Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

TEKNOLOGI PANGAN

Di Susun Oleh :

SUCI ANI

INSTITUT OF TEKNOLOGI
PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Modifikasi Pati”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi
Pengolahan Pangan.

Semoga makalah ini juga dapat menjadi bacaan yang menarik. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Meilian tiselaku dosen pengajar mata kuliah
Teknologi Pengolahan Pangan dan kepada orang tua yang telah memberikan dorongan
semangat dan doa.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kami mengharapkan saran dan kritik yang dapat melengkapi kekurangan yang ada pada
makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
pada umumnya dan bagi kami pada khususnya.

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................. i

Daftar Isi..................................................................................................... ii

Bab I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang........................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 2

1.3 Tujuan........................................................................................ 2

Bab II. Isi

2.1 Pengertian Pati dan Modifikasi Pati…………………............... 3

2.2 Metode Modifikasi Pati.............................................................. 8

2.3 Aplikasi Modifikasi Pati Pada Produk Pangan........................... 18

Bab III. Penutup

3.1 Kesimpulan................................................................................. 24

Daftar Pustaka.............................................................................................. 22
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pati banyak digunakan di dalam industry makanan, dan keberadaannya sangat


penting dalam suatu struktur zat pangan.  Pati merupakan jenis karbohidrat yang
terutama dihasilkan oleh tanaman. Pati tersusun dari dua makromolekul
polisakarida, yaitu amilosa dan amilopetin, yang keduanya tersimpan dalam bentuk
butiran yang disebut granula pati. Amilosa tersusun dari molekul-molekul glukosa
yang diikat dengan ikatan glikosidik a-1,4 yang membentuk struktur linear,
sedangkan amilopektin di samping disusun oleh struktur utama linear juga memiliki
struktur yang bercabang-cabang, dimana titik-titik percabangannya diikat dengan
ikatan glikosidik alfa-1,6. Amilopektin memiliki struktur molekul yang lebih besar
dibanding amilosa dan umumnya kandungannya di dalam granula pati lebih banyak
dibanding amilosa. Kandungan amilosa dan amilopektin dan struktur granula pati
berbeda-beda pada berbagai jenis sumber pati menyebabkan perbedaan sifat
fungsional pati, seperti kemampuan membentuk gel dan kekentalannya.

Pati memegang peranan penting dalam industry pengolahan pangan secara luas
juga dipergunakan dalam industry seperti kertas, lem, tekstil, lumpur pemboran,
permen , glukosa , dekstrosa, sirop fruktosa , dan lain-lain. Dalam perdagangan
dikenal dua macam pati yang telah dimodifikasi dan pati yang telah dimodifikasi.
Pati yang belum dimodifikasi atau pati biasa adalah semua  jenis  pati yang
dihasilkan dari pabrik pengolahan dasar misalnya tepung tapioka. Pati alami
seperti  tapioka, pati jagung, sagu dan pati-patian lain mempunyai  beberapa kendala
jika dipakai sebagai bahan baku dalam industry pangan maupun non pangan. Jika
dimasak pati membutuhkan waktu yang lama (hingga butuh energy tinggi ), juga
pasta yang terbentuk keras dan tidak bening. Disamping itu sifatnya terlalu lengket
dan tidak tahan perlakuan dengan asam . kendala-kendala tersebut menyebabkan
pati alami terbatas penggunaannya dalam industri. Padahal sumber dan produksi
pati-patian di Negara kita sangat berlimpah, yang terdiri dari tapioca (pati singkong),
pati sagu, pati umbi-umbian selain singkong, pati buah-buahan (misalnya pati
pisang) dan banyak lagi sumber pati yang belum diproduksi secara komersial.

Dilain pihak, industri pengguna pati menginginkan patin yang mempunyai


kekentalan yang stabil baik pada suhu tinggi maupun rendah, mempunyai ketahanan
yang baik terhadap perlakuan mekanisdan daya pengentalannya tahan pada kondisi
asam dan suhu tinggi. Sifat-sifat penting yang diinginkan dari pati termodifikasi
(yang tidak di miliki oleh pati alam) diantaranya adalah: kecerahannya lebih tinggi
(pati lebih putih), retrogradasi yang rendah, kekentalannya lebih rendah, gel yang
terbentuk lebih jernih, tekstur gel yang di bentuk lebih lembek, kekuatan regang
yang rendah, granula pati lebih mudah pecah, waktu dan suhu gelatinisasi yang lebih
tinggi, serta waktu dan suhu granula pati untuk pecah lebih rendah. Modifikasi sifat
dan perkembangan teknologi di bidang pengolahan pati, pati alami dapat di
modifikasi disini dimaksudkan sebagai perubahan struktur molekul dari yang dapat
dilakukan secara kimia, fisik maupun enzimatis.

Jadi modifikasi pati sering dilakukan oleh beberapa industri untuk memperbaiki
kualitas dari produk yang menggunakan pati sebagai bahan dasarnya.  Modifikasi
pati dilakukan untuk mengatasi sifat-sifat dasar pati alami yang kurang
menguntungkan seperti yang akan dijelaskan di bawah ini, sehingga dapat
memperluas penggunaannya dalam proses pengolahan pangan serta menghasilkan
karakteristik produk pangan yang diinginkan. 

1.2 Rumusan Masalah


- Apa Definisi pati dan Modifikasi Pati ?
- Jelaskan Metode Modifikasi Pati?
- Jelaskan aplikasi Modifikasi Pati pada produk pangan?

