOP) dan peta jalur evakuasi dari objek-objek
rambu sudah terpasang sepanjang jalan menuju pariwisata menuju kawasan aman dibuat dalam
kawasan pariwisata. Tetapi masih banyak bentuk pamflet yang di sertakan pada setiap tiket
kekurangan seperti lampu penerangan, rambu- masuk kunjungan objek pariwisata. Rambu-rambu
rambu yang kurang terawat dan jalan-jalan yang petunjuk jalur evakuasi juga seharusnya lebih
sempit juga berlubang. Selain itu belum ada interaktif, tidak hanya menyatakan informasi jenis
manajemen bencana di kawasan pariwisata yang ancaman bahaya tetapi juga cara mengurangi
dirancang dengan baik. Ritchie (2008: 315) risikonya.
menguatkan bahwa seiring meningkatnya bahaya Selain itu, objek pariwisata memiliki
alam dan bencana hanya sedikit yang melakukan karakteristik morfologi, aksesibiltas dan bahaya
kajian terkait perencanaan dan manajemen yang berbeda. Seperti air terjun Kedung Kayang,
bencana dikawasan pariwisata. Selain itu, Faulkner seharusnya perlu dipasang CCTV pada bagian hulu
(2001: 144) menjelaskan bahwa: manajemen dan tengah sungai tersebut. Pemasangan CCTV
bencana pada kawasan pariwisata sangat penting, bertujuan, apabila ada aliran lahar sudah
meliputi: 1) Pre-event, mengidentifikasi potensi terpantau lebih awal, maka memudahkan
bencana di kawasan pariwisata. 2) Prodromal, pemberian informasi pada pengunjung yang
melakukan langkah mobilisasi ketika bencana berada di bawah air terjun, sehingga kejadian
sudah jelas akan terjadi. 3) Emergency, ketika meninggalnya 3 mahasiswa tahun 2012 tidak
potensi bencana akan dampak bagi material terulang. Kawasan kompleks objek pariwisata
maupun jiwa maka perlu melakukan tindakan Kaliurang, seharusnya dipasang papan elektronik
evakuasi. 4) Intermediate, ketika pelaku pariwisata dengan ukuran besar dengan tujuan memberikan
membutuhkan waktu untuk menuju kondisi yang informasi potensi bahaya pada objek pariwisata
normal dilakukan pendataan kerugian, beserta upaya pengurangan risikonya. Papan
pembersihan lokasi pariwisata, dan strategi media elektronik berukuran besar diharapkan menarik
komunikasi. 5) Long-term (recovery), perlu dan membuat pengunjung terjelaskan, baik saat
disediakan waktu lama dalam upaya rekonstruksi kunjungan siang hari maupun malam hari.
dan penaksiran ulang pemulihan setelah bencana. Sehingga, wisatawan benar-benar terpesona akan
6) Resolution, melakukan tinjauan ulang sebelum, atraksi pariwisata tanpa merasa terancam oleh
saat, dan setelah terjadi bencana untuk dijadikan potensi bahaya yang ada di kawasan objek
pedoman pembangunan kembali pariwisata pariwisata yang dikunjungi.
secara berkelanjutan. Mitigasi non struktural yang sudah
Pemerintah dan pelaku industri pariwisata dilakukan ternyata belum optimal, karena masih
hendaknya berkoordinasi dengan baik terkait terdapat beberapa kekurangan seperti simulasi
proses pengembangan pariwisata, pelaksanaan yang tidak rutin, dan koordinasi antar pemangku
pariwisata, saat terjadi bencana dan pasca terjadi kebijakan yang belum terjalin baik. Rindrasih
bencana. Hal tersebut sesuai pernyataan Muthiah, (2018: 1) menjelaskan bahwa kawasan pariwisata
Muntasib & Meilani (2018: 9) bahwa integrasi seharusnya membentuk Manajemen Pariwisata
pemangku kebijakan, pengunjung dengan sistem Berbasis Masyarakat (CBT) rentan terhadap
peringatan dini sangat penting dilakukan pada bencana alam seperti itu dan, oleh karena itu,
Rittichainuwat, B.N. (2008). Responding to Sutikno., Santosa, L.W., Widiyanto., Kurniawan, A.,
disaster: Thai and Scandinavian tourists’ dan Purwanto, T.H. (2007). “Kerajaan
motivation to visit Phuket, Thailand. Journal Merapi” Sumberdaya Alam dan Daya
of Travel Research Vol. 46, No. 4, Hlm. 422– Dukungnya. Yogyakarta: BPFG UGM.
432. Thornbury, W.D. (1969). Principles of
Rokib, M. (2013). Teologi bencana: studi santri Geomorphology. New York: John Wiley and
tanggap bencana. Yogyakarta: Buku Pintal. Sons.
Setyawati, S., Hadi, B.S., Ashari, A. (2013). Thouret, J.C., Lavigne, F., Kelfoun, K., & Bronto, S.
Pengembangan sistem informasi bahaya (2000). Toward a revised hazard assessment
erupsi untuk pengelolaan kebencanaan di at merapi volcano,central java. Journal of
lereng selatan gunung merapi. Majalah Volcanology and Geothermal Research, Vol.
Geografi Indoensia, Vol. 7, No. 2, September, 100, Hlm. 479–502.
Hlm. 138-148. Triyoga, L.S. (2010). Merapi dan orang jawa.
Setyawati, S., & Ashari, A. (2017). Geomorfologi Yogyakarta: Grasindo.
lereng baratdaya gunungapi merapi Voight, B., Constantine, E.K., Siswowidjoyo, S., &
kaitannya dengan upaya pengelolaan Torley, R. (2000). Historical eruptions of
lingkungan dan kebencanaan. Jurnal merapi vulcano, Central Java, Indonesia,
Geomedia, Vol. 15, No. 1, Hlm. 45-60. 1768-1998. Journal of Volcanology and
Surono, Jousset, P., Pallister, J., Boichu, M., Geothermal Research, Vol. 100, Hlm. 69–
Buongiorno, M.F., Budisantoso, A., Costa, F., 138.
Andreastuti, S., Prata, F., Schneider, D., Widodo, E. (2017). Analisis distribusi fasies gunung
Clarisse, L., Humaida, H., Sumarti, S., merapi di kecamatan selo untuk identifikasi
Bignami, C., Griswold, J., Carn, S., jenis bahaya erupsi. Jurnal Geomedia, Vol.
Oppenheimer, C., & Lavigne, F. (2012). The 15, No. 1, Hlm. 87-97.
2010 explosive eruption of Java's Merapi Wilson, T.; Kaye, G., Stewart, C. and Cole, J. (2007).
volcano—A ‘100-year’ event. Journal of Impacts of the 2006 eruption of merapi
Volcanology and Geothermal Research, Vol. volcano, Indonesia, on agriculture and
241–242, Hlm. 121–135. infrastructure. GNS Science Report, 2007/07
Hlm. 1-69.