SEDIMENTASI
UJIAN TENGAH SEMESTER
Disusun Oleh :
Muh. Farid
25321028
Pengendapan ini terjadi karena adanya interaksi gaya-gaya di sekitar partikel, yaitu gaya
drag dan gaya impelling (resultan gaya yang disebabkan gaya berat partikel / gravitasi dan gaya
apun/buoyant). Massa partikel menyebabkan adanya gaya drag dan diimbangi oleh gaya
impelling, sehingga kecepatan pengendapan partikel konstan.
Gambar 2.2. Gaya-gaya yang bekerja pada partikel di air (Kocameni, 2012)
Berdasarkan Gambar 2, pada tipe 1 sedimentasi ini, sebuah partikel akan berakselerasi
hingga gaya drag, Fd, sama dengan gaya impelling FI, kemudian settling terjadi pada kecepatan
konstan, Vs. gaya impelling, FI, dikutip dari Reynolds & Richard (1996) adalah
𝐹𝐼 = 𝐹𝐺 − 𝐹𝐵 = (𝜌𝑠 − 𝜌)𝑔𝑉 (2.1)
Dimana
𝐹𝐼 = Gaya impelling
𝜌 = massa jenis cairan
𝜌𝑠 = massa jenis partikel
V = volume partikel
g = percepatan gravitasi
selain itu terdapat Gaya drag diberikan oleh Hukum Newton (Reynolds & Richard, 1996).
2
𝐹𝐷 = 𝐶𝐷 𝐴𝑐 𝜌 (𝑉𝑠) (2.2)
2
Dimana
FD = Gaya drag
CD = Koefisien drag, yang merupakan fungsi dari angka Reynolds, NRE
AC = Area dalam penampang melintang di sudut kanan terhadap kecepatan
P = massa jenis cairan
VS = kecepatan pengendapan
Kemudian dari persamaan (1) dan (2) dikombinasikan dan diasumsikan partikel berbentuk
sphere (bulatan) maka diperoleh persamaan untuk menentukan kecepatan pengendapan sebagai
berikut (Reynolds & Richard, 1996)
Koefisien drag (CD) adalah fungsi dari bilangan reynolds NRE, korelasi keduanya diberikan
pada gambar 3. Perlu dicatat bahwa korelasi bervariasi dengan bentuk geometris partikel.
hubungan antara CD dan NRE dapat diinterpretasikan berdasarkan karakteristik aliran yang
ditunjukkan oleh cairan yang mengalir di sekitar benda yang terbenam (Rich, 1961).
Berdasarkan Gambar 3, ada tiga wilayah berbeda: wilayah 1 yakni aliran laminar; wilayah
II yakni aliran transisi dan wilayah III yang merupakan aliran turbulen. Untuk aliran laminar
wilayah I, di mana angka reynolds kurang dari 0,1 wilayah sering disebut rentang Hukum
Stokes, fluida akan mengalir dengan lancar ke permukaan bola, tanpa meninggalkan bangun
(Rich, 1961). Di wilayah I, gaya viskos lebih penting daripada gaya inersia (Reynolds &
Richard, 1996). Berikut diberikan persamaan koefisien drag dan kecepatan pengendapan untuk
wilayah I.
24
𝐶𝐷 = 𝑁𝑅𝑒
(2.4)
𝑔 𝑔
𝑉𝑠 = 18𝑣
(𝑆𝑠 − 1)𝑑2 atau 𝑉𝑠 = 18𝑣
(𝜌𝑠 − 𝜌)𝑑2 (2.5)
Sedangkan pada wilayah II, angka Reynolds berada pada rentang 1 – 104 dan gaya inersia
dan gaya viskos sama pentingnya.
24 3
𝐶𝐷 = 𝑁𝑅𝑒
+
√𝑁𝑅𝑒
+ 0.34 (2.6)
Pada kondisi aliran transisi, persamaan (3) tidak dapat disederhanakan, sehingga
perhitungan kecepatan pengendapannya harus dicari dengan cara coba-coba atau metoda iterasi
(ITB, 2016).
Kemudian pada wilayah III, atau aliran turbulen, angka Reynolds lebih besar dari 104 dan
gaya inersia ialah penting pada wilayah ini (Reynolds & Richard, 1996). Pada wilayah ini,
koefisien dragnya ialah 𝐶𝐷 = 0.4 dan kecepatan pengendapannya dapat dihitungan dengan
persamaan (7) sebagai berikut.
