Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH KAIDAH FIQHIYAH

KAIDAH TENTANG KEYAKINAN ‫اليقين ال يزال بالشك‬

Disusun Oleh :
M. Umam Firdaus : 220201069
Zahratul Andia : 220201067

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini berjudul "Kaidah Fiqhiyah Tentang
Keyakinan" yang membahas tentang prinsip penting dalam hukum Islam yang menunjukkan
bahwa keyakinan tetap ada meskipun seseorang memiliki keraguan.

Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas akademik dalam memahami prinsip-prinsip dasar
dalam fiqh Islam. Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman yang
lebih baik tentang kaidah fiqhiyah tentang keyakinan dan implikasi praktisnya dalam
kehidupan Muslim modern.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan guna
memperbaiki makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
menjadi sumber pengetahuan yang bermanfaat dalam memahami prinsip-prinsip dasar dalam
fiqh Islam.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini, terutama kepada dosen pembimbing yang telah memberikan arahan
dan masukan yang sangat berharga dalam proses penulisan. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat menjadi amal jariyah bagi penulis dan bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR ISI

JUDUL ...........................................................................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................................................
DAFTAR ISI .................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................
A. Latar Belakang ....................................................................................................
B. Rumusan Masalah ...............................................................................................
C. Tujuan Pembelajaran ...........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................................
A. Pengertian Kaidah ...............................................................................................
B. Pembagian Kaidah ...............................................................................................
C. Penerapan Kaidah Keyakinan ..............................................................................
BAB III KESIMPULAN ...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kaidah fiqhiyah "keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan" juga dikenal sebagai
"al-yaqin la yazulu bi al-shakk" merupakan prinsip penting dalam hukum Islam. Kaidah ini
mengacu pada prinsip bahwa keyakinan dalam Islam tidak dapat dihilangkan oleh keraguan.

Latar belakang prinsip ini terletak pada fundamental keyakinan Islam terhadap Allah
SWT dan agama Islam. Dalam Islam, keyakinan yang kuat kepada Allah SWT merupakan
bagian integral dari kehidupan seorang Muslim. Keyakinan ini membentuk dasar dari aqidah
atau kepercayaan Muslim.

Prinsip "keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan" juga memiliki implikasi yang
luas dalam praktek fiqih atau hukum Islam. Misalnya, jika seseorang memiliki keyakinan yang
kuat dalam hal-hal tertentu seperti adanya Allah SWT, Nabi Muhammad SAW sebagai rasul
terakhir, atau keabsahan shalat lima waktu, maka keyakinan tersebut tidak dapat dipertanyakan.

Namun, prinsip ini tidak mutlak dan dapat diatasi dalam beberapa kasus. Misalnya, jika
seseorang memiliki keyakinan bahwa suatu tindakan atau praktek adalah haram (dilarang),
tetapi kemudian muncul bukti yang meyakinkan bahwa tindakan tersebut tidak haram, maka
keyakinan awal tersebut dapat dihilangkan oleh bukti yang baru.

Dalam sebuah makalah yang membahas prinsip ini, penulis dapat mengeksplorasi
implikasi prinsip "keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan" dalam hukum Islam dan
bagaimana prinsip ini diterapkan dalam praktik fiqih. Selain itu, penulis dapat membahas
situasi di mana prinsip ini dapat dikalahkan dan implikasi praktisnya dalam konteks kehidupan
Muslim modern.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu kaidah fiqhiyah "keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan" dan
bagaimana prinsip ini diterapkan dalam hukum Islam?
2. Bagaimana praktik fiqih memastikan kepastian keyakinan dan bagaimana proses ini
berbeda dengan proses hukum lain yang terkait dengan keyakinan?
3. Bagaimana aplikasi kaidah fiqhiyah tentang keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh
keraguan?

C. Tujuan Pembelajaran

1. Mempelajari arti Kaidah Tentang Keyakinan


2. Mengetahui Macam-Macam Kaidah Tentang Keyakinan
3. Mengetahui aplikasi kaidah tentang keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah

Kaidah ‫ اليقين ال يزال بالشك‬ini memiliki makna yaitu semua hukum yang sudah
berlandaskan pada suatu keyakinan, itu tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keragu-raguan
yang muncul kemudian, sebab rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah
keyakinan, tidak akan bisa menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya. Dengan
demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah kedua adalah tercapainya suatu kemantapan
hati pada suatu obyek yang telah dikerjakan, baik kemantapan hati itu sudah mencapai pada
kadar ukuran pengetahuan yang mantap atau baru sekedar dugaan kuat (asumtif/dzan).
Makanya tidak dianggap suatu kemantapan hati yang disertai dengan keragu-raguan pada saat
pekerjaan itu dilaksanakan, sebab keadaan ini tidak bisa dimasukkan kedalam kategori yakin.
Hal-hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya, tidak dapat disejajarkan
dengan suatu hal yang sudah diyakini.

