Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

Diagnosis dan Tatalaksana pada Appendicitis

STASE BEDAH

LAPORAN KASUS

Diagnosis dan Tatalaksana pada Appendicitis

Semarang, 19 Juli 2023


IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. IA Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 33 tahun Suku Bangsa : Jawa

Status : Menikah No. CM :-

Alamat : Jl. Karanggawang Barat Tgl Masuk RS : 03 Juli 2023


No. 33 Rt. 06/14

ANAMNESIS :
Dilakukan autoanamnesis pada pasien hari Kamis, 6 Juli 2023 di Rs. Bhayangkara TK
II POLDA Semarang pada pukul 10.00 WIB.

Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan bawah sejak 4 hari SMRS

Keluhan tambahan :
Mual dan badan terasa pegal

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Semarang, pada tanggal 03 Juli 2023. Pasien
datang dengan keluhan nyeri, pada perut kanan bawah sejak 4 hari SMRS. Keluhan awalnya
sudah dirasakan semenjak 1 minggu lalu, nyeri perut dirasakan pada daerah sekitar pusar,
kemudian berpindah ke perut bagian kanan bawah. Keluhan dirasakan seperti tertusuk-tusuk
dan hilang timbul. Setelah itu nyeri pada perut kanan bawah terasa semakin memberat,
dimana pada akhirnya nyeri berlangsung terus menerus hingga mengganggu jika ingin
beraktivitas. Faktor yang memperberat keluhan adalah contohnya saat berjalan atau
membungkuk. Sedangkan keluhan membaik pada saat istirahat, misalnya pada saat posisi
berbaring. Awalnya pasien mengira bahwa nyeri yang dirasakan ini, dikarenakan pasien
memiliki riwayat bekas luka operasi sesar. Pasien mengatakan keluhan ini baru pertama kali
dirasakan, sebelum timbul keluhan ini pasien juga cukup sering mengkonsumsi makan-
makanan pedas, dan cepat saji, serta kurang mengkonsumsi makanan berserat. Keluhan
disertai juga dengan mual dan badan terasa pegal-pegal. Keluhan demam (-), muntah (-),
BAK lancar tidak ada keluhan, BAB tidak ada keluhan, nafsu makan berkurang semenjak
keluhan dirasakan.
Riwayat Pengobatan
Pasien belum melakukan upaya pengobatan
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya belum pernah mengalami keluhan serupa. Pasien juga mengatakan tidak
memiliki riwayat penyakit lain nya seperti jantung, diabetes, hipertensi, kolesterol, alergi
obat ataupun makanan. Namun pasien mengatakan memiliki riwayat Operasi Sesar sekitar 2
tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama. Tetapi Ayah dari pasien
memiliki riwayat penyakit yaitu Hipertensi.

Riwayat Kebiasaan & Asupan nutrisi

Asupan makanan pasien sehari-hari SMRS 2x sehari. Jumlah nya cukup, bervariasi,
semenjak keluhan muncul nafsu makan menghilang, pasien mengatakan tidak memiliki
riwayat merokok, tidak mengkonsumsi alkohol atau menggunakan obat-obatan narkotika.
Namun pasien memiliki kebiasaan makan fast food >2x dalam seminggu dan sering makan
makanan pedas. Serta jarang mengkonsumsi makanan berserat.

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan hari Senin, 6 Juli 2023 Rs. Bhayangkara TK II POLDA Semarang, Jawa Tengah
10.00WIB

A. STATUS
GENERALIS

Pemeriksaan Umum
• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : Compos Mentis (GCS 15 : E4V5M6)
Tanda Vital
• Tekanan Darah : 120/83 mmHg
• Pernafasan : 22 Kali/Menit
• Nadi : 88 Kali/Menit
• SpO2 : 99%
• Suhu : 36°C
• Berat Badan : 65kg
• Tinggi Badan : 150 cm

PEMERIKSAAN SISTEM

• Kepala: Bentuk Dan Ukuran Normal, Tidak Teraba Benjolan, Rambut Hitam Terdistribusi
Merata Dan Tidak Mudah Dicabut. Kelainan Kulit Kepala (-)

• Mata: Pupil Bulat Isokor, Sklera Ikterik -/-, Konjungtiva Anemis -/-

• Hidung: Bentuk Normal, Deviasi Septum (-), Perdarahan (-)

• Telinga: Bentuk Normal, Liang Telinga Lapang, Secret (-), Darah (-)

• Mulut: Bentuk Normal, Mukosa Kering (-), Sianosis (-), Lidah Kotor (-), Faring Hiperemis
(-), Perdarahan Gusi (-)

• Leher : Pembesaran KGB (-), Massa (-)

Thorax
• Dinding toraks : Warna kuning langsat, bentuk dinding toraks normal, tidak ada lesi
pada kulit, tidak ada bekas luka operasi.