𝑉𝑠 = √3.3𝑔(𝑆𝑠 − 1)𝑑 (2.7)
Dikutip dari diktat kuliah FTSL ITB (2016), berikut ini adalah langkah-langkah dalam
menghitung kecepatan pengendapan bila telah diketahui ukuran partikel, densitas atau spesifik
gravity, dan temperatur air:
1. Asumsikan bahwa pengendapan mengikuti pola laminer, karena itu gunakan
persamaan Stoke's untuk menghitung kecepatan pengendapannya.
2. Setelah diperoleh kecepatan pengendapan, hitung bilangan Reynold untuk
membuktikan pola aliran pengendapannya.
3. Bila diperoleh laminer, maka perhitungan selesai. Bila diperoleh turbulen, maka
gunakan persamaan untuk turbulen, dan bila diperoleh transisi, maka gunakan
persamaan untuk transisi
Selain itu dapat juga dilakukan dengan menggunakan grafik seperti dilihat pada Gambar 4,
di mana grafik tersebut secara langsung memberikan informasi tentang kecepatan pengendapan
bila telah diketahui gravitasi spesifik dan diameternya pada temperatur 10 ⁰C.
di mana Q adalah laju aliran masuk ke tangki, dan A adalah luas penampang tangki. Dalam
tangki persegi panjang aliran horisontal, pengendapan partikel memiliki komponen vertikal
dan horizontal seperti pada Gambar 5
𝑡𝑄
𝐿= (2.9)
𝐻𝑊
Di mana L ialah jarak horizontal yang ditempuh; t ialah waktu perjalanan; H merupakan
kedalaman air; dan W adalah lebar tangki. Kemudian dan untuk jarak vertikal yang ditempuh,
h = vt ; oleh karen itu diperoleh waktu pengendapan partikel yang masuk ke dalam tangki ialah
ℎ
𝑡= .
𝑣
Jika semua partikel dengan kecepatan pengendapan v dibiarkan mengendap, maka h sama
dengan H, dan, sebagai akibatnya, kasing khusus ini menentukan tingkat pemuatan permukaan
atau laju luapan tangki ideal, v (Letterman et.al, 1999),
𝑄 𝑄
𝑣= atau 𝑣 = (2.11)
𝐿𝑊 𝐴
Untuk pengendapan partikel diskrit (Sedimentasi Tipe 1), variasi dalam ukuran dan
kepadatan partikel menghasilkan distribusi kecepatan pengendapan. Distribusi kecepatan
pengendapan dapat ditentukan dari data yang dikumpulkan dari uji kolom pengendapan. Uji
kolom pengendapan menghasilkan informasi tentang F (fraksi partikel) dan kecepatan V. Data
ini digunakan untuk menghasilkan kurva analisis kecepatan-pengendapan (Metcalf dan Eddy,
1991 dalam Letterman et.al, 1999 ).
F0
V Vet.al,
Sumber: Letterman 0
1999
Gambar 2.6. Kurva analisis kecepatan pengendapan sedimentasi deskrit
Fraksi total penyisihan partikel untuk kecepatan 𝑉0 dituliskan pada persamaan berikut
1 𝐹
𝑅 = (1 − 𝐹 ) + ∫ 0 𝑉𝑑𝐹 (2.12)
0 𝑉0 0
Dimana R merupakan besarnya fraksi pengendapan partikel total, Fo ialah fraksi partikel
tersisa pada kecepatan Vo, V kecepatan pengendapan dan dF ialah selisih fraksi partikel tersisa,
dan ketentuan sebagai berikut (Reynolds & Richaard, 1996):
• 1 – Fo = fraksi partikel dengan kecepatan lebih besar dari Vo
1 𝐹
• ∫ 0 𝑉𝑑𝐹= fraksi partikel dengan kecepatan lebih kecil dari Vo
𝑉0 0
2.4. Sedimentasi II
Dalam pengolahan air, prinsip penggunaan koagulasi dan flokulasi adalah untuk
menggumpalkan padatan sebelum sedimentasi dan penyaringan pasir cepat. Koagulasi dan
flokulasi terdiri dari penambahan pereaksi bahan kimia pembentukan-flok pada air atau air
limbah untuk menjerat atau menggabungkan dengan padatan koloid dan padatan tersuspensi
pengendapan lambat untuk menghasilkan flok yang cepat mengendap. Selanjutnya, flok
dihilangkan dengan sedimentasi. Koagulasi adalah penambahan koagulan,
pencampuran/pengadukan cepat dan destabilisasi yang dihasilkan dari padatan koloid dan
padatan tersuspensi, dan agregasi awal dari partikel yang tidak stabil. Sedangkan flokulasi
adalah pengadukan lambat atau pengadukan lembut dan agregat partikel yang tidak stabil dan
membentuk flok pengendapan cepat (Reynolds & Richard, 1996).
