Anda di halaman 1dari 32

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BIDAN DALAM PROSES

PERTOLONGAN PERSALINAN PENDERITA HIV/AIDS DITINJAU DARI

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2014

TENTANG TENAGA KESEHATAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah hak konstitusi manusia dan sekaligus investasi untuk

keberhasilan pembangunan bangsa. Pencapaian kesehatan optimal sebagai hak

konstitusi manusia merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang akan turut

menjamin terwujudnya pembangunan kesehatan dalam meningkatkan kesadaran,

kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Untuk mencapai hal

tersebut, perlu diciptakan berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat.

Kesehatan merupakan kebutuhan pokok manusia, karena kesehatan merupakan

modal utama manusia dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Melaksanakan upaya

kesehatan yang semaksimal mungkin bagi rakyat adalah tugas dari pemerintah

bersama-sama rakyat yang bahu membahu menyelenggarakan upaya kesehatan agar

tercapai derajat kesehatan yang optimal.1

Sistem Kesehatan Nasional 2009 merupakan pedoman bagi semua pihak dalam

penyelenggaraan pembangunan di Indonesia. Sistem Kesehatan Nasional merupakan

suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa Indonesia secara terpadu dan

1
Safitri Hariyani, Sengketa Medik Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan
Klien. Diadit Media. Jakarta. 2005 Hlm.1

1
2

saling mendukung, guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai

perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam Pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945. Sesuai dengan pengertian Sistem Kesehatan Nasional (SKN),

maka subsistem pertama SKN adalah upaya kesehatan.2

Pembangunan di bidang kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan

nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup

sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

Dalam perkembangannya, telah terjadi perubahan orientasi yang asalnya pencapaian

kesehatan secara mandiri, baik tata nilai maupun pemikiran terutama mengenai upaya

pemecahan di bidang kesehatan menjadi pencapaian kesehatan secara komprehensif

(menyeluruh). Perubahan orientasi tersebut kemudian mempengaruhi sistem

kesehatan nasional melalui penerapan prinsip yang menyeluruh “holistic”, terpadu

“unity”, merata “evenly”, dapat diterima “acceptable” dan terjangkau “achievable”

oleh masyarakat.3

Upaya peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan, merupakan suatu

usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi peningkatan

kesehatan masyarakat baik fisik maupun non-fisik. Di dalam sistem kesehatan

nasional disebutkan, kesehatan menyangkut semua segi kehidupan yang ruang

2
Wulan Mayasari, Sofwan Dahlan dan Yovita Indrayati, Perlindungan Hukum Terhadap Masalah
Tertularnya Hiv/Aids Dan Hepatitis B Dalam Pemberian Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta
Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) Di Bandung, Soepra Hukum Kesehatan Vol. 1 No.2.
Magister Hukum Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, 2015, Hlm. 248
3
Rusman Tumanggor, “Masalah-masalah sosial budaya dalam pembangunan kesehatan di
Indonesia”, Jurnal Masyarakat dan Budaya Jakarta, Vol 12 No.2. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan. 2010. Hlm.223
3

lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks.4 Menurut Undang Undang No.

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 1 Ayat (1) “ Kesehatan adalah keadaan

sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap

orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”. Dalam Pasal 5 ayat (2)

dinyatakan: “Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan

yang aman, bermutu, dan terjangkau”.5 Dengan demikian setiap orang mendapat

jaminan perlindungan hukum untuk mendapatkan haknya atas kesehatan.

Hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan di Indonesia merupakan hak

dasar sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28 H UUD

Tahun 1945 Amandemen Kedua menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak hidup

sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang

baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya, Pasal 34

ayat (3) UUD 1945 menyebutkan “Negara bertanggung jawab atas fasilitas kesehatan

dan fasilitas pelayanan umum yang layak”6

Pencatuman hak terhadap pelayanan kesehatan tersebut, tidak lain bertujuan

untuk menjamin hak-hak kesehatan yang fundamental seperti tertuang dalam

Declaration of Human Right tahun 1948, bahwa health is a fundamental human

right.7
4
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta. Jakarta.
2005. Hlm.1
5
UU Republik Indonesia No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Hlm.5
6
Yusuf Shofie. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya
Bhakti, Cetakan ke 3 Bandung. 2009. Hlm.134.
7
Tedi Sudrajat dan Agus Mardianto, Hak Atas Pelayanan dan Perlindungan Kesehatan Ibu
dan Anak (Implementasi Kebijakan Di Kabupaten Banyumas). Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No.2,Mei 2012. Hlm.262
4

Di Indonesia penyebaran HIV/AIDS hampir merata di seluruh provinsi, hal ini

terbukti dengan adanya laporan kasus AIDS di 27 provinsi dan infeksi HIV dari 29

provinsi di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan pada tahun 2011 memperlihatkan

sekitar 26.400 pengidap AIDS dan 66.600 pengidap HIV positif, lebih dari 70 persen

generasi muda usia produktif 20-39 tahun. Proporsi tertinggi usia 20-29 tahun (47,2

persen), 30-39 (31,3 persen) dan 40-49 (9,5 persen). cara penularan melalui

heteroseksual (53,1 persen), jarum suntik (37,9 persen), hubungan sejenis (3,0

persen), perinatal (2,6 persen) dan transfusi darah (0,2 persen).8

Data kementerian kesehatan (2011) menunjukkan dari 21.103 ibu hamil yang

menjalani tes HIV, 534 (2,5%) diantaranya positif terinfeksi HIV. Hasil pemodelan

Matematika Epidemi HIV Kementerian Kesehatan tahun 2012 menunjukkan

prevalensi HIV pada populasi usia 15 – 49 tahun dan prevalensi HIV dan AIDS

diperkirakan akan meningkat dari 591.823 (2012) menjadi 785.821 (2016), dengan

jumlah infeksi baru HIV yang meningkat dari 71.879 (2012) menjadi 90.915 (2016).