Paru
• Inspeksi : Gerakan Dada Saat Statis Dan Dinamis Kanan Dan Kiri Simetris,
tidak bagian Yang Tertinggal, Tampak Retraksi Sela Iga

• Palpasi : Tidak Teraba Benjolan, Massa, Dan Tidak Ada Pelebaran Iga

• Perkusi : Sonor Di Seluruh Lapang Paru

• Auskultasi : Suara Napas Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wheezing -/-

Jantung
• Inspeksi : Iktus Cordis Tidak Terlihat
• Palpasi : Iktus Cordis Teraba Di Sela Iga V, Garis Midklavikularis Kiri
• Perkusi : Redup, Batas Jantung Dalam Batas Normal
• Auskultasi : Bunyi Jantung I Dan II Regular, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen

• Inspeksi : Abdomen Datar, Lesi (-), Bekas Operasi sesar (+), benjolan (-),
pembuluh darah (-), distensi (-)

• Auskultasi : Bising Usus (+), hiperperistaltik

• Perkusi : Hipertimpani, Nyeri Ketok CVA -/-

• Palpasi : Dinding Perut Tegang (+), Nyeri Tekan Epigastrium (+), Nyeri
Tekan RLQ (+), Rovsing Sign (+), Rebound tenderness (+), Obturator Sign
(+), Psoas Sign (-), Massa(-), Undulasi (-), Distensi (-)

• Hati : Tidak Teraba Adanya Pembesaran, tepi lancip, permukaan datar,


nyeri tekan (-)

• Limpa : Tidak Teraba Adanya Pembesaran, nyeri (-)

• Ginjal : Tidak Teraba , Ballotement (-)

Pemeriksaan Genitalia
• Eksterna dan interna tidak dilakukan karena tidak terdapat indikasi

Anus dan Rektum


• Tidak dilakukan (tidak ada indikasi)

STATUS LOKALIS
• Inspeksi
Simetris, datar, benjolan (-), bekas operasi (+), pembuluh darah (-), distensi (-), caput
medusa (-)
• Palpasi
Dinding perut: Tegang (+), Nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan RLQ (+),
Rovsing sign (+), rebound tenderness (+), Psoas sign (-), Obturator sign (+),
Massa (-), undulasi (-), distensi (-)
• Perkusi
Hipertimpani pada seluruh lapang abdomen
• Auskultasi
Bising Usus (+) Hiperperistaltik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Catatan

Mc Burney Area : Tampak appendiks yang edematous dengan diameter +/- 0,71 cm,
compressible, nyeri tekan transduser (+), yang pada CDUS tampak peningkatan vascularisasi
di sekitar nya.
Kesimpulan :
 Sesuai gambaran Appendicitis

Resume :
Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Semarang, pada tanggal 03 Juli 2023 dengan
keluhan nyeri, pada perut kanan bawah sejak 4 hari SMRS. Keluhan awalnya sudah dirasakan
semenjak 1 minggu lalu, nyeri perut dirasakan pada daerah sekitar pusar, kemudian berpindah
ke perut bagian kanan bawah. Keluhan dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan hilang timbul.
Setelah itu nyeri pada perut kanan bawah terasa semakin memberat, dimana pada akhirnya
nyeri berlangsung terus menerus hingga mengganggu jika ingin beraktivitas. Faktor yang
memperberat keluhan saat berjalan atau membungkuk. Sedangkan keluhan membaik pada
saat istirahat, yaitu posisi berbaring. Awalnya pasien mengira bahwa nyeri yang dirasakan ini,
karena pasien memiliki riwayat bekas luka Operasi Sesar. Keluhan ini baru pertama kali
dirasakan, sebelum timbul keluhan ini pasien juga cukup sering mengkonsumsi makanan
yang pedas, cepat saji, serta kurang mengkonsumsi makanan berserat. Keluhan disertai juga
dengan mual, badan terasa pegal-pegal, nafsu makan juga berkurang.
Pada Pemeriksaan Fisik : Tanda-tanda vital dalam batas normal, pada palpasi : Dinding
Perut Tegang (+), Nyeri Tekan Epigastrium (+), Nyeri Tekan RLQ (+), Rovsing Sign (+),
Rebound Tenderness (+), Obturator Sign (+)
Pada Pemeriksaan Penunjang : Ditemukan pada hasil Lab. Hematologi leukosit meningkat
(11.49/mm3). Serta penurunan Hb (10.2 g/dl), Ht (31%), Eritrosit (3.81/mm3). Hasil Lab.
Urinalisa terdapat sedikit kekeruhan pada urine, jumlah Leukosit dan Eritrosit diatas batas
normal. Pada USG Abdomen hasil sesuai gambaran Appendicitis.

