Anda di halaman 1dari 2

Sinar matahari mulai meredup. Warna jingga terpancarkan ke seluruh kehidupan.

Genangan air
besemayam di aspal dan tanah dengan lingkaran pelangi. Hawa panas yang menyengat hingga
kerongkongan. Padahal hujan baru turun beberapa jam lalu.

Kulihat semua manusia yang melalui di depanku. Tersenyum dan berteguran sudah menjadi
kebiasaan komplek kami. Hanya saja ada beberapa keluarga yang tidak begitu. Menurutku itu tidak
masalah. Selagi tidak merugikan atau apapun. Toh, mereka juga melakukan kebaikan kepada kami.

Aku suka memandang langit. Perasaan hangat dan lega bersatu saat itu. Mungkin aku hanya lelah
hati karena menutup perasaanku yang sebenarnya. Aku bisa melakukan di luar jati diriku dan
berpura-pura membuat perasaan bagus agar aku dicap sebagai manusia yang baik serta
menyenangkan hati orang lain. Aku sedikit trauma saat bergurau senda tapi ternyata menyakiti
tanpa melukai orang. Ah, sulit ya. Namun, demi perubahan aku mau melakukannya. Tetap saja, itu
melelahkan. Maka dari itu, obat untukku hanyalah melihat langit.

"Fidha, Maghrib akan sampai." panggil ibuku dari arah dapur. Aku menyahutinya dan masuk ke
dalam rumah.

Lampu putih yang kontras dengan dinding hijau membuat sedikit menyilaukan mataku. Padahal aku
tidak menyukai terlalu gelap tapi tidak menyukai terlalu terang. Apa hanya aku saja ya?.

"Hei Fidha, nanti ke rumahku juga ya. Kamu tidak pernah main atau menginap bahkan pula
berkunjung." Ucap sepupuku, Neya.

Neya sedang menginap di rumah keluarga kami. Dia tinggal sendiri karena ayah dan ibunya sedang
keluar kota sebentar. Kakak laki-lakinya pun juga keluar kota namun dengan tujuan lain.

"Ah, baiklah. Tapi tolong sebelumnya siapkan aku kasur yang nyaman untuk ku rebahkan. Kamu tahu
saja kalau aku suka rebahan." jawab ku. Neya tertawa mendengar perkataanku. Dia mengiyakan hal
itu.

"Neya, ada rencana kuliah?" tanyaku. Aku menanyakan hal ini karena aku masih bingung kuliah atau
tidak. Bukannya aku tidak mau kuliah. Hanya saja, aku takut bila aku selesai kuliah, tidak mendapat
pekerjaan. Karena itu membuat uang orang tuaku terhambur sia-sia.

"Yah, mungkin aku akan ikut bekerja dengan keluargaku. Setelah melihat kakakku yang memutuskan
resign kuliah, dia malah mengambil pekerjaan bersama ayah. Jadi aku mau ikut jejak dia." jelas Neya.
Aku bermangut-mangut mendengar pernyataannya. Rasanya semakin bingung untuk memutuskan
dua pilihan.

Malam semakin larut. Waktu tidur telah tiba. Keheningan menyelimuti bumi. Untuk kali ini lampu
tidur tidak dimatikan, karena Neya yang sedang menginap. Dia juga tidak menyukai tidur dengan
lampu yang mati. Penghuni rumah sudah terlelap. Neya, Melyha (adikku), dan kakakku (Kharin) satu
kamar denganku. Sedangkan ayah dan ibu tidur di ruangan kamar sebelah.

"Tolong, tolong!". Suara wanita berteriak sambil mengedor pintu depan dengan keras membuat satu
rumah terbangun. Aku terkejut apa yang telah terjadi? pikirku. Aku, Neya, kakak, dan Melyha
ketakutan. Ayah dan ibu langsung menghampiri kami dan menyuruh berkumpul di ruang tengah.
Ayahku dengan perasaan waspada mencoba berjalan menuju ruang tamu berniat melihat keadaan.
Namun, seketika ponsel ayahku berdering. Beliau mengangkatnya.

"Jangan buka dan dekati pintu ataupun jendela. Wanita itu akan mengambil hal yang penting dari
kalian. Jangan membuat suara yang bising, dia bisa saja melewati jalan lain” t

Anda mungkin juga menyukai