Anda di halaman 1dari 28

TL-5223

LABORATORIUM TEKNIK LINGKUNGAN


LAPORAN PRAKTIKUM

SEDIMENTASI
UJIAN TENGAH SEMESTER

Disusun Oleh :
Muh. Farid
25321028

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sungai merupakan salah satu jenis air permukaan yang keberadaannya sangat dibutuhkan
oleh manusia dan makhluk hidup lainnya untuk berbagai keperluan, salah satunya ialah
dimanfaatkan untuk menjadi sumber air baku. Untuk dapat dijadikan air baku, tentunya air
sungai harus memenuhi beragam kriteria kualitas air yang telah ditetapkan dalam baku mutu
kualitas air yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001.
Kualitas air sungai dipengaruhi oleh kualitas pasokan air yang berasal dari daerah
tangkapannya, serta aktifitas manusia. Perubahan kondisi kualitas air disebabkan oleh
penggunaan lahan, litologi, waktu, curah hujan dan aktivitas manusia yang mengakibatkan
pencemaran air sungai, baik fisik, kimia, maupun biologis. Saat ini masalah utama yang
dihadapi adalah air yang ada dipermukaan sering tercemar sehingga mengurangi kualitas air
dan menyebabkan terjadinya berbagai dampak seperti menurunkan daya guna, hasil guna,
produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada akhirnya
menurunkan kekayaan sumber daya alam.
Beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam kualitas air adalah kekeruhan dan
total suspended solid (TSS). Kekeruhan erat sekali hubungannya dengan zatatau bahan
tersuspensiyang ada dalamair terdiri dari berbagai jenis, sepertipasir halus, liat yang merupakan
bahantersuspensi terdiri dari berbagai jenis senyawa seperti selulosa, lemak, protein yang
melayang-layang dalam air atau dapat juga berupa mikroorganisme seperti bakteri, algae, dan
sebagainya. Bahan-bahan organik ini selain berasal dari sumber-sumber alamiah juga berasal
dari buangan kegiatan manusia seperti kegiatan industri, pertanian pertambangan atau kegiatan
rumah tangga. Kekeruhan memang disebabkan karena adanya zat tersuspensi dalam air, namun
karena zat yang bentuk dan berat jenisnya berbeda-beda maka kekeruhan tidak selalu
sebanding dengan kadar zat tersuspensi (Rozali, 2016).
Padatan Total Suspended Solid (TSS) merupakan bahan-bahan tersuspensi yang
(diameter >1μm) yang bertahan pada saringan mili pore dengan diameter pori-pori 0,45 μm.
yang terdiri dari atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan
oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi, 2003 dalam Rozali,
2016).
Salah satu cara yang digunakan dalam pengolahan air untuk menghilangkan turbiditas
atau kekeruhan dan kandungan TSS ialah menggunakan unit sedimentasi. Oleh karena itu, pada
praktikum kali ini akan dilihat efisiensi penghilangan kekeruhan dan TSS menggunakan proses
sedimentasi.
1.2. Tujuan
Tujuan praktikum sedimentasi pada mata kuliah Laboratorium Teknik Lingkungan ialah
sebagai berikut:
1. Menentukan karakteristik awal sampel air sungai yang digunakan
2. Memahami proses sedimentasi tipe I dan tipe II
3. Mengukur nilai total suspended solid (TSS) selama proses sedimentasi
4. Menghitung kecepatan mengendap (vs) dan waktu pengendapan (td) partikel diskrit
5. Menentukan beban air dengan menentukan overflowrate.
6. Mengamati proses pengendapan dan pembagian zona yang terjadi

1.3. Ruang Lingkup


Ruang lingkup dalam penulisan laporan ini antara lain:
1. Air sampel yang digunakan berasal dari Sungai Cikapundung yang diambil secara
sesaat (grab sampling)
2. Penentuan dosis optimum koagulan 5ml per liter sampel.
3. Proses koagulasi dilakukan pada kecepatan 100 rpm selama 10 menit dan flokulasi
pada kecepatan 60 rpm selama 10 menit
4. Persentase efisiensi penyisihan partikel ditentukan berdasarkan nilai total suspended
solid (TSS)
5. Batasan pembahasan makalah ini hingga sampai penentuan over flowrate
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Sedimentasi