DIAGNOSA :

• APPENDICITIS
TATALAKSANA
Terapi awal di IGD :
• Infus RL 20 TPM
• Injeksi ketorolak 1 amp IV
• Injeksi omeprazol 1 amp IV
• Injeksi ondansentron 4 mg IV
Terapi Konsul dr. Specialis Bedah :
• Pro Laparotomi Explorasi + APPENDEKTOMI
Rencana Evaluasi
• Konsul dokter spesialis bedah dan konsul dokter spesialis penyakit dalam
untuk tatalaksana lebih lanjut
• Monitoring tanda-tanda vital dan keadaan umum

Edukasi
• Edukasi keluarga dan pasien mengenai penyakit pasien dan rencana
tatalaksana
• Edukasi keluarga dan pasien mengenai perawatan luka
• Edukasi keluarga dan pasien mengenai nutrisi dan minum seimbang
Prognosis
• Ad Vitam : dubia ad bonam
• Ad Functionam : dubia ad bonam
• Ad Sanationam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Appendicitis merupakan peradangan yang terjadi pada lapisan mukosa dari apendiks
vermiformis yang kemudian dapat menyebar ke bagian lainnya dari apendiks. Peradangan ini
terjadi karena adanya sumbatan atau infeksi pada lumen apendiks. Apendisitis yang tidak
segera ditangani dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti perforasi atau sepsis,
bahkan dapat menyebabkan kematian. Apendisitis akut merupakan kasus abdomen akut
paling sering yang membutuhkan pembedahan darurat.1

II. Anatomi

Apendiks adalah struktur tambahan yang menempel pada caecum. Berbentuk tabung
bergulung yang berputar dengan ujung buntu, dan berukuran sekitar 8 cm. Disebut apendiks
vermiform karena (Vermiform : Bentuk cacing; Appendiks : Tambahan). Mesenterium
apendiks, yang disebut mesoapendiks, menempel ke bagian inferior mesenterium ileum.
Dinding apendiks terdiri dari lapisan otot melingkar di bagian dalam dan lapisan otot
longitudinal dibagian luar. Apendiks dilapisi oleh epitel kolumner dengan beberapa glanduler
dan sel neuroendokrin. Dasar apendiks terletak di dinding posteromedial cecum, sekitar 2,5
cm di bawah persimpangan ileocecal. Ujung apendiks sifatnya mengapung di rongga
peritoneal dan arahnya dapat bervariasi yaitu : arah retrocecal sebanyak 64%, arah subcecal
sebanyak 2%, arah pelvic sebanyak 32%, arah preileal sebanyak 1%, dan arah postileal
sebanyak 0,5%.1

Gambar 1. Anatomi Appendicitis1


Suplai darah ke apendiks berasal dari a.apendikularias, cabang a.ileokolik. Arteri ini
melalui mesoappendix posterior ke terminal ileum. Arteri apendikularis merupakan arteri
tanpa kolateral, sehingga jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi
apendiks, akan mengalami gangrene. Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang
n.vagus yang sejalan dengan a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Karena itu nyeri viseral pada Apendisitis
bermula di sekitar umbilicus. Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu
normalnya dialirkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks diduga berperan dalam terjadinya Apendisitis.1

III. Etiologi

Appendicitis merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal menjadi faktor penyebabnya.


Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor pencetus disamping Hyperplasia Kelenjar
Limfoid, Fekalit, Benda Asing, Parasit Dan Tumor Maupun Keganasan. Penyebab lain yang
diduga menimbulkan apendisitis yaitu erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
E.Histolytica. Tersumbatnya apendiks menyebabkan penumpukan cairan di dalam lumen,
karena kapasitasnya yang kecil maka terjadi peningkatan tekanan intraluminal dan dilatasi
dengan cepat. Saat tekanan intraluminal mencapai lebih dari 85 mmHg, terjadi peningkatan
tekanan pada vena sedangkan aliran dari arteri masih berlanjut. Hal ini mengakibatkan
gangguan pada aliran vaskular dan limfatik yang menyebabkan pembengkakan dan iskemia
pada apendiks. Mukosa mengalami hipoksia dan mulai membusuk, mengakibatkan invasi
dari bakteri intraluminal pada dinding apendiks. Bakteri yang biasa mengakibatkan
Apendisitis adalah Escherichia coli (76%), Enteroccocus (30%), Bacteroides (24%) dan
Pseudomonas (20%). Infeksi menyebabkan peradangan yang dapat meluas ke serosa,
peritoneum parietal, dan organ lain yang berdekatan. Peradangan ini menstimulasi ujung saraf
aferen dari T8-T10 menghasilkan nyeri alih di daerah epigastrik dan periumbilikus. Nyeri ini
biasanya akan bergeser dan kemudian menetap di kuadran kanan bawah. Jika hal ini terus
dibiarkan aliran darah pada arteri akan terganggu dan menyebabkan infark. Lebih lanjut lagi
dapat mengakibatkan gangren dan perforasi, yang biasanya terjadi antara 24 dan 36 jam.2
IV. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia


folikel limfoid, fekalit, benda asing, struktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,
atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
diikuti dengan ganggren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas
berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga
timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut
dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan
apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.2
Gambar 2. Patofisiologi 2

V. Klasifikasi

Klasifikasi Klasifikasi apendisitis menurut International Classification Of Disease (ICD)


terbagi menjadi 3 yaitu :

a. Appendicitis akut, radang mendadak di umbai cacing yang memberikan tanda, disertai
maupun tidak disertai rangsangan peritoneum lokal.

b. Appendicitis rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang di perut bagian kanan bawah
yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis
akut pertama sembuh spontan.

c. Appendicitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua
minggu (sumbatan di lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa), dan
keluhan hilang setelah apendiktomi.1-2

VI. Alvarado skor

Saat ini telah banyak upaya yang dilakukan untuk dapat menegakkan diagnosis
Apendisitis, salah satunya adalah dengan sistem skor Alvarado. Skor ini menggabungkan
antara 20 gejala, tanda, dan hasil laboratorium dari pasien suspek apendisitis. Dibawah ini
merupakan kriteria penilaian dari skor. 2
Tabel 3. Skor Alvarado2

Dari tabel diatas, jika skor Alvarado <4 artinya risiko untuk terjadinya Apendisitis rendah
sehingga perlu kajian ulang terhadap diagnosis bandingnya. Skor 4-6 menunjukkan risiko
sedang untuk apendisitis, maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
imaging untuk membantu menegakkan diagnosis Apendisitis akut. Skor >6 menunjukkan
risiko tinggi untuk terjadinya Apendisitis sehingga dapat segera dilakukan penatalaksanaan
selanjutnya seperti apendiktomi.3

VII. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

Pada Apendisitis terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan protein
reaktif. Pada pemeriksaan darah lengkap yang dijadikan penanda untuk apendisitis akut
adalah leukositosis dan neutrofilia. Peningkatan sel darah putih lebih dari 10.000/ml
menandakan Apendisitis sederhana, sedangkan peningkatan lebih dari 15 18.000/ml
menandakan Apendisitis dengan perforasi. Peningkatan C-reactive protein (CRP)
biasanya terjadi pada Apendisitis yang gejalanya telah timbul lebih dari 12 jam. Dari
kombinasi ketiga temuan tersebut dapat meningkatkan sensitifitas diagnosis untuk
Apendisitis akut sebesar 97% -100%.3

Pemeriksaan Radiologi

a) Apendikogram
Pemeriksaan apendikogram dilakukan dengan meminta pasien untuk meminum cairan
kontras kemudian dilakukan pengambilan hasil X-ray. Prosedur ini cukup invasif dan
radiatif sehingga membutuhkan indikasi yang kuat untuk penggunaannya. Kecurigaan
terjadinya Apendisitis pada pemeriksaan ini adalah jika tidak terdapat pengisian dari
cairan kontras atau pengisian sebagian, ditemukan gambaran lumen yang ireguler, dan
adanya edema mukosa lokal pada ujung caecum. Sebuah penelitian mengaatakan bahwa
apendikogram memiliki sensitifitas sebesar 83%. 3