Sementara itu, jumlah kematian terkait AIDS pada populasi 15 – 49 tahun akan

meningkat hampir dua kali lipat di tahun 2016.9

Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya juga cenderung

meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang tertular

baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang beresiko. Meskipun angka

prevalensi dan penularan HIV dari ibu ke bayi masih terbatas, jumlah ibu hamil yang
8
Fadlansyah, Pengidap HIV/AIDS Butuh Perlindungan Hukum, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, 2012, Hlm. 1
9
Kementerian Kesehatan RI, Situasi dan Analisis HIV/AIDS, Pusat Data dan Informasi, Jakarta,
2016, Hlm. 1-3
5

terinfeksi HIV cenderung meningkat. Prevalensi HIV pada ibu hamil diproyeksikan

meningkat dari 0,38% (2012) menjadi 0,49% (2016), dan jumlah ibu hamil HIV

positif yang memerlukan layanan PPIA juga akan meningkat dari 13.189 orang pada

tahun 2012 menjadi 16.191 orang pada tahun 2016. Demikian pula jumlah anak

berusia di bawah 15 tahun yang tertular HIV dari ibunya pada saat dilahirkan ataupun

saat menyusui akan meningkat dari 4.361 (2012) menjadi 5.565 (2016), yang berarti

terjadi peningkatan angka kematian anak akibat AIDS.

Per Desember 2016 Jabar peringkat keempat kasus HIV positif terbanyak setelah

DKI Jakarta, Jatim dan Papua. Sedangkan untuk AIDS Jabar di peringkat keenam

terbanyak setelah Jatim, Papua, DKI Jakarta, Bali dan Jateng. Pola penularan HIV di

Jabar semula berasal dari kelompok Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) dan pengguna

Narkoba suntik. Kemudian pola penularannya bergeser pada seks Lelaki Beresiko

Tinggi (LBT) dan Wanita Penjaja Seks (WPS) yang berdampak pada ibu rumah

tangga dan anak.

Kumulatif kasus AIDS dari tahun 1989-2016 pada kelompok ibu rumah tangga

melebihi jumlah kasus pada wanita penjaja seks dengan jumlah kasus sebanyak 1.012

kasus sedangakan WPS sebanyak 382 kasus. Kasus HIV positif baru pada anak usia

0-14 tahun selama tahun 2016 ditemukan sebanyak 130 kasus.10

  Kota Cimahi adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini

terletak di tengah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat. Cimahi telah

menunjukkan perkembangan yang pesat, khususnya dibidang pelaksanaan


10
Laporan KPA (Komite Penanggulangan AIDS) Jawa Barat 2016, Hlm. 5
6

pembangunan dan peningkatan jumlah penduduk. Kota Cimahi menjadi salah satu

pilihan kota wisata dikarenakan letaknya yang bersebelahan dengan Kota Bandung.

Tak jarang wisatawan dari luar kota melewati Kota Cimahi sebagai tempat

persinggahan menuju tempat wisata di Kota Bandung maupun Kabupaten Bandung.

Kota Cimahi juga terkenal sebagai kota militer dan kota industri, maka dari itu

banyak warga dari luar kota bahkan luar pulau datang untuk mencari lahan pekerjaan.

Seiring meningkatnya perkembangan Kota Cimahi berdampak pula pada kesehatan

penduduk dengan meningkatnya angka penderita HIV / AIDS di Kota Cimahi.11

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Cimahi mencatat, Pada 2014 jumlah

penderita HIV mencapai 39 kasus meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 15

kasus. Untuk itu, pihaknya perlu tegaskan kembali komitmen untuk mengendalikan

Penyebaran HIV-AIDS di Kota Cimahi dengan melibatkan para dokter Koordinator

Pencegahan Pemberantasan Penyakit (P2P). Tercatat, sejak tahun 2004-2017 ada 309

kasus HIV/AIDS yang mayoritas berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah

dan berada dalam usia produktif antara 15 – 42 tahun. Diantara data diatas, saat ini

HIV/AIDS sudah menyerang ibu rumah tangga yang sedang hamil. Kondisi tersebut

sangat berpotensi untuk tertular pada anaknya ketika lahir. Saat ini yang ditularkan

dari ibu ke anak jumlahnya secara total sudah 18 anak yang terkena HIV/AIDS.12

Studi Pendahuluan dilakukan di RSU Cibabat Kota Cimahi, hingga beberapa

waktu lalu diketahui penderita yang memeriksakan dirinya ke RSUD Cibabat, tercatat

11
http://www.cimahikota.go.id/page/detail/1
12
Laporan Dinas Kesehatan Kota Cimahi Tahun 2016 diakses di
http://www.cimahikota.go.id/news/detail/1511 tanggal 9 Juni 2017 jam 12.30
7

sebanyak 55 orang. Berdasarkan data tersebut, KPA Kota Cimahi mengajak kepada

seluruh elemen pemerintah dan masyarakat untuk menanggulangi penyakit menular

itu.