1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui penjelasan tentang pati dan modifikasi pati
- Untuk mengetahui metode-metode dalam modifikasi pati
- Untuk mengetahui aplikasimodifikasi pati dalam produk pangan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Pati dan Modifikasi Pati

- Pati
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri
dari amilosa dan amilopektin dimana besarnya perbandingan amilosa dan amiloektin
ini berbeda-beda tergantung jenis patinya. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya,
tergantung dari panjang rantai karbonnya, serta lurus atau bercabang. Dalam bentuk
aslinya secara alami pati merupakana butiran-butiran kecil yang disebut granula.
Bentuk dan ukuran granula merupkan karakteristik setiap jenis pati, karena itu
digunakan untuk identifikasi (Hill dan Kelly, 1942). Bentuk dan ukuran ganula pati
berbeda-beda tergantung dari sumber tanamannya. Granula pati beras memiliki
ukuran yang kecil (3-8 µm), berbentuk poligonal dan cenderung terjadi agregasi atau
bergumpal-gumpal. Granula pati jagung agak lebih besar (sekitar 15 µm), berbentuk
bulat ke arah poligonal. Granula tapioka berukuran lebih besar (sekitar 20 µm),
berbentuk agak bulat dan pada salah satu bagian ujunnya berbentuk kerucut. Granula
pati gandum cenderung berkelompok dengan berbagai ukuran. Ukuran normalnya
adalah 18 µm, granula yang lebih besar berukuran rata-rata 24 µm dan granula yang
lebih kecil berukuran 7-8 µm. Bentuk granula pati gandum adalah bulat sampai
lonjong. Pati kentang berbentuk oval dan sangat besar, berukuran rata-rata 30-50
µm.

- Proses Pembuatan Tepung Tapioka


Tepung tapioka berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel umbi
singkong. Skema proses pembuatan tepung tapioka disajikan pada Gambar 2. Adapun
urutan pengerjaan proses pembuatannya adalah sebagai berikut:
1. Pengupasan dan pencucian
Singkong terlebih dahulu dikupas kulitnya. Setelah singkong dikupas kemudian dicuci
untuk menghilangkan lendir di bawah kulit. Pencucian dilakukan dalam bak permanen
dan pencucian yang baik adalah air selalu mengalir terus menerus, dengan demikian
air selalu diganti.
2. Pemarutan
Selesai pencucian, singkong dimasukkan dalam mesin pemarut untuk diparut menjadi
bubur. Mesin parut terus menerus dicuci dengan air. Air ini mengalirkan bubur ke dalam

3
satu bak dan disinilah bubur dikocok. Dari bak bubur singkong dimasukkan ke alat yang
terbuat dari anyaman kawat halus.
3. Pemerasan dan penyaringan
Pemerasan dan penyaringan dilakukan dengan mesin (saringan getar). Alat penyaring
ini terbuat dari anyaman kawat halus atau selapis tembaga tipis yang berlubang kecil-
kecil. Bubur dimasukkan dalam alat dan pengairan terus berlangsung. Air dari
penyaringan ditapis dengan kain tipis yang dibawahnya disediakan wadah untuk
menampung aliran air tersebut. Di atas saringan ampas tertahan, sementara air yang
mengandung pati ditampung dalam wadah pengendapan.

Ubi Kayu
Pengupasan Kulit

Air Pencucian Air Buangan

Pemarutan

Air Pemerasan Ampas/ Onggok

Pemisahan Pati Fraksi cair isolat pati

Pengeringan

Penggilingan

TepungTapioka

Gambar 2.2 Skema proses pembuatan tepung tapioka


4. Pengendapan
Pengendapan dimaksudkan untuk memisahkan pati murni dari bagian lain seperti
ampas dan unsur-unsur lainnya. Pada pengendapan ini akan terdapat butiran pati
termasuk protein, lemak, dan komponen lain yang stabil dan kompleks. Jadi akan sulit
memisahkan butiran pati dengan komponen lainnya. Bahkan ini terdapat berbagai
senyawa sehingga dapat menimbulkan bau yang khas. Senyawa alkohol dan asam
organik merupakan komponen yang mempunyai bau khas. Butiran pati yang akan

4
diperoleh berukuran sekitar 4-24 mikron (1 mikron sama dengan 0,001 mm). Sifat kekentalan
(viskositas) cairan tapioka tidak jauh berbeda dengan air biasa. Butiran pati yang berbentuk bulat
dan mempunyai berat jenis 1,5 dan butiran ini harus cepat diendapkan. Kecepatan endapan sangat
ditentukan oleh besarnya butiran pati, keasaman air rendaman, kandungan protein yang ikut,
ditambah zat koloidal lainnya. Pengendapan butiran (granula) umumnya berlangsung selama 24
jam dan akan menghasilkan tebal endapan sekitar 30 cm.
5. Pengeringan
Pengeringan disini dimaksudkan untuk menguapkan kandungan air sehingga diperoleh tepung
tapioka yang kering. Untuk itu endapan pati harus segera dikeringkan. Pengeringan bisa
menggunakan sinar matahari, atau pengeringan buatan. Pengeringan buatan yang sering
digunakan adalah batch drier, oven drier, cabinet drier, dan drum drier. Endapan pati yang
terbentuk semi cair ini mempunyai kandungan air sekitar 40 % dan dengan pengeringan langsung
akan bisa turun sampai 17%. Dalam pengeringan harus diperhatikan faktor suhu terutama yang
0
menggunakan panas buatan. Suhu jangan melebihi 70 - 80 C. Gumpalan-gumpalan pati setelah
keluar dari pengeringan langsung dihancurkan guna mendapatkan tepung yang diinginkan.
Penghancuran dapat melalui rol atau disingrator. Hasil dari penghancuran ini masih berupa
tepung kasar. Untuk memperoleh tepung yang halus maka perlu disaring atau diayak.

- Pati Termodifikasi

Secara umum, pati terbagi menjadi dua kelompok yaitu pati asli dan pati termodifikasi.
pati alami memiliki kekurangan yang sering menghambat aplikasinya di dalam proses
pengolahan pangan, sehingga diperlukan modifikasi terhadap pati untuk menutupi
kekurangannya. Pati termodifikasi adalah pati yang gugus OH-nya telah mengalami
perubahan reaksi kimia (Munawaroh, 1998). Menurut Charalambous (1995), menyatakan
bahwa amilosa dan amilopektin mempunyai perbedaan pada sifat kelarutannya dalam air.
Amilosa sulit terlarut dan tidak stabil pada larutan air, membentuk agregat dan akan
mengalami pengerasan (retrogradasi) tidak seperti amilopektin, karena cabang dari struktur
lebih stabil dan lebih sedikit mengalami pengerasan.

Pada pengolahan pangan, produk pati dan turunan pati mempunyai nilai nutrisi dan
memberikan sifat fungsional. Pati dan turunannya mengatur atau mengontrol keindahan dan
sifat organoleptik dari beberapa proses pengolahan pangan. Penambahan pati termodifikasi
atau turunan pati ke dalam makanan bertujuan untuk memudahkan proses pengolahan,
pemberi tekstur, pengental, mengatur kadar air, konsistensi, dan stabilitas daya simpan serta
menghasilkan kenampakan yang diinginkan (Hui, 1992).
Pati alami dapat dibuat menjadi pati termodifikasi atau modified starch, dengan sifat-sifat
yang dikehendaki atau sesuai dengan kebutuhan. Di bidang pangan pati termodifikasi banyak
digunakan dalam pembuatan salad cream, mayonnaise, saus kental, jeli mermable, produk-
produk konfeksioneri (permen, coklat dan lain-lain), breaded food, lemon curd, pengganti
gum arab dan lain-lain. Sedangkan di bidang non pangan banyak digunakan pada industri
kertas (paper coating,surface sizing), industri tekstil (sizing,finishing printing
thickening,laundry finishing), bahan bangunan (wall boards,acoustic additive wood pulp,
isolasi) dan penggunaan lain misalnya sebagai bahan pencampuran pada pelarut insektisida
dan fungisida, bahan pencampur sabun detergen dan sabun batangan.

Dewasa ini metode yang banyak digunakan untuk memodifikasi pati adalah modifikasi
dengan asam, modifikasi dengan enzim, modifikasi dengan oksidasi dan modifikasi ikatan
silang. Setiap metode modifikasi tersebut menghasilkan pati termodifikasi dengan sifat
berbeda-beda. Modifikasi dengan asam akan menghasilkan pati dengan sefat lebih encer jika
dilarutkan, lebih mudah larut, dan berat molekulnya lebih rendah. Modifikasi dengan enzim,
biasanya menggunakan enzim alfaamilase, manghasilkan pati yang kekentalannya setabil
pada suhu panas maupun pati dengan sifat lebih jernih, kekuatan regangan dan kekentalannya
lebih rendah. Sedangkan modifikasi dengan ikatan silang menghasilkan pati yang
kekentalannya tinggi jika dibuat larutan dan lebih tahan perlakuan mekanis.

Jadi modifikasi pati sering dilakukan oleh beberapa industri untuk memperbaiki kualitas
dari produk yang menggunakan pati sebagai bahan dasarnya.  Modifikasi pati dilakukan
untuk mengatasi sifat-sifat dasar pati alami yang kurang menguntungkan seperti yang akan
dijelaskan di bawah ini, sehingga dapat memperluas penggunaannya dalam proses
pengolahan pangan serta menghasilkan karakteristik produk pangan yang diinginkan.
Beberapa kekurangan dari pati alami sendiri adalah:

-     Pati alami mudah mengalami sineresis (pemisahan air dari struktur gelnya) akibat
terjadinya retrogradasi pati, terutama selama penyimpanan dingin. Sineresis ini akan menjadi
masalah apabila pati alami digunakan pada produk pangan yang harus disimpan pada suhu
rendah (pendinginan/pembekuan).

- Pati tidak tahan pada kondisi asam. Pati mudah mengalami hidrolisis pada kondisi asam
yang mengurangi kemampuan gelatinisasinya. Pada kenyataannya banyak produk pangan
yang bersifat asam dimana penggunaan pati alami sebagai pengental menjadi tidak sesuai,
baik selama proses maupun penyimpanan. Misalnya, apabila pati alami digunakan sebagai
pengental pada pembuatan saus, maka akan terjadi penurunan kekentalan saus selama
penyimpanan yang disebabkan oleh hidrolisis pati.
- Kebanyakan pati alami tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi. Dalam proses
gelatinisasi pati, biasanya akan terjadi penurunan kekentalan suspensi pati (viscosity
breakdown) dengan meningkatnya suhu pemanasan. Apabila dalam proses pengolahan
digunakan suhu tinggi (misalnya pati alami digunakan sebagai pengental dalam produk
pangan yang diproses dengan sterilisasi), maka akan dihasilkan kekentalan produk yang
tidak sesuai (Pomeranz, 1985)

-     Pada umumnya pati akan menghasilkan viskositas suspense pati yang tidak seragam.
Gelatinisasi pati alami sangat dipengaruhi oleh iklim dan kondisi fisiologis tanaman,
sehingga jenis pati yang sama belum tentu memiliki sifat fungsional yang sama.

-     Pati alami tidak tahan proses mekanis. Dimana viskositas pati akan menurun adanya
proses pengadukan yang terlalu lama.

-     Kelarutan pati yang terbatas di dalam air. Kemampuan pati untuk membentuk tekstur
yang kental dan gel akan menjadi masalah apabila dalam proses pengolahan diinginkan
konsentrasi pati yang tinggi namun tidak diinginkan kekentalan dan struktur gel yang tinggi.
Table. Sifat Granula Jenis Pati
Pati Tipe Diameter (µm) Bentuk
Jagung Biji-bijian 15 Melingkar, poliginal
Kentang Umbi-umbian 33 Oval, bulat
Gandum Biji-bijian 15 Melingkar, lentikuler
Tapioca Umbi-umbian 33 Oval, kerucut potong
Apabila granula pati dipanaskan di dalam air, maka energi panas akan
menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang
masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin.
Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati.
Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati
tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi
keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula mengembang dan
akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya
gelatinisasi disebut dengan suhu gelatinisasi. Pati yang telah mengalami gelatinisasi akan
kehilangan sifat birefringence atau sifat merefleksiukan cahaya terpolarisasi sehingga di
bawah mikroskop terlihat hitam putih. Kisaran suhu yang menyebabkan 90% butir pati
dalam air panas membengkak sehingga tidak kembali ke bentuk normalnya disebut
“Birefringence End Point Temperature” atau disingkat BEPT.

- Granula pati
a. Amilosa

Amilosa merupakan bagian polimer dengan ikatan α-(1,4) dari unit glukosa dan
pada setiap rantai terdapat 500-2000 unit D-glukosa, membentuk rantai lurus yang
umumnya dikatakan sebagai linier dari pati (Hee-Joung An, 2005). Karakteristik dari
amilosa dalam suatu larutan adalah kecenderungan membentuk koil yang sangat panjang
dan fleksibel yang selalu bergerak melingkar. Struktur ini mendasari terjadinya interaksi
iodamilosa membentuk warna biru. Dalam masakan, amilosa memberikan efek keras bagi
pati (Hee-Joung An, 2005). Struktur rantai amilosa cenderung membentuk rantai yang
linear seperti terlihat pada Gambar 1.
Gb.1. Struktur Amilosa

b. Amilopektin

Sedangkan amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α-(1,4)-


glikosidik dan ikatan α-(1,6)-glikosidik di tempat percabangannya. Setiap cabang terdiri
atas 25 - 30 unit D-glukosa . Selain perbedaan struktur, panjang rantai polimer, dan jenis
ikatannya, amilosa dan amilopektin mempunyai perbedaan dalam hal penerimaan
terhadap iodin. Amilosa akan membentuk kompleks berwarna biru sedangkan
amilopektin membentuk kompleks berwarna ungu-coklat bila ditambah dengan iodine
(Hee-Joung An, 2005).

Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya,
serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Struktur rantai amilopektin cenderung
membentuk rantai yang bercabang seperti terlihat pada Gambar 2.. Ikatan percabangan
tersebut berjumlah sekitar 4–5 % dari seluruh lkatan yang ada pada amilopektin (Ann-
Charlotte Eliasson, 2004). Biasanya amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit
molekul glukosa untuk setiap rantai. Berat molekul amilopektin glukosa untuk setiap
rantai bervariasi tergantung pada sumbernya. Amilopektin pada pati umbi-umbian
mengandung sejumlah kecil ester fosfat yang terikat pada atom karbon ke 6 dari cincin
glukosa (Koswara, 2006).
Dalam produk makanan, amilopektin bersifat merangsang terjadinya proses
mekar (puffing) dimana produk makan yang berasal dari pati yang kandungan
amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus, garing dan renyah. Kebalikannya pati
dengan kandungan amilosa tinggi, cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal,
karena proses mekarnya terjadi secara terbatas (Hee- Joung An, 2005 dalam Pudjihastuti,
2010).

Gb. 2. Struktur Amilopektin

Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin ini tersusun dalam suatu
cincin-cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula kurang lebih berjumlah 16, ada yang
merupakan cincin lapisan amorf dan cincin yang merupakan lapisan semikristal
(Hustiany, 2006). Amilosa merupakan fraksi gerak, yang artinya dalam granula pati
letaknya tidak pada satu tempat, tergantung dari jenis pati. Secara umum amilosa terletak
diantara molekul-molekul amilopektin dan secara acak berada selang-seling diantara
daerah amorf dan kristal (Oates, 1997).
2.2 Macam-Macam Modifikasi Pati

Metode dalam Modifikasi Pati


            Ada banyak metode dalam modifikasi pati dalam rangka untuk memperbaiki
sifat fungsionalnya. Beberapa metode yang biasa digunakan adalah:

 Secara Enzimatis

Biasanya menggunakan enzim amylase. Modifikasi menggunakan enzim bisa


melalui proses gelatinisasi terlebih dahulu atau tidak (untuk kondisi tertentu).Biasanya
digunakan untuk maltodekstrin, sirup dan lain-lain.

Selain dengan metode langsung menambahkan enzim amylase (enzimnya


mahal), ada lagi cara yang digunakan, yaitu dengan menambahkan mikroba yang
menghasilkan enzim yang diinginkan, hal ini bisa lebih menghemat biaya karena lebih
murah. Misalnya menggunakan mikroorganisme: microbacterium.

            Pati dapat dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil yaitu dengan memotong
ikatan-ikatan glikosidiknya. Salah satu enzim yang dapat memotong ikatan tersebut adalah
enzim α - amilase. Enzim α - amilase (α - 1,4 glukanhidrolase atau EC 3.2.1.1) terdapat pada
tanaman, jaringan mamalia, jaringan mikroba. α - amilase murni dapat diperoleh dari berbagai
sumber, misalnya dari malt (barley), air berbagai sumber, misalnya dari malt (barley), air liur
manusia

12
dan pankreas. Dapat juga diisolasi dari Aspergillus oryzae dan Bacillus subtilis dan c
Bacillus licheformis (Reilly, 1985).
α - amilase adalah endo enzim yang kerjanya memutus ikatan α - 1,4 secara acak di
bagian dalam molekul baik pada amilosa maupun pada amilopektin. Sifat dan mekanisme
kerja enzim α - amilase tergantung pada sumbernya. Umumnya α - amilase memotong
ikatan di bagian tengah rantai sehingga menurunkan kemampuan pati mengikat zat warna
iodium. Hidrolisis dengan α - amilase menyebabkan amilosa terurai menjadi saltosa dan
maltotriosa. Pada tahap selanjutnya maltotriosa terurai kembali menjadi maltosa dan
glukosa (Walker dan Whelan dalam Fogarty, 1983).

Gambar 2.5 Rumus bangun maltosa


Cara kerja enzim α - amilase terjadi melalui dua tahap, yaitu : pertama, degradasi
amilosa menjadi maltosa dan amltrotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat
cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas yang cepat pula. Kedua, relatif sangat lambat
yaitu pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan caranya tidak acak. Keduanya
merupakan kerja enzim α - amilase pada molekul amilosa saja (Winarno, 1983).

Kerja α - amilase pada amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa dan


berbagai jenis α - limit dekstrin, yaitu oligosakarida yang terdiri dari cepat atau lebih residu
gula yang semuanya mengandung ikatan α - 1,6 (Winarno, 1983). Aktivitas optimal dari
enzim dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor penting yang berpengaruh di
antaranya adalah pH dan suhu. Kisaran pH optimum untuk enzim α - amilase berkisar
o
antara 4,5 – 6,5 dan dengan kisaran suhu optimum 40 – 60 C (ebookpangan, 2006). Enzim
yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus oryzae mempunyai aktivitas optimum pada pH 5,5
o
dan suhu 37 – 40 C (Ebookpangan, 2006).

13
Enzim α - amilase merupakan enzim yang digolongkan sebagai enzim hidrolase.
Jenis ikatan polimer pada amilosa lebih mudah dipotong oleh enzim α - amilase daripada
jenis ikatan polimer yang amilopektin. Kerja enzim α - amilose dalam menghidrolisis pati
adalah dengan memotong ikatan α - amilase – 1,4, tapi tidak memotong α - 1,6
(ebookpangan, 2006)). Laju hidrolisis akan meningkat bila tingkat polimerisasi menurun,
dan laju hidrolisis akan lebih cepat pada rantai lurus. Hidrolisis amilosa lebih cepat
dibanding hidrolisis terhadap amilopektin (Ebookpangan, 2006).
Enzim α - amilase tidak mengandung koenzim, tapi merupakan kalsium metalo
enzim dengan sekurang-kurangnya mengandung satu atau Ca per molekul enzim
++
(ebookpangan, 2006). Kulp (1975) dalam ebookpangan menyatakan adanya ion sangat
mempengaruhi ektivitas α - amilase. Ion Ca yang terikat dengan menggunakan zat
pengkelat. Ion logas kalsium berfungsi mengkatalis aktifitas α - amilase, sehingga tahap
terhadap perubahan suhu, pH, perlakuan urea atau adanya protease seperti pepsin, tripsin,
substilin dan papain. Menurut Whitaker (1972) dalam ebookpangan, ion Ca tidak bekerja
langsung dalam pembentukkan komplex enzim-substrat, tetapi mempertahankan molekul
enzim tetap aktifitas dan stabilitas maksimum.
Modifikasi pati dengan menggunakan enzim α-amilase ukuran granula merupakan
faktor penting dalam hidrolisis karenan perbedaan luas permukaan, Valkel dan Hope (1963)
dalam ebookpangan memperlihatkan absorbsi amilase oleh granula pati sebanding dengan
luas permukaan dan α-amilase yang dapat mendegradasi granula sehingga dapat
dihidrolisis. Mc. Laren (1963) memperlihatkan bahwa kecepatan hidrolisis sebanding
dengan luas permukaan granula yang kontak dengan pelarut, jadi pada beberapa konsentrasi
pati dan pada tingkat konsentrasi enzim, kecepatan hidrolisis sebanding dengan luas
permukaan.
Hubungan antara komposisi dan sifat dari pati telah diteliti dengan menggunakan
sampel yang dipisah-pisahkan menurut ukuran butiran pati. Kandungan amilosa dari tiap
fraksi berbanding terbalik dengan diameter granula. Dalam hal ini terlihat bahwa makin luas
permukaan granula makin tinggi prosentase hidrolisis yang dihasilkan. Berarti kecepatan
hidrolisis oleh α-amilase berhubungan dengan ukuran dari butiran, karena adanya interaksi
antara luas permukaan dengan absorbsi enzim. Kecepatan hidrolisis menurun dengan
meningkatnya kadar amilosa. Kandungan amilosa tertinggi ditemukan pada butiran yang
paling kecil permukaannya daripada yang mempunyai permukaan yang luas. Hubungan
antara temperatur, entalphi gel dengan penurunan ukuran granula terhadap gelatinisasi
belum dapat dipastikan (Gluskey, et al., 1980) dalam ebookpangan.
14
Pada pati yang mempu nyai kadar amilosa tinggi, granulanya tahan terhadap α-
amilase (Gallant, et al., 1972 dan Sandstedt, et al., 1962) dalm ebookpangan, suhu
gelatinisasi yang tinggi. Wolf, et al. (1977) m emperlihatkan beberapa struktur pati
beramilosa tinggi tidak berubah setelah dimasak atau setelah dicerna oleh tikus atau
manusia, hal ini menunjukkan bahwa pati dengan amilosa tinggi mempunyai ketahanan
terhadap panas dan enzim yang tinggi.

Faktor – Faktor yang Berpengaruh terhadap Reaksi Enzimatik


Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap aktivitas katalitik suatu enzim.
Diantara faktor-faktor tersebut adalah pH, suhu, tenaga alir/ fluida (tenaga hidrodinamik,
tekanan hidrostatik, dan tegangan antarmuka), pereaksi kimia, dan iradiasi (Djumali M. dan
Ani S., 1994).
a. Pengaruh pH
Sebagian besar enzim sangat peka terhadap pH sehingga aktivitasnya tergantung pada

perubahan pH. Pengaruh pH ini dapat terjadi dengan cara perubahan strukkur protein,
ionisasi protein, dan perubahan kemampuan pengikatnya serta pengaruh laju reaksi. Dalam
analisa kinetik, hanya pengaruh terakhir yand dijadikan kajian.

Gambar 2.7 Kebergantungan aktivitas enzimatik terhadap pH


17
Kurva aktivitas (gambar 6) menyajikan secara umum suatu nilai pH optimum yang
mempunyai bentuk ’lonceng’ (a). Nilai pH optimum tergantung pada enzim dan ketergantungan ini
dapat lebih atau kurang tajam (b). Untuk beberapa enzim, aktivitasnya tidak tergantung pada nilai pH
tertentu. Daerah pH optimum beberapa enzim dapat dilihat
pada tabel 5 di bawah ini.
Tabel 2.5 Daerah pH Optimum Beberapa Enzim
Enzim pH Optimum
α-amilase 5,3 - 5,9
Glukoamilase 4,5 - 5
Gluko-oksidase 5,5
Kolagenase 7,3 - 7,4
Lisosim 6,0 - 7,0
Fosfatase alkalis 9,0 - 10,0
Pepsin sekitar 2
(Djumali M. dan Ani S. , 1994)
b. Pengaruh suhu
Pengaruh suhu terhadap enzim ternyata agak kompleks, misalnya suhu yang terlalu tinggi
dapat mempercepat pemecahan atau perusakan enzim. Sebaliknya, semakin tinggi suhu (dalam batas
tertentu) semakin aktif enzim tersebut. Bila suhu naik terus, laju kerusakan enzim akan melampaui
reaksi katalisis enzim (F.G. Winarno, 1984).
Pada umumnya semakin tinggi suhu, semakin naik laju reaksi kimia, baik yang tidak
dikatalisis maupun yang dikatalisis oleh enzim. Tetapi perlu diingat bahwa enzim adalah protein, jadi
semakin tinggi suhu proses inaktivasi enzim juga meningkat. Keduanya mempengaruhi laju reaksi
enzimatik secara keseluruhan (F.G. Winarno, 1984). Kecuali enzim termostabil yang dapat aktif pada
suhu tinggi, seperti beberapa amilase (+/- 100 ºC untuk α-amilase B. licheniformis). Enzim ini
digunakan dalam likuifikasi industri pati yang sebagian besar enzimnya tidak aktif pada suhu 55 -
60ºC (Djumali M. dan Ani S. , 1994).
Gambar 2.8 Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzimatik

 Secara Fisik

Secara fisik, modified starch dapat dibentuk dengan cara proses hydrothermal treatmen,
autoclaving-cooling, ekstruksi dan pre gelatinisasi.

1. Hydrotermal Treatment
Prinsip metode ini menggunakan air dan panas untuk modifikasi pati.
 Annealing, yaiu dilakukan dengan mengkondisikan pati pada kadar air tinggi
(lebih dari 40%) kemudian dipanaskan pada suhu di bawah titik gelatinisasi.
 Heat Moisture Treatment (HMT), yaitu dilakukan dengan cara memanaskan pati
diatas titik gelatinisasinya pada kadar air yang terbatas (kurang dari 35%) dan
dapat mengubah karakteristik gelatinisasi pati.

Prinsip Dasar Untuk Memperoleh Produk Pati Termodifikasi


1. Thin Boiling Starch diperoleh dengan cara mengasamkan suspensi pati pada pH
tertentu dan memanaskannya pada suhu tertentu sampai diperoleh derajat konversi
atau modifikasi yang diinginkan. Kemudian dilakukan penetralan, penyaringan,
pencucian, dan pengeringan. Pengaruh dari pH dan sushu sehingga menyebabkan
sebagaian pati terhidrolisis menjadi dekstrin maka dihasilkan pati dengan viskositas
yang rendah.

2. Pati teroksidasi, diperoleh dengan cara mengoksidasi pati dengan senyawa-senyawa


pengoksidasi (oksidan) dengan bantuan katalis yang umumnya adalah logam berat
atau garam dari logam berat yang dilakukan pada pH tertentu, suhu dan waktu reaksi
yang sesuai.

3. Pregelatinized Starch, pati ini diperoleh dengan cara memasak pati pada suhu
pemasakan, kemudian mengeringkannya dengan menggunakan rol-rol (drum drying)
yang dipanaskan dengan cara melewatkannya. Pregelatinisasi pati mempunyai sifat
umum yaitu terdispersi dalam air dingin. Parameter pengeringan seperti rol dan gap
antar rol dapat mempengaruhi sifat dan karakteristik dari pati yang diperoleh seperti,
produk yang halus dan lembut memberikan viskositas yang tinggi dari dispersi tetapi
cenderung menyerap air terlalu cepat menyebabkan produk menjadi lembek, hal ini
dapat dicegah dengan pemberian hidrofobik agent pada partikel. Bentuk dan
karakteristik densitas mempengaruhi karena terbentuknya lapisan yang tebal dan
padat serta mempunyai tingkat absorbsi air yang rendah, viskositas pasta panas yang
tinggi dan viskositas pasta dingin yang rendah.

4. Pati ikatan silang (cross-lingking), dimana pati ini diperoleh dengan cara perlakuan
kimia yaitu dengan penambahan cross-lingking agent yang dapat menyebabkan
terbentuknya ikatan-ikatan (jembatan) baru antar molekul di dalam pati itu sendiri
atau diantara molekul pati yang satu dengan molekul pati yang lain.

5. Dekstrin, dibuat dari pati melalui proses enzimatik atau proses asam yang disertai
perlakuan pemanasan. Sifat-sifat yang penting dari dekstrin ialah viskositas menurun,
kelarutan dalam air dingin meningkat dan kadar gula menurun.

6. Turunan pati, pati termodifikasi ini dibuat dengan mereaksikan pati dengan pereaksi
monofungsional untuk memasukkan gugus-gugus pengganti pada gugus hidroksil.
Kegunaan proses ini adalah utnuk menstabilkan amilosa dan amilopektin, untuk
memperoleh sifat-sifat fungsional yang spesifik. Dengan memasukkan gugus (asetat,
hidroksipropil, dan sebagainya) ke dalam molekul, maka sifat-sifat pati akan berubah.

7. Siklodekstrin (CD), merupakan produk pati modifikasi yang berbentuk siklis (ring)
yang mengandung 6 – 12 unit glukosa. CD alpha, betha, dan gamma masing-masing
mengandung 6, 7, dan 8 unit glukosa. CD dibuat dari pati dengan bantuan enzim
cyclomaltodextrin glucanotransferase (CGTase). CD dapat pula dimodifikasi secara
kimia sehingga kelarutannya meningkat dalam air atau depolimerasi menjadi
copolimer yang tidak larut. CD mempunyai sifat yang menarik yaitu dapat
melindungi molekul-molekul lain dalam ringnya, oleh karena itu CD dapat
melindungi emulsi dan bahan-bahan yang sensitive terhadap cahaya, oksigen, dan
panas. Aplikasi CD dalam pangan, melindungi bahan flavouring dan flavor. Supaya
rempah-rempah tidak menguap, menutup rasa pahit pada jus buah, meningkatkan
stabilitas emulsi minyak (melindungi minyak dari oksidasi), meningkatkan
kemampuan berbusa dari putih telur, mengontrol, dan menutupi warna produk,
mencegah pengendapan dalam minuman ringan dan buah dalam kaleng dan banyak
lagi pemakaian lainnya.

2.3 Aplikasi Modifikasi Pati pada Produk Pangan


Banyak produk serealia yang menggunakan teknik pre-gelatinisasi untuk
meningkatkan kualitas dari sifat pati alami itu sendiri. Beberapa contohnya adalah:

1. Pembuatan Mie Instan dari Jagung


Pada pembuatan produk mi dari bahan non terigu, misalnya mi dari tepung
jagung, diperlukan proses pengukusan adonan yang bertujuan untuk
menggelatinisasi pati. Pati yang tergelatinisasi tersebut akan berperan sebagai bahan
pengikat dalam proses pembentukan lembaran dan untaian mi. Hal ini dikarenakan
protein pada tepung jagung yang sebagian besar terdiri atas zein dan glutelin (zeanin)
tidak mampu membentuk massa yang elastis dan kohesif jika hanya ditambahkan air saja.
Berbeda halnya dengan protein gluten (gliadin dan glutenin) pada terigu yang dapat
bereaksi dengan air membentuk massa yang elastis dan kohesif. Namun demikian,
pengukusan adonan ini hanya bertujuan agar pati mengalami gelatinisasi sebagian
(pregelatinisasi). Bila pati telah mengalami gelatinisasi sempurna, maka adonan yang
dihasilkan akan menjadi lengket saat pembentukan lembaran mi.

Pada proses gelatinisasi, ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur


granula pati akan melemah. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap
molekul air sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Ketika granula mengembang,
amilosa akan keluar dari granula. Granula hanya mengandung amilopektin,  rusak, dan
terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel (Harper, 1981). 

Faktor penting yang harus diperhatikan selama pengukusan adalah suhu dan
waktu proses. Kedua parameter ini akan mempengaruhi jumlah pati yang tergelatinisasi
dalam adonan. Selain itu, jenis dan ukuran alat pengukus yang digunakan juga akan
mempengaruhi kecukupan dan pemerataan panas dalam adonan. Pada penelitian ini,
proses pengukusan dilakukan dengan menggunakan uap panas bersuhu 90-100 o C yang
berasal dari pemanasan air menggunakan  kompor. Sedangkan lama waktu pengukusan
dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang dimasak,

2. Pembuatan Beras instan

Beras instan adalah beras yang secara cepat dapat diubah menjadi
nasi. Pemasakan beras menjadi nasi secara cepat, yaitu dengan cara merehidrasi nasi
kering dengan air mendidih selama beberapa waktu sehingga diperoleh nasi yang siap
dikonsumsi. Waktu pemasakan  diperlukan beras instan  sekitar 5-8 menit.
Beras instan lebih tahan terhadap serangan serangga dan jasad renik dibandingkan dengan
beras giling biasa. Cara pembuatan nasi instan adalah:

1.      Beras mula-mula direndam dalam air sampai kadar airnya menjadi 30 %, kemudian
dimasak dengan air panas sampai kadar air 50 - 60 % dengan atau tanpa menggunakan
uap. Kemudian, perebusan atau pengukusan diteruskan sampai kadar airnya menjadi 60 -
70 % dan kemudian dikeringkan dengan hati-hati sampai kadar airnya mencapai 8-14 %
dengan menjaga agar struktumya berpori-pori. Modifikasi yang dilakukan terhadap cara
ini antara lain dengan perlakuan panas kering pendahuluan untuk membuat berpori-pori
butir-butir beras sebelum dimasak dan dikeringkan.

2.      Beras direndam, direbus, dikukus atau dikukus dengan tekanan untuk membuat
butir-butir beras tergelatinisasi, dikeringkan dengan suhu yang rendah untuk menghasiikan
butir-butir beras yang agak berat dan mengkilat, kemudian diberi perlakuan dengan
pengembangan pada tekanan dan suhu tinggi untuk memperoleh struktur berpori-pori
yang diinginkan.

3.   Beras dipregelatinisasi, digiling atau ditekan untuk memperoleh butiran yang agak
gepeng dan kemudian dikeringkan untuk memperoleh butiran beras yang relatif kering dan
mengkilat

4.   Beras diberi perlakuan dengan udara panas yang mengaiir cepat pada suhu 65,6 -
315,6°C untuk membuat proses dekstrinasi pati dalam beras, membuat berpori-pori atau
mengembangkan butiran beras. Dalam proses ini tidak ada perlakuan pemasakan atau
pengukusan.

5.   Beras diaron, kemudian dibekukan, dtfhawing (dicairkan kembali) dan dikeringkan.


Metode ini sering dikombinasikan dengan metode 1, 2 dan 3.

6.      Metode Gun Puffing yang merupakan kombinasi dari periakuan-perlakuan


pendahuluan terhadap beras dengan pengunaan suhu dan tekanan tinggi, diikuti dengan
pengeluaran secara cepat ke dalam ruangan yang tekanannya lebih rendah (biasanya ke
ruangan tekanan atmosfir atau ruang hampa).

7.      Nasi masak dengan pengeringan beku.

3. Beras Jagung Instan


Dalam rangka mengembangkan jagung menjadi pangan pokok, diperlukan
teknologi pengolahan untuk menghasilkan produk jagung yang dapat diterima secara
organoleptik serta praktis atau sudah cara persiapannya. Salah satu produk yang dapat
dikembangkan adalah beras jagung instan.

Beras jagung instan adalah beras jagung yang siap dimasak menjadi nasi jagung
instan. Pemasakannya cukup dengan air direbus atau susu dalam waktu singkat. Produk
yang memiliki rasa sama dengan nasi jagung yang diolah secara tradisional ini siap
dimasak dalam waktu 5 menit. Produk ini dibuat
melalui proses penggilingan biji jagung yang
diikuti dengan proses pre-gelatinisasi (pre-
cooking) dan pengeringan. Produk nasi jagung
instan telah diuji dan dapat diterima secara
organoleptik oleh konsumen (Anonim, 2008).

Menurut Suarni (2005), cara pembuatannya,


jagung pipilan digiling kasar, lalu diayak menggunakan ayak dengan ukuran lubang 1,4
mm. Fraksi yang lolos ayakan adalah dedak, kemudian ditampi untuk menghilangkan
kotoran, lalu dicuci, dan direndam selama dua jam, seterusnya ditiriskan, dikeringkan
hingga permukaan kering. Rebus hingga terbentuk bubur, ditandai oleh mengentalnya
adonan. Kemudian bubur jagung didinginkan, lalu dikemas dalam plastik. Masukkan
kemasan tersebut ke dalam freezer (Suhu -200C). Setelah pembekuan selama 24 jam lalu
produk dilunakkan (thawing) dengan perendaman air yang diganti setiap lima menit.
Kemudian bubur jagung dikeringkan pada suhu 60-700C selama tiga jam. Pengemasan
beras jagung instan dengan kemasan plastik. Dengan sentuhan teknologi, pengolahan
jagung menjadi jagung instan (bahan baku bassang) akan mempersingkat waktu
penyiapan dari 15-18 jam menjadi 1/2 jam. Produk jagung instan cepat mengalami
kerusakan, maka diperlukan upaya untuk memperpanjang masa simpan, yaitu dengan
cara pemberian kemasan yang sesuai.

Proses instanisasi pada beras padi dapat diterapkan pada beras jagung. Pada
proses instanisasi beras jagung (bahan bassang) dilakukan tahapan-tahapan sebagai
berikut: perendaman, pengeluaran kulit, pengukusan (steaming), dan pengeringan
(drying). Perendaman bertujuan untuk memperoleh absorbsi yang cepat dan seragam dari
air (Tawali et al. 2003).

a. Pembuatan Bakso Daging Sapi


Menurut hasil penelitian Widyastuti, dkk (2011), penggunaan pati modifikasi
dapat meningkatkan kualitas bakso daging sapi. Disarankan bahwa untuk pengolahan
bakso daging sapi dengan kualitas baik dapat menggunakan bahan pengisi tapioka 10
persen atau pati kentang 5 persen dengan suhu perebusan 90oC, dan untuk meningkatkan
kualitas bakso dapat digunakan bahan pengisi kombinasi antara tapioka alami dan tapioka
modifikasi (5 ;5, p/p) atau pati kentang modifikasi 5 persen.

e. Pasta Cabai

Pasta cabai merupakan salah satu usaha diversifikasi produk olahan cabai merah
dengan penambahan bahan-bahan lain seperti asam sitrat, natrium benzoat sebagai
pengawet, dan untuk mempertahankan konsistensi pasta cabai digunakan bahan
pengental. Bahan pengental yang umum digunakan adalah dari kelompok pati. Pati yang
selama ini digunakan sebagai bahan pengental mempunyai beberapa kelemahan. Untuk
mengatasi kelemahan pati, maka dilakukan modifikasi pati dengan menambahkan bahan
kimia tertentu. Dengan adanya pati modifikasi dapat menghasilkan pasta yang tahan pada
perlakuan panas, pengadukan dan asam, dan memperbaiki stabilitas pati dibawah kondisi
pengolahan yang keras.

Dari hasil penelitian Arbaningsih (2003), didapatkan kombinasi perlakuan terbaik


yaitu; jenis pati modifikasi dari tapioka dengan konsentrasi 2% dan didapatkan kadar air
pasta cabai sebesar 73,58%, dengan total padatan sebesar 29,7 % dengan viskositas
sebesar 3823,33 poise. Kadar total karoten pasta cabai sebesar 0,673%, dengan kadar
vitamin C sebesar 3,55 % dan NKA sebesar 9,73 % dan NPA 61,96%, serta penilaian
organoleptik kenampakan 3,4 (menarik), warna 4,45 (merah), dan aroma 2,9
(menyengat).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Untuk memenuhi kebutuhan pati dalam industri pengolahan pangan maupun


industri, dibutuhkan adanya suatu proses modifikasi agar dihasilkan produk pati
termodifikasi dengan sifat rheologi dan psikokimia sesuai dengan kebutuhan. Proses
modifikasi dapat dilakukan dengan cara hidrolisis asam, hidrolisis enzim, ikatan silang,
oksidasi pati dan secara fermentasi (biologi). Dengan adanya teknologi modifikasi pati
diharapkan sumber pati alami yang tersedia cukup banyak di Indonesia dapat
dimanfaatkan secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah DR dan Waysima. 2009. Buku Ajar Evaluasi Sensori Produk Pangan. Fakultas
Teknologi Pertanian. Bogor. Agoes, A. 2010. Tanaman Obat Indonesia. Selemba Medica.
Palembang. . Alam, N., K.N. Young, T.S. Lee, and U. Y. Lee. 2011. “Hypolipidemic activities of
dietary Pleuratus ostreatus in hypercolesterolemic rats, Mycobiology”, vol.39(1), pp.45-51.
Aminin, A.L.N., Ambarsari, L, Mochtar, H.M. 2003. Produk Reaksi Maillard (MRP) Sebagai
Antibakteri dan Pengendali Kadar Dektran dalam Nira Tebu, Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi,
Vol 3, No.4 hal. 3-5. Astawan, M. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-bijian. Penebar
Swadaya. Jakarta. Budianto A K. 2009. Pangan, Gizi, dan Pembangunan Manusia Indonesia:
DasarDasar Ilmu Gizi. Universitas Muhammadiyah Malang. Press 1-16. Damanik, RMS. 2010.
Pengaruh Konsentrasi Kalsium Clorida (CaCl2) dan Lama Penyimpanan Terhadap Mutu Tepung
Bawang Putih. Laporan Tugas Akhir. Universitas Sumatera Utara. Departemen Agama. 2003.
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Ha

Anda mungkin juga menyukai