USG

Alat pencitraan yang paling sering digunakan sebagai penunjang diagnosisi


Apendisitis adalah USG, walaupun akurasinya lebih rendah dibanding CT-Scan dan 16
MRI. Ultrasonografi menjadi pilihan utama karena penggunaanya yang mudah, murah,
dan tidak invasif. Sayangnya tingkat akurasi USG sangat bergantung pada operator dan
alat yang digunakan. Faktor lain yang mempengaruhi hasil USG adalah obesitas, gas
dalam lengkungan usus di depan apendiks, jumlah cairan inflamasi di sekitar apendiks,
dan posis dari apendiks. Cara melakukan pemeriksaan menggunakan USG adalah
sebagai berikut : Pasien berbaring dalam posisi telentang pada permukaan yang tegas.
Kuadran kanan bawah dieksplorasi dengan kompresi yang tegas dan bertahap
menggunakan transduser garis frekuensi tinggi. Posisi tangan kiri pemeriksa di daerah
lumbal pasien dan mencoba untuk mengecilkan perut melawan transduser. Atau meminta
pasien untuk berbaring dalam posisi dekubitus lateral kiri dan pemeriksa melakukan
pendekatan USG dari lateral dan posterior. Kriteria pencitraan USG yang digunakan
untuk mendiagnosis Apendisitis adalah jika terdapat :

i) Temuan appendiceal : Penebalan dinding apendiks, diameter lumen >6mm,


hiperekoik dengan bayangan posterior karena adanya apendikolith, non-
compressible apendiks, hiperekoik pada mukosa dan lapisan otot lumen, dan
peningkatan aliran darah pada dinding apendiks pada pewarnaan dopler.
ii) Temuan periappendcieal : Hiperekoik lemak perienterik karena adanya
peradangan pada lemak di sekitar apendiks, penebalan dinding caecum
>5mm, apendikolith ekstra luminal, dan adanya cairan bebas disekitar
apendiks. Minimal terpenuhi 2 dari kriteria di atas untuk dapat menegakkan
diagnosis apendisitis Sebuah penelitian menyebutkan bahwa dari beberapa
kriteria diatas, yang paling baik spesifisitasnya dalam mendisgnosis
apendisitis adalah jika ditemukan diameter lumen >6mm dan non-
compressible apendiks.3

Gambar 4. Tampilan USG dari apendiks normal. a) Gambar transversal yang


menunjukkan kemunculan cincin konsentris dengan echogenisitas bergantian (panah
putih), yang mewakili mukosa, otot dan serosa pada apendisk. b) Caecum apendiks
dapat diamati pada sumbu membujur, di tempat yang paling umum (panah putih),
pada posisi medial melawan pembuluh darah iliaka (warna Doppler atau panah
orange).3

CT-Scan

Pemeriksaan computed tomography (CT-Scan) pada dasarnya merupakan


pemeriksaan imaging yang paling diakui untuk membantu penegakan diagnosis Apendisitis
pada orang dewasa. Di Amerika CT-Scan digunakan pada 86% pasien Apendisitis, dengan
sensitifitas sebesar 92,3%. Namun bahaya radiasi dan keterbatasan sarana merupakan
masalah dari penggunaan alat ini.3

MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Penggunaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat mengurangi resiko dari


radiasi, namun tujuan khusus dan spesifisitasnya dalam mendiagnosis akut abdomen masih
dipertanyakan. Selain itu tidak semua rumah sakit di dunia memiliki sarana yang memadai
untuk MRI, dan penggunaanya yang tidak bisa langsung merespon keadaan darurat menjadi
kekurangan dari alat ini.3

VIII. Diagnosis

Sampai saat ini penegakkan diagnosis untuk Apendisitis akut masih menjadi sebuah
tantangan tersendiri bahkan bagi ahli dan professional sekalipun. Hal ini karena tanda dan
gejala yang terjadi pada pasien tidak spesifik dan memiliki banyak diagnosis banding yang
harus disingkirkan, sedangkan komplikasi yang dihadapi pun tidak sembarangan.
Pemeriksaan yang dilakukan haruslah kompleks untuk dapat menghasilkan akurasi diagnosis
yang baik sehingga angka negatif apendiktomi dapat diminimalisir.4

