Anda di halaman 1dari 34

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air merupakan komponen penting yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup. Manusia,
sebagai salah satu jenis makhluk hidup memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
keberadaan air. Dalam penggunaannya, manusia selalu berusaha untuk memaksimalkan
pemanfaatan air dengan tujuan untuk mensejahterakan hidup mereka. Salah satu upaya yang
manusia lakukan untuk mensejahterakan hidupnya dalam pemanfaatan air adalah membuat
sistem pengolahan air. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia juga berusaha untuk
meningkatkan taraf hidup mereka. Salah satu caranya adalah menggunakan air bersih dalam
kegiatan sehari-harinya. Oleh karenanya manusia membuat sistem pengolahan air yang dapat
dipergunakan untuk mengolah air kotor menjadi air bersih yang layak dikonsumsi. Selain
peningkatan taraf hidup, pembuatan sistem pengolahan air ini juga didasari oleh air alam yang
sudah mulai tercemar, dimana penyebab tercemarnya sumber air tiada lain adalah manusia
itu sendiri.
Seiring berkembangnya zaman, para ilmuan dan peneliti senantiasa berusaha untuk
memaksimalkan sistem pengolahan air. Hal ini dilakukan secara terus-menerus, mengingat
pencemaran yang dilakukan manusia semakin parah setiap tahunnya. Salah satu indikator
yang menandakan air tercemar adalah kekeruhan air yang cukup tinggi. Kekeruhan air
disebabkan oleh adanya partikel-partikel kecil yang tersuspensi dalam air tersebut. Dalam
sistem pengolahan air, penghilangan kekeruhan air ini biasanya dilakukan pada awal tahapan.
Penghilangan kekeruhan ini dilakukan dengan beberapa metode, dimana sebelum air kotor
memasuki metode, air tersebut memasuki tahap filtrasi untuk menyaring partikel-partikel
besar. Selanjutnya, metode penghilangan kekeruhan terdiri atas koagulasi, flokulasi, dan
sedimentasi. Koagulasi bertujuan untuk menetralkan partikel tersuspensi dan membentuk inti
flok melalui penambahan koagulan. Flokulasi merupakan tahapan pembentukan flok-flok yang
lebih besar dari flok pada proses koagulasi. Kemudian, sedimentasi adalah metode pemisahan
flok-flok pengotor dengan air yang dilakukan dengan bantuan gaya gravitasi. Pada proses
sedimentasi, flok-flok tersebut akan terendap pada bagian dasar wadah. Mengingat
pentingnya proses sedimentasi ini, maka pada praktikum kali ini kita akan membahas proses
sedimentasi.

1.2 Tujuan
a. Untuk mengetahui besarnya kadar zat padat yang terlarut dalam air.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sedimentasi.
c. Mahasiswa mampu menentukan hubungan kecepatan pengendapan sedimentasi
terhadap waktu dan fraksi tersisa.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sedimentasi dalam Pengolahan Air


Sedimentasi adalah salah satu proses atau tahapan dalam sistem pengolahan air.
Sedimentasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses pemisahan partikel padatan tersuspensi
dan air dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Berdasarkan jenis metode yang dipergunakan,
yaitu gravitasi, sedimentasi dapat dikatakan sebagai proses fisika. Dalam sistem pengolahan
air, proses sedimentasi biasanya diawali dengan proses koagulasi dan flokulasi. Dimana, pada
proses koagulasi akan terbentuk inti flok-flok partikel pencemar. Kemudian, pada proses
flokulasi, inti-inti flok tersebut akan menjadi lebih besar dengan cara mengikat partikel
pengotor lainnya. Selanjutnya, pada proses sedimentasi, flok-flok besar yang terbentuk akan
tertarik kebawah oleh gaya gravitasi, sehingga flok tersebut mengendap dan terbentuk
endapan pada bagian dasar bak sedimentasi. Proses sedimentasi ini dilakukan dengan
mendiamkan air dalam beberapa menit (Martini, 2020).
Proses sedimentasi memilik peran yang sangat penting dalam berbagai proses industri.
Berdasarkan literatur lainnya, sedimentasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses
pemisahan campuran padatan dengan cairan atau slurry menjadi sludge (slurry dengan
konsentrasi tinggi) dan cairan yang bening. Dalam sedimentasi pengolahan air, air kotor atau
slurry akan dipisahkan menjadi air bening dan lumpur atau sludge. Pemisahan ini dilakukan
secara fisika dengan menggunakan bantuan dari gaya gravitasi bumi. Proses sedimentasi ini
dapat dikatakan sebagai proses yang sangat penting dalam pengolahan air. Mengingat proses
koagulasi dan proses flokulasi baru akan berjalan maksimal bila diikuti dengan proses
sedimentasi. Proses sedimentasi dilakukan dengan mendiamkan air dalam waktu beberapa
menit, sehingga flok-flok yang terbentuk pada proses koagulasi dan flokulasi tertarik kebawah
oleh gaya gravitasi (Setiyadi, 2013).