Di dalam Sistem Kesehatan Nasional, dikatakan bahwa kesehatan adalah hak

asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa.

Untuk itu perlu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan

berkesinambungan, dengan tujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

masyarakat setinggi – tingginya.13

Penderita HIV / AIDS sudah barang tentu memerlukan pertolongan dari petugas

kesehatan untuk meringankan gejala penyakitnya, berarti petugas kesehatan ini

dianggap mempunyai kemahiran ataupun keahlian tertentu untuk membantu

meringankan gejala yang diderita oleh penderita HIV / AIDS ini. Kemahiran ini

diperoleh dengan melaksanakan pendidikan formal, berdasarkan ilmu pengetahuan

kedokteran atau keperawatan. Petugas kesehatan ini melakukan pekerjaannya dengan

tujuan untuk meringankan penderitaan yang diderita oleh penderita HIV / AIDS ini.

Petugas kesehatan yang menangani penyakit HIV / AIDS terdiri dari tenaga

medis dan tenaga paramedis. Bidan adalah salah satu tenaga paramedis yang beresiko

tertular HIV / AIDS. Sesuai dengan PERMENKES RI NO. 28 Tahun 2017 Tentang

Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, bahwa bidan berperan dalam kesehatan

reproduksi dan penanggulangan IMS termasuk HIV /AIDS. Pelayanan yang diberikan
13
Sistem Kesehatan Nasional, Depkes RI, 2009, Hlm. 1
8

termasuk kesehatan reproduksi pada remaja, pelayanan antenatal, intranatal dan

postnatal juga pelayanan keluarga berencana.

Hubungan antara tenaga kesehatan (bidan) dengan klien dalam melakukan upaya

kesehatan adalah suatu hubungan yang saling timbal balik. Hubungan ini asalnya

merupakan hubungan paternalistik.14 Seiring dengan dinamika masyarakat maka

terjadi pergeseran hubungan antara bidan dengan klien, hubungan bidan dengan

kliennya beralih pada hubungan yang lebih egalitarian (partnership), yakni bersifat

horizontal kontraktual yakni transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik dapat

dipahami sebagai hubungan hukum antara dokter dengan kliennya dalam pelayanan

medis secara profesional berdasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan

keterampilan tertentu di bidang kedokteran.15

Pasal 152 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan menyatakan bahwa penyakit menular harus diberantas sedini mungkin. 16

Penanggulangan yang harus dilaksanakan untuk pencegahan penyakit HIV / AIDS

dilakukan oleh petugas kesehatan, merupakan suatu kegiatan yang memerlukan

perlindungan hukum yang cukup jelas dan kuat bagi petugas kesehatan. Pekerjaan

petugas kesehatan ini yang selalu berhubungan dengan penyakit dan nyawa manusia,

14
Christian, R, Aspek Hukum Kesehatan Dalam Upaya Medis Transplantasi Organ Tubuh,
Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2003, Hal.7
15
Veronica Komalawati, Hukum Dan Etika Dalam Praktik Dokter, Sinar Harapan, Jakarta, 1989,
Hal. 40.
16
Pasal 152 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
9

adalah pekerjaan yang penuh dengan resiko, karena seringan apapun tindakan

penyembuhan selalu mengandung resiko, yang kadang – kadang berakibat fatal.17

Bidan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan terhadap ibu dan anak

memiliki posisi penting dan strategis dalam penurunan AKI dan AKB, salah satunya

dengan memberikan asuhan kebidanan secara continuity of care selama hamil,

bersalin dan nifas, kemudian memberikan Pendidikan kesehatan. Salah satu penyebab

kematian ibu dan bayi adalah persalinan dengan HIV/AIDS. Profesi sebagai bidan

berpotensi tertular virus  HIV/AIDS pada saat melakukan pertolongan pada kelahiran

bayi dengan ibu yang sudah positif mengidap penyakit itu. Bidan adalah tenaga

kesehatan pertama yang melakukan pemeriksaan fisik pada ibu hamil menjelang

persalinan. Bidan akan melakukan informed consent, memberikan pilihan proses

persalinan, menjelaskan prosedur persalinan yang akan ditempuh oleh ibu, hingga

kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi pada proses persalinan. Dalam

proses pertolongan persalinan bidan bersentuhan langsung dengan penderita HIV /

AIDS. Bidan melakukan tugas kolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya jika

terdapat kelainan, sebagai contoh dalam kasus penderita HIV / AIDS, bidan

melakukan rujukan kepada dokter spesialis kandungan untuk penanganan lebih lanjut.