1. Anamnesis
Pasien Apendisitis akut biasanya datang dengan keluhan nyeri pada perut bagian
kanan bawah. Nyeri ini biasanya digambarkan sebagia nyeri kolik di daerah
periumbikal yang nyerinya dirasa intensif pada 24 jam pertama, kemudian menjadi
nyeri tajam dan konstan yang berpindah ke daerah fosa iliaka kanan. Anamnesis
dilakukan untuk menanyakan adanya gejala lain yang menyertai seperti adanya mual,
muntah, konstipasi, penurunan nafsu makan, dan demam. Namun gejala gejala ini
tidak spesifik karena dapat terjadi pada gangguan lain dari abdomen
2. Pemeriksaan Fisik
Lokasi dari apendiks sangan bervariasi pada tiap individu, oleh karena itu tanda dan
gejala Apendisitis biasa bisa muncul atau tidak pada individu yang berbeda.
Pemeriksaan fisik digunakan untuk memastikan adanya nyeri yang ditimbulkan oleh
apendisitis pada berbagai posisi tubuh tertentu. Berikut ini merupakan beberapa
pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menunjang diagnosis apendisitis :
a) Rovsing’s sign : positif bila terdapat nyeri pada perut kuadran kanan bawah saat
dilakukan penekana pada perut kuadran kiri bawah.
b) Blumberg’s sign : positif bila terdapat nyeri pada perut kuadran kanan bawah saat
tekanan pada perut kuadran kiri bawah dilepas.
c) Psoas sign : positif bila terdapat nyeri pada kuadran kanan bawah yang muncul saat
dilakukan gerakan ekstensi paha kanan pasien, meregangkan otot iliopsoas dengan
pasien dalam posisi dekubitus lateral kiri, ini mungkin menandakan lokasi retrocaecal
dari apendisitis.
d) Obturator sign : positif bila terdapat nyeri pada kuadran kanan bawah yang muncul
saat dilakukan rotasi internal pasif dari paha kanan yang dilipat, ini mungkin
menandakan lokasi apendisitis yang dekat m.obturatorius. 4

IX. Tatalaksana
a. Medikamentosa
Pemberian antibiotik merupakan bentuk penatalaksanaan konservatif yang
dilakukan pada pasien dengan apendisitis tanpa perforasi. Pemberian antibiotik
dilakukan melalui intravena kemudian dilanjutkan pemberian secara oral. Data sebuah
penelitian menyebutkan bahwa angka komplikasi pada kelompok ini jauh lebih
rendah dibanding kelompok yang mendapat tindakan apendiktomi. Komplikasi yang
dapat terjadi meliputi perforasi, adhesi bowel obstruction, dan kematian. Namun pada
akhirnya 10% pasien membutuhkan tindakan operasi darurat, dan 17% pasien
mengalami kekambuhan selama follow-up 1 tahun. Secara keseluruhan 73% pasien
dewasa dengan suspek apendisitis akut mungkin tidak memerlukan tindakan operasi.
b. Operatif
Dalam melakukan Apendiktomi terdapat dua posedur yang sering dilakukan yaitu,
Teknik Terbuka (Pembedahan Konvensional Laparatomi) Dan Laparoskopi
Apendiktomi. Kedua prosedur ini dilakukan sebagai penatalaksanaan utama untuk
Apendisitis akut. Hal ini untuk mencegah terjadinya komplikasi berupa perforasi dan
sepsis yang dapat menyebabkan kematian.
1. Teknik Terbuka (Pembedahan Konvensional Laparatomi)
Laparatomi adalah prosedur vertical pada dinding perut ke dalam rongga
perut. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan merasakan organ dalam untuk
membuat diagnosa apa yang salah. Adanya teknik diagnosa yang tidak invasif,
laparatomi semakin kurang digunakan dibanding terdahulu. Prosedur ini hanya
dilakukan jika semua prosedur lainnya yang tidak membutuhkan operasi, seperti
laparoskopi yang seminimal mungkin tingkat invasifnya juga membuat laparatomi
tidak sesering terdahulu. Bila laparatomi dilakukan, begitu organ-organ dalam dapat
dilihat dalam masalah teridentifikasi, pengobatan bedah harus segera dilakukan.
Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi laparatomi dilakukan
bila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen, misalnya trauma
abdomen. Bila klien mengeluh nyeri hebat dan gejala-gejala lain dari masalah internal
yang serius dan kemungkinan penyebabnya tidak terlihat seperti usus buntu, tukak
peptik yang berlubang, atau kondisi ginekologi maka dilakukan operasi untuk
menemukan dan mengoreksinya sebelum terjadi keparahan lebih. Laparatomi dapat
berkembang menjadi pembedahan besar diikuti oleh transfusi darah dan perawatan
intensif.4