2.2 Proses Sedimentasi dalam Pengolahan Air


Proses pengolahan air memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan istilah sedimentasi.
Sedimentasi tidak lain adalah salah satu tahapan yang dilaksanakan dalam metode
pengolahan air. Sedimentasi dapat didefinisikan sebagai pengendapan material fragmental
yang terdapat dalam sejumlah air. Material fragmental atau partikel-partikel pengotor ini
biasanya berasal dari pinggiran atau dasar saluran air yang tergerus oleh air dengan kekuatan
tertentu. Air berkekuatan ini biasanya terdapat pada saluran dengan arus deras, dimana pada
titik tersebut air akan memiliki kemampuan untuk mengerus, sehingga air akan mengandung
partikel. Dalam proses pengolahan air, proses sedimentasi ini biasanya dilaksanakan setelah
proses koagulasi dan flokulasi. Proses koagulasi dan flokulasi akan menyebabkan partikel-
partikel senyawa pengotor berikatan membentuk gumpalan. Kemudian, gumpalan tersebut
nantinya akan terendapkan pada proses sedimentasi karena pengaruh gaya gravitasi
(Fitriyanto, 2017).
Berdasarkan literatur lainnya, dapat kita ketahui bahwa sedimentasi merupakan metode
pemisahan partikel yang terlarut dalam air dengan air itu sendiri dengan menggunakan
bantuan gaya gravitasi. Dalam literatur ini dikatakan pula bahwa proses sedimentasi
merupakan proses lanjutan dari tahap koagulasi dan flokulasi. Artinya, sedimentasi ini
merupakan salah satu tahapan dalam proses pengolahan air. Dalam proses pengolahan air,
sedimentasi ini memiliki tujuan umum, yakni untuk meminimalisir jumlah padatan yang terbawa
air setelah dilakukannya proses koagulasi dan flokulasi. Dengan kata lain, proses sedimentasi
ini akan mengurangi dan menghilangkan partikel-partikel terlarut dalam air baku, sehingga
menghasilkan output berupa air dengan tingkat kekeruhan yang rendah. Setelah air baku
melalui proses sedimentasi, sehingga angka kekeruhannya berkurang jauh, barulah air
tersebut dapat masuk kedalam proses pengolahan selanjutnya (Fardinan, 2016).
2.3 Kecepatan Pengendapan dan Faktor yang Mempengaruhi
Sedimentasi memiliki arti yang serupa dengan pengendapan. Keduanya memiliki tujuan
yang sama, yaknik memisahkan air dengan partikel pengotor yang tersuspensi dalam air itu
sendiri. Sedimentasi atau pengendapan dilakukan dengan mendiamkan air yang telah melalui
koagulasi dan flokulasi selama beberapa menit pada bak pengendapan. Waktu yang
dibutuhkan untuk proses pengendapan dipengaruhi oleh kecepatan pengendapan dari partikel
tersuspensi. Dalam literatur, dijelaskan bahwa kecepatan pengendapan merupakan waktu
yang diperlukan oleh suatu partikel, yaknik partikel pengotor, untuk mengendap pada bagian
dasar bak pengolahan. Kecepatan pengendapan berperan penting dalam proses pengolahan
air, dimana salah satunya adalah untuk menentukan luas bak pengendapan. Kecepatan
pengendapan perlu diketahui sebelum kita membuat bak pengendapan. Maka dari itu,
penentuan nilai kecepatan pengendapan dilakukan melalui uji laboratorium dengan
menggunakan hydrometer dan specific gravity (Cahyadi, 2019).
Kecepatan pengendapan dalam suatu sistem pengolahan air dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi koagulan. Konsentrasi koagulan mempengaruhi inti
flok yang terbentuk. Jumlah konsentrasi yang semakin tepat akan menyebabkan inti flok
terbentuk lebih banyak. Hal ini akan memaksimalkan sedimentasi dan mempercepat proses
pengendapan. Faktor kedua adalah pH lingkungan atau sistem. Upaya penetralan semakin
besar ketika Ph lingkungan rendah. Faktor ketiga adalah pengadukan dan kecepatan
pengadukan. Pengadukan yang sesuai, pada proses koagulasi dan flokulasi, menyebabkan
koagulan tercampur merata dan flok terbentuk sempurna, sehingga pengendapan akan
berjalan semakin cepat. Faktor keempat adalah urutan penambahan bahan pengolah, seperti
koagulan dan flokulan. Urutan ini perlu dipertimbangkan secara jelas agar daya netralisir
koagulan dapat bekerja maksimal (Prihatini, 2014).

2.4 Sedimentasi Tipe 1


Pada topik sebelumnya telah dijelaskan bahwa sedimentasi merupakan proses pemisahan
partikel pengotor dari air dengan menggunakan bantuan gaya gravitasi. Perlu kita ketahui,
bahwa sedimentasi dibedakan kedalam empat kelas atau tipe, yakni tipe 1, tipe 2, tipe 3, dan
tipe 4. Tipe sedimentasi yang kita bahas kali ini adalah sedimentasi tipe 1. Kemudian, terkait
dengan sistem pengolahan air, tipe sedimentasi yang sering dipergunakan adalah sedimentasi
tipe 1 dan tipe 2. Sedimentasi tipe 1 merupakan salah satu tipe sedimentasi yang berfokus
pada pengendapan partikel diskrit (Tauhid, 2018). Partikel diskrit itu sendiri merupakan partikel
pengotor dalam air baku yang tidak mengalami perubahan bentuk selama proses koagulasi,
flokulasi, dan pengendapan. Artinya, partikel diskrit ini tidak mengalami ikatan dengan partikel
lainnya, sehingga partikel tersebut terendap dalam bentuk dan ukuran awalnya, tanpa
terjadinya perubahan.
Sedimentasi dikatakan pula sebagai metode pengendapan padatan, dimana padatan yang
dimaksud adalah partikel pengotor yang tersuspensi adalam air baku. Dalam literatur,
dijelaskan bahwa sedimentasi dapat dibedakan atau dikelompokkan menjadi empat tipe, yakni
tipe 1, tipe 2, tipe 3, dan tipe 4. Sedimentasi tipe 1 merupakan proses pengendapan partikel
diskrit. Proses pengendapan partikel diskrit ini berlangsung pada kecepatan yang konstan.
Pada sedimentasi tipe 1 ini, partikel diskrit akan mengendap secara langsung tanpa
membentuk ikatan dengan partikel lainnya ataupun membentuk flok. Dengan kata lain, partikel
diskrit ini tidak terpengaruh oleh proses koagulasi dan flokulasi, sehingga partikel diskrit akan
mengendap dengan ukuran dan bentuk yang sama dengan bentuk awalnya. Adapun contoh
dari sedimentasi tipe 1 ini adalah penyisihan pasir yang dilakukan pada grit chamber (PUPR,
2018).
2.5 Penerapan Sedimentasi dalam Pengolahan Air
Pengolahan air tidak terlepas kaitannya dengan proses sedimentasi. Dalam literatur yang
diperoleh kali ini, dijelaskan bahwa unit sedimentasi dipergunakan untuk menurunkan
kekeruhan dan kadar TSS dari air baku pada instalasi pengolahan air bersih. Literatur yang
dipergunakan adalah penelitian yang dituangkan dalam bentuk jurnal, dimana dalam jurnal
tersebut dijelaskan bahwa air baku yang dipergunakan untuk proses pengolahan air adalah
air kolam. Air kolam tersebut menampung air limpasan dan air hujan, serta menampung
kotoran ikan didalamnya, sehingga air baku tersebut memiliki kekeruhan yang tinggi. Pada
instalasi pengolahan air bersih ini, proses sedimentasi dipergunakan untuk menurunkan
kekeruhan dan kadar partikel tersuspensi dalam air. Adapun proses sedimentasi ini dilakukan
dengan bantuan gaya gravitasi untuk mengendapkan partikel tersebut pada bagian bawah
bak, sehingga air akan menjadi bening. Setelah melalui proses sedimentasi, barulah air
tersebut dapat disalurkan untuk melalui proses pengolahan selanjutnya. Pada dasarnya,
sebelum melalui proses sedimentasi, air baku terlebih dahulu melalui proses koagulasi dan
flokulasi (Ermayendri, 2019).
BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Alat, Bahan, serta Fungsi