Tidak semua pasien HIV/AIDS mengetahui bahwa dirinya mengidap HIV/AIDS,

bahkan pasien HIV/AIDS cenderung enggan memberikan informasi bahwa pasien

mengidap HIV/AIDS dikarenakan sering terjadinya tindak diskriminasi pada pasien

HIV/AIDS. Bidan Praktek Mandiri atau Bidan Desa dengan keterbatasan alat
17
Munir Fuady, Sumpah Hippocrates, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, Hlm. 15
10

laboratorium akan lebih mudah terancam tertular HIV/AIDS. Bidan memberikan

pelayanan kesehatan primer maka dari itu bidan memerlukan perlindungan hukum

dalam menjalankan tugasnya memberikan pelayanan kesehatan dan jika terjadi hal

yang tidak diinginkan.18

Ketua Pengelolaan Program dan Monitoring Evaluasi Komisi Penanggulangan

AIDS (KPA) Kabupaten Sidoarjo, Ferry Efendi mengatakan, penularan HIV/AIDS

pada saat persalinan memang banyak terjadi.   "Ibu dengan positiv HIV/AIDS yang

melahirkan berpotensi menularkan virus tersebut kepada bidan yang membantu

proses persalinan anaknya," katanya. Menurutnya penularan lewat proses persalinan

ibu terjangkit HIV/AIDS sangat mudah karena antara si penderita dengan penolong

melakukan kontak langsung. Terlebih lagi, katanya, ibu yang telah mengetahui bahwa

dirinya terjangkit HIV/AIDS tidak mau terbuka pada bidan maupun dokter yang

menangani. Hal itu yang dapat menjadikan bidan itu sangat mudah terjangkit karena

kurang kewaspadaan saat persalinan. Menurutnya, ibu hamil terjangkit HIV/AIDS

tersebut juga banyak yang belum mengetahui bahwa dirinya terjangkit penyakit

mematikan itu, sehingga ia berharap masyarakat rutin melakukan pemeriksaan

terutama yang berada di zona mudah terjangkit HIV / AIDS. "Masyarakat harus mau

terbuka dan mau memeriksakan dirinya," katanya. Sementara itu, Direktur Akademi

Kebidanan (Akbid) Siti Chotidjah, Sepanjang, Sidoarjo, Zainul Arif mengakui

18
Sugi Purwanti, Dyah Fajarsari, Rohmi Handayani, “Determinan Perilaku Bidan Dalam
Pencegahan Infeksi Hiv Aids Pada Pertolongan Persalinan Di Kabupaten Banyumas”, Jurnal
Ilmiah Kebidanan, Vol. 5 No. 2 Edisi Desember 2014, Hlm. 110
11

bahwa, penularan HIV/AIDS ke bidan memang sangat rentan. Transmisi antara masa

persalinan yang dilakukan bidan menjadi salah satu media yang mudah menularkan

HIV / AIDS.19

Walaupun penularan HIV / AIDS tidak semudah dan secepat penyakit lainnya,

karena penularan HIV ini melalui cairan tubuh seperti darah, sperma, cairan vagina

dan air susu ibu, tetapi tetap harus waspada karena petugas kesehatan yang

melaksanakan tugas ini mempunyai risiko yang cukup tinggi untuk tertularnya

penyakit ini bahkan dapat mengancam jiwa petugas yang bersangkutan jika ternyata

petugasnya sendiri HIV positif (+) akibat tertular dari pasien yang ditanganinya,

bagaimana bila petugas kesehatan yang melakukan kegiatan untuk pencegahan dan

penanggulangan HIV / AIDS ini, bila tidak dilindungi oleh hukum. Sebagaimana

dijelaskan dalam Pasal 57 Undang – Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2014

tentang Tenaga Kesehatan, salah satu hak tenaga kesehatan dalam memberikan

pelayanan kesehatan, yaitu memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan

tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur

Operasional

Oleh karena itu saat ini sangat dibutuhkan peraturan perundang–undangan yang

dapat melindungi petugas kesehatan terutama bidan, karena peraturan perundang–

undangan dalam penanggulangan HIV / AIDS belum cukup tegas untuk melindungi

petugas kesehatan, terutama bagi kegiatan di lapangan yang mengandung risiko yang

19
Diakses di http://jambi.tribunnews.com/2011/06/21/waspada-bidan-rentan-tertular-hivaids pada
tanggal 07/08/2017 jam 18.00
12

sangat tinggi, karena bila petugas kesehatan sampai tertular akan berdampak pada

kerugian secara ekonomis dimana petugas tersebut tidak dapat lagi melaksanakan

fungsinya dengan baik, sehingga tidak dapat membiayai kehidupan keluarganya dan

dirinya sendiri.

Uraian diatas membuat penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian

dengan topik “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BIDAN DALAM PROSES

PERTOLONGAN PERSALINAN PENDERITA HIV / AIDS DITINJAU DARI

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2014

TENTANG TENAGA KESEHATAN”


13

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian diatas, beberapa masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi bidan dalam proses pertolongan persalinan

penderita HIV/AIDS dihubungkan dengan Undang–Undang Nomor 36 Tahun

2014 Pasal 57 tentang Tenaga Kesehatan?

2. Bagaimana peran pemerintah terhadap hak perlindungan hukum bagi bidan dalam

proses pertolongan persalinan penderita HIV/AIDS?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memahami perlindungan hukum bagi bidan dalam proses pertolongan

persalinan penderita HIV/AIDS ditinjau dari Undang–Undang Nomor 36 Tahun

2014 tentang Tenaga Kesehatan.

2. Untuk memahami peran pemerintah terhadap hak perlindungan hukum bagi bidan

dalam proses pertolongan persalinan penderita HIV/AIDS.


14

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum khususnya hukum

kesehatan, yang permasalahannya selalu mengalami perkembangan seiring

dengan perkembangan ilmu kesehatan.