2.4.1. Koagulasi
Koagulasi adalah proses destabilisasi partikel senyawa koloid dalam limbah cair dimana
proses pengendapan akan terjadi dengan penambahan koagulan ke dalam limbah cair sehingga
terjadi endapan pada dasar tangki (Suharto, 2011). Koagulasi adalah proses yang kompleks,
melibatkan banyak reaksi dan langkah perpindahan massa. Proses ini pada dasarnya adalah tiga
langkah terpisah dan berurutan: pembentukan koagulan, destabilisasi partikel, dan tabrakan
antar partikel. Pembentukan koagulan, destabilisasi partikel, dan interaksi koagulan-bahan
organik alami biasanya terjadi selama dan segera setelah penyebaran kimia dalam
pencampuran cepat; tumbukan antar partikel yang menyebabkan pembentukan agregat (flok)
dimulai selama pencampuran cepat tetapi biasanya terjadi terutama dalam proses flokulasi
(Letterman et.al, 1999).
Faktor utama yang mempengaruhi koagulasi dan flokulasi air dan air limbah adalah
kekeruhan, padatan tersuspensi, suhu, pH, komposisi dan konsentrasi kationik dan anionik,
durasi dan tingkat agitasi selama koagulasi dan flokulasi, dosis dan sifat koagulan, dan jika
diperlukan, bantuan koagulan. Pemilihan koagulan memerlukan penggunaan studi koagulasi
laboratorium atau pilot plant menggunakan jar test, karena air atau air limbah yang diberikan
dapat menunjukkan hasil koagulasi yang optimal untuk koagulasi tertentu (Reynolds &
Richard, 1996)
Terdapat berbagai jenis koagulan yang digunakan untuk pengolahan air, diantaranya
Aluminium Sulfat atau Alum, Ferrosulfat, ferrisulfat, ferri klorida, kapur, dan polielektrolit.
Diantara koagulan tersebut, koagulan yang paling banyak digunakan dalam pengolahan air
adalah alumhninum sulfat, salah satunya disebabkan karena harganya yang cukup murah.
Limbah cair atau air yang bersifat alkali bereakasi dengan Al2(SO4)3.14H2O akan membentuk
endapan atau flok Al(OH)3 dengan reaksi kimia sebagai berikut (Suharto, 2011):
2.4.2. Flokulasi
Dalam bak flokulasi, pencampuran atau pengadukan yang intens diperlukan untuk
menyebarkan atau menyeragamkan bahan kimia di seluruh baskom dan untuk memungkinkan
kontak yang memadai antara koagulan dan partikel tersuspensi (Reynolds & Richard, 1996).
Menurut Suharto (2011), flokulasi adalah proses pengendapan pencemar dalam limbah
cair dengan penambahan bahan koagulan utama dan koagulan pendukung sehingga terjadi
gumpalan sebelum mencapai dasar tangka pengendap. Flokulasi dikenal pula sebagai
pencampuran (mixing) dengan kecepatan sangat lambat. Limbah cair yang diberi koagulan
dengan dosis tertentu diaduk dalam tangka flokulasi kemudian pengaduk dimatikan dan
didiamkan maka akan terbentuk endapan di bagian bawah.
Kecepatan subsidensi suatu partikel yang berbentuk bulat atau hampir bulat akan
meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran partikel. dengan demikian, ketika stabilitas
suspensi sedemikian rupa sehingga koalisi dari partikel tersuspensi terjadi pada kontak satu
sama lain, setiap operasi yang mempromosikan kontak antara partikel akan memfasilitasi
sedimentasi. istilah "flokulasi" digunakan untuk menggambarkan operasi seperti ini. pada
sebagian besar aplikasi pengolahan air, flokulasi dilakukan dengan impeller dayung (Rich,
1961).