B. Pembagian kaidah

Berikut ini merupakan kaidah-kaidah lanjutan dari kaidah dasar di atas:

1. ‫األصل بقاء ما كان على ما كان‬

“Yang jadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan semula”

Contoh: Seseorang mempunyai wudlu, lalu ia ragu sudah batalkah atau belum, maka
hukumnya ia tetap mempunyai wudlu.

2. ‫األصل براءة الذمة‬

“Yang jadi patokan adalah bebas dari tanggungan”

Contoh: A mengadukan B, bahwa B berhutang Rp.1.000,- kepadanya, tetapi pengaduan itu


tidak disertai dengan bukti maupun saksi, sedang B (yang diadukan) menyangkal dan
mengatakan bahwa ia tidak merasa berhutang. Maka menurut hukum, pengaduan A tertolak
berdasarkan kaidah ini.

3. ‫من شك هل فعل شينا أو ال؟فاالصل أنة لم ىفعله‬

“Jika ada orang ragu, apakah ia sudah mengerjakan sesuatu atau belum, maka ia dianggap
belum berbuat”

Contoh: A mengadukan bahwa B berhutang Rp.1.000,- kepadanya. Lalu di depan pengadilan


terjadilah dialog seperti ini:

Hakim: B! Benarkah kau berhutang Rp.1.000,- kepada A?

B: Benar, tapi sudah saya lunasi.


Hakim : Apakah kau punya tanda bukti pembayaran hutang?

B : Tidak

Hakim : A!, kata B hutangnya kepadamu sudah dibayar. Apakah benar?

A : Belum!

Maka berdasarkan kaidah ini, Hakim memutuskan, bahwa hutang B kepada A belum
terlunasi.

4. ‫من ﺗيقّن الفعل وشكّ فﻲ القليل أو الﻜﺜير ﺣﻤل على الﻜﺜير‬

“Jika seseorang telah yakin berbuat (sesuatu), tetapi ia ragu tentang banyak sedikitnya, maka
yang dihitung adalah yang sedikit.”

Contoh: Seseorang sedang tengah-tengah sholat Dhuhur merasa ragu, apakah yang
dikerjakannya empat raka’at, atau baru tiga raka’at. Berdasarkan kaidah ini, yang dihitung
adalah tiga raka’at dan ia harus menambah satu raka’at lagi.

5. ‫األصل العﺪﻡ‬

“Asal (di dalam hak) itu tidak ada.”

Contoh : A menyerahkan Rp.1.000,- kepada B, untuk digunakan sebagai modal, dengan


perjanjian keuntungan dibagi dua. Selang beberapa lama, A menuduh bahwa B telah
memperoleh keuntungan dari uang modal tersebut, tetapi B menyangkal tuduhan itu.
Berdasarkan kaidah ini, yang dibenarkan adalah B yang menyatakan tidak/belum ada
keuntungan.

6. ‫األصل فﻲ كلّ ﺣاﺩﺙ ﺗقﺪﻳرﻩ بﺄﻗرﺏ ﺯمن‬

“Tiap-tiap yang baru itu harus dikira-kirakan kepada masa yang lebih dekat.”

Contoh: Seseorang melihat bekas mani pada sarung yang dipakainya. Ia ragu mani
kemarinkah yang karenanya ia telah mandi atau mani baru setelah ia bangun tidur tadi.
Berdasarkan kaidah ini, diputuskan bahwa mani itu adalah baru dan bukan kemarin.

7. ‫األصل فﻲ األشياﺀ اﻹباﺣة ﺣﺘّى ﻳﺪﻝّ الﺪّليل على الﺘّﺤرﻳم‬

“Segala sesuatu yang pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Ini
menurut mazhab Syafi’i, sedang menurut mazhab Hanafi sebaliknya, yakni:

‫األصل فﻲ األشياﺀ الﺘّﺤرﻳم ﺣﺘّى ﻳﺪﻝّ الﺪليل على اﻹباﺣة‬

“Segala sesuatu itu pada dasarnya haram, kecuali bila ada dalil yang memperbolehkannya.”
Imam Syafi’i berpendapat: “Allah itu maha bijaksana, jadi mustahillah Allah menciptakan
sesuatu, lalu mengharamkan atas hamba-Nya.”