2. Kegunaan Praktis

Dapat memberikan bahan masukan kepada:

a. Pemerintah

Bagi pembuat peraturan dan kebijakan, diharapkan studi ini dapat dijadikan

salah satu masukan dalam pengambilan kebijakan di bidang pelayanan medis

khususnya dalam pelayanan kebidanan.

b. Tenaga Kesehatan

Sebagai upaya untuk menambah wawasan perlindungan hukum dalam

memberikan pelayanan pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS.

c. Masyarakat

Sebagai bentuk kontribusi dalam meningkatkan wawasan masyarakat untuk

memahami masalah hukum dalam pencegahan dan penanggulangan

HIV/AIDS, sehingga diharapkan muncul kepedulian terhadap sesama

manusia.
15

E. Kerangka Pemikiran

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia

yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat

agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan

kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan

oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran

maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.20

Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta

pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum

berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan

atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.21

Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:22

A. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah

sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-

undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan

rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban.

20
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hlm. 74
21
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,
1987, Hlm. 25
22
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, Universitas Sebelas
Maret Surakarta, 2003, Hlm. 14
16

B. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi

seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah

terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Hukum berfungsi sebagai pelindungan kepentingan manusia, agar kepentingan

manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional. Pelaksanaan

hukum dapat berlangsung normal, damai, dan tertib. Hukum yang telah dilanggar

harus ditegakkan melalui penegakkan hukum. Penegakkan hukum menghendaki

kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap

tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum

karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tertib, aman dan damai.

Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakkan hukum. Hukum

adalah untuk manusia maka pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, kegunaan

bagi masyarakat jangan sampai hukum dilaksanakan menimbulkan keresahan di

dalam masyarakat. Masyarakat yang mendapatkan perlakuan yang baik dan benar

akan mewujudkan keadaan yang tata tentrem raharja. Hukum dapat melindungi hak

dan kewajiban setiap individu dalam kenyataan yang senyatanya, dengan

perlindungan hukum yang kokoh akan terwujud tujuan hukum secara umum:

ketertiban, keamanan, ketentraman, kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, dan

keadilan.

Aturan hukum baik berupa undang-undang maupun hukum tidak tertulis, dengan

demikian, berisi aturan-aturan yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi
17

individu bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan

sesama maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi

batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap

individu. Adanya aturan semacam itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan

kepastian hukum. Dengan demikian, kepastian hukum mengandung dua pengertian,

yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan dua, berupa keamanan

hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan

yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan

atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.23

Hukum di dalam masyarakat, tidak hanya dapat diartikan sebagai sarana untuk

menertibkan kehidupan masyarakat, melainkan dijadikan sarana yang mampu

mengubah pola perilaku warga masyarakat dan perubahan kehidupan sosial warga

masyarakat yang semakin kompleks, dapat mempengaruhi bekerjanya hukum dalam

mencapai tujuan. Sebaliknya pudarnya kepercayaan warga masyarakat terhadap

hukum akibat tujuan hukum tidak tercapai.24 Dikenal tiga aliran konvensional tentang

tujuan hukum, yaitu:25

1. Aliran etis, pada asasnya tujuan hukum itu adalah semata – mata untuk mencapai

keadilan

23
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 157-158
24
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004. Hlm. 78
25
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Prenada Media Grup, Jakarta, 2009,
Hlm. 130
18

2. Aliran utilitis, pada dasarnya tujuan hukum adalah semata – mata untuk mencapai

keadilan

3. Aliran normative-dogmatik, pada dasarnya hukum adalah semata – mata untuk

menciptakan kepastian hukum

Hukum memiliki daya kerja yang baik bila dua fungsi hukum bentuk – bentuk

membumi dalam kehidupan masyarakat yaitu:26

1. Fungsi yang pasif sarana social controle, hanya menjaga status quo

2. Fungsi yang aktif law is tool of social engineering, sebagai alat perekayasa sosial

Sehinga dengan adanya tujuan dan fungsi hukum ini dapat menata kehidupan

masyarakat, termasuk perlindungan hukum bagi masyarakat.

Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berhubungan langsung

pada pemeberian layanan kesehatan dan penerapannya pada hubungan perdata,

hukum administrasi dan hukum pidana. Ciri – ciri hukum kesehatan merupakan

ketentuan yang berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan dan mengatur

hubungan hukum antara penyelenggara dan penerima pelayanan kesehatan.27

Pasal 28 H UUD 1945 menyatakan bahwa, setiap orang berhak hidup sejahtera

lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan

sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 28

Hak asasi (fundamental Untuk memahami hakikat Hak Asasi Manusia, terlebih

dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang hak. Secara definitif “hak”

26
Rusly Effendy, Teori Hukum, Universitas Hasannudin Press, Ujung Pandang, 1991, Hlm. 80
27
CST Kansil, Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, Hlm. 5
28
Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28 H.
19

merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi

kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga

harkat dan martabatnya.29

Hak sendiri mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:30

1. Pemilik hak;

2. Ruang lingkup penerapan hak;

3. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak.

Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak. Dengan

demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang

dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan

yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak

merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Dalam kaitannya dengan pemerolehan hak

ada dua teori yaitu teori McCloskey dan teori Joel Feinberg. Menurut teori

McCloskey dinyatakan bahwa pemberian hak adalah untuk dilakukan, dimiliki, atau

sudah dilakukan. Sedangkan dalam teori Joel Feinberg dinyatakan bahwa pemberian

hak penuh merupakan kesatuan dari klaim yang absah (keuntungan yang didapat dari

pelaksanaan hak yang disertai pelaksanaan kewajiban). Dengan demikian keuntungan

dapat diperoleh dari pelaksanaan hak bila disertai dengan pelaksnaan kewajiban. Hal

itu berarti anatara hak dan kewajiban merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan

29
Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta,
Prenada Media,2003, Hlm. 199.
30
Ibid
20

dalam perwujudannya. Karena itu ketika seseorang menuntut hak juga harus

melakukan kewajiban.31

John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan

langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya,

tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya

sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan

hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.32

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal

1 disebutkan bahwa : “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang

melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha

Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan

dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia.”33

Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM tersebut, diperoleh suatu

kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang

bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus dihormati,

dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Dengan demikian

hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan

eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara

31
Tim ICCE UIN Jakarta. Op., Cit., Hlm. 200
32
Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994, Hlm. 3.
33
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1
21

hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan

kepentingan umum.

Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM, menjadi

kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah, bahkan negara.

Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban

yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan

tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum). Karena itu

pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan

kewajiban asas manusia dan tanggung jawab asasi manusia dalam kehidupan pribadi,

bermasyarakat, dan bernegara.34

Begitu pula hak tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan diatur

dalam Pasal 57 Undang – Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2014 tentang

Tenaga Kesehatan, yaitu:35

a) memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan

Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional;

b) memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan

Kesehatan atau keluarganya;

c) menerima imbalan jasa;

34
Tim ICCE UIN Jakarta . Op., cit., hal. 201
35
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Pasal 57
22

d) memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang

sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai

agama;

e) mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;

f) menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang

bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar

Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan

g) memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Tenaga kesehatan akan melakukan apa yang dikenal dengan upaya kesehatan dan

obyek dari upaya kesehatan adalah pemeliharaan kesehatan, baik pemeliharaan

kesehatan individu maupun masyarakat. Tenaga kesehatan terdiri dari dokter,

paramedik seperti perawat, bidan dan sebagainya. Pada pelayanan kesehatan terdapat

hubungan antara pasien, tenaga kesehatan dan saran kesehatan. Hubungan ini diatur

oleh kaidah – kaidah tentang kedokteran baik hukum maupun non hukum (moral,

etika, kesopanan, kesusilaan dan ketertiban).36

Antara kesehatan dan hak asasi manusia terdapat hubungan yang sangat kompleks

yaitu:

1. Pelanggaran dan kurangnya perhatian pada hak asasi manusia dapat menimbulkan

dampak pada kesehatan

2. Kebijakan dan program kesehatan dapat meningkatkan ataupun melanggar hak

asasi manusia pada tingkat perencanaan atau penerapannya


36
Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung, 2001, Hlm. 36
23

3. Risiko dan dampak dari sakit – sehat dapat dikurangi dengan cara

mempertimbangkan, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia.

Pasal 152 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan

menyatakan bahwa pemberantasan penyakit diselenggarakan terhadap penyakit

menular atau penyakit yang dapat menimbulkan angka kesakitan dan angka kematian

yang tinggi harus dilakukan sedini mungkin.37

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, sebuah virus yang

menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS singkatan dari Acquired Immune

Deficiency Syndrome. AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan

tubuh kita selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. Sistem kekebalan tubuh

menjadi lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem

kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih berat daripada biasanya.38

Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma,

cairan vagina, dan air susu ibu. Virus tersebut merusak system kekebalan tubuh

manusia dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh, sehingga

mudah terjangkit penyakit infeksi.39

Setiap tenaga kesehatan mempunyai kewajiban untuk memenuhi standar profesi

dan menghormati hak pasien, dan wajib untuk menolong termasuk menolong ODHA

yang memang sangat membutuhkan pertolongan. Agar ODHA bisa mendapatkan

pelayanan kesehatan yang paripurna, tenaga kesehatan harus dapat menanganinya

37
Undang – Undang Nomor 23 Pasal 152 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
38
Suzana Murni, Hidup Dengan HIV/AIDS, Yayasan Spiritia, Jakarta, 2016, Hlm. 7
39
Dirjen P2MPL, Op.Cit, Hlm. 1
24

atau membantunya, harus mempunyai rasa empati, yaitu ikut merasakan penderitaan

sesama termasuk ODHA, kasih sayang dan kesediaan saling menolong, rasa

solidaritas secara bersama – sama, bahu – membahu untuk meringankan penderitaan

dan melawan ketidak adilan yang diakibatkan oleh HIV/AIDS. Tidak kalah

pentingnya juga rasa tanggung jawab, berarti bahwa setiap individu, masyarakat,

lembaga atau bangsa mempunyai tanggung jawab untuk mencegah penyebarannya

dan memberikan perawatan para pengidap.

Di samping itu juga diperlukan dukungan untuk tenaga kesehatan melakukan

upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Mutu pelayanan yang mereka

berikan dan ketahanan mereka memberikan pelayanan sangat tergantung pada

seberapa jauh mereka mendapatkan perlindungan hukum agar sejahtera secara fisik

dan moral.