Laju luapan VO ditentukan untuk berbagai waktu pengendapan (t1, t2, dan sebagainya) di
mana kurva R memotong sumbu x. misalnya, untuk RA kurva, laju luapannya adalah
𝐻
𝑉0 = ×proper conversions (2.13)
𝑡𝑎
di mana H adalah ketinggian kolom dan ta adalah intersep dari kurva RA dan sumbu x. fraksi
padatan dihilangkan RT untuk waktu, ta , tb, dan seterusnya kemudian ditentukan. misalnya,
untuk waktu tc, fraksi yang disisihkan RT akan menjadi (Richard dan Reynolds, 1996):
𝐻2 𝐻1
𝑅=𝑅 + (𝑅 − 𝑅 ) + (𝑅 − 𝑅 ) (2.14)
𝑇 𝐶 𝐻 𝐷 𝐶 𝐻 𝐸 𝐷
di mana H2 mewakili ketinggian yang partikel (RD-RC) ukuran akan menetap selama tc
(Reynolds & Richard, 1996).
BAB III
METODOLOGI
c. Metode Pengukuran
Pengukuran Total Suspended Solid (TSS)
Pengukuran TSS dilakukan dengan menggunakan TSS meter dengan mengikuti
prosedur sebagai berikut:
a) TSS meter dinyalakan dengan cara menekan tombol On/Off
b) Mengkalibrasi TSS meter dengan memasukkan kuvet blanko yang berisi
aquadest dimasukkan ke dalam TSS meter, kemudian ditekan tombol Zero/
Read
c) Sampel dimasukkan ke dalam kuvet yang lain, kemudian ditekan tombol
Zero/Read
d) Angka yang tertera di layar merupakan nilai TSS
Dari data yang disajikan dalam Tabel 4.1, menunjukkan konsentrasi TSS berkurang
seiring bertambahnya waktu dalam reaktor. Hal ini dikarenakan partikel diskrit di dalam air
sampel mengendap karena gravitasi seiring dengan berjalannya waktu. Untuk lebih jelasnya,
hubungan antara penurunan konsentrasi TSS dan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.1.
80 60
Konsentrasi TSS (mg/L)
50
60
40
40 30
20
20
10
0 0
0 5 10 15 20 25 0 5 10 15 20 25
Waktu Pengendapan (Menit) Waktu Pengendapan (Menit)
(a) (b)
Gambar 4.1. Grafik hubungan waktu pengendapan terhadap (a) konsentrasi (b) persen removal
Berdasarkan Gambar 4.1 menunjukkan hubungan antara waktu pengendapan dengan
konsentrasi total suspended solid serta persentase penyisihan partikel. Berdasarkan tabel dan
gambar tersebut, dapat dilihat bahwa semakin lama waktu pengendapan, maka persentase
penyisihan partikelnya pun akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena waktu pengendapan
yang lebih lama akan memberikan kesempatan pada lebih banyak partikel diskrit untuk
mengedap. Keadaan tersebut juga mempengaruhi nilai TSS. Semakin banyak partikel diskrit
yang mengendap, maka nilai TSS yang ada pada air berkurang.
Menggunakan Persamaan 2.12 pada bab sebelumnya, penyisihan total dapat dicari
dengan memplot fraksi tersisa terhadap kecepatan pengendapan. Kemudian mencari nilai luas
diatas kurva dimana kurva tersebut dibagi menjadi beberapa segmen.
Mengacu pada Gambar 4.2, diperoleh 11 segmen yang kemudian diukur luasnya untuk
memperoleh nilai total removal. Dimana hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.2
sebagai berikut.
Tabel 4.2. Perhitungan Luas Area Kurva
Area df Vs df Vs
1 0,005 4,9 0,0245
2 0,005 5,1 0,0255
3 0,005 5,4 0,0270
4 0,005 5,5 0,0275
5 0,005 5,8 0,0288
6 0,005 6,0 0,0300
7 0,005 6,4 0,0320
8 0,005 6,8 0,0338
9 0,005 7,3 0,0363
10 0,005 8,3 0,0413
11 0,002 9,8 0,0196
Luas area 0,3261
Sumber: Hasil praktikum, 2019
Dari nilai yang diperoleh, dengan asumsi Vo = 11 cm/detik, dapat dilakukan
perhitungan terhadap penyisihan total yang terjadi 𝑅 = (1 − 0,562) + (1/11 x 0,3621) 𝑥 100%
= 46,76%. Maka, penyisihan total partikel diskrit selama 20 menit adalah 46,76%. Maka
untuk mendapatkan efisiensi lebih tinggi, maka perlu overflowrate lebih tinggi pula.