Sedimentasi adalah proses yang memungkinkan partikel dalam suspensi di air untuk
mengendap keluar dari suspensi di bawah pengaruh gravitasi. Dalam pengolahan air,
sedimentasi dapat digunakan untuk mengurangi konsentrasi partikel dalam suspensi sebelum
penerapan koagulasi, untuk mengurangi jumlah bahan kimia yang dibutuhkan, atau setelah
koagulasi dan, mungkin, flokulasi. Ketika sedimentasi diterapkan setelah koagulasi, tujuannya
biasanya untuk mengurangi konsentrasi padatan dalam suspensi sehingga penyaringan
selanjutnya dapat berfungsi paling efektif (IWA Publishing).
Menurut Reynolds dan Richard (1996), sedimentasi adalah pemisahan padat-cair yang
memanfaatkan pengendapan gravitasi untuk menghilangkan padatan tersuspensi. Proses ini
biasanya digunakan dalam pengolahan air, pengolahan air limbah, dan pengolahan air limbah
lanjutan.
Sedimentasi adalah salah satu dari beberapa metode untuk aplikasi sebelum penyaringan.
Secara umum, proses pemisahan padatan-cair tersebut kadang-kadang disebut sebagai proses
klarifikasi. Ada berbagai metode untuk menerapkan sedimentasi yakni meliputi aliran
horizontal, aliran radial, pelat miring, floc ballasted dan sedimentasi floc blanket (IWA
Publishing). Dalam pengolahan air aplikasi utamanya adalah sebagai berikut (Reynolds &
Richard, 1996):
• Pengendapan polos air permukaan sebelum diolah oleh pabrik filtrasi pasir cepat
• Pengendapan air terkoagulasi dan flokulasi sebelum penyaringan pasir cepat
• Pengendapan air terkoagulasi dan flokulasi dalam pabrik pelunakan jenis kapur-soda
• Pengendapan air yang diolah di pabrik pemindahan besi atau mangan
Sedangkan dalam pengolahan air limbah, kegunaan utamanya adalah
• Penghapusan grit atau pasir dan lanau
• Penghapusan padatan tersuspensi dalam klarifikasi primer
• Pembuangan flok biologis dalam klarifikasi akhir lumpur aktif
• Pelepasan humus dalam trickling final filter filter
Dikutip dari Kocameni (2012) pengendapan partikel dari suspensi tergantung pada:
1. Karakteristik Partikel, dimana terbagi atas 2 ialah sebagai berikut
✓ Partikel diskrit: partikel yang ukuran, bentuk, dan berat jenisnya tidak berubah
seiring waktu.
✓ Partikel flokulasi: partikel yang sifat permukaannya sedemikian sehingga mereka
teragregasi pada saat kontak. Dengan demikian, mengubah ukuran, bentuk, dan
mungkin gravitasi spesifik dengan kontak.
2. Konsentrasi partikel
✓ Suspensi encer: suspensi di mana konsentrasi partikel tidak cukup untuk
menyebabkan perpindahan yang signifikan dari air saat mereka mengendap atau di
mana partikel tidak akan cukup dekat untuk menyebabkan gangguan pada medan
kecepatan.
✓ Suspensi terkonsentrasi; suspensi di mana konsentrasi partikel terlalu besar untuk
memenuhi kondisi yang disebutkan untuk suspensi encer.
2.2. Klasifikasi Sedimentasi
Berdasarkan hal tersebut, diperoleh klasifikasi sedimentasi yang dibagi ke dalam empat
tipe yaitu sebagai berikut:
• Settling tipe I
Ciri dari pengendapan ini ialah partikel yang menetap, mempertahankan satu sama lain,
yaitu, mereka tidak menyatu. Oleh karena itu, sifat fisik mereka terjaga seperti bentuk,
ukuran dan kepadatan (Nurfadilah dan Usman, 2015). Pengendapan partikel diskrit,
yakni partikel-partikel mengendap tanpa interaksi dan terjadi di bawah konsentrasi
padatan rendah. Contoh dari jenis pengendapan ini adalah penghilangan partikel pasir
(Carlsson, 1998).
• Settling tipe II
Settling tipe II disebut juga sebagai pengendapan partikel flokulen, dimana menurut
Nurfadhilah dan Usman (2015) karakteristiknya ialah, partikel bergabung menetap
sementara, karakteristik partikel berubah, dengan peningkatan ukuran (pembentukan
flok) dan, sebagai hasilnya, terjadi kecepatan pengendapan. Penerapan jenis
sedimentasi ini ialah pada tangki sedimentasi primer, bagian atas tangki sedimentasi
sekunder, dan flok kimia dalam pengolahan fisik kimia.
• Settling tipe III: pengendapan pada lumpur biologis atau disebut jugan pengendapan
zona. Pada pengendapan ini terdapat gaya antar-partikel yang cukup untuk
menghambat pengendapan partikel sekitarnya. Partikel cenderung untuk tinggal di
posisi yang tetap dengan kaitannya dengan partikel sekitarnya (Nurfadhilah dan Usman,
2015). Jenis pengendapan ini tipikal pada settler untuk proses lumpur aktif (secondary
clarge) (Carlsson, 1998).
• Settling tipe IV:
Tipe pengendapan IV atau disebut juga pengendapan kompresi. Ini terjadi ketika
konsentrasi partikel sangat tinggi sehingga partikel pada satu tingkat secara mekanis
dipengaruhi oleh partikel pada tingkat yang lebih rendah. Kecepatan pengendapan
kemudian berkurang secara drastis (Carlsson, 1998). Kompresi terjadi karena berat
partikel, ditambahkan secara konstan karena sedimentasi dari partikel terletak pada
cairan supernatan. Dengan kompresi, bagian dari air akan dihilangkan dari matriks flok,
untuk mengurangi volum sekitarnya (Nurfadhilah dan Usman, 2015).

Sumber : Carlsson, 1998 dan Rich, 1961


Gambar 2.1. Klasifikasi Pengendapan pada Clarifier dan Paragenesis Diagram
2.3. Sedimentasi I
Sedimentasi tipe I atau sedimentasi bebas, adalah pengendapan partikel deskrit, partikel
nonflokulen dalam suspensi encer (Reynolds & Richard, 1996). Pada sedimentasi ini berlaku
hukum sedimentasi klasik. Sedimentasi suatu partikel dari suspensi seperti ini tidak terhalang
oleh kehadiran partikel pengendapan lainnya dan merupakan fungsi hanya dari sifat-sifat fluida
dan partikel tersebut (Rich, 1961).
Contoh-contoh dari pengendapan tipe I adalah sedimentasi air permukaan dan pengendapan
partikel pasir di Grit Chambers (Reynolds & Richard, 1996). Berdasarkan Kocemami (2012),
karakteristik sedimentasi I ialah sebagai berikut
• Mengendapkan diskrete partikel dalam suspensi encer
• Partikel tidak memiliki kecenderungan untuk berflokulasi
• Mereka menetap sebagai entitas individu dan tidak ada interaksi yang signifikan
dengan partikel lainnya.

Pengendapan ini terjadi karena adanya interaksi gaya-gaya di sekitar partikel, yaitu gaya
drag dan gaya impelling (resultan gaya yang disebabkan gaya berat partikel / gravitasi dan gaya
apun/buoyant). Massa partikel menyebabkan adanya gaya drag dan diimbangi oleh gaya
impelling, sehingga kecepatan pengendapan partikel konstan.