Tenaga kesehatan sangat berhubungan erat dengan pasien HIV/AIDS saat

mengalami proses persalinan. Tenaga penolong persalinan adalah orang-orang yang

biasa memeriksa wanita hamil atau memberikan pertolongan selama persalinan dan

nifas serta mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan alat untuk memberikan

pertolongan yang aman dan bersih, serta memberikan pelayanan nifas kepada ibu dan

bayi. Terutama bidan sebagai tenaga penolong persalinan utama kemungkinan besar

tertular HIV AIDS sangat besar meskipun belum ada laporan kejadian. Tindakan

pencegahan penularan infeksi HIV AIDS selama proses pertolongan persalinan

sangat diperlukan melalui universal pre caution, salah satunya adalah alat

perlindungan diri saat menolong persalinan. Hal ini karena cara perpindahan HIV dari
25

pasien ke tenaga kesehatan melalui kontak langsung dengan cairan darah, ketuban

dari pasien yang terinfeksi. Bidan adalah ujung tombak pelayanan kesehatan ibu dan

anak, karena bidan memberikan pelayanan yang berkesinambungan meliputi

kesehatan reproduksi remaja hingga pelayanan kesehatan anak. Bidan memerlukan

perlindungan hukum agar dapat memberikan pelayanan kesehatan dengan optimal.

Pada dasarnya untuk meminimalisir kejadian penularan HIV/AIDS di dunia ini

tetap harus berpegang pada penilaian yang positif, hindari sex bebas, penggunaan

napza, hal ini sangat bertentangan dengan kaidah – kaidah hukum islam, dasar agama

yang kuat adalah suatu fondasi kehidupan bagi setiap umat manusia. Perbuatan dan

tindakan serta sesuatu yang dihalalkan lebih diprioritaskan dari pada perbuatan atau

sesuatu yang dilarang.40 Dalam ajaran Islam, perilaku menyimpang misalnya

perzinaan – yang dapat memberikan kontribusi pada penyebaran HIV/AIDS – adalah

perbuatan terkutuk.

ِّ ‫ َواَل تَ ْق َربُوا‬ 
‫الزنَا ِإنَّهُ َكانَ فَا ِح َشةً َو َسا َء َسبِياًل‬

 “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu

perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isra: 32).

Pengharaman perilaku homoseksual (hubungan sejenis)

. َ‫َولُوطًا ِإ ْذ قَا َل لِقَوْ ِم ِه َأتَْأتُونَ ْالفَا ِح َشةَ َما َسبَقَ ُك ْم بِهَا ِم ْن َأ َح ٍد ِمنَ ْال َعالَ ِمين‬
‫ْأ‬
ِ ‫ِإنَّ ُك ْم لَتَ تُونَ ال ِّر َجا َل َشه َْوةً ِم ْن دُو ِن النِّ َسا ِء بَلْ َأ ْنتُ ْم قَوْ ٌم ُمس‬ 
َ‫ْرفُون‬

 “Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia

berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang
40
Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM UNISBA, Bandung, 1995, Hlm. 128
26

belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya

kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada

wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.”(Q.S. al-A’raf: 80-81).

Hukum islam bertujuan untuk mewujudkan, memelihara dan melindungi

kemaslahatan manusia. Dalam kaidah Ushuliyyat disebutkan, bahwa hukum

senantiasa berkembang dan berubah seiring perkembangan dan perubahan IPTEK.

Islam sangat menghargai jiwa lebih-lebih jiwa manusia. Cukup banyak ayat Al-

Qur’an maupun Hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara

jiwa manusia tetapi ia adalah anugerah dari Allah SWT.41

Kajian tentang hukum islam yang menyangkut isu – isu kedokteran yang

bersentuhan langsung dengan manusia adalah sangat penting dan dapat menjadi

bagian penting dalam substansi hukum islam. 42 HIV/ AIDS termasuk salah satu

penyakit mematikan yang ditakuti masyarakat. Tenaga kesehatan wajib memberikan

pelayanan kesehatan terhadap penderita HIV/AIDS tanpa diskriminasi karena

penderita HIV/AIDS juga berhak mendapatkan pelayanan kesehatan, dan tenaga

kesehatan juga berhak mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan tugasnya

memberi pelayanan kesehatan.

‫ين‬ ِ ‫اء ُه ْم َو اَل تَ عْ ثَ ْو ا فِ ي ا َأْل ْر‬


َ ‫ض ُم ْف سِ ِد‬ َ َ‫س َأ ْش ي‬ َّ ‫َو اَل تَ ْب َخ ُس وا‬
َ ‫الن ا‬

“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu

merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” (Q.S Asyu’ara’ : 183)


41
Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafidz Anshory, Problematika Hukum Islam, Pustaka Firdaus,
Jakarta, 2002, Hlm. 69
42
Mastuhu dan M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam:Tinjauan Antar Disiplin
Ilmu, Penerbit Nuansa, Bandung, 1998, Hlm. 136
27

F. Metode Penelitian

Penelitian menurut Soerjono Soekanto adalah merupakan suatu sarana untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan baik dari segi teoritis maupun praktis. Suatu

penelitian dimulai apabila sesorang berusaha untuk memecahkan suatu masalah

secara sistemtis dengan metode-metode tertentu yang ilmiah.43

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis

normatif, karena penelitian ini dilakukan dengan cara menghubungkan antara kaidah-

kaidah perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif dengan

pelaksanaan di masyarakat dalam hal ini yang dimaksud dengan kaidah-kaidah

perundang-undangan adalah Undang - Undang Republik Indonesia No 36 tahun 2014

tentang Tenaga Kesehatan maupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada umunya serta peraturan lainnya.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analisis, yang memberikan gambaran

yang jelas tentang keadaan yang terjadi pada saat penelitian berlangsung yang tertuju

pada analisa perkara perlindungan hukum bagi bidan dalam proses pertolongan

persalinan pasien penderita HIV/AIDS.