Beliau berpegang kepada dalil:


a) Sabda Rasulullah SAW

‫ما أﺣلّ الله فﻬﻮ ﺣﻼﻝ وما ﺣرّﻡ الله فﻬﻮ ﺣراﻡ وما ﺳﻜّﺘا عنه فﻬﻮ عفﻮ‬

“Apa yang dihalalkan oleh Allah adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram,
sedangkan apa yang didiamkan adalah dimaafkan.”

b) Firman Allah

‫ﺧلﻖ لﻜم ما فﻲ األﺭﺽ ﺟﻤيعا‬

“Allah menciptakan bagi kalian apa yang ada di bumi seluruhnya.”

Imam Abu Hanifah berkata bahwa, “Memang Allah maha bijaksana, tetapi bagaimanapun
segala sesuatu itu adalah milik Allah SWT sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunakannya
sebelum ada izin dari Allah.”’

Beliau berpedoman pada firman Allah SWT:

‫لله ما فﻲ الﺴﻤﻮاﺕ وما فﻲ األﺭﺽ‬

“Adalah milik Allah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.”

Contoh:

Ada seekor binatang yang kita belum dapat mengetahui tentang halal/haramnya. Menurut
Imam Syafi’i halal, sedangkan Imam Hanafi mengharamkannya.

Perbedaan antara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi dalam hal ini, pengecualian masalah-
masalah yang ada hubungannya dengan farji. Dalam perkara satu ini, ke dua beliau sepakat
menghukuminya haram.

Misalnya:

Di dalam sebuah desa ada sepuluh orang perempuan, satu di antaranya, diketahui ada
hubungan mahram dengan A (laki-laki) tetapi ia belum/tidak tahu yang manakah Siantar
sepuluh perempuan itu yang ada hubungan mahram dengannya. Maka menurut hukum, ke
sepuluh perempuan tersebut tidak boleh dinikahi (oleh A) salah satunya.

8. ‫األصل فﻲ الﻜﻼﻡ الﺤقيقة‬

“Ucapan itu asalnya adalah haqiqah.”

Jadi kalau ada ucapan yang bisa diartikan haqiqah dan dapat pula diartikan majas/kiasan,
maka ucapan itu harus diartikan secara haqiqah.

Contoh:
Seseorang bersumpah : “Demi Allah, saya tidak akan membeli baju.” Lalu ia menyuruh
orang lain untuk membelikan baginya, maka menurut kaidah ini, orang tersebut dianggap
tidak melanggar sumpah.

9. ‫ﺇﺫا ﺗعاﺭﺽ األصل والﻈّاهر‬

“Kalau terjadi pertentangan antara Asal dan Dzahir.”

a) Ditafshil, adakalanya Asal yang dimenangkan dan ada kalanya Dzahir yang dimenangkan.

Contoh:

1. Piring milik China kafir, hukumnya tetap suci, sebab asalnya memang suci, meskipun ada
dzahirnya mungkin pernah digunakan sebagai wadah/tempat makanan dari daging babi.

2. A melakukan jual beli dengan B. Kemudian as mengatakan, bahwa jual beli itu tidak sah,
sedangkan B menganggapnya sah. Yang dibenarkan adalah B yang mengatakan jual beli sah,
meskipun asalnya (yaitu A) menganggap tidak sah.

3. Suami istri telah tinggal dalam satu atap. Istri mengaku sudah digauli, sedang suami
berkata belum. Kalau kita berpegang kepada asal, maka yang dibenarkan adalah suami dan
jika kita berpegang kepada Dzahir, maka yang benar adalah Istri. Dalam hal ini ulama’
berselisih pendapat.

b) Manakala Dzahir bertentangan dengan Asal, padahal Dzahir dikuatkan dengan landasan
yang menurut Syarak dapat dibenarkan, atau Dzahir itu dikuatkan oleh satu sebab atau
kebiasaan/adat, maka Dzahir harus dimenangkan.

Contoh:

1. Air satu blik berada di tempat yang pada galibnya bisa terkena najis. Lalu ada orang
bilang: “Tadi ada seorang anak yang kencing berdiri di dekat air itu, mungkin air itu
kecipratan najis.” Berdasarkan kaidah ini, Dzahir air terkena najis dimenangkan.