Tabel 3.1 Alat, bahan, serta fungsi
No. Alat dan Bahan Fungsi
1. Vacuum Filter Sebagai alat untuk membantu penyerapan pada
proses filtrasi
2. Erlenmeyer Sebagai wadah air sampel yang telah difiltrasi
Air Limbah Sebagai bahan perlakuan
3. Cawan Sebagai wadah kertas saring ketika dipanaskan dalam
porcelain oven dan ditimbang pada timbangan analitik
Desikator Sebagai alat untuk mendinginkan kertas saring dan
cawan serta memastikan tidak adanya kadar air yang
tersisa
4. Kertas saring Sebagai alat untuk memfilter air sampel
Gelas ukur Sebagai alat untuk mengukur dan mewadahi air
sampel 25 mL
5. Corong Sebagai tempat filtrasi dan peletakan kertas saring
6. Penjepit Sebagai alat untuk mengambil cawan ketika
dipanaskan
8. Pengaduk kaca Sebagai alat untuk menghomogenkan air sampel
9.
10. Oven Sebagai alat untuk menghilangkan kadar air pada
cawan dan kertas saring

3.2 Gambar Alat dan Bahan


Tabel 3.2 Gambar alat dan bahan
No. Alat dan Bahan Fungsi
1. Vacuum Filter

Gambar 3.1 Vacuum Filter


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022

2. Erlenmeyer

Gambar 3.2 Erlenmeyer


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022
3. Air Limbah

Gambar 3.3 Air Limbah


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022

4. Cawan
porcelain

Gambar 3.4 Cawan porcelain


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022

5. Desikator

Gambar 3.5 Desikator


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022

6. Kertas saring

Gambar 3.6 Kertas saring


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022

7. Gelas ukur

Gambar 3.7 Gelas ukur


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022
8. Corong

Gambar 3.8 Corong


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022

9. Penjepit

Gambar 3.9 Penjepit


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022

10. Pengaduk kaca

Gambar 3.10 Pengaduk kaca


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022

11. Oven

Gambar 3.11 Oven


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022
3.3 Cara Kerja

Alat dan Bahan


Disiapkan

Air Sampel

• Diaduk selama 0,1,3,5,7,9,11,13,15,17 menit


• Dilakukan pengambilan 25mL sampel pada
setiap selang waktu

Kertas Saring

• Dipanaskan pada oven dengan suhu 105°C


selama 1 jam
• Kemudian, didinginkan dalam desikator
selama 15 menit
• Ditimbang untuk mengetahui massa
awalnya dengan timbangan analitik

Vacuum Filter
• Dsambungkan pada Erlenmeyer lalu
letakkan corong dan kertas saring diatas
Erlenmeyer
• Dihidupkan

Air Sampel

Dituangkan kedalam corong yang berisi kertas


saring

Cawan Porcelain berisi Kertas Saring

• Dipanaskan pada oven dengan suhu


105°C selama 1 jam
• Kemudian, didinginkan dalam desikator
selama 15 menit

Kertas Saring
• Ditimbang untuk mengetahui massa
akhirnya dengan timbangan analitik

Hasil

Gambar 3.12 Cara kerja


Sumber: Data diolah, 2022
BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Data Hasil Praktikum


Tabel 4.1 Data hasil praktikum
Waktu (menit) 0 1 3 5 7 9 11 13 15 17

TSS (g/L) 17,612 15,136 14,108 11,972 10,608 9,748 8,688 8,572 8,276 8,072

Kecepatan 0 0,02 0,0067 0,004 0,0028 0,0022 0,0018 0,0015 0,0013 0,0011
Pengendapan
(m/s)
Fraksi TSS 1 0,859 0,801 0,679 0,602 0,553 0,493 0,486 0,469 0,458

H = 1,2 m
V = 25 ml

1. Kecepatan Pengendapan
𝐻 (𝑚)
𝑉𝑠 =
𝑡 (𝑠)

• 0 menit
1,2
𝑉𝑠 =
0
𝑉𝑠 = 0 𝑚/𝑠

• 1 menit
1,2
𝑉𝑠 =
1 𝑥 60
1,2
𝑉𝑠 =
60
𝑉𝑠 = 0,02 m/s

• 3 menit
1,2
𝑉𝑠 =
3 𝑥 60
1,2
𝑉𝑠 =
180
𝑉𝑠 = 0,0067 m/s

• 5 menit
1,2
𝑉𝑠 =
5 𝑥 60
1,2
𝑉𝑠 =
300
𝑉𝑠 = 0,004 m/s

• 7 menit
1,2
𝑉𝑠 =
7 𝑥 60
1,2
𝑉𝑠 =
420
𝑉𝑠 = 0,0028 m/s
• 9 menit
1,2
𝑉𝑠 =
9 𝑥 60
1,2
𝑉𝑠 =
540
𝑉𝑠 = 0,0022 m/s

• 11 menit
1,2
𝑉𝑠 =
11 𝑥 60
1,2
𝑉𝑠 =
660
𝑉𝑠 = 0,0018 m/s

• 13 menit
1,2
𝑉𝑠 =
13 𝑥 60
1,2
𝑉𝑠 =
780
𝑉𝑠 = 0,0015 m/s

• 15 menit
1,2
𝑉𝑠 =
15 𝑥 60
1,2
𝑉𝑠 =
900
𝑉𝑠 = 0,0013 m/s

• 17 menit
1,2
𝑉𝑠 =
17 𝑥 60
1,2
𝑉𝑠 =
1.020
𝑉𝑠 = 0,0011 m/s

2. TSS
1000
𝑇𝑆𝑆 = (𝑎 − 𝑏)𝑥
𝑉 (𝑚𝑙)
● 0 menit
1000
𝑇𝑆𝑆 = (1,2738 − 0,8335) × 25
= 17,612 𝑔/𝐿

● 1 menit
1000
𝑇𝑆𝑆 = (1,2119 − 0,8335) × 25
= 15,136 𝑔/𝐿

● 3 menit
1000
𝑇𝑆𝑆 = (1,1862 − 0,8335) × 25
= 14,108 𝑔/𝐿

● 5 menit
1000
𝑇𝑆𝑆 = (1,1328 − 0,8335) × 25
= 11,972 𝑔/𝐿
● 7 menit
1000
𝑇𝑆𝑆 = (1,0987 − 0,8335) × = 10,608 𝑔/𝐿
25

● 9 menit
1000
𝑇𝑆𝑆 = (1,0772 − 0,8335) × 25
= 9,748 𝑔/𝐿

● 11 menit
1000
𝑇𝑆𝑆 = (1,0507 − 0,8335) × 25
= 8,688 𝑔/𝐿

● 13 menit
1000
𝑇𝑆𝑆 = (1,0478 − 0,8335) × 25
= 8,572 𝑔/𝐿

● 15 menit
1000
𝑇𝑆𝑆 = (1,0404 − 0,8335) × 25
= 8,276 𝑔/𝐿

● 17 menit
1000
𝑇𝑆𝑆 = (1,0353 − 0,8335) × = 8,072 𝑔/𝐿
25

3. Fraksi TSS
𝑇𝑆𝑆 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑘𝑢𝑟
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑇𝑆𝑆 =
𝑇𝑆𝑆 𝑎𝑤𝑎𝑙
● 0 menit
17,612
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑇𝑆𝑆 = = 1 𝑔/𝐿
17,612
● 1 menit
15,136
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑇𝑆𝑆 = = 0,859 𝑔/𝐿
17,612

● 3 menit
14,108
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑇𝑆𝑆 = 17,612 = 0,801 𝑔/𝐿

● 5 menit
11,972
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑇𝑆𝑆 = 17,612 = 0.679 𝑔/𝐿

● 7 menit
10,608
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑇𝑆𝑆 = = 0,602 𝑔/𝐿
17,612

● 9 menit
9,748
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑇𝑆𝑆 = 17,612 = 0,553 𝑔/𝐿

● 11 menit
9,688
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑇𝑆𝑆 = 17,612 = 0,493 𝑔/𝐿
● 13 menit
8,572
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑇𝑆𝑆 = = 0,468 𝑔/𝐿
17,612

● 15 menit
8,276
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑇𝑆𝑆 = 17,612 = 0,469 𝑔/𝐿

● 17 menit
8,072
𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑇𝑆𝑆 = 17,612 = 0,458 𝑔/𝐿

4.2 Analisa Data Hasil Praktikum


Pada suatu pelaksanaan penelitian atau praktikum, tentunya terdapat data hasil praktikum
yang akan dipergunakan sebagai penentu praktikum itu sendiri. Data hasil praktikum dapat
berupa data hasil pengukuran ataupun data hasil perhitungan. Dalam praktikum ini terdapat
beberapa data yang merupakan hasil dari pengukuran terhadap perlakuan selama praktikum
ini berlangsung. Data pertama adalah nilai H yang merupakan ketinggian air sampel yang akan
diendapkan, dimana dalam praktikum kali ini, nilai H adalah sebesar 1,2 m. Kemudian, data
hasil pengukuran selanjutnya adalah volume dari air sampel yang diendapkan. Adapun volume
dari air sampel yang diendapkan adalah 25mL. Pengambilan air sampel dilakukan dalam
beberapa selang waktu, diantaranya adalah 0, 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, dan 17 menit.
Kemudian, setiap sampel yang diambil pada setiap selang waktu, mempunyai berat padatan
tersuspensi yang berbeda. Berat ini diperoleh dari selisih antara kertas saring yang belum
diberi perlakukan dan yang sesudah mendapat perlakuan. Dari data tersebut diketahui bahwa
padatan yang tertinggal pada sampel 0, 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, dan 17 menit, secara berurutan
adalah 1,2738; 1,2119; 1,1826; 1,1328; 1,0987; 1,0772; 1,0507; 1,0478; 1,0404; dan 1,0353
gram.

4.3 Analisa Perhitungan


Data hasil praktikum dapat diperoleh melalui perhitungan dengan menggunakan beberapa
rumus tertentu untuk mengolah data yang diperoleh dari hasil pengukuran. Pada praktikum
kali ini, perhitungan pertama dilakukan untuk menganalisis kecepatan pengendapan dari
sampel yang diperoleh pada setiap selang waktu. Adapun rumus yang dipergunakan adalah
𝐻 (𝑚)
𝑉𝑠 = 𝑡 (𝑠)
. Dengan menggunakan rumus tersebut, dapat diketahui bahwa sampel yang
diambil pada 0 menit pengadukan memiliki kecepatan pengendapan sebesar 0 m/s. Sampel
yang diambil pada 1 menit pengadukan memiliki kecepatan pengendapan sebesar 0,02 m/s.
Kemudian, sampel yang diambil pada 3 menit pengadukan memiliki kecepatan pengendapan
sebesar 0,0067 m/s. Selanjutnya, sampel yang diambil pada 5 menit pengadukan memiliki
kecepatan pengendapan sebesar 0,004 m/s. Sampel yang diambil pada 7 menit pengadukan
memiliki kecepatan pengendapan sebesar 0,0028 m/s. Kemudian, untuk sampel yang diambil
pada 9 menit pengadukan memiliki kecepatan pengendapan sebesar 0,0022 m/s. Selanjutnya,
sampel yang diambil pada 11 menit pengadukan memiliki kecepatan pengendapan sebesar
0,0018 m/s. Sampel yang diambil pada 13 menit pengadukan memiliki kecepatan
pengendapan sebesar 0,0015 m/s. Kemudian, sampel yang diambil pada 15 menit
pengadukan memiliki kecepatan pengendapan sebesar 0,0013 m/s. Selanjutnya, sampel yang
diambil pada 17 menit pengadukan memiliki kecepatan pengendapan sebesar 0,0011 m/s.
Kemudian, perhitungan dilanjutkan untuk menentukan nilai TSS (Total Suspended Solid)
pada setiap sampel yang diambil pada setiap selang waktu. Perhitungan dilakukan dengan
1000
menggunakan rumus 𝑇𝑆𝑆 = (𝑎 − 𝑏)𝑥 . Dari perhitungan tersebut, dapat diketahui bahwa
𝑉 (𝑚𝑙)
sampel yang diambil pada pengadukan selama 0 menit memiliki nilai TSS sebesar 17,612 g/L.
Kemudian, sampel yang diambil pada pengadukan selama 1 menit memiliki nilai TSS sebesar
15,136 g/L. Selanjutnya, sampel yang diambil pada pengadukan selama 3 menit memiliki nilai
TSS sebesar 14,108 g/L. Sampel yang diambil pada pengadukan selama 5 menit memiliki nilai
TSS sebesar 11,972 g/L. Lalu, untuk sampel yang diambil pada pengadukan selama 7 menit
memiliki nilai TSS sebesar 10,608 g/L. Kemudian, sampel yang diambil pada pengadukan
selama 9 menit memiliki nilai TSS sebesar 9,748 g/L. Selanjutnya, sampel yang diambil pada
pengadukan selama 11 menit memiliki nilai TSS sebesar 8,688 g/L. Sampel yang diambil pada
pengadukan selama 13 menit memiliki nilai TSS sebesar 8,572 g/L. Kemudian, sampel yang
diambil pada pengadukan selama 15 menit memiliki nilai TSS sebesar 8,276 g/L. Terakhir,
sampel yang diambil pada pengadukan selama 17 menit memiliki nilai TSS sebesar 8,072 g/L.
Perhitungan selanjutnya dilakukan untuk menentukan nilai dari fraksi TSS dari setiap
sampel yang diambil pada setiap selang waktu. Rumus yang dipergunakan dalam perhitungan
𝑇𝑆𝑆 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑘𝑢𝑟
ini adalah 𝐹𝑟𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑇𝑆𝑆 = 𝑇𝑆𝑆 𝑎𝑤𝑎𝑙
. Dari perhitungan yang dilakukan, diketahui bahwa sampel
yang diambil dalam pengadukan selama 0 menit memiliki nilai fraksi TSS sebesar 1 g/L.
Kemudian, sampel yang diambil dalam pengadukan selama 1 menit memiliki nilai fraksi TSS
sebesar 0,859 g/L. Selanjutnya, sampel yang diambil dalam pengadukan selama 3 menit
memiliki nilai fraksi TSS sebesar 0,801 g/L. Lalu, sampel yang diambil dalam pengadukan
selama 5 menit memiliki nilai fraksi TSS sebesar 0,679 g/L. Sampel yang diambil dalam
pengadukan selama 7 menit memiliki nilai fraksi TSS sebesar 0,602 g/L. Kemudian, sampel
yang diambil dalam pengadukan selama 9 menit memiliki nilai fraksi TSS sebesar 0,553 g/L.
Selanjutnya, sampel yang diambil dalam pengadukan selama 11 menit memiliki nilai fraksi
TSS sebesar 0,493 g/L. Sampel yang diambil dalam pengadukan selama 13 menit memiliki
nilai fraksi TSS sebesar 0,468 g/L. Kemudian, sampel yang diambil dalam pengadukan selama
15 menit memiliki nilai fraksi TSS sebesar 0,469 g/L. Terakhir, sampel yang diambil dalam
pengadukan selama 17 menit memiliki nilai fraksi TSS sebesar 0,458 g/L.

4.4 Analisa Hubungan Waktu dengan Kecepatan Pengendapan

Grafik Hubungan antara Waktu dengan


Kecepatan Pengendapan
0,025
Kecepatan Pengendapan (m/s)

0,02
y = -0,0005x + 0,0082
0,015 R² = 0,258

0,01

0,005

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
-0,005
Waktu (s)

Gambar 4.1 Grafik hubungan antara waktu dengan kecepatan pengendapan


Sumber : Data diolah, 2022

Gambar diatas, yakni Gambar 4.1 merupakan grafik yang menunjukkan hubungan
kecepatan pengendapan terhadap waktu pengambilan sampel. Perlu diketahui bahwa
semakin lama waktu pengambilan sampel, maka sampel tersebut memperoleh perlakuan
pengadukan yang lebih lama. Dari grafik tersebut dapat kita amati bahwa garis grafik
menunjukkan kecenderungan yang cenderung menurun. Grafik yang menurun memiliki arti
bahwa, antara waktu pengambilan sampel dan nilai kecepatan pengendapan memiliki
hubungan yang berbanding terbalik. Semakin lama pengadukan yang dialami sampel, maka
semakin kecil nilai kecepatan pengendapan yang dimiliki oleh sampel tersebut. Hal ini juga
berlaku sebaliknya, semakin kecil waktu pengadukan sampel, maka semakin besar kecepatan
pengendapan yang dapat terjadi pada sampel tersebut. Pada dasarnya, hal ini disebabkan
oleh pengadukan itu sendiri. Air sampel yang awalnya mengendap akan menjadi keruh
kembali ketika diaduk, terlebih lagi diaduk dalam waktu yang cukup lama. Partikel pengotor
yang awalnya mengendap dan berbentuk flok besar menjadi pecah kembali ketika diaduk.
Semakin lama proses pengadukan menyebabkan partikel tersebut menjadi lebih kecil lagi dan
semakin terlarut dalam air sampel. Hal inilah yang menyebabkan semakin lama proses
pengadukan, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengendap. Dengan kata lain,
semakin lama waktu pengadukan, semakin kecil kecepatan pengendapan yang dimiliki sampel
tersebut. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi kecepatan pengendapan adalah konsentrasi sedimen suspensi. Selain itu,
dikatakan pula bahwa konsentrasi suspensi merupakan faktor yang paling penting dalam
mempengaruhi kecepatan pengendapan. Hal ini jelas terjadi dalam praktikum, dimana proses
pengadukan yang semakin lama akan memecah kembali flok yang telah terbentuk dan
memperbesar konsentrasi padatan, terutama pada bagian atas air sampel (Rustiah, 2015).

4.5 Analisa Hubungan Waktu dengan Nilai TSS

Grafik Hubungan antara Waktu dengan Nilai TSS


20
18
y = -0,5303x + 15,575
16
R² = 0,8835
14
Nilai TSS (g/L)

12
10
8
6
4
2
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Waktu (s)

Gambar 4.2 Grafik hubungan antara waktu dengan nilai TSS


Sumber : Data diolah, 2022

Grafik diatas, yakni pada Gambar 4.2 merupakan grafik yang menyatakan hubungan
antara waktu pengadukan air sampel dengan nilai TSS (Total Suspended Solid). Sama halnya
dengan grafik sebelumnya, garis grafik ini juga mengalami penurunan. Artinya, grafik ini
mempunyai kecenderungan yang cenderung menurun. Hal ini menegaskan bahwa waktu
pengadukan sampel memiliki hubungan yang terbalik dengan nilai TSS. Semakin lama air
sampel diaduk akan menyebabkan nilai TSS menjadi menurun. Begitu pula sebaliknya,
semakin kecil waktu pengadukan air sampel, maka nilai kadar TSS akan menjadi semakin
tinggi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pengadukan itu sendiri. Pengadukan menyebabkan
sedimen yang telah berada di bawah menjadi tersebar merata kembali keseluruh bagian air
sampel. Pengadukan yang semakin lama akan menyebabkan flok-flok tersebut pecah kembali
dan partikel pengotor tersebar merata di seluruh bagian air. Pada mulanya, air sampel bagian
bawah keruh karena terdapat endapan. Seiring dengan bertambahnya waktu pengendapan,
kondisi keruh atau pekat tersebut semakin menjadi bening dan air diatasnya menjadi keruh.
Dengan kata lain, terjadi pemerataan sebaran partikel. Pengambilan sampel 25 mL yang
dilakukan pada bagian dasar wadah sampel menyebabkan terjadinya penurunan kadar TSS
sebab, partikel yang awalnya berkumpul pada dasar akan tersebar ke seluruh bagian wadah.
Hal ini juga disebutkan dalam literatur yang menyatakan bahwa pengadukan berlebihan
menyebabkan partikel tersebar kembali ke seluruh bagian air sampel. Pengambilan sampel
air pada dasar wadah dapat menghasilkan data serupa dengan praktikum kita kali ini
(Yanuarita, 2017).

4.6 Analisa Hubungan Fraksi Tersisa dengan Kecepatan Pengendapan

Grafik Hubungan antara Fraksi Tersisa dengan


Kecepatan Pengendapan
0,025
Kecepatan Pengendapan (m/s)

0,02
y = 0,0137x - 0,0046
R² = 0,1937
0,015

0,01

0,005

0
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2
Fraksi Tersisa (g/L)

Gambar 4.3 Grafik hubungan antara fraksi tersisa dengan kecepatan pengendapan
Sumber : Data diolah, 2022