3. Jenis Data

43
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1987, Hlm. 3
28

Sebagai bahan dan pendukung penulisan ini, maka diperlukan data baik primer

maupun sekunder. Data primer berupa data yang langsung diperoleh dari narasumber

yang berkaitan dengan permasalahan dalam praktik yang nyata, yang diteliti dan

dipelajari sebagai sesuatu yang utuh, yang dihubungkan dengan keadaan atau norma

yang berupa peraturan dalam hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi

yang berkaitan dengan perkara perlindungan hukum bagi bidan dalam proses

pertolongan persalinan penderita HIV/AIDS.

Hasil penelitian dari data yang diperoleh tersebut, dipelajari serta dibahas sebagai

suatu bahan yang komprehensif dalam rangka pengungkapan bahasan dengan

menggunakan metode kualitatif akan menghasilkan data deskriptif analistis.44

4. Teknik Pengambilan Data

Data yang diperlukan untuk penulisan ini adalah melalui penelitian kepustakaan

(library research) dan lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh

data sekunder, data-data sekunder dipergunakan untuk mendapatkan data yang

relevan untuk dijadikan bahan penyusunan tesis ini, yang terdiri dari :

A. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang berlaku dan mengikat berupa :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga

Kesehatan
44
Ibid, Hlm. 242.
29

4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan.

5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017

Tentang Izin Dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.

B. Bahan hukum sekunder terdiri dari, yaitu :

1. Berbagai kepustakaan/literatur yang berkaitan dengan penelitian ini

2. Hasil- hasil kesimpulan seminar, symposium, dan lokakarya yang berkaitan

dengan penelitian ini

3. Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer

yang berupa buku-buku dan tulisan lainnya.

4. Bahan hukum tersier yang memberi petunjuk tentang penjelasan bahan

hukum sekunder, misalnya kamus bahasa Indonesia dan kamus hukum.

5. Wawancara (Interview) yang dilakukan tidak terstruktur. Wawancara tidak

terstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak

menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis

dan lengkap. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis

besar permasalahan yang akan ditanyakan. 45 Dalam hal ini peneliti tidak

memberikan pengarahan – pengarahan, tetapi diserahkan kepada responden

yang diwawancarai untuk memberikan penjelasan menurut kemauan

responden sendiri.

45
Lexy J Maelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000,
Hlm. 138-139
30

5. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat diantaranya di Kantor Sekretariat IBI

Kota Cimahi dan bidan – bidan yang bekerja di wilayah Kota Cimahi.

6. Teknik Penentuan Sampel

Adapun sampel penelitian ditentukan dengan cara purposive sampling. Purposive

Sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.46

Sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah : bidan yang menolong persalinan

penderita HIV/AIDS di wilayah Kota Cimahi.

7. Teknik Analisis Data

Analisis data yang dipakai adalah analisis data kualitatif dengan pendekatan

yuridis normative. Penelitian yuridis normatif membahas doktrin-doktrin atau asas-

asas dalam ilmu hukum.47 Data yang diperoleh kemudian disusun secara kualitatif

untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas dengan tidak menggunakan rumus

maupun data statistik.

46
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi IV, PT Rineka
Cipta, Jakarta, 1998, Hlm. 155
47
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta 2009, Hlm. 24
31

8. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan ini penulis mengadakan penulisan yang keseluruhannya terbagi

dalam 5 (lima) bab. Setiap bab terbagi dalam beberapa sub bab yang lebih kecil.

Adapun perinciannya adalah sebagai berikut.

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan

dalam garis besarnya dan dituangkan kedalam 7 (tujuh) sub bab yaitu

Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian,

Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, dan

Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM

BAGI BIDAN DALAM PROSES PERTOLONGAN PERSALINAN

PENDERITA HIV/AIDS

Dalam bab ini penulis mencoba membahas mengenai perlindungan

hukum, aspek hukum hubungan tenaga kesehatan dan pasien, upaya

pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

BAB III : IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BIDAN

DALAM PROSES PERTOLONGAN PERSALINAN PENDERITA

HIV/AIDS

Dalam bab III ini akan diuraikan mengenai perangkat hukum yang

dapat melindungi bidan dalam proses pertolongan persalinan


32

penderita HIV/AIDS, peran dan fungsi tenaga kesehatan, hak serta

kewajiban pasien dan tenaga kesehatan.

BAB IV : ANALISIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BIDAN

DALAM PROSES PERTOLONGAN PERSALINAN PENDERITA

HIV/AIDS DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 36

TAHUN 2014 TENTANG TENAGA KESEHATAN

Dalam bab IV ini penulis akan menguraikan hasil penelitian

mengenai mekanisme perlindungan hukum bagi bidan dalam proses

pertolongan penderita HIV/AIDS dalam pelayanan kesehatan serta

bagaimana peran pemerintah terhadap hak perlindungan hukum bagi

bidan dalam proses pertolongan persalinan penderita HIV/AIDS.

BAB V : PENUTUP

Bab terakhir ini terdiri dari dua hal, pertama berisikan simpulan dari

hasil penelitian tesis ini, kedua menguraikan saran-saran mengenai

segala hal yang dibahas dalam penulisan tesis ini.

Anda mungkin juga menyukai