2. Bila ada seekor kambing kencing dekat air, air itu mungkin kecipratan dan mungkin tidak,
tetapi pada kenyataannya, air berubah, maka Dzahir – air kena najis – dimenangkan.

c) Apabila Asal dan Dzahir

bertentangan, padahal sebab-sebab kemungkinannya lemah, maka yang dimenangkan adalah


Asal.

Pakaian pembuat arak Asalnya adalah suci. Boleh jadi pakaian itu terkena arak, tetapi
kemungkinannya lemah sekali, maka pakaian tersebut tetap suci.

d) Kalau Asal bertentangan dengan Dzahir dan Dzahir lebih kuat, maka Dzahirlah yang
dimenangkan.

Contoh:
Seseorang shalat. Setelah salam, ia bimbang tentang apakah ia tidak meninggalkan salah satu
rukun selain niat dan takbiratul ihram.

Ia tidak wajib mengulang shalatnya.

e) Apabila Asal bertentangan dengan kemungkinan-kemungkinan, maka Asal tetap


dimenangkan.

Contoh:

Seseorang sedang melaksanakan shalat Dzuhur dan ia yakin, bahwa ia sudah mengerjakan
tiga raka’at tetapi mungkin juga empat raka’at.

Berdasarkan kaidah ini, shalat orang itu dihitung tiga raka’at.

10. ‫ﺇﺫا ﺗعاﺭﺽ األصﻼن‬

“Apabila ada dua asal yang saling bertentangan.” Maka :

a) Yang lebih kuat harus dimenangkan

Dan tentu saja, hal ini membutuhkan penguat, baik berupa Dzahir maupun yang lain.

Contoh:

Seorang pria dan seorang wanita telah bertahun-tahun menjadi Suami istri. Kemudian terjadi
perkara tuduh menuduh. Istri mengatakan, bahwa selama ini Suaminya belum pernah
menggaulinya, sebab impoten, sedang suami menyatakan sudah menggauli istri yaitu di
masa-masa sebelum impoten.

Dalam masalah ini, terdapat dua Asal yang saling bertentangan, yakni:

1. “Menggauli” Asalnya adalah “Belum menggauli.”

2. “Impotent” Asalnya asalah “Tidak Impotent”

Yang dimenangkan adalah suami, sebab Asal tidak impotent lebih kuat, dikuatkan oleh
lamanya mereka bergaul/berkumpul sebagai suami istri.

b) Jika dua Asal yang saling bertentangan tersebut, masing-masing tidak mempunyai penguat
maka Ulama tetap berselisih pendapat.

Contoh:

Seseorang berpuasa dan yakin sudah niat, tetapi ragu apakah niat itu dilakukan sebelum fajar
ataukah sesudah fajar?

Karena dua Asal yang saling bertentangan ini masing-masing tidak mempunyai penguat,
maka Ulama berbeda pendapat:
1. mengatakan bahwa, puasa itu tidak sah sebab niat itu Asalnya adalah “tidak sah.”

2. Ulama lain berpendapat bahwa, puasa itu sah, sebab sesudah fajar, Asalnya adalah
“sebelum fajar.”

11. ‫والﻈّاهران ﺭبﻤّا ﺗعاﺭﺽ وهﻮ ﻗليل‬

“Dzahir itu kadang-kadang juga bertentangan dengan Dzahir lain, meskipun jarang terjadi.”

Contoh:

Sepasang lelaki dan perempuan tertangkap basah di sebuah hotel. Keadaan si Lelaki kelihatan
jauh lebih muda dibandingkan dengan perempuan. Pada waktu diperiksa, yang perempuan
mengatakan, bahwa lelaki itu adalah suaminya yang sah dan si Lelaki itupun membenarkan.

Dalam hal ini, menurut Qoul jadi: ikrar serta pembenarannya dapat diterima, tetapi menurut
Qoul Qodim: tidak dapat diterima, sebab keadaannya meragukan. Jadi untuk menerima ikrar
serta pembenarannya tersebut, harus ada saksi.

C. Contoh penerapan kaidah keyakinan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kaidah ini mencakup banyak sekali
permasalahan syar’i, sangat sulit untuk menyebutkan tiap-tiap permasalahan tersebut. Cukup
disebutkan sebagiannya saja sebagai contoh untuk memahami penerapan kaidah ini:

1. Apabila seseorang telah yakin bahwa sebuah pakaian terkena najis, akan tetapi dia tidak
tahu dibagian mana dari pakaian tersebut yang terkena najis maka dia harus mencuci
pakaian itu seluruhnya.
2. Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudu, kemudian dia ragu apakah
telah batal wudunya atau belum, maka dia tidak perlu berwudu lagi.
3. Dan begitu pula sebaliknya, apabila seseorang yakin bahwa wudunya telah batal, akan
tetapi dia ragu apakah dia telah berwudu lagi atau belum, maka wajib baginya untuk
berwudu lagi.
4. Barang siapa yang ragu dalam salatnya apakah dia telah salat tiga rakaat atau empat
rakaat misalnya, maka dia harus mengikuti yang yakin, yaitu yang paling sedikit
rakaatnya, yang mana dalam permasalah ini adalah tiga rakaat.
5. Begitu pula dalam permasalahan putaran tawaf, apabila dia ragu berapa kali dia telah
berputar mengelilingi ka’bah apakah dua kali atau tiga kali, maka dia harus
menganggap bahwa dia baru berputar dua kali, dan begitu seterusnya.
6. Barang siapa yang telah sah nikahnya, kemudian dia ragu apakah telah mentalak
istrinya atau belum, maka pernikahannya tetap sah.
7. Apabila seorang istri ditinggal suaminya berpergian dalam jangka waktu yang lama,
maka dia tetap dihukumi sebagai istri laki-laki tersebut dan tidak boleh baginya untuk
menikah lagi. Karena yang yakin adalah bahwa sang suami pergi dalan keadaan hidup,
maka tidak boleh menghukuminya telah meninggal kecuali dengan berita yang
meyakinkan.
8. Jika ada seseorang yang pergi meninggalkan kampung halamannya dalam keadaan
sehat, akan tetapi setelah bertahun-tahun tidak kunjung pulang dan tidak diketahui
kabarnya, maka dia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup. Yang atas dasar ini tidak
boleh diwarisi hartanya sampai datang kabar yang meyakinkan tentang hidup atau
matinya.
9. Apabila seseorang yakin bahwa dirinya pernah berhutang, kemudian dia ragu apakah
dia telah membayar hutang itu atau belum, maka wajib baginya untuk membayar hutang
tersebut kecuali jika pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah membayar
hutangnya.
BAB III

KESIMPULAN

Kaidah fiqhiyah tentang keyakinan ‫( اليقين ال ﻳزاﻝ بالشك‬al-yaqinu la yazalu bish-shak) atau
"keyakinan tetap ada dengan keraguan" adalah prinsip penting dalam hukum Islam. Prinsip ini
menunjukkan bahwa keyakinan dalam agama tidak hilang meskipun seseorang memiliki
keraguan. Meskipun prinsip ini tidak mutlak dan dapat diatasi dalam beberapa kasus, namun
tetap memiliki implikasi praktis yang signifikan dalam kehidupan Muslim modern, terutama
dalam konteks hukum Islam dan kehidupan sehari-hari.

Prinsip "keyakinan tetap ada dengan keraguan" juga dapat membantu seseorang dalam
mengatasi keraguan atau ketakutan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Namun, ada
beberapa kasus di mana prinsip ini dapat dikalahkan. Oleh karena itu, dalam menegakkan
prinsip ini, seseorang perlu mempertimbangkan konteks dan faktor-faktor lain yang
mempengaruhi keyakinan dan keraguan.

Dalam kesimpulannya, kaidah fiqhiyah tentang keyakinan menunjukkan bahwa


keyakinan dalam agama merupakan aspek yang sangat penting dan tidak dapat dihilangkan
oleh keraguan. Dalam prakteknya, prinsip ini dapat membantu menyelesaikan masalah hukum
yang kompleks dan juga membantu seseorang dalam mengatasi keraguan atau ketakutan dalam
menghadapi tantangan kehidupan. Oleh karena itu, prinsip ini perlu diperhatikan dalam praktek
kehidupan Muslim modern.
DAFTAR PUSTAKA

Wakidyusuf. 2017. Soal Kaidah Tentang Keyakinan. Diakses 01 Mei 2023 dari
https://wakidyusuf.wordpress.com/2017/02/03/3637/

Hidayatullah. 2021. Tentang Kaedah Fiqih: “Al Yakiinu La Yazuulu bisi Syakki. Diakses 01
Mei 2023 dari https://muslim.or.id/18747-kaedah-fikih-al-yaqiinu-la-yazuulu-bisy-
syakki.html

Anda mungkin juga menyukai