Gambar 4.3 merupakan grafik yang menunjukkan hubungan antara fraksi tersisa dan
kecepatan pengendapan dari air sampel yang telah diaduk. Perlu diketahui bahwa fraksi
tersisa merupakan perbandingan antara nilai TSS setelah pengadukan terhadap nilai TSS
awal. Dari grafik tersebut dapat kita amati bahwa grafik tersebut menunjukkan kecenderungan
yang cenderung naik. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi tersisa memiliki hubungan yang
berbanding lurus dengan kecepatan pengendapan. Artinya, semakin besar nilai fraksi tersisa,
semakin besar pula kecepatan pengendapan yang terjadi pada sampel tersebut. Jika kita
telaah lebih mendalam, pada dasarnya, kecepatan pengendapan memiliki hubungan
berbanding terbalik dengan waktu pengendapan. Waktu pengendapan yang dimaksud disini
adalah selang waktu pengambilan sampel air, yakni 0,1,3,5,7,9,11,13,15, dan 17 menit.
Semakin tinggi kecepatan pengendapan, maka waktu pengendapannya semakin kecil. Hal
inilah yang menyebabkan fraksi tersisa dari air sampel tersebut semakin besar. Semakin
kecilnya waktu pengendapan menandakan waktu pengendapan yang dilakukan terhadap
sampel sebelum dilakukan pengukuran TSS semakin sebentar. Hal ini menyebabkan partikel
yang masih melayang pada air sampel belum sempat mengendap seluruhnya. Sehingga,
partikel yang melayang atau tersuspensi masih terdapat dalam jumlah yang banyak. Hal ini
juga terdapat dalam literatur, dimana dalam penelitian yang tertera pada literatur diperoleh
grafik hubungan antara fraksi tersisa dengan kecepatan pengendapan. Sama halnya dengan
praktikum kali ini, dala literatur juga diperoleh grafik yang menunjukkan bahwa kecepatan
pengendapan memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan fraksi tersisa. Semakin besar
nilai kecepatang pengendapan, semakin besar pula fraksi tersisa dari air sampel yang diamati.
Hal ini tentunya tidak terlepas dari waktu pengendapan yang diterapkan pada setiap sampel
berbeda (Tauhid, 2018).
BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Praktikum kali ini merupakan praktikum satuan operasi teknik lingkungan materi ketiga,
yakni dengan judul materi sedimentasi. Praktikum kali ini dilaksanakan dengan tiga buah
tujuan praktikum yang mendasari pelaksanaan praktikum itu sendiri. Tujuan pertama dari
praktikum kali ini adalah untuk mengetahui besarnya kadar zat padat yang terlarut dalam air.
Kemudian, tujuan kedua dari praktikum kali ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi sedimentasi. Selanjutnya, tujuan ketiga dari praktikum kali ini adalah agar
mahasiswa mampu menentukan hubungan kecepatan pengendapan sedimentasi terhadap
waktu dan fraksi tersisa.
Praktikum dapat dinyatakan berhasil ketika praktikan dapat memenuhi tujuan praktikum
yang ditetapkan. Pada praktikum kali ini, dilakukan pengambilan sampel air yang diaduk pada
selang waktu 0, 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, dan 17 menit. Terdapat beberapa data yang dicari
dalam praktikum kali ini, yakni TSS, kecepatan pengendapan, dan fraksi TSS. Besarnya kadar
zat padat yang terlarut dalam air atau TSS ditentukan melalui perhitungan, sehingga
didapatkan hasil bahwa nilai TSS pada sampel yang diambil pada selang waktu 0, 1, 3, 5, 7,
9, 11, 13, 15, dan 17 menit, secara berurutan, adalah 17,612; 15,136; 14,108; 11,972; 10,608;
9,748; 8,688; 8,572; 8,276; 8,072 g/L. Nilai TSS pada sampel tentunya berkaitan erat dengan
proses sedimentasi itu sendiri. Pada dasarnya, proses sedimentasi dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yakni konsentrasi koagulan, konsentrasi partikel pengotor, pH lingkungan, waktu dan
kecepatan pengadukan, jenis koagulan dan flokulan, waktu pengendapan, serta kecepatan
pengendapan. Kemudian, dari praktikum kali ini dapat kita ketahui beberapa hubungan
diantara faktor tersebut. Pertama, waktu pengendapan memiliki hubungan yang berbanding
terbalik dengan kecepatan pengendapan. Artinya, waktu pengadukan yang semakin besar
akan berdampak pada kecepatan pengendapan yang semakin kecil. Kemudian, terkait dengan
hubungannya, kecepatan pengendapan memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan
fraksi tersisa. Artinya, semakin besar kecepatan pengendapan, semakin kecil fraksi tersisa
yang terdapat pada sampel. Hal ini dipengauruhi oleh waktu pengendapan yang dimiliki oleh
setiap sampel yang berbeda.

5.2 Saran
Praktikum kali ini telah dilaksanakan dengan cukup lancar dan tidak ada kendala. Praktikan
sudah sangat merasa terbantu dengan adanya praktikum kali ini walaupun dilaksanakan
secara onlin melalui video praktikum dan asistensi. Harapan kedepannya, kami berharap agar
pelaksanaannya lebih ditingkatkan lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Cahyadi TA, Butungan J, Sudiyanto A, Amrin D, Siri HT, dan Nusanto G. 2019. Rancangan
Sistem Penyaliran pada Lokasi Disposal Tambang Nikel. Jurnal Teknik: Media
Pengembangan Ilmu dan Aplikasi Teknik 18(1): 27-37.
Ermayendri D dan Riangdeko. 2019. Penurunan Kekeruhan dan TSS pada Unit Sedimentasi
dengan Aplikasi Granite Platesetller dan Tanpa Settler Instalasi Pengolahan Air Bersih.
Journal of Nursing and Public Health 7(1): 12-16.
Fardinan K dan Bahriani. 2016. Studi Pengolahan Air Bersih Kelurahan Buloa, Kecamatan
Tallo. Skripsi. Jurusan Sipil Pengairan, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Fitriyanto A. 2017. Pengolahan Air Bersih Skala Rumah Tangga dengan Menggunakan
Teknologi Tepat Guna saat Bencana Banjir. Tugas Akhir. Program Studi Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
Martini S, Yuliawati E, dan Kharismadewi D. 2020. Pembuatan Teknologi Pengolahan Limbah
Cair Industri. Jurnal Distilasi 5(2): 26-33.
Prihatini Y. 2014. Efektivitas Ekstrak Larutan NaCl Biji Kelor (Moringa oleifera L.) tanpa Lemak
Sebagai Koagulan Air Sungai Bengawan Solo. Skripsi. Jurusan Kimia, Fakultas Sains
dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim. Malang.
PUPR K. 2018. Pedoman Perencanaan Teknik Terinci Sistem Pengelolaan Air Limbah
Domestik Terpusat. Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya.
Setiyadi, Lourentius S, Ariella WE, dan Prema G. 2013. Menentukan Persamaan Kecepatan
Pengendapan pada Sedimentasi. Jurnal Ilmiah Widya Teknik 12(2): 9-17.
Tauhid AI, Oktiawan W, dan Samudro G. 2018. Penentuan Surface Loading Rate (Vo) dan
Waktu Detensi (td) Air Baku Air Minum Sungai Kreo Dalam Perencanaan
Prasedimentasi dan Sedimentasi HR-WTP Jatibarang. Jurnal Sains dan Teknologi
10(2): 77-87.
DAFTAR PUSTAKA TAMBAHAN

Rustiah W. 2015. Analisis Logam Berat Cu dan Cd pada Sedimen di Sekitar Perairan Laut
Dangkal Selat Buton Kab. Muna. Jurnal Teknosains 9(2): 253-264.
Yanuarita D, Julaika S, Malik A, dan Goa JL. 2017. Pengaruh Penambahan Bittern pada
Limbah Cair dari Proses Pencucian Industri Pengolahan Ikan. Jurnal IPTEK 21(1): 43-
50.
LAMPIRAN
LAMPIRAN TAMBAHAN
LAMPIRAN DATA HASIL PRAKTIKUM
REVIEW VIDEO

Video praktikum materi ketiga menjelaskan tentang alat, bahan, dan metode yang
dipergunakan dalam praktikum materi ketiga ini, yakni materi sedimentasi. Penjelasan
pertama dilakukan dengan menjelaskan alat bahan yang dipergunakan dalam praktikum,
beserta kegunaan alat tersebut dalam praktikum. Alat yang pertama adalah vacuum filter. Alat
ini merupakan alat yang dipergunakan untuk membantu proses filtrasi atau penyaringan agar
berjalan lebih cepat. Kemudian, alat kedua dalam praktikum adalah gelas erlenmeyer yang
dipergunakan untuk menampung fluida atau air yang telah melalui proses penyaringan.
Kemudian, alat selanjutnya adalah cawan porcelain yang dipergunakan sebagai tempat kertas
saring. Alat selanjutnya adalah kertas saring itu sendiri yang berfungsi sebagai media filter
atau media saringan. Lalu, terdapat corong yang berfungsi sebagai tempat dari kertas saring
ketika proses penyaringan. Alat selanjutnya adalah penjepit yang dipergunakan untuk menjepit
alat lainnya ketika proses pemanasan dalam oven. Kemudian terdapat gelas ukur yang
dipergunakan untuk mengambil air sampel dalam volume tertentu. Terdapat juga pengaduk
kaca sebagai alat untuk menghomogenkan air limbah. Selanjutnya, terdapat bahan praktikum,
yakni air sampel yang diambil dari bak pengendap. Sebelum pengambilan air sampel, bak
pengendap terlebih dahulu diaduk dan air sampel dihomogenkan. Kemudian, terdapat oven
sebagai alat untuk mengeringkan filtrat atau partikel yang terjebak dalam saringan. Setelah
itu, terdapat desikator yang berfungsi sebagai penyerap air pada kerta saring.
Penjelasan praktikum dilanjutkan dengan menjelaskan metode atau langkah kerja
praktikum. Langkah pertama adalah memanaskan cawan porcelain dan kertas saring kedalam
oven atau inkubator selama 1jam dengan temperatur sebesar 105oC. Hal ini bertujuan untuk
menghilangkan kadar air pada cawan dan kertas saring agar tidak mempengaruhi
penimbangan sampel. Setelah 1 jam, cawan dan kertas saring diambil dari oven, kemudian
dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit. Tujuan dari langkah ini adalah untuk
memastikan kadar air pada kedua alat tersebut sudah hilang. Setelah 15 menit, cawan dan
kertas saring kemudian diambil dan diletakkan pada timbangan analitik untuk proses
penimbangan awal. Hasil penimbangan tersebut dicatat sebagai berat awal. Langkah
selanjutnya adalah mengaduk air sampel pada gelas beker sama halnya dengan proses
koagulasi. Seiring pengadukan tersebut dilakukan pengamatan dalam jangka waktu 0, 1, 3, 5,
7, 9, 11, 13, 15, dan 17 menit. Pada setiap selang waktu tersebut dilakukan pengamatan untuk
mengamati bentuk dan kondisi, serta dilakukan pengambilan sampel sebanyak 25 mL. Dalam
pengambilan sampel tersebut, miniskus yang dipergunakan adalah miniskus bawah.
Langkah kerja selanjutnya adalah menyaring setiap sampel yang diperoleh pada
rentang waktu tersebut. Adapun proses penyaringan dibantu dengan menggunakan vacuum
cleaner untuk menyedot air sampel melewati kertas saring. Penyaringan dilakukan diatas
gelas erlenmeyer yang berisi lubang samping. Pada mulut gelas terdapat corong yang
dilengkapi kertas saring. Kemudian lubang samping erlenmeyer berhubungan dengan vacuum
cleaner. Penuangan air sampel keatas kertas saring dilakukan secara perlahan dan hati-hati
agar air sampel tidak tumpah keluar corong. Setelah semua sampel tersaring, setiap kertas
saring yang dipergunakan dimasukkan bersama cawan porcelain kedalam oven untuk
dipanaskan selama 1 jam dalam suhu 105oC. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan kadar air
pada kertas saring dan cawan setelah proses filtrasi. Setelah 1 jam, semua cawan porcelain
yang berisi kertas saring dimasukkan kedalam desikator selama 15 menit untuk memastikan
hilangnya kadar air pada alat tersebut. Langkah selanjutnya adalah menimbang semua cawan
yang berisi kertas saring dengan menggunakan timbangan analitik. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui massa kertas saring dan cawan setelah perlakuan. Hasil penimbangan dicatat
dan kemudian dimasukkan kedalam data hasil praktikum. Maka dari itu akan didapatkan data
berat awal cawan dan kertas saring serta berat cawan dan kertas saring setelah perlakuan,
yakni pada selang waktu 0, 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, dan 17 menit. Data tersebut nantinya akan
dipergunakan dalam perhitungan. Adapun berat partikel yang tersaring diperoleh dari selisih
antara massa awal cawan porcelain beserta kertas saring dengan berat cawan beserta kertas
saring setelah dilakukannya perlakuan. Setelah data dicatat, kita akan mengetahui
perhitungan TS pada air sampel sebelum dan setelah perlakuan. Kemudian kita akan
mengetahui fraksi TS dan kecepatan pengendapan untuk sampel pada setiap selang waktu.
Demikianlah review video praktikum kali ini.

Anda mungkin juga menyukai