4.3 Sedimentasi II
Dosis koagulan yang digunakan dalam percobaan yaitu 5 ml per liter sampel. Volume
sampel yang diujikan yaitu 23,558 L sehingga dosis koagulan yang digunakan yaitu
117,79ml. Setelah mendapatkan dosis koagulan, maka dilakukan percobaan sedimentasi II
dengan penambahan koagulan alum sebanyak 117,79 mL kemudian dilakukan pengambilan
sampel pada kelima port tangki camp dan diukur TSS perinterval waktu. Untuk mendapatkan
persentase removal maka data yang diperoleh diubah menjadi bentuk persentase. Hasil
percobaan sedimentasi II untuk parameter kekeruhan disajikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Data persentase removal TSS
h keran
Menit Keran 1 Keran 2 Keran 3 Keran 4 Keran 5
0,935 0,735 0,575 0,425 0,325
0 0% 0% 0% 0% 0%
5 10% 14% 17% 20% 11%
10 55% 58% 60% 64% 63%
15 75% 75% 74% 74% 73%
20 83% 83% 83% 83% 83%
Sumber: Hasil praktikum, 2019
Dari Tabel 4.3, data-data persentase removal tersebut kemudian diolah untuk
mendapatkan total removal dan over flowrate. Penyisihan total TSS pada percobaan
sedimentasi tipe II ini dapat diketahui dengan memplotkan nilai persentase penyisihan pada
Tabel 4.3 ke dalam grafik isoremoval pada Gambar 4.3 sebagai berikut
Berdasarkan Gambar 4.4 diperoleh persamaan linier untuk menghitung waktu detensi
yakni y = -4,1838x+ 101,14 dengan asumsi persen penyisihan TSS dari rentang 50-70%
ditentukan dari kolom uji sebesar 70%, maka didapatkan waktu detensi (td)
%𝑟𝑒𝑚𝑜𝑣𝑎𝑙−101,14 70−101,14
𝑡𝑑 = −4,1838
= −4,1838
= 7,44 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡
Kemudian dicari nilai overflow rate yang diperlukan untuk mencapai efisiensi 70%
tersebut dengan menentukan hubungan logaritmik antara overflow rate dan %penyisihan TSS
seperti yang ditampilkan pada Gambar 4.5 sebagai berikut
Gambar 4.5. Grafik Overflow Rate
Berdasarkan Gambar 4.5 tersebut diperoleh persamaan y = 420,85x + 17,678. Sehingga,
dengan asumsi 70% penyisihan TSS maka overflow rate (Vo) dapat diperoleh dari perhitungan
berikut,
%𝑟𝑒𝑚𝑜𝑣𝑎𝑙−17,678 70−17,678
𝑉𝑜 = 420,85
= 420,85
= 0,1243 m3/m2.hari
BAB V
KESIMPULAN
ITB. 2016. Sedimentasi. Diakses pada 28 Januari 2019 pada pukul 21.16 WIB di
www.kuliah.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2016/10/sedimentasi.pdf
IWA Publishing. Sedimentation Processes. Diakses pada 28 Januari 2019 pada pukul 21.08 WIB
di https://www.iwapublishing.com/news/sedimentation-processes
Letterman et.al. 1999. Water Quality and Treatment: A Handbook of Community Water
Supplies. McGraw-Hill
Metcalf & Eddy, Inc. (2003). Wastewater engineering : treatment and reuse. Boston :McGraw-
Hill
Nurfadillah, Ayu Rofia dan Yustiana Usman. 2015. Sedimentasi. Universitas Hasanuddin
Reynolds, Tom D and Paul A Richards. 1996. Unit Operations and Processes in
Rich, Linvil G. 1961. Unit Operations of Sanitary Engineering. USA. John Wiley & Sons.
Rozali dkk. 2016. Pola Sebaran Total Suspended Solid (Tss) Di Muara Sungai Kampar
Kabupaten Pelalawan. Diakses di https://media.neliti.com/media/publications/199805-
patterns-of-distribution-total- suspended.pdf pada 6 Maret 2019 pukul 15.08 WIB
Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001. Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian
Pencemaran Air
Suharto. 2011. Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air. Yogyakarta : Penerbit ANDI.
Schulz, C.R. and Okun, D.A. (1984) Surface Water Treatment for Communities in Developing
Countries. John Wiley and Sons, NewYork.
LAMPIRAN
A. Pengambilan Sampel
Pengukuran TSS