Anda di halaman 1dari 9

Materi TB

A. Pengertian TB
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Kemenkes RI, 2014). Bakteri M.
tuberculosis paling banyak ditemukan di lokasi yang kering dan lembab dan memiliki
sifat tidak tahan panas dan akan mati pada suhu 6°C dalam waktu 15-20 menit. Biakan
bakteri ini dapat mati jika terkena sinar matahari lansung selama 2 jam. Dalam dahak,
bakteri M. tuberculosis dapat bertahan selama 20-30 jam (Hiswani, 2009).
Masa inkubasi kuman M. tuberculosis biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Daya tahan tubuh yang baik dapat
menghentikan perkembangan kuman. Namun, ada beberapa kuman yang dapat tertidur
lama (dorman) selama beberapa tahun dalam jaringan tubuh. Kuman tersebut akan
beraktivitas kembali pada saat daya tahan tubuh yang buruk sehingga individu yang
bersangkutan dapat menjadi penderita TB (Werdhani, 2008). Gejala utama seseorang
yang menderita TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat
diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas,
badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam
hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Suarni, 2009). Setiap
orang yang datang ke pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas dianggap
sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB.
TBC (Tuberkulosis) yang juga dikenal dengan TB adalah penyakit paru-paru akibat
kuman Mycobacterium tuberculosis. TBC akan menimbulkan gejala berupa batuk
yang berlangsung lama (lebih dari 3 minggu), biasanya berdahak, dan terkadang
mengeluarkan darah. Kuman TBC tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi juga bisa
menyerang tulang, usus, atau kelenjar. Penyakit ini ditularkan dari percikan ludah yang
keluar penderita TBC, ketika berbicara, batuk, atau bersin. Penyakit ini lebih rentan
terkena pada seseorang yang kekebalan tubuhnya rendah, misalnya penderita HIV,
Diabetes militus.
B. Klasifikasi
Tuberkulosis Pada umumnya penderita TB pada diklasifikasikan berdasarkan
lokasi anatomi penyakit dan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis yaitu meliputi sebagai
berikut.
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit: Pada umumnya kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Maka dari itu, TB
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu TB Paru dan TB Ekstra Paru (WHO, 2014). TB
Paru adalah TB yang menyerang parenkim (jaringan) paru, tidak termasuk pleura.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru (Kemenkes RI, 2014). TB Ekstra Paru
adalah TB yang menyerang organ lain selain paru. TB ekstra paru dibagi
berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu TB ekstra paru ringan dan
TB ekstra paru berat. TB ekstra paru ringan yaitu meliputi TB kelenjar limfe, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal, sedangkan TB ekstra paru
berat yaitu meliputi meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis eksudativa
bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin
(Werdhani, 2008).
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis Berdasarkan hasil
pemeriksaan dahak mikroskopis, TB Paru dibagi menjadi TB Paru BTA positif,
dengan kriteria minimal 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif,
sedangkan TB Paru BTA negatif yaitu dengan kriteria semua hasil dari 3 spesimen
dahak SPS hasilnya BTA negatif (Kemenkes RI, 2014)
C. Epidemologi Tuberkulosis
Menurut World Health Organization (WHO) dalam Global Tuberculosis Report
2015, diperkirakan 9,6 juta orang mengidap TB dan 1,5 juta orang meninggal karena TB
pada tahun 2014. Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan negara yang menyumbang
sekitar 58% dari total kasus TB di dunia. Selain itu, seperempat kasus TB di dunia
terjadi di Afrika yang juga merupakan wilayah dengan angka morbitas dan mortalitas TB
tertinggi di dunia. Negara dengan insiden TB tertinggi di dunia yaitu berturut-turut India,
Indonesia, dan China. Indonesia saat ini menempati peringkat ke-2 sebagai negara
dengan insiden TB tertinggi di dunia. Selain itu, Annual Risk of Tuberculosis (ARTI) di
Indonesia berkisar antara 1-3% yang menunjukkan 10-30 orang diantara 1000 penduduk
berisiko terinfeksi TB setiap tahunnya (Indreswari et al., 2014). WHO menyebutkan
bahwa pada tahun 2014, diperkirakan jumlah kasus TB di Indonesia yaitu mencapai
700.000 sampai 1.400.000 kasus dengan jumlah kematian akibat TB mencapai 100.000
orang. Angka insiden TB di Indonesia mencapai 399 per 100.000 penduduk dan angka
prevalensi mencapai 647 per 100.000 penduduk (WHO, 2015). Secara global, mortalitas
akibat TB menurun sebesar 47% selama periode 1990 sampai 2014. Begitu pula,
prevalensi TB menurun sebesar 42% pada periode yang sama (WHO, 2015). Namun,
masalah yang cukup serius terkait penanggulangan TB yang saat ini dihadapi yaitu
meningkatnya trend infeksi TB pada penderita HIV (koinfeksi HIV/TB). Diperkirakan
pada tahun 2014, sebanyak 1,2 juta (12%) dari 9,6 juta orang yang mengidap TB
merupakan penderita HIV. Selain trend meningkatnya kasus ko-infeksi HIV/TB,
masalah baru yang kini menjadi perhatian yaitu mulai meningkatknya infeksi TB pada
pasien DM.
Laporan resmi mengenai kejadian infeksi TB pada pasien DM (ko-morbiditi
DM/TB) belum banyak dilaporkan. Namun, kasus TB cenderung lebih banyak terjadi
pada negara dengan angka prevalensi DM yang cukup tinggi. Pada 22 negara yang
dinyatakan dengan beban TB tertinggi di dunia, prevalensi DM pada populasi umum
berkisar antara 2-9% (Baghaei et al., 2013). Selain itu, 8 dari 10 negara dengan insiden
DM tertinggi di dunia juga diklasifikasikan sebagai negara dengan beban TB tertinggi di
dunia (Restrepo, 2007). Hasil skrining TB Paru pada pasien DM di China tahun 2012
menunjukkan bahwa Case Notification Rate (CNR) TB pada pasien DM jauh lebih
tinggi yaitu berkisar antara 334 sampai 804/100.000 penduduk dibandingkan CNR TB
pada populasi umum yang hanya 78/100.000 penduduk (Lin et al., 2012). Selain itu,
penelitian di Ethiopia pada tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi TB Paru BTA
positif pada penderita DM suspek TB yaitu sebesar 6,2% dibandingkan pada populasi
umum yang hanya sebesar 0,39% (Amare et al., 2013).
D. Penularan Tuberkulosis
Paru-paru merupakan tempat masuk lebih dari 98% kasus infeksi TB (Werdhani,
2008). Penyakit TB hanya dapat ditularkan oleh pasien TB BTA positif. Pada waktu
batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei) (Kemenkes RI, 2009). Dalam sekali batuk, penderita TB akan
mengeluarkan sekitar 3000 droplet (Kemenkes RI, 2014). Ketika droplet kontak dengan
udara, droplet ini akan cepat kering dan menjadi partikel yang sangat ringan. Droplet
dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab (Hiswani,
2009). Droplet yang lebih besar jatuh ke lantai, sedangkan yang berukuran 1 hingga 10
μm tetap melayang di udara selama periode waktu tertentu tergantung dari kondisi
lingkungan (Aditama et al., 2008).
Pada umumnya, penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. (Werdhani, 2008). Setelah masuk ke sistem
pernafasan (paru-paru), bakteri M. tuberculosis dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya
seperti otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening dan lain-lain
(Suarni, 2009). Penyebaran ini melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh (Aditama et al., 2008).
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang
dikeluarkan dari paru-paru. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, maka
makin menular penderita tersebut (Werdhani, 2008). Seseorang dengan kondisi daya
tahan tubuh yang baik, maka bakteri M. tuberculosis akan dorman sepanjang hidupnya.
Namun, pada orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang kurang, maka bakteri
ini akan berkembang biak. Bakteri tersebut akan berkumpul membentuk ruang di dalam
rongga paru yang nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Bila hasil
pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat bakteri), maka penderita tersebut dianggap
tidak menular (Kemenkes RI, 2009).
E. Komorbiditi Tuberkulosis-Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelainan metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak,
sebagai akibat kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Secara klinis,
berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM, baik keluhan klasik maupun keluhan
tambahan. Keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan tambahan lainnya berupa
lemah badan, kesemutan, gatal, pandangan kabur, disfungsi ereksi pada laki-laki, serta
pruritus vulva pada perempuan (Wulandari et al., 2013). Diagnosis DM dapat ditegakkan
melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan maka pemeriksaan glukosa
darah sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, bila
keluhan klasik ditemukan dan pemeriksaan glukosa darah puasa >126 mg/dL, maka
pasien dapat didiagnosis DM. Ketiga, yaitu dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
(Cahyadi et al., 2011). Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa DM merupakan
salah satu faktor risiko terjadinya TB (Elorriaga et al., 2014). DM diduga dapat
meningkatkan frekuensi maupun tingkat keparahan suatu infeksi. Hal tersebut
disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam sistem imun yang menyebabkan penurunan
fungsi fagitosis sehingga lebih mudah terinfeksi TB (Cahyadi et al., 2011). Sedangkan,
TB dapat menyebabkan kenaikan gula darah dan memacu terjadinya “laten diabetes”
atau menjadi faktor dekompensasi DM (Reviono et al., 2013). Selain itu, penderita yang
mengalami ko-morbiditi cenderung memiliki konversi yang lebih lama daripada
penderita TB tanpa DM sehingga meningkatkan risiko penularan, resistensi kuman,
kegagalan pengobatan TB, dan risiko kematian yang jauh lebih tinggi (Baghaei et al.,
2013). Hasil skrining TB Paru pada pasien DM di China tahun 2012 menunjukkan
bahwa Case Notification Rate (CNR) TB pada pasien DM jauh lebih tinggi yaitu
berkisar antara 334 sampai 804/100.000 dibandingkan CNR TB pada populasi umum
yang hanya 78/100.000 penduduk (Lin et al., 2012). Penelitian yang dilakukan oleh
Dobler et al. (2015) dengan rancangan cohort mengungkapkan bahwa besarnya risiko
(RR) penderita DM untuk terkena TB yaitu 1,5 kali dan pada penderita DM yang
menggunakan insulin yaitu jauh lebih tinggi mencapai 2,27 kali.
F. Skrining Tuberkulosis
Skrining adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak melalui
suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan
antara orang yang mungkin menderita penyakit dengan orang yang mungkin tidak
menderita (Indreswari et al., 2014). Kegiatan skrining bertujuan untuk mendeteksi secara
dini mereka yang diduga menderita penyakit tertentu sehingga dapat segera
ditindaklanjuti dan mencegah meluasnya penyakit menjadi lebih serius. Skrining TB
paru merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam menemukan penderita TB Paru dari
suatu pupulasi tertentu. Dalam melakukan skrining TB Paru, maka prosedur pertama
yang dilakukan yaitu melihat gejala yang tampak. Berdasarkan konsensus pengendalian
TB-DM di Indonesia, prosedur skrining TB Paru pada pasien DM yang dilakukan di
fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL)
adalah dengan melaksanakan kedua langkah berikut.
1. Wawancara untuk mencari salah satu gejala/faktor risiko TB pada pasien DM yaitu
sebagai berikut. - Batuk produktif, terutama batuk berdahak ≥ 1 minggu - Demam hilang
timbul, tidak tinggi (subfebris) - Keringat malam tanpa disertai aktivitas - Penurunan
berat badan - TB ekstra paru antara lain: pembesaran kelenjar getah bening (KGB) -
Sesak, nyeri saat menarik napas, atau rasa berat di satu sisi dada
2. Pemeriksaan lanjutan berdasarkan gejala yang dialami pasien DM. Apabila pasien
DM mengalami gejala batuk produktif, terutama batuk berdahak ≥ 1 minggu, maka akan
dirujuk langsung untuk pemeriksaan dahak mikroskopis, sedangkan pasien DM yang
tidak mengalami gejala tersebut selanjutnya akan dirujuk untuk pemeriksaan foto toraks
untuk mencari abnormalitas paru.
G. Pengobatan Tuberkulosis

TBC dapat dideteksi melalui pemeriksaan dahak. Beberapa tes lain yang dapat dilakukan
untuk mendeteksi penyakit menular ini adalah foto Rontgen dada, tes darah, atau tes
kulit (Mantoux).

TBC dapat disembuhkan jika penderitanya patuh mengonsumsi obat sesuai dengan resep
dokter. Untuk mengatasi penyakit ini, penderita perlu minum beberapa jenis obat untuk
waktu yang cukup lama (minimal 6 bulan). Obat itu umumnya berupa:

 Isoniazid
 Rifampicin
 Pyrazinamide
 Ethambutol

Pengobatan penyakit TBC membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak
sedikit. Oleh karena itu, memiliki asuransi kesehatan bisa menjadi pertimbangan,
sehingga Anda tidak perlu dipusingkan dengan tanggungan biaya saat berobat nanti.

H. Pencegahan Tuberkulosis

TBC dapat dicegah dengan pemberian vaksin BCG yang disarankan dilakukan sebelum
bayi berusia 2 bulan. Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara:

 Mengenakan masker saat berada di tempat ramai.


 Tutupi mulut saat bersin, batuk, dan tertawa.
 Tidak membuang dahak atau meludah sembarangan.

Gejala-gejala TBC (tuberkulosis) yang muncul dapat berupa:

 Batuk yang berlangsung lama (3 minggu atau lebih), biasanya berdahak.


 Batuk mengeluarkan darah.
 Berkeringat pada malam hari.
 Penurunan berat badan.
 Demam dan menggigil.
 Lemas.
 Nyeri dada saat bernapas atau batuk.
 Tidak nafsu makan.
 Lemas.

Tidak semua kuman TBC yang masuk ke paru-paru langsung menimbulkan gejala.
Kuman TBC bisa saja hanya bersembunyi sampai suatu hari berubah menjadi aktif dan
menimbulkan gejala. Kondisi ini dikenal sebagai TBC laten. Selain tidak menimbulkan
gejala, TBC laten juga tidak menular.

Selain menyerang paru-paru, kuman TBC juga dapat menyerang organ lainnya, seperti
ginjal, usus, otak, atau TBC kelenjar. Penyakit TBC pada organ selain paru-paru sering
terjadi pada orang dengan kekebalan tubuh rendah, misalnya penderita AIDS.

Berikut ini adalah contoh gejala yang muncul akibat penyakit TBC di luar paru-paru,
menurut organ yang terkena:

 Pembengkakan kelenjar getah bening bila terkena TBC kelenjar.


 Kencing berdarah pada TBC ginjal.
 Nyeri punggung pada TBC tulang belakang.
 Sakit perut jika mengalami TBC usus.
 Sakit kepala dan kejang bila terkena TBC di otak.

TBC (tuberkulosis) disebabkan oleh infeksi kuman dengan nama yang sama,
yaitu Mycobacterium tuberculosis. Kuman atau bakteri ini menyebar di udara melalui
percikan ludah penderita, misalnya saat berbicara, batuk, atau bersin. Meski demikian,
penularan TBC membutuhkan kontak yang cukup dekat dan cukup lama dengan
penderita, tidak semudah penyebaran flu.

Makin lama seseorang berinteraksi dengan penderita TBC, semakin tinggi risiko untuk
tertular. Misalnya, anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita TBC.

Pada penderita TBC yang tidak menimbulkan gejala (TBC laten), kuman TBC tetap
tinggal di dalam tubuhnya. Kuman TBC dapat berkembang menjadi aktif jika daya tahan
tubuh orang tersebut melemah, seperti pada penderita AIDS. Namun, TBC laten ini tidak
menular.

Seperti telah dikatakan sebelumnya, penularan TBC tidak semudah flu, sehingga Anda
tidak akan tertular TBC jika hanya sekadar berjabat tangan dengan penderita TBC.
Namun, ada beberapa kelompok orang yang lebih mudah tertular penyakit ini, yaitu:
 Orang yang tinggal di pemukiman padat dan kumuh.
 Petugas medis yang sering berhubungan dengan penderita TBC.
 Lansia dan anak-anak.
 Pengguna NAPZA.
 Orang yang kecanduan alkohol.
 Perokok.
 Penderita penyakit ginjal stadium lanjut.
 Orang dengan kekebalan tubuh yang lemah, misalnya penderita AIDS, diabetes,
kanker, serta orang yang kekurangan gizi.

Selain penyakit, terdapat beberapa jenis obat-obatan yang dapat melemahkan kekebalan
tubuh (obat imunosupresif). Obat-obatan tersebut umumnya digunakan untuk mengobati:

 Lupus
 Psoriasis
 Rheumatoid arthritis
 Penyakit Crohn

Penyakit ini dapat disembuhkan dan jarang berakibat fatal jika penderita mengikuti saran
dari dokter. Prinsip utama pengobatan TBC (tuberkulosis) adalah patuh untuk minum
obat selama jangka waktu yang dianjurkan oleh dokter (minimal 6 bulan).

Apabila berhenti meminum obat sebelum waktu yang dianjurkan, penyakit TBC yang
Anda derita berpotensi menjadi kebal terhadap obat-obat yang biasa diberikan. Jika hal
ini terjadi, TBC menjadi lebih berbahaya dan sulit diobati. Obat yang diminum
merupakan kombinasi dari isoniazid, rifampicin, pyrazinamide dan ethambutol. Sama
seperti semua obat, obat TBC juga memiliki efek samping, antara lain:

 Warna urine menjadi kemerahan


 Menurunnya efektivitas pil KB, KB suntik, atau susuk
 Gangguan penglihatan
 Gangguan saraf
 Gangguan fungsi hati

Karena efek samping yang mungkin terjadi, kombinasi obat dan dosisnya bisa berbeda
pada beberapa kasus spesial, misalnya tuberkulosis pada anak dan ibu hamil.
Untuk penderita yang sudah kebal dengan kombinasi obat tersebut, akan menjalani
pengobatan dengan kombinasi obat yang lebih banyak dan lebih lama. Lama pengobatan
dapat mencapai 18-24 bulan.

Selama pengobatan, penderita TBC harus rutin menjalani pemeriksaan dahak untuk
memantau keberhasilannya.

Salah satu langkah untuk mencegah TBC (tuberkulosis) adalah dengan menerima vaksin
BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Di Indonesia, vaksin ini termasuk dalam daftar
imunisasi wajib dan diberikan sebelum bayi berusia 2 bulan. Bagi yang belum pernah
menerima vaksin BCG, dianjurkan untuk melakukan vaksin bila terdapat salah satu
anggota keluarga yang menderita TBC.

TBC juga dapat dicegah dengan cara yang sederhana, yaitu mengenakan masker saat
berada di tempat ramai dan jika berinteraksi dengan penderita TBC, serta sering mencuci
tangan.

Walaupun sudah menerima pengobatan, pada bulan-bulan awal pengobatan (biasanya 2


bulan), penderita TBC juga masih dapat menularkan penyakit. Jika Anda menderita TBC,
langkah-langkah di bawah ini sangat berguna untuk mencegah penularan, terutama pada
orang yang tinggal serumah dengan Anda:

 Tutupi mulut saat bersin, batuk, dan tertawa, atau kenakan Apabila menggunakan tisu
untuk menutup mulut, buanglah segera setelah digunakan.
 Tidak membuang dahak atau meludah sembarangan.
 Pastikan rumah memiliki sirkulasi udara yang baik, misalnya dengan sering membuka
pintu dan jendela agar udara segar serta sinar matahari dapat masuk.
 Jangan tidur sekamar dengan orang lain, sampai dokter menyatakan TBC yang Anda
derita tidak lagi menular.

Anda mungkin juga menyukai