2. Laparoskopi

Laparaskopi berasal dari kata lapara yaitu bagian dari tubuh mulai dari iga paling
bawah samapi dengan panggul. Teknologi laparoskopi ini bisa digunakan untuk
melakukan pengobatan dan juga mengetahui penyakit yang belum diketahui
diagnosanya dengan jelas. Keuntungan bedah laparoskopi :

- Pada laparoskopi, penglihatan diperbesar 20 kali, memudahkan dokter dalam


pembedahan.
- Secara estetika bekas luka berbeda dibanding dengan luka operasi pasca bedah
konvensional. Luka bedah laparoskopi berukuran 3 sampai 10 mm akan hilang
kecuali klien mempunyai riwayat keloid.
- Rasa nyeri setelah pembedahan minimal sehingga penggunaan obat-obatan
dapat diminimalkan, masa pulih setelah pembedahan lebih cepat sehingga
klien dapat beraktivitas normal lebih cepat.5
Gambar 5. Laparatomi dan Laparoskopi 5

X. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada apendisitis yaitu :
a. Perforasi
Perforasi berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum, dan letak
usus halus. Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan peningkatan suhu 39,50C
tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut dan leukositosis meningkat akibat
perforasi dan pembentukan abses.
b. Peritonitis
Peritonitis yaitu infeksi pada sistem vena porta ditandai dengan panas tinggi 39 0C
– 400C menggigil dan ikterus merupakan penyakit yang jarang.6

XI. Prognosis

Prognosis baik, jika didiagnosis dan diobati lebih awal, sebagai prosedur bedah yang
relatif aman, pemulihan diharapkan terjadi dalam 24 hingga 48 jam. Kasus yang muncul
dengan abses lanjut, sepsis, dan peritonitis mungkin memiliki perjalanan yang lebih lama dan
rumit, mungkin memerlukan pembedahan tambahan atau intervensi lain.6
XII. Kesimpulan

Appendicitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab


abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan. Klasifikasi Klasifikasi apendisitis menurut International Classification Of
Disease (ICD) terbagi menjadi 3 yaitu :

- Appendicitis Akut
- Appendicitis Radang
- Appendicitis Kronis
- Appendicitis Rekuens

Penyebab penyakit appendicitis secara pasti belum diketahui. Tetapi, terjadi


appendicitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak faktor pencetus
terjadinya penyakit ini diantara nya sumbatan lumen apendiks, hiperplasia jaringan limfe,
fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain
yang diduga dapat menimbulkan appendicitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit
seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis juga merupakan faktor
pencetus terjadinya penyakit ini. Penatalaksanaan appendicitis yaitu dengan tindakan operasi
yang dinamakan Appendectomy baik dengan laparoskopi atau pun dengan bedah terbuka.
Komplikasi yang dapat terjadi pada appendicitis seperti perforasi yang merupakan massa
yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus halus. Dan juga peritonitis yaitu
infeksi pada sistem vena porta ditandai dengan panas tinggi 39 0C – 400C menggigil dan
ikterus merupakan penyakit yang jarang.
Daftar Pustaka

1. Sjamsuhidajat, de jong. 2016. Textbook of Surgery. Jakarta: EGC

2. Price SA & Wilson LM. 2012. Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes.
Jakarta: EGC.

3. Ministry of Health. 2015. Appendicitis Incidence Rate. Jakarta: Ministry of Health

4. Alvarado A. 2019. Improved Alvarado Score (MANTRELS) for the Early Diagnosis of
Acute Appendicitis. International Journal of Surgery Research and Practice, 6: 098.

5. Maria, Naim N, Armah Z. 2019. Description of the Number of Lymphocytes and


Neutrophils in Patients with Acute Appendicitis (appendicitis) at Dr. Wahidin Sudirohusumo
General Hospital, Makassar. Journal of Health Analyst Media, 10 (2): 119-125

6. Sabiston DC. 2011. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai