Blending Batubara
Blending Batubara
PENDAHULUAN
1
1.4 Sistematika Penulisan
Proses penyelesaian seminar industri ini dengan menggunakan study literatur
dimana penulis menggabungkan data-data primer dan data sekunder.
BAB II
DASAR TEORI
2
Batubara adalah batuan sedimen yang terbentuk dari sisa-sisa macam
tumbuhan yang merupakan material organik dan telah mengalami dekomposisi
atau penguraian oleh adanya proses biokimia dan geokimia sehingga berubah baik
sifat fisik maupun sifat kimianya. Genesa batubara berdasarkan tempat terjadinya
dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Teori Insitu
2. Teori Drift
3
dimana hampir seluruh deposit batubara (black coal) yang ekonomis di belahan
bumi bagian utara terbentuk.
Pada Zaman Permian, kira-kira 270 jtl, juga terbentuk endapan-endapan batubara
yang ekonomis di belahan bumi bagian selatan, seperti Australia, dan berlangsung
terus hingga ke Zaman Tersier (70 - 13 jtl) di pelbagai belahan bumi lain
4
Cara yang dilakukan untuk mengetahui mutu/kualitas batubara berkaitan
dengan pemanfaatannya. Pada prinsipnya dikenal 2 jenis pengujian, yaitu Analisis
Proksimat (Proximat Analysis) dan Analisis Ultimat (Ultimate Analysis).
1. Analisis Proksimat
5
Pada basis dry, artinya sampel batubara dalam keadaan kering maka
kandungan air permukaan dan kandungan air bawaannya adalah nol.
4. Dry Ash Free (daf)
Pada basis daf, nilai kualitas batubara pada kondisi batubara tersebut
kering dan bebas dari ash.
5. Dry Mineral Matter Free (dmmf)
Pada basis dmmf analisis dilakukan untuk memberikan gambaran
mengenai komposisi organik murni, artinya volatile mineral matter
dianggap sama dengan nol.
Untuk mengetahui kualitas dari batubara itu sendiri maka dapat diketahui
dengan menggunakan parameter-parameter dari batubara. Parameter-parameter
dari batubara adalah sebagai berikut:
1. Kandungan Air
Kandungan air dalam batubara secara umum ada 2 yaitu air permukaan
(free moisture) dan kandungan air bawaan (inherent moisture). Kandungan
air permukaan secara mekanis terdapat dalam permukaan dan retakan-
retakan serta kapiler-kapiler besar (makro kapiler) batubara dan
mempunyai tekanan gas normal. Jumlah kandungan air bebas secara
prinsip tergantung dari kondisi yaitu dari lembab sampai kering. Hal
tersebut juga tergantung dari penambangan, benefisiasi, transportasi,
penanganan dan penyimpanan juga distribusi ukuran butirnya. Kandungan
air bawaan berada pada mikro pori, yang mempunyai tekanan lebih rendah
dari tekanan uap normal. Kandungan air bawaan ini patut diketahui, karena
dapat digunakan untuk mengindikasi peringkat batubara. Batubara makin
tinggi kandungan bawaannya, peringkatnya makin rendah.
2. Kandungan Abu
6
Batubara terdiri dari 3 unsur yaitu: air, material batubara (coal matter)
dan material bukan batubara (mineral matter). Mineral matter terdiri dari 2
macam yaitu mineral matter bawaan (inherent mineral matter) serta
material mineral dari luar batubara (extraneous mineral matter). Inherent
Mineral Matter berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan yang hidup di
rawa-rawa dan sulit dipisahkan dari batubara, biasanya berjumlah 0,5-
1,0%. Extraneous Mineral Matter terjadi saat waktu penambangan
(parting), yang terbawa waktu banjir ke lapisan batubara pada waktu
pembentukannya. Extraneous Mineral Matter dapat dipisahkan dari
batubara dengan proses pencucian.
3. Zat Terbang
Zat terbang terdiri dari Combustible gasses (gas-gas yang mudah
terbakar) seperti gas hidrogen, CO, dan CH 4 serta gas-gas yang dapat
dikondensasikan seperti tar dengan sejumlah kecil gas-gas yang tidak
terbakar seperti CO2 dan air yang terbentuk dari hasil dehidrasi dan
kalsinasi. Zat terbang juga dapat digunakan sebagai ukuran untuk
menentukan peringkat batubara. Pengaruhnya dalam preparasi batubara
ialah jika kandungan zat terbang tinggi (>24%) maka batubara akan mudah
terbakar. Untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya batubara tidak dilakukan
penggerusan terlalu halus, karena sangat berpotensi untuk mudah meledak.
5. Nilai Kalor
7
Nilai kalor dari batubara merupakan jumlah panas dari komponen yang
terbakar seperti karbon, hidrogen, dan sulfur dikurangi dengan panas
reaksi eksotermis dan endotermis yang terjadi dari pembakaran komponen
pengotor.
6. Kandungan Sulfur
Sulfur merupakan zat pencemar, maka adanya sulfur yang tinggi sangat
tidak dikehendaki.
Ada 3 macam bentuk sulfur yaitu:
Pyritic Sulfur (FeS2) biasanya berjumlah 20 - 80 % dari total sulfur
dan berasosiasi dengan abu batubara.
Organic Sulfur biasanya berjumlah relatif dan bervariasi antara 20 -
80 % dari total sulfur. Sulfur organik terikat secara kimia dengan
subtansi dan zat-zat lain.
Sulphate sebagian besar terdiri dari kalsium sulfat dan besi sulfat.
Total Moisture
8
Kandungan moisture mempengaruhi jumlah pemakaian udara
primernya, pada batubara dengan kandungan moisture tinggi akan
membutuhkan udara primer lebih banyak guna mengeringkan
batubara tersebut pada suhu keluar mill tetap.
Volatile Matter
Kandungan volatile matter mempengaruhi kesempurnaan
pembakaran dan intensitas nyala api. Kesempurnaan pembakaran
ditentukan oleh :
¿Carbon
Fuel ratio=
Volatile Matter
Ash Content
Kandungan abu akan terbawa bersama gas pembakaran melalui
ruang bakar dan daerah konveksi dalam bentuk abu terbang atau
abu dasar. Sekitar 20% dalam bentuk abu dasar dan 80% dalam
bentuk abu terbang.Semakin tinggi kandungan abu dan tergantung
komposisinya mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling),
keausan dan korosi peralatan yang dilalui.
Sulfur Content
Kandungan sulfur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin
yang terjadi pada elemen pemanas udara, terutama apabila suhu
kerja lebih rendah dari letak embun sulfur, disamping berpengaruh
terhadap efektifitas penangkapan abu pada peralatan electrostatic
precipator.
Coal Size
Ukuran butir batubara dibatasi pada rentang butir halus dan butir
kasar. Butir paling halus untuk ukuran < 3 mm, sedangkan ukuran
paling kasar sampai 50 mm. Butir paling halus dibatasi Dustness
dan tingkat kemudahan diterbangkan angin sehingga mengotori
9
lingkungan. Tingkat Dustness dan kemudahan beterbangan masih
ditentukan pula oleh kandungan moisture batubara.
10
Batasan yang ditentuan oleh desian boiler, posisi burner, konfigurasi
fisik dan luas perpindahan panas dalam ketel uap (boiler)
Kondisi operasional
Mengingat hal tersebut di atas maka, idealnya desain suatu pembangkit listrik
berbahan bakar batubara dibuat berdasarkan kualitas batubara yang akan
digunakan. Atau sebaliknya, batubara yang dipasok untuk sebuah pembangkit
listrik seharusnya sesuai dengan spesifikasi yang dipersyarakan. Sering terjadi,
keterlambatan pasokan batubara sesuai spesifikasi menyebabkan digunakannya
batubara lain yang kualitasnya tidak memenuhi spesifikasi. Hal ini dapat
mengganggu kelancaran pengoperasian pembangkit listrik.
Beberapa pengaruh yang terjadi jika menggunakan batubara di luar
spesifikasi (off design) pada pembangkit yang telah ada (exiting) di antarany
adalah kinerja penggerus, pengendapan abu (slagging dan fouling) dan
karakteristik dan efesiensi pembakaran. Kinerja mesin penggerus (pulverizer)
biasanya berhubungan dengan nilai kalor dan sifat ketergerusan (HGI, hardgrove
grindability index) (Savage, 1974). Apabila digunaan batubara dengan kalor lebih
rendah dari spesifikasi, mka diperlukan jumlah batubara yang lebih banyak,
sehingga penggerus kemungkinan perlu ditambah atau penggerus cadangan perlu
diopersikan.
2.9 Blending
2.9.1 Pengertian Blending
Blending ialah suatu tahapan yang masih masuk dalam proses pengolahan
batubara, pengertian blending yaitu suatu proses pencampuran beberapa batubara
yang memiliki kualitas atau kualitas yang berbeda sehingga membentuk satu
batubara dengan kualitas tertentu yang diinginkan. Target kualitas yang ingin
dicapai dalam blending berbeda-beda. Ada yang menjadikan Sulfur sebagai target
pencapaian ada juga yang menjadikan kalori sebagai acuan target yang ingin
dicapai.
Rumus dasar perhitungan blending :
11
(Batubara A x P) +( Batubara B x P )
n
= Batubara C
Dimana :
Batubara A = Batubara yang akan dicampur
Batubara B = Sebagai pencampur batubara A
Batubara C = Batubara dari hasil pencampuran
n = Banyaknya batubara dari pencampur dan yang dicampur
P = Parameternya
12
Kualitasi batubara campuran (hasil blending) umumnya dihitug berdasarkan
rata-rata berat data analisis dan pengujian yang diperoleh dari masing-masing
batubara individu (yang dicampur). Data kualitas tersebut kemudian digunakan
untuk memprediksi karakteristik pembakaran dalam katel uap. Namun tidak
semua parameter kualitas batubara campuran dapat diprediksi menggunakan data
kualitas hasil perhitungan rata-rata berat. Parameter-parameter air, kadar abu, zat
terbang, karbon padat, karbon total, hidrogen, sulfur, nitrogen, oksigen, klorin,
kadar maseral, dan nilai kalor cenderug bersifat aditif, sehingga dapat
menggunakan perhitungan tersebut. Sedangkan nilai muai bebas, titik leleh abu
dan HGI umumnya cenderung bersifat nonaditif. Menurut Hower (1988) HGI
dapat bersifat aditif hanya untuk blending antara batubara peringkat yang sama.
Sedangkan Riley (1989) menyatakan bahwa HGI dapat bersifat aditif asalkan
perbedaan nilai HGI masing-masing batubara di-blending tidak lebih dari 10.
13
untuk jenis parameter tersebut maka harus dibuat simulasi composite, yaitu
dengan mencampurkan batubara yang akan diblending dengan proporsi blending
yang sudah ditentukan, kemudian dianalisa. Hasil analisa tersebut merupakan
prediksi kualitas hasil blending.
Dari unit pencampur yang pertama merupakan blending yang paling homogen
karena memiliki unit loading terkecil perhitungan waktu. Sedangkan unit
pencampur kedua sampai keempat memiliki unit loading besar sesuai dengan alat
yang digunakan untuk melakukan blending batubaranya. Selain itu, blending
dengan menggunakan unit seperti pada unit pencampur kedua dan ketiga harus
memperhitungkan jarak masing-masing batubara yang diblending. Karena
14
pencampuran harus dilakukan pada waktu yang sama, atau paling tidak berurutan
pada tiap satuan rasio.
3.1
15
nilai kalor adalah batubara dengan nilai kalor 4.225 kal/g masih dapat digunakan
dan menghasilkan keluaran (daya) listrik sesuai kapasitas pembangkit asalkan
seluruh fasilitas penanganan (handling) dan penggiling (mill) dijalankan. Batubara
dengan nilai kalor lebih rendah dari batas minimum tersebut juga bisa digunakan,
tetapi keluaran listrik akan turun walaupun semua fasilitas penanganan penggiling
batubara dijalankan. Parameter kualitas bersifat aditif lainnya, yakni kadar abu
dan kadar belerang masing-masing 7,80% (maksimum 12,80%) dan 0,40%
(maksimum 0,90%). Sedangkan parameter kualitas yang non-aditif, yakni
diantaranya HGI 61,8 (minimum 48), titik leleh abu 1.279°C (minimum 1010°C),
indeks penerakan “medium” dan indeks fouling “tinggi”.
16
tersebut termasuk bersih dengan masing-masing kadar abu 1,19% dan 4,30% dan
kadar belerang 0,11% dan 0,30%. Edua batubara tersebut mempunyai sifat
ketergerusan menengah, yakni masing-masing 54 dan 60. Titik leleh abu batubara
Peranap cukup rendah, yakni dengan deformasi awal 1.200 oC dibanding abu
batubara Bara Mutiara Prima yang deformasi awalnya sebesar 1.350 oC. oleh
karena itu, indeks penerakan batubara Peranap termasuk klasifikasi “tinggi” dan
batubara Bara Mutiara Prima termasuk “rendah”. Sedangkan indeks fouling
keduanya termasuk klasifikasi “rendah”.
Apabila kedua batubara peringkat digunakan untuk PLTU Suralaya unit 1-4,
maka parameter kualitas yang tidak memenuhi spesifikasi adalah nilai kalornya.
Normalnya untuk mengoperasikan 1 unit kapasitas 400 MW menggunakan
batubara Air laya dibutuhkan ± 170 ton batubara/jam. Apabila digunakan batubara
Bara Mutiara Prima, maka untuk menghasilakan listrik yang sama dibutuhkan ±
202 ton batubara/jam. Sedangkan jika menggunakan batubara Peranap, maka
dibutuhkan 275 ton batubara/jam. Mesin penggiling yang tersedia untuk 1 unit
400 MW tersebut tersedia sebanyak 5 buah yang masing-masing berkapasitas 65
ton batubara/jam. Normalnya, apabila digunakan batubara Air laya hanya
dioperasikan 3 buah mesin, sehingga 2 mesin lainnya untuk cadangan. Apabila
digunkan batubara Bara Mutiara Prima dibutuhkan 4 mesin, sedangkan 1 mesin
untuk cadangan. Tetapi apabila digunakan batubara Peranap, maka seluruh mesin
harus dioperasikan, sehingga tidak ada cadangan. Pengoperasian seluruh mesin
penggerus tersebut dapat menimbulkan risiko gangguan terhadap operasi
pembangkit listrik mengingat perlunya waktu perawatan setiap mesin. Oleh
karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan blending plant guna
meningkatkan nilai kalor batubara peringkat rendah yang tersedia.
Data kualitas batubara peringkat tinggi yang dikaji adalah sebanyak 14 buah,
berasal dari Sumatera dan Kalimantan. Selain dicirikan oleh tingginya nilai kalor
dan rendahnya kadar air, batubara-batubara tersebut umumnya mempunyai sifat
ketergerusan rendah atau sulit digerus dengan HGI kurang dari 50. Batubara
Danau Mas Hitam mempunyai HGI bervariasi antara 40-60. Sedangkan batubara
Kartia Selabumi yang mempunyai HGI tinggi atau mudah digerus, yakni sebesar
17
80. Tetapi batubara ini juga mempunyai nilai bebas yang tiggi yakni 9, tidak
seperti umumnya batubara Indonesia yang mempunyai nilai muai bebas rendah.
Kadar abu dan kadar belerang batubara peringkat tinggi bervariasi, masing-
masing antara 2,0% sampai 19,48% dan 0,15% sampai 2,56%. Sedangkan data
indeks penerakan dan indeks fouling hanya tersedi untuk batubara Kartika
Selabumi dan Lana Harita. Batubara Kartika Selabumi mempunyai indeks
penerakan dan indeks fouling klasifikasi “rendah”. Sedangkan untuk batubara
Lana Harita klasifikasi “rendah” dan “medium”.
18
kurang dari 50. Walaupun HGI batubara peringkat rendah umumnya tinggi,
mengingat parameter ini cenderung nonaditif maka HGI hasil blending belum
tentu sesuai dengan perhitungan. Apabila nilai HGI hasil blending ternyata lebih
rendah dari perhitungan maka kapasitas atau keluaran penggerus turun atau
kehalusan produk penggerusan dapat menurun. Menurunnya keluaran penggerus
dapat menurunkan keluaran listrik. Sedangkan menurunnya kehalusan batubara
dapat menyebabkan menurunnya efisiensi pembangkit dan meningkatnya kadar
karbon tak terbakar dalam bau batubara. Untuk mengkaji lebih mendalam, maka
pengujian penggerusan dan pembakaran skala yang lebih besar seperti skala meja
atau skala yang lebih mendekati kapasitas nyata di lapangan perlu dilakukan
sebelum mengaplikasikannya pada kondisi sebenarnya.
Batubara Kartika Selabumi mempunyai nilai kalor cukup tinggi, yaitu 7.889
kal/g dan juga HGI yang cukup tinggi yakni 80, tetapi nilai muai bebasnya sangat
tinggi mencapai 9. Normalnya, nilai muai bebas batubara untuk pembangkit listrik
maksimum 4 (Rance, 1975). Tambahan lagi nilai muai bebas merupakan
parameter nonaditif, sehingga karakteristik pembakaran batubara hasil blending
batubara ini tidak dapat diprediksi dari masing-masing batubara yang akan di-
blending.
Selain HGI, karakteristik abu yakni kecenderungan penerakan dan fouling
juga perlu dipertimbangkan. Mengingat data dan indeks penerakan dan indeks
fouling kebanyakan tidak tersedia, maka parameter tersebut perlu dilengkapi.
Apalagi jika hasil uji di laboraterium dan perhitungan menyatakan kecenderungan
kedua indeks tersebut termasuk klasifikasi “tinggi”, maka uji pembakaran pada
kondisi yang mendekati ketel uap perlu dilakukan. Pengendapan terak abu terjadi
di daerah ruang bakar atau radiasi, sedangkan endapan fouling terjadi pada daerah
yang lebih dingin yakni pada pipa-pipa ketel uap. Apabila terak abu yang
menempel di dinding tungku(ruang bakar) sulit diambil maka perpindahan panas
ke dinding akan menurun dan selanjutnya efisiensi pembakaran juga menurun
(Elliot, 1981).
19
Endapan fouling yang terjadi pada pipa ketel uap menyebabkan penyempitan
pada deretan pipa yang selanjutnya mempercepat laju alir gas buang. Hal ini dapat
menyebabkan naiknya suhu gas buang dan juga erosi terhadap pipa ketel uap.
BAB IV
4.1 Kesimpulan
20
- Kegiatan blending merupakan salah satu kegiatan pengendalian mutu
kualitas batubara dari dua jenis atau lebih batubara yang dicampurkan
dengan kualitas berbeda untuk memperoleh satu jenis batubara dengan
kualitas yang sesuai dengan spesifikasi dalam permintaan konsumen.
- Dalam suatu proses blending yang akan merubah nilai parameter hasil
blendingnya ialah banyak batubara pencampur dan batubara yang akan
dicampur untuk mencapai hasil sesuai dengan permintaan.
4.2 Saran
21