Gambar 2.2. Gaya-gaya yang bekerja pada partikel di air (Kocameni, 2012)

Berdasarkan Gambar 2, pada tipe 1 sedimentasi ini, sebuah partikel akan berakselerasi
hingga gaya drag, Fd, sama dengan gaya impelling FI, kemudian settling terjadi pada kecepatan
konstan, Vs. gaya impelling, FI, dikutip dari Reynolds & Richard (1996) adalah
𝐹𝐼 = 𝐹𝐺 − 𝐹𝐵 = (𝜌𝑠 − 𝜌)𝑔𝑉 (2.1)
Dimana
𝐹𝐼 = Gaya impelling
𝜌 = massa jenis cairan
𝜌𝑠 = massa jenis partikel
V = volume partikel
g = percepatan gravitasi

selain itu terdapat Gaya drag diberikan oleh Hukum Newton (Reynolds & Richard, 1996).
2
𝐹𝐷 = 𝐶𝐷 𝐴𝑐 𝜌 (𝑉𝑠) (2.2)
2
Dimana
FD = Gaya drag
CD = Koefisien drag, yang merupakan fungsi dari angka Reynolds, NRE
AC = Area dalam penampang melintang di sudut kanan terhadap kecepatan
P = massa jenis cairan
VS = kecepatan pengendapan

Kemudian dari persamaan (1) dan (2) dikombinasikan dan diasumsikan partikel berbentuk
sphere (bulatan) maka diperoleh persamaan untuk menentukan kecepatan pengendapan sebagai
berikut (Reynolds & Richard, 1996)

Dimana; Ss ialah spesifik gravitasi oleh partikel.

Koefisien drag (CD) adalah fungsi dari bilangan reynolds NRE, korelasi keduanya diberikan
pada gambar 3. Perlu dicatat bahwa korelasi bervariasi dengan bentuk geometris partikel.
hubungan antara CD dan NRE dapat diinterpretasikan berdasarkan karakteristik aliran yang
ditunjukkan oleh cairan yang mengalir di sekitar benda yang terbenam (Rich, 1961).

Sumber : Reynolds & Richard, 1996


Gambar 2.3. Grafik Hubungan Koefisien Drag dengan Angka Reynolds

Berdasarkan Gambar 3, ada tiga wilayah berbeda: wilayah 1 yakni aliran laminar; wilayah
II yakni aliran transisi dan wilayah III yang merupakan aliran turbulen. Untuk aliran laminar
wilayah I, di mana angka reynolds kurang dari 0,1 wilayah sering disebut rentang Hukum
Stokes, fluida akan mengalir dengan lancar ke permukaan bola, tanpa meninggalkan bangun
(Rich, 1961). Di wilayah I, gaya viskos lebih penting daripada gaya inersia (Reynolds &
Richard, 1996). Berikut diberikan persamaan koefisien drag dan kecepatan pengendapan untuk
wilayah I.
24
𝐶𝐷 = 𝑁𝑅𝑒
(2.4)
𝑔 𝑔
𝑉𝑠 = 18𝑣
(𝑆𝑠 − 1)𝑑2 atau 𝑉𝑠 = 18𝑣
(𝜌𝑠 − 𝜌)𝑑2 (2.5)
Sedangkan pada wilayah II, angka Reynolds berada pada rentang 1 – 104 dan gaya inersia
dan gaya viskos sama pentingnya.
24 3
𝐶𝐷 = 𝑁𝑅𝑒
+
√𝑁𝑅𝑒
+ 0.34 (2.6)
Pada kondisi aliran transisi, persamaan (3) tidak dapat disederhanakan, sehingga
perhitungan kecepatan pengendapannya harus dicari dengan cara coba-coba atau metoda iterasi
(ITB, 2016).
Kemudian pada wilayah III, atau aliran turbulen, angka Reynolds lebih besar dari 104 dan
gaya inersia ialah penting pada wilayah ini (Reynolds & Richard, 1996). Pada wilayah ini,
koefisien dragnya ialah 𝐶𝐷 = 0.4 dan kecepatan pengendapannya dapat dihitungan dengan
persamaan (7) sebagai berikut.
𝑉𝑠 = √3.3𝑔(𝑆𝑠 − 1)𝑑 (2.7)

Dikutip dari diktat kuliah FTSL ITB (2016), berikut ini adalah langkah-langkah dalam
menghitung kecepatan pengendapan bila telah diketahui ukuran partikel, densitas atau spesifik
gravity, dan temperatur air:
1. Asumsikan bahwa pengendapan mengikuti pola laminer, karena itu gunakan
persamaan Stoke's untuk menghitung kecepatan pengendapannya.
2. Setelah diperoleh kecepatan pengendapan, hitung bilangan Reynold untuk
membuktikan pola aliran pengendapannya.
3. Bila diperoleh laminer, maka perhitungan selesai. Bila diperoleh turbulen, maka
gunakan persamaan untuk turbulen, dan bila diperoleh transisi, maka gunakan
persamaan untuk transisi

Selain itu dapat juga dilakukan dengan menggunakan grafik seperti dilihat pada Gambar 4,
di mana grafik tersebut secara langsung memberikan informasi tentang kecepatan pengendapan
bila telah diketahui gravitasi spesifik dan diameternya pada temperatur 10 ⁰C.

Sumber : (Reynolds & Richard, 1996)


Gambar 2.4. Sedimentasi Tipe 1 oleh partikel sphere di air pada 10⁰C
Menurut Letterman et.al (1999), dalam tangki pengendapan upflow yang ideal, partikel
yang ditahan adalah partikel yang kecepatan pengendapan terminalnya melebihi kecepatan
upflow cair:
𝑄
𝑣𝑡 ≥ 𝐴
(2.8)

di mana Q adalah laju aliran masuk ke tangki, dan A adalah luas penampang tangki. Dalam
tangki persegi panjang aliran horisontal, pengendapan partikel memiliki komponen vertikal
dan horizontal seperti pada Gambar 5
𝑡𝑄
𝐿= (2.9)
𝐻𝑊

Di mana L ialah jarak horizontal yang ditempuh; t ialah waktu perjalanan; H merupakan
kedalaman air; dan W adalah lebar tangki. Kemudian dan untuk jarak vertikal yang ditempuh,
h = vt ; oleh karen itu diperoleh waktu pengendapan partikel yang masuk ke dalam tangki ialah

𝑡= .
𝑣

Sumber : Letterman et.al, 1999


Gambar 2.5. Komponen horizontal dan vertical dari kecepatan pengendapan

Kemudian dilakukan kombinasi persamaan sehingga diperoleh


𝐿𝑊𝐻 ℎ
= (2.10)
𝑄 𝑣

Jika semua partikel dengan kecepatan pengendapan v dibiarkan mengendap, maka h sama
dengan H, dan, sebagai akibatnya, kasing khusus ini menentukan tingkat pemuatan permukaan
atau laju luapan tangki ideal, v (Letterman et.al, 1999),
𝑄 𝑄
𝑣= atau 𝑣 = (2.11)
𝐿𝑊 𝐴

Untuk pengendapan partikel diskrit (Sedimentasi Tipe 1), variasi dalam ukuran dan
kepadatan partikel menghasilkan distribusi kecepatan pengendapan. Distribusi kecepatan
pengendapan dapat ditentukan dari data yang dikumpulkan dari uji kolom pengendapan. Uji
kolom pengendapan menghasilkan informasi tentang F (fraksi partikel) dan kecepatan V. Data
ini digunakan untuk menghasilkan kurva analisis kecepatan-pengendapan (Metcalf dan Eddy,
1991 dalam Letterman et.al, 1999 ).

F0

V Vet.al,
Sumber: Letterman 0
1999
Gambar 2.6. Kurva analisis kecepatan pengendapan sedimentasi deskrit

Fraksi total penyisihan partikel untuk kecepatan 𝑉0 dituliskan pada persamaan berikut
1 𝐹
𝑅 = (1 − 𝐹 ) + ∫ 0 𝑉𝑑𝐹 (2.12)
0 𝑉0 0

Dimana R merupakan besarnya fraksi pengendapan partikel total, Fo ialah fraksi partikel
tersisa pada kecepatan Vo, V kecepatan pengendapan dan dF ialah selisih fraksi partikel tersisa,
dan ketentuan sebagai berikut (Reynolds & Richaard, 1996):
• 1 – Fo = fraksi partikel dengan kecepatan lebih besar dari Vo
1 𝐹
• ∫ 0 𝑉𝑑𝐹= fraksi partikel dengan kecepatan lebih kecil dari Vo
𝑉0 0

2.4. Sedimentasi II
Dalam pengolahan air, prinsip penggunaan koagulasi dan flokulasi adalah untuk
menggumpalkan padatan sebelum sedimentasi dan penyaringan pasir cepat. Koagulasi dan
flokulasi terdiri dari penambahan pereaksi bahan kimia pembentukan-flok pada air atau air
limbah untuk menjerat atau menggabungkan dengan padatan koloid dan padatan tersuspensi
pengendapan lambat untuk menghasilkan flok yang cepat mengendap. Selanjutnya, flok
dihilangkan dengan sedimentasi. Koagulasi adalah penambahan koagulan,
pencampuran/pengadukan cepat dan destabilisasi yang dihasilkan dari padatan koloid dan
padatan tersuspensi, dan agregasi awal dari partikel yang tidak stabil. Sedangkan flokulasi
adalah pengadukan lambat atau pengadukan lembut dan agregat partikel yang tidak stabil dan
membentuk flok pengendapan cepat (Reynolds & Richard, 1996).

2.4.1. Koagulasi
Koagulasi adalah proses destabilisasi partikel senyawa koloid dalam limbah cair dimana
proses pengendapan akan terjadi dengan penambahan koagulan ke dalam limbah cair sehingga
terjadi endapan pada dasar tangki (Suharto, 2011). Koagulasi adalah proses yang kompleks,
melibatkan banyak reaksi dan langkah perpindahan massa. Proses ini pada dasarnya adalah tiga
langkah terpisah dan berurutan: pembentukan koagulan, destabilisasi partikel, dan tabrakan
antar partikel. Pembentukan koagulan, destabilisasi partikel, dan interaksi koagulan-bahan
organik alami biasanya terjadi selama dan segera setelah penyebaran kimia dalam
pencampuran cepat; tumbukan antar partikel yang menyebabkan pembentukan agregat (flok)
dimulai selama pencampuran cepat tetapi biasanya terjadi terutama dalam proses flokulasi
(Letterman et.al, 1999).
Faktor utama yang mempengaruhi koagulasi dan flokulasi air dan air limbah adalah
kekeruhan, padatan tersuspensi, suhu, pH, komposisi dan konsentrasi kationik dan anionik,
durasi dan tingkat agitasi selama koagulasi dan flokulasi, dosis dan sifat koagulan, dan jika
diperlukan, bantuan koagulan. Pemilihan koagulan memerlukan penggunaan studi koagulasi
laboratorium atau pilot plant menggunakan jar test, karena air atau air limbah yang diberikan
dapat menunjukkan hasil koagulasi yang optimal untuk koagulasi tertentu (Reynolds &
Richard, 1996)
Terdapat berbagai jenis koagulan yang digunakan untuk pengolahan air, diantaranya
Aluminium Sulfat atau Alum, Ferrosulfat, ferrisulfat, ferri klorida, kapur, dan polielektrolit.
Diantara koagulan tersebut, koagulan yang paling banyak digunakan dalam pengolahan air
adalah alumhninum sulfat, salah satunya disebabkan karena harganya yang cukup murah.
Limbah cair atau air yang bersifat alkali bereakasi dengan Al2(SO4)3.14H2O akan membentuk
endapan atau flok Al(OH)3 dengan reaksi kimia sebagai berikut (Suharto, 2011):

Al2(SO4)3.14H2O + 3Ca(HCO3)2 2 Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14H2O + 6CO2

2.4.2. Flokulasi
Dalam bak flokulasi, pencampuran atau pengadukan yang intens diperlukan untuk
menyebarkan atau menyeragamkan bahan kimia di seluruh baskom dan untuk memungkinkan
kontak yang memadai antara koagulan dan partikel tersuspensi (Reynolds & Richard, 1996).
Menurut Suharto (2011), flokulasi adalah proses pengendapan pencemar dalam limbah
cair dengan penambahan bahan koagulan utama dan koagulan pendukung sehingga terjadi
gumpalan sebelum mencapai dasar tangka pengendap. Flokulasi dikenal pula sebagai
pencampuran (mixing) dengan kecepatan sangat lambat. Limbah cair yang diberi koagulan
dengan dosis tertentu diaduk dalam tangka flokulasi kemudian pengaduk dimatikan dan
didiamkan maka akan terbentuk endapan di bagian bawah.
Kecepatan subsidensi suatu partikel yang berbentuk bulat atau hampir bulat akan
meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran partikel. dengan demikian, ketika stabilitas
suspensi sedemikian rupa sehingga koalisi dari partikel tersuspensi terjadi pada kontak satu
sama lain, setiap operasi yang mempromosikan kontak antara partikel akan memfasilitasi
sedimentasi. istilah "flokulasi" digunakan untuk menggambarkan operasi seperti ini. pada
sebagian besar aplikasi pengolahan air, flokulasi dilakukan dengan impeller dayung (Rich,
1961).

2.4.3. Teori Sedimentasi Tipe II


Pengendapan tipe II adalah pengendapan partikel flokulan dalam suspensi encer.
Pengendapan flokulan terjadi jika partikel padatan teraglomerasi selama proses pengendapan
sehingga terjadi perubahan bentuk, ukuran, partikel padat dan laju pengendapan. Jenis
sedimentasi ini banyak digunakan pada perlakuan limbah cair. Endapan yang terjadi pada dasar
tangki sedimentasi terdiri atas lumpur sehingga kandungan senyawa organik menurun dalam
limbah cair (Suharto, 2011). Contoh-contoh dari pengendapan tipe II adalah pengendapan
utama air limbah dan pengendapan air dan air limbah yang terkoagulasi secara kimia (Reynolds
& Richard, 1996)
Pada pengendapan flokulasi kecepatan tidak konstan tetapi cenderung meningkat. Karena
flokulasi yang terjadi saat partikel turun ke bawah, semakin besar kesempatan kontak yang
mereka miliki, maka semakin besar terbentuknya flok. Hasil dari, efisiensi penghilangan pada
pengendapan flokulasi meningkat dengan peningkatan kedalaman H dan waktu t (berbeda dari
pengendapan terpisah). Dalam kasus pengendapan flokulan, kecepatan pengendapan suatu
partikel tidak dianalisis. Untuk menentukan karakteristik pengendapan, suspensi partikel
flokulan dilakukan uji kolom pengendapan (Kocameni, 2012). Pada uji pengendapan flokulasi,
hasilnya disajikan dalam bentuk kurva atau grid, menunjukkan persentase penghilangan
partikel pada kedalaman dan waktu-waktu tertentu (Wilson, 1981 dalam Nurfadillah, 2015).
Dalam uji pengendapan flokulan, suspensi harus dicampur secara menyeluruh dan
dituangkan dengan cepat ke dalam kolom agar memastikan bahwa distribusi partikel terjadi
secara merata di seluruh ketinggian kolom. Sampel dikeluarkan melalui port pada interval
waktu berkala, dan selanjutnya konsentrasi padatan tersuspensi ditentukan dalam setiap sampel.
Persen penyisihan dihitung untuk setiap sampel dari konsentrasi padatan tersuspensi awal dan
konsentrasi sampel (Reynolds & Richard, 1996). Hasil disajikan dalam grafik yang disebut
dengan grafik isoremoval yakni grafik yang digunakan untuk mencari besarnya penyisihan
total pada waktu tertentu. Hasil diplot terhadap waktu dan kedalaman, dan kurva dengan
persentase penyisihan (Letterman et.al, 1999). Interpolasi dibuat di antara titik-titik yang diplot,
dan kurva dengan persentase penyisihan yang sama (RA, RB, dan sebagainya) digambar, seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 7 (Reynolds & Richard, 1996)

Sumber: Reynolds & Richard, 1996


Gambar 2.7. (a) Kolom sedimentasi tipe II (b) Grafik isoremoval sedimentasi tipe II.

Grafik isoremoval juga dapat digunakan untuk menentukan lamanya waktu


pengendapan dan surface loading atau overflow rate bila diinginkan efisiensi pengendapan
tertentu. Langkah yang dilakukan adalah (ITB, 2016):
a. Hitung penyisihan total pada waktu tertentu (seperti langkah di atas), minimal sebanyak
tiga variasi waktu. (Ulangi langkah di atas minimal dua kali)
b. Buat grafik hubungan persen penyisihan total (sebagai sumbu y) dengan waktu
pengendapan (sebagai sumbu x)
c. Buat grafik hubungan persen penyisihan total (sebagai sumbu y) dengan overflow rate
(sebagai sumbu x)

Laju luapan VO ditentukan untuk berbagai waktu pengendapan (t1, t2, dan sebagainya) di
mana kurva R memotong sumbu x. misalnya, untuk RA kurva, laju luapannya adalah
𝐻
𝑉0 = ×proper conversions (2.13)
𝑡𝑎

di mana H adalah ketinggian kolom dan ta adalah intersep dari kurva RA dan sumbu x. fraksi
padatan dihilangkan RT untuk waktu, ta , tb, dan seterusnya kemudian ditentukan. misalnya,
untuk waktu tc, fraksi yang disisihkan RT akan menjadi (Richard dan Reynolds, 1996):
𝐻2 𝐻1
𝑅=𝑅 + (𝑅 − 𝑅 ) + (𝑅 − 𝑅 ) (2.14)
𝑇 𝐶 𝐻 𝐷 𝐶 𝐻 𝐸 𝐷

di mana H2 mewakili ketinggian yang partikel (RD-RC) ukuran akan menetap selama tc
(Reynolds & Richard, 1996).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Sedimentasi Tipe I


3.1.1 Waktu dan Tempat
Pengambilan sampel dan penelitian dilakukan pada 24 Februari 2022 pukul 14.30 WIB
di Sungai Cikapundung Jalan Kebun Binatang, Lb. Siliwangi, Kecamatan Coblong, Kota
Bandung seperti pada Gambar 3.1. Kemudian penelitian dilakukan di Laboratorium Air
Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.

Sumber : Dokumentasi kelompok dan Google maps


Gambar 3.1. Lokasi pengambilan sampel

3.1.2 Alat dan Bahan


a. Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
1) Tangki Camp
2) TSS meter
3) Beaker glass
4) Ember
5) Stopwatch
6) Meteran
7) Tali tambang
b. Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
1) Air Sungai Cikapundung
2) Aquadest

3.1.3 Cara Kerja


a. Uji karakteristik awal sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel air yang berasal dari
aliran Sungai Cikapundung yang berada di jalan Kebung Binatang. Sampel diambil
dengan metode grab sampling (sampel sesaat), yang mewakili kondisi saat pengambilan
sampel. Sampel diambil dengan menggunakan botol kemudian dimasukkan ke dalam
galon sebanyak 20 L. Nilai TSS dari sampel diukur terlebih dahulu sebelum digunakan
sebagai bahan uji.

b. Percobaan Sedimentasi Tipe I


Percobaan penyisihan partikel deskrit dengan metode sedimentasi tipe I ini
menggunakan reaktor tangki Camp seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.2. Pada
percobaan ini, akan diketahui kecepatan pengendapan partikel diskrit dari sampel air
Sungai Cikapundung. Langkah-langkah yang dilakukan pada percobaan sedimentasi tipe I
ini adalah:
1) Sampel dimasukkan ke dalam ember dan diaduk agar terhomogenisasi
2) Sampel yang telah homogen dimasukkan ke dalam tangki Camp dan diaduk
kembali hingga homogen
3) Tinggi muka air sampel di dalam tangki Camp diukur dengan menggunakan
meteran
4) Sampel diambil dari kran terbawah pada tangki Camp dengan menggunakan beaker
glass dan dilakukan uji karakteristik awal sampel dengan mengukur nilai TSS,
data pendukung
5) Sampel yang telah dihomogenkan di dalam tangki Camp tersebut kemudian
didiamkan dan dihitung waktu pengendapan partikel diskritnya setiap jangka waktu
5 menit.
6) Pada setiap interval waktu 5 menit tersebut dilakukan pengambilan sampel melalui
kran bagian paling bawah tangki Camp
7) Mengukur nilai TSS pada masing-masing sampel, sehingga dapat ditentukan
kecepatan pengendapan partikel diskrit sampel tersebut.

Gambar 3.2 Sketsa Tangki Camp

Langkah-langkah percobaan sedimentasi tipe I dapat dilakukan secara sistematis sesuai


dengan diagram alir pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Diagram Alir Percobaan Sedimentasi Tahap I

c. Metode Pengukuran
Pengukuran Total Suspended Solid (TSS)
Pengukuran TSS dilakukan dengan menggunakan TSS meter dengan mengikuti
prosedur sebagai berikut:
a) TSS meter dinyalakan dengan cara menekan tombol On/Off
b) Mengkalibrasi TSS meter dengan memasukkan kuvet blanko yang berisi
aquadest dimasukkan ke dalam TSS meter, kemudian ditekan tombol Zero/
Read
c) Sampel dimasukkan ke dalam kuvet yang lain, kemudian ditekan tombol
Zero/Read
d) Angka yang tertera di layar merupakan nilai TSS

3.2 Sedimentasi Tipe II


3.2.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada 25 Februari 2022 di Laboratorium Air Jurusan Teknik
Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.
3.2.2 Alat dan Bahan
a. Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
1) Tangki Camp
2) TSS meter
3) Beaker glas
4) Pipet tetes
5) Ember
6) Stopwatch
7) Meteran
8) Kayu pengaduk
b. Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
1) Supernatan air Sungai Cikapundung pada percobaan sedimentasi tipe I
2) Koagulan Alum (Al2(SO4)3)
3) Aquadest
3.2.3 Cara Kerja
a. Percobaan Sedimentasi Tipe II
Percobaan sedimentasi tipe II dilakukan dengan menggunakan tangki Camp dengan
pengambilan sampel pada 5 ketinggian tertentu. Tangki yang digunakan sama dengan
percobaan sedimentasi I, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.2. Akan tetapi,
sampel air yang digunakan untuk percobaan ini berasal dari supernatan sampel pada
hasil proses sedimentasi tipe I dan akan ditambahkan dengan koagulan sebanyak 5ml
per liter sampel. Langkah- langkah yang dilakukan pada percobaan sedimentasi tipe I
ini adalah:
1) Sampel air dimasukkan ke dalam tangki Camp, lalu diaduk untuk
menghomogenkan sampel. Selanjutnya ditambah dengan koagulan
2) Dilakukan pengadukan manual dengan bantuan kayu, dimana pengadukan cepat
dilakukan selama 10 menit dan pengadukan lambat selama 10 menit
3) Setelah pengadukan selesai, sampel diambil secara serentak dari lima kran yang ada
pada tangki Camp pada setiap interval 5 menit
4) Kemudian diukur nilai TSS dan kekeruhan pada masing-masing sampel sehingga
dapat ditentukan kecepatan pengendapan flok
Langkah-langkah percobaan sedimentasi tipe II dapat dilakukan secara sistematis
sesuai dengan diagram alir pada Gambar 3.4

Gambar 3.4 Diagram Alir Percobaan Sedimentasi Tahap II


b. Metode Pengukuran
Analisis yang dilakukan dalam percobaan ini sama dengan analisis pada percobaan
sedimentasi I yaitu pengukuran TSS.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Sampel Awal


Air sungai yang digunakan sebagai sampel percobaan sedimentasi ini berasal dari aliran
air Sungai Cikapundung, Jalan Kebun Binatang yang diambil pada hari Kamis 24 Februari
2022 pukul 14.30 WIB. Karakteristik awal sampel ditemukan bahwa sampel memiliki nilai
TSS sebesar 132 mg/L.

4.2 Sedimentasi Tipe I


Sedimentasi tipe I dilakukan dengan cara mengendapkan partikel diskrit sampel di dalam
tangki Camp yang diisi air dengan volume air awal 0,0235 m3. Sampel air diambil melalui port
terbawah selama interval waktu 5 menit selama 20 menit secara triplo, sehingga didapatkan
data sebanyak 25 sampel pada percobaan sedimentasi tipe I ini. Sampel air tersebut kemudian
diperiksa nilai TSS dan nilai kekeruhannya. Data hasil pemeriksaan TSS kemudian diolah
untuk mengetahui kecepatan pengendapan partikel, persentase fraksi tersisa dan persentase
fraksi yang tersisihkan. Hasil pengukuran pada percobaan praktikum Sedimentasi I dapat
dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.1 Hasil Percobaan Sedimentasi I
Pengukuran
TSS ke- TSS TSS Vs F % F %
MENIT
alat hitung (cm/mnt) removal removal remaining remaining
1 2 3
0 129 133 134 132,00 72,25 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
5 69 68 66 67,67 41,60 19,70 0,42 42,43 0,58 57,57
10 65 66 65 65,33 40,49 9,85 0,44 43,97 0,56 56,03
15 63 64 61 62,67 39,22 6,57 0,46 45,72 0,54 54,28
20 58 59 56 57,67 36,83 4,93 0,49 49,02 0,51 50,98
Sumber: Hasil praktikum, 2022.

Dari data yang disajikan dalam Tabel 4.1, menunjukkan konsentrasi TSS berkurang
seiring bertambahnya waktu dalam reaktor. Hal ini dikarenakan partikel diskrit di dalam air
sampel mengendap karena gravitasi seiring dengan berjalannya waktu. Untuk lebih jelasnya,
hubungan antara penurunan konsentrasi TSS dan waktu dapat dilihat pada Gambar 4.1.

80 60
Konsentrasi TSS (mg/L)

TSS Removal (%)

50
60
40
40 30
20
20
10
0 0
0 5 10 15 20 25 0 5 10 15 20 25
Waktu Pengendapan (Menit) Waktu Pengendapan (Menit)

(a) (b)
Gambar 4.1. Grafik hubungan waktu pengendapan terhadap (a) konsentrasi (b) persen removal
Berdasarkan Gambar 4.1 menunjukkan hubungan antara waktu pengendapan dengan
konsentrasi total suspended solid serta persentase penyisihan partikel. Berdasarkan tabel dan
gambar tersebut, dapat dilihat bahwa semakin lama waktu pengendapan, maka persentase
penyisihan partikelnya pun akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena waktu pengendapan
yang lebih lama akan memberikan kesempatan pada lebih banyak partikel diskrit untuk
mengedap. Keadaan tersebut juga mempengaruhi nilai TSS. Semakin banyak partikel diskrit
yang mengendap, maka nilai TSS yang ada pada air berkurang.
Menggunakan Persamaan 2.12 pada bab sebelumnya, penyisihan total dapat dicari
dengan memplot fraksi tersisa terhadap kecepatan pengendapan. Kemudian mencari nilai luas
diatas kurva dimana kurva tersebut dibagi menjadi beberapa segmen.

Sumber: Hasil praktikum, 2019


Gambar 4.2 Grafik Hubungan fraksi tersis dengan kecepatan pengendapan

Mengacu pada Gambar 4.2, diperoleh 11 segmen yang kemudian diukur luasnya untuk
memperoleh nilai total removal. Dimana hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 4.2
sebagai berikut.
Tabel 4.2. Perhitungan Luas Area Kurva
Area df Vs df Vs
1 0,005 4,9 0,0245
2 0,005 5,1 0,0255
3 0,005 5,4 0,0270
4 0,005 5,5 0,0275
5 0,005 5,8 0,0288
6 0,005 6,0 0,0300
7 0,005 6,4 0,0320
8 0,005 6,8 0,0338
9 0,005 7,3 0,0363
10 0,005 8,3 0,0413
11 0,002 9,8 0,0196
Luas area 0,3261
Sumber: Hasil praktikum, 2019
Dari nilai yang diperoleh, dengan asumsi Vo = 11 cm/detik, dapat dilakukan
perhitungan terhadap penyisihan total yang terjadi 𝑅 = (1 − 0,562) + (1/11 x 0,3621) 𝑥 100%
= 46,76%. Maka, penyisihan total partikel diskrit selama 20 menit adalah 46,76%. Maka
untuk mendapatkan efisiensi lebih tinggi, maka perlu overflowrate lebih tinggi pula.

4.3 Sedimentasi II
Dosis koagulan yang digunakan dalam percobaan yaitu 5 ml per liter sampel. Volume
sampel yang diujikan yaitu 23,558 L sehingga dosis koagulan yang digunakan yaitu
117,79ml. Setelah mendapatkan dosis koagulan, maka dilakukan percobaan sedimentasi II
dengan penambahan koagulan alum sebanyak 117,79 mL kemudian dilakukan pengambilan
sampel pada kelima port tangki camp dan diukur TSS perinterval waktu. Untuk mendapatkan
persentase removal maka data yang diperoleh diubah menjadi bentuk persentase. Hasil
percobaan sedimentasi II untuk parameter kekeruhan disajikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Data persentase removal TSS
h keran
Menit Keran 1 Keran 2 Keran 3 Keran 4 Keran 5
0,935 0,735 0,575 0,425 0,325
0 0% 0% 0% 0% 0%
5 10% 14% 17% 20% 11%
10 55% 58% 60% 64% 63%
15 75% 75% 74% 74% 73%
20 83% 83% 83% 83% 83%
Sumber: Hasil praktikum, 2019

Dari Tabel 4.3, data-data persentase removal tersebut kemudian diolah untuk
mendapatkan total removal dan over flowrate. Penyisihan total TSS pada percobaan
sedimentasi tipe II ini dapat diketahui dengan memplotkan nilai persentase penyisihan pada
Tabel 4.3 ke dalam grafik isoremoval pada Gambar 4.3 sebagai berikut

Sumber : Hasil Praktikum, 2022


Gambar 4.3. Grafik Isoremoval
Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana cara menghitung total persen removal pada
masing-masing garis persen removal dan overflow rate, dapat digunakan persamaan berikut

Hasil perhitungannya dapat dilihat pada tabel 4.4


Tabel 4.4. Perhitungan Total Removal dan Overflowrate
Vo = H/I
Removal t (min) h1 h2 h3 h4 H Rt
m/min
R2 20% 6,4 0,65 0,91 0,975 0,99 0,905 76,19 0,141406
R3 40% 7,8 0,6 0,93 0,98 0,905 64,64 0,116026
R4 60% 9,7 0,95 0,99 0,905 62,87 0,093299
R5 70% 14,2 0,97 0,905 41,44 0,063732

Dalam menentukan overflow rate (Vo), didapatkan dengan melakukan pembagian


debit air dengan luas kolom uji pada tangki pengendapan. Perhitungan debit dilakukan
dengan menentukan volume total (0,0235 m3) yang kemudian dibagi dengan waktu detensi
di mana waktu detensi diperoleh dari persamaan linear hasil plotting grafik hubungan antara
waktu pengendapan dengan % penyisihan seperti pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4. Grafik Penyisihan TSS

Berdasarkan Gambar 4.4 diperoleh persamaan linier untuk menghitung waktu detensi
yakni y = -4,1838x+ 101,14 dengan asumsi persen penyisihan TSS dari rentang 50-70%
ditentukan dari kolom uji sebesar 70%, maka didapatkan waktu detensi (td)
%𝑟𝑒𝑚𝑜𝑣𝑎𝑙−101,14 70−101,14
𝑡𝑑 = −4,1838
= −4,1838
= 7,44 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡

Kemudian dicari nilai overflow rate yang diperlukan untuk mencapai efisiensi 70%
tersebut dengan menentukan hubungan logaritmik antara overflow rate dan %penyisihan TSS
seperti yang ditampilkan pada Gambar 4.5 sebagai berikut
Gambar 4.5. Grafik Overflow Rate
Berdasarkan Gambar 4.5 tersebut diperoleh persamaan y = 420,85x + 17,678. Sehingga,
dengan asumsi 70% penyisihan TSS maka overflow rate (Vo) dapat diperoleh dari perhitungan
berikut,
%𝑟𝑒𝑚𝑜𝑣𝑎𝑙−17,678 70−17,678
𝑉𝑜 = 420,85
= 420,85
= 0,1243 m3/m2.hari
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:


1. Sampel air yang diambil di sungai cikapundung jalan Kebun Binatang menunjukkan
karakteristik awal dengan nilai TSS sebesar 132 mg/L.
2. Proses pengendapan partikel deskrit terjadi pada sedimenatasi I karena pengaruh gaya
gravitasi. Kemudian pada sedimentasi II dilakukan penambahan koagulan yang membantu
proses pengendapan partikel.
3. Efisiensi penyisihan TSS yang diperoleh dari perhitungan pada sedimentasi 1 sebesar
46,76% dengan asumsi kecepatan 11 cm/detik selama 20 menit.
4. Persentase penyisihan TSS untuk berbagi kedalaman dan waktu pada sedimentasi 2
ditunjukkan pada grafik isoremoval, dimana akan didapatkan isokonsentrasi yaitu garis
yang menunjukkan konsentrasi removal yang sama pada kedalaman dan waktu yang
bervariasi. Persentase removal TSS pada sedimentasi 2 sebesar 70% pada waktu t = 14,2
menit.
5. Overflowrate yang diperoleh untuk asumsi 70% efisiensi ialah 0,1243 m3/m2.hari
DAFTAR PUSTAKA

Carlsson, Bengt. 1998. An introduction to sedimentation theory in wastewater treatment.


Uppsala University. Diakses pada 28 Januari 2019 pada pukul 21.06 WIB di
http://www.it.uu.se/research/project/jass/material/sett98.pdf

ITB. 2016. Sedimentasi. Diakses pada 28 Januari 2019 pada pukul 21.16 WIB di
www.kuliah.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2016/10/sedimentasi.pdf

IWA Publishing. Sedimentation Processes. Diakses pada 28 Januari 2019 pada pukul 21.08 WIB
di https://www.iwapublishing.com/news/sedimentation-processes

Kocameni, Bilge Alpalsan. 2012. Environmental Engineering Unit Operations. Chapter 10


Sedimentation. Turkey. Marmara University. Diakses pada 28 Januari 2019 pada pukul
21.12 WIB di
http://mimoza.marmara.edu.tr/~bilge.alpaslan/enve301/Lectures/Chp_10.pdf

Letterman et.al. 1999. Water Quality and Treatment: A Handbook of Community Water
Supplies. McGraw-Hill

Metcalf & Eddy, Inc. (2003). Wastewater engineering : treatment and reuse. Boston :McGraw-
Hill

Nurfadillah, Ayu Rofia dan Yustiana Usman. 2015. Sedimentasi. Universitas Hasanuddin
Reynolds, Tom D and Paul A Richards. 1996. Unit Operations and Processes in

Environmental Engineering; Second Edition. Cengage Learning

Rich, Linvil G. 1961. Unit Operations of Sanitary Engineering. USA. John Wiley & Sons.

Rozali dkk. 2016. Pola Sebaran Total Suspended Solid (Tss) Di Muara Sungai Kampar
Kabupaten Pelalawan. Diakses di https://media.neliti.com/media/publications/199805-
patterns-of-distribution-total- suspended.pdf pada 6 Maret 2019 pukul 15.08 WIB

Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001. Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian
Pencemaran Air

Suharto. 2011. Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air. Yogyakarta : Penerbit ANDI.

Schulz, C.R. and Okun, D.A. (1984) Surface Water Treatment for Communities in Developing
Countries. John Wiley and Sons, NewYork.
LAMPIRAN

A. Pengambilan Sampel

Lokasi Sampling Pengambilan Sample air sungai

Tampak fisik sampel air sungai


B. Sedimentasi I

Pengambilan Sampel Pemasukan sampel dalam tangka camp

Tangki camp pada saat proses sedimentasi I


C. Sedimentasi II

Pengambilan Sampel Pengadukan sampel dengan koagulan

Pengukuran TSS

Anda mungkin